Sabtu, 24 Mei 2014

Ksatria Hutan Larangan 3

Ternyata bangunan
itu seluruhnya dibuat dari kayu jati, dari papan-papan tebal
dan tiang-tiang yang besar-besar. Pangeran Muda termenung
sebentar, kemudian terlintas dalam pikirannya bahwa jalan
satu-satunya adalah lolos lewat genting. Seperti seekor bajing
Pangeran Muda memanjat salah sebuah tiang. Akan tetapi,
dengan kecewa ia menyadari bahwa loteng bangunan itu pun
dibuat sama kuatnya dengan dindingnya. Mungkin bangunan
itu khusus dibuat untuk menyekap orang, demikian pikir
Pangeran Muda sambil duduk di lantai. Setelah terduduk
beberapa lama, ia pun bangun kembali lalu dengan
mengerahkan tenaga memukul salah satu di dinding bangunan
itu dengan tinjunya. Akan tetapi, itu pun sia-sia. Tak ada
pilihan lain bagi Pangeran Muda kecuali menunggu siang hari
dan menunggu nasib selanjutnya dengan siap siaga.
Selagi duduk di lantai itu terdengarlah di luar burung
prenjak, kucica, dan kutilang mulai bernyanyi. Ayam berkokok
bersahut-sahutan. Bersamaan dengan masuknya cahaya dari
luar, terdengarlah palang pintu dipatahkan orang dari luar.
Pintu bangunan itu terbuka lebar-lebar dan di ambangnya
berdirilah Mang Ogel sambil tersenyum, kedua tangannnya
memegang kendali.
"Nah, makanya jangan mengganggu gadis-gadis. Kau
masih terialu muda, Anom. Mang Ogel tidak menyangka,
bahwa orang yang pendiam seperti Anom bisa cekatan seperti
itu mencuri hati seorang putri. Sekarang segera keluar dari
tempat ini."
Pangeran Muda segera berdiri, lalu berjalan dan melompat
di punggung si Gambir. Mang Ogel memecut kudanya,
Pangeran Muda mengikuti dari belakang sambil berseru,
"Mang, sudahkah kau urus utang-utang kita dengan pemilik
penginapan itu? Sudahkah kaubayar makanan kuda?"

"Bagaimana akan mengurus uang, mengurus satu orang
bangsawan muda pun hampir menjadi putih kepala Mang Ogel
hehehe."
"Betul, Mang, kalau belum dibayar marilah kita kembali."
"Sudah! Sudah! Pelayan-pelayan kekasihmu itu sudah
membayarnya," sambil menjawab begitu Mang Ogel memacu
kudanya dijalan besar itu seperti seorang yang sedang dikejarkejar
siluman. Pangeran Muda terpaksa meniru agar tidak
ketinggalan. Orang-orang yang berpapasan berloncatan ke
tepi sambil memaki-maki, ayam beterbangan sambil berkotek,
debu mengepul di udara, sedang dari kuda-kuda mereka
membersit bunga-bunga api.
Ketika mereka melewati gerbang kota, para penjaga
terkejut dan berteriak-teriak memanggil mereka Akan tetapi,
Mang Ogel cuma melambaikan tangan sambil berseru,
"Bangsawan-bangsawan kalian sangat ramah hehehe terima
kasih hehehe." Baru setelah jauh sekali dari kota itu Mang
Ogel mengekang kendali kudanya, dan Pangeran Muda pun
dapat menyusulnya.
"Sekarang terangkanlah kepada Mang Ogel, apa yang
terjadi hingga Mang Ogel terpaksa mematahkan palang pintu
orang. Sungguh-sungguh Anom ini nakal rupanya, sungguh
Emang tidak menyangka hehehe."
Pangeran Muda menceritakan apa yang sebenarnya terjadi
dan sambil mengangguk-anggukkan kepala Mang Ogel
mendengarkannya.
"Mengapa kau tidak lari, Anom?"
"Bagaimana saya bisa lari, Mang, dinding dan seluruh
bagian bangunan itu memang dibuat untuk menyekap orang,"
jawab Pangeran Muda.
"Maksud Mang Ogel, mengapa sebelumnya kau tidak ambil
langkah seribu. Tidakkah di padepokan diajarkan, bagaimana
kau harus lari?"
"Soalnya saya tidak mau disangka berbuat sesuatu yang
tidak saya lakukan. Saya mengharapkan diadakannya
pengadilan, supaya masalahnya menjadi terang."

"Engkau terlalu beradab, Anom, sedang orang-orang di sini,
walaupun mereka kaya ternyata bukan saja tidak beradab,
tetapi cukup buas hehehe."
"Bagaimana kau tahu, Mang?" tanya Pangeran Muda.
Mang Ogel mulailah bercerita, "Begitu banyak tadi malam
Emang minum tuak, hingga dunia ini menjadi begitu meriah.
Tapi, seperti juga dunia yang meriah secara dipaksa, segala
kegembiraan itu lenyap dengan segera. Dalam hal Emang,
tidur pulas segera tiba. Yang terakhir Emang ingat adalah
bahwa kita sedang bercakap-cakap dijalan dan Emang sedang
melihat bunga kenanga terselip di ikat kepalamu, Anom."
"Itu tidak sengaja, Mang. Rupanya bunga yang malang itu
terselip ketika orang menaburkannya kepada saya," ujar
Pangeran Muda.
"Bukan orang itu, Anom, maksudmu orang yang cantik itu
hehehe memang putri-putri kota itu rupanya senang bikin
susah orang, main lempar-lemparan segala, hingga terjadi
main sekap-sekapan," sambung Mang Ogel.
"Saya sendiri tidak main lempar-lemparan, Mang. Saya
lewat di bawah panggung dan orang itu menaburkan bunga
kenanga. Celakanya saya tidak tahu sekuntum terselip di ikat
kepala saya."
"Orang cantik itu maksudmu, hehehe, dan tentang terselip
atau diselipkan tidak Emang persoalkan hehehe. Baiklah,
mukamu tidak usah berubah warna kalau kau tidak berbuat
apa-apa hehehe. Sekarang marilah Emang melanjutkan
dongeng Emang. Nah, entah berapa lama Emang tertidur di
balai-balai di tepi jalan itu. Baru Emang bangun ketika
perasaan dingin menggigilkan seluruh tubuh Emang. Ketika
Emang membukakan mata yang terlihat di langit hanyalah
tebaran berjuta bintang, sedang jalan-jalan telah sunyi, hanya
pelita-pelita berkelap-kelip di tepinya. Emang sungguhsungguh
geram kepadamu yang tega meninggalkan Emang
kedinginan di tepi jalan ketika itu. Lalu Emang bangkit dan
berjalan ke penginapan. Setiba di sana, apakah yang Emang
lihat?

"Lima orang gulang-gulang, seorang emban tua dan
seorang putri cantik sedang menangisimu, Anom. Begitu
Emang datang, putri itu berlari menubruk Emang, kemudian
menyalahkan Emang sambil memujimu, lalu menangis, lalu
bicara hehehe. Sampai Emang jadi bingung, padahal bangun
sempurna pun Emang belum. Dari perkataannya yang
dicampur air mata, dari pujian yang dicampur penyesalan,
pendeknya dari perkataan-perkataan yang seperti ngelindur
yang didengar oleh orang yang setengah bangun ketika itu,
diambillah kesimpulan, bahwa Anom diculik dan disiksa orang
dan Emang harus segera menolong.
"Kata Emang, Anom itu bukan orang biasa, yang
mengganggunya harus bertanggung jawab. Kata putri itu
justru yang menangkapnya pun orang yang tidak biasa, yaitu
Raden Bagus Wiratanu, putra sulung Tumenggung Wiratanu
yang menjadi penguasa kota. Jadi, Emang harus bertindak
dengan segera, sebelum hal-hal yang lebih jelek terjadi. Kalau
begitu, Emang harus mengetahui sebabnya terlebih dahulu
mengapa Anom sampai disekap. Kalau Anom bersalah, kata
Emang, sepantasnya Anom disekap dan Emang tidak akan
membantunya. Bahkan kalau Anom lari, Emang akan
membantu menangkapnya. Dan apakah yang terjadi hehehe
Putri itu menangis keras-keras dan mengatakan dialah yang
bersalah dan minta diampuni. Bersalah bagaimana? tanya
Emang. Nah, jawabnya tepat: Sekuntum kenanga
dilemparkannya kepada Anom, lalu menyangkut di ikat kepala.
Itulah yang menyebabkan Anom disekap."
"Bukan sekuntum Mang, entah berapa puluh kuntum yang
ditaburkannya di kepala saya," sela Pangeran Muda.
"Soalnya putri itu mengatakan sekuntum dan dengan
sekuntum saja engkau babak belur dan disekap bukan? Hche
he."
"Baiklah, teruskan, Mang."
"Siapa yang main sekap hanya lantaran sekuntum
kenanga?" tanya Emang.
"Raden Bagus Wiratanu," jawabnya.,

"Wah, Raden Bagus ini tidak bagus, rupanya," kata Emang.
"Memang suka bikin gara-gara dan sekarang pun entah apa
yang dilakukannya terhadap kesatria yang Emang iringkan
itu," ujarnya.
'Apa yang mungkin dilakukannya?" Emang bertanya dengan
cemas.
"Mungkin Anom disiksa, di samping itu, di lapangan di
sebuah hutan yang tidak jauh dari rumah putri itu beberapa
orang badega sedang membuat salib dari kayu. Putri itu sudah
mengira esok pagi salib itu diperuntukkan bagimu. Rupanya
engkau akan disate atau diapakan oleh orang-orang yang
tidak beradab itu, Anom. Mendengar itu, Emang pun segera
pergi, minta ditunjukkan tempat kau disekap. Di perjalanan
Emang sempat melihat salib itu, dengan beberapa orang
sedang bekerja di sana, mempersiapkan pembakaranmu
hidup-hidup, rupanya. Dan kisah selanjutnya kau sendiri
mengetahui," kata Mang Ogel menutup bicaranya.
"Hampir saya lupa dan akan memukul orang-orang itu,
Mang," kata Pangeran Muda sambil menarik napas panjang,
menekan kegeraman yang meluap dengan tiba-tiba.
"Anom, kau ini terlalu patuh hehehe. Kalau kau dipukul di
tempat tersembunyi, mengapa tidak membalas?" ujar Mang
Ogel seraya mengerling pada Pangeran Muda.
"Seandainya, saya bernama Mang Ogel, sudah saya makan
orang-orang itu di tempat terbuka ataupun tertutup!"
sambung Pangeran Muda sambil menahan kegeramannya.
Perasaan sedih mulai menusuk hatinya. Bukan sedih karena
tidak dapat melawan ketika dianiaya, tetapi sedih menemukan
kenyataan bahwa ada orang-orang yang buas seperti Raden
Bagus dengan anak-anak buahnya. Rupanya Mang Ogel
melihat kesedihan yang membayang pada wajah Pangeran
Muda karena kemudian ia berkata, "Engkau seorang calon
puragabaya, Anom, janganlah pengalaman itu dianggap luar
biasa. Bagi seorang puragabaya penderitaan, penghinaan, dan
tugas berat adalah bagian dari hidupnya. Untuk segalanya itu,
puragabaya dianugerahi kehormatan dan kemuliaan oleh

rakyat dan sang Prabu. Jadi, lupakanlah, dan bahkan
bersyukurlah karena engkau telah dapat mengendalikan
perasaan dan terutama mengendalikan tubuhmu yang sangat
berbahaya itu."
"Terima kasih, Mang. Nasihatmu mendinginkan hati saya.
Ingatkan saya nanti, bahwa saya akan menyerahkan sajen
bagi para guriang karena saya telah lolos dari bahaya itu,"
sambung Pangeran Muda.
'Anom, pengekangan diri seorang puragabaya pun ada
batasnya. Seandainya jiwanya terancam, bukan saja dia boleh
mempertahankan diri, tetapi bahkan diharuskan baginya
berbuat demikian, asal saja semuanya dapat
dipertanggungjawabkan."
"Saya pun tahu akan hal itu, Mang. Seandainya, mereka
mempergunakan senjata tajam, saya telah melawan mereka.
Akan tetapi, tidak ada di antara mereka yang mempergunakan
senjata, jadi saya berkewajiban untuk mengendalikan diri."
"Anom, mereka tidak mempergunakan senjata tajam
karena akan menyiksamu keesokan harinya. Jadi, janganlah
menyangka mereka itu beradab. Dari gulang-gulang putri yang
mengantarkan Emang mencarimu, Emang mendapat
penjelasan bahwa Raden Bagus ini memang benar-benar
berandal. Banyak pemuda dan bahkan orang-orang tua yang
menjadi korbannya, dan itu kebanyakan karena cemburunya.
Ia mencintai putri yang menyelipkan kuntum kenanga di
kepalamu itu hehehe. Nama putri itu Mayang Cinde, boleh kau
catat di hatimu hehehe."
Pangeran Muda tidak menyahut. Dilihatnya dari jauh
kelompok pohon yang sangat hijau di tengah-tengah padang
yang mereka lalui. Pangeran Muda tengadah. Matahari sudah
tinggi, kuda-kuda perlu minum dan di bawah kelompok pohon
itu tentu ada mata air yang baik. Tampaknya Mang Ogel pun
berpendapat begitu karena setiba di dekat tempat itu ia pun
mengekang kendali kudanya.

SEMENTARA kuda-kuda minum dan mengunyah dedak dari
kantong-kantong kecil masing-masing, Pangeran Muda duduk
di rumput menghadapi santapan yang telah disediakan oleh
Mang Ogel untuk makan pagi. Mereka minum air dari kulit
kukuk kecil dan mencicipi dendeng bakar dengan nasi merah.
Setelah itu, mereka makan buah-buahan yang dibawa dari
Kuta Kiara yang baru mereka tinggalkan.
Setelah selesai makan, dan ketika Mang Ogel sedang
memeriksa alas kaki si Gambir, suara kedatangan
penunggang-pe-nunggang kuda terdengar gemuruh
mendekati tempat mata air itu. Kedua pengembara itu
menyangka ada rombongan lain yang juga hendak memberi
minum kuda, tetapi sangkaan itu meleset.
Setelah dekat tampak bahwa penunggang kuda terdepan
adalah Raden Bagus Wiratanu. Di belakangnya kira-kira
sepuluh orang pemuda lain mengiringkannya, semuanya putra
bangsawan-bangsawan belaka, karena tak seorang pun di
antara mereka memakai pakaian penggawa dan membawa
senjata panjang. Sebagaimana dilazimkan, putra-putra
bangsawan berpakaian hijau muda dengan sulaman benang
emas atau perak, sedang senjata mereka dilazimkan senjatasenjata
kecil yang mudah disembunyikan, kalau mereka
kebetulan menghadiri upacara-upacara di mana banyak
wanita. Persenjataan mereka yang sederhana itu tidaklah
berarti bahwa putra-putra bangsawan kurang berbahaya
daripada gulang-gulang atau jagabaya. Sebaliknya, mereka
jauh lebih berbahaya karena persenjataan yang sederhana
mendapat imbangan kemampuan berkelahi yang tinggi.
Diadatkan bagi para bangsawan untuk mendidik putra-putra
mereka menjadi prajurit-prajurit yang tangguh agar kalau
terjadi perang atau huru-hura, mereka langsung dapat
diangkat menjadi perwira-perwira oleh sang Prabu.
Pikiran-pikiran tentang bahaya itulah yang memenuhi
kesadaran Pangeran Muda ketika rombongan penunggang
kuda itu turun dari punggung kuda masing-masing dan
berjalan berpencar-pencar ke arah kedua pengembara itu.

"Wah, rupanya mereka tidak puas kalau kau hanya babakbelur,
Anom. Bagaimana kalau kau coba hasil latihanmu di
Padepokan itu?"
"Tidak Mang, kita harus berusaha menghindarkan
perkelahian," ujar Pangeran Muda setengah berbisik.
"Anom, tapi Anom telah disiksa dan setelah melarikan diri
terus dikejar. Kau berhak melawan, Anom. Jangan biarkan
bangsawan-bangsawan yang kurang ajar itu!" kata Mang Ogel
mulai panas demi melihat pendatang-pendatang mulai
membuat lingkaran mengelilingi mereka.
"Sabar, Mang, kau seharusnya lebih sabar daripada saya
yang lebih muda!"
"Sambal! Saya bukan puragabaya. Kalau ada orang main
pukul seenak perutnya dan membelalak-belalakkan matanya
ke semua arah, pendeta pun akan menendang dupanya.
Anom, mereka harus diajar!"
"Diam, Mang, biarlah saya yang bicara," kata Pangeran
Muda sambil memegang tangan Mang Ogel.
"Saya sedih melihat bekas-bekas pukulan mereka di seluruh
tubuhmu, Anom."
"Cuma kulitnya yang luka, Mang. Tak ada otot yang sakit,
saya berusaha menghindarkan diri dan mereka memukuli saya
dalam gelap," ujar Pangeran Muda. Sementara itu, lingkaran
makin mengecil.
"Baiklah," kata Mang Ogel menjadi tenang. "Tapi carilah
tempat yang baik, kalau-kalau mereka akan mengeroyok kita
nanti. Mundurlah, dan marilah kita berdiri membelakangi
pohon besar ini, agar mereka tidak dapat menyerang dari
belakang," kata Mang Ogel melanjutkan.
Pangeran Muda menyadari akan perlunya kesiapsiagaan.
Maka mereka pun mundur, mendekati pohon besar yang
tumbuh di tepi mata air itu. Ketika itu pengepung-pengepung
telah amat dekat, dan salah seorang yang membawa tambang
memutar-mutarnya di udara hingga anginnya terasa menyibak
Pangeran Muda.

"Begundalnya yang ini rupanya yang mematahkan palang
pintu itu. Dia harus mengganti palang pintu jati itu bukan?"
kata Den Bagus sambil berpaling kepada kawan-kawannya.
Kawan-kawannya tertawa, dan salah seorang di antaranya
berkata, "Rupanya kepiting ini mau ikut dibakar, Den Bagus."
Rupanya perkataan itu dianggap lelucon yang lucu oleh
kawan-kawannya yang tertawa pula terbahak-bahak.
"Sekalian menyalakan api, bolehlah," kata Den Bagus
sambil tersenyum.
"Heh, Paman," kata Den Bagus pula kepada Mang Ogel.
"Kesatria asuhanmu ini pintar juga rupanya. Ia berpakaian
pendeta untuk dapat melakukan rencana-rencana asmaranya.
Sungguh suatu cara yang hebat, Paman. Akan tetapi, di Kuta
Kiara akal-akal busuk macam itu tidak disukai dan harus
dibayar." Kawan-kawan Den Bagus tertawa, tetapi dalam cara
yang hambar.
"Janganlah mengganggu kami. Kami tidak bermaksud jelek
kepada siapa pun. Dan kalau semalam terjadi sesuatu, hal itu
karena salah paham. Bunga itu kebetulan jatuh di kepala saya
dan terselip di sana tanpa saya sadari. Tentu Saudara-saudara
tidak akan menyalahkan saya. Sedang mengenai apa yang
terjadi terhadap diri saya akibat dari kesalahpahaman itu, saya
dapat mengerti dan bersedia melupakannya dengan setulustulus
hati saya," kata Pangeran Muda.
"Pengecut! Kalau perkataannya itu benar, kita harus
menghukumnya karena kita tidak sudi kota ini diinjak oleh
pengecut seperti kesatria yang kita hadapi sekarang ini. Kalau
perkataannya itu tidak benar, kita harus menghukumnya lipat
dua; pertama, sebagai pendusta, kedua, sebagai pengecut!"
kata Raden Bagus, kemudian ia meludah ke tanah
menunjukkan penghinaannya.
'Jangan mengganggu kami. Juragan-juragan tidak tahu
siapa kami ini," kata Mang Ogel.
'Apa kau, kodok? Kepiting? Kau harus membayar karena
golokmu telah mematahkan palang pintu terongko."

