Senin, 26 Mei 2014

Cerita Kuna Satria Hutan Larangan 7

"Baik, saya dan Juragan Puragabaya akan membunuh
penjaga-penjaga itu terlebih dulu," ujar Garda. Maka segala
perintah lanjutan pun disampaikan kepada pasukan yang
semuanya mengerti bahwa pemimpin pengacau tidak boleh

dibunuh. Setelah itu, mereka pun beristirahat, sambil tetap
memandang ke arah lawan.
MALAM pun bertambah sunyi, sedang bintang-bintang di
langit yang berjuta-juta banyaknya, letaknya sudah banyak
bergilir ke barat. Sayup-sayup kokok ayam terdengar, disahuti
oleh kokok ayam hutan yang berdekatan dengan rawa itu.
Pangeran Muda tetap mengawasi lawan yang lima orang
banyaknya, yang belum juga tidur. Mungkin mereka termasuk
bagian pasukan yang diserahi tugas jaga, pikir Pangeran
Muda. Akan tetapi, kemudian yang lima orang pun satu per
satu meninggalkan api unggun, lalu pergi ke dalam gelap.
Akhirnya, tinggallah dua orang penjaga yang masih tetap
berjongkok di sekitar api unggun itu. Kadang-kadang kedua
orang ini berjalan-jalan berkeliling, kadang-kadang
menghilang di balik gubuk-gubuk itu. Suara langkahnya
terdengar berdesir di atas semak-semak. Pada suatu kali
pernah salah seorang di antara penjaga itu berjalan dekat
sekali pada pasukan, hingga terpaksa anggota-anggota
pasukan jagabaya bertiarap menyembunyikan diri.
Hari makin bertambah terang juga, sedang ayam-ayam
jantan makin ramai bersahutan. Pangeran Muda memberi
isyarat kepada para jagabaya agar bersiap-siap. Ia pun
berbisik kepada Garda, agar mereka menyergap penjaga itu
dengan mula-mula menutup mulut mereka, lalu
menghantamnya. Garda mengangguk. Kemudian isyarat
diberikan, agar pasukan bergerak dan melebar. Maka
bergeraklah pasukan, setelah mereka diberi tahu bahwa
penyerangan dimulai setelah kedua pemimpin mereka berhasil
melumpuhkan kedua penjaga itu. Maka pasukan pun terus
bergerak, hingga mereka berhenti beberapa langkah di dekat
tempat lawan yang tidur bergelimpangan di atas tanah
Pangeran Muda memberi isyarat kepada Garda untuk mulai
menyergap. Mereka pun melingkariah, agar mereka dapat
menyergap kedua penjaga itu dari belakang. Setelah berada di
belakang mereka, dengan tidak mengeluarkan bunyi, mereka
mengendap-endap ke arah kedua penjaga itu, lalu dengan

waktu yang hampir bertepatan, Pangeran Muda dan Garda
menutup mulut penjaga-penjaga itu dengan tangan kiri, lalu
menghantam ulu hati mereka dengan tangan kanan. Dengan
tiga pukulan, menggeleparlah penjaga-penjaga itu, lalu tidak
bergerak-gerak lagi, Pangeran Muda berdiri, lalu memberi
isyarat. Maka menghamburlah dua puluh orang jagabaya
dengan senjata mereka berkilat-kilat dalam cahaya langit
subuh dan unggun yang hampir padam, Pangeran Muda
dengan Garda berlari ke arah gubuk yang paling besar, sambil
menghantam anggota-anggota gerombolan yang terlewati.
Dari arah lapangan di mana pembantaian sedang dilakukan
oleh para jagabaya, terdengar jeritan-jeritan, demikian juga
dari tempat-tempat lain yaitu dari gubuk-gubuk yang lain yang
mendapat serangan jagabaya.
Ketika Pangeran Muda dan Garda tiba di gubuk yang
terbesar, ternyata pintu ditutup dari dalam.
"Minggir!" kata Pangeran Muda kepada Garda yang
mencoba mendorong pintu. Garda minggir, dan Pangeran
Muda mundur, lalu melakukan serangan dengan telapak kaki
ke arah pintu itu. Walaupun kayu pintu gubuk itu kuat, dengan
sekali hentakan berantakanlah pintu dengan palangnya. Begitu
pintu terbuka, Garda segera menghambur masuk ke dalam
ruangan gubuk yang remang-remang itu. Pergulatan terjadi,
Pangeran Muda hanya melihat tubuh Garda berguling-guling
dengan tubuh seorang lawan di lantai gubuk. Di samping itu,
Pangeran Muda pun melihat dinding gubuk terbuka di sebelah
belakang. Dengan secepat kilat, Pangeran Muda melompat
keluar melalui lubang dinding itu.
Begitu tiba di luar, tampaklah seseorang lari menuju tepi
rawa. Dengan beberapa lompatan, Pangeran Muda sudah
dapat mengejar orang itu. Rupanya orang itu sadar akan
pengejarnya karena ia segera berbalik dan bersiap-siap.
Pangeran Muda berdiri menghadapi orang itu, sambil dalam
hatinya memuji kerapatan dan keteguhan kuda-kudanya.
Orang itu tampak seorang kesatria. Ia menyodorkan kaki
kanannya ke depan, dan tangan kanannya membalik ke atas,

dengan sikutnya lurus-lurus berada di atas lutut. Sementara
itu tangan kirinya yang ditarik dekat ke dadanya bersiap-siap
dengan jari-jarinya setengah dikuncupkan. Melihat sikap
seperti itu, Pangeran Muda agak kebingungan. Ada dua
kemungkinan yang sedang dihadapinya; pertama, sikap itu
merupakan pancingan yang belum dikenalnya; kedua,
mungkin kesatria yang dihadapi itu seorang kidal yang tangan
kirinya lebih kuat daripada tangan kanan. Kedua-duanya akan
merupakan siasat yang sukar dihadapi.
Akan tetapi, Pangeran Muda tidak menunggu hal-hal yang
lebih jelas. Untuk tidak terpancing, Pangeran Muda tidak akan
menangkap tangan kanan kesatria itu. Kalau ia menangkapnya
ada dua kemungkinan; pertama, ia menjadi sasaran tangan
kiri kesatria itu; kedua, mungkin Pangeran Muda akan
disentakkan ke belakang, hingga tersungkur ke sisi kanan
kesatria itu. Untuk tidak terpancing menjadi salah satu sasaran
itu, Pangeran Muda tidak menangkap tangan kanan kesatria
itu, tetapi dengan lurus dan cepat mendorong badan kesatria
itu dengan menekankan telapak tangan pada pergelangan dan
sikut kesatria itu.
Tepat seperti yang diramalkan oleh Pangeran Muda
ternyata kesatria itu benar-benar kidal. Begitu tangannya
disentuh dan didorong, tangan kiri pemuda itu berdesing
menuju lekuk di bawah leher Pangeran Muda. Karena sudah
diramalkan, Pangeran Muda sudah siap. Dengan telapak kedua
kaki bergeser ke belakang, sementara tangan kiri dengan
telapaknya yang terbuka lebar menerima tangan kanan lawan
pada perge-langan, sedang tangan kanan yang juga
telapaknya terbuka lebar, menyentakkan tangan kanan lawan
tepat pada sikutnya. Tenaga lawan yang terarah ke depan
dengan kuat, oleh Pangeran Muda ditumpahkan ke samping,
hingga kesatria itu terjungkal lepas dari kuda-kudanya, dan
jatuh ke samping dengan berjungkir. Akan tetapi, dengan
mengherankan anak muda itu tidak terus rubuh. Setelah
berjungkir dengan bagus, ia telah berdiri kembali dan
memasang kuda-kuda baru.

