Sabtu, 17 Mei 2014

Wisang Geni 11

Di belakang hari putranya
yang bernama Nanggala mendirikan partai Turangga. tapi
kegiatan partai ini tak banyak diketahui ilmum Belakangan dua
putranya Pasek dan Tampi sering muncul dan membuat
kejahatan. Akhirnya guruku, Rama Belawan bersama kami
berempat dan beberapa pendekar menyerbu dan
menghancurkan sarang partai Turangga."
Wisang Geni mengerutkan dahi. "Tetapi guru, aku tak
mengerti kenapa Lembu Agra bisa menjadi murid di Lemah
Tulis, apakah tak seorang pun mengenalnya?"
"Bagaimana sampai Lembu Agra bisa menyusup menjadi
murid Lemah Tulis, itu cerita lain. Suatu hari kakang Bergawa

mendapat kunjungan seorang bocah berusia sepuluh tahun
yang ngotot minta diterima sebagai murid Lima hari lima
malam ia tidak beranjak ditimpa panas dan hujan, tidak
makan dan tidak minum Ia bertekad mati di pintu masuk
perdikan Lemah Tulis apabila tak diterima sebagai rnund
kakang Bergawa. Memang benar kata pepatah, kalau mau
menerima murid kita harus tahu latar belakang dan sejarah
keluarganya. Bocah itu dikenal kemudian sebagai Lembu
Agra." Padeksa menghela nafas panjang menyesali masa lalu.
"Paman, kita harus memberitahu paman Gajah Watu agar
terhindar dari bokongan Lembu Agra."
"Tapi di mana menemukan dimas Gajah Watu? Semoga kita
menemukannya di pertemuan Mahameru."
"Guru, kau ikut ke Mahameru?"
"Ya kenapa tidak? Semua orang ingin menyaksikan
pemenang yang menyandang gelar lima pendekar paling agul
di tanah Jawa. Kenapa? Kamu khawatir akan keselamatanku?"
"Tetapi kalau jumpa musuh-musuhmu, sedang kau belum
sembuh, hal ini bisa menyulitkanmu, guru."
"Geni, semua yang hidup ini akan mati. Tak ada kecualinya.
Aku sudah lama hidup. Aku tidak menyesal kalau harus mati
sekarang, apalagi setelah tahu Lemah Tulis sudah punya ahli
waris sejati. Aku ingin menyaksikan adu ilmu silat itu, kupikir
semua pendekar akan tumpah ruah di Mahameru. Tak usah
khawatir akan diriku. Biarlah, apa yang harus terjadi,
terjadilah."
Apa yang dikatakan Padeksa benar semata. Seluruh
pendekar tanah Jawa akan tumpah ruah di Mahameru
menyaksikan perebutan gengsi yang paling jago di tanah
Jawa. Para pendekar kalangan atas sejak jauh hari
mempersiapkan diri untuk tarung adu ilmu. Semua orang yang
bergelut di dunia persilatan akan hadir, baik dari kalangan
lurus maupun golongan hitam.

Bagi pendekar sejati, pertemuan Mahameru bukan hanya
ingin menjadi yang paling jago di tanah Jawa, juga untuk
menyumbang darma bakti membela gengsi tanah Jawa dari
tantangan pendekar daratan Cina.
Perdikan Mahameru sudah berusia lebih dari dua abad dan
yang selalu melahirkan pendekar-pendekar ternama. Murid
Mahameru tidak hanya dikenal sebagai pendekar berilmu
tinggi, tetapi dilengkapi budi pekerti luhur yang menjunjung
nilai kependekaran di atas segalanya. Mahameru adalah
perguruan besar dengan anak murid yang terbilang ratusan
orang. Namun sebesar apa kekuatan yang sebenarnya, orang
sulit menduga.
Hampir selama duaratus tahun pendekar-pendekar
Mahameru malang melintang tanpa tandingan dan menjadi
yang paling disegani di tanah Jawa. Seiring berkembang dan
makin harumnya perguruan
Mahameru, muncul perguruan Lemah Tulis yang didirikan
oleh pendeta Mpu Bharadha.
Persaingan antara dua perguruan ini makin hari makin
memuncak. Hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang dari
kalangan hitam, terutama mereka yang pernah merasakan
pahitnya dihajar para pendekar dua perguruan tersebut. Intrik
dan siasat licik dirancang khusus untuk mengadu dua
kekuatan besar itu makin lama makin tampak hasilnya. Tanpa
sadar murid-murid dua perguruan itu makin hari makin
tersuruk masuk ke lubang permusuhan yang sulit dicari jalan
keluarnya.
Klimaksnya terjadi kira-kira empatpuluh tahun lalu. Pendeta
Mahisa Lanang, guru besar Mahameru mengundang Rama
Bakwan dari Lemah Tulis untuk adu ilmu silat. Waktu itu
hampir semua pendekar ternama di tanah Jawa hadir untuk
menyaksikan siapa yang lebih piawai di antara dua pendekar
hebat itu. Tapi semua orang kecewa, ternyata Mahisa Lanang
dan Rama Balawan justru menjalin persahabatan.