Mendengar cacian itu, Mang Ogel berpaling kepada
Pangeran Muda yang tetap tenang.
"Katakanlah, Anom, bahwa kita dari Padepokan Tajimalela."
'Janganlah mengganggu kami, kami dari Padepokan
Tajimalela sedang menuju daerah Kutabarang, menuju Puri
Anggadipati," kata Pangeran Muda dengan harapan para
bangsawan itu mengerti apa yang dimaksudkan.
"Hahaha! Kepala Udang! Kepala Kepiting! Mula-mula
berdusta katanya kenanga terselip sendiri, kemudian
pengecut, sekarang berdusta pura-pura menjadi puragabaya!"
Den Bagus tertawa terpingkal-pingkal.
"Hah?" seru kawan-kawannya keheranan, lalu yang
seorang sambil tertawa berkata, "Puragabaya macam apa?
Dipukul bukannya melawan, malah melindung-lindungkan
tangannya ke seluruh tubuh. Den Bagus, orang macam ini
memang cocok untuk upacara pembakaran mayat."
Sambil berkata kemudian orang itu bergerak mendekati,
diikuti oleh kawan-kawannya. Mang Ogel membuka pakaian
hitam yang melindungi pakaian putih yang ada di dalamnya.
Mang Ogel memperlihatkan ikat pinggang sutra perak yang
menjadi tanda bahwa ia adalah puragabaya juga dalam
gayanya sendiri. Penunjukan itu diharapkannya agar
mengurungkan maksud buruk para bangsawan muda itu. Akan
tetapi, demi melihat hal itu, tertawa pulalah Den Bagus
dengan kawan-kawannya.
"Kawan-kawan, rupanya kita bertemu dengan badut
sandiwara. Lihat, kepiting gemuk ini memakai ikat pinggang
puragabaya, tapi bentuknya agak lain. Heh, Mang, kapan kau
main sandiwara terakhir sekali?"
"Yang mengherankan, pemain-pemain sandiwara ini punya
kuda-kuda yang bagus sekali, Kawan!"
"Heh! Mungkin kuda-kuda ini curian! Kita perlu
menyerahkannya kepada jagabaya, tapi tentu saja setelah
menggoreng pencuri-pencurinya!"
"Kami minta untuk terakhir sekali, janganlah mengganggu
kami. Kami tidak bertanggung jawab akan apa yang terjadi,"

kata Pangeran Muda sambil bersiap-siap karena lingkaran
makin dekat.
"Kata-katanya persis seperti yang biasa diucapkan oleh
tokoh puragabaya dalam sandiwara-sandiwara keliling!"
"Sambal!" kata Mang Ogel.
"Tenang, Mang Ogel," bisik Pangeran Muda.
Ketika itu Den Bagus memberi isyarat kepada kawankawannya
agar penangkapan dimulai.
Pangeran Muda tidak punya pilihan lain, kecuali melawan.
Walaupun demikian, dicamkan dalam hatinya bahwa
seandainya terpaksa melawan, ia akan berusaha agar tidak
ada yang terluka oleh perlawanannya itu.
Sambil tertawa-tawa, kesepuluh orang pemuda itu, kecuali
Den Bagus, berkeliling sambil menyodorkan tangannya ke
muka. Mulutnya tak henti-hentinya berbunyi, seolah-olah
mereka hendak menangkap ayam. Ketika mereka sudah
mendekat, Pangeran Muda meringankan badannya, lalu
melompat melalui kepala mereka sambil bersiap-siap dengan
kakinya. Seperti digerakkan oleh tenaga yang sama, Mang
Ogel menangkap dua tangan lalu sambil menarik kedua orang
yang ditangkap tangannya, dilipatnya kedua tangan itu ke
arah dadanya.
Dengan gerakan pertama itu Pangeran Muda sudah berada
di luar kepungan, sementara Mang Ogel terlindung oleh tubuh
dua orang pemuda yang menggeliat-geliat kesakitan.
"Jangan ganggu kami! Mang Ogel, lepaskanlah mereka
kalau mereka berjanji tidak akan mengganggu," kata
Pangeran Muda sambil berdiri dekat Den Bagus.
Akan tetapi, Den Bagus bukannya menjadi sadar,
sebaliknya malah ia naik pitam. Seperti banteng luka ia
menghambur hendak menghantam muka Pangeran Muda
dengan tinju. Pangeran Muda yang selalu siaga,
menggerakkan tangannya secara naluriah. Ketika tangan itu
menangkap sikut dan pergelangan Den Bagus serta
menariknya, kedua kakinya bergerak seirama dalam satu
lingkaran. Dengan gerakan yang selaras ini, tenaga Den Bagus

yang didorong oleh amarah itu bukan saja tidak menemui
sasaran, bahkan terlempar jauh ke belakang Pangeran Muda.
Begitu kerasnya lemparan itu, hingga tubuh Den Bagus
terbanting terjungkir-jungkir ke atas semak-semak di dekat
mata air.
Sementara itu, dua orang bangsawan muda yang lain
menyerang Pangeran Muda secara serempak dari kiri dan
kanan. Pangeran Muda hanya sedikit menggeserkan tubuhnya
ke sebelah kiri, seraya tangan kirinya menyentuh sikut
penyerang yang datang dari arah kiri. Orang yang tinjunya
dibelokkan ini tidak dapat lagi mempertahankan
keseimbangannya, kakinya yang kanan terperosok dan ketika
ia hendak jatuh, kawannya yang menyerang dari kanan
dengan tinjunya yang berdesing, menghantam rusuknya
dengan tidak sengaja. Orang yang malang itu tidak dapat
bangun lagi, menggelepar-gelepar di bawah pohon.
Kawan yang merubuhkannya bangkit dan mencari-cari
Pangeran Muda. Akan tetapi, baru saja tampak olehnya dan ia
hendak melangkahkan kakinya, Mang Ogel sudah menangkap
tengkuknya, lalu membalikkan kepalanya ke samping,
memandang ke wajah Mang Ogel yang melotot kepadanya.
Orang itu berteriak karena tulang lehernya berderak.
'Jangan terlalu keras, nanti kudaku lari!" kata Mang Ogel
sambil membanting orang itu ke sebelah kirinya, menyambut
penyerang baru. Suatu tabrakan yang keras tidak dapat
dihindarkan dan dua tubuh bergedebuk jatuh tidak bangkit
lagi.
Sementara itu, Pangeran Muda diserang bersama dari
empat arah. Badan serta seluruh anggota tubuhnya bergerak
mengikuti irama serangan lawan. Makin banyak dan makin
cepat serangan, makin cepat pula gerakan kaki dan
tangannya. Bagai seekor burung garuda yang lahap dan ingin
menangkap mangsa, kaki Pangeran Muda seolah tidak
berpijak tampaknya. Dengan putaran-putaran yang indah tapi
berbahaya'ia membagikan hentakan kaki dan hantaman sisi

tangannya. Dalam sekejap telah bergelimpangan keempat
penyerang itu.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau!" teriak Den Bagus, dan
dengan muka yang berlumuran darah karena duri-duri dalam
semak, ia menghambur dengan badik di tangan. Pangeran
Muda menunggu dengan siaga dan ketika badik itu sudah
sejengkal lagi dari dadanya, Pangeran Muda mengibaskannya
dengan tangan kiri ke sebelah kanan, sambil memutar tumit
kiri dan memindahkan kaki kanan ke belakang. Sekali lagi Den
Bagus melesat, sekarang tidak menerobos semak, tapi
langsung masuk ke dalam kolam tempat air tertampung.
Suara gedebur dan cipratan air pun tersemburlah ke atas.
"Heh, jangan mandi dulu! Kan kita belum selesai, dan itu
bukan tempat mandi, tempat minum kuda!" seru Mang Ogel
sambil melihat Den Bagus yang berusaha bangun dari kolam
seraya batuk-batuk.
"Saudara, bawa kepada ibunya, katakan anak itu jatuh
masuk kolam," kata Mang Ogel kepada dua orang bangsawan
muda yang beku ketakutan melihat segala yang telah terjadi
itu. Dengan takut-takut, kedua orang itu turun ke dalam
kolam, menyelamatkan Den Bagus yang hampir mati
tenggelam.
Segalanya telah selesai bagi Pangeran Muda dan Mang
Ogel. Seraya melangkahi badan lawan yang bergelimpangan
dalam semak dan di atas rumput, mereka menuju kuda
masing-masing, kemudian melompatinya dan melecutnya ke
arah padang terbuka. Mereka tak pernah berpaling ke arah
mata air itu, dan tidak berapa lama hilanglah mereka dari
pandangan kedua bangsawan yang memapah Den Bagus.
Mereka lenyap di kaki langit.
Bab 11
Ramalan

Ketika matahari hampir condong ke barat, kedua
penunggang kuda itu telah dapat melihat menara-menara
benteng Anggadipati dari jauh. Si Gambir seperti masih ingat
tempat kelahirannya, ia berlari melonjak-lonjak sambil kadangkadang
meringkik. Kuda Mang Ogel yang pendek dan gemuk
dengan susah payah mengejar dari belakang Pangeran Muda
tidak memedulikan Mang Ogel yang berteriak-teriak minta
ditunggu, dipacunya si Gambir hingga seperti terbang larinya.
Baru setelah tiba di bawah bayangan salah satu menara,
Pangeran Muda mengekang kendali. Tak lama kemudian telah
berdiri pula kuda Mang Ogel di sampingnya.
Sementara Pangeran Muda memandang dengan penuh
kerinduan pada benteng tempat kelahirannya, tiba-tiba dari
atas menara berteriaklah seorang gulang-gulang kepada
temannya.
"Anom datang! Anom datang!" katanya sambil berlari-lari
turun dari atas menara. Kawan-kawannya yang melihat
Pangeran Muda ikut berteriak-teriak, kemudian tukang
trompet meniup trompet tiramnya keras-keras, dan terheranheran-
lah rakyat yang sedang berada di pasar dalam benteng
itu. Setelah mereka tahu apa yang terjadi, berlarianlah rakyat,
laki-laki perempuan, orang tua, dan anak-anak bersama
gulang-gulang menghambur dari gerbang benteng mengeluelukan
Pangeran Muda yang baru datang.
Dalam sekejap, kedua pendatang itu sudah dikerumuni oleh
rakyat dan para gulang-gulang yang dengan gembira bersorak
sorai karena pangerannya yang telah dua tahun meninggalkan
benteng sekarang sudah ada di tengah-tengah mereka. Sambil
berebutan menjabat tangan Pangeran Muda atau memegang
kendali si Gambir, tak henti-henti mereka bercakap-cakap satu
sama lain sambil memandang Pangeran Muda. Mereka
keheranan, betapa dalam dua tahun Pangeran Muda sudah
begitu berubah. Kalau waktu meninggalkan Benteng
Anggadipati baru seorang anak, sekarang sudah seorang
pemuda yang berbadan kukuh dan lampai.

Pangeran Muda sendiri berusaha menjabat tangan rakyat
yang banyak dikenalnya. Yang jauh dari kuda dilambainya,
anak-anak kecil diusapnya. Akan tetapi, Pangeran Muda tidak
turun dari kuda, ia takut rakyat akan melihat bekas-bekas
darah lawan-lawannya pada kemeja putih di balik pakaian
perjalanannya. Di samping itu, kalau Pangeran Muda turun,
mungkin orang-orang akan menahannya untuk tinggal
beberapa lama di tengah-tengah mereka. Maka tetaplah
Pangeran Muda duduk di pelana, sambil menyuruh si Gambir
berjalan perlahan-lahan dalam rombongan yang bergerak
menuju ke arah pendapa, yang berada tidak jauh dari
lapangan benteng dan pasar itu.
Sambil duduk di atas pelana dan tak henti-hentinya
menyambut tangan rakyat yang memberinya salam atau
melambai mereka yang berdesak-desak dari pintu dan tingkap
rumah, Pangeran Muda memandang kembali dengan saksama
bangunan-bangunan, lapangan, dan orang-orang yang telah
begitu akrab dikenalnya. Kecintaannya akan tempat
kelahirannya tergugah kembali dan bersama perasaan itu
terbit pula rasa bangganya. Pangeran Muda bangga karena
walaupun kecil, kotanya merupakan salah satu tempat yang
paling beradab di daerah kerajaan. Orang-orangnya ramahtamah
dan rajin-rajin, suka akan pengetahuan dan keindahan.
Jalan-jalannya teratur dan bersih, sementara masyarakat
hidup dengan tertib. Tidak pernah Pangeran Muda melihat
bangsawan-bangsawan muda memacu kuda dalam kota dan
menakutkan para pedagang atau pejalan kaki, seperti
beberapa kali dilihatnya dalam Kuta Kiara yang baru saja
dikunjunginya. Demikian juga, di daerah kekuasaan Wangsa
Anggadipati, Pangeran Muda tidak dapat membayangkan
adanya gerombolan pemuda seperti dipimpin oleh Raden
Bagus Wiratanu.
Rupanya Mang Ogel melihat juga perbedaan yang sangat
mencolok antara Benteng Anggadipati dengan Kuta Kiara.

"Ayahanda adalah seorang besar, Anom. Hanya orang
besar yang dapat memimpin kotanya menjadi begini
menyenangkan."
"Ayahanda sangat cinta pada kota iya, Mang. Setelah
putra-putrinya, maka yang menjadi bahan renungannya
adalah bagaimana agar kotanya baik dan menyenangkan bagi
penghuninya. Itulah sebabnya kota ini menarik begitu banyak
pendatang, hingga Ayahanda meluaskannya. Mang Ogel tadi
melihat dinding benteng yang masih baru. Itu khusus didirikan
untuk menampung warga kota yang berlebihan. Demikian
juga halnya kampung-kampung di sekeliling benteng yang
termasuk kekuasaan Ayahanda. Kampung-kampung ini banyak
dijadikan tempat tinggal oleh orang-orang yang datang dari
daerah-daerah kerajaan yang jauh-jauh. Mereka senang
tinggal di kampung-kampung itu karena keamanan kampung
terjaga dengan baik. Perampok tidak berani menyentuh
kampung-kampung itu bukan karena rakyatnya bersenjata,
tetapi para gulang-gulang dan jagabaya setiap malam
berkeliling di atas kuda. Mang Ogel dapat melihat, bagaimana
jalan-jalan padang itu terang benderang oleh obor-obor
mereka."
"Saya senang dengan Ayahanda, Anom."
"Beliau juga menyatakan senang kepadamu, Mang."
"Beliau orang yang sangat dalam."
"Apa maksud Emang?" tanya Pangeran Muda.
"Beliau banyak menguasai ilmu-ilmu mulia, dan itu dengan
mudah dapat kita lihat dari sinar mata, tutur kata, dan tingkah
laku beliau."
"Mungkin, Mang. Saya tidak banyak membandingbandingkan
Ayahanda dengan orang lain," jawab Pangeran
Muda sambil tersenyum. Sementara bercakap-cakap demikian,
tak henti-hentinya Pangeran Muda melambaikan tangan atau
memberi salam pada tangan-tangan yang diulurkan oleh
rakyat dan gulang-gulang yang mengelu-elukannya.
Tak lama kemudian tampaklah pendapa dan para keluarga
yang siap mengelu-elukan kedatangan Pangeran Muda di

sana. Si Gambir dipercepat jalannya, kemudian Pangeran
Muda turun dari pelana untuk menghormati orang tua dan
para anggota keluarga lainnya. Setiba di hadapan mereka,
Pangeran Muda pun menghaturkan sembah. Ayahanda
merangkulnya, sementara Ibunda menitikkan air mata
kegembiraan. Ayunda memegang tangannya dan
memandangnya keheranan.
"Adikku, kau jauh lebih tinggi dari Ayahanda sekarang,
padahal umurmu...”
"Tujuh belas, Ayunda," kata Pangeran Muda sambil
tersenyum.
Mang Ogel yang sedang bercakap-cakap dengan Ayahanda
berpaling dulu dan berkata, "Latihan-latihan dan makanan
padepokan sangat sehat dan mempercepat tumbuhnya rohani
maupun jasmani, Tuan Putri."
Sambil memasuki ruangan dalam istana, di mana Pangeran
Muda disambut oleh isi istana—para gulang-gulang,
panakawan, dan para emban—mereka terus bercakap-cakap.
Setelah mereka duduk untuk beberapa lama di ruangan
tengah istana, dan setelah air sejuk dikelilingkan dengan
berbagai macam buah-buahan, para bangsawan bersantaplah.
Pangeran Muda duduk diapit oleh Ibunda dan Ayahanda,
sedang Mang Ogel duduk dekat Ayunda. Ketika itulah
Ayahanda menyampaikan kabar gembira, yaitu bahwa Ayunda
telah dipinang oleh Pangeran Rangga Wesi, masih keponakan
sang Prabu. Ayahanda menjelaskan, mereka bertemu ketika
putra Mahkota berkenan berkunjung ke Benteng Anggadipati.
"Pernahkah Putra Mahkota datang?" tanya Pangeran Muda
dengan penuh perhatian.
"Ya, anakku. Beliau berkenan dengan kota kita ini. Beliau
pun mengetahui bahwa engkau menjadi calon puragabaya.
Begitu banyak pengetahuan beliau tentang semua bangsawan,
hingga nama kudamu pun diketahui beliau."
Mendengar penjelasan itu, heran dan kagumlah Pangeran
Muda. Ingin sekali Pangeran Muda bertemu dan bertanya,

bagaimana sampai Putra Mahkota mengetahui nama si
Gambir.
"Dari mana mereka tahu tentang hamba, Ayahanda?"
"Itulah yang mengherankanku, tetapi tentu saja seorang
Putra Mahkota yang mendapat pendidikan sebaik-baiknya
akan memiliki kemampuan yang sebaik-baiknya pula dalam
banyak hal. Beliau sangat ramah dan "menyenangkan. Kita
tahu, anakku, banyak putra-putra bangsawan yang berandal
dan menjadi pengganggu ketenteraman masyarakat. Mereka
seharusnya malu oleh kehalusan perangai Putra Mahkota."
"Hamba pun ingin sekali berkenalan dengan Pangeran
Rangga Wesi, Ayahanda."
"Ia anak muda yang halus, anakku. Ia pun sangat ingin
bertemu dengan engkau, bahkan berpesan kepada kakakmu,
agar—kalau sempat —kau berkunjung ke Pakuan Pajajaran
untuk menemuinya."
"Sayang sekali, hamba sangat sibuk, bahkan libur sekarang
pun hanya sepuluh hari lamanya, empat hari terambil oleh
perjalanan. Tapi tak apalah karena seperti sering Ayahanda
katakan, bukan mencari ilmu namanya kalau tidak prihatin,"
kata Pangeran Muda.
"Anakku, janganlah terganggu makanmu. Kakanda, jangan
ganggu dia. Dia tentu kelelahan dan harus banyak makan."
"Hamba makan sangat rakus, Ibunda. Ini sudah piring
ketiga," kata Pangeran Muda sambil memegang tangan
Ibunda yang ketika itu mulai lagi bercakap-cakap dengan
Mang Ogel tentang Padepokan Tajimalcla.
"Bagaimana pelajaranmu, anakku?"
"Rata-rata, Ayahanda. Banyak calon yang lebih baik
daripada hamba, tetapi hamba yakin hamba tidak akan
ketinggalan benar."
"Aku percaya padamu, anakku."
Selesai bersantap dan ketika isi istana mengundurkan diri
untuk beristirahat, datanglah lima orang bangsawan muda,
sahabat-sahabat Pangeran Muda yang telah lama
ditinggalkannya.

