Pertanyaan itu menimbulkan kecemasan
dalam dirinya. Bagaimana kalau ia tidak
menjadi orang yang
berarti di mata para bangsawan dan rakyat
Pajajaran?
Bagaimana kalau mengecewakan Ayahanda Banyak
Citra?
"Anakku, Banyak Sumbaaku yakin, engkau
akan menjadi
orang yang benar-benar membawa sifat-sifat
wangsa Banyak
Citra," demikian Ayahanda berkata,
membangunkan Banyak
Sumba dari renungannya.
"Mudah-mudahan, Sang Hiang Tunggal
merestui,
Ayahanda," ujar Banyak Sumba.
"Sekarang pergilah, ambillah
perlengkapanmu. Suruh
gulang-gulang membawanya ke sini agar kau
tidak harus
membungkuk saat membaca lontar-lontar
ini," ujar Ayahanda
sambil melihat-lihat setumpukan peti lontar
di samping beliau.
"Di tempat hamba ada sebuah peti besar
yang biasa hamba
pergunakan. Bolehkah hamba menggunakannya di
ruangan
ini?"
"Cari yang lebih baik. Sekarang engkau
sudah besar.
Engkau seorang bangsawan," kata
Ayahanda pula.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi. Ia
menyembah
dengan hormat, lalu mengundurkan diri.
KETIKA itu hari menuju senja, beribu-ribu
keluang terbang
ke hutan-hutan yang kelam di sebelah barat.
Banyak Sumba
berjalan menyusuri jalan di atas dinding
benteng, menuju
bagian kaputren Puri Banyak Citra. Ia
sengaja menyusur
benteng karena di sana obor-obor menyala
terang. Sambil
berjalan di atas benteng, ia memandang ke
sekeliling, ke
langit yang berangsur berubah warna, dari
Jingga menjadi
merah tua. Beberapa orang gulang-gulang dan
jagabaya yang
mendapat giliran jaga malam di atas benteng,
menegurnya
dengan hormat. Banyak Sumba menyahut dengan
hormat
pula, sesuai dengan kedudukannya sebagai
putra penguasa
Kota Medang.
Ketika Banyak Sumba melayangkan pandangannya
ke
perhumaan dan gundukan-gundukan kampung yang
tersebar
di sebelah barat Kota Medang, di antara
kelap-kelip cahaya
obor yang tampak dari jauh, tampaklah tiga
buah obor besar
yang bergerak dengan cepat ke arah kota.
Ketika Banyak
Sumba menajamkan pandangannya menembus
remang senja,
terlihat tiga buah obor besar itu bergerak
sepanjang jalan
besar yang menuju gerbang Kota Medang.
Aneh, ketika melihat ada orang yang
tergesa-gesa menuju
kota pada waktu senja seperti itu,
jantungnya seolah-olah
terhenti. Entah apa sebabnya, hatinya
tiba-tiba cemas, kalaukalau
para pendatang itu membawa berita yang tidak
dikehendaki. Akan tetapi, kecemasan yang
tidak masuk akal
itu segera diusir dari pikirannya. Ia mulai
memerhatikan para
penunggang kuda yang mendekat dengan obor
berkobarkobar.
Di belakang pembawa obor itu, kira-kira
sepuluh
penunggang kuda memacu kuda mereka dengan
cepat sekali.
"Paman," kata Banyak Sumba kepada
seorang gulanggulang
yang juga memandang ke arah para pendatang
yang
makin lama makin dekat, "tampaknya para
penunggang kuda
itu bangsawan. Saya melihat pakaian kuda
mereka
gemerlapan di bawah obor itu."
"Matamu tajam sekali, Raden," kata
gulang-gulang, "Paman
tidak dapat melihat pakaian kuda dari tempat
ini."
"Lihat, mereka bangsawan," kata
Banyak Sumba sambil
menunjuk ke arah para pendatang yang makin
dekat.
Memang, dari kuda yang berpakaian gemerlap,
orang dapat
menduga bahwa rombongan tamu Kota Medang itu
para
bangsawan dengan para pengiringnya.
"Ya, jelas sekarang, mereka orang-orang
besar," kata
gulang-gulang itu, "tapi ada urusan
penting apa malam-malam
mereka memacu kuda ke sini?"
Pertanyaan itu mengembalikan rasa cemas yang
aneh
dalam diri Banyak Sumba. Ya, ada urusan apa
rombongan itu
datang malam-malam secara tergesa-gesa?
Sambil
merenungkan pertanyaan itu, Banyak Sumba
terus berjalan,
kemudian menuruni tangga yang diterangi obor
dari tangan
gulang-gulang yang mengantarnya. Setelah
berada di bawah
benteng yang terang benderang oleh
lampu-lampu minyak
kelapa, ia berjalan tergesa ke ruangan besar
di kaputren. Di
sana, Ayunda Yuta Inten sedang menyulam
dikelilingi putriputri
bangsawan yang juga sedang menjahit atau
menyulam.
"Biasanya, engkau tidak suka datang ke
tempat gadisgadis,
Sumba. Ada apa?" tanya Yuta Inten.
"Hamba perlu kotak, Yunda. Ayahanda
memerintahkan
agar hamba membawanya ke ruangan
beliau."
"Baiklah, pilih salah satu di ruangan
kanan. Suruhlah
seorang gulang-gulang membawanya. Jangan
ambil jalan
memotong, lebih baik lewat benteng supaya
terang."
"Ya, hamba pun lewat benteng waktu
kemari," ujar Banyak
Sumba.
Tiba-tiba, ia ingat bangsawan-bangsawan
berkuda itu. Ia
tertegun sebentar di ambang ruangan besar
sebelah kanan,
tempat gadis-gadis menyulam. Ia berpaling
kepada Putri Yuta
Inten, lalu berkata, "Ayunda, hamba
melihat serombongan
bangsawan penunggang kuda menuju gerbang
kota. Mungkin
para tamu kita."