Sekarang tangan kirinya yang disodorkan ke depan.
Pangeran Muda sudah memperkirakan gerakan-gerakan
selanjutnya, yaitu bahwa tangan kiri akan tetap menjadi
senjata utama kesatria itu. Tangan kiri yang disodorkan ke
depan akan dijadikan umpan agar dipegang atau ditarik oleh
Pangeran Muda. Tangan kiri ini akan ditarik ke belakang diikuti
dengan serangan tangan kanan yang tidak akan ampuh, tetapi
memberi kesempatan pada tangan kiri untuk menyerang pada
gerakan selanjutnya.
Dengan perkiraan itu, Pangeran Muda berpura-pura
terpancing. Ia maju ke depan dengan badan yang rengkuh
dan tangan jauh menjulur ke depan untuk menghindarkan
serangan kaki lawan. Dengan telapak-telapak tangan yang
terbuka, Pangeran Muda menyentuh pergelangan tangan kiri
lawan yang oleh lawan segera ditarik ke belakang. Gerakan itu
diikuti oleh Pangeran Muda dengan tetap tidak melepaskan
tangan kanannya pada pergelangan kiri lawan sementara kaki
kiri Pangeran Muda menggeser dengan cepat. Tepat seperti
yang diramalkan, terasa oleh Pangeran Muda bahwa lawan
akan menghantamkan tangan kanannya, tapi sebelum tangan
kanan sempat menderu ke muka, Pangeran Muda yang
telapak tangan kanannya seperti melekat ke pergelangan kiri
lawan, mendorong lawan sambil menggeser kaki kanannya ke
depan. Lawan kehilangan keseimbangan dan tidak dapat
memberikan pukulan. Dalam keadaan kacau dan bingung itu,
Pangeran Muda memasukkan pukulan pendeknya ke rusuk kiri
lawan yang langsung terjatuh dan menggeliat-geliat di tanah.
Pangeran Muda mengangkatnya dengan memegang kedua
ketiak lawan dari belakang, lalu menyeretnya ke arah
lapangan, di mana para jagabaya di bawah pimpinan Garda
sedang mengumpulkan lawan yang masih hidup. Hanya tujuh
orang yang hidup karena para jagabaya umumnya
mempergunakan senjata-senjata tajam mereka. Yang lain
bergelimpangan mandi darah, ada yang pecah kepalanya, ada
yang putus tangannya, ada badan tanpa kepala, dan lain-lain
nasib yang mengerikan. Sementara itu, Pangeran Muda

mendapat kabar dari Garda bahwa lawannya bergulat di dalam
gubuk terpaksa dibunuhnya karena Garda hampir kewalahan.
Pangeran Muda menjelaskan, hal itu tidak terlalu menjadi
persoalan karena seorang kesatria yang menjadi pemimpin
pengacau telah dapat ditangkapnya hidup-hidup.
Pagi itu, setelah para jagabaya membakar berpikul-pikul
padi dan dendeng-dendeng serta perlengkapan-perlengkapan
lawan lainnya, mereka keluar dari hutan kecil itu. Ternyata
gerombolan itu memiliki perlengkapan penyeberangan berupa
rakit-rakit yang terbuat dari bambu besar, hingga karena
udara yang terkandung di dalamnya tidak mudah terbenam,
betapapun besarnya tarikan lumpur. Terpikir oleh Pangeran
Muda gerombolan itu telah merencanakan pengacauannya
dengan sangat baik karena bahkan persediaan bambu-bambu
besar itu sempat didatangkan ke suatu daerah di mana tidak
terdapat pohon-pohon bambu.
BERITA ditemukannya persembunyian pengacau dan
ditangkapnya hidup-hidup salah seorang di antara pemimpin
mereka sangat cepat diterima oleh sang Prabu di Pajajaran.
Dalam minggu kedua setelah peristiwa pertempuran di rawa
itu, datanglah sebuah kereta yang dikawal oleh dua puluh
jagabaya ke kota Galuh. Kereta itu membawa sejumlah
bangsawan dan panglima jagabaya dari ibu kota. Di samping
diberi tugas oleh sang Prabu untuk menyampaikan
penghormatan dan penghargaan kepada Panglima dan kepada
Garda, mereka pun bermaksud mengambil tawanan-tawanan
itu untuk dibawa ke Pakuan Pajajaran dalam waktu singkat,
untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Yang paling menggembirakan Pangeran Muda adalah
kereta itu juga membawa surat-surat baginya. Dari Pangeran
Anggadipati berupa pernyataan dan kegembiraaan seorang
ayah kepada anaknya yang sudah berbuat banyak bagi
kerajaan. Dalam surat itu dikatakan, walaupun yang secara
terbuka mendapat penghargaan adalah Panglima Rangga
Wisesa dan Garda sebagai jagabaya, sang Prabu yang diberi
penjelasan lengkap oleh Panglima Rangga Wisesa tentang

jalannya peristiwa, sangat berkenan atas perbuatan Pangeran
Muda. Seandainya Pangeran Muda sudah berkedudukan
sebagai seorang puragabaya, tentu sang Prabu akan
memberikan penghargaan secara resmi. Disampaikan juga
berita oleh Ayahanda, sang Prabu dan Putra Mahkota ingin
sekali bertemu Pangeran Muda.
Surat yang kedua dari calon iparnya, Pangeran Rangga
Wesi yang menyampaikan ucapan selamat, juga memberikan
berita tentang segala yang terjadi di istana dan di Puri
Anggadipati setelah Pangeran Muda bertugas. Diberitahukan
pula oleh Pangeran Rangga Wesi, walaupun Ayahanda
Anggadipati mengusulkan supaya ia segera menikah dengan
Ayunda Ringgit Sari, kedua asyik masyuk itu memutuskan
untuk menangguhkan perkawinan mereka. Pertama, mereka
menganggap lebih baik kalau perkawinan dilangsungkan
setelah Pangeran Rangga Wesi diangkat untuk menjabat salah
satu kedudukan kerajaan; kedua, mereka mengharapkan
untuk dapat menikah pada hari yang sama dengan Pangeran
Muda dan Putri Yuta Inten. Pangeran .Muda sungguh-sungguh
terharu membaca berita itu. Tergugahlah rasa sayangnya
kepada Ayunda dan calon iparnya itu.
Yang terakhir adalah surat dari Putri Yuta Inten. Pertamatama
diberitakan tentang kegembiraan keluarganya, setelah
diberi tahu bahwa mereka saling mengasihi. Kemudian
kebanggaan gadis itu setelah mendengar cerita-cerita tentang
peristiwa penangkapan pemimpin pengacau di daerah Galuh
yang dilakukan oleh Pangeran Muda dengan para jagabaya.
Gadis itu menyatakan, Pangeran Muda sudah menjadi seorang
pahlawan bagi Pajajaran. Beberapa tukang kecapi sudah
membuat lagu-lagu pujaan bagi kepahlawanannya. Terakhir
sekali dinyatakannya kerinduannya.
Gadis itu menyatakan, bagaimana jalan-jalan, lorong kota
Medang dan lorong-lorong di rumahnya selalu mengingatkan
dia kepadanya. Dan kalau benda-benda atau tempat-tempat
tidak mengingatkannya pada Pangeran Muda, percakapan
rakyat tentang kepahlawanan Pangeran Muda tidak dapat

dihindarkannya. Segalanya itu membuatnya ia menderita,
walaupun ia menganggap penderitaan itu adalah penderitaan
yang seindah-indahnya dalam hidupnya. Kemudian gadis itu
berpesan agar Pangeran Muda menjaga dirinya baik-baik dan
segera pulang ke Pajajaran barat, di mana gadis itu selalu
menantinya. Sebelum menutup surat, gadis itu
memberitahukan juga bahwa Jante mengirim kabar dari
Kutabarang, memberitakan tentang kesehatannya. Menurut
Jante, segalanya di Kutabarang baik-baik, hanya ia selalu
dibayang-bayangi oleh beberapa kesatria yang dipimpin oleh
Raden Bagus Wiratanu.
Tambahan surat itu agak mengherankan Pangeran Muda,
tetapi karena perhatiannya tertumpah ke bagian surat yang
lain yang berulang-ulang dibacanya, Pangeran Muda segera
melupakan berita tentang jante. Perhatiannya terpusat kepada
bagian-bagian surat yang lain, yang menyatakan rindu
dendam gadis itu. Sebaliknya, pernyataan rindu dendam itu
menggugah pula rindu dendam pada diri Pangeran Muda.
Alangkah inginnya ia pulang ke Pajajaran barat. Hanya
kesatriaannya saja yang menahan untuk tidak mengemukakan
keinginannya itu kepada Panglima Rangga Wisesa.
Bab 17
Monyet Putih dan Permata Sakti
Sesuai dengan yang telah diduga, setelah penyergapan itu
kegiatan pengacau berhenti sama sekali. Rakyat yang semula
tiap malam mengungsi, mulai lagi berani tidur di kampung
mereka masing-masing. Walaupun demikian, perondaan
malam terus-menerus dilakukan oleh tujuh puluh lima orang
jagabaya di bawah pimpinan Garda yang sekarang telah
menjadi perwira dan dengan megah memakai tanda anugerah
kerajaan. Di samping melakukan tugasnya Garda sering
berkunjung kepada Pangeran Muda untuk berbincang-bincang
tentang itu dan ini. Karena rasa terima kasihnya, ia