"Apa kabar, Ginggi? Bagaimana lukamu dulu itu Galih? Nah,
ini dia tukang sihir kita, mana batu cincinmu?"
"Selamat datang, Anom. Selamat datang puragabaya!" kata
mereka memberi salam. Mereka pun bercakap-cakap tentang
berbagai hal dengan gembira, hingga akhirnya mereka
membuat perjanjian bahwa esok harinya, pagi-pagi benar
mereka akan berangkat ke padang perburuan, untuk
menggembirakan Pangeran Muda.
Keesokan harinya, setelah mohon diri kepada orangtuanya,
Pangeran Muda pun berangkatlah dengan lima
bangsawan muda itu, diiringi oleh lima belas pencalang dan
beberapa puluh ekor anjing
PADANG perburuan terletak antara huma dan ladang
palawija penduduk dengan rimba raya yang terbentang seperti
tidak habis-habisnya. Dengan melalui jalan kampung,
rombongan melewati perhumaan, kemudian masuk ke dalam
padang rumput dan alang-alang yang diselang-seling oleh
semak-semak. Karena adanya peraturan Ayahanda yang
mewajibkan para pemburu membunuh babi hutan sebelum
memburu binatang-binatang lain, perburuan babak pertama
dilaksanakan terhadap binatang hama ini. Rakyat petani
sangat bersenang hati dengan adanya perburuan besarbesaran
itu, dan dari kampung-kampung itu pun berbondongbondonglah
mereka membawa senjata masing-masing sambil
menuntun dua atau tiga ekor anjing setiap orangnya. Maka
rombongan pun gemuruhlah, seakan-akan hendak pergi
berperang layaknya.
Setelah berpuluh-puluh babi hutan dapat dibunuh, dan
setelah binatang-binatang itu disembelih dan dikumpulkan di
suatu tempat, pergilah rombongan menuju padang yang lebih
dekat ke dalam rimba, di mana kijang, menjangan, banteng,
dan badak berada. Pangeran Muda melarikan si Gambir pelanpelan,
sambil berusaha agar berjalan menentang arah angin.
Matanya nyalang mengawasi padang yang seolah-olah
berbatasan dengan kaki langit. Tiba-tiba seorang pencalang

melarikan kudanya mendekati Pangeran Muda lalu menunjuk
ke suatu tempat di tepi langit. Karena sudah biasa, mata
Pangeran Muda dapat melihat sekelompok besar menjangan
dan kijang sedang beristirahat. Para bangsawan dan
pencalang pun berundinglah mengatur pengepungan,
kemudian dibagi-bagi-lah rombongan yang akan menghalau
binatang-binatang itu ke daerah semak-semak supaya mudah
dikepung. Setelah perundingan selesai, para pemburu yang
berkuda pun berangkatlah, sedang yang tidak berkuda
berjalan atau berlari-lari mengikuti.
Tak berapa lama kemudian kelompok menjangan itu pun
telah terkurung oleh kepungan pemburu yang berbentuk
setengah lingkaran. Binatang-binatang ini digiring ke arah
semak-semak rambat, agar kuda-kuda mudah mengejarnya
dan para pemburu dapat menombak atau memanahnya.
Semua anjing sementara ditahan, agar tidak terlalu cepat
menakutkan binatang yang mulai kebingungan. Kemudian,
setelah lingkaran cukup kecil, dilepaslah anjing-anjing itu.
Ramailah salak mereka menghalaukan binatang-binatang yang
ketakutan itu ke arah hutan rambat. Tidak berapa lama para
pemburu telah melepaskan anak panah dan tombak mereka.
Dalam keributan itu, Pangeran Muda melihat rusa yang
besar sekali. Tanduknya sangat panjang. Pangeran Muda
memacu si Gambir ke arah binatang yang sedang mencoba
melarikan diri itu. Akan tetapi, karena si Gambir—seperti juga
menjangan itu—mendapat kesukaran dalam melintasi hutan
tumbuhan rambat itu, jarak antara pemburu dengan yang
diburu tidak banyak berubah. Kedua-duanya makin lama
makin jauh ke tengah hutan rambat dan menuju rimba raya
yang menjulang di hadapan mereka.
Karena takut kehilangan binatang buruannya, Pangeran
Muda memacu si Gambir sambil berseru-seru memberikan
semangat kepada beberapa ekor anjing yang dengan susah
payah mengikuti dari belakang. Akan tetapi, si Gambir yang
telah berusaha keras itu kakinya tersangkut tumbuhan rambat
dan jatuh, dengan terlebih dahulu melemparkan Pangeran

Muda berguling-guling ke depan. Karena menganggap bahwa
di atas pelana kuda lebih sukar daripada berlari, Pangeran
Muda tidak berpaling lagi pada si Gambir. Pangeran Muda
terus berlari, melompat-lompat, makin lama makin dekat ke
arah binatangyang kelelahan itu. Dalam suatu jarak jangkauan
tombak, Pangeran Muda berhenti, lalu melontarkan
senjatanya. Rusa yang sedang kebingungan tiba-tiba
dikejutkan oleh tusukan senjata itu di dekat lehernya. Karena
terkejut dan kesakitan ia melompat dan berhasil melintasi
rumpun tumbuhan rambat yang sangat tinggi.
Pangeran Muda dengan memindahkan tombak-tombak lain
dari tangan kiri ke tangan kanannya, terus berlari melompatlompat;
semangatnya naik, karena yakin, binatang yang
bertanduk indah itu akan didapatnya. Ia terus berlari dan
bertari, hingga akhirnya binatang itu masuk ke dalam rimba.
Pangeran Muda makin bersemangat, karena yakin, akhirnya
binatang itu akan tersesat di antara pohon-pohon rimba yang
lebat itu.
Akan tetapi, ternyata hutan yang dimasukinya tidak terlalu
lebat, bahkan seperti sebuah taman yang besar ditumbuhi
oleh pohon-pohonan besar yang indah. Di bawah pohonpohonan
terhampar lumut hijau atau keemasan yang tebal
dan lembut di bawah telapak kaki.
Dengan dituntun oleh bekas jejak rusa di atas lumut itu,
dan dengan melihat binatang itu berkelebatan di antara
pohon-pohon yang besar, Pangeran Muda terus berlari dengan
tombak siap di tangan kanan, sedang di tangan kiri tiga
batang lagi sebagai persediaan. Akan tetapi, tiba-tiba
Pangeran Muda terhenti, di hadapannya terbentang sebuah
danau yang besar dan airnya jernih sedang rusa itu tidak
tampak lagi, mungkin telah rubuh dan terbaring di dalam
semak di tepi danau itu.
Pangeran Muda menajamkan matanya melihat ke dalam
semak-semak, yang samar-samar tampaknya karena kabut
kebetulan meliputi bagian hutan itu. Berulang-ulang Pangeran
Muda menengadah ke langit, merasa kesal karena kabut

mengganggu usahanya dalam mencari binatang buruannya.
Dalam pada itu tampak oleh Pangeran Muda bianglala yang
sangat indah, seolah-olah turun ke permukaan danau yang
ada di hadapannya. Ketika itu bertiuplah angin semilir dan
ketika kabut yang tergantung di permukaan danau itu
tersibak, Pangeran Muda melihat pemandangan yang
memesonakan.
Di tengah-tengah danau itu terdapat sebatang pohon yang
terapung. Di atas batang pohon besar yang terapung itu
duduklah tiga orang putri yang cantik, sedang di ujung batang
itu, tidak jauh dari mereka berdirilah seorang kesatria yang
sangat tampan, memegang galah yang menjadi pendayung.
Mereka berlayar di atas batang pohon itu, putri-putri
bernyanyi kecil sambil mencelupkan kaki mereka yang indah
ke dalam air yang jernih. Sementara itu, di seberang danau, di
semak-semak yang berbunga-bunga seperti sebuah taman,
tampak pula beberapa putri cantik dengan beberapa kesatria
sedang bercengkerama. Melihat pemandangan yang sangat
cantik itu hampir tidak dapat dikejapkan mata Pangeran Muda.
Pangeran Muda memerhatikan satu per satu putri-putri dan
kesatria-kesatria itu. Putri-putri itu mengenakan pakaian yang
tidak pernah ditemukan macamnya di daerah mana pun. Kain
yang dipakai mereka begitu halusnya, hingga seolah-olah tidak
ditenun dari kapas atau sutra, tetapi dari awan yang diwarnai
oleh cahaya bianglala. Para kesatrianya berpakaian gagah
pula, dengan kain-kain putih, ikat-ikat pinggang keemasan
atau keperak-perakan, sementara ikat kepala mereka tidak
pernah ditemukan pula macamnya.
Selagi Pangeran Muda terbelalak memerhatikan mereka,
salah seorang putri yang sedang berlayar melihat ke arahnya.
Tampak putri itu terkejut dan berseru, "Manusia!" Dalam
sekejap, kabut menutupi mereka dan ketika angin bertiup
menghalau kabut itu dan memperlihatkan danau kembali, para
kesatria dan putri-putri itu gaib dari sana. Sadarlah Pangeran
Muda bahwa makhluk-makhluk yang baru dilihatnya bukan
manusia, tetapi para bujangga dan pohaci yang turun dari

Buana Padang dan bercengkerama di hutan larangan yang
telah dimasuki dengan tidak sengaja.
Sadar akan hal itu Pangeran Muda pun terpukaulah.
Kemudian sayup-sayup terdengar olehnya salak anjing-anjing
pemburu, dan tak berapa lama kemudian terdengarlah para
pemburu lain dengan cemas berseru-seru, "Pangeran! Anom!
Ahooooooy! Huuuuuuuuuh! Anom!"
Dengan gontai, Pangeran Muda melangkah kembali dari
tepi danau itu, berjalan ke arah suara kawan-kawannya. Tak
lama kemudian bermunculanlah mereka dan dengan gembira
berlari ke arah Pangeran Muda. Akan tetapi, ketika sudah
dekat, tertegun dan memandang ke dalam mata Pangeran
Muda dengan penuh pertanyaan, "Apa yang terjadi, Anom?"
Sambil berpegang pada bahu Ginggi karena kedua lututnya
gemetar seolah-olah tak mampu mengusung berat badannya,
Pangeran Muda berkata, "Ginggi, saya melihat makhlukmakhluk
suci."
"Pangeran, di mana?"
"Di atas danau itu." Ginggi melihat ke atas danau yang
lengang.
"Mereka sudah tiada. Saya telah mengusik mereka dengan
tidak sengaja, Ginggi," kata Pangeran Muda. "Sekarang,
marilah kita pulang."
Kelima bangsawan muda dengan Pangeran Muda di
tengah-tengah mereka, melangkah tanpa bercakap-cakap dari
hutan yang indah dan hening itu.
"Hutan ini suci," bisik Girang.
"Marilah segera kita keluar." Mereka pun melangkah
tergesa-gesa, tapi berusaha tidak berisik.
Setiba di tepi hutan itu, para pemburu berjingkrak-jingkrak
dengan gembira di suatu tempat. "Ada apa?"
"Rusa besar ini, Anom telah menombaknya!"
Ternyata rusa besar itu rubuh, tetapi di tempat yang sangat
tidak disangka-sangka, yaitu di tepi hutan larangan itu.
Barangkali binatang memiliki pancaindra yang lebih halus,
hingga mereka tidak berani memasuki atau mati di hutan yang

suci itu. Walaupun Pangeran Muda gembira dengan
ditemukannya binatang itu, kegembiraannya diseliputi
perasaan yang aneh, perasaan yang digugah oleh
pengalamannya yang luar biasa itu.
MALAM harinya para pemburu mengadakan pesta. Acara
makan besar dan minum tuak dilakukan dengan segala bunyibunyian
dan tari-tarian di gelanggang. Pangeran Muda sendiri
tidak menggabungkan diri dengan rakyat yang bersukaria itu,
tetapi bersama bangsawan-bangsawan muda lainnya
mengerumuni seorang tukang pantun buta yang biasa
menghibur isi istana.
Ketika babak pertama dari acara pantun itu selesai dan
tukang pantun sedang beristirahat sambil makan hidangan
yang disajikan untuknya, Pangeran Muda bertanya,
"Bagaimana musim ini, Mang Wentar? Banyakkah orang yang
mengundangmu untuk bernyanyi?"
"Banyak sekali, Anom, hingga kadang-kadang Emang
kewalahan."
"Kalau begitu, Emang akan cepat kaya, Mang Wentar."
"Kekayaan akan membuat Emang malas dan mungkin
besar kepala, Anom. Hanya menyanyilah yang akan membuat
Emang bahagia dan awet muda."
"Jadi, dengan banyaknya yang mengundang Emang sangat
berbahagia dan akan awet muda, Mang?" tanya Pangeran
Muda.
"Saya dengar Mang Wentar baru saja kawin lagi, Anom,
padahal baru satu tahun ditinggalkan oleh bibinya," ujar
Ginggi.
"Anom, belum tentu banyak menyanyi menyebabkan
Emang berbahagia. Emang hanya berbahagia kalau Emang
menyanyikan cerita-cerita yang baik. Sayangnya sekarang
banyak sekali orang kaya dan bangsawan-bangsawan yang
meminta cerita-cerita yang jelek, kasar bahkan kurang ajar."

Mendengar penjelasan itu, keherananlah bangsawanbangsawan
muda yang berbaring sambil makan buah-buahan
di sekeliling tukang pantun buta itu.
"Cerita-cerita kurang ajar bagaimana, Mang?" tanya
seorang di antara mereka.
"Begini, Juragan-juragan. Ada cerita-cerita yang baik, yang
menarik bagi orang-orang yang halus budinya, misalnya cerita
Munding Laya Dikusumah, Lutung Kasarung, dan sebagainya.
Tapi banyak pula cerita-cerita yang jelek, yang Emang tidak
mau menyebutkannya. Dalam cerita-cerita ini banyak terjadi
adegan-adegan perkelahian, adegan-adegan tidak senonoh,
lelucon-lelucon kasar. Dan sialnya, justru bagian-bagian yang
jelek inilah yang menarik kebanyakan pendengar sekarang,
sedang hal-hal yang lebih halus dan lebih berharga untuk
mendapat perhatian, tidak mereka pedulikan. Itulah sebabnya
uban Emang tumbuh di kepala," kata orang buta itu sambil
tersenyum.
"Eh, Mang Wentar," kata Ginggi, "pernahkah Emang
menyanyikan kisah di mana ada tokoh yang bertemu dengan
bujangga dan pohaci?"
"Pernah, beberapa kali. Nah, tokoh yang bertemu dengan
makhluk-makhluk suci ini biasanya nasibnya aneh. Ia
mendapatkan sesuatu yang terbaik di dunia ini, tetapi
sekaligus juga mendapatkan yang terjelek. Kadang-kadang
Emang berpikir, apakah kita harus kasihan kepada tokoh itu
atau harus turut gembira. Sungguh aneh," katanya.
Mendengar cerita orang tua itu para bangsawan muda
melihat pada Pangeran Muda yang mendengarkan dengan
penuh perhatian.
"Apakah Emang suka meramalkan nasib seseorang, Mang?"
tanya salah seorang sahabat Pangeran Muda, lalu
melanjutkan, "bagaimana nasib salah seorang dari kamu yang
bertemu dengan bujangga dan pohaci, apakah juga akan
mendapatkan hal terbaik dan terjelek sekaligus?"

"Tidak tahu, Emang bukan tukang ramal atau nujum,
apalagi tukang sulap atau sihir. Emang adalah tukang pantun
yang cuma bisa bernyanyi dan memetik kecapi."
Kemudian orang tua itu menjentik kawat-kawat kecapi
dengan jari-jarinya yang lincah-terampil, dan menyanyilah ia
dengan merdunya tentang kerajaan zaman dahulu kala,
tentang putri cantik jelita dan pangeran cendekia.
Bab 12
Pengadilan
Setelah bersama-sama mendengarkan nyanyian tukang
pantun itu, para bangsawan muda membuat perjanjian lagi.
Mereka merencanakan acara mengail di danau yang berada
tidak jauh dari Puri Anggadipati, dan malam itu juga
perbekalan disiapkan. Mang Ogel yang tertarik oleh acara itu
bersedia pula untuk menggabungkan diri dengan anak-anak
muda itu. Akan tetapi, esok harinya, pagi-pagi sekali suatu
perintah datang dari Pakuan Pajajaran, meminta agar
Pangeran Muda segera kembali ke Padepokan Tajimalela.
Pesan ini sangat mengejutkan dan merisaukan hati
Pangeran Muda. Bukan saja baru dua hari Pangeran Muda
berada di tengah-tengah keluarganya, tetapi datangnya
perintah dari Pakuan Pajajaran dan dari bangsawan yang tidak
dikenalnya sungguh menimbulkan kecemasannya. Akan tetapi,
karena tidak ada pilihan lain, setelah menggagalkan segala
rencana, hari itu juga Pangeran Muda dan Mang Ogel
berangkat meninggalkan Puri Anggadipati.
"Janganlah berkecil hati, Anom. Tak ada kesalahan yang
kaulakukan," kata Mang Ogel.
"Saya berlindung pada Sunan Ambu dan Sang Hiang
Tunggal yang Maha Mengetahui. Seandainya memang saya
akan diadili karena kejadian di Kuta Kiara itu, saya merasa
bahwa saya sudah cukup berusaha menahan diri, Mang."