Yuta Inten tegak dari duduknya dan dengan
penuh
penasaran bertanya, "Sumba, apakah kau
melihat salah
seorang di antara mereka berkuda
putih?" sambil bertanya
demikian, sulaman di tangan Putri Yuta Inten
jatuh dari
pangkuannya.
"Ayunda, hari terlalu gelap dan hamba
tidak memerhaT
tikannya," jawab Banyak Sumba.
Keinginan hendak menggoda
Ayunda Yuta Inten terbit dalam hatinya.
Ayunda Yuta Inten sudah bertunangan dengan
Pangeran
Anggadipati, sahabat seperguruan Kakanda
Jante Jalawuyung.
Banyak Sumba beranggapan bahwa gadis yang
jatuh cinta itu
seolah-olah kembali menjadi anak kecil. Ya,
anak kecil yang
dapat mainan baru. Begitulah
sekurang-kurangnya Ayunda
Yuta Inten di mata Banyak Sumba waktu itu.
Gadis itu tidak
dapat melepaskan segala pikiran dari
tunangannya. Segala
tingkah lakunya seolah-olah ditujukan kepada
tunangannya
yang berada di Pakuan. Ayunda Yuta Inten
bersolek,
menyulam, bernyanyi kecil, dan belajar
menari; semuanya itu
ditujukan kepada Pangeran Anggadipati.
Demikian juga segala
percakapan Ayunda, apa pun yang menjadi
bahan
pembicaraannya dan siapa pun yang diajaknya
bicara, baik
gadis-gadis bangsawan maupun Banyak Sumba,
akhir
percakapan akan kembali kepada Pangeran
Anggadipati.
Alangkah anehnya seorang gadis, walaupun
gadis itu
kakaknya sendiri, demikian anggapan Banyak
Sumba. Karena
keanehan itu, ia senang menggoda Ayunda Yuta
Inten.
Ditambah pula, Ayunda Yuta Inten suka
menggodanya. Itulah
sebabnya, Banyak Sumba tidak berterus terang
kepada Putri
Yuta Inten bahwa dia tidak melihat kuda
putih, kuda yang
biasa ditunggangi para pura-gabaya.
Karena Banyak Sumba tidak memberikan jawaban
pasti
tentang warna kuda tamu-tamu yang datang,
timbullah
harapan Yuta Inten untuk dapat bertemu
dengan kekasihnya.
Ia bangkit dari atas tikar tempat duduknya,
lalu berjalan ke
arah Banyak Sumba yang berdiri di ambang
pintu.
"Sumba, walaupun gelap, bulu kuda putih
dapat kaulihat.
Apakah secara samar-samar tidak kaulihat
kuda putih?"
"Hamba tidak yakin, Ayunda, tapi
mungkin saja ada kuda
putih," jawab Banyak Sumba.
"Kaulihat warna putih berkelebat dalam
gelap?"
"Mungkin saja, Ayunda, tetapi mungkin
yang putih pakaian
penunggangnya," jawabnya.
"Sumba! Kaulihat penunggang kuda itu
berpakaian putih?
Tahukah engkau bahwa puragabaya itu
berpakaian putih di
balik pakaian malamnya yang hitam? Sumba,
kaulihat...
kaulihat?" Putri Yuta Inten tidak
melanjutkan perkataannya.
Gadis itu segera melangkah menuju
gadis-gadis lain,
kemudian mereka memasuki ruangan lain dengan
tergesa.
Banyak Sumba tersenyum ketika membayangkan
Ayunda Yuta
Inten akan bersolek dibantu gadis-gadis itu.
Sungguh, gadis
yang sedang diamuk rindu itu mudah sekali ditipu
atau menipu
dirinya sendiri, pikir Banyak Sumba seraya
memasuki ruangan
lain.
Setelah kotak itu ditemukan, Banyak Sumba
memanggil
seorang gulang-gulang. Gulang-gulang itu
disuruhnya
mengangkat kotak dan membawanya ke ruangan
Ayahanda
membaca atau menulis. Banyak Sumba berjalan
mengiringkan
gulang-gulang menuju kamar Ayahanda yang
sejak malam itu
menjadi tempat dia belajar tentang
kenegaraan.
"Wah, Raden sudah boleh belajar di
ruangan Ayahanda.
Sebentar lagi, Kota Medang mengirimkan calon
menteri kerajaan
ke Pakuan Pajajaran," kata
gulang-gulang itu sambil
mengerling kepada Banyak Sumba di dalam
gelap senja»
"Oh, begitu?" ujar Banyak Sumba
menjawab kelakar
gulang-gulang itu dengan pura-pura tak acuh.
"Raden, kalau nanti pergi ke Pakuan
Pajajaran untuk
menduduki jabatan menteri kerajaan, bawalah
Emang sebagai
salah seorang yang mengantarmu. Ingin sekali
Emang melihat
keramaian ibu kota Pakuan yang begitu banyak
diceritakan
dan dikagumi orang."
"Apakah Emang yakin,- saya akan jadi
menteri kerajaan?"
tanya Banyak Sumba, masih juga tak acuh.
"Mengapa tidak? Raden Jaluwuyung telah
menjadi
puragabaya paling hebat, sesuai dengan
rencana Ayahanda.
Dan Raden Sumba direncanakan menjadi menteri
kerajaan
dari keluarga Banyak Citra ini. Apa yang
tidak mungkin bagi
Ayahanda? Beliau akan mendidikmu menjadi
menteri paling
hebat."
Banyak Sumba mengangkat bahunya. Ia tidak
tahu apa
yang harus dikatakannya. Menjadi menteri
atau tidak menjadi
menteri bukan soal besar baginya. Ia tidak
tahu apakah
menjadi menteri itu menyenangkan atau tidak.
Akan tetapi,
kalau hal itu akan menyenangkan Ayahanda,
tentu saja ia
harus berusaha sebaik-baiknya untuk mencapai
cita-cita itu.
Bagaimanapun, Banyak Sumba mengetahui bahwa
Ayahanda
bukanlah orang yang dapat ditentang
kehendaknya. Lagi pula,
seorang anak tidak boleh menentang
orangtuanya.
Demikianlah pelajaran yang diterimanya.
Demikian pula yang
diketahuinya dari pengalaman. Kakanda
Jaluwuyung sering
sekali menjadi korban kemurkaan Ayahanda
karena mencoba
menentang kehendaknya. Itulah sebabnya ia
merasa tidak ada
pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak
Ayahanda. Ia pun
yakin, kehendak Ayahanda tidak akan
membawanya ke arah
yang buruk.
Sementara termenung demikian, mereka sudah
sampai di
depan ruangan Ayahanda. Banyak Sumba
mendahului gulanggulang
yang membawa kotak itu, lalu membukakan
pintu
perlahan-lahan. Gulang-gulang itu masuk,
lalu meletakkan
kotak di tempat yang diisyaratkan Banyak
Sumba. Setelah itu,
gulang-gulang menyembah ke arah Ayahanda
yang tidak
mengangkat muka dari tumpukan lontar yang
ada di
hadapannya. Setelah gulang-gulang itu
keluar, Banyak Sumba
mulai duduk menghadapi kotaknya. Ia duduk
bersila di atas
permadani, memandangi ayahandanya.
Tak lama kemudian, Ayahanda bangkit. Dengan
dua buah
kotak lontar di tangan, beliau berjalan ke
arahnya. Ayahanda
Banyak Citra membungkuk, meletakkan kedua
buah lontar itu
di atas meja Banyak Sumba. Bau cendana yang
harum terisap
oleh Banyak Sumba. Tentu kotak lontar itu
terbuat dari kayu
yang mahal dan isi kotak itu merupakan
naskah-naskah
tentang ilmu-ilmu mulia. Makin yakin Banyak
Sumba bahwa ia
harus belajar dengan sungguh-sungguh. Kalau
Ayahanda
begitu bersungguh-sungguh menghadapinya,
apalagi dia, anak
yang harus berbakti kepada orangtuanya.
"Sumba," tiba-tiba Ayahanda
berkata, "leluhur kita adalah
menteri-menteri kerajaan atau para pahlawan,
puragabaya
atau laksamana. Engkau anggota wangsa Banyak
Citra.
Engkau harus merencanakan bagaimana
membaktikan dirimu
pada kerajaan. Karena Kakanda Jaluwuyung
telah menjadi
puragabaya, puragabaya yang baik pula,
kupilihkan engkau
pendidikan negarawan. Sejak malam ini,
pelajarilah lontar
yang ada dalam kotak-kotak itu. Kalau ada
kesukaran,
bertanyalah kepadaku. Kita akan banyak
berbincang-bincang
tentang isi kotak-kotak itu."
"Baik, Ayahanda," ujar Banyak
Sumba.
"Sekarang, mulailah pelajari kotak yang
sebelah kiri.
Ayahanda akan berada di sini mengerjakan
tulisan-tulisan ini,"
kata Ayahanda pula sambil kembali menunduk,
menghadapi
tumpukan lontar yang ada di hadapan beliau.
Dengan berhati-hati, Banyak Sumba membuka
kotak lontar
yang sebelah kiri. Begitu kotak itu terbuka,
bau kayu cendana
yang lebih semerbak tersebar ke seluruh
kamar. Dari lontar
pertama, yang terbaca oleh Banyak Sumba
adalah dua patah
kata yang ditulis dengan bagus sekali "Sang
Negarawan".
Akan tetapi, baru saja ia membuka lontar
yang pertama dan
mulai membaca lembar lontar yang kedua, dari
luar benteng
terdengar suara hiruk pikuk disusul dengan
langkah gulangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gulang yang berisik di atas lantai batu
benteng menuju
ruangan.
Banyak Sumba mengangkat mukanya, tampak
olehnya
ayahanda pun mengangkat muka. Dalam sekilat,
Banyak
Sumba ingat kepada rombongan penunggang kuda
yang
datang ke arah Kota Medang. Firasat buruk
menyentuh
hatinya kembali. Adakah kampung-kampung di
wilayah
Medang yang diserang gerombolan perampok?
Atau adakah
harimau menerkam orang? Atau naga yang
keluar dari Hutan
Larangan dan memangsa berpuluh-puluh
penduduk kampung,
seperti pernah terjadi di zaman Nenckanda
Banyak Citra yang
ketiga? Barangkali ada kebakaran hutan,
malapetaka yang
paling ditakuti oleh binatang dan manusia?
Segala pikiran
buruk membayang dalam hati Banyak Sumba,
tetapi tidak
lama, karena gulang-gulang sudah tiba di
pintu dan
menyembah.
"Para tamu dari Kutabarang dba dan
menunggu di ruang
tengah," kata gulang-gulang itu. Wajah
Ayahanda yang
angker bertambah kelam, mungkin segala
pikiran buruk
membayang pula dalam hati beliau. Ayahanda
bangkit, lalu
meninggalkan ruangan diiring oleh
gulang-gulang menuju
istana.
Setelah termenung sebentar, dan dengan hati
yang masih
gelisah, Banyak Sumba mulai membuka lontar
halaman kedua.
Demikianlah sabda Sang Maha Budiman bahwa
sesungguhnya tiada yang kuasa selain Sang
Hiang Tunggal,
yang mencurahkan restu-Nya kepada anak
negeri untuk
mengurus diri mereka, bersaudara dalam kasih
sayang. Para
petani pergilah ke bukit, nelayan ke lautan.
Pedagangpedagang
gelarkan tikar kalian di pasar-pasar,
perwiraperwira,
berdirilah di perbatasan kerajaan. Sedangkan
dari
mereka Sang Hiang Tunggal akan menetapkan
seorang raja,
ia yang paling budiman, ia yang tidak
membutuhkan apa-apa
selain kesempatan untuk mencintai rakyatnya.
Yang tidak
takut apa-apa, selain takut rakyatnya akan
menderita....
Belum habis Banyak Sumba membaca, tiba-tiba
didengarnya sayup-sayup suara jeritan.
Banyak Sumba
menajamkan pendengarannya. Suara itu
terdengar dari arah
istana. "Apakah yang terjadi?"
tanya Banyak Sumba dalam
hati, jantungnya berdetak dengan cepat.
Kemudian, suara
jeritan panjang mengikuti, diiringi suara
tangisan lainnya.
Suara yang makin lama makin keras itu
membangkitkan
Banyak Sumba dari tempat duduknya. Ia
kemudian berjalan
ke luar. Ketika suara tangis makin nyaring,
ia berlari di atas
dinding benteng.
Di atas dinding benteng, gulang-gulang
berkumpul,
bercakap-cakap dalam bisikan. Banyak Sumba
berlari melewati
mereka. Karena asyik bercakap-cakap, tak ada
seorang pun di
antara gulang-gulang itu yang melihat dia
lewat.
"Sudah seminggu ia meninggal, kalau
begitu," kata seorang
gulang-gulang. Mendengar itu, Banyak Sumba
lari. Siapakah
yang meninggal? Siapakah yang ditangisi
wanita-wanita itu?
Banyak Sumba makin mempercepat larinya.
Beberapa tangga
yang gelap dituruninya, tapi ia tidak
terpeleset karena tempattempat
itu sudah dikenalnya dengan baik. Kemudian,
ia berlari
di lorong-lorong istana. Di lorong-lorong
istana pun ia bertemu
dengan para gulang-gulang yang juga
bercakap-cakap dengan
berbisik. Jelas bahwa suatu malapetaka telah
menimpa isi
Istana Banyak Citra. Dengan pikiran itu,
tibalah ia di ruangan
tengah.
Ayahanda duduk seperti patung pada kursi
kebesaran
beliau. Para tamu yang ternyata ipar-ipar
dan keponakan
Ayahanda yang datang dari Kutabarang, duduk
dengan kepala
tertunduk. Sementara itu, di samping
Ayahanda, Ibunda
dikerumuni para emban. Semua menangis,
melolong-lolong.
Ternyata Ibunda tidak sadarkan diri,
demikian pula Ayunda
Yuta Inten yang terbaring di ruangan lain
tidak jauh dari
ruangan tengah. Melihat pemandangan yang
mengibakan hati
itu, air mata Banyak Sumba tidak dapat
ditahan lagi. Ia berdiri
di samping pintu ke ruangan tengah, di bawah
bayang-bayang
lampu yang bergerak-gerak. Ia tidak dapat
menggerakkan
kakinya. Ia berdiri di sana seperti patung.
Setelah semua wanita diperintahkan
mengundurkan diri
sambil membawa Ibunda ke ruangan dalam,
berkatalah
Ayahanda.
"Kita harus mengetahui ke mana abu
jenazahnya dibawa."
"Ya, tapi abu jenazah disembunyikan
oleh pemerintahan
kerajaan karena anggota-anggota wangsa
Wiratanu
bermaksud mengambil dan menghinakannya.
Bahkan, waktu
jenazah hendak dibakar dengan segala upacara
yang pantas
bagi puragabaya, orang-orang Wiratanu
menyerang upacara
itu untuk mengambil jenazah. Kabarnya,
mereka bersumpah
untuk memberikan jenazah Jaluwuyung kepada
anjing
mereka," demikian Pamanda Galih Wangi memberi
penjelasan.
Kata 'Jaluwuyung" tiba-tiba seperu
geledek di siang bolong
bagi Banyak Sumba. Betulkah apa yang
didengarnya, Kakanda
Jaluwuyung telah gugur dan abu jenazahnya
diperebutkan
orang? Betulkah ia sudah kehilangan kakak
laki-laki yang
menjadi kebanggaannya?
"Kita harus membuat perhitungan dengan
wangsa
Wiratanu," kata Ayahanda, "kalau
tidak, kita ini bukan anggota
wangsa Banyak Citra."
"Kita perlu menyelidikinya lebih
lanjut, mengapa
Jaluwuyung membunuh Raden Bagus
Wiratanu," kata
Pamanda Galih Wangi.
"Raden Bagus Wiratanu hanyalah dalih,
percayalah
kepadaku. Jantejante anakku berulang-ulang
menceritakan
bahwa ia mencurigai pengkhianatan. Ia
menduga, para pelatih
berusaha membunuhnya sejak ia di padepokan.
Demikian pula
calon-calon puragabaya lainnya. Dan dalam
menghadapi
musuh, Jante sering merasa hendak
dikorbankan. Itulah yang
berulang-ulang dikatakan kepadaku,"
kata Ayahanda.
"Kalau begitu, segala kejadian dapat
diterangkan. Akan
tetapi, bukan berarti masalah pokok dapat
dijawab. Mulamula,
Kutabarang kedatangan sepasukan orang-orang
dari
Kuta Kiara yang hendak menuntut balas
kematian Raden
Bagus Wiratanu. Kemudian, datang rombongan
puragabaya
ini, katanya untuk mencegah
perbuatan-perbuatan onar dari
pihak wangsa Wiratanu. Akan tetapi, nyatanya
mereka datang
untuk membunuh Jante, sejalan dan setujuan
dengan maksud
wangsa Wiratanu. Hanya ada satu soal,
mengapa mereka
sejak awal hendak membunuh Jante?"
"Karena ia puragabaya yang terlalu
hebat, ia puragabaya
keturunan Banyak Citra. Ia dianggap berbahaya
dan karena itu
harus dibunuh oleh calon iparnya sendiri,
Anggadipati.
Sungguh orang ini telah menipuku dan menipu
anakku, Yuta
Inten. Kalian tahu ia telah bertunangan
dengan Yuta Inten,"
sambung Ayahanda sambil menundukkan kepala.
Ketika beliau
mengangkat kepala, kembali tampak oleh
Banyak Sumba,
betapa dalam sekejap beliau berubah seperti
bertambah tua
beberapa tahun.
"Ya, setiap orang mengatakan, hanya
Puragabaya Anggadipati-
lah tandingan Jante. Oleh karena itu, ia
yang
ditugaskan untuk menghadapinya."
"Kalau tidak dibantu puragabaya lain,
Anggadipati tidak
akan mampu menghadapi Jante," ujar
Ayahanda perlahanlahan.
Setelah menarik napas panjang, ia
menyambung.
"Kita harus membuat perhitungan dengan
setiap orang
yang terlibat dalam peristiwa keji ini. Akan
tetapi, pertamatama
kita harus berurusan dengan mereka yang
meremehkan
tangan atau senjatanya dengan darah Jante.
Keturunan
Banyak Citra tidak boleh gugur tanpa diikuti
oleh kematian pengecut-
pengecut itu."
"Peristiwanya belum jelas bagi saya,"
kata Pamanda Angke.
"Semuanya jelas bagiku," tukas
Ayahanda, "ada pihakpihak
yang tidak suka kepada Jante. Pihak-pihak
ini
mempergunakan tangan-tangan wangsa Wiratanu
untuk
memancing Jante. Jante terpancing, lalu
diturunkanlah
Anggadipati dengan pengeroyok lainnya."
"Akan tetapi, sepanjang pengetahuan
saya, tidak semudah
itu para puragabaya dapat dipergunakan oleh
pihak-pihak
yang tidak suka kepada Jante. Apalagi
mengingat Anggadipati
mencintai Yuta Inten. Banyak hal yang belum
jelas," sambung
Pamanda Angke.
"Angke!" seru Ayahanda Banyak
Citra, "engkau tidak
mengalami sendiri bagaimana bangsawan
tertentu dapat
berhati busuk. Aku mengalaminya dengan mata
kepalaku
sendiri. Ketika aku hampir diangkat menjadi
penguasa Kota
Medang, bukankah nyawaku diancam pula? Sudah
lupakah
engkau bagaimana aku dihadang perampok yang
hampir
berhasil membunuhku? Apakah kaukira perampok
itu bukan
suruhan sainganku sebagai calon penguasa
Kota Medang ini?"
"Kalau begitu, entahlah. Akan tetapi,
bagiku masih banyak
hal yang gelap. Ada orang-orang di
Kutabarang yang
menyatakan bahwa Jante kehilangan pikiran
sehatnya. Ada
yang menyatakan bahwa dia ketakutan setelah
membunuh
Bagus Wiratanu dalam perkelahian itu, ya,
dan banyak lagi”
kata Pamanda Angke. Akan tetapi, sebelum
Pamanda Angke
menyelesaikan kata-katanya, Ayahanda
menyela.
'Jante berulang-ulang mengatakan kepadaku
bahwa
nyawanya terancam. Pihak-pihak tertentu
tidak menyukainya
dan berulang-ulang para pelatih di padepokan
serta kawankawan
seperguruannya mencoba mencelakakannya."
"Kalau Kakanda yakin, terserahlah. Akan
tetapi, saya ...
saya ragu-ragu apakah ...," ujar Paman
Angke.
"Soalnya jelas, Jante dibunuh oleh
Anggadipati setelah
diumpani oleh Bagus Wiratanu. Kita anggota
wangsa Banyak
Citra harus menegakkan kehormatan kita
sepantasnya. Yang
setengah hati, dipersilakan menyimpan
senjatanya," sambil
berkata demikian, mata Ayahanda berkeliling
mengawasi
wajah bangsawan-bangsawan Kota Medang yang
hadir satu
per satu.
"Biarkanlah darah kita menjadi dingin
lebih dahulu, baru
kita mempersoalkan apa yang akan kita
perbuat," kata
Pamanda Galih Wangi setelah lama menundukkan
kepala.
Tampak banyak bangsawan yang setuju dengan
pendapat itu.
Akan tetapi, Ayahanda menggeram dan marah.
"Seorang anggota keluarga terbunuh
tidak pantas disambut
dengan perundingan-perundingan. Kita anggota
wangsa
Banyak Citra yang punya harga diri dan aku
anggota sulung
wangsa Banyak Citra. Aku bersedia menegakkan
kehormatan
keluargaku seorang diri."
Tak ada bangsawan yang berani angkat suara.
Itu berarti
pula kehendak Ayahanda menjadi perintah.
WALAUPUN tidak seluruh bangsawan Kota Medang
sependapat dan setuju dengan Ayahanda, pada
malam
berikutnya, "Upacara Sumpah Pembalasan
Dendam" dilakukan
di tengah-tengah lapangan depan istana. Para
bangsawan
pembantu terdekat Ayahanda dalam memerintah
Kota
Medang, bangsawan-bangsawan muda sahabat
Kakanda Jante
Jaluwuyung, dengan pakaian perang yang
gemerlapan dan
senjata lengkap, berkumpul mengelilingi api
unggun besar di
tengah lapangan itu. Api unggun itu demikian
besar sehingga
suaranya yang gemuruh menyeramkan, sedangkan
panasnya
menyengat. Banyak Sumba sudah siap dengan
pakaian
kebesarannya. Walaupun semula hati Banyak
Sumba kosong
dari segala perasaan karena terkejut
mendengar berita yang
tidak disangka-sangka, malam itu—di depan
api unggun
raksasa—tiba-tiba ia mengalami sesuatu.
Api unggun yang besar, berkobar-kobar, dan
panas adalah
lambang dendam wangsa Banyak Citra terhadap
Pangeran
Anggadipati. Sadar akan hal itu, meremanglah
bulu roma
Banyak Sumba. Ia meramalkan banyak darah
akan mengalir,
banyak nyawa akan melayang karena kematian
putra sulung
Ayahanda, Kakanda Jante Jaluwuyung.
Kesadaran dan rasa
seram itu bertambah pula ketika ia menyadari
bahwa
Ayahanda Banyak Citra yang keras dan pantang
menyerah,
orang yang disakiti dalam peristiwa yang
menyedihkan itu.
Dendam seorang laki-laki yang keras dan
pantang menyerah
akan mengguncangkan Kerajaan Pajajaran
sehingga mereka
yang bersalah terhukum dan mereka yang
khilaf meminta
maaf. Sebelum itu, Pajajaran akan bergelimang
darah, besi,
dan api! Sekali lagi, meremang bulu roma
Banyak Sumba.
Sementara Banyak Sumba termenung, ternyata
persiapan
upacara sudah selesai. Hampir seluruh
penduduk Kota
Medang, para pedagang, petani,
tukang-tukang, dan para
bangsawan hadir di tengah lapangan itu. Di
babancong
seluruh keluarga Banyak Citra berkumpul,
berpakaian gelap
tanda dukacita. Kaum pria berpakaian perang,
kaum wanita
berpakaian perkabungan. Di samping kanan
Ayahanda yang
duduk di kursi kencana yang ditutupi kain
hitam, duduk
Ibunda. Di sebelah kiri, Ayunda Yuta Inten
yang tidak dapat
duduk tegak dan harus dipegang para emban
karena tak
tahan mengusung beban dukacita. Suara tangis
dari arah
kaum wanita kadang-kadang mengeras,
kadang-kadang
melemah di antara gemuruh bunyi api unggun.
Setelah beberapa lama orang berhenti
berdatangan ke
lapangan itu dan suasana menjadi hening di
antara gemuruh
api, berdirilah Ayahanda Banyak Citra.
Beliau mengenakan
pakaian kebesaran dan bersenjata lengkap
seakan-akan beliau
akan pergi ke medan perang. Beliau berjalan
ke depan
babanconghmgga tampak dengan jelas dari
semua arah di
dalam terang api unggun itu. Setelah
beberapa lama beliau
berdiri di sana, suasana semakin hening.
Akhirnya, suara
orang berbicara pun lenyap. Tinggal suara
api yang gemuruh
dan gemeletup, seolah-olah suara raksasa
atau binatang buas
yang menggeram-geram karena marah.
Dalam keheningan itu, berserulah Ayahanda
dengan suara
berat tapi lantang, 'Jante Jaluwuyung,
anakku, anak kita
semua. Jante Jaluwuyung, sahabatmu, saudaramu.
Jantejaluwuyung
yang mencintai kalian semua, yang akan
bersedia
setiap waktu memberikan darahnya seandainya
kalian
terancam, seandainya kawan-kawan kalian dan
saudarasaudara
kalian dalam bahaya. Jante Jaluwuyung yang
mencintai kota kelahirannya, Kota Medang
yang sama-sama
kita bangun dan kita cintai ini, telah
tiada.
"Ia telah meninggal.... Dan kita tidak
bisa lain, kecuali
mengikhlaskannya kalau itu kehendak Sang
Hiang Tunggal.
Jante Jaluwuyung meninggal, tapi ia
meninggal tidak secara
wajar. Ia meninggal karena dibunuh.
"Baiklah, kita akan menerima kalau ia
dibunuh karena
kesalahannya. Akan tetapi, ia terlalu baik
untuk berbuat
kesalahan tanpa minta maaf hingga orang
harus
membunuhnya. Dan bagaimana ia dibunuh?
Pembunuhnya
bertindak secara pengecut. Ia dibunuh
setelah dipancing oleh
seseorang yang bernama Bagus Wiratanu,
kemudian
dikeroyok oleh para pengecut. Bukan saja
oleh puragabayapuragabaya,
tapi juga oleh pelatihnya. Dalam perkelahian
itu,
seseorang yang tak mau kusebut namanya
mencabut
nyawanya dengan mendorongnya ke
jurang."
Suara menggeram datang dari hadirin,
terutama rakyat
biasa yang berdiri di belakang. Mereka para
petani, pedagang,
dan tukang-tukang yang sangat kenal dan
sangat sayang
kepada para putra Ayahanda Banyak Citra.
Mereka
menggeram karena mendengar Jante dibunuh
para pengecut.
Ya, Jante yang biasa mereka sebut Den
Ageung, yang pada
masa kanak-kanaknya biasa bermain-main di
antara mereka,
sekarang sudah dibunuh orang. Mereka
menggeram karena
dendam mulai bangkit dalam hati mereka. Mendengar
geraman itu, Ayahanda Banyak Citra berhenti
bicara. Setelah
suasana hening kembali, beliau melanjutkan
kata-katanya,
"Hanya itulah yang akan kusampaikan
kepada kalian, anak
sulungku telah tiada. Kuserahkan pada kasih
sayang kalian
agar rohnya diterima di Buana Padang dengan
baik. Semoga
anakku, anak kalian, Jante Jaluwuyung dapat
tidur dengan
nyenyak. Kuminta doa kalian untuk
kepergiannya."