memperlihatkan sikap yang sangat bersahabat terhadap
Pangeran Muda. Pada suatu kesempatan bahkan seluruh
keluarga Garda, anak-istrinya dibawanya untuk berkunjung
kepada Pangeran Muda. Sikap persahabatan Garda dan
jagabaya-jagabaya yang pernah bersama-sama melakukan
penyergapan dan semuanya mendapatkan anugerah itu
sungguh-sungguh membesarkan hati Pangeran Muda.
Akan tetapi, setelah beberapa lama kerinduannya hampir
tidak tertahankan lagi untuk berkunjung ke kota Medang.
Berulang-ulang ia hampir mengemukakan isi hatinya pada
Pangeran Rangga Wisesa, tetapi berulang-ulang pula niatnya
diurungkan karena sadar bahwa bagi seorang kesatria,
menahan . diri adalah suatu kewajiban.
Akan tetapi, pada suatu hari datanglah surat dari Pajajaran
yang isinya mengundang Pangeran Rangga Wisesa dan
Pangeran Muda untuk dalam waktu singkat datang ke ibu
kota.
"Suatu hal yang penting telah terjadi, kita harus segera
pergi untuk mengetahui hal itu," kata Panglima Rangga
Wisesa dengan wajah yang sungguh-sungguh.
"Mungkinkah telah terjadi pemberontakan?" tanya
Pangeran Muda.
"Ada dua kemungkinan: pertama, pemberontakan; kedua,
serangan dari luar. Dua-duanya jelek," ujar Panglima. Tapi
satu hal menyebabkan Pangeran Muda berbesar hati di
samping kecemasan, yaitu ia akan bertemu dengan Putri Yuta
Inten dan keluarganya sendiri. Akan tetapi, tentu saja rasa
gembiranya itu tidak bebas diungkapkan karena rasa
penasaran dan bahkan cemas pun membayanginya.
Mungkinkah telah terjadi pemberontakan? Mungkinkah ada
pasukan asing yang datang menyerang?
Pada hari yang ditetapkan, sehari sesudah datangnya
panggilan, berangkadah Pangeran Muda dengan Panglima,
diiringi oleh dua puluh orang pengawal. Perjalanan yang sukar
dan panjang itu tidak banyak menemui hambatan. Maka pada
hari ketujuh, rombongan yang seluruhnya terdiri dari para

prajurit dan perwira itu pun telah melewati gerbang timur ibu
kota yang megah itu. Dan dalam waktu singkat, Pangeran
Muda bersama Panglima telah berkumpul di ruangan istana,
dalam suatu rapat di mana hadir hampir semua pembesar
kera-jaan dan sejumlah besar puragabaya.
Sebelum rapat dimulai, sang Prabu sempat menanyakan
kepada Ayahanda tentang Pangeran Muda. Dengan gembira,
Ayahanda membawa Pangeran Muda menghadap kepada
beliau.
"Saya punya harapan yang besar bagi masa depanmu,
Anggadipati," demikian sabda sang Prabu sambil memegang
pundak Pangeran Muda.
"Semoga hamba dapat memenuhi itu, Gusti."
"Engkau sudah kenal dengan anakku?" sang Prabu
bertanya.
"Kami sudah kenal baik, Gusti."
"Syukurlah, saya berharap kita akan dapat berbincangbincang
lebih leluasa setelah masalah yang kita hadapi ini
diselesaikan," sabda sang Prabu, ketika juru acara datang dan
memberitahukan bahwa segalanya telah siap. Maka para
bangsawan dan puragabaya pun berkumpullah.
Jumlah para bangsawan tinggi dan puragabaya yang hadir
tidak lebih dari tiga puluh orang, sedang hadirin yang lain
yang duduk di belakang mereka adalah bangsawanbangsawan
muda dan para calon puragabaya. Sebagai
pengawal Panglima Rangga Wisesa, Pangeran Muda duduk di
belakang bangsawan tinggi itu, yang kebetulan duduk
tidakjauh dari Ayahanda dan sang Prabu. Dalam ruangan
tampak pula Putra Mahkota duduk berdampingan dengan
Pangeran Rangga Wesi yang sebagai calon pejabat tinggi
kerajaan harus hadir dalam rapat yang sangat penting itu.
Tidakjauh dari bangsawan-bangsawan muda itu berjajar pula
calon-calon puragabaya, kawan-kawan Pangeran Muda.
Setelah semua siap dan ruangan hening, bersabdalah sang
Prabu, "Para bangsawan dan para puragabaya, kita berkumpul
untuk membicarakan suatu masalah yang sangat penting

untuk melihat nasib rakyat kerajaan dan bahkan kerajaan
sendiri. Seperti Saudara-saudara ketahui, pengacauan di
wilayah Galuh Tua telah dapat dipadamkan, dengan pemimpin
pengacau-nya tertangkap hidup-hidup. Para puragabaya yang
bertugas untuk mengumpulkan keterangan darinya menarik
kesimpulan, pengacauan itu termasuk ke dalam suatu rencana
besar yang tujuannya tidaklah lain untuk merobohkan
Pajajaran sendiri. Dengan mengadakan pengacauan terusmenerus
di Galuh Tua, lawan mengharapkan akhirnya rakyat
tidak akan percaya lagi kepada kepemimpinan kita. Dan
dengan mengangkat bangsawan-bangsawan setempat sebagai
pemimpin mereka, mereka akan mendirikan kembali Kerajaan
Galuh yang oleh leluhur kita dipindahkan ke barat ini. Setelah
Galuh Tua didirikan, lawan mengharapkan agar antara Galuh
baru dengan Pajajaran terjadi pertentangan dan pertempuran.
Ketika itulah tangan yang sebenarnya mengatur sandiwara
akan muncul sebagai pemenang.
"Dengan dihentikannya pengacauan di wilayah kota Galuh
salah satu rencana mereka telah dapat digagalkan. Akan
tetapi, tidak berarti mereka berhenti dengan usaha mereka.
Kegiatan dipindahkan ke bentuk yang lain, yaitu penyerangan
yang lebih kasar, tetapi tidak kurang bahayanya.
"Dari tepi Cipamali, Ki Monyet Putih mengirimkan laporan
kepada kami tentang meningkatnya kegiatan lawan, setelah
pengacauan di Galuh dipadamkan. Dari laporan itu
digambarkan tentang pemusatan sejumlah besar prajurit, dan
perbekalan dan pembuatan bangunan-bangunan serta
peralatan-peralatan perang lainnya. Juga dari Pantai Utara
kami menerima laporan. Pangeran Kutabarang berhasil
menangkap seorang mata-mata lawan yang dalam
keterangannya mengatakan kepada kita bahwa gelombang
serangan baru akan dilakukan terhadap Pajajaran, terutama
melalui daratan. Nah, untuk menghadapi bahaya inilah kalian
kami undang.
"Dalam perundingan dengan Panglima Tertinggi Jagabaya
beserta panglima-panglima pembantunya telah diambil dua

pilihan, yaitu menjawab bahaya itu dengan mengirimkan
sejumlah besar jagabaya ke tepi barat Cipamali, atau
mengirimkan sekelompok pasukan kecil yang terlatih dengan
baik untuk mengadakan serangan tiba-tiba, dengan tujuan
membunuh semangat lawan.
"Pilihan pertama diperhitungkan akan memakan biaya,
waktu, dan tenaga yang sangat besar. Karena waktu, dalam
hal ini sangat penting, pilihan pertama nilainya diragukan.
Pilihan kedua tampaknya lebih ringan, yaitu dengan hanya
mengirimkan beberapa puluh orang anggota pasukan terpilih,
kita akan dapat menggagalkan perencanaan mereka serta
melumpuhkan semangatnya. Diharapkan, sebelum lawan
dapat mempersiapkan rencana lain, kita sudah dapat
memperkuat tepi barat Cipamali. Oleh karena itu, Panglima
Tertinggi Jagabaya memutuskan untuk memilih yang kedua
dan bermaksud menyempurnakan rencana-rencananya
dengan Saudara-saudara."
Setelah pengantar diberikan oleh sang Prabu, maka
perundingan yang sangat lama dilakukan oleh para panglima
dan para bangsawan tinggi. Setelah memakan waktu sehari
semalam, akhirnya diputuskanlah tiga puluh orang pasukan
khusus akan dikirimkan ke perbatasan. Di antara yang tiga
puluh orang itu dua puluh orang terdiri dari jagabaya, sepuluh
orang lagi adalah calon-calon puragabaya. Pasukan ini
dipimpin oleh seorang puragabaya, yaitu puragabaya Geger
Malela, dengan wakilnya seorang perwira jagabaya yang
bernama Ki Santang, seorang perwira jagabaya yang telah
memperlihatkan keberanian dan kelicinannya dalam berbagai
medan pertempuran. Di dalam pasukan itu termasuk pula
sepuluh orang pasukan jagabaya yang dipimpin oleh Garda,
hanya Garda tidak menyertai mereka karena tanggung
jawabnya terlalu berat untuk ditinggalkan di Galuh.
Para calon puragabaya hampir seluruhnya ikut, kecuali
Jante karena Kutabarang termasuk daerah yang sangat
penting di Pantai Utara sehingga tidak mungkin ia
meninggalkannya. Di samping Jante, Rangga pun tidak ikut,