'Anom, mungkinkah di antara mereka ada yang meninggal
karena pukulan-pukulanmu?" tanya Mang Ogel.
"Saya kira tidak, Mang. Saya tidak pernah memukul mereka
dalam arti yang sebenarnya. Mereka rubuh dan terpukul oleh
tenaga mereka sendiri. Akan tetapi, saya tidak yakin, apakah
di antara mereka ada yang terluka parah atau tidak. Yang
saya yakin, saya telah mengendalikan anggota-anggota badan
saya sebaik-baiknya."
"Mudah-mudahan saja tidak ada yang tewas di antara
mereka itu," kata Mang Ogel. "Kalau sampai ada yang
meninggal, sukar bagi kita untuk mempertahankan diri di
muka pengadilan, Anom."
"Pernahkah ada peristiwa seperti yang kita alami, Mang?"
"Selama Emang ada di padepokan, baru dua kali."
"Apakah ada yang dipecat dari kedudukan sebagai calon?"
"Selama Emang di padepokan belum ada, tetapi
sebelumnya pernah ada yang dipecat dan dibunuh karena
terpaksa. Namanya menurut kabar Raden Jaya."
Pangeran Muda tidak mengatakan apa-apa lagi, dan
perjalanan yang panjang dan sepi pun dilanjutkan, hingga
pada hari keempat sampailah mereka di Padepokan
Tajimalela.
SEJAK saat pertama Pangeran Muda memijakkan kaki
kembali di padepokan, terasa bahwa seluruh padepokan
bersuasana murung. Dari Eyang Resi hingga ke para
panakawan kelihatan bersedih dan cemas. Di samping
suasana murung itu dalam lingkungan padepokan itu terdapat
hal yang tidak biasa, yaitu kehadiran tiga orang puragabaya
yang sengaja datang dari Pakuan Pajajaran. Mereka itu adalah
Rangga Sena, Girang Pinji, dan Geger Malela. Mereka
mendapat tugas untuk melakukan acara pengadilan terhadap
Pangeran Muda.
Malam itu, dalam ruangan tertutup dan hanya berdua
dengan Eyang Resi, Pangeran Muda menjelaskan apa-apa
yang terjadi. Tak ada satu hal pun yang disembunyikan atau

dipalsukan. Pangeran Muda memberikan segala kisah kejadian
dari permulaan ke akhirnya selengkap-lengkapnya.
"Baiklah, marilah sekarang kita bersembahyang bersama,
mudah-mudahan Sunan Ambu melindungi kita. Eyang yakin,
kau tidak bersalah. Eyang kenal kepadamu."
Kemudian mereka pun pergilah ke dalam candi dan dalam
kesunyian malam itu, guru dan murid melakukan sembahyang
yang khusyuk.
Keesokan harinya acara pengadilan pun dilaksanakan.
Seluruh isi padepokan diperintahkan untuk hadir dalam
ruangan besar yang biasa dipergunakan untuk belajar atau
latihan. Para calon duduk berjajar bersaf-saf, dan Pangeran
Muda dipersilakan duduk paling depan, didampingi oleh Mang
Ogel yang bertindak sebagai salah seorang saksi.
Berjajar menghadapi meja panjang dan menghadap pada
para calon duduklah empat orang anggota peradilan, yaitu
Eyang Resi Tajimalela, puragabaya Geger Malela, Rangga
Sena, dan Girang Pinji. Setelah doa-doa dipanjatkan dan
ruangan hening kembali. Puragabaya Geger Malela
menjelaskan secara resmi maksud kedatangan mereka ke
padepokan. Ia menjelaskan bahwa atas dasar pengaduan dari
Tumenggung Wiratanu, penguasa Kuta Kiara, ketiga
puragabaya itu ditugaskan oleh sang Prabu untuk melakukan
pemeriksaan dan langsung melakukan pengadilan kalau
segalanya menjadi jelas. Setelah memberikan penjelasan
demikian, mulailah Geger Malela mengeluarkan kotak lontar
yang kemudian diserahkan kepada Rangga Sena untuk
membacanya.
Rangga Sena mulai mengambil beberapa helai lontar,
kemudian ia mulai berkata, 'Akan saya bacakan keterangan
tertulis dari Tumenggung Wiratanu, sebagai pengantar bagi
pengaduannya. Keterangan tersebut adalah sebagai berikut:
Ø Pada suatu hari ke Kuta Kiara datang seorang calon
puragabaya dengan seorang panakawannya. Calon
puragabaya itu berbadan lampai berisi dengan rambut
tebal agak ikal, terurai hingga ke pundaknya. Pada ikat

kepalanya yang berwarna gading diikatkan pula
serangkai mutiara, menandakan bahwa ia seorang
putra bangsawan tinggi. Pakaian calon puragabaya
yang berwarna putih dilindunginya dengan pakaian
berwarna hitam. Pakaian luar ini dikancingkannya
dengan rapat, hingga sukar bagi orang yang melihatnya
untuk mengetahui bahwa ia adalah seorang calon
puragabaya.
Ø Calon ini bersama panakawannya datang ke Kuta Kiara
dengan cara memacu kuda mereka, hingga banyak
pedagang yang tumpah dagangannya dan bahkan ada
anak yang luka karena jatuh tersenggol oleh orangorang
yang ketakutan.
Ø Pada malam harinya kedua orang pendatang ikut
menyaksikan upacara mengelu-elukan Nyai Sang Hiang
Sri di lapangan kota. Kedua orang ini ikut menari,
minum tuak, dan mabuk-mabuk.
Ø Setelah kelelahan menari, mereka menggabungkan diri
dengan bangsawan-bangsawan muda Kuta Kiara, dan di
tempat mereka berkumpul itu sang calon telah
berusaha menarik perhatian seorang putri bangsawan
setempat. Karena kecakapannya bermain kata-kata,
putri itu tertarik kepadanya, walaupun telah lama
berkenalan dengan seorang putra bangsawan setempat.
Beberapa orang pemuda setempat memperingatkan
dengan isyarat bahwa tingkah laku calon puragabaya
itu kurang senonoh dan dapat menyebabkan
kemarahan dari bangsawan-bangsawan muda
setempat. Akan tetapi, calon itu tidak memedulikan
peringatan itu, bahkan secara sengaja menyelipkan
bunga di kepalanya yang didapatnya dari putri yang
telah dicumbunya itu.
Ø Tingkah laku calon puragabaya tersebut dengan
sendirinya sangat menyinggung perasaan bangsawanbangsawan
muda setempat yang kemudian
menahannya dan membawanya ke suatu tempat

dengan maksud memberinya pelajaran sopan-santun
setempat. Karena hari telah larut dan penjelasanpenjelasan
yang perlu diberikan masih banyak, para
bangsawan bermaksud memberikan penjelasanpenjelasannya
keesokan harinya, dan untuk malam hari
itu memutuskan untuk menahan calon di tempat
tahanan setempat.
Ø Kemudian ternyata panakawannya, dengan
mempergunakan linggis dan kapak, merusak palang
pintu tempat tahanan yang terbuat dari jati. Mereka
pun melarikan diri dan bersembunyi di suatu sumber air
di tengah-tengah padang yang terbentang antara Kuta
Kiara dan Kutabarang.
Ø Para bangsawan muda Kuta Kiara yang kehilangan
tahanannya pagi itu juga mencari kedua orang itu, dan
sekira waktu hangat-berjemur mereka mendapatkan
kedua orang itu sudah bersiap-siap menyergap mereka.
Walaupun dengan gagah berani bangsawan-bangsawan
muda berusaha menangkap kedua orang yang harus
dihadapkan ke pengadilan Kuta Kiara, mereka gagal
dan hanya dua orang yang selamat tanpa mendapat
cedera. Yang delapan orang semuanya cedera, bahkan
mungkin ada yang akan cacat seumur hidup. Di antara
yang cedera itu adalah:
• Seorang rusak mukanya karena dibantingkan ke
dalam semak-semak duri kemudian ditenggelamkan di
mata air, dan kalau tidak ditolong oleh kedua temannya
mungkin jiwanya tidak tertolong.
• Dua orang terkilir pergelangan tangannya.
• Seorang patah rusuknya.
• Seorang terkilir tulang lehernya.
• Yang seorang patah tulang selangkanya, akibat
diadukan dengan kepala kawannya yang kehilangan gigi
depannya.
• Sisanya babak belur dan memar karena dibanting
ke atas tanah dan semak-semak.

• Semua korban ditinggalkan begitu saja di dekat
mata air itu tanpa tanggung jawab sedikit pun."
Setelah membacakan keterangan itu, Rangga Sena menarik
napas panjang, lalu berkata, "Berdasarkan kejadian-kejadian
yang dilukiskan di atas, Tumenggung Wiratanu dengan
dukungan penuh seluruh bangsawan Kuta Kiara memohon
keadilan kepada sang Prabu, dalam surat beliau yang dibawa
oleh para utusan. Demikian bunyinya:
Paduka Yang Mulia, yang disembah di seluruh Pajajaran,
Kami yang bertanda tangan atas nama rakyat Kuta Kiara yang
juga dapat dianggap mewakili seluruh rakyat Pajajaran,
dengan ini menyatakan keprihatinan dan kecemasan kami oleh
adanya kejadianyang sangat bertentangan dengan apaapayang
dijunjung tinggi oleh masyarakat yang beradab,yaitu
dengan terjadinya penganiayaan terhadap orang baik-baik
yang dilakukan oleh pihak tertentu.
Seandainya penganiayaan itu dilakukan oleh perampok atau
mereka yang dianggap hina dalam masyarakat kita, kami tidak
akan terlalu berkecil hati. Akan tetapi, dalam peristiwa
penganiayaan tersebut, seorang calon puragabaya telah
menjadi pelakunya. Dalam peristiwa itu, orang yang
seharusnya menjadi pelindung rakyat yang lemah, justru
melakukan tindakan yang hanya dapat diperbuat oleh seorang
perampok atau penjahat.
Seandainya peristiwa itu berlalu tanpa peradilan, kami
sangat cemas, masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan
penghargaan pada lembaga kepuragabayaan yang selama ini
menjadi lambang kehalusan budi dan keperkasaan, dan
menjadi kebanggaan rakyat Pajajaran. Didorong oleh
keprihatinan dan kecemasan itulah kami menjerit dan
memohon agar orang yang menodai kesucian kepuragabayaan
itu mendapat hukuman yang setimpal.
"Demikian isi surat pengaduan itu, yang ditandatangani
oleh berpuluh-puluh bangsawan dan saudagar serta rakyat

biasa dari Kuta Kiara," kata puragabaya Rangga Sena sambil
meletakkan kotak-lontar di atas meja di hadapannya.
Kemudian ia duduk, sementara puragabaya Geger Malela
bangkit kembali.
"Selain keterangan dan surat pengaduan resmi, sang Prabu
dan kami telah pula mendengarkan keterangan lisan dari para
utusan yang dipimpin oleh Tumenggung Wiratanu sendiri. Dari
keterangan-keterangan lisan itu kami menarik kesimpulan
bahwa peristiwa itu melibatkan kita semua ke dalam suatu
masalah yang sungguh-sungguh dan harus segera mendapat
penyelesaiannya. Kami mengharapkan agar tertuduh
Anggadipati dan saksi Ogel memberikan penjelasan yang
sebenarnya, hingga kami tidak usah diperlambat dalam
menetapkan keputusan."
Setelah berkata demikian, Geger Malela memandang
kepada Pangeran Muda, lalu berkata, "Bangkit dan
berkatalah."
Pangeran Muda bangkit, lalu menjelaskan apa-apa yang
terjadi sesuai dengan yang dialaminya. Setelah diceritakannya
apa-apa yang terjadi sejak mereka menghadiri upacara hingga
perkelahian, ia pun duduk kembali.
Begitu ia duduk, Mang Ogel bangkit dan berkata, "Ada yang
terlewat, Eyang Resi."
"Katakan," kata Geger Malela.
"Waktu kami datang, kami tidak menaiki kuda kami. Waktu
kami meninggalkan Kuta Kiara memang kami memacu kuda
karena kami takut dikejar oleh bangsawan-bangsawan muda
yang menyekap Anom," kata Mang Ogel.
"Baik," kata Geger Malela sambil memberi isyarat kepada
Girang Pinji untuk melakukan pencatatan-pencatatan.
"Masih ada tambahan lain?" tanya Geger Malela pula.
"Bukan tambahan, tetapi usul, Kakanda Geger Malela," kata
Pangeran Muda seraya bangkit.
Geger Malela memberi isyarat agar Pangeran Muda
mengajukan usulnya. Pangeran Muda pun berkatalah kembali,
"Eyang Resi, Kakanda para puragabaya, sebenarnya hamba

tidak dapat memberikan penjelasan yang selengkaplengkapnya
karena sebagian dari keseluruhan peristiwa yang
telah menyangkut hamba secara langsung tidak hamba
saksikan. Hamba tidak, mengetahui apa yang terjadi ketika
hamba berada dalam terongko, dan hamba pun tidak tahu apa
yang dilihat dan dibicarakan oleh Mang Ogel dengan Putri
Mayang Cinde dalam usaha menolong hamba itu. Berdasarkan
hal-hal itu hamba mengusulkan untuk menjelaskan persoalan
dan sebelum menetapkan keputusan, saksi ditambah dengan
Putri Mayang Cinde."
"Adikku Anggadipati, apa yang kauusulkan telah menjadi
pertimbangan kami sebelum kami berangkat ke Padepokan
Tajimalela, dan sekarang seorang di antara kami, yaitu
Rangga Gempol sedang berada di Kuta Kiara; pertama, untuk
meneliti pemuda-pemuda dengan siapa kau terlibat dalam
perkelahian; kedua, untuk secara langsung mendapat
penjelasan-penjelasan lisan dari Putri Mayang Cinde."
"Eyang Resi, Kakanda para puragabaya, hamba
beranggapan bahwa para bangsawan muda itu akan
memberikan keterangan yang memberatkan hamba. Apakah
pengaduan Tumenggung Wiratanu belum dianggap cukup
sebagai tuduhan terhadap hamba?"
Geger Malela segera menjawab pertanyaan Pangeran Muda
yang salah mengerti, "Adikku, Rangga Gempol tidak akan
bertanya secara langsung kepada bangsawan-bangsawan
muda itu. Ia hanya akan meminta keterangan lisan dari Putri
Mayang Cinde. Sedang mengenai bangsawan-bangsawan
muda itu, justru Rangga Gempol akan mencari keterangan
dari rakyat biasa. Rangga Gempol akari menyelidiki apakah
mereka itu tergolong pemuda-pemuda yang tahu sopan
santun, suka akan ketertiban, dan taat pada asas-asas
kesatriaan. Seandainya mereka demikian, hal itu akan
memberatkanmu, sebaliknya, seandainya keterangan yang
didapat oleh Rangga Gempol tidak demikian, hal itu akan
meringankanmu."

"Tapi apakah jaminan bahwa Juragan Rangga Gempol akan
bertanya kepada rakyat yang tidak memihak?" tiba-tiba Mang
Ogel bertanya dan tidak dapat menahan dirinya.
"Tentu saja Rangga Gempol akan berusaha mendapatkan
keterangan yang benar. Ia pun tidak akan menunjukkan
dirinya sebagai puragabaya. Ia akan menyamar sebagai
pengembara yang sedang singgah," demikian Geger Malela.
Kemudian setelah menyadarinya bahwa tidak ada lagi orang
yang akan berkata, Geger Malela menarik napas panjang, lalu
berkata, "Dari pembicaraan kita, dapat ditarik kesimpulan
bahwa keterangan-keterangan yang diperlukan belum
terkumpul semuanya. Oleh karena itu, keputusan pun tidak
akan dapat diberikan sekarang. Kita akan menunggu
keterangan-keterangan yang didapat oleh Rangga Gempol dan
kita akan mengadakan acara sekali lagi sebelum menjatuhkan
keputusan."
Setelah berkata demikian, Geger Malela mempersilakan
Eyang Resi untuk memberikan petuah, tetapi Eyang Resi tidak
berkenan. Beliau malah mengajak seluruh hadirin untuk
bersembahyang bersama untuk memohon petunjuk pada Sang
Hiang Tunggal, agar keputusan yang akan ditetapkan sesuai
dengan tuntutan keadilan. Maka seluruh hadirin pun pergilah
ke candi dan dengan khusyuk mengadakan sembahyang
bersama di sana.
KEESOKAN harinya acara-acara latihan dan pelajaran
rohani mulai diadakan lagi. Para calon melanjutkan kembali
pelajaran-pelajaran ketangkasan, meniru ular dan bajing,
mengarungi arus sungai, melompati jurang-jurang, mendaki
tebing yang curam dan menuruninya, dengan
mempergunakan tambang atau tidak. Akan tetapi, sebagai
orang yang masih ada dalam persoalan, Pangeran Muda tidak
ikut serta. Dengan ditemani oleh Mang Ogel, Pangeran Muda
hanya menyaksikan apa-apa yang dilakukan oleh kawankawannya
di bawah pimpinan Pamanda Rakean, Anapaken,
dan Pamanda Minda.

Dengan melihat latihan itu, makin tergugahlah hasrat
Pangeran Muda untuk menguasai ilmu yang berbahaya tetapi
suci itu. Akan tetapi, kesadarannya bahwa ia sedang
dipersoalkan segera mengecutkan hatinya. Pangeran Muda
sangat menyesal, mengapa ia tidak dapat menghindarkan
kejadian-kejadian yang tidak diinginkan itu. Padahal untuk
melarikan diri sebenarnya mudah sekali.
Sebenarnya dengan mudah Pangeran Muda dapat
meloloskan diri dari bangsawan-bangsawan muda itu, yaitu
ketika ia dengan Mang Ogel disergap sekembali dari upacara
mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri di Kuta Kiara itu. Sayang
sekali keterkejutan dan kebingungan menyebabkannya telah
terlibat dalam kedudukan yang sulit, di mana ia disekap dalam
terongko. Pangeran Muda pun menyesal, mengapa ia
memberikan minum pada kuda-kuda mereka, padahal secara
samar-samar ia punya firasat bahwa mata air itu berada dalam
jangkauan pengejar-pengejar, sedang tapak kaki kuda mereka
jelas sekali terlukis di jalan pasir yang menghubungkan Kuta
Kiara dengan Kutabarang, tempat mereka tuju sebelum Puri
Anggadipati. Di sampingku, Pangeran Muda pun sangat
menyesal, mengapa mereka tidak merawat para korban
sebelum pergi. Akan tetapi, segalanya sudah berlalu dan
sekarang Pangeran Muda hanya dapat berdoa, mudahmudahan
Sang Hiang Tunggal menetapkan yang sebaikbaiknya
bagi semua.
'Jangan terlalu berkecil hati, Anom. Apa pun yang terjadi
kau masih sangat muda," kata Mang Ogel membesarkan hati
Pangeran Muda yang termenung di sampingnya sambil
memerhatikan kawan-kawannya melakukan latihan.
"Saya telah menyerahkan semuanya kepada Sang Hiang
Tunggal, Mang," kata Pangeran Muda sambil tersenyum, lalu
mengikuti calon-calon lain yang setelah selesai melakukan
perkelahian menuju tempat lain.
MALAM itu juga acara peradilan dilanjutkan, tetapi tidak
langsung dengan penjelasan-penjelasan tambahan oleh

puragabaya Rangga Gempol yang sudah tiba. Para
puragabaya dengan Eyang Resi melakukan rapat khusus
terlebih dahulu, yang tidak dihadiri oleh para calon, tetapi
hanya dihadiri oleh para pelatih. Para calon sendiri berkumpul
seperti biasa di ruang belajar. Mereka tidak banyak bercakapcakap,
semuanya tampak merasa cemas akan nasib Pangeran
Muda. Sikap para calon lain itu sungguh-sungguh
mengharukan Pangeran Muda dan secara tulus tergugahlah
rasa terima kasih yang tidak diucapkan kepada mereka itu.
Tak lama kemudian pintu dari ruangan kecil tempat Eyang
Resi dan para puragabaya berunding pun terbukalah. Maka
heninglah semua calon dan panakawan-panakawan yang
hadir. Setiap orang memerhatikan pembesar-pembesar kepuragabayaan
yang mengambil tempat duduk masing-masing di
ruangan besar. Pangeran Muda dengan saksama
memerhatikan air muka mereka, tetapi sukar sekali dibaca,
apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Umumnya air muka
mereka memperlihatkan ketenangan, kedamaian yang biasa
memancar dari air muka para pendeta dan puragabaya.
Kemudian Geger Malela mulai berkata, menjelaskan bahwa
bahan-bahan baru telah didapat oleh Rangga Gempol yang
dua hari dua malam berada di Kuta Kiara untuk mencarinya.
Setelah itu, ia memberikan isyarat kepada Rangga Sena untuk
membuka kotak lontar dan membacakan keputusan
pengadilan puragabaya itu. Rangga Sena pun mulai
mengambil beberapa helai lontar dari kotaknya, dan setelah
dijajarkan di atas meja panjang, ia mulai mengambil sehelai
dari yang paling kanan, diikuti oleh pandangan mata seluruh
calon yang dengan tegang memerhatikan perbuatannya.
Kemudian mulailah Rangga Sena membaca.
"Lembaga Kepuragabayaan sejak pendiriannya yang
diresmikan oleh Yang Mulia Prabu Niskalawastu suwargi tetap
berpegang pada asas-asas dan tujuan serta cita-cita yang
sama, yaitu agar anak negeri Kerajaan Pajajaran mendapat
jaminan yang pasti dan dapat diandalkan dalam mencapai
kebahagiaannya.