Untuk pertama kali dalam kehidupannya,
Banyak Sumba
mendengar betapa suara Ayahanda gemetar
karena
kesedihan. Suara laki-laki yang keras itu
baru kali ini gemetar
dan tidak disadarinya, dada Banyak Sumba pun
mulai
berguncang. Banyak Sumba menangis selama dua
hari sejak
ia mengetahui bahwa Jante Jaluwuyung dibunuh
orang.
Tiba-tiba, terdengar teriakan dari hadirin,
teriakan-teriakan
yang mula-mula tidak jelas terdengar, tetapi
akhirnya dapat
ditangkap dengan terang. Teriakan-teriakan
itu adalah
teriakan tuntutan balas dendam.
Bangsawan-bangsawan
muda dengan pakaian perang dan sikap yang
gagali perkasa
maju ke depan. Mereka mengucapkan sumpah
balas dendam
dan berjanji untuk menyerahkan nyawanya demi
terbunuhnya
para pembunuh Jante Jaluwuyung. Kemudian,
rakyat biasa
pun berbuat demikian, ingar-bingarlah
lapangan, seolah-olah
seluruh hadirin mabuk atau menjadi gila
karena marah.
Dalam ingar-bingar itu, Banyak Sumba maju,
melemparkan
badik hadiah dari Pangeran Anggadipati.
Demikian juga
Ayunda Yuta Inten, melemparkan segala
perhiasan yang
diterima dari tunangannya. Kemudian, Ayunda
pingsan untuk
ketiga kalinya dan terpaksa dipapah menjauh
dari api yang
berkobar-kobar buas itu. Sementara itu,
tangisan menjadi
keras kembali, teriakan-teriakan
menggetarkan langit malam
itu. Bendera-bendera merah dan hitam
dikibarkan, demikian
juga umbul-umbul tua yang telah sobek-sobek,
umbul-umbul
keramat yang telah mengalami beberapa kali
peperangan.
Banyak Sumba yang mula-mula tidak mengerti,
akhirnya
hanyut juga dalam arus perasaan yang
menguasai hadirin.
Kesedihan, kemarahan, kebencian, dan tekad
membalas
dendam bergalau dalam dadanya.
UPACARA selesai setelah malam sangat larut.
Bangsawanbangsawan
kebanyakan tidak terus pulang, tetapi masuk
istana menemani Ayahanda. Banyak Sumba masuk
ke
ruangannya, lalu membaringkan badannya yang
lelah. Akan
tetapi, sampai kokok ayam jantan terdengar
untuk pertama
kali, matanya tidak juga hendak terpejam.
Peristiwa yang
berturut-turut dialaminya mengisi
kesadarannya. Di samping
itu, dari arah ruangan tengah terdengar
percakapan atau
perundingan orang-orang tua. Sedangkan dari
kaputren
kadang-kadang terdengar 6ayup-sayup suara
tangis. Di
lorong, para gulang-gulang yang juga tidak
hendak tidur, terus
berbincang-bincang. Tentu saja tentang
kematian Kakanda
Jante Jaluwuyung. Ketika hari hampir pagi,
barulah Banyak
Sumba tertidur. Akan tetapi, tidurnya
gelisah oleh berbagai
impian buruk. Suatu kali, impian buruk itu
begitu
mendebarkan jiwanya sehingga ia terbangun,
lalu duduk di
atas balai-balainya.
Ia membukakan tingkap, melihat kabut yang
masih
menyelimuti pepohonan di taman kaputren dan
dinding
benteng yang membayang dari jauh. Menara
pengintai
benteng pun masih belum tampak. Udara dingin
masuk
ruangannya, menyegarkan badan yang sangat
lelah. Ia pun
bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke luar
ruangan yang
masih sangat sepi. Ia berjalan di lorong istana,
mengikuti
ujung jari kakinya.
Suatu ketika, dikenangnya Pangeran
Anggadipati, tunangan
Ayunda Yuta Inten yang ternyata telah
membunuh Kakanda
Jante Jaluwuyung. Alangkah lemah lembut dan
manis tingkah
laku dan tutur kata puragabaya, tapi
alangkah jahatnya
perangai yang ada di belakang tingkah laku
dan keramahtamahan
itu. Dan alangkah pandainya pula puragabaya
itu
menyembunyikan kebusukan hatinya. Ketika
pertama kali
mendengar bahwa pembunuh Kakanda Jaluwuyung
adalah
Pangeran Anggadipati, sukar baginya untuk
percaya. Tidak
mungkin, seribu kali tidak mungkin,
pikirnya. Akan tetapi, para
bangsawan yang datang dari Kutabarang
berulang-ulang
menyatakan begitu. Di samping itu, ada satu
hal yang
menyebabkan ia percaya akan berita itu,
yaitu penjelasan
Ayahanda Banyak Citra kepada para tamu.
Ayahanda menyatakan, Kakanda Jaluwuyung
pernah
mengatakan baHwa puragabaya-puragabaya lain
dan bahkan
para pelatih mencari kesempatan untuk
membunuhnya. Hal
itu dapat dimengerti karena Kakanda
Jaluwuyung seorang
puragabaya yang sangat pandai dan hebat.
Memang, dalam
segala hal, Kakanda Jaluwuyung selalu
menjadi yang terhebat.
Banyak Sumba ingat ketika dalam perlombaan
memanah,
naik kuda, dan bergumul dengan putra-putra
bangsawan,
Kakanda Jaluwuyung selalu unggul. Ia sangat
kagum kepada
Kakanda Jaluwuyung, ia memuja Kakanda
Jaluwuyung. Masuk
akal kalau banyak orang iri kepadanya.