juga karena alasan yang sama, yaitu karena panglima yang
dikawalnya menduduki tempat yang terlalu penting untuk
tidak dikawal. Maka, pada saat yang telah ditetapkan,
berkumpullah pasukan khusus ini.
Untuk satu minggu pasukan mendapat petunjuk-petunjuk
berbagai segi medan yang akan mereka hadapi. Kemudian
tentang jumlah persenjataan dan kebiasaan-kebiasaan lawan.
Akhirnya, tentang cara-cara serangan yang mungkin akan
harus dilakukan. Dan setelah semuanya itu selesai, anggotaanggota
pasukan diberi waktu istirahat salama satu hari.
Keesokan harinya mereka diberangkatkan ke medan
pertempuran.
Jelas bagi Pangeran Muda, ia tidak mungkin dapat bertemu
dahulu dengan Putri Yuta Inten. Akan tetapi, kesedihannya itu
ditekannya dengan kesadaran bahwa masalah pribadinya
sangat kecil artinya kalau dibandingkan dengan nasib rakyat
dan seluruh kerajaan. Dengan selalu menekankan kepentingan
kerajaan inilah Pangeran Muda dapat mencumbu dirinya
sendiri, agar tidak terlalu risau.
Ketika barisan mendapat penghormatan terakhir dari
penduduk kota dan sang Prabu, Pangeran Muda melihat
kedatangan sebuah kereta. Dari dalam kereta itu turunlah
Raden Banyak Citra dengan keluarganya. Putri Yuta Inten
menghambur, dan seraya melupakan kebangsawanannya
mendesak ke muka untuk dapat berdiri di pinggir jalan di
mana pasukan khusus dengan megah lewat. Pangeran Muda
berusaha memberi isyarat kepada Putri Yuta Inten yang
mencari-carinya di antara pasukan yang berseragam dan
bertutup kepala sama itu. Akan tetapi Yuta Inten tidak dapat
membedakan Pangeran Muda dari anggota pasukan yang lain.
Lalu dalam sekejap mata, anggota-anggota pasukan sudah
berada di luar dinding benteng, menderu ke arah timur di atas
kuda-kuda masing-masing.
Walaupun pasukan tempur hanya terdiri dari tiga puluh
orang, anggota pasukan yang berangkat hari itu terdiri dari
empat puluh satu orang. Yang sepuluh orang adalah pengurus

senjata, pengurus kuda dan juru-juru masak. Sedang yang
seorang lagi adalah ahli dalam obat-obatan yang akan
memelihara kesehatan pasukan dan merawat yangmungkin
terluka. Dengan berpakaian serbaindah dan dengan panjipanji
yang berkibar megah, pasukan ini meninggalkan Pakuan
Pajajaran ke arah timur. Pada suatu tempat, ketika
perkampungan sudah menjadi jarang, Pangeran Muda
bersama pasukan berhenti. Pertama, untuk mengganti
pakaiannya yang megah dengan pakaian pertempuran; kedua,
untuk memberi minum kepada kuda mereka. Setelah itu,
selama satu minggu pasukan terus bergerak menuju ke timur,
hingga pada suatu ketika tibalah di suatu hutan yang tidak
begitu lebat di tepi barat Cipamali. Di sana mereka diterima
oleh perwira pemimpin asrama jagabaya yang ditempatkan di
tengah-tengah hutan. Perwira itu memberikan penjelasan
sekadarnya tentang keadaan medan, kemudian secara
bergiliran anggota pasukan khusus itu dipersilakan pergi
mengunjungi tempat pengintaian.
Ketika giliran Pangeran Muda tiba, Pangeran Muda pergi ke
tempat pengintaian itu dengan empat orang kawannya, yaitu
Pamuk, Girang, Ginggi, dan Wide. Mereka diantar oleh
jagabaya dan setelah beberapa lama menyelinap dalam
semak-semak, akhirnya sampailah mereka di sebuah bukit
kecil yang di atasnya ditumbuhi sebatang pohon yang sangat
tinggi.
"Kita tiba, Saudara-saudara," kata jagabaya itu seraya
melihat ke atas pohon. Pangeran Muda melihat pula ke sana.
Tampaklah olehnya seorang kakek-kakek berambut putih
sedang duduk di sebuah dahan besar sambil memegang suatu
benda yang diletakkan di depan matanya seraya ia
memandang ke arah timur.
"Di atas itu adalah Ki Monyet Putih, pengintai kerajaan
yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini dan hafal akan
setiap helai daun yang ada di hutan-hutan di tepi barat dan
timur Cipamali ini," kata jagabaya itu sambil tersenyum.

"Marilah kita panggil Ki Monyet Putih," kata jagabaya itu,
lalu membunyikan bibirnya meniru suara burung hutan. Ki
Monyet Putih menoleh, lalu memasukkan benda yang
dipegangnya ke dalam kantong-koja yang disandangnya.
Seperti seekor kera ia meluncur ke bawah.
"Ini anggota-anggota pasukan baru, harap dipersilakan
melihat medan," kata jagabaya itu.
Para calon puragabaya memperkenalkan diri dan memberi
salam kepada orang tua yang sudah berambut putih itu.
Kemudian orang tua itu menjelaskan, dari atas pohon yang
tinggi itu mereka akan dapat melihat tempat pemusatan lawan
dengan segala gerak-gerik yang mereka lakukan. Adapun
untuk melihat lawan itu mereka akan mempergunakan sebuah
Permata Sakti yang menjadi milik keluarga Ki Monyet Putih
turun-temurun. Sambil berkata demikian, Ki Monyet Putih
mengeluarkan benda yang tadi dipegangnya dari dalam
kojanya. Benda itu adalah sebuah bumbung bambu kecil yang
telah mengilap karena pemeliharaan. Di dalam bumbung
bambu yang tidak ada bukunya lagi itu diletakkan sebuah
permata putih yang bulat dan pipih bentuknya. Permata Putih
itu ditempatkan di suatu tempat dalam bumbung bambu itu
dengan bantuan bingkai logam perak, yang melingkari
pinggirnya. Sambil memperlihatkan benda itu dan
menerangkan sejarahnya, Ki Monyet Putih berulang-ulang
menyatakan bahwa benda itu sangat suci, anugerah para
bujangga dan pohaci kepada keluarganya, agar keluarganya
dapat membantu menjaga keamanan dan kesejahteraan
Pajajaran.
Setelah itu para calon dipersilakan untuk siap memanjat
pohon itu dengan mempergunakan tangga tambang yang
akan dipasang oleh Ki Monyet Putih. Para calon menyatakan
bahwa mereka tidak memerlukan tangga.
"Tapi pohon ini sangat tinggi dan licin karena terusmenerus
dipanjat orang," ujar Ki Monyet Putih.
"Kami telah berlatih di padepokan bagaimana memanjat
pohon yang licin, Kakek," jawab Ginggi. Maka, walaupun raguTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ragu, Ki Monyet Putih mulai memanjat. Para calon
mengikutinya, sama tangkas dan cekatan seperti Ki Monyet
Putih sendiri. Dengan keheranan, Ki Monyet Putih memandang
mereka. Setelah mereka berada di atas, secara bergiliran para
calon diberi kesempatan untuk mempergunakan permata itu
dan melihat ke arah timur, ke tempat yang ditunjukkan oleh Ki
Monyet Putih.
Dengan ajaib sekali, melalui permata sakti itu hutan yang
jauh jadi dekat dan besar kelihatannya. Demikian pula, apa
yang tampak samar-samar menjadi jelas kelihatan. Dan
setelah beberapa lama menyusur hutan dengan
pandangannya, mata Pangeran Muda melihat sejumlah gubuk,
dengan sebuah gubuk besar terletak di tengah-tengah.
Gubuk-gubuk itu berwarna hitam, agar tidak mudah kelihatan.
Di sekitar gubuk-gubuk tampak sejumlah besar tentara,
sekurang-kurangnya meliputi ratusan orang, sedang sibuk
bekerja. Di antara yang sedang bekerja, tampak sejumlah
besar yang sedang memasang rakit-rakit. Di samping itu,
tampak pula orang-orang yang sedang mengangkut dan
membongkar perlengkapan dari pedati-pedati besar yang
ditarik oleh kerbau ke dalam hutan itu. Di antara perlengkapan
itu tampaklah pula senjata, seperti tombak-tombak dan
pelanting-pelanting besar.
Setelah semua mendapat giliran, para calon pun turun, lalu
diantar kembali ke asrama jagabaya yang terletak agak jauh
menjorok ke dalam hutan dari tepi barat Cipamali.
Malam itu puragabaya Geger Malela mengumpulkan
pasukan, dan dengan sebuah peta kulit di depannya mulai
menerangkan kedudukan lawan. Gubuk-gubuk diperkirakan
sebagai tempat bermalam perwira-perwira dan tempat
menyimpan persediaan, sedang rakit-rakit adalah sebagai alat
penyeberangan pasukan lawan, kalau mereka sudah merasa
saatnya tiba untuk bergerak ke barat. Akan tetapi, tentu saja
gerakan hanya akan dimulai, seandainya perkiraan-perkiraan
itu sudah dibuktikan. Untuk itu, dua orang calon akan dikirim
sebagai pengintai. Mereka harus menyeberangi Sungai

Cipamali dan mencoba mendekati perkubuan lawan sedekat
mungkin. Untuk itu Pangeran Muda ditugaskan untuk pergi
bersama-sama dengan Ginggi. Pada malam itu juga Pangeran
Muda berenang menyeberangi sungai yang besar itu diikuti
oleh Ginggi.
Malam tiba di seberang timur dan dalam waktu yang
hampir bersamaan. Ketika mereka mulai bergerak ke dalam
hutan, mereka mendengar desir semak. Mereka segera
berhenti dan bersembunyi. Tak berapa lama kemudian
muncullah dua orang anggota pasukan musuh, mengobrol
perlahan-lahan dalam bahasa yang asing. Melihat kedua
anggota pasukan lawan yang juga sedang melakukan
pengintaian dan melihat-lihat ke seberang, Ginggi berpaling
dan bertanya dengan isyarat mata, apa yang akan mereka
lakukan. Pangeran Muda menggelengkan kepala, sebagai
isyarat bahwa mereka tidak akan melakukan apa-apa terhadap
anggota pasukan lawan itu. Maka mereka pun kembali
merangkak-rangkak dan menyelinap dalam semak-semak
seperti dua ekor ular.
Ternyata daerah perkubuan lawan yang melalui permata
sakti itu tampak dekat, pada kenyataannya sangatlah jauh.
Sebelum sampai ke tempat itu Pangeran Muda dengan Ginggi
harus menyeberangi sungai-sungai kecil, memanjat tebingtebing
rendah, dan bahkan melintasi perbukitan kapur yang
tidak bersemak. Mereka terpaksa merangkak seperti dua ekor
ular, agar tidak tampak seandainya anggota pasukan berada
dekat-dekat ke sana. Untung malam sangat kelam dan
penyelinapan mereka pun tidak terlalu sukar untuk dilakukan.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di tepi
perkubuan itu. Mula-mula mereka bersembunyi dalam semak,
tetapi karena malam sangat gelap dan orang sangat banyak,
akhirnya Pangeran Muda dengan Ginggi dapat
menggabungkan diri dengan lawan, dan dengan bebas
mencatat dalam hati apa yang mereka lihat di sana. Dengan
hati berdebar-debar, mereka berjalan ke sana kemari di antara
orang-orang yang bekerja dalam gelap. Untuk tidak

menimbulkan kecurigaan Ginggi dan Pangeran Muda
mengangkat keranjang kosong yang mereka temukan di suatu
tempat. Setelah cukup mendapat gambaran, mereka pun
kembali menyelinap ke dalam semak, lalu menyusur hutan ke
arah barat.
Mereka baru tiba kembali ke pangkalan pada saat subuh.
Sepanjang malam itu puragabaya Geger Malela terus
menunggu, dan ketika mereka tiba baru puragabaya itu tidur.
Karena harus memusatkan seluruh perhatian, dan karena
menderita tekanan ketegangan sewaktu mereka berada di
perkubuan lawan, pengintaian itu merupakan tugas yang
sangat melelahkan. Pangeran Muda dan Ginggi tertidur
dengan pulas, dan baru ketika akan diadakan perundingan,
keesokan harinya mereka dibangunkan.
Pada perundingan itu segala perkiraan diperiksa kembali
dan disesuaikan dengan apa yang dilihat oleh kedua pengintai.
Setelah itu baru ditetapkan siasat penyerangan. Seluruh
pasukan dibagi dalam kelompok-kelompok. Kelompok itu
terdiri dari tiga sampai lima orang. Setiap kelompok
diharuskan menyerang penghuni kubu-kubu, sedang yang lima
orang yang termasuk ke dalam kelompok Pangeran Muda
diberi tugas untuk menyerang isi kubu yang paling besar, di
mana diperkirakan Panglima Pasukan lawan menginap.
Kelompok lain yang terdiri dari lima orang lagi ditugaskan
untuk membakar semua daerah perkubuan dan rakit-rakit
yang sudah dibuat ataupun bahannya. Setiap anggota
pasukan diminta agar dapat membunuh sebanyak-banyaknya.
Setelah itu ditetapkan aba-aba penyerangan dan aba-aba
pengunduran diri.
Malam itu juga, ketika hari mulai gelap, ketiga puluh orang
pasukan dengan diantar oleh perwira asrama jagabaya
setempat berangkat ke tempat penyeberangan yang telah
ditetapkan. Anggota-anggota pasukan bersenjata lengkap,
berupa gada-gada, pedang-pedang pendek, dan baju zirah. Di
samping itu, beberapa anggota pasukan membawa minyak

kelapa yang akan membantu mereka dalam melakukan
pembakaran-pembakaran.
Maka setelah dua orang puragabaya berenang dan
merentangkan tambang, pasukan pun dengan berpegang
pada tambang itu mulai menyeberangi Cipamali.
Penyeberangan itu tidak mudah dilakukan, bukan saja karena
persenjataan mereka berat, tetapi perbekalan-perbekalan lain
seperti minyak sangat sukar diseberangkan tanpa menderita
kerusakan. Di samping itu, penyeberangan pun tidak dapat
pula dilakukan dengan terlalu berisik karena hal itu mungkin
menarik perhatian pengintai-pengintai lawan.
Setelah penyeberangan dilakukan dengan selamat, pasukan
pun bergerak terus. Sengaja mereka mengambil jalan
melingkar, bukan saja untuk menghindarkan kemungkinan
adanya pengintai lawan, tetapi juga agar dapat menyerang
lawan dari arah timur. Dan setelah lama sekali mengendapendap,
tibalah mereka di tempat menunggu yang telah
ditetapkan, yaitu sebuah hutan yang berada di sebelah timur
perkubuan. Untuk beberapa lama mereka menunggu di sana,
sambil menunggu berkurangnya kesibukan di perkubuan. Pada
saat itulah mereka akan menyerang. Setelah malam sangat
larut dan perkubuan bertambah sunyi, pasukan pun bergerak
mendekati. Beberapa lama mereka menunggu lagi sambil
berjalan meniarap, lalu ketika subuh tiba serta ayam
berkokok, puragabaya Geger Malela memberi aba-aba
penyerangan. Menghamburlah pasukan melangkahi anggotaanggota
pasukan lawan yang tidur di lapangan dan sekitar
perkubuan.
Pangeran Muda dengan lima orang calon puragabaya
menghambur menuju gubuk yang terbesar. Mereka dihadang
oleh beberapa orang penjaga, dan di depan gubuk pun
terjadilah pergumulan. Pangeran Muda dihadang oleh seorang
penjaga, tapi penjaga itu tidak diberinya kesempatan. Dengan
dua gerakan, kepala penjaga itu telah remuk oleh gada
kecilnya. Setelah itu Pangeran Muda memasuki gubuk.
Beberapa orang yang masih terbaring atau setengah bangun

dihantam oleh Pangeran Muda dan kawan-kawannya. Teriakan
kesakitan, peringatan, aba-aba bahaya bercampur aduk
dengan suara gemuruh api. Dalam kalang kabut itu Pangeran
Muda memukulkan gadanya ke kiri dan ke kanan ke arah
penjaga-penjaga yang memasuki gubuk. Tiba-tiba bagian atas
gubuk mulai terbakar karena seseorang melemparkan obor ke
sana. Ginggi mempergunakan pedangnya untuk membuat
lubang di sisi kemah, dan dengan melalui lubang itu ia keluar.
Pangeran Muda sambil menghindarkan serangan dan memukul
lawan yang menyerbu masuk ke dalam gubuk mundur ke arah
lubang itu. Dan ketika ia sudah tepat berada di depan lubang
itu ia melompat keluar.
Di luar tampak orang kalang kabut berlarian ke sana kemari
sambil berteriak-teriak. Api berkobar-kobar di semua gubuk
juga di tempat pembuatan dan penimbunan rakit. Dalam
keadaan kalang kabut itu, Pangeran Muda melihat puragabaya
Geger Malela berdiri di tengah-tengah lapangan seraya
memerhatikan kejadian itu dengan senjata di tangan.
Puragabaya itu tidak melakukan hal-hal lain, kecuali
memerhatikan seluruh kejadian itu dengan tenang dan teliti.
Tak lama kemudian, ia berjalan ke arah penimbunan rakit.
Sambil berjalan berulang-ulang, ditebaskan pedangnya ke
arah pasukan lawan yang hilir mudik dengan kacau.
Sesuai dengan yang diperintahkan, Pangeran Muda pun
segera menuju ke tempat pembuatan dan penimbunan rakit.
Di tempat itu terjadi pertempuran antara anggota-anggota
pasukan khusus Pajajaran yang sedang melindungi kawankawannya
yang bertugas membakar rakit-rakit, melawan
anggota-anggota pasukan lawan yang akan menyelamatkan
rakit-rakit dan bahan-bahan rakit mereka yang mulai menyala.
Melihat hal itu, Pangeran Muda segera menyerbu, menetakkan
gadanya ke arah pasukan lawan dari arah belakang.
Ternyata tugas membakar rakit itu tidak dapat dilakukan
dengan mudah. Selain minyak bakar terlalu sedikit yang dapat
diselamatkan dalam penyeberangan, ternyata bambu-bambu
besar yang menjadi bahan rakit itu masih basah. Itulah