Ø Setiap puragabaya adalah pribadi-pribadi yang
menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjadi jaminan
agar anak negeri kerajaan merasa aman, tenteram,
tertib, terbebas dari rasa cemas, takut dan tertekan
dalam mencari kebahagiaannya. Oleh karena itu,
menjadi seorang puragabaya berarti menjalani
kehidupan yang penuh pengorbanan yang dilakukan
dengan tulus ikhlas karena yakin bahwa berkorban bagi
sesama hidup adalah perbuatan yang mulia.
Ø Berdasarkan asas-asas di atas, maka setiap perbuatan
yang bertentangan dengan tujuan Lembaga
Kepuragabayaan dan bertentangan dengan sifat-sifat
seorang puragabaya, dikutuk sekeras-kerasnya dan
harus dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, kalau
perbuatan-perbuatan yang demikian dibiarkan, akan
berarti bahwa anak negeri Kerajaan Pajajaran
kehilangan jaminan yang tertinggi untuk mendapat
kebahagiaan dalam hidup mereka.
Ø Maka dengan selalu memohon petunjuk Sang Hiang
Tunggal dan berpegang pada asas-asas
kepuragabayaan, kami anggota-anggota Peradilan
Puragabaya yang terdiri dari lima orang, yaitu Resi
Tajimalela, puragabaya Geger Malela, puragabaya
Rangga Sena, puragabaya Girang Pinji, dan puragabaya
Rangga Gempol, setelah melakukan perundingan
dengan saksama dan memeriksa segala bahan lisan dan
tulisan yang dapat dikumpulkan sebelum, selama, dan
sesudah acara pengadilan, menetapkan hukuman
terhadap Pangeran Anggadipati, kedudukan sebagai
calon puragabaya, yaitu dengan mengharuskan
terhukum melakukan tugas-tugas kepanakawanan di
padepokan, yaitu dalam bentuk-bentuk pekerjaan
mencari kayu bakar, membersihkan ruangan belajar
dan kamar-kamar para calon, membersihkan senjata
dan membantu pekerjaan-pekerjaan dapur, serta
mengurus kuda. Perbuatan-perbuatan itu diharapkan

akan mendidiknya untuk lebih berendah hati kepada
rakyat Pajajaran yang menjadi majikannya, dan
menyebabkan menyesali apa-apa yang telah
diperbuatnya yang tercela ditinjau dari asas-asas
kepuragabayaan.
Sebelum Rangga Sena selesai membaca, beberapa orang
calon yang duduk berdekatan dengan Pangeran Muda
merangkulnya karena tidak dapat menahan rasa gembiranya
setelah jelas bahwa Pangeran Muda tidak dipecat sebagai
calon. Pangeran Muda sendiri berulang-ulang mengucapkan
syukur di dalam hati dan dua titik air mata menghangati
pipinya.
Setelah ruangan tenang kembali, Rangga Sena melanjutkan
pembacaan keputusan itu.
"Keputusan hukuman itu dijatuhkan di antaranya
berdasarkan
pula hal-hal yang memberatkan terhukum, yaitu:
Ø Perbuatannya membahayakan wibawa dan
kehormatan Lembaga Kepuragabayaan dan
puragabaya-puragabaya secara pribadi.
Ø Perbuatannya dapat menimbulkan kecemasan dan
keti-daktenteraman hati anak negeri Kerajaan
Pajajaran.
Ø Perbuatannya telah menyebabkan beberapa orang
menderita cedera, di antaranya cedera yang akan
menyebabkan si korban tidak dapat melakukan
pekerjaan sebaik sebelum cedera itu diderita.
"Hal-hal yang meringankan terhukum adalah:
Ø Terhukum adalah seorang yang patuh dan hormat
pada pelatih dan Pimpinan Padepokan, dapat
bergaul dengan calon-calon lain dan mau
membantu dalam pekerjaan-pekerjaan yang baik,
yang dapat memperlancar rencana-rencana di
padepokan.

Ø Perbuatannya dilakukan untuk pertama kalinya dan
atas perbuatannya, terhukum sudah menyatakan
penyesalannya.
Ø Perbuatan itu dilakukannya setelah berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menghindarkannya.
"Demikianlah keputusan kami," kata Rangga Sena,
kemudian ia membaca beberapa perkataan lain yang lenyap
ditelan oleh gemuruhnya kegembiraan para calon. Setelah
upacara selesai dan setiap orang mengucapkan selamat
kepada Pangeran Muda, sembahyang bersama dilakukan
kembali di candi. Setelah selesai, karena malam sudah larut,
para calon langsung menuju pemondokan masing-masing.
Selagi berjalan menuju pemondokan dengan beberapa
calon lain, Pangeran Muda mendengar langkah orang yang
mengikuti. Ternyata puragabaya Rangga Gempol
menyusulnya, kemudian berjalan di sampingnya.
"Anggadipati, gadis itu titip pesan kepadaku, ia minta maaf
akan perbuatannya yang menyusahkanmu itu," katanya.
"Terima kasih akan jerih-payah Kakanda," ujar Pangeran
Muda.
'Adakah pesan dari Raden Bagus Wiratanu, Kakanda?" kata
Rangga yang suka berlelucon.
"Wah, sayang saya tidak sempat berbincang-bincang
dengannya. Saya hanya memerhatikannya dari jauh. Mungkin
dia akan titip tinju bagimu, Anggadipati, seandainya dia tahu
saya akan berkunjung ke sini," jawab Rangga Gempol yang
suka pula berlelucon. Akan tetapi, ia bersungguh-sungguh
kembali, lalu berkata, "Saya bertanya kepada mereka, tetapi
dari gerak-geriknya dan dari keterangan yang diberikan oleh
berpuluh-puluh rakyat tentang bangsawan muda itu, saya
yakin anak muda itu kurang baik kelakuannya. Dari
keterangan rakyat, saya mendapat kesan perkelahianperkelahian
dengan orang asing juga dengan bangsawanbangsawan
muda dari kota-kota lain sering dilakukan oleh
gerombolan Raden Bagus Wiratanu itu. Di samping itu,

dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana bangsawanbangsawan
muda itu dengan seenaknya saja melarikan kuda
mereka di tengah-tengah rakyat yang sedang sibuk."
"Eh, Anggadipati, ia akan dendam kepadamu karena
perbuatanmu telah menyebabkan mukanya rusak dan pasti
oleh karena itu, Putri Mayang Cinde makin tidak senang
kepadanya. Bahkan, orangtua Putri Mayang Cinde sekarang
sudah memutuskan untuk pindah ke Kutabarang, tidak tahan
lagi ia hidup di Kuta Kiara setelah kejadian itu. Kau perlu minta
maaf kepada orangtua yang menjadi repot itu, Anggadipati,"
katanya sambil tersenyum.
Pangeran Muda tidak berkata apa-apa. Kemudian Rang-galah
yang menyela.
"Kalau perlu, Anom bersedia menambah hukumannya,
Kakanda Rangga Gempol," katanya sambil tertawa.
"Menambah bagaimana?" tanya Rangga Gempol sungguhsungguh.
"Di samping membersihkan lantai asrama, candi, dan ruang
belajar, Anggadipati bersedia mencuci kaki Mayang Cinde
setiap pagi dan sore, demikian tadi katanya kepada saya,"
kata Rangga sambil tertawa.
Semua tertawa, dan mereka pun tibalah di tempat
pemondokan.
Bab 13
Putra Mahkota
Semenjak pengadilan selesai. Latihan-latihan dan
pendidikan rohani dijalankan kembali seperti biasa. Pangeran
Muda, di samping belajar, juga membantu pekerjaan para
panakawan, sesuai dengan keputusan pengadilan puragabaya
itu. Hukuman itu dilaksanakan bukan saja dengan tabah,
tetapi bahkan dengan kegembiraan.
Pertama, karena di masa kanak-kanak sering sekali
Pangeran Muda ingin membantu panakawan-panakawan di

Puri Anggadipati, walaupun hal itu tidak pernah terpenuhi
berhubung terlarang bagi seorang bangsawan melakukan
pekerjaan-pekerjaan jasmani, selain berburu dan berperang.
Kedua, ternyata hukuman macam itu memperkaya rohaninya
karena dengan bergaul lebih dekat dengan para panakawan,
Pangeran Muda jadi lebih mengenal mereka. Pangeran Muda
merasakan apa yang menjadi perasaan mereka, ikut
memikirkan apa yang menjadi masalah mereka, ikut berhasrat
membantu mencapai cita-cita mereka. Sebelumnya rakyat
kecil adalah orang asing bagi Pangeran Muda, padahal
menurut perintah agama maupun perintah kerajaan, mereka
ini dititipkan oleh Sang Hiang Tunggal dan sang Prabu kepada
para bangsawan. Bagaimana para bangsawan dapat melayani
orang-orang kecil ini seandainya mereka tidak kenal pada
suka-duka mereka? Sekarang barulah Pangeran Muda
menyadari bahwa cerita-cerita tentang bagaimana sang Prabu
sering menyamar dan hidup beberapa waktu di antara rakyat
bukanlah khayalan. Sang Prabu yang bijaksana tentu
menyadari bahwa hidup di tengah-tengah masyarakat kecil
merupakan sesuatu yang berharga bagi beliau sebagai raja
yang harus menjadi bapak mereka. Sedang bagi seorang raja,
mengenal anak negerinya adalah kewajiban yang dibebankan
oleh Sang Hiang Tunggal. Itulah sebabnya Pangeran Muda
bersyukur karena telah dihukum. Maka selama enam bulan
Pangeran Muda menjalankan hukuman itu dengan tabah dan
gembira.
Pada suatu hari, setelah latihan perkelahian, pengeroyokan,
dan ketangkasan, para calon dikumpulkan di lapangan, dan
Eyang Resi yang tidak biasa hadir, hari itu keluar dari dalam
candi dan langsung berbicara kepada mereka,
"Anak-anakku, latihan di padepokan untuk gelombang
pertama sudah dianggap selesai. Kalian sudah diperlengkapi
dengan ketangkasan dalam mengatasi rintangan-rintangan
alam, seperti sungai-sungai, jurang-jurang, hutan-hutan, dan
rawa-rawa. Yang lebih penting lagi, kalian sudah dilengkapi
dengan penguasaan gerak dengan berbagai polanya, hingga

kalian akan menjadi prajurit-prajurit yang sukar dikalahkan.
Kalian akan ditakuti oleh mereka yangjahat, tetapi kalian pun
adalah calon-calon pendeta yang akan menjadi sumber
kedamaian bagi anak negeri kerajaan. Akan tetapi, segala ilmu
yang kalian dapat selama ini belumlah benar-benar kalian
kuasai karena kalian belum menghayati penggunaannya dalam
kehidupan sehari-hari di dunia luas. Seperti juga keharusan
yang dijalani oleh calon-calon yang terdahulu, kalian akan
dilepaskan ke dunia luas untuk waktu tiga tahun lamanya,
sebelum kalian dipanggil kembali, untuk melanjutkan
pendidikan tingkat yang lebih tinggi di padepokan ini.
"Minggu depan upacara akan dilakukan, dan kalau Sang
Hiang Tunggal menghendaki, Putra Mahkota akan hadir
menyaksikan upacara pelepasan kalian."
Demikian penjelasan Eyang Resi yang diterima dengan
gembira oleh para calon kecuali Jante. Pangeran Muda yang
keheranan bertanya kepada Jante, mengapa berita itu
menyebabkannya berkecil hati. Akan tetapi, Jante tidak
memberikan penjelasan. Ia hanya mengatakan bahwa
Pangeran Muda tidak akan dapat membantu menyelesaikan
masalahnya. Pangeran Muda tidak mendesak dengan
pertanyaan-pertanyaan karena Pangeran Muda tahu, Jante
adalah orang yang sangat tertutup. Jadi, Pangeran Muda
membiarkannya murung seorang diri.
Pada hari yang ditetapkan datanglah rombongan Putra
Mahkota ke padepokan. Rombongan terdiri dari Putra Mahkota
dikawal oleh empat orang puragabaya yang mereka kenal,
yaitu puragabaya Geger Malela, Rangga Sena, Girang Pinji,
dan Rangga Gempol. Di samping itu, datang pula beberapa
orang bangsawan muda dan beberapa panglima jagabaya
serta prajurit-prajurit. Mereka disambut dengan upacara
sederhana oleh seluruh isi padepokan.
Selama itu, perhatian Pangeran Muda tertuju pada Putra
Mahkota, yang ternyata sangat jauh dari apa yang
dibayangkannya. Putra Mahkota yang sebaya dengannya
adalah pemuda yang ramah dan sangat sederhana. Dalam

pakaian maupun tindak-tanduk tidaklah tampak ia berbeda
dengan pangeran-pangeran lain yang menemaninya. Satu hal
saja yang membedakannya dengan mereka, yaitu senjata kecil
yang disandang di pinggangnya, yang dikenal dengan nama
Kiai Tulang Tong-gong Pajajaran, sebuah badik indah yang
sarungnya terbuat dari kayu berukir emas.
Setelah upacara sederhana itu, Putra Mahkota bergaul
dengan bebas dengan para calon. Pada kesempatan
mengobrol, Pangeran Muda sempat bertanya, apakah
Pangeran Rangga Wesi, calon iparnya ikut serta?
"Rangga Wesi yang mana? Sahabat saya yang bernama
Rangga Wesi dengan menyesal tidak dapat menggabungkan
diri karena ia seorang murid yang baik dan harus
menyelesaikan pelajarannya sebagai calon pejabat kerajaan.
Oh, iya, ia menitipkan salam kepada seorang yang bernama
Anggadipati, seorang calon puragabaya," kata Putra Mahkota.
"Hambalah Anggadipati, Yang Mulia," ujar Pangeran Muda.
"Kalau begitu, saya berhadapan dengan orang yang
berkepentingan, syukurlah, ia ingin sekali bertemu dengan
Saudara."
"Saya pun sangat ingin bertemu dengannya, Yang Mulia."
"Ia anak yang baik, Anggadipati. Ia mengemban
kebangsawanannya dengan tabah, dan orang-orang tua
berkata baik tentangnya," kata Putra Mahkota.
"Hamba senang sekali mendengar hal itu, Yang Mulia,
karena ia adalah calon ipar hamba. Ia bertunangan dengan
Ayunda Ringgit Sari."
"Oh, iya, hampir saya lupa. Jadi, kau adik Ayunda Ringgit
Sari? Maaf saya lupa, maklum banyak sekali bangsawan yang
harus dikunjungi dan karena banyaknya, sering tertukar satu
sama lain. Saya pun harus menyampaikan salam kepada
ayahanda Anggadipati. Beliau sangat bijaksana," kata Putra
Mahkota, lalu beliau melanjutkan percakapan beliau tentang
Pangeran Rangga Wesi.
"Bagaimanapun kebangsawanan adalah beban bagi kita
semua, Anggadipati. Kiranya kau pun telah merasakannya

sekarang. Semula saya menyangka seorang bangsawan
adalah seorang yang memiliki hak istimewa dalam
masyarakat. Ia terhormat, berwibawa, dimuliakan. Ya. Akan
tetapi ternyata kemudian, segala kemuliaan yang diberikan
oleh masyarakat kepada bangsawan tidaklah diberikan cumacuma.
Sang Hiang Tunggal memilih sekelompok kecil manusia
yang disebut bangsawan untuk mengabdi kepada masyarakat
yang banyak itu. Dan pelaksanaan pengabdian ini bukanlah
suatu tugas yang ringan. Saya pun mendengar, tiga orang
bangsawan muda telah menjadi korban dalam latihan-latihan
di sini. Baru dalam melatih diri sudah jatuh sebagai korban,
apalagi kalau sudah melaksanakan tugas yang sebenarnya.
"Akan tetapi, sebagai orang yang beriman kepada Sang
Hiang Tunggal, kita usung beban kebangsawanan kita ini
dengan tabah, gembira, dan rasa syukur. Karena dengan
kebangsawanan kita itulah, kita akan menyumbangkan hal-hal
yang baik bagi kehidupan ini. Bayangkan, kalau kita bukan
seorang bangsawan, saya yakin, kita tidak akan dapat berbuat
apa-apa. Kita yang hanya biasa mempergunakan otak serta
senjata tidak mungkin dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang biasa dilakukan oleh rakyat banyak, seperti bercocok
tanam, membuat kerajinan yang indah-indah dan sebagainya.
Anggadipati, arti hidup kita terletak pada pengabdian kita
kepada masyarakat, dan hal itu kita lakukan sebagai seorang
bangsawan, yaitu golongan yang harus menguasai ilmu
kenegaraan dan ilmu kepanglimaan. Akan tetapi, sebagai
puragabaya tugasmu lain dengan bangsawan-bangsawan lain.
Engkau harus menjadi seorang pahlawan dan pendeta
sekaligus. Itu adalah tugas yang sangat berat dan oleh karena
itu, saya menaruh hormat kepada kalian. Dan marilah, kalau
kau sudah lulus dari pendidikan ini, kita bahu-membahu
melaksanakan tugas kita, memberi arti kepada hidup kita yang
sebenarnya sangat singkat ini," kata Putra Mahkota sambil
tersenyum.
Mendengar obrolan Putra Mahkota itu, terpukaulah Pa-'
ngeran Muda. Putra Mahkota sebaya dengannya, tetapi jelas

pengetahuannya tentang berbagai hal jauh melebihinya. Rasa
hormat Pangeran Muda makin tinggi juga, sementara itu keramahtamahan
dan kesederhanaan Putra Mahkota tidak
mengilhamkan perasaan lain, kecuali perasaan cinta dan
keinginan mengabdi. Pangeran Muda berkesimpulan, Sang
Hiang Tunggal telah memberikan cahaya lain ke dalam mata
Putra Mahkota, hingga dengan pandangannya yang lembut
dan ramah itu menjadi lembutlah hati mereka yang
berhadapan dengannya.
Rupanya demikian juga kesan calon-calon puragabaya yang
lain terhadap Putra Mahkota, yang kehadirannya di padepokan
menjadi buah bibir mereka untuk beberapa lama.
MALAM itu juga upacara selesainya latihan gelombang
pertama dilakukan dengan disaksikan rombongan Putra
Mahkota. Sore itu para panakawan dan para calon dengan
dipimpin oleh keempat puragabaya mempersiapkan
gelanggang untuk upacara itu.
Gelanggang itu dibuat di tengah-tengah lapangan yang
dikelilingi oleh candi dan bangunan-bangunan lain di
padepokan. Gelanggang itu berbentuk lingkaran kecil yang
bergaris tengah kira-kira tujuh langkah. Di luar lingkaran itu
diletakkan kayu-kayu bakar banyak sekali, yang telah diperciki
dengan minyak kelapa. Hanya di suatu tempat dibuat celah
kecil untuk jalan keluar atau masuk ke dalam lingkaran itu.
Ketika malam turun, dan setelah sembahyang bersama
dilakukan, kedua belas orang calon diperintahkan untuk duduk
di sekeliling lapangan, bersama-sama dengan rombongan
Putra Mahkota. Setelah segalanya siap, Eyang Resi maju ke
muka, lalu berkata, "Putra Mahkota yang kami muliakan, para
bangsawan dan rombongan para calon, suatu saat yang
penting dalam pendidikan akan segera kita lalui, yaitu di mana
para calon akan memperlihatkan hasil didikan yang mereka
dapatkan di padepokan ini. Satu per satu calon akan
dimasukkan ke dalam gelanggang. Mereka harus berusaha
keluar dari gelanggang secepat mungkin, setelah dapat

meloloskan diri dari puragabaya yang akan bergiliran menjadi
penghalang mereka. Dalam usahanya tersebut, setiap calon
diperkenankan mempergunakan segala ilmu yang didapatnya
di padepokan, termasuk pukulan-pukulan atau tendangantendangan
yang mematikan." Setelah berkata demikian, Eyang
Resi mengundurkan diri dan duduk di samping Putra Mahkota.
Maka terdengarlah Pamanda Anapaken berseru, "Rangga!"
Majulah Rangga ke depan, bersamaan dengan itu berdiri
pula puragabaya Rangga Gempol. Rangga diperintahkan untuk
memasuki gelanggang, demikian juga puragabaya Rangga
Gempol dipersilakan. Setelah mereka berada di dalam
lingkaran itu, mereka memberi hormat kepada Putra Mahkota
dan Eyang Resi. Tak lama kemudian Pamanda Anapaken
berseru kepada Mang Ogel yang segera datang membawa
obor. Dengan obor yang berkobar-kobar, Mang Ogel berjalan
di depan para hadirin, kemudian setelah memberi hormat
kepada Putra Mahkota dan Eyang Resi, ia berjalan dengan
obor itu ke arah gelanggang Kayu bakar yang bertumpuktumpuk
mengelilingi gelanggang itu disulutnya, dan dalam
sekejap berko-bar-kobarlah api dari kayu kering yang telah
disiram minyak kelapa. Rangga dan puragabaya Rangga
Gempol yang berada di tengah-tengah gelanggang hanya dari
pundak ke atas saja tampak di antara lidah-lidah api yang
keemasan dan merah itu. Mereka berhadapan di sana, dan
setelah mendengar seruan Pamanda Anapaken, "Mulai!"
Rangga pun mulailah dengan serangan, dalam usahanya
keluar dari lingkaran api itu, melalui celah yang kecil di mana
tidak ada api menyala.
Perkelahian yang singkat tapi seru itu diakhiri dengan
loncatan Rangga keluar gelanggang dengan melalui celah itu.
Para hadirin bertepuk, sementara Rangga terduduk kelelahan.
Kemudian berturut-turut calon-calon dipanggil, dan setelah
melalui perkelahian yang menegangkan, mereka umumnya
berhasil keluar dari gelanggang yang dikelilingi api itu, dalam
waktu yang tidak terlalu lama.

Kemudian terdengarlah Pamanda Anapaken berseru,
"Anom!"
Pangeran Muda pun memasuki gelanggang melalui celah
yang tidak berapi. Ketika itu puragabaya Geger Malela
digantikan oleh puragabaya Rangga Sena yang mengikuti
Pangeran Muda memasuki gelanggang itu. Setiba di dalam,
mereka bersiap-siap, kemudian seruan "Mulai!" terdengar dari
luar. Maka bersiap-siaplah Pangeran Muda.
Ternyata puragabaya Rangga Sena tidak berdiri di muka
celah tempat meloloskan diri. Puragabaya itu berdiri di suatu
tempat dekat celah itu, seolah-olah mempersilakan Pangeran
Muda untuk melompat keluar dari lingkaran api itu. Pangeran-
Muda segera menyadari bahwa itu hanyalah pancingan, dan
karena itu tidak mempergunakan kesempatan yang berbahaya
itu, tetapi langsung mendekati puragabaya itu dari samping
dan menyerangnya dengan gerakan mendorongnya ke dalam
api. Akan tetapi, begitu tangan Pangeran Muda terjulur,
tangan itu ditangkap dan ditarik hingga tubuh Pangeran
Mudalah yang hampir terlempar ke dalam api. Untung
Pangeran Muda waspada, berat badannya dibelokkan dan
diarahkan ke tubuh puragabaya itu. Pangeran Muda maju
menyerang mempergunakan tarikan tangan puragabaya itu.
Lawan yang waspada sedikit mundur dan menepuk sikut itu
dalam rangka menjatuhkan Pangeran Muda. Dengan tepukan
itu, Pangeran Muda terdorong dekat sekali ke dalam api.
Panas api menjilat-jilat pipinya. Sementara itu, dengan cepat
puragabaya Rangga Sena menyerangnya dari muka, dengan
gerakan melebar, tidak memberi kesempatan pada Pangeran
Muda untuk meloloskan diri ke tengah-tengah gelanggang
kembali. Diserang demikian Pangeran Muda tidaklah gugup.
Diperlihatkannya gerakan-gerakan seolah-olah ia sedang
kebingungan. Gerakan-gerakan ini menyebabkan puragabaya
Rangga Sena lebih bersemangat menyerangnya dan mulai
melakukan gerakan yang tujuannya menjatuhkan Pangeran
Muda ke dalam api. Serangan yang bersemangat ini
merupakan kelemahan, dan dengan serudukan lurus, gerakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gerakan yang menghalangi dan mengurung dari puragabaya
Rangga Sena dapat ditembus.
Karena serudukan lurus tidak akan dapat ditahan, Rangga
Sena terpaksa menghindar dengan menangkap tangan
Pangeran Muda serta membantingnya. Akan tetapi, bantingan
ini dilakukannya di tengah-tengah gelanggang, hingga
Pangeran Muda bebas menghadapi celah tempat keluar. Akan
tetapi, segera Rangga Sena menyadari kesalahannya, dan
dengan lompatan sudah berada dekat Pangeran Muda dan
berusaha mengisi tempat antara Pangeran Muda dengan celah
itu. Sekarang Pangeran Mudalah yang melakukan gerakangerakan
menghalangi. Ternyata, usaha keluar tidak menjadi
lebih mudah, walaupun Pangeran Muda sekarang berdiri
membelakangi celah tempat lolos itu. Setiap gerakan
meloloskan diri akan memberi kesempatan pada Rangga Sena
untuk melakukan serangan yang tidak akan dapat dihindarkan
kecuali dengan masuk ke dalam api. Maka berpikirlah
Pangeran Muda dengan keras.
Akhirnya, diputuskanlah untuk melakukan serangan
kembali, dengan tujuan mendesak Rangga Sena ke suatu
tempat di samping celah itu. Pangeran Muda melakukan
serangan lurus, yang dihindarkan dengan lompatan ke
samping oleh Rangga Sena. Ia kemudian berusaha mendekati
celah itu. Pangeran Muda yang sudah meramalkan hal itu
segera menutupnya. Sekarang mereka berhadap-hadapan
kembali, tetapi Pangeran Muda sekarang berdiri dengan celah
itu di sampingnya. Rangga Sena sadari telah terpancing, ia
mulai bergerak ke tengah-tengah gelanggang agar dapat
menghadapi Pangeran Muda yang terpaksa akan
membelakangi celah itu kembali. Akan tetapi, baru saja ia
melangkah satu langkah, dengan secepat kilat Pangeran Muda
melompat, meloloskan diri ke luar gelanggang.
Seperti juga sebelumnya, para hadirin bertepuk, sementara
Pangeran Muda kelelahan di luar gelanggang. Rangga Sena
keluar dari gelanggang, mengulurkan tangan dan ketika

mereka bersalaman puragabaya itu berkata dengan tulus,
"Kau licin sekali, Anggadipati."
"Terima kasih atas pujian itu, Kakanda."
"Saya tidak memuji, hanya mengatakan yang sebenarnya."
"Tetap saja saya berterima kasih."
Upacara itu pun dilanjutkan, dan para calon keluar masuk
gelanggang, kadang-kadang keluar dengan pakaian yang
terbakar, kadang-kadang dengan rambut yang hangus, tetapi
semua dapat mengatasi rintangan dalam waktu yang singkat.
Bab 14
Putri Yuta Inten
Setelah upacara yang bersifat ujian pertama itu dilampaui,
tak banyak yang dikerjakan oleh para calon puragabaya di
padepokan itu. Sambil menunggu panggilan dari Pakuan
Pajajaran untuk menerima tugas-tugas dalam masyarakat,
kadang-kadang para calon pergi berburu, kadang-kadang
melakukan latihan ketangkasan, dan sebagainya. Latihanlatihan
ini dilakukan tanpa dipimpin oleh pelatih-pelatih
mereka karena para pelatih ini sudah terlebih dahulu
mendapatkan cuti besar dan kembali kepada keluarga mereka
masing-masing. Demikian juga sebagian dari panakawan
termasuk Mang Ogel. Mereka yang dibutuhkan tenaganya dan
tidak atau belum beristri, tinggal di padepokan itu melakukan
tugas biasa melayani Eyang Resi, dan para calon.
Kemudian, pada suatu hari, panggilan itu pun tibalah
dibawa oleh puragabaya Geger Malela. Dalam surat panggilan
itu ditetapkan, setiap calon akan diberi tugas menjadi
pengawal-pengawal pribadi sejumlah bangsawan tinggi.
Ditetapkan pula bangsawan-bangsawan mana yang akan
dikawal oleh calon-calon itu. Di antara bangsawan tinggi yang
akan diberi pengawalan itu termasuk Ayahanda Pangeran
Anggadipati, yang menurut puragabaya Geger Malela
sekarang diberi tugas di Pakuan Pajajaran karena sang Prabu

sangat berkenan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh
Ayahanda dalam meningkatkan kesejahteraan daerahnya.
Keterangan itu sungguh-sungguh sangat membuat gembira
hati Pangeran Muda. Pertama, karena Ayahanda telah
mendapat kehormatan untuk mendampingi sang Prabu di
Pakuan Pajajaran; kedua, karena dengan penugasannya di
Pakuan Pajajaran, akan lebih mudah bagi Pangeran Muda
untuk bertemu dengan beliau.
"Anggadipati, kau dapat memilih untuk menukar calon
majikanmu dengan ayahmu," ujar puragabaya Geger Malela.
"Maksud saya, saya tidak berkeberatan kalau kau menjadi
pengawal pribadi ayahmu, Pangeran Anggadipati," lanjutnya.
"Lebih baik tidak, Kakanda," kata Pangeran Muda setelah
termenung sebentar, "pertama, pengalaman saya tidak akan
bertambah; kedua, Ayahanda belum tentu setuju, ketiga, saya
sudah ditetapkan untuk mengawal bangsawan lain; keempat,
Rangga akan senang sekali menjadi pengawal Ayahanda."
"Kalau begitu, terserahlah," kata puragabaya Geger Malela.
Setelah pengumuman tentang penugasan itu selesai, pada
malam harinya para calon mengadakan pertemuan perpisahan
dengan Eyang Resi dan para panakawan yang tinggal.
Demikian juga, puragabaya Geger Malela dengan
panakawannya ikut menggabungkan diri dalam acara
perpisahan itu. Dalam acara perpisahan itu, walaupun untuk
sementara, Eyang Resi memberikan berbagai nasihat, di
antaranya beliau berkata,
"Anak-anakku, walaupun engkau belum secara resmi
menjadi puragabaya engkau akan dimuliakan dalam
masyarakat. Segala kebutuhanmu, seperti makanan dan
pakaian, bahkan kuda-kuda serta senjata yang akan diurus
oleh kerajaan. Engkau adalah golongan bangsawan yang
dimanjakan oleh masyarakat karena mereka benar-benar
membutuhkan kalian. Kalau mereka menghormati dan
mencukupi segala kebutuhanmu secara berlimpah-limpah, hal
itu bukan berarti bahwa mereka tidak memiliki pamrih. Mereka
berpamrih kepada kalian semua, yaitu agar kalian semua

dapat memusatkan segala perhatian kalian untuk menjadi
jaminan keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan. Kalian
adalah jaminan atau puraga bagi kebahagiaan masyarakat.
Oleh karena itu, sesuaikan segala tutur-kata dan tingkah-laku
kalian pada pamrih mereka itu.
"Andaikata kalian tidak dapat menyesuaikan diri dengan
kedudukan kalian, adalah hak masyarakat untuk mencabut
segala kehormatan dari kalian, dan bahkan untuk
menuntutkan hukuman bagi kalian. Eyang mendoakan,
mudah-mudahan kalian dapat memenuhi kewajiban kalian
yang berat dan mudah-mudahan Eyang tidak akan menerima
pengaduan-pengaduan yang tidak perlu dari masyarakat
melalui sang Prabu."
Demikianlah nasihat terakhir Eyang Resi yang ditutup pula
dengan harapan, mudah-mudahan setelah tiga tahun berlalu,
mereka akan dapat kembali tanpa kekurangan suatu apa.
Setelah beramah tamah dan melakukan sembahyang
bersama, mereka pun kembalilah ke asrama untuk beristirahat
karena keesokan paginya semua calon harus meninggalkan
padepokan, dan secepat mungkin berada di tempat mereka
bertugas.
MALAM itu di ruangannya Pangeran Muda dengan Jante
tidak segera tidur. Mereka berbincang-bincang tentang
berbagai hal. Pada suatu kali Jante berkata, "Anom, kalau kau
tidak tergesa-gesa hendak tiba di puri ayahmu, kau dapat
singgah dulu di tempatku. Itu akan menyenangkan; pertama,
kita dapat jalan bersama; kedua, ingin sekali saya
memperkenalkan keluargaku kepadamu."
Usul itu diterima dengan gembira oleh Pangeran Muda,
bukan saja karena Pangeran Muda berkenalan dengan
keluarga sahabatnya itu, tetapi ia pun ingin berkelana dahulu
sebelum tiba di rumah. Oleh karena itu, keesokan harinya
ketika para calon terpencar-pencar mengambil arah masingmasing,
Pangeran Muda dengan Jante terus memacu kuda
mereka berdampingan ke arah timur laut.

Di suatu padang yang luas, di sebuah mata air, mereka
menghentikan kuda mereka untuk memberi kesempatan
kepada binatang-binatang itu beristirahat dan minum setelah
berlari sepanjang pagi. Pangeran Muda dengan Jante
membuka bekal, dan sambil makan mereka bercakap-cakap.
"Geger Malela bermaksud membunuhku, Anom, untung
saya waspada," kata Jante tiba-tiba. Pangeran Muda sangat
terkejut mendengar perkataan sahabatnya itu. Belakangan ini
memang kata-kata Jante sering mengejutkannya, di samping
itu kemurungan Jante menimbulkan tanda tanya pula. Pernah
Pangeran Muda bertanya, apa yang menyebabkan sahabatnya
itu murung, tapi Jante tidak memberikan keterangan apa-apa.
Dan sekarang, tiba-tiba keluarlah perkataan Jante yang sangat
mengejutkan itu.
"Jante, tidak mungkin," kata Pangeran Muda.
"Dalam ujian itu saya didesaknya, hingga bajuku terbakar.
Saya yakin ia akan sangat bersenang hati kalau saya masuk ke
dalam api," katanya. Pangeran Muda dengan keheranan
menggeleng-gelengkan kepala mendengar perkataan
sahabatnya itu. "Anom, kau jangan terlalu percaya pada
puragabaya-puragabaya itu
Belum, selesai Jante berkata, Pangeran Muda telah
menyela, "Tapi, Jante, untuk apa mereka mencelakakan
engkau?"
"Anom engkau terlalu sederhana, pikiranmu masih kanakkanak,"
ujar Jante, sungguh-sungguh.
"Tapi mereka orang baik-baik, bahkan orang-orang
budiman yang dipilih dari beratus-ratus orang baik lainnya
untuk menjabat tugas kepuragabayaan itu. Jante, saya heran,
mengapa engkau bisa berpikir begitu, itu tidak adil."
Mendengar perkataan Pangeran Muda demikian, Jante diam
lalu menunduk. Tak lama kemudian berkata pulalah ia, "Anom,
lebih baik tidak terlalu percaya kepada manusia."
'Jante!" seru Pangeran Muda keheranan dan terkejut oleh
perkataan kawannya yang biasanya pendiam itu.

"Kau boleh percaya atau tidak kepadaku, dalam latihanlatihan
perkelahian, para pelatih sering sekali kelihatan hendak
mencelakakanku," katanya pula.
'Jante! Tidak mungkin, buat apa mereka
mencelakakanmu?"
"Untuk apa mereka memukulmu hingga babak belur?"
'Jante, bukan kau saja yang kena pukulan dalam latihan,
saya pun entah berapa puluh kali menderita memar."
"Engkau sendiri tidak merasakan, orang sekelilingmu sering
bermaksud jahat."
'Jante, tapi semuanya itu tidak terbukti, kau dihantui oleh
khayalanmu sendiri. Jante, bacalah mantra-mantra agar
khayalan-khayalanmu yang tidak berdasar itu meninggalkan
hatimu. Jante, saya sungguh-sungguh minta kepadamu agar
kau membaca mantra-mantra itu," kata Pangeran Muda
dengan sedih.
Mendengar perkataan Pangeran Muda itu, Jante terdiam
dan tidak meneruskan percakapannya kembali sampai mereka
berada di atas kuda masing-masing.
Selama itu Pangeran Muda termenung-menung,
memikirkan percakapannya dengan kawannya itu.
Bagaimanapun juga belakangan ini kawannya itu banyak
memperlihatkan tingkah yang aneh-aneh. Pertama, ia sangat
murung; kedua, suka menyendiri, dan akhirnya, percakapanpercakapannya
sering tiba-tiba mengejutkan dan tidak masuk
akal.
Sebelumnya telah terpikir oleh Pangeran Muda untuk
memberitahukan hal itu kepada Eyang Resi. Pangeran Muda
beranggapan Jante sedang menghadapi suatu masalah berat
yang disembunyikan kepada orang lain, bahkan kepada
Pangeran Muda sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari di
padepokan, kecuali sangat pendiam, Jante tidak pernah
memperlihatkan keanehan-keanehan lain. Akan tetapi, bagi
kawan semangannya, yaitu Pangeran Muda, keanehankeanehan
tingkah-laku dan tutur-kata Jante lebih tampak.
Walaupun demikian, kejanggalan-kejanggalan itu belum

pernah begitu menonjol seperti yang terjadi dalam
percakapannya di dekat mata air itu. Dengan adanya
percakapan itu, Pangeran Muda menjadi lebih yakin, ia harus
segera memberitahukan hal Jante ini kepada Eyang Resi. Akan
tetapi, sayang sekali kesempatan ini tidak akan didapat,
sekurang-kurangnya dalam tiga tahun yang akan datang. Oleh
karena itu, Pangeran Muda hanya merasa prihatin akan
penderitaan sahabatnya itu.
Sementara Pangeran Muda termenung-menung demikian,
kuda mereka terus berlari di padang yang luas itu. Beberapa
kali mereka melewati kampung-kampung kecil yang ada
sepanjang jalan antara hutan-hutan sekitar Padepokan
Tajima-lela dan hutan-hutan yang harus ditempuh di hadapan
mereka. Akan tetapi, sepanjang jalan itu Jante tidak bercakapcakap
lagi. Ia pun seperti termenung-menung.
Kemudian, ketika mereka bercakap-cakap kembali, hal
lainlah yang menjadi buah pembicaraan. Akan tetapi, dalam
percakapan itu pun ada perkataan Jante yang
mengejutkannya. Pada suatu kali Jante berkata, "Dunia ini
penuh dengan kejahatan, tipu-daya, kelicikan, dengki, dan
lain-lain semacamnya."
"Kalaupun itu benar, bukankah hati manusia dapat
mengatasinya dengan kasih sayang?" ujar Pangeran Muda
sambil mengingat-ingat kembali wejangan Eyang Resi.
"Anom, sebenarnya tak ada orang yang percaya akan kasih
sayang. Mereka yang mengajarkan kasih sayang adalah orang
yang munafik."
'Jante!" sekali lagi Pangeran Muda terkejut, kemudian
melanjutkan, 'Jante, tapi bukankah kita hidup selama ini
karena kasih sayang orang? Pertama kasih sayang orangtua
kita, kemudian panakawan-panakawan kita, lalu guru, dan
pelatih-pelatih kita, setelah itu pangeran-pangeran yang lebih
berkuasa dari kita. Jante, tanpa kasih sayang itu kita tidak
akan seperti begini sekarang."
"Tapi mengapa kita mempelajari ilmu yang berbahaya, dan
tidak ada gunanya kecuali untuk membunuh?"

'Jante, kita belajar di padepokan bukan untuk menjadi
pembunuh. Berulang-ulang Eyang Resi menyatakan kepada
kita bahwa kita belajar agar kita dapat melaksanakan kasih
sayang kita dengan lebih baik. Barangkali kau ingat semboyan
kita, 'Kekuatan tanpa kasih sayang adalah kezaliman, sedang
kasih sayang tanpa kekuatan adalah kelemahan'. Kita belajar
di padepokan agar kasih sayang kita berkekuatan."
"Kalau begitu, kau pun mengakui, kita tidak bisa hidup
tanpa kekuatan," ujar Jante.
"Kita dapat hidup tanpa kekuatan, tapi hidup kita tidak
akan sempurna. Kita mungkin akan menderita."
'Jadi, kau mengakui bahwa dunia ini penuh dengan
kejahatan hingga kita harus memiliki kekuatan."
"Jante, kejahatan adalah suatu yang nyata di dunia ini,
akan tetapi kasih sayang pun demikian juga. Seandainya
kejahatan begitu kuat, bukankah para petani tidak akan
bercocok tanam seperti sekarang?" sambil berkata demikian,
Pangeran Muda memandang huma-huma dan palawija yang
luas bagai lautan di sekeliling mereka.
"Dan bukankah keamanan, ketertiban, dan kemakmuran
Pajajaran membuktikan, kasih sayang lebih kuat daripada
kejahatan? Sekurang-kurangnya di Pajajaran kasih sayang
lebih kuat, dan kewajiban kitalah untuk menjaga agar kasih
sayang lebih kuat daripada kejahatan, dan untuk itu kita
belajar di padepokan."
Jante tidak berkata apa-apa, tetapi dari cahaya matanya
tampak, dia belum dapat diyakinkan oleh Pangeran Muda.
Pangeran Muda sangat merasa prihatin dan bermaksud akan
menerangkan hal itu kepada Eyang Resi segera setelah ada
kesempatan.
TAK LAMA kemudian, sayup-sayup tampaklah kelompok
rumah-rumah yang sangat besar jumlahnya. Di antara
rumahrumah itu tampak beberapa buah menara yang tinggi.
Dan setelah kedua penunggang kuda lebih dekat ke tempat
itu, Pangeran Muda menyadari, mereka akan memasuki
sebuah kota. Gerbang kota itu diperkuat dengan benteng yang

bermenara, dan di atas menara itu tampaklah beberapa
gulang-gulang membawa tombak-tombak panjang yang
paruhnya berkilat-kilat di bawah sinar matahari. Sebelah
kanan gerbang kota berdinding batu-batu dan tanah liat,
sedang di sebelah kirinya, selain dinding terdapat pula sungai
yang melingkar, yang dapat melindungi kota itu dari serangan
darat seandainya peperangan terjadi.
"Kota ini sangat kuat, walaupun kecil."
"Medang, Anom. Kita sudah tiba, ayahku seorang yang
berbakat untuk menjadi panglima. Beliaulah yang
merencanakan dinding dan bentuk-bentuk menara ini," kata
Jante yang selama ini terdiam.
"Oh, kalau begitu saya harus membereskan pakaian
dahulu."
"Tidak usah. Mereka akan tahu kita baru saja menempuh
perjalanan yang jauh."
"Tidak, Jante," ujar Pangeran Muda. "Lebih baik kita
menyimpang dulu ke mata air itu. Bagaimanapun juga saya
tidak mau menghadap keluargamu dengan pakaian dan
rambut yang begini kusut masai."
"Baiklah, Anom, kalau memang engkau seorang pesolek.
Keluargaku tidak pernah terlalu ambil pusing tentang caracara
orang berdandan." Sambil berkata demikian, Jante
membelok ke kelompok pohon-pohonan yang hijau di tengahtengah
padang itu. Setiba di sana mereka segera turun.
Pangeran Muda mencuci muka, tangan dan kaki, lalu
mengganti pakaian perjalanan yang kotor dengan pakaian
kesatriaan yang bersih dan pantas. Jante memandangnya,
sambil juga membersihkan diri dan menyisir rambutnya yang
tebal dan panjang itu.
"Raden!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru dan
ketika Pangeran Muda melihat ke arah suara itu tampaklah
beberapa orang petani berlarian menuju Jante. ' Jasik, Misja,
bagaimana, baik-baik?"

"O, Raden, hampir Paman tidak mengenalmu lagi. Raden
begitu tinggi dan besar sekarang!" kata Jasik, sementara para
petani itu memegang tangan Jante.
"Ini kawanku, Jasik, Pangeran Anggadipati, ia berlibur di
Medang untuk beberapa hari denganku, sebelum kami pergi
ke Pakuan Pajajaran untuk bertugas."
"Apakah Raden sudah menjadi puragabaya sekarang?"
"Belum, Jasik. Kami masih dalam latihan. Latihan yang
sekarang dilakukan di luar Padepokan Tajimalela," ujar Jante.
"Oh," kata orang-orang itu, sambil dengan kagum
memandang Jante yang tersenyum kepada mereka. Baru
ketika itulah Pangeran Muda melihat kelembutan dari air muka
Jante. Biasanya ia murung sahaja. Melihat hal itu, agak
legalah Pangeran Muda. Mudah-mudahan cuti yang dilakukan
di kampung halamannya akan mampu memperbaiki tingkah
laku Jante yang selama ini sangat mencemaskan Pangeran
Muda.
"Jasik, Pangeran Anggadipati seorang pemburu. Kalian
dapat membawa beliau pada suatu kali."
"Oh, senang sekali Pangeran Muda, senang sekali," kata
Jasik seraya membungkuk-bungkukkan badannya sambil
tersenyum.
"Tapi tidak ada waktu, Paman. Lain kali, kalau ada umur,
kita akan berburu di hutan-hutan Medang ini."
"Sekarang marilah kita pergi dulu, sebentar lagi waktu
makan siang tiba," kata Jante.
Mereka pun menaiki kuda masing-masing, diikuti oleh para
petani yang berjalan kaki di belakang mereka. Tak lama
kemudian mereka telah melewati gerbang kota. Jante
disambut dengan gembira oleh para gulang-gulang dan
jagabaya setempat yang ternyata sangat hormat kepadanya.
Dan setelah beberapa saat tertahan di sana, mereka pun
melanjutkan perjalanan menuju istana tempat ayah Jante
tinggal.
AYAH Jante bernama Raden Banyak Citra. Dalam
pergaulannya yang beberapa saat saja jelas bagi Pangeran

Muda, orang tua itu adalah seorang ayah yang keras. Di
samping sangat teguh berpegang pada asas-asas agama dan
kebangsawanan, beliau sangat keras membina kehormatan
keluarga. Putra-putra beliau yang laki-laki digembleng untuk
menjadi kesatria-kesatria yang sederhana, tabah, keras, dan
berani di kemudian hari. Dapat dipahami kalau Jante berwatak
keras, tabah, berani di samping pendiam.
Ketika mereka menghadap, orang tua itu sebentar saja
menerima mereka. Berbeda dengan Ayahanda Anggadipati
yang suka berbincang-bincang dengan Pangeran Muda,
bahkan kadang-kadang berlelucon, ayah Jante adalah seorang
pendiam dan jarang tersenyum. Hubungan ayah dan anak
lebih berupa hubungan antara panglima dan prajurit daripada
hubungan ayah dan anak. Untuk bertemu dengan beliau,
Jante harus memberi tahu terlebih dahulu. Dan pertemuanpertemuan
dengan orang tua itu hanya terjadi di ruang makan
atau di ruang pemujaan, pagi atau senja.
"Waktu saya masih kanak-kanak, kami lebih jarang
bertemu. Di samping tidak banyak urusan, Ayah pun sibuk
melaksanakan tugas-tugas dari Pakuan Pajajaran. Akan tetapi,
itu tidak berarti bahwa saya tidak diawasi. Setiap kesalahan
yang saya lakukan di belakang Ayah mendapat hukuman yang
berat dan pelaksanaan hukuman dilakukan oleh Ayah sendiri,"
demikian ujar Jante ketika Pangeran Muda menyatakan bahwa
mereka sukar untuk bertemu dengan ayah Jante.
Sebaliknya, keluarga wanita Jante sangat ramah dan tidak
bersifat resmi. Ibu Jante, atau lebih tepatnya bibinya yang
sekarang menjadi istri ayahnya dan dengan tulus ikhlas serta
penuh kasih sayang mencintai Jante sebagai anak sulungnya,
adalah seorang wanita yang lembut dan budiman. Ketika Jante
datang, wanita itu merangkulnya dengan berurai air mata
karena gembira. Demikian juga adik-adik Jante yang
kebanyakan wanita, semuanya memperlihatkan kelembutan
dan keramahan. Hanya adik Jante yang laki-laki, yaitu yang
berumur sepuluh tahun mulai memperlihatkan kesungguhTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sungguhan dan sifat keras seperti ayahnya dan seperti Jante
sendiri. Anak ini Banyak Sumba namanya.
Adik Jante yang langsung adalah seorang gadis berumur
kira-kira enam belas tahun, namanya Yuta Inten. Gadis ini
pun, seperti ibunya, berwatak ramah dan lembut. Gerak-gerik
serta tutur katanya begitu wajar, hingga ketika untuk pertama
kali Pangeran Muda bertemu dengannya, ingatan Pangeran
Muda langsung terkenang pada banyak putri bangsawan lain
yang tingkah laku serta tutur katanya dibuat-buat hingga
kadang-kadang menggelikan tapi juga mengesalkan. Yuta
Inten sangat berbeda dengan gadis-gadis seperti itu, gerakgeriknya
yang ringan walaupun tidak dapat dikatakan lincah,
tutur katanya yang keluar dari watak yang sebenarnya
memperlihatkan bahwa walaupun gadis itu masih muda,
hanya jauh lebih dewasa dari kebanyakan gadis-gadis
sebayanya. Mungkin hal itu disebabkan tanggung jawabnya
yang besar, yaitu tanggung jawab sebagai kakak perempuan
yang terbesar bagi lima orang adiknya. Mungkin juga karena
memang sudah wataknya demikian. Akan tetapi, apa pun
alasannya, Pangeran Muda merasa hormat kepada gadis ini.
Ini berbeda dengan sikapnya terhadap banyak gadis lain.
Hanya satu kali Pangeran Muda melihat gadis ini
mengalami kebimbangan, yaitu ketika untuk pertama kali
mereka bertemu berdua di taman dekat pendapa. Ketika
Pangeran Muda mengucapkan selamat pagi, gadis itu tampak
gagap sebelum membalas, sedang warna pipinya yang gading
tiba-tiba menjadi merah muda. Kegugupan gadis itu bagi
Pangeran Muda merupakan suatu hal yang menyebabkan
renungan. Apakah gadis itu menganggapnya sebagai orang
luar biasa, hingga menyebabkannya gugup? Pikiran.macam itu
menyebabkan Pangeran Muda senang. Tapi kemudian
Pangeran Muda pun terkejut dengan perasaannya sendiri. Ia
bertanya dalam hati, mengapa ia harus gembira kalau gadis
itu gugup? Mengapa ia harus gembira kalau gadis itu
menganggapnya sebagai orang yang luar biasa dan sangat
terhormat? Bukankah ia akan tetap saja bernama Anggadipati,

tidak berubah oleh sikap gadis itu kepadanya? Dengan pikiranpikiran
seperti itu, akhirnya Pangeran Muda menjadi bingung
sendiri dan memutuskan untuk berhenti memikirkan hal-hal
seperti itu.
Renungan-renungan itu datang kepada Pangeran Muda
pada suatu tengah hari, ketika seluruh isi puri sedang
istirahat, dan Pangeran Muda berbaring-baring di ruangan
yang disediakan khusus untuknya. Ketika Pangeran Muda
hendak membaringkan diri, dari arah taman terdengarlah
suara gadis bersenandung. Pangeran Muda bangkit seperti
digerakkan oleh tenaga tersembunyi. Pangeran Muda berjalan
ke arah jendela yang menghadap ke taman, lalu membukakan
tabirnya sedikit. Di sana, di bawah pohon tanjung duduk Yuta
Inten sambil merenda pakaian yang dipegangnya,
bersenandung menidurkan adiknya yang kecil yang terbaring
dalam ranjang rotan kecil yang disandarkan pada batang
pohon tanjung itu.
Sebentar-sebentar Yuta Inten bangkit dari pekerjaannya
dan sambil bersenandung perlahan-lahan menggoyangkan
ranjang rotan itu. Pangeran Muda memerhatikannya,
merenung wajahnya, tangannya, dan seluruh diri gadis itu
dengan saksama dan tidak mengejapkan mata. Ketika pada
suatu kali gadis itu menjulurkan tangannya menggoyangkan
ranjang rotan itu, tiba-tiba napas Pangeran Muda terhenti.
Pangeran Muda tiba-tiba berdoa, mudah-mudahan jari-jari
gadis yang tirus-tirus itu belum dihiasi oleh cincin
pertunangan. Pangeran Muda memejamkan mata, kemudian
membukanya kembali dan langsung meneliti jari-jari gadis itu
satu per satu. Beberapa cincin yang indah-indah menghiasi
jari-jari gadis itu, tetapi tidak ada sebentuk cincin yang ditakuti
oleh Pangeran Muda. Pangeran Muda menarik napas panjang,
kemudian mulai memerhatikan lagi gadis itu sambil
mendengarkan suaranya yang merdu. Ketika gadis itu berdiri
dan memanggil emban untuk mengambil ranjang rotan itu
serta membantu membereskan barang-barang alat sulam,
Pangeran Muda merasa kecewa.

Pangeran Muda bangkit dari tempatnya mengintip dan
dengan tidak sengaja sikutnya menyentuh jambangan perak
tempat menyimpan pisau-pisau pangot. Jambangan itu jatuh
ke atas lantai batu dengan suara yang nyaring sekali, dan
Pangeran Muda melihat, bagaimana gadis itu terkejut dan
memandang ke arah jendela. Sikap berdirinya dan cahaya
matanya mengingatkan Pangeran Muda pada pohaci yang
dilihatnya di telaga larangan, sewaktu Pangeran Muda tersesat
dan memergoki makhluk-makhluk suci itu sedang
bercengkerama di sana.
Setelah terkejut sejenak, gadis itu berjalan tergesa, sambil
berulang-ulang memandang ke arah jendela. Pangeran
Mudalah sekarang yang risau. Siapa tahu gadis itu telah
menyangka Pangeran Muda mengintipnya selama ini.
Mungkinkah pula ia dapat melihat bayangan Pangeran Muda di
balik tabir yang tipis itu? Alangkah geram Pangeran Muda
terhadap dirinya sendiri. Mengapa seorang kesatria mengintipintip
seorang putri bangsawan seperti seorang pengecut?
Dengan kerisauan itu, Pangeran Muda membaringkan
badan di atas ranjang. Ia gemas terhadap dirinya sendiri yang
telah membiarkan dirinya ditemukan gadis itu sedang
mengintip. Bagaimanakah kalau hal itu menyebabkan gadis itu
tidak hormat lagi kepadanya? Dan bagaimana pula
perasaannya setelah mengetahui Pangeran Muda
mengintipnya? Mungkinkah ia marah, atau mungkinkah ia
malah senang hati? Tiba-tiba hati Pangeran Muda jadi lega
dan penuh harapan. Mudah-mudahan gadis itu bersenang
hati. Oh, hal itu mungkin dapat diketahui nanti, di saat acara
makan bersama. Maka gelisahlah Pangeran Muda di atas
ranjang itu, tak sabar menunggu saat makan bersama yang
akan dilakukan di ruangan tengah.
"Anom, apakah yang sedang kaulamunkan?" tiba-tiba suara
Jante didengarnya. Pangeran Muda terlompat dari ranjangnya
dan dengan gagap mempersilakan Jante duduk.
"Kau mudah terkejut sekarang, Anom," kata Jante,
setengah bermain-main setengah bersungguh-sungguh.

"Engkau ... engkau datang tanpa mengetuk dulu, Jante, itu
bertentangan dengan tata krama kesatriaan," kata Pangeran
Muda bermain-main.
'Anom, saya mengetuk pintu berulang-ulang, dan karena
kau tidak menyahut, saya perlahan-lahan membuka pintu
karena menyangka kau tidur. Ternyata kau sedang
membelalak, memandangi langit-langit kamar. Saya yakin, kau
melihat gambar gadis yang tidak dapat kulihat di sana," kata
Jante pula.
Mendengar kata-kata itu, panas rasanya seluruh wajah dan
daun telinga Pangeran Muda, "Tidak kusangka kau suka
berlelucon, Jante. Di padepokan kau sangat pendiam," kata
Pangeran Muda, menekan getaran dalam suaranya sendiri.
"Soalnya di sana kau tak pernah melamun. Saya bukan
orang yang usil, Anom, kecuali kalau ada hal yang menarik
hati saya," kata Jante, sekarang bersungguh-sungguh. Sekali
lagi wajah dan daun telinga Pangeran Muda terasa panas,
keringat pun mulai meremang Hati Pangeran Muda bertanyatanya,
mungkinkah Jante sudah mengetahui, bahwa ia
memerhatikan adiknya, Yuta Inten? Apakah yang
diperbuatnya kalau memangjante sudah tahu?
"Sakitkah engkau, Anom?" tiba-tiba Jante bertanya setelah
memerhatikan Pangeran Muda. Pandangan Jante yang
biasanya tidak pernah menggelisahkannya, sekarang terasa
begitu tajam, hingga Pangeran Muda seolah-olah telanjang di
hadapan pandangan mata itu.
"Tidak, Jante, saya agak lelah," kata Pangeran Muda
berdusta.
"Oh," kata Jante keheranan. "Maaf saya mengganggu
istirahatmu."
"Oh, tidak, saya senang kau datang ke kamarku, Jante,"
ujar Pangeran Muda, berkata secara serampangan saja.
Jante termenung sambil memandangnya, lalu berkata,
"Adakah sesuatu yang salah denganmu, Anom?"
Pangeran Muda terkejut oleh pertanyaan itu. Ia baru
menyadari kembali bahwa Jante adalah seorang yang sangat

tajam mata hatinya. Walau tafsirannya tentang isi hati orang
sering sekali jelek dan berat sebelah, perasaannya dengan
mudah dapat menangkap kalau ada perubahan dalam hati
orang lain. Itulah sebabnya Pangeran Muda makin gugup.
Kesadarannya bahwa ia gugup, menambah pula kegugupan
Pangeran Muda. Akhirnya, berkatalah ia, "Saya ... saya
terkejut Jante, jadi ... saya gugup. Izinkan saya minum dulu."
Pangeran Muda segera minum, dan ketenangannya
perlahan-lahan kembali. Walaupun begitu, keheranan Jante
akan tingkah lakunya tidaklah jadi reda; ia tetap mengawasi
gerak-gerik dan air muka Pangeran Muda. Pangeran Muda
segera mengajaknya bercakap-cakap tentang berbagai hal lain
yang diharapkan akan mengalihkan perhatian Jante. Dan
beberapa saat kemudian, mereka pun telah bercakap-cakap
tentang berbagai hal dan membuat berbagai rencana yang
akan mereka laksanakan selama Pangeran Muda berada di
Medang.
DI ANTARA rencana-rencana itu termasuk rencana berburu,
mengelilingi wilayah yang berada di bawah kekuasaan
Medang, memancing di telaga dalam hutan, berkunjung ke
rumah keluarga bangsawan-bangsawan setempat, dan
sebagainya. Acara mengunjungi rumah-rumah bangsawan
setempat sangat tidak disukai Jante, tetapi kedua orang muda
itu melakukannya juga karena Raden Banyak Citra
mengusulkan hal itu kepada mereka. Ternyata, usul ayahnya
oleh Jante selalu dianggap perintah.
Kalau tidak ada acara dengan Jante, biasanya Pangeran
Muda tidak bepergian. Ia berjalan-jalan di lorong-lorong atau
di taman istana itu sambil setengah mengharapkan dapat
bertemu dengan Yuta Inten. Seandainya pagi hari tidak
berjumpa, Pangeran Muda dengan tidak sabar menunggu
senja, ketika acara makan bersama dilakukan oleh seluruh
keluarga. Dalam acara makan malam itu, Pangeran Muda tidak
pernah berani memandangnya secara langsung, apalagi
bercakap-cakap. Ia hanya berani mencuri pandang lewat
sudut matanya. Pada suatu kali, ketika ia mencuri pandang,