Sejak itu ada semacam perjanjian tak tertulis, anak murid
Lemah Tulis dilarang tarung lawan murid Mahameru, begitu
sebaliknya. Siapa melanggar aturan ini, akan dihukum oleh
gurunya sendiri. Perjanjian itu masih berlaku sampai hari-hari
di masa kepemimpinan pendeta Macukunda dan Bergawa.
Tetapi malapetaka yang menghancurkan Lemah Tulis telah
mengubah jalan sejarah. Maliameru merasa menjadi
perguruan tanpa tanding. Hal itu pun tak dapat dipungkiri oleh
sekalian ahli silat. Tak seorang pun yang ragu bahwa di balik
kerimbunan pepohonan di gunung Mahameru bersembunyi
banyak pendekar jago. Itu sebab, mereka menganggap
Mahameru pantas menjadi pelopor pertemuan sesama
pendekar tanah Jawa untuk mencari lima pendekar paling jago
yang mewakili tanah Jawa menghadapi tantangan jago-jago
daratan Cina.
Dari jauh tampak gunung Mahameru bagai menyundul
langit. Seperti gunung tak bermahkota, puncaknya
tersembunyi di antara semaraknya awan, ada suatu kekuatan
raksasa yang terpendam di dalamnya. Mahameru hanya
sebuah gunung, tapi bukan sekedar gunung.
Hari itu Mahameru dikunjungi banyak tamu. Tak pernah
sebanyak itu sebelumnya. Orang-orang itu mendaki lereng
Selatan dengan membisu seribu bahasa. Kawan dengan
kawan tak saling tegur. Kawan dan lawan pun pura-pura tak
kenal. Dari dandanan maupun gerak, lak salah lagi hampir
semua tamu adalah mereka yang menguasai ilmu silat.
Meskipun ada beberapa orang awam ikut datang untuk
menonton keramaian atau pedagang yang menjual makanan
dan minuman.
Hampir seluruh penjuru tanah Jawa mengetahui adanya
perang tanding adu kepandaian untuk memilih lima pendekar
paling jago di tanah Jawa. Hari itu orang mulai berdatangan,
meskipun hari pertarungan baru akan dimulai dua hari lagi.

Wisang Geni bertiga Padeksa dan Wulan mendaki lereng
dengan tak bergegas. Keadaan Padeksa yang belum bisa
mengerahkan tenaga berlebihan membuat perjalanan tiga
orang itu cukup lambat. Banyak orang yang mendahului
mereka terutama yang bergegas.
Selama dua hari berkumpul bersama, baik Wisang Geni
maupun Wulan tak berani menampakkan perasaan cinta.
Takut ketahuan Padeksa. Tetapi mata Padeksa tak bisa
tertipu. Ia lebih menangkap getaran cinta yang terpancar dari
mata dua sejoli itu. Padeksa merasa gundah dan agak bingung
begitu ia yakin bahwa Wisang Geni dan Wulan saling
mencintai.
Hubungan ini tidak biasanya, Wisang Geni adalah putra
Gajah Kuning dan Sukesih. Sedang Walang Wulan adalah
saudara perguruan dengan Gajah Kuning dan Sukesih. Itu
artinya Wisang Geni adalah keponakan muridnya Wulan.
Padeksa penasaran. Tangan kanannya meraih tangan
Wisang Geni, satu lainnya memegang Wulan. Sambil tetap
berjalan ia bertanya, "Aku tahu kalian saling mencintai, tapi
sadarkah kalian, hubungan karian sebagai bibi guru dan
keponakan murid, bagaimana mungkin bisa menjalin
percintaan, ini tidak lazim, sesuatu yang akan menjadi bahan
gunjing dan tertawaan orang?"
Wisang Geni tidak menyangka pertanyaan itu begitu
langsung dan mendadak ditanyakan. Apalagi Wulan. Keduanya
tergugu, tak bisa menjawab. "Wulan, kau sebagai yang lebih
tua, jawablah!"
"A...a ...aku..." Wulan gugup sehingga tak mampu
menjawab. Ia memang sudah lama membayangkan kejadian
seperti ini, bahwa guru dan sesepuh perguruan Lemah Tulis
akan mempertanyakan hubungan ini. Tetapi ketika menjadi
kenyataan, ia bahkan tak siap untuk menjawabnya.

Secara naluriah timbul keberanian Wisang Geni melihat
kekasihnya dipersalahkan. "Guru, aku yang bertanggung
jawab. Wulan sekarang sudah menjadi isteriku. Maafkan aku,
ampuni aku, karena belum minta restu dari guru. Kalau itu
salah, aku terima salah, hukum atau bunuhlah aku. Tapi
menurutku tidak salah, hubungan itu bisa ada, dan bisa juga
tiada. Tergantung dari mana kita memandangnya."
Padeksa menghentikan langkahnya sejenak kemudian
melangkah lagi. "Bisa ada, bisa juga tiada, Geni, coba jelaskan
padaku!"
Semangat Geni tergugah melihat gurunya bersikap biasa.
Tadinya ia membayangkan Padeksa akan marah. "Hari ini aku
harus jelaskan semuanya, hari ini aku menang atau aku kalah.
Kalau saja ia merestui hubungan ini, maka segalanya akan
mudah," pikirnya.
Geni mengumpulkan segala keberaniannya. Di dunia ini
hanya Padeksa saja yang ia segani. Padeksa sudah seperti
ayah, kakek, guru, sahabat dan teman sepermainan. Padeksa
yang mendidiknya sejak kecil.
Tiba-tiba Geni menjatuhkan diri, sungkem "Guru, aku tak
mengingkari jasa ayah dan paman Gubar Baleman mendidikku
dari kecil. Tapi sesungguhnya, hanya kau dan guru Manjangan
Puguh yang resmi sebagai guruku. Sewaktu kecil aku
memanggilmu kakek, bahkan sampai sekarang pun terkadang
menyebutmu kakek. Tetapi yang sebenarnya kau adalah
guruku, aku selalu harus memanggilmu guru, kau adalah
guruku meski kau lebih suka mengakui aku sebagai cucu
murid. Aku mohon demi ayah dan ibuku, akuilah aku sebagai
muridmu dan ilmumkan kepada semua murid Lemah Tulis
termasuk kepada paman Gajah Watu, bahwa secara resmi aku
adalah muridmu, murid tunggal."
Padeksa tercengang ia tak mengerti maksud permohonan
Geni. Tetapi Wulan mengerti. Ia bisa menebak jalan pikiran
Geni. Ia ikut berlutut di samping Geni. "Paman guru, Wisang

Geni pantas dan layak menjadi muridmu, terimalah
permohonannya. Dia tak akan mengecewakanmu, paman."
Awal mulanya heran, lama-lama Padeksa mulai mengerti.
Ia tahu dengan mengakui Geni sebagai muridnya, berarti
hubungan dua orang muda itu berubah. Dari hubungan bibi
guru dan keponakan murid berubah menjadi hubungan
sesama saudara perguruan. Padeksa tertawa. Ia terpingkalpingkal
sampai keluar airmata.
Orang-orang yang lalu lalang di sekitar lereng gunung
memandang heran. Geni dan Wulan tak berani mengangkat
kepala meski tak mengerti apa sebab Padeksa tertawa.
Setelah puas tertawa, Padeksa kemudian memegang kepala
Geni. "Seilmur hidupku, baru hari ini aku tertawa puas. Baiklah
Wsang Geni mulai hari ini kamu resmi menjadi muridku dan
kamu adalah satu-satunya murid Padeksa, kamu adalah satusatunya
murid Pradheksa karena aku tidak punya murid lain."
Bukan kepalang senangnya Geni dan Wulan. Serentak
keduanya memegang dan mencium tangan Padeksa.
Sekonyong-konyong terdengar orang bertepuk tangan.
Padeksa menoleh. Geni dan Wulan melompat, berdiri dan
bersiap. Padeksa berseru perlahan, setengah tak percaya
siapa yang dilihatnya. "Dimas Watu!"
Ada belasan orang berjajar di pinggir jalan. Seorang di
antaranya, Gajah Watu maju, menghambur dan merangkul
Padeksa. Tiba-tiba Gajah Watu mundur selangkah,
memandang kakak perguruannya. "Kangmas, kau luka?"
"Ya, aku dibokong Lembu Agra!"
"Apa katamu? Lembu Agra?"
"Ya, Lembu Agra murid kangmas Bergawa, dialah
pengkhianat yang disebut-sebut meracuni gudang makanan
dan air minum perguruan kita. Ceritanya panjang, adikku."

Pertemuan yang tak disangka-sangka itu cukup
menggembirakan semua orang. Bersama Gajah Watu adalah
Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Waning Hyun serta
delapan pendekar Tumapel. Yang seorang lagi dikenal sebagai
Sang Pamegat, tokoh sakti yang serba misterius.
Geni dan Wulan memberi hormat kepada Gajah Watu.
Tampak oleh Geni mata Gajah Watu yang penuh penyesalan
bercampur malu ketika menerima sungkem Walang Wulan.
Agak serak suara Gajah Watu ketika mengucap kata maaf.
"Sudah lama tak pernah ketemu, Wulan, maafkan aku,
maafkan pamanmu ini."
Walang Wulan tetap merunduk, tak berani dan enggan
melihat wajah paman gurunya itu. Ia masih membayang
perlakuan lelaki itu setiap menikmati pelampiasan birahi atas
tubuhnya. Ada rasa jijik di mata Wulan dan ia tak ingin
memperlihatkan rasa jijik itu kepada paman gurunya itu. Ia
tetap merunduk dan tak bersuara. Adalah Geni yang berkata,
"Paman Gajah Watu, sekarang ini aku adalah murid resmi
guru Padeksa dan Walang Wulan sudah menjadi isteriku, aku
minta restilmu paman."
Gajah Watu memandang Padeksa yang tampak manggutmanggut.
Tak ayal lagi, Gajah Watu pun memberi restu. "Aku
merestui kalian, Wisang Geni dan Walang Wulan sebagai
suami isteri. Semoga kalian hidup berbahagia selamanya." Tak
hanya dua sesepuh itu, Waning Hyun dan rombongan juga
memberi ucapan selamat berbahagia.
Wisang Geni menggenggam tangan Walang Wulan. Pada
akhirnya semua beres, semua persoalan yang mengganjal
telah disingkirkan.
Mereka kini resmi diakui sebagai suami isteri. Restu dari
Gajah Watu juga sangat penting dan kuat secara tradisi.
Hubungan suami isteri, Geni dan Wulan, sesama saudara
seperguruan, itu semakin kuat dan absah karena mendapat
restu dari dua sesepuh perguruan. Bagi Wulan, restu dari

Gajah Watu sedikitnya mulai mengurangi rasa benci dan
jijiknya terhadap paman gurunya itu. Ia bahkan
berterirnakasih atas restu itu.
Rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju Mahameru.
Wulan cepat akrab dengan WaningHyun. Sedangkan Padeksa,
Gajah Watu dan Geni berjalan sambil saling menutur
pengalaman.
Karena perjalanan dilakukan dengan tidak terburu-buru,
maka baru sore hari mereka tiba di pelataran perguruan
Mahameru. Sambutan cukup hangat dari tuan rumah setelah
Padeksa memperkenalkan diri sebagai ketua rombongan
Lemah Tulis. Penerima tamu mengantar dan mempersilahkan
mereka menuju sebuah lapangan terbuka. Di situ tersedia
banyak kemah, sebagian sudah diisi, sebagian lain masih
kosong.
Malam itu sunyi sepi. Semua tamu benar-benar
menggunakan waktunