Selasa, 10 Juni 2014 0 komentar

Download arpas band-sebatas mengagumi.mp3

Download arpas band-sebatas mengagumi.mp3


Download arpas band-sebatas mengagumi.mp3

0 komentar

Download MP3 Pujiono Idol Manisnya Negeriku

Download MP3 Pujiono Idol Manisnya Negeriku diarysmk3tegal



Download MP3 Pujiono Idol Manisnya Negeriku diarysmk3tegal

Senin, 26 Mei 2014 0 komentar

Kisah Apik Ksatria Hutan Larangan 10

Pertanyaan itu menimbulkan kecemasan
dalam dirinya. Bagaimana kalau ia tidak menjadi orang yang
berarti di mata para bangsawan dan rakyat Pajajaran?
Bagaimana kalau mengecewakan Ayahanda Banyak Citra?
"Anakku, Banyak Sumbaaku yakin, engkau akan menjadi
orang yang benar-benar membawa sifat-sifat wangsa Banyak
Citra," demikian Ayahanda berkata, membangunkan Banyak
Sumba dari renungannya.
"Mudah-mudahan, Sang Hiang Tunggal merestui,
Ayahanda," ujar Banyak Sumba.
"Sekarang pergilah, ambillah perlengkapanmu. Suruh
gulang-gulang membawanya ke sini agar kau tidak harus
membungkuk saat membaca lontar-lontar ini," ujar Ayahanda
sambil melihat-lihat setumpukan peti lontar di samping beliau.
"Di tempat hamba ada sebuah peti besar yang biasa hamba
pergunakan. Bolehkah hamba menggunakannya di ruangan
ini?"
"Cari yang lebih baik. Sekarang engkau sudah besar.
Engkau seorang bangsawan," kata Ayahanda pula.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi. Ia menyembah
dengan hormat, lalu mengundurkan diri.
KETIKA itu hari menuju senja, beribu-ribu keluang terbang
ke hutan-hutan yang kelam di sebelah barat. Banyak Sumba
berjalan menyusuri jalan di atas dinding benteng, menuju
bagian kaputren Puri Banyak Citra. Ia sengaja menyusur
benteng karena di sana obor-obor menyala terang. Sambil
berjalan di atas benteng, ia memandang ke sekeliling, ke
langit yang berangsur berubah warna, dari Jingga menjadi
merah tua. Beberapa orang gulang-gulang dan jagabaya yang
mendapat giliran jaga malam di atas benteng, menegurnya
dengan hormat. Banyak Sumba menyahut dengan hormat

pula, sesuai dengan kedudukannya sebagai putra penguasa
Kota Medang.
Ketika Banyak Sumba melayangkan pandangannya ke
perhumaan dan gundukan-gundukan kampung yang tersebar
di sebelah barat Kota Medang, di antara kelap-kelip cahaya
obor yang tampak dari jauh, tampaklah tiga buah obor besar
yang bergerak dengan cepat ke arah kota. Ketika Banyak
Sumba menajamkan pandangannya menembus remang senja,
terlihat tiga buah obor besar itu bergerak sepanjang jalan
besar yang menuju gerbang Kota Medang.
Aneh, ketika melihat ada orang yang tergesa-gesa menuju
kota pada waktu senja seperti itu, jantungnya seolah-olah
terhenti. Entah apa sebabnya, hatinya tiba-tiba cemas, kalaukalau
para pendatang itu membawa berita yang tidak
dikehendaki. Akan tetapi, kecemasan yang tidak masuk akal
itu segera diusir dari pikirannya. Ia mulai memerhatikan para
penunggang kuda yang mendekat dengan obor berkobarkobar.
Di belakang pembawa obor itu, kira-kira sepuluh
penunggang kuda memacu kuda mereka dengan cepat sekali.
"Paman," kata Banyak Sumba kepada seorang gulanggulang
yang juga memandang ke arah para pendatang yang
makin lama makin dekat, "tampaknya para penunggang kuda
itu bangsawan. Saya melihat pakaian kuda mereka
gemerlapan di bawah obor itu."
"Matamu tajam sekali, Raden," kata gulang-gulang, "Paman
tidak dapat melihat pakaian kuda dari tempat ini."
"Lihat, mereka bangsawan," kata Banyak Sumba sambil
menunjuk ke arah para pendatang yang makin dekat.
Memang, dari kuda yang berpakaian gemerlap, orang dapat
menduga bahwa rombongan tamu Kota Medang itu para
bangsawan dengan para pengiringnya.

"Ya, jelas sekarang, mereka orang-orang besar," kata
gulang-gulang itu, "tapi ada urusan penting apa malam-malam
mereka memacu kuda ke sini?"
Pertanyaan itu mengembalikan rasa cemas yang aneh
dalam diri Banyak Sumba. Ya, ada urusan apa rombongan itu
datang malam-malam secara tergesa-gesa? Sambil
merenungkan pertanyaan itu, Banyak Sumba terus berjalan,
kemudian menuruni tangga yang diterangi obor dari tangan
gulang-gulang yang mengantarnya. Setelah berada di bawah
benteng yang terang benderang oleh lampu-lampu minyak
kelapa, ia berjalan tergesa ke ruangan besar di kaputren. Di
sana, Ayunda Yuta Inten sedang menyulam dikelilingi putriputri
bangsawan yang juga sedang menjahit atau menyulam.
"Biasanya, engkau tidak suka datang ke tempat gadisgadis,
Sumba. Ada apa?" tanya Yuta Inten.
"Hamba perlu kotak, Yunda. Ayahanda memerintahkan
agar hamba membawanya ke ruangan beliau."
"Baiklah, pilih salah satu di ruangan kanan. Suruhlah
seorang gulang-gulang membawanya. Jangan ambil jalan
memotong, lebih baik lewat benteng supaya terang."
"Ya, hamba pun lewat benteng waktu kemari," ujar Banyak
Sumba.
Tiba-tiba, ia ingat bangsawan-bangsawan berkuda itu. Ia
tertegun sebentar di ambang ruangan besar sebelah kanan,
tempat gadis-gadis menyulam. Ia berpaling kepada Putri Yuta
Inten, lalu berkata, "Ayunda, hamba melihat serombongan
bangsawan penunggang kuda menuju gerbang kota. Mungkin
para tamu kita."
Yuta Inten tegak dari duduknya dan dengan penuh
penasaran bertanya, "Sumba, apakah kau melihat salah
seorang di antara mereka berkuda putih?" sambil bertanya

demikian, sulaman di tangan Putri Yuta Inten jatuh dari
pangkuannya.
"Ayunda, hari terlalu gelap dan hamba tidak memerhaT
tikannya," jawab Banyak Sumba. Keinginan hendak menggoda
Ayunda Yuta Inten terbit dalam hatinya.
Ayunda Yuta Inten sudah bertunangan dengan Pangeran
Anggadipati, sahabat seperguruan Kakanda Jante Jalawuyung.
Banyak Sumba beranggapan bahwa gadis yang jatuh cinta itu
seolah-olah kembali menjadi anak kecil. Ya, anak kecil yang
dapat mainan baru. Begitulah sekurang-kurangnya Ayunda
Yuta Inten di mata Banyak Sumba waktu itu. Gadis itu tidak
dapat melepaskan segala pikiran dari tunangannya. Segala
tingkah lakunya seolah-olah ditujukan kepada tunangannya
yang berada di Pakuan. Ayunda Yuta Inten bersolek,
menyulam, bernyanyi kecil, dan belajar menari; semuanya itu
ditujukan kepada Pangeran Anggadipati. Demikian juga segala
percakapan Ayunda, apa pun yang menjadi bahan
pembicaraannya dan siapa pun yang diajaknya bicara, baik
gadis-gadis bangsawan maupun Banyak Sumba, akhir
percakapan akan kembali kepada Pangeran Anggadipati.
Alangkah anehnya seorang gadis, walaupun gadis itu
kakaknya sendiri, demikian anggapan Banyak Sumba. Karena
keanehan itu, ia senang menggoda Ayunda Yuta Inten.
Ditambah pula, Ayunda Yuta Inten suka menggodanya. Itulah
sebabnya, Banyak Sumba tidak berterus terang kepada Putri
Yuta Inten bahwa dia tidak melihat kuda putih, kuda yang
biasa ditunggangi para pura-gabaya.
Karena Banyak Sumba tidak memberikan jawaban pasti
tentang warna kuda tamu-tamu yang datang, timbullah
harapan Yuta Inten untuk dapat bertemu dengan kekasihnya.
Ia bangkit dari atas tikar tempat duduknya, lalu berjalan ke
arah Banyak Sumba yang berdiri di ambang pintu.
"Sumba, walaupun gelap, bulu kuda putih dapat kaulihat.
Apakah secara samar-samar tidak kaulihat kuda putih?"

"Hamba tidak yakin, Ayunda, tapi mungkin saja ada kuda
putih," jawab Banyak Sumba.
"Kaulihat warna putih berkelebat dalam gelap?"
"Mungkin saja, Ayunda, tetapi mungkin yang putih pakaian
penunggangnya," jawabnya.
"Sumba! Kaulihat penunggang kuda itu berpakaian putih?
Tahukah engkau bahwa puragabaya itu berpakaian putih di
balik pakaian malamnya yang hitam? Sumba, kaulihat...
kaulihat?" Putri Yuta Inten tidak melanjutkan perkataannya.
Gadis itu segera melangkah menuju gadis-gadis lain,
kemudian mereka memasuki ruangan lain dengan tergesa.
Banyak Sumba tersenyum ketika membayangkan Ayunda Yuta
Inten akan bersolek dibantu gadis-gadis itu. Sungguh, gadis
yang sedang diamuk rindu itu mudah sekali ditipu atau menipu
dirinya sendiri, pikir Banyak Sumba seraya memasuki ruangan
lain.
Setelah kotak itu ditemukan, Banyak Sumba memanggil
seorang gulang-gulang. Gulang-gulang itu disuruhnya
mengangkat kotak dan membawanya ke ruangan Ayahanda
membaca atau menulis. Banyak Sumba berjalan mengiringkan
gulang-gulang menuju kamar Ayahanda yang sejak malam itu
menjadi tempat dia belajar tentang kenegaraan.
"Wah, Raden sudah boleh belajar di ruangan Ayahanda.
Sebentar lagi, Kota Medang mengirimkan calon menteri kerajaan
ke Pakuan Pajajaran," kata gulang-gulang itu sambil
mengerling kepada Banyak Sumba di dalam gelap senja»
"Oh, begitu?" ujar Banyak Sumba menjawab kelakar
gulang-gulang itu dengan pura-pura tak acuh.
"Raden, kalau nanti pergi ke Pakuan Pajajaran untuk
menduduki jabatan menteri kerajaan, bawalah Emang sebagai
salah seorang yang mengantarmu. Ingin sekali Emang melihat
keramaian ibu kota Pakuan yang begitu banyak diceritakan
dan dikagumi orang."

"Apakah Emang yakin,- saya akan jadi menteri kerajaan?"
tanya Banyak Sumba, masih juga tak acuh.
"Mengapa tidak? Raden Jaluwuyung telah menjadi
puragabaya paling hebat, sesuai dengan rencana Ayahanda.
Dan Raden Sumba direncanakan menjadi menteri kerajaan
dari keluarga Banyak Citra ini. Apa yang tidak mungkin bagi
Ayahanda? Beliau akan mendidikmu menjadi menteri paling
hebat."
Banyak Sumba mengangkat bahunya. Ia tidak tahu apa
yang harus dikatakannya. Menjadi menteri atau tidak menjadi
menteri bukan soal besar baginya. Ia tidak tahu apakah
menjadi menteri itu menyenangkan atau tidak. Akan tetapi,
kalau hal itu akan menyenangkan Ayahanda, tentu saja ia
harus berusaha sebaik-baiknya untuk mencapai cita-cita itu.
Bagaimanapun, Banyak Sumba mengetahui bahwa Ayahanda
bukanlah orang yang dapat ditentang kehendaknya. Lagi pula,
seorang anak tidak boleh menentang orangtuanya.
Demikianlah pelajaran yang diterimanya. Demikian pula yang
diketahuinya dari pengalaman. Kakanda Jaluwuyung sering
sekali menjadi korban kemurkaan Ayahanda karena mencoba
menentang kehendaknya. Itulah sebabnya ia merasa tidak ada
pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak Ayahanda. Ia pun
yakin, kehendak Ayahanda tidak akan membawanya ke arah
yang buruk.
Sementara termenung demikian, mereka sudah sampai di
depan ruangan Ayahanda. Banyak Sumba mendahului gulanggulang
yang membawa kotak itu, lalu membukakan pintu
perlahan-lahan. Gulang-gulang itu masuk, lalu meletakkan
kotak di tempat yang diisyaratkan Banyak Sumba. Setelah itu,
gulang-gulang menyembah ke arah Ayahanda yang tidak
mengangkat muka dari tumpukan lontar yang ada di
hadapannya. Setelah gulang-gulang itu keluar, Banyak Sumba
mulai duduk menghadapi kotaknya. Ia duduk bersila di atas
permadani, memandangi ayahandanya.

Tak lama kemudian, Ayahanda bangkit. Dengan dua buah
kotak lontar di tangan, beliau berjalan ke arahnya. Ayahanda
Banyak Citra membungkuk, meletakkan kedua buah lontar itu
di atas meja Banyak Sumba. Bau cendana yang harum terisap
oleh Banyak Sumba. Tentu kotak lontar itu terbuat dari kayu
yang mahal dan isi kotak itu merupakan naskah-naskah
tentang ilmu-ilmu mulia. Makin yakin Banyak Sumba bahwa ia
harus belajar dengan sungguh-sungguh. Kalau Ayahanda
begitu bersungguh-sungguh menghadapinya, apalagi dia, anak
yang harus berbakti kepada orangtuanya.
"Sumba," tiba-tiba Ayahanda berkata, "leluhur kita adalah
menteri-menteri kerajaan atau para pahlawan, puragabaya
atau laksamana. Engkau anggota wangsa Banyak Citra.
Engkau harus merencanakan bagaimana membaktikan dirimu
pada kerajaan. Karena Kakanda Jaluwuyung telah menjadi
puragabaya, puragabaya yang baik pula, kupilihkan engkau
pendidikan negarawan. Sejak malam ini, pelajarilah lontar
yang ada dalam kotak-kotak itu. Kalau ada kesukaran,
bertanyalah kepadaku. Kita akan banyak berbincang-bincang
tentang isi kotak-kotak itu."
"Baik, Ayahanda," ujar Banyak Sumba.
"Sekarang, mulailah pelajari kotak yang sebelah kiri.
Ayahanda akan berada di sini mengerjakan tulisan-tulisan ini,"
kata Ayahanda pula sambil kembali menunduk, menghadapi
tumpukan lontar yang ada di hadapan beliau.
Dengan berhati-hati, Banyak Sumba membuka kotak lontar
yang sebelah kiri. Begitu kotak itu terbuka, bau kayu cendana
yang lebih semerbak tersebar ke seluruh kamar. Dari lontar
pertama, yang terbaca oleh Banyak Sumba adalah dua patah
kata yang ditulis dengan bagus sekali "Sang Negarawan".
Akan tetapi, baru saja ia membuka lontar yang pertama dan
mulai membaca lembar lontar yang kedua, dari luar benteng
terdengar suara hiruk pikuk disusul dengan langkah gulangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gulang yang berisik di atas lantai batu benteng menuju
ruangan.
Banyak Sumba mengangkat mukanya, tampak olehnya
ayahanda pun mengangkat muka. Dalam sekilat, Banyak
Sumba ingat kepada rombongan penunggang kuda yang
datang ke arah Kota Medang. Firasat buruk menyentuh
hatinya kembali. Adakah kampung-kampung di wilayah
Medang yang diserang gerombolan perampok? Atau adakah
harimau menerkam orang? Atau naga yang keluar dari Hutan
Larangan dan memangsa berpuluh-puluh penduduk kampung,
seperti pernah terjadi di zaman Nenckanda Banyak Citra yang
ketiga? Barangkali ada kebakaran hutan, malapetaka yang
paling ditakuti oleh binatang dan manusia? Segala pikiran
buruk membayang dalam hati Banyak Sumba, tetapi tidak
lama, karena gulang-gulang sudah tiba di pintu dan
menyembah.
"Para tamu dari Kutabarang dba dan menunggu di ruang
tengah," kata gulang-gulang itu. Wajah Ayahanda yang
angker bertambah kelam, mungkin segala pikiran buruk
membayang pula dalam hati beliau. Ayahanda bangkit, lalu
meninggalkan ruangan diiring oleh gulang-gulang menuju
istana.
Setelah termenung sebentar, dan dengan hati yang masih
gelisah, Banyak Sumba mulai membuka lontar halaman kedua.
Demikianlah sabda Sang Maha Budiman bahwa
sesungguhnya tiada yang kuasa selain Sang Hiang Tunggal,
yang mencurahkan restu-Nya kepada anak negeri untuk
mengurus diri mereka, bersaudara dalam kasih sayang. Para
petani pergilah ke bukit, nelayan ke lautan. Pedagangpedagang
gelarkan tikar kalian di pasar-pasar, perwiraperwira,
berdirilah di perbatasan kerajaan. Sedangkan dari
mereka Sang Hiang Tunggal akan menetapkan seorang raja,
ia yang paling budiman, ia yang tidak membutuhkan apa-apa

selain kesempatan untuk mencintai rakyatnya. Yang tidak
takut apa-apa, selain takut rakyatnya akan menderita....
Belum habis Banyak Sumba membaca, tiba-tiba
didengarnya sayup-sayup suara jeritan. Banyak Sumba
menajamkan pendengarannya. Suara itu terdengar dari arah
istana. "Apakah yang terjadi?" tanya Banyak Sumba dalam
hati, jantungnya berdetak dengan cepat. Kemudian, suara
jeritan panjang mengikuti, diiringi suara tangisan lainnya.
Suara yang makin lama makin keras itu membangkitkan
Banyak Sumba dari tempat duduknya. Ia kemudian berjalan
ke luar. Ketika suara tangis makin nyaring, ia berlari di atas
dinding benteng.
Di atas dinding benteng, gulang-gulang berkumpul,
bercakap-cakap dalam bisikan. Banyak Sumba berlari melewati
mereka. Karena asyik bercakap-cakap, tak ada seorang pun di
antara gulang-gulang itu yang melihat dia lewat.
"Sudah seminggu ia meninggal, kalau begitu," kata seorang
gulang-gulang. Mendengar itu, Banyak Sumba lari. Siapakah
yang meninggal? Siapakah yang ditangisi wanita-wanita itu?
Banyak Sumba makin mempercepat larinya. Beberapa tangga
yang gelap dituruninya, tapi ia tidak terpeleset karena tempattempat
itu sudah dikenalnya dengan baik. Kemudian, ia berlari
di lorong-lorong istana. Di lorong-lorong istana pun ia bertemu
dengan para gulang-gulang yang juga bercakap-cakap dengan
berbisik. Jelas bahwa suatu malapetaka telah menimpa isi
Istana Banyak Citra. Dengan pikiran itu, tibalah ia di ruangan
tengah.
Ayahanda duduk seperti patung pada kursi kebesaran
beliau. Para tamu yang ternyata ipar-ipar dan keponakan
Ayahanda yang datang dari Kutabarang, duduk dengan kepala
tertunduk. Sementara itu, di samping Ayahanda, Ibunda
dikerumuni para emban. Semua menangis, melolong-lolong.
Ternyata Ibunda tidak sadarkan diri, demikian pula Ayunda
Yuta Inten yang terbaring di ruangan lain tidak jauh dari

ruangan tengah. Melihat pemandangan yang mengibakan hati
itu, air mata Banyak Sumba tidak dapat ditahan lagi. Ia berdiri
di samping pintu ke ruangan tengah, di bawah bayang-bayang
lampu yang bergerak-gerak. Ia tidak dapat menggerakkan
kakinya. Ia berdiri di sana seperti patung.
Setelah semua wanita diperintahkan mengundurkan diri
sambil membawa Ibunda ke ruangan dalam, berkatalah
Ayahanda.
"Kita harus mengetahui ke mana abu jenazahnya dibawa."
"Ya, tapi abu jenazah disembunyikan oleh pemerintahan
kerajaan karena anggota-anggota wangsa Wiratanu
bermaksud mengambil dan menghinakannya. Bahkan, waktu
jenazah hendak dibakar dengan segala upacara yang pantas
bagi puragabaya, orang-orang Wiratanu menyerang upacara
itu untuk mengambil jenazah. Kabarnya, mereka bersumpah
untuk memberikan jenazah Jaluwuyung kepada anjing
mereka," demikian Pamanda Galih Wangi memberi penjelasan.
Kata 'Jaluwuyung" tiba-tiba seperu geledek di siang bolong
bagi Banyak Sumba. Betulkah apa yang didengarnya, Kakanda
Jaluwuyung telah gugur dan abu jenazahnya diperebutkan
orang? Betulkah ia sudah kehilangan kakak laki-laki yang
menjadi kebanggaannya?
"Kita harus membuat perhitungan dengan wangsa
Wiratanu," kata Ayahanda, "kalau tidak, kita ini bukan anggota
wangsa Banyak Citra."
"Kita perlu menyelidikinya lebih lanjut, mengapa
Jaluwuyung membunuh Raden Bagus Wiratanu," kata
Pamanda Galih Wangi.
"Raden Bagus Wiratanu hanyalah dalih, percayalah
kepadaku. Jantejante anakku berulang-ulang menceritakan
bahwa ia mencurigai pengkhianatan. Ia menduga, para pelatih
berusaha membunuhnya sejak ia di padepokan. Demikian pula
calon-calon puragabaya lainnya. Dan dalam menghadapi

musuh, Jante sering merasa hendak dikorbankan. Itulah yang
berulang-ulang dikatakan kepadaku," kata Ayahanda.
"Kalau begitu, segala kejadian dapat diterangkan. Akan
tetapi, bukan berarti masalah pokok dapat dijawab. Mulamula,
Kutabarang kedatangan sepasukan orang-orang dari
Kuta Kiara yang hendak menuntut balas kematian Raden
Bagus Wiratanu. Kemudian, datang rombongan puragabaya
ini, katanya untuk mencegah perbuatan-perbuatan onar dari
pihak wangsa Wiratanu. Akan tetapi, nyatanya mereka datang
untuk membunuh Jante, sejalan dan setujuan dengan maksud
wangsa Wiratanu. Hanya ada satu soal, mengapa mereka
sejak awal hendak membunuh Jante?"
"Karena ia puragabaya yang terlalu hebat, ia puragabaya
keturunan Banyak Citra. Ia dianggap berbahaya dan karena itu
harus dibunuh oleh calon iparnya sendiri, Anggadipati.
Sungguh orang ini telah menipuku dan menipu anakku, Yuta
Inten. Kalian tahu ia telah bertunangan dengan Yuta Inten,"
sambung Ayahanda sambil menundukkan kepala. Ketika beliau
mengangkat kepala, kembali tampak oleh Banyak Sumba,
betapa dalam sekejap beliau berubah seperti bertambah tua
beberapa tahun.
"Ya, setiap orang mengatakan, hanya Puragabaya Anggadipati-
lah tandingan Jante. Oleh karena itu, ia yang
ditugaskan untuk menghadapinya."
"Kalau tidak dibantu puragabaya lain, Anggadipati tidak
akan mampu menghadapi Jante," ujar Ayahanda perlahanlahan.
Setelah menarik napas panjang, ia menyambung.
"Kita harus membuat perhitungan dengan setiap orang
yang terlibat dalam peristiwa keji ini. Akan tetapi, pertamatama
kita harus berurusan dengan mereka yang meremehkan
tangan atau senjatanya dengan darah Jante. Keturunan
Banyak Citra tidak boleh gugur tanpa diikuti oleh kematian pengecut-
pengecut itu."

"Peristiwanya belum jelas bagi saya," kata Pamanda Angke.
"Semuanya jelas bagiku," tukas Ayahanda, "ada pihakpihak
yang tidak suka kepada Jante. Pihak-pihak ini
mempergunakan tangan-tangan wangsa Wiratanu untuk
memancing Jante. Jante terpancing, lalu diturunkanlah
Anggadipati dengan pengeroyok lainnya."
"Akan tetapi, sepanjang pengetahuan saya, tidak semudah
itu para puragabaya dapat dipergunakan oleh pihak-pihak
yang tidak suka kepada Jante. Apalagi mengingat Anggadipati
mencintai Yuta Inten. Banyak hal yang belum jelas," sambung
Pamanda Angke.
"Angke!" seru Ayahanda Banyak Citra, "engkau tidak
mengalami sendiri bagaimana bangsawan tertentu dapat
berhati busuk. Aku mengalaminya dengan mata kepalaku
sendiri. Ketika aku hampir diangkat menjadi penguasa Kota
Medang, bukankah nyawaku diancam pula? Sudah lupakah
engkau bagaimana aku dihadang perampok yang hampir
berhasil membunuhku? Apakah kaukira perampok itu bukan
suruhan sainganku sebagai calon penguasa Kota Medang ini?"
"Kalau begitu, entahlah. Akan tetapi, bagiku masih banyak
hal yang gelap. Ada orang-orang di Kutabarang yang
menyatakan bahwa Jante kehilangan pikiran sehatnya. Ada
yang menyatakan bahwa dia ketakutan setelah membunuh
Bagus Wiratanu dalam perkelahian itu, ya, dan banyak lagi”
kata Pamanda Angke. Akan tetapi, sebelum Pamanda Angke
menyelesaikan kata-katanya, Ayahanda menyela.
'Jante berulang-ulang mengatakan kepadaku bahwa
nyawanya terancam. Pihak-pihak tertentu tidak menyukainya
dan berulang-ulang para pelatih di padepokan serta kawankawan
seperguruannya mencoba mencelakakannya."
"Kalau Kakanda yakin, terserahlah. Akan tetapi, saya ...
saya ragu-ragu apakah ...," ujar Paman Angke.

"Soalnya jelas, Jante dibunuh oleh Anggadipati setelah
diumpani oleh Bagus Wiratanu. Kita anggota wangsa Banyak
Citra harus menegakkan kehormatan kita sepantasnya. Yang
setengah hati, dipersilakan menyimpan senjatanya," sambil
berkata demikian, mata Ayahanda berkeliling mengawasi
wajah bangsawan-bangsawan Kota Medang yang hadir satu
per satu.
"Biarkanlah darah kita menjadi dingin lebih dahulu, baru
kita mempersoalkan apa yang akan kita perbuat," kata
Pamanda Galih Wangi setelah lama menundukkan kepala.
Tampak banyak bangsawan yang setuju dengan pendapat itu.
Akan tetapi, Ayahanda menggeram dan marah.
"Seorang anggota keluarga terbunuh tidak pantas disambut
dengan perundingan-perundingan. Kita anggota wangsa
Banyak Citra yang punya harga diri dan aku anggota sulung
wangsa Banyak Citra. Aku bersedia menegakkan kehormatan
keluargaku seorang diri."
Tak ada bangsawan yang berani angkat suara. Itu berarti
pula kehendak Ayahanda menjadi perintah.
WALAUPUN tidak seluruh bangsawan Kota Medang
sependapat dan setuju dengan Ayahanda, pada malam
berikutnya, "Upacara Sumpah Pembalasan Dendam" dilakukan
di tengah-tengah lapangan depan istana. Para bangsawan
pembantu terdekat Ayahanda dalam memerintah Kota
Medang, bangsawan-bangsawan muda sahabat Kakanda Jante
Jaluwuyung, dengan pakaian perang yang gemerlapan dan
senjata lengkap, berkumpul mengelilingi api unggun besar di
tengah lapangan itu. Api unggun itu demikian besar sehingga
suaranya yang gemuruh menyeramkan, sedangkan panasnya
menyengat. Banyak Sumba sudah siap dengan pakaian
kebesarannya. Walaupun semula hati Banyak Sumba kosong
dari segala perasaan karena terkejut mendengar berita yang

tidak disangka-sangka, malam itu—di depan api unggun
raksasa—tiba-tiba ia mengalami sesuatu.
Api unggun yang besar, berkobar-kobar, dan panas adalah
lambang dendam wangsa Banyak Citra terhadap Pangeran
Anggadipati. Sadar akan hal itu, meremanglah bulu roma
Banyak Sumba. Ia meramalkan banyak darah akan mengalir,
banyak nyawa akan melayang karena kematian putra sulung
Ayahanda, Kakanda Jante Jaluwuyung. Kesadaran dan rasa
seram itu bertambah pula ketika ia menyadari bahwa
Ayahanda Banyak Citra yang keras dan pantang menyerah,
orang yang disakiti dalam peristiwa yang menyedihkan itu.
Dendam seorang laki-laki yang keras dan pantang menyerah
akan mengguncangkan Kerajaan Pajajaran sehingga mereka
yang bersalah terhukum dan mereka yang khilaf meminta
maaf. Sebelum itu, Pajajaran akan bergelimang darah, besi,
dan api! Sekali lagi, meremang bulu roma Banyak Sumba.
Sementara Banyak Sumba termenung, ternyata persiapan
upacara sudah selesai. Hampir seluruh penduduk Kota
Medang, para pedagang, petani, tukang-tukang, dan para
bangsawan hadir di tengah lapangan itu. Di babancong
seluruh keluarga Banyak Citra berkumpul, berpakaian gelap
tanda dukacita. Kaum pria berpakaian perang, kaum wanita
berpakaian perkabungan. Di samping kanan Ayahanda yang
duduk di kursi kencana yang ditutupi kain hitam, duduk
Ibunda. Di sebelah kiri, Ayunda Yuta Inten yang tidak dapat
duduk tegak dan harus dipegang para emban karena tak
tahan mengusung beban dukacita. Suara tangis dari arah
kaum wanita kadang-kadang mengeras, kadang-kadang
melemah di antara gemuruh bunyi api unggun.
Setelah beberapa lama orang berhenti berdatangan ke
lapangan itu dan suasana menjadi hening di antara gemuruh
api, berdirilah Ayahanda Banyak Citra. Beliau mengenakan
pakaian kebesaran dan bersenjata lengkap seakan-akan beliau
akan pergi ke medan perang. Beliau berjalan ke depan

babanconghmgga tampak dengan jelas dari semua arah di
dalam terang api unggun itu. Setelah beberapa lama beliau
berdiri di sana, suasana semakin hening. Akhirnya, suara
orang berbicara pun lenyap. Tinggal suara api yang gemuruh
dan gemeletup, seolah-olah suara raksasa atau binatang buas
yang menggeram-geram karena marah.
Dalam keheningan itu, berserulah Ayahanda dengan suara
berat tapi lantang, 'Jante Jaluwuyung, anakku, anak kita
semua. Jante Jaluwuyung, sahabatmu, saudaramu. Jantejaluwuyung
yang mencintai kalian semua, yang akan bersedia
setiap waktu memberikan darahnya seandainya kalian
terancam, seandainya kawan-kawan kalian dan saudarasaudara
kalian dalam bahaya. Jante Jaluwuyung yang
mencintai kota kelahirannya, Kota Medang yang sama-sama
kita bangun dan kita cintai ini, telah tiada.
"Ia telah meninggal.... Dan kita tidak bisa lain, kecuali
mengikhlaskannya kalau itu kehendak Sang Hiang Tunggal.
Jante Jaluwuyung meninggal, tapi ia meninggal tidak secara
wajar. Ia meninggal karena dibunuh.
"Baiklah, kita akan menerima kalau ia dibunuh karena
kesalahannya. Akan tetapi, ia terlalu baik untuk berbuat
kesalahan tanpa minta maaf hingga orang harus
membunuhnya. Dan bagaimana ia dibunuh? Pembunuhnya
bertindak secara pengecut. Ia dibunuh setelah dipancing oleh
seseorang yang bernama Bagus Wiratanu, kemudian
dikeroyok oleh para pengecut. Bukan saja oleh puragabayapuragabaya,
tapi juga oleh pelatihnya. Dalam perkelahian itu,
seseorang yang tak mau kusebut namanya mencabut
nyawanya dengan mendorongnya ke jurang."
Suara menggeram datang dari hadirin, terutama rakyat
biasa yang berdiri di belakang. Mereka para petani, pedagang,
dan tukang-tukang yang sangat kenal dan sangat sayang
kepada para putra Ayahanda Banyak Citra. Mereka
menggeram karena mendengar Jante dibunuh para pengecut.

Ya, Jante yang biasa mereka sebut Den Ageung, yang pada
masa kanak-kanaknya biasa bermain-main di antara mereka,
sekarang sudah dibunuh orang. Mereka menggeram karena
dendam mulai bangkit dalam hati mereka. Mendengar
geraman itu, Ayahanda Banyak Citra berhenti bicara. Setelah
suasana hening kembali, beliau melanjutkan kata-katanya,
"Hanya itulah yang akan kusampaikan kepada kalian, anak
sulungku telah tiada. Kuserahkan pada kasih sayang kalian
agar rohnya diterima di Buana Padang dengan baik. Semoga
anakku, anak kalian, Jante Jaluwuyung dapat tidur dengan
nyenyak. Kuminta doa kalian untuk kepergiannya."
Untuk pertama kali dalam kehidupannya, Banyak Sumba
mendengar betapa suara Ayahanda gemetar karena
kesedihan. Suara laki-laki yang keras itu baru kali ini gemetar
dan tidak disadarinya, dada Banyak Sumba pun mulai
berguncang. Banyak Sumba menangis selama dua hari sejak
ia mengetahui bahwa Jante Jaluwuyung dibunuh orang.
Tiba-tiba, terdengar teriakan dari hadirin, teriakan-teriakan
yang mula-mula tidak jelas terdengar, tetapi akhirnya dapat
ditangkap dengan terang. Teriakan-teriakan itu adalah
teriakan tuntutan balas dendam. Bangsawan-bangsawan
muda dengan pakaian perang dan sikap yang gagali perkasa
maju ke depan. Mereka mengucapkan sumpah balas dendam
dan berjanji untuk menyerahkan nyawanya demi terbunuhnya
para pembunuh Jante Jaluwuyung. Kemudian, rakyat biasa
pun berbuat demikian, ingar-bingarlah lapangan, seolah-olah
seluruh hadirin mabuk atau menjadi gila karena marah.
Dalam ingar-bingar itu, Banyak Sumba maju, melemparkan
badik hadiah dari Pangeran Anggadipati. Demikian juga
Ayunda Yuta Inten, melemparkan segala perhiasan yang
diterima dari tunangannya. Kemudian, Ayunda pingsan untuk
ketiga kalinya dan terpaksa dipapah menjauh dari api yang
berkobar-kobar buas itu. Sementara itu, tangisan menjadi
keras kembali, teriakan-teriakan menggetarkan langit malam

itu. Bendera-bendera merah dan hitam dikibarkan, demikian
juga umbul-umbul tua yang telah sobek-sobek, umbul-umbul
keramat yang telah mengalami beberapa kali peperangan.
Banyak Sumba yang mula-mula tidak mengerti, akhirnya
hanyut juga dalam arus perasaan yang menguasai hadirin.
Kesedihan, kemarahan, kebencian, dan tekad membalas
dendam bergalau dalam dadanya.
UPACARA selesai setelah malam sangat larut. Bangsawanbangsawan
kebanyakan tidak terus pulang, tetapi masuk
istana menemani Ayahanda. Banyak Sumba masuk ke
ruangannya, lalu membaringkan badannya yang lelah. Akan
tetapi, sampai kokok ayam jantan terdengar untuk pertama
kali, matanya tidak juga hendak terpejam. Peristiwa yang
berturut-turut dialaminya mengisi kesadarannya. Di samping
itu, dari arah ruangan tengah terdengar percakapan atau
perundingan orang-orang tua. Sedangkan dari kaputren
kadang-kadang terdengar 6ayup-sayup suara tangis. Di
lorong, para gulang-gulang yang juga tidak hendak tidur, terus
berbincang-bincang. Tentu saja tentang kematian Kakanda
Jante Jaluwuyung. Ketika hari hampir pagi, barulah Banyak
Sumba tertidur. Akan tetapi, tidurnya gelisah oleh berbagai
impian buruk. Suatu kali, impian buruk itu begitu
mendebarkan jiwanya sehingga ia terbangun, lalu duduk di
atas balai-balainya.
Ia membukakan tingkap, melihat kabut yang masih
menyelimuti pepohonan di taman kaputren dan dinding
benteng yang membayang dari jauh. Menara pengintai
benteng pun masih belum tampak. Udara dingin masuk
ruangannya, menyegarkan badan yang sangat lelah. Ia pun
bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke luar ruangan yang
masih sangat sepi. Ia berjalan di lorong istana, mengikuti
ujung jari kakinya.

Suatu ketika, dikenangnya Pangeran Anggadipati, tunangan
Ayunda Yuta Inten yang ternyata telah membunuh Kakanda
Jante Jaluwuyung. Alangkah lemah lembut dan manis tingkah
laku dan tutur kata puragabaya, tapi alangkah jahatnya
perangai yang ada di belakang tingkah laku dan keramahtamahan
itu. Dan alangkah pandainya pula puragabaya itu
menyembunyikan kebusukan hatinya. Ketika pertama kali
mendengar bahwa pembunuh Kakanda Jaluwuyung adalah
Pangeran Anggadipati, sukar baginya untuk percaya. Tidak
mungkin, seribu kali tidak mungkin, pikirnya. Akan tetapi, para
bangsawan yang datang dari Kutabarang berulang-ulang
menyatakan begitu. Di samping itu, ada satu hal yang
menyebabkan ia percaya akan berita itu, yaitu penjelasan
Ayahanda Banyak Citra kepada para tamu.
Ayahanda menyatakan, Kakanda Jaluwuyung pernah
mengatakan baHwa puragabaya-puragabaya lain dan bahkan
para pelatih mencari kesempatan untuk membunuhnya. Hal
itu dapat dimengerti karena Kakanda Jaluwuyung seorang
puragabaya yang sangat pandai dan hebat. Memang, dalam
segala hal, Kakanda Jaluwuyung selalu menjadi yang terhebat.
Banyak Sumba ingat ketika dalam perlombaan memanah,
naik kuda, dan bergumul dengan putra-putra bangsawan,
Kakanda Jaluwuyung selalu unggul. Ia sangat kagum kepada
Kakanda Jaluwuyung, ia memuja Kakanda Jaluwuyung. Masuk
akal kalau banyak orang iri kepadanya. Kakandajaluwuyung
dipancing untuk marah, kemudian membunuh Raden Bagus
Wiratanu. Setelah kematian Raden Bagus Wiratanu inilah, para
puragabaya yang iri hati menyerangnya secara pengecut.
Seperti anjing-anjing pengecut menyerang babi hutan jantan
yang perwira. Alangkah pengecutnya! pikir Banyak Sumba,
dan hadnya pun mulai panas. Tanpa disadarinya, ia berjalan
bertambah cepat karena hatinya panas, walaupun arah
langkahnya tidak pasti.

Tiba-tiba, ia sudah berada di ruangan tengah, tempat
semalam Ayahanda mengadakan pembicaraan dengan para
tamu dan para bangsawan Kota Medang. Ternyata, beberapa
orang gulang-gulang masih tetap berjaga di setiap pintu
ruangan. Dan ketika Banyak Sumba berpaling ke arah kursi
besar ayahandanya, ternyata beliau masih duduk di sana.
Dari kelopak matanya yang cekung dan dari biji mata beliau
yang kemerah-merahan, Banyak Sumba sudah dapat mengira
bahwa Ayahanda tidak tidur sepanjang malam. Ia memandang
orangtuanya yang duduk dengan kedua belah tangan
bertelekan pada meja panjang di ruangan itu. Ia melihat
betapa punggung Ayahanda yang agak bungkuk itu memberi
kesan seolah-olah Ayahanda seekor elang tua, ya, seekor
elang yang sedang termenung karena marah dan sedih.
Banyak Sumba tidak bergerak dari ambang pintu. Ia
memandang Ayahanda dengan kebingungan, tidak tahu yang
akan diperbuatnya.
Ayahanda Banyak Citra berpaling, lalu memberi isyarat
kepadanya supaya mendekat. Banyak Sumba melangkah raguragu
karena sebelumnya ia tidak pernah dipanggil menghadap
di ruangan tengah itu. Ayahanda memberinya isyarat kembali,
seolah-olah menyatakan bahwa ia tidak usah ragu-ragu.
Banyak Sumba pun segera datang dan berdiri di sebelah kiri
meja panjang dekat ujung tempat Ayahanda duduk.
"Duduklah," ujar Ayahanda. Banyak Sumba duduk di
bangku yang sebelumnya tidak pernah disentuhnya karena
hanya dipergunakan oleh orang tua dan bangsawan. Ia duduk
dengan kaku sekali. Ayahanda melihat hal itu, kemudian
berkata, "Engkau sekarang anak laki-laki terbesar dalam
keluarga Banyak Citra. Oleh karena itu, kau berhak duduk di
sana. Kakakmu sudah dada, engkau gantinya," kata
Ayahanda. Terdengar oleh Banyak Sumba, suara Ayahanda
bergetar seperti malam sebelumnya. Banyak Sumba
menundukkan kepala.

"Sumba, Anakku, aku meramalkan, kehidupan kita akan
berubah. Mungkin kita harus menderita, tetapi bukan anggota
wangsa Banyak Citra kalau tidak berani menderita dan
berkorban untuk kehormatannya. Aku tahu, engkau seorang
yang benar-benar berdarah wangsa Banyak Citra. Oleh karena
itu, segala perubahan yang akan kita alami tidak akan
memenga-ruhimu. Justru karena penderitaan, engkau akan
menjadi anggota wangsa Banyak Citra yang sebenarnya.
Anakku, Sumba, Sang Hiang Tunggal menasibkan
keturunan wangsa Banyak Citra menderita. Akan tetapi, aku
yakin, itu karena Sang Hiang Tunggal mengetahui bahwa
keturunan Banyak Citra adalah orang-orang yang jujur, tabah,
dan berani. Wangsa Banyak Citra adalah orang-orang yang
menempuh jalan lurus dalam hidupnya, walaupun jalan itu
sukar.
Engkau seorang keturunan Banyak Citra. Engkau sekarang
putra sulungku."
Sambil berkata demikian, Ayahanda bangkit dari tempat
duduknya, lalu memegang pundak Banyak Sumba. Banyak
Sumba bangkit dan mereka pun berjalan ke ruangan khusus
Ayahanda yang ada di dekat dinding benteng, tempat
sebelumnya mereka duduk bersama. Sepanjang lorong,
tangan Ayahanda tidak lepas dari pundak Banyak Sumba. Baru
pertama kali itulah, Ayahanda berlaku demikian. Biasanya,
tidak pernah Ayahanda memperlihatkan kasih sayang dan
kemesraan seperti itu, bahkan kepada anak-anak yang masih
kecil atau putri-putrinya. Ayahanda juga jauh dari anakanaknya.
Akan tetapi, hari itu sangat terasa oleh Banyak
Sumba bahwa Ayahanda berubah. Dukacita yang merupakan
pukulan bagi orangtua karena kehilangan putra sulungnya
telah memengaruhi tingkah laku Ayahanda.
Ketika mereka di ruangan khusus, kotak lontar yang dua
buah dan yang kemarin malam diletakkan Banyak Sumba,
masih terletak di sana. Setiba di sana, Ayahanda menunduk,

lalu mengambil kedua buah kotak itu. Tidak disangka-sangka,
Ayahanda mengambil lampu minyak kelapa yang masih
menyala di sudut ruangan, lalu membakar isi kedua kotak itu.
Banyak Sumba melihat kejadian itu dengan keheranan, tetapi

tak sepatah kata pun diucapkannya.
 
;