Kakandajaluwuyung
dipancing untuk marah, kemudian membunuh
Raden Bagus
Wiratanu. Setelah kematian Raden Bagus
Wiratanu inilah, para
puragabaya yang iri hati menyerangnya secara
pengecut.
Seperti anjing-anjing pengecut menyerang
babi hutan jantan
yang perwira. Alangkah pengecutnya! pikir
Banyak Sumba,
dan hadnya pun mulai panas. Tanpa
disadarinya, ia berjalan
bertambah cepat karena hatinya panas, walaupun
arah
langkahnya tidak pasti.
Tiba-tiba, ia sudah berada di ruangan
tengah, tempat
semalam Ayahanda mengadakan pembicaraan
dengan para
tamu dan para bangsawan Kota Medang.
Ternyata, beberapa
orang gulang-gulang masih tetap berjaga di
setiap pintu
ruangan. Dan ketika Banyak Sumba berpaling
ke arah kursi
besar ayahandanya, ternyata beliau masih
duduk di sana.
Dari kelopak matanya yang cekung dan dari
biji mata beliau
yang kemerah-merahan, Banyak Sumba sudah
dapat mengira
bahwa Ayahanda tidak tidur sepanjang malam.
Ia memandang
orangtuanya yang duduk dengan kedua belah
tangan
bertelekan pada meja panjang di ruangan itu.
Ia melihat
betapa punggung Ayahanda yang agak bungkuk
itu memberi
kesan seolah-olah Ayahanda seekor elang tua,
ya, seekor
elang yang sedang termenung karena marah dan
sedih.
Banyak Sumba tidak bergerak dari ambang
pintu. Ia
memandang Ayahanda dengan kebingungan, tidak
tahu yang
akan diperbuatnya.
Ayahanda Banyak Citra berpaling, lalu
memberi isyarat
kepadanya supaya mendekat. Banyak Sumba
melangkah raguragu
karena sebelumnya ia tidak pernah dipanggil
menghadap
di ruangan tengah itu. Ayahanda memberinya
isyarat kembali,
seolah-olah menyatakan bahwa ia tidak usah
ragu-ragu.
Banyak Sumba pun segera datang dan berdiri
di sebelah kiri
meja panjang dekat ujung tempat Ayahanda
duduk.
"Duduklah," ujar Ayahanda. Banyak
Sumba duduk di
bangku yang sebelumnya tidak pernah
disentuhnya karena
hanya dipergunakan oleh orang tua dan
bangsawan. Ia duduk
dengan kaku sekali. Ayahanda melihat hal
itu, kemudian
berkata, "Engkau sekarang anak
laki-laki terbesar dalam
keluarga Banyak Citra. Oleh karena itu, kau
berhak duduk di
sana. Kakakmu sudah dada, engkau
gantinya," kata
Ayahanda. Terdengar oleh Banyak Sumba, suara
Ayahanda
bergetar seperti malam sebelumnya. Banyak
Sumba
menundukkan kepala.
"Sumba, Anakku, aku meramalkan,
kehidupan kita akan
berubah. Mungkin kita harus menderita,
tetapi bukan anggota
wangsa Banyak Citra kalau tidak berani
menderita dan
berkorban untuk kehormatannya. Aku tahu,
engkau seorang
yang benar-benar berdarah wangsa Banyak
Citra. Oleh karena
itu, segala perubahan yang akan kita alami
tidak akan
memenga-ruhimu. Justru karena penderitaan,
engkau akan
menjadi anggota wangsa Banyak Citra yang
sebenarnya.
Anakku, Sumba, Sang Hiang Tunggal menasibkan
keturunan wangsa Banyak Citra menderita.
Akan tetapi, aku
yakin, itu karena Sang Hiang Tunggal
mengetahui bahwa
keturunan Banyak Citra adalah orang-orang
yang jujur, tabah,
dan berani. Wangsa Banyak Citra adalah
orang-orang yang
menempuh jalan lurus dalam hidupnya,
walaupun jalan itu
sukar.
Engkau seorang keturunan Banyak Citra.
Engkau sekarang
putra sulungku."
Sambil berkata demikian, Ayahanda bangkit
dari tempat
duduknya, lalu memegang pundak Banyak Sumba.
Banyak
Sumba bangkit dan mereka pun berjalan ke
ruangan khusus
Ayahanda yang ada di dekat dinding benteng,
tempat
sebelumnya mereka duduk bersama. Sepanjang
lorong,
tangan Ayahanda tidak lepas dari pundak
Banyak Sumba. Baru
pertama kali itulah, Ayahanda berlaku
demikian. Biasanya,
tidak pernah Ayahanda memperlihatkan kasih
sayang dan
kemesraan seperti itu, bahkan kepada
anak-anak yang masih
kecil atau putri-putrinya. Ayahanda juga
jauh dari anakanaknya.
Akan tetapi, hari itu sangat terasa oleh
Banyak
Sumba bahwa Ayahanda berubah. Dukacita yang
merupakan
pukulan bagi orangtua karena kehilangan
putra sulungnya
telah memengaruhi tingkah laku Ayahanda.
Ketika mereka di ruangan khusus, kotak
lontar yang dua
buah dan yang kemarin malam diletakkan
Banyak Sumba,
masih terletak di sana. Setiba di sana,
Ayahanda menunduk,
lalu mengambil kedua buah kotak itu. Tidak
disangka-sangka,
Ayahanda mengambil lampu minyak kelapa yang
masih
menyala di sudut ruangan, lalu membakar isi
kedua kotak itu.
Banyak Sumba melihat kejadian itu dengan
keheranan, tetapi
tak sepatah kata pun diucapkannya.
Langganan:
Postingan (Atom)