sebabnya sejumlah anggota pasukan terpaksa harus menahan
serangan lawan untuk melindungi kawan-kawannya yang
sedang menyiramkan minyak dan menyuluti rakit-rakit itu.
Pangeran Muda dengan sekuat tenaga membantu memukul
pasukan lawan yang makin lama makin banyak bergerak ke
arah tempat rakit itu. Pangeran Muda pun melihat bagaimana
api makin lama makin besar, dan akhirnya berada di luar
jangkauan lawan untuk memadamkannya. Dalam kobaran api
yang menerangi cakrawala itu, terdengarlah aba-aba
pengunduran diri. Pangeran Muda seraya masih memukul ke
kanan dan ke kiri menghambur ke dalam hutan yang kelam.
Setiba di tempat berkumpul yang telah ditentukan,
Pangeran Muda melihat sebagian dari kawan-kawannya sudah
berada di sana. Kemudian puragabaya Geger Malela muncul,
sambil menyusut pedangnya yang penuh darah dengan daundaunan
yang dipungutnya. Kemudian beberapa orang yang
lain muncul. Hanya tiga orang yang tidak kembali hingga saat
kokok ayam hutan terdengar, ketika mereka menetapkan
untuk pergi. Untuk ketiga orang anggota pasukan yang tidak
kembali itu, mereka mengucapkan doa bersama-sama.
Kemudian pasukan bergerak ke salah satu pinggir sungai yang
lain. Perjalanan yang sukar kembali ditempuh, kemudian
penyeberangan yang berbahaya dan akhirnya tibalah mereka
di asrama jagabaya yang jadi pangkalan mereka.
Dua hari setelah pertempuran malam itu, pasukan khusus
yang dipimpin oleh puragabaya Geger Malela kembali ke
Pakuan Pajajaran. Pasukan itu kehilangan tiga orang
jagabaya. Pangeran Muda disambut oleh Putri Yuta Inten yang
tidak kembali ke kota Medang tapi tetap menunggu di Pakuan
Pajajaran hingga Pangeran Muda tiba kembali dari perbatasan.
Saat-saat sekembali dari pertempuran itu merupakan saat
yang paling membahagiakan bagi Pangeran Muda.
HAMPIR dua minggu Putri Yuta Inten menunggu
kedatangan Pangeran Muda dari Pajajaran timur. Hal itu
bukan saja karena kekerasan hati Putri Yuta Inten untuk tidak
kembali ke Medang, tetapi juga karena Raden Banyak Citra

berkepentingan untuk berada di Pakuan Pajajaran selama
keadaan genting itu. Setelah pasukan khusus kembali dari
perbatasan timur, karena memahami akan hasrat Putri Yuta
Inten untuk berdekatan dengan Pangeran Muda, Raden
Banyak Citra mengundurkan waktu pulangnya.
Kedua muda remaja mempergunakan kesempatan yang
baik itu dengan penuh gairah. Kalau tidak berjalan-jalan
melihat-lihat kemegahan kota, kadang-kadang Pangeran Muda
meminjam sebuah kereta kecil dari Pangeran Rangga Wesi,
lalu membawa Putri Yuta Inten mengembara di padangpadang
di luar benteng. Pada suatu kali, dengan
mempergunakan kereta kecil itu, mereka mengembarai jalanjalan
yang melintasi padang-padang, huma-huma dan palawija
penduduk. Ketika matahari berada di puncak dan kuda mereka
kelelahan, Pangeran Muda membelokkan kereta kecil itu
menuju ke arah sebuah mata air yang sekelilingnya ditumbuhi
oleh semak-semak bunga yang rindang dan rumput-rumput
yang hijau. Mereka pun turunlah di tempat yang teduh itu.
Ketika Pangeran Muda melepaskan kuda untuk memberinya
minum, Pangeran Muda tidak melihat ke belakang. Dan ketika
Pangeran Muda kembali ke kereta, Putri Yuta Inten sudah
tidak ada. Pangeran Muda terkejut, kemudian melihat ke
sekeliling, ke kaki langit, ke padang-padang lalang dan semaksemak
yang berdekatan dengan mata air itu. Akan tetapi, Putri
Yuta Inten tidak tampak. Pangeran Muda berseru memanggilmanggil
untuk beberapa kali, tetapi tidak ada yang menyahut.
Dengan cemas, Pangeran Muda berjalan ke arah kereta, lalu
melihat tanah di sekeliling kereta itu. Ia tersenyum karena
jejak kaki hanya ada sepasang, kecil-kecil dan ringan.
Dengan mengikuti jejak kaki itu, Pangeran Muda berjalan
hati-hati menuju semak bunga-bungaan, kemudian memasuki
semak yang pohon-pohonnya agak besar. Begitu Pangeran
Muda tiba di suatu pinggir kelompok semak yang rimbun,
terdengarlah suara tertawa ditahan, kemudian tampaklah
Puteri Yuta Inten berlari menjauh. Pangeran Muda
mengejarnya, makin lama makin dekat. Kemudian makin

dekat, dan rambut Yuta lnten yang panjang mengibas-ngibas
wajahnya. Akhirnya, Pangeran Muda menangkap pinggang
gadis itu yang sambil tertawa-tawa menjatuhkan diri,
membawa Pangeran Muda berguling-guling di atas rumputrumput
yang lembut itu. Dengan mulut tertutup, untuk
beberapa lama mereka bergulat, berguling-guling. Tiba-tiba
Yuta Inten memegang tangan Pangeran Muda.
”Jangan!" katanya lemah.
Sejenak mereka diam membisu, hanya napas mereka yang
berat terdengar. Untuk beberapa lama mereka tidak berkata
apa-apa, kemudian setelah agak tenang Pangeran Muda
berkata, "Adinda, tidakkah kau takut memancing-mancing
Kakanda ke dalam hutan seperti ini?"
"Mengapa harus takut? Adinda didampingi oleh seorang
calon puragabaya."
"Maksud Kakanda, tidakkah kau takut akan diri kita sendiri,
terutama oleh Kakanda sebagai seorang laki-laki?"
"Kakanda seorang kesatria, dan bukan orang kasar yang
tidak tahu tata krama," ujar Putri Yuta Inten sambil
menyurukkan wajahnya ke dada Pangeran Muda.
Setelah beberapa lama hening, berkatalah Pangeran Muda,
"Bagaimana kalau kita segera kawin?"
Putri Yuta Inten melepaskan pelukannya, memandang ke
arah Pangeran Muda, lalu memeluknya lagi. Mereka pun
kembali berguling-guling di atas rumput itu, dan baru
beberapa lama mereka dapat berkata-kata.
"Ayahanda sedang sangat bersenang hati, segera minta
izin," kata gadis itu dengan sepenuh hati.
"Kita direncanakan untuk menikah pada waktu yang sama
dengan Kakanda Rangga Wesi dan Ayunda Ringgit Sari,
Kakanda harus berunding dengan mereka dan Ayahanda
terlebih dahulu."
"Ya, cepadah, sebelum berita datang dari perbatasan dan
Kakanda harus menerima tugas kembali."

"Tugas tidaklah menjadi persoalan. Kau dapat mengikutiku
sebagai seorang istri ke kota Galuh," ujar Pangeran Muda
sambil memegang tangan gadis itu.
"Adinda akan ikut Kakanda walau ke medan perang
sekalipun," katanya.
"Mari, kita harus segera bertemu dengan Kakanda Rangga
Wesi," kata Pangeran Muda. Tanpa menjawab Putri Yuta Inten
bangkit lalu berlari ke arah kereta, Pangeran Muda
mengikutinya dari belakang. Tak lama kemudian, seperti tidak
menyentuh tanah, kereta kecil itu menderu di jalan-jalan di
luar benteng Pakuan Pajajaran, menuju gerbangnya yang
megah dan lebar itu.
MELIHAT kedatangan mereka, Pangeran Rangga Wesi
sungguh-sungguh keheranan.
"Adik-adikku, apakah yang terjadi? Dari mana pula kalian,
hingga pakaian kalian kusut dan rambut kalian penuh dengan
rumput?"
Kedua remaja itu tidak peduli akan pertanyaan itu dan
Pangeran Muda segera berkata, "Kakanda, kami bermaksud
cepat-cepat menikah, kami minta izin kepada Kakanda, kami
berniat menikah lebih dahulu."
Mendengar usul itu, Pangeran Rangga Wesi lebih terkejut
lagi, tetapi kemudian ia berkata, "Kalian kira Kakanda sendiri
cukup sabar?" Sambil tersenyum, kemudian Pangeran itu
melanjutkan, ”Adinda berdua, Kakanda mengerti akan hasrat
kalian, tetapi sebagai seorang yang lebih tua, sebagai kakak
kepada adik-adiknya, Kakanda merasa kewajiban untuk
menyampaikan saran. Bagaimana kalau ditangguhkan
beberapa lama lagi, terutama karena berita sudah tiba di
perbatasan timur."
Sebelum perkataan Pangeran Rangga Wesi selesai,
Pangeran Muda telah menyela, "Akan tetapi, Kakanda, ada
atau tidak tugas tidaklah menjadi pertimbangan kami.
Seandainya tugas tiba bagi hamba untuk pergi ke kota Galuh,
hamba akan lebih berkeras lagi meminta kepada Ayahanda

agar kami segera dipersatukan. Hamba tidak sanggup pergi ke
Galuh seorang diri."
Setelah tersenyum, Pangeran Rangga Wesi berkata,
"Adinda Anggadipati, kalian salah sangka. Kalian tidak akan
ditugaskan ke Galuh sementara. Karena perbatasan timur
aman, dan Galuh pun aman, Adinda akan dikembalikan ke
Padepokan Tajimalela untuk enam bulan, kemudian dalam
upacara diangkat menjadi puragabaya yang sempurna.
Kakanda sudah berunding dengan Ayahanda Anggadipati
bahwa upacara perkawinan kita akan dilakukan dengan
perayaan menerima seorang puragabaya dan seorang
pengantin di Puri Anggadipati."
Mendengar itu termenunglah Pangeran Muda. Enam bulan
bukanlah waktu yang lama, sedang jarak antara padepokan
dengan Medang tidaklah jauh benar. Hanya satu hari
perjalanan berkuda. Di samping itu, apa salahnya menunggu
kalau hal itu akan lebih menyemarakkan perkawinan mereka?
Adalah watak terpuji bagi seorang kesatria untuk bersabar dan
tidak tergesa-gesa. Akan tetapi, keputusan tidak terletak
kepadanya sendiri. Maka Pangeran Muda pun berpaling pada
Putri Yuta Inten yang, ada di sampingnya.
"Bagaimana pendapatmu, Adinda?"
"Kakanda akan menjadi puragabaya dalam enam bulan?"
"Ya," jawab Pangeran Muda dengan pasti.
"Dan Kakanda tidak akan meninggalkan hamba ke Galuh?"
"Tidak," lanjut Pangeran Muda.
"Kakanda akan berada di Padepokan Tajimalela kembali
dan kita dapat sering bertemu."
"Kalau begitu...," ujar Putri Yuta Inten, "terserah kepada
Kakanda."
"Kita tidak akan menjadi terlalu tua dalam enam bulan,
Adinda," ujar Pangeran Muda sambil tersenyum seraya
memegang tangan gadis itu.
.Pangeran Rangga Wesi pun tersenyum, lalu berkata, "Dan
tidak hanya kalian yang harus bersabar, kami pun, Kakanda

dengan Kakanda Ringgit Sari, terpaksa harus menunggu dulu
Adinda Anggadipati puragabaya."
DUA hari sejak peristiwa itu, Pangeran Muda berangkat dari
ibu kota. Mula-mula menuju Medang, mengantar Putri Yuta
Inten dengan ayahandanya, kemudian tanpa menginap dulu,
langsung menuju Padepokan Tajimalela. Setiba di sana,
bersama-sama dengan kawan-kawan seangkatannya,
Pangeran Muda langsung digembleng dalam ilmu perkelahian
yang baru.
Seperti juga ilmu keseimbangan badan dan ketangkasan,
ilmu yang terakhir ini merupakan ilmu pelengkap bagi
kemampuan berkelahi yang sebenarnya. Dalam latihan
keseimbangan badan, setiap calon diharuskan menguasai
sejuruh tubuhnya hingga ia tidak mungkin dirubuhkan dalam
perkelahian. Dalam latihan ketangkasan, selain digembleng
hingga setiap calon tidak akan mudah lelah, kecepatan
menggerakkan dan mempergunakan seluruh anggota badan
dan ketepatan penggunaannya harus mereka miliki. Isi dari
kemampuan berkelahi itu sendiri terletak pada kemampuan
melakukan gerakan-gerakan secara sempurna dan melakukan
pukulan-pukulan yang keras pada bagian-bagian tubuh lawan
yang lemah. Dalam latihan taraf terakhir ini, pancaindralah
yang dipertajam.
Mula-mula mata para calon dilatih untuk berjalan di tempat
yang sukar di dalam gelap, menyeberangi jembatan tali di
tempat yang gelap, memanjat jurang di tempat yang gelap,
dan membedakan berbagai warna di tempat yang gelap.
Latihan itu diseling dengan latihan bertapa, tanpa menyentuh
makanan atau minuman kadang-kadang untuk waktu
beberapa hari. Mata mereka pun berulang diberi obat-obat
oleh Pa-manda Minda. Setelah terus-menerus latihan itu
dilakukan, akhirnya terasa oleh Pangeran Muda bahwa
pandangannya semakin tajam, hingga siang dan malam tidak
lagi berbeda baginya. Latihan mata hanya sebentar saja
dilakukan di bawah bimbingan, dan seperti juga kebanyakan

dari latihan-latihan lain, akhirnya latihan mata diserahkan
penyempurnaan kepada para calon sendiri.
Berturut-turut mata, telinga, hidung, dan seluruh
permukaan kulit diperhalus sedemikian rupa, hingga para
calon dapat mengetahui gerak-gerik alam yang sekecilkecilnya
dengan bantuan pancaindra mereka yang telah
dipertajam itu. Setelah gemblengan dilakukan terus-menerus
selama enam bulan, akhirnya latihan kepuragabayaan mereka
dianggap selesai.
Mereka menerima pesan dari Eyang Resi, untuk terusmenerus
memperhalus kemampuan pancaindra mereka dalam
kehidupan.
Sebelum upacara pengangkatan mereka sebagai
puragabaya, dan selagi menunggu bangsawan-bangsawan
tinggi serta Putra Mahkota yang akan menghadiri upacara itu,
Eyang Resi memberi mereka waktu istirahat selama dua
minggu. Kebanyakan dari para calon meninggalkan
padepokan, demikian juga Pangeran Muda. Sebagian dari
waktu cutinya dipergunakan di Puri Anggadipati, sebagian di
kota Medang di mana upacara pertunangannya dengan Putri
Yuta Inten dilaksanakan.
Setelah pertunangan itu dilangsungkan, Jante yang datang
bersama-sama ke Medang dengan Pangeran Muda, meminta
izin kepada orangtuanya untuk pergi ke Kutabarang untuk
menguruskan hal-hal yang tidak diterangkan kepada orang
lain. Oleh karena itu, ketika saat untuk kembali ke padepokan
tiba, Pangeran Muda hanya diiringkan oleh Mang Ogel yang
menjadi pengiring Pangeran Muda dalam masa cuti itu.
Ketika mereka tiba kembali di padepokan, sebagian dari
bangsawan-bangsawan dari ibu kota sudah hadir. Beberapa
hari kemudian saat upacara pelantikan pun tiba dan para
calon sudah hadir semua, kecuali Jante. Dengan gelisah,
Pangeran Muda menunggu calon iparnya datang, tetapi ketika
upacara dilaksanakan Jante tidak muncul. Maka upacara pun
dilangsungkan tanpa Jante.