tampak Yuta Inten pun sedang melirik ke arahnya. Keduanya
dengan segera berpaling ke arah lain, tetapi semenjak itu
Pangeran Muda tidak dapat duduk tenang lagi. Hatinya
bertanya apakah Yuta Inten sering mencuri pandang ke
arahnya? Apakah itu cuma kebetulan saja?
Kiranya ketika ia termenung-menung demikian, seorang
pelayan menyodorkan baki penganan kepadanya. Pangeran
Muda tidak melihat dan tidak mendengar orang itu berulangulang
menawarkan makanan itu, hingga akhirnya Jante
menepuk bahunya. Dengan terkejut dan tergagap-gagap,
Pangeran Muda segera mengambil sesuatu dari baki itu dan
meletak-kanya di atas piring di hadapannya. Akan tetapi,
pelayan itu tetap berdiri di sana, dan Pangeran Muda
keheranan memandangnya. Pelayan itu tersenyum sambil
menunjuk ke atas piring yang ada di hadapan Pangeran Muda.
Ternyata yang diambil oleh Pangeran Muda bukanlah buahbuahan
melainkan pisau untuk mengeratnya. Pangeran Muda
makin gugup juga karenanya.
"Ketika Ayah semuda Anom, Ayah pun pernah menjadi
seorang pelamun, Anom. Cita-cita yang tinggi memenuhi
kesadaran kita, hingga kita sering lupa akan dunia sekeliling."
Pangeran Muda bertanya-tanya dalam hati, apakah orang
tua itu telah menduga isi hatinya, dan oleh karena itu
menolong Pangeran Muda di saat dia sangat malu? Sementara
itu, Raden Banyak Sumba, adik laki-laki Jante dengan berani
akan tetapi sopan bertanya kepada ibunya.
"Ibunda, kalau begitu Ayunda Yuta Inten tidak luar biasa,"
katanya.
"Tidak luar biasa bagaimana?" tanya ibunya, agak
keheranan. Sementara itu, Yuta Inten menegakkan kepalanya
dan dengan cemas memandang kepada adik laki-lakinya yang
duduk di samping Pangeran Muda.
"Ibunda mengatakan bahwa belakangan ini Ayunda Yuta
Inten juga suka melamun dan lupa pada apa-apa yang terjadi
di sekelilingnya. Menurut pendapat hamba, Ayunda Yuta Inten
sedang banyak memikirkan cita-cita yang tinggi, seperti yang

dikatakan oleh Ayahanda tadi. Di samping itu, Ayunda sudah
hampir enam belas tahun usianya, jadi tidak jauh berbeda dari
usia Kakanda Anggadipati yang sudah delapan belas tahun."
Raden Banyak Citra tersenyum mendengar perkataan
putranya, sedang istri beliau tertawa agak keras. Yuta
Intenlah yang tampak menderita. Ia menundukkan kepalanya,
seakan-akan wajahnya akan disurukkan ke atas piring yang
dihadapinya. Sebaliknya, suatu perasaan yang tidak dapat
diberinya nama, apakah itu kegembiraan atau harapan, atau
kebahagiaan, tiba-tiba meluap dalam hati Pangeran Muda.
Walaupun begitu, kepalanya ditundukkannya juga ke atas
piringnya sendiri. Malam harinya, ketika Pangeran Muda
berada di kamarnya, tidur lambat sekali datangnya. Kantuk
tidak menutupkan kelopak matanya karena hatinya
digelisahkan oleh berbagai macam pikiran, khayalan, dan
perasaan. Dan setelah berguling ke kanan-ke kiri di atas
ranjang itu, terdengarlah dari padang-padang di luar benteng
Medang ayam-ayam jantan berkokok bersahutan.
KEESOKAN harinya tidak ada acara yang direncanakan
dengan Jante. Jante mengirim pesan lewat Banyak Sumba
bahwa ayahnya memberinya tugas untuk mengerjakan
beberapa surat. Oleh karena itu, kalau hendak keluar,
Pangeran Muda dapat meminta ditemani oleh beberapa
panakawan atau gulang-gulang. Pangeran Muda berpesan,
Jante tidak usah terlalu memikirkannya dan dimintanya pula
agar Banyak Sumba menemaninya, dan tidak usah dikirim
gulang-gulang atau panakawan lain.
Maka, setelah pergi ke kamar Jante, Banyak Sumba kembali
ke kamar Pangeran Muda. Ketika ia tiba kembali di kamar
Pangeran Muda, Pangeran Muda sedang berdandan. Ketika
langkah anak itu terdengar, Pangeran Muda berkata
kepadanya, "Adinda, tunggulah sebentar, Kakanda berpakaian
dulu. Kita akan melihat-lihat kota."
Anak itu duduk menghadap jendela, menunggu. Dari sudut
kamar, dengan melalui bayangan dalam cermin Pangeran
Muda memerhatikan wajah anak laki-laki itu. Wajahnya

lonjong, hidungnya lurus sedang matanya besar-besar dan
hitam, tepat seperti wajah kakaknya, Yuta Inten. Hanya
rambutnya yang berbeda. Rambut Yuta Inten halus, tebal, dan
warnanya agak muda. Banyak Sumba berambut hitam dan
agak ikal. Seraya memerhatikan wajah anak laki-laki itu,
selesailah Pangeran Muda berdandan.
"Mari kita pergi," kata Pangeran Muda sambil memegang
tangan anak itu yang berdiri sambil tersenyum dan
memandang kepadanya dengan kagum.
"Ke manakah kita akan pergi, Kakanda?" anak itu bertanya.
"Keliling kota," ujar Pangeran Muda.
"Baik, empat orang gulang-gulang telah siap mengawal
kita," kata Banyak Sumba.
"Adinda, tidak usah ada pengawal," kata Pangeran Muda.
"Tapi itu tidak baik, Kakanda," kata Banyak Sumba.
"Adinda, Kakanda seorang calon puragabaya, artinya
Kakanda seorang sama dengan seorang ditambah empat
gulang-gulang. Jadi, gulang-gulang yang empat itu tidak
perlu," ujar Pangeran Muda seraya tersenyum.
"Bukan begitu, Kakanda; gulang-gulang itu bukan untuk
keamanan, tetapi hanya untuk kehormatan saja. Seorang
bangsawan harus punya pengiring. Makin banyak
pengiringnya, makin terhormat, demikian kata Ayahanda."
"Adinda, seorang calon puragabaya sudah dihapus kebangsawanannya.
Kakanda adalah seorang pendeta sekarang,
jadi gulang-gulang itu tidak diperlukan. Biarlah gulang-gulang
itu mengerjakan hal-hal lain, jangan menjadi susah karena
Kakanda," kata Pangeran Muda mendesak karena sebenarnya
ia ingin bercakap-cakap dengan anak itu dengan leluasa.
Banyak Sumba rupanya dapat diyakinkan. Maka mereka
pun pergilah. Sambil berjalan menurutkan ibu-jari kaki dalam
lorong-lorong di kota itu, Pangeran Muda bercakap-cakap
tentang itu dan ini. Pada suatu kali ia pun bertanyalah,
"Adinda, tadi malam dalam acara makan bersama engkau
berkata, bahwa Ibunda pernah mengatakan Ayunda Yuta

Inten suka bermimpi atau melamun. Apakah yang dikatakan
beliau itu, atau bagaimana Ibunda berkata ketika itu?"
"Kakanda, Ayunda marah kepada hamba tadi pagi, dan
melarang hamba berbicara tentang soal melamun itu. Ayunda
mengatakan, hamba telah mempermalukannya di depan tamu,
di depan Kakanda "
"Mengapa Ayunda malu oleh Kakanda?" tanya Pangeran
Muda memancing-mancing.
"Saya pun bertanya begitu pada Ayunda, jawabnya, karena
Kakanda seorang tamu dan seorang kesatria."
"Bagaimana pendapatmu tentang jawabannya itu?"
"Saya tidak berkata apa-apa, tetapi saya tetap tidak merasa
bersalah. Dan ketika Ayunda meminta supaya hamba tidak
sekali-kali lagi berkata seperti itu dalam acara makan, saya
mengatakan ya."
"Kalau begitu, kau tidak berjanji kepada Ayunda untuk tidak
berkata di luar acara makan. Jadi, ceritakanlah kepada
Kakanda, bagaimana sampai Ibunda mengatakan bahwa
Ayunda Yuta Inten suka melamun."
Anak itu pun berceritalah, "Menurut Ibunda, yang sering
dikatakan beliau kepada Ayunda, belakangan ini Ayunda
sering termenung-menung. Di samping itu, banyak kesalahan
yang dilakukan Ayunda, hingga akhirnya Ibunda sering
mengatakan kepada Ayunda bahwa Ayunda itu suka melamun
dan lupa akan apa yang terjadi di sekelilingnya.”
"Adikku, pernahkah kau melihat Ayunda melamun dan lupa
akan sekeliling? Atau, pernahkah kau melihat kejadian yang
menyebabkan Ibunda mengatakan Ayunda suka melamun?"
Setelah termenung, berkatalah anak itu, "Tidak, Kakanda."
Kemudian anak itu melanjutkan, "Adakah obatnya?"
Mendengar pertanyaan itu, sungguh-sungguh terpukau hati
Pangeran Muda. Oleh karena itu, ia tidak dapat menjawab
dengan segera. Hanya setelah beberapa saat ia berkata
dengan ragu-ragu, "Kau tahu, Kakanda pun suka melamun
belakangan ini. Justru Kakanda ingin mengetahui, adakah
obatnya untuk itu."

Ketika mereka bercakap-cakap demikian, mereka sudah
berjalan melewati gerbang rumah bangsawan yang besar.
Mereka berjalan langsung menuju lapangan yang terbuka di
tengah kota Medang, tempat penduduk sekeliling kota
berjualan. Tempat itu sudah ramai sekali walaupun hari masih
pagi. Orang-orang kampung, peternak, atau petani sudah
memenuhi tempat itu dengan berbagai hasil bumi dan
kerajinan. Pangeran Muda dapat melihat bagaimana berbagai
macam buah-buahan seperti labu, mangga, rambutan, salak,
manggis, pepaya, dan sebagainya digelar orang di lapangan
itu. Di suatu tempat tertentu dipajangkan pula hasil
peternakan, ayam-itik, kambing-domba, sapi-kerbau, dan lainlain.
Sedang ikan-ikan dari sungai ada juga dijual orang di
sana, berdampingan dengan sayur-mayur. Di samping itu,
terdapat pula kerajinan rakyat, dari tanduk, gading, kulit-kulit
buah-buahan yang keras, kulit binatang, dan sebagainya.
Sambil berjalan-jalan melihat-lihat suasana lapangan itu,
Pangeran Muda terus bercakap-cakap tentang berbagai hal
dengan anak itu. Suatu perasaan, semacam kegembiraan
tergugah dalam hati Pangeran Muda, hanya karena adanya
anak itu di sampingnya. Terasa oleh Pangeran Muda bahwa
dengan berdekatan dengan anak itu, serasa dekat pula
Pangeran Muda dengan Yuta Inten yang selama ini menjadi
penghuni hatinya. Bagaimanapun juga Pangeran Muda
akhirnya menerima kenyataan bahwa Yuta Inten telah
menempati hatinya, dan masalah-masalah lain, ingataningatan
lain, terdesak keluar dari kesadarannya.
Ketika mereka tiba di tempat orang-orang menjual
beraneka warna bunga-bungaan, tiba-tiba anak itu berkata,
"Itu Ayunda sedang membeli bunga." Sambil berkata
demikian, anak itu menuntun Pangeran Muda berjalan ke arah
kakaknya.
Akan tetapi, Pangeran Muda yang tidak bersiap untuk
bertemu menahan tangan anak itu dan dengan perlahan-lahan
dan ragu-ragu berkata, "Lebih baik kita tidak
mengganggunya."

"Kita tidak akan mengganggunya, Kakanda," kata anak itu.
"Lebih baik Ayunda tidak tahu kita ada di sini."
"Mengapa?" tanya anak itu, kemudian anak itu
melanjutkan. "Oh ya, Ayunda malu oleh Kakanda," katanya.
"Malu?" tanya Pangeran Muda. "Pernahkah Ayunda
mengatakan hal itu kepadamu?"
"Ya, pada suatu kali hamba melihat Ayunda mengintip dari
jendela ke arah bangunan rumah bagian barat tempat
Kakanda berada. Hamba datang dari belakangnya dan
bertanya, apa yang sedang dikerjakannya. Ia terkejut dan
mengatakan bahwa ia sedang memeriksa, apakah Kakanda
ada di jendela atau tidak. Kalau tidak ada, ia akan lewat
taman.”
'"Mengapa tidak lewat saja?' tanya hamba. Jawabnya, kalau
Kakanda ada di sana, ia malu."
Sambil bercakap-cakap demikian, dengan tidak sadar, kaki
Pangeran Muda melangkah mengikuti rombongan para emban
yang mengiringkan Yuta Inten yang sambil membawa bungabungaan
berjalan kembali menuju istana.
Pada suatu saat pandangan Yuta Inten bertemu dengan
pandangannya. Pangeran Muda menghentikan langkahnya,
sedang Yuta Inten cepat-cepat berpaling ke arah lain.
Kemudian sambil menundukkan kepala dan menghentikan
percakapannya dengan para emban, Yuta Inten melanjutkan
perjalanan. Rupanya para emban menyadari adanya
perubahan tiba-tiba pada majikannya. Mereka melihat ke arah
Pangeran Muda yang dengan cepat berpura-pura seolah-olah
ia tidak melihat adanya rombongan gadis itu. Akan tetapi,
dengan sudut matanya, Pangeran Muda sempat melihat
seorang emban tua yang diketahui bertindak sebagai
pengasuh dan pengawal pribadi Yuta Inten tersenyum ke
arahnya.
Setelah rombongan lenyap dari pandangan Pangeran Muda
dan memasuki gerbang istana, Pangeran Muda yang hampir
lupa pada Banyak Sumba yang ada di sampingnya segera
memegang bahu anak itu dan membimbingnya kembali ke

arah lapangan. Di sana Pangeran Muda memilih badik kecil
yang bersarung dan bergagang gading serta berhiaskan
permata. Pangeran Muda membeli senjata kecil yang indah
itu, lalu menghadiahkannya kepada Banyak Sumba yang
gembira sekali menerimanya.
MALAM harinya Pangeran Muda tak dapat tidur. Segala
kejadian yang dialaminya di rumah keluarga Jante dan
percakapannya dengan Banyak Sumba terus-menerus mengisi
kesadarannya. Di samping itu, kerinduan dan harapan
bergalau mengisi hatinya, menyebabkan rasa pengap di
dadanya. Dan ketika malam semakin larut dan serta
keresahan tidak reda juga, Pangeran Muda akhirnya bangun
dari ranjangnya, dan seperti digerakkan oleh tenaga rahasia,
ia berjalan menuju tempat pakaian.
Diambilnya pakaian malam calon puragabaya yang
berwarna hitam, diambilnya pula tutup kepala yang juga
berwarna hitam. Setelah semua lengkap dikenakannya, pintu
kamar dibukanya perlahan-lahan. Pangeran Muda pun telah
berada di lorong-lorong yang samar-samar diterangi lampulampu
kecil di dalam ruangan yang besar itu. Dengan hatihati,
Pangeran Muda melangkah, menghilangkan suara dari
alas-kaki kulitnya yang halus. Ruangan telah sunyi belaka,
hanya kadang-kadang tampak gulang-gulang yang mengantuk
duduk di bangku di salah satu mulut lorong atau di pintu yang
menuju lapangan kecil di dalam lingkungan benteng istana itu.
Pada suatu tikungan lorong tiba-tiba Pangeran Muda
bertemu dengan empat orang gulang-gulang yang sedang
ber-jaga-berkeliling. Pangeran Muda segera melompat ke tepi
lorong, mencari sudut kelam tempat menyembunyikan diri. Di
tempat itu ditutupnya muka dengan kain hitam yang ditarik
dari tutup kepala. Maka, tinggal hitam mata Pangeran Muda
saja yang tidak terlindungi oleh pakaian hitam calon
puragabaya itu. Dengan tidak menyadari bahwa ada
seseorang yang sedang bersembunyi, keempat gulang-gulang
itu pun lewatlah sambil bercakap-cakap perlahan.

Setelah berjalan kembali beberapa saat, tibalah Pangeran
Muda di pintu yang menuju kaputren. Akan tetapi, pintu itu
tertutup, sedang di dekatnya dua orang gulang-gulang
penjaga duduk sambil bercakap-cakap. Pangeran Muda
terpaksa berhenti dan berpaling ke taman bunga yang
terdapat di depan kaputren itu. Pangeran Muda berjalan di
taman itu beberapa saat, kemudian tibalah di bawah dinding
benteng kaputren. Seperti seekor bajing dengan mudah
Pangeran Muda memanjati benteng yang tinggi itu, kemudian
menuruninya dan dalam sekejap telah berada di taman
kaputren.
Setelah berjalan mengendap-endap di dalam taman itu,
tibalah pula Pangeran Muda di bangunan kaputren yang
sangat indah. Bangunan itu terbuat dari kayu jati bercampur
dengan kayu cendana. Sungguh cocok kalau bangunan itu
diperuntukkan bagi putri keluarga Banyak Citra.
Akan tetapi, mendekati bangunan kaputren itu tidaklah
mudah. Pertama, lampu-lampu besar dipasang di sekeliling
kaputren hingga sukar sekali Pangeran Muda menemukan
bayangan untuk melindungkan diri. Kedua, di sekitar kaputren
ternyata banyak sekali gulang-gulang yang berjaga. Terpaksa
Pangeran Muda harus menunggu hingga gulang-gulang itu
lengah dan menjauhi jendela-jendela besar yang masih
terbuka di bangunan kaputren itu. Akan tetapi, ternyata
gulang-gulang itu sangai patuh dan taat melaksanakan tugas,
hingga tak ada seorang pun yang meninggalkan tempatnya. Di
samping itu, begitu serombongan gulang-gulang bersiap
meninggalkan tempat, rombongan lain segera tiba
menggantikannya. Jadi, tidak ada kesempatan bagi Pangeran
Muda untuk mendekati jendela-jendela itu.
Selelah berpikir sejenak, timbullah akal dalam hati
Pangeran Muda. Di tepi taman bunga ditanam pohon-pohonan
yang agak besar, seperti tanjung, sedap-malam, kenanga,
cempaka dan semacamnya. Pohon-pohon inilah yang dapat
digunakan oleh Pangeran Muda untuk mengintip ke dalam
jendela-jendela itu. Maka dengan sigap dipanjatlah sebatang

pohon terdekat. Dari sana Pangeran Muda memandang ke
dalam, tetapi jendela pertama tidaklah menampakkan Yuta
Inten. Yang dilihatnya hanya beberapa orang emban sedang
mengerjakan tugas mereka senja itu, yaitu membereskan
pakaian-pakaian dan alat-alat perhiasan lainnya. Setelah
berpindah tempat dan berada di pohon lain, Pangeran Muda
pun memandang ke dalam salah satu ruangan lain.
Akan,tetapi, hanya emban-emban saja yang dilihatnya. Maka
pindahlah Pangeran Muda ke pohon lain lagi. Melalui jendela
yang ketiga ini Pangeran Muda menemukan Yuta Inten sedang
duduk di depan cermin sambil menjalin rambutnya yang
panjang menjadi dua buah untun besar. Di ruangan itu emban
tua yang menjadi pengawal-pribadinya sibuk menyiapkan dan
membereskan tempat tidur mereka. Ketika perempuan tua itu
berjalan ke arah Yuta Inten, ia berkata, "Sebagai seorang
wanita, apalagi yang berkedudukan tinggi seperti kau, anakku,
tidaklah pantas untuk memperlihatkan perasaan. Janganlah
kauperlihatkan bahwa kau terpengaruh oleh kehadirannya di
dekatmu. Bertindaklah tenang, bahkan bertindaklah seolaholah
kau tak acuh."
Mendengar perkataan orang tua itu, meluncurlah Pangeran
Muda pada cabang pohon yang menjulur mendekat ke arah
jendela. Ia berusaha meringankan tubuhnya dan berpegang
pada cabang-cabang lain agar cabang tempatnya berada tidak
terlalu mendapat tekanan.
"Sudah telanjur, Emak. Saya sudah sering kelihatan gugup
olehnya, sekurang-kurangnya begitulah perasaan saya. Ia
sering memerhatikan saya dengan sudut matanya dan
pandangannya itu mau tidak mau menggugupkan saya," suara
Yuta Inten terdengar dengan jelas.
Angin bertiup menggoyangkan lampu-lampu dan bayanganbayangan
pun bergerak-geraklah. Emban tua itu berjalan ke
arah jendela, lalu menutupkan kedua daunnya, dan Pangeran
Muda beradalah dalam kegelapan. Ia turun, tetapi tidak berani
mendekati jendela yang tertutup itu. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;