Dalam upacara yang khidmat itu mula-mula dilakukan
penyumpahan terhadap para calon. Para calon berjanji dengan
petaruh nyawa mereka masing-masing untuk setia kepada
kepentingan warga kerajaan, untuk tidak menyentuh ilmu-ilmu
lain kecuali ilmu kepuragabayaan, untuk tidak
mempergunakan ilmunya kecuali dalam keadaan terpaksa dan
atas nama kepentingan kerajaan, untuk tidak sayang pada
kepentingan dirinya bahkan kepada jiwanya sendiri kalau
kerajaan meminta, untuk tidak menyentuh makanan dan
minuman yang dapat menghalau pikiran sehat, untuk
berusaha menjadi contoh dalam segala hal yang baik dalam
kehidupan, khususnya sebagai prajurit dan warga kerajaan.
Setelah penyumpahan dilakukan upacara perlambang,
Pangeran Muda dipilih untuk mewakili kawan-kawannya.
Pada upacara itu Pangeran Muda berpakaian bangsawan
tinggi, dengan pakaian gemerlapan, dengan mahkota emas
yang biasa dipakai oleh seorang pangeran. Ia menyandang
pedang dan badik, memegang tombak di tangan kanan dan
tameng besar di tangan kiri. Di samping itu, Mang Ogel yang
berjalan di sampingnya membawa baki yang di atasnya
terletak dua buku, yaitu buku kepuragabayaan dan buku
kenegarawanan. Dengan diiringi oleh para pelatih dan para
calon, Pangeran Muda berjalan ke hadapan Eyang Resi yang
berdiri berdampingan dengan Putra Mahkota. Ketika mereka
sudah berhadapan di tengah-tengah lapangan padepokan itu,
Eyang Resi membacakan doa-doa, diikuti oleh Putra Mahkota
dan bangsawan-bangsawan tinggi yang berdiri di belakang
mereka. Setelah itu Eyang Resi menyalakan api dalam
pedupaan batu besar yang telah berdiri beratus tahun di sana.
Api yang bahan bakarnya terdiri dari kayu samida yang
dicampur dengan minyak itu menyala dengan cahaya yang
putih.
Pangeran Muda, sesuai dengan petunjuk yang telah
diberikan kepadanya sebelumnya, berjalan ke arah api itu.
Ketika Mang Ogel menyodorkan baki yang berisi dua buah
buku,

Pangeran Muda mengambil buku tentang kenegarawanan,
dan setelah mengacungkannya untuk dilihat hadirin,
melemparkannya ke dalam api, sebagai lambang bahwa
sebagai puragabaya ia menghindarkan buku itu dan
membuangnya jauh-jauh dalam kehidupannya. Setelah itu
Pangeran Muda mengambil perhiasan-perhiasan yang
semuanya terbuat dari emas, yang juga dilemparkannya ke
dalam api, sebagai lambang, bahwa sebagai puragabaya ia
hanya akan mengejar pelaksanaan kewajibannya dan akan
menghindarkan kemewahan. Setelah itu tombak
dipatahkannya, demikian juga pedang panjang, yang
kesemuanya juga menjadi makanan api suci, lambang
semangat kepuragabayaannya. Pangeran Muda membuang
senjata-senjata panjang karena senjata-senjata itu hanya
dipergunakan oleh rakyat dan prajurit-prajurit biasa, yaitu jagabaya-
jagabaya dan para gulang-gulang. Puragabaya hanya
mempergunakan senjata-senjata pendek. Itu berarti bahwa
puragabaya akan bertempur untuk kepentingan kerajaan di
barisan yang paling depan dan akan bertempur dari tangan ke
tangan. Setelah semua lambang dari hal-hal yang asing bagi
kepuragabayaan dan yang harus dijauhi oleh puragabaya
diserahkan ke dalam api suci, ketiga pelatih yang membawa
pakaian serta senjata puragabaya maju ke depan, lalu
melekatkan pakaian kepuragabayaan yang berwarna putih,
dengan ikat pinggang keemasan kepada Pangeran Muda. Di
luar pakaian putih itu ditutupkan pula pakaian hitam, sebagai
pelindung dan pakaian malam puragabaya. Setelah itu rambut
Pangeran Muda yang sekarang terurai, diikat dengan ikat
kepala puragabaya yang juga berwarna hitam. Setelah itu
diserahkan dua senjata pendek, yaitu sebuah kujang dan
sebuah trisula, senjata-senjata kepuragabayaan. Lalu Mang
Ogel maju dengan bakinya, dan Pangeran Muda mengambil
buku yang ada di atasnya, buku kepuragabayaan yang
kemudian dipegangnya.
Setelah itu, datanglah si Rawing membawa dua ekor kuda,
yang satu adalah si Gambir, kuda yang setia dan sudah tua,

yang lain putih warnanya, kuda Pangeran Muda yang akan
diterimanya sebagai seorang puragabaya. Kuda-kuda itu
dibawa ke hadapan Pangeran Muda. Pangeran Muda
melepaskan kendali dan pelana dari si Gambir, lalu
mengenakannya pada kuda putih yang dinamainya si Bulan di
dalam hatinya.
Untuk beberapa lama Pangeran Muda memandang ke arah
si Gambir dengan perasaan terharu dan kasih sayang. Kuda itu
sebentar lagi akan dikembalikan ke Puri Anggadipati, dan akan
dibiarkan bebas di padang, setelah bertahun-tahun hidup
bersama dengan Pangeran Muda. Betapa besar utang budi
Pangeran Muda pada kuda yang kuat dan lemah lembut itu.
Dalam hati, Pangeran Muda mengucapkan syukur kepada
Sang Hiang Tunggal, yang telah menciptakan makhluk yang
baik itu.
Ternyata upacara penyerahan kuda putih itu merupakan
upacara penutup. Eyang Tajimalela maju ke muka, untuk
berdoa. Setelah itu, bubarlah upacara pelantikan itu, para
bangsawan dan Eyang Resi serta para puragabaya memasuki
ruangan untuk bersantap dan berbincang-bincang. Pangeran
Muda sendiri, seorang diri menuntun si Gambir mengelilingi
padepokan yang telah lama dikenalnya dan dicintainya.
Dipandangnya tempat-tempat latihan yang perkasa dari jauh
dengan penuh kenang-kenangan. Terbayang kawannya yang
telah tiada, Janur yang sangat berbakat itu. Terkenang pula
bagaimana mereka pernah menangkap ular besar. Setiap
bagian dari padepokan memiliki kisahnya sendiri, dan sambil
menuntun si Gambir Pangeran Muda mengulangi kisah-kisah
itu dalam khayalannya.
Siang harinya dilakukan sembahyang bersama, setelah itu
bangsawan-bangsawan meninggalkan padepokan, dan
padepokan pun sunyilah kembali. Ketika itulah Pangeran Muda
teringat pada Jante yang tidak dapat hadir dalam upacara
pelantikan itu. Pangeran Muda mulai cemas ketika panakawan
yang diutus ke Kutabarang untuk menjemput Jante itu
terlambat datang dan pada hari ketiga, kecemasan itu

ternyata beralasan. Panakawan itu menyampaikan berita yang
menyedihkan kepada Eyang Resi, "Peristiwa yang
menyedihkan telah terjadi. Jante telah membunuh beberapa
orang bangsawan muda, dan sekarang menghilang. Kita harus
segera menemukannya dan menyelesaikan persoalannya."
Berita itu bagi halilintar di musim kemarau bagi Pangeran
Muda. Hatinya terhenyak dan sedih. Ia sadar pula, peristiwa
itu akan sangat menyedihkan keluarga Banyak Citra, dan
sebagai seorang yang akan menjadi anggota keluarga
bangsawan itu, ia sangat merasa terlibat dalam suka-duka
keluarga itu. Malam itu, ketika perundingan padepokan
menetapkan lima orang puragabaya baru di bawah pimpinan
Pamanda Rakean untuk mencari Jante, Pangeran Muda
mengajukan diri untuk menjadi tenaga sukarela. Dan
keesokan harinya, ketika hari masih berkabut, tujuh orang
puragabaya meninggalkan padepokan menuju Kutabarang.
0-d-0-w-0-k-0-z-0
Bab 18
Malakal Maut
Pangeran Jayapati adalah Penguasa Kota Kutabarang.
Rombongan puragabaya pertama-tama menghadap kepada
pangeran itu untuk melengkapi keterangan dan meminta
saran-saran bagaimana supaya mereka dapat menemukan
Jante. Pangeran Jayapati dengan murung menerangkan
kepada mereka, 'Jaluwuyung adalah seorang puragabaya yang
baik. Ia sangat patuh dan melaksanakan segala tugas dengan
baik. Akan tetapi, ada suatu hal yang mengganggu pikiran
saya semenjak dia datang ke sini. Ia. sangat pemurung, dan
kadang-kadang cahaya matanya memperlihatkan sinar yang
aneh. Berulang-ulang saya bertanya kepadanya, apa yang
menjadi sebab kemurungannya. Ia tidak mau menjelaskan.
'
"Belakangan ia menjelaskan bahwa serombongan
bangsawan-bangsawan muda yang datang dari luar kota,

yaitu dari Kuta Kiara, membayang-bayanginya selagi ia
mengelilingi kota sebagai pelaksanaan salah satu dari
tugasnya. Saya menanyakan kepadanya, apa sebabnya
pemuda-pemuda itu membayang-bayangi. Ia menjawab tidak
tahu. Belakangan saya mendapat keterangan dari seorang
bangsawan bahwa seorang putri yang bernama Mayang Cinde
menaruh perhatian kepadanya. Rupanya rombongan
bangsawan muda dari Kuta Kiara tidak bersenang hati akan
hal itu, dan dalam suatu kesempatan mencegatnya di luar
benteng. Perkelahian terjadi, dan tiga orang menjadi korban,
yang pertama adalah Raden Bagus Wiratanu, yang lain adalah
kawan-kawannya. Di samping yang tewas itu terdapat pula
yang luka-luka, patah tulang dan sebagainya. Semenjak itu,
Jante tidak kembali ke istana."

"Apakah jejaknya sudah ditemukan?"

0 komentar:

Posting Komentar

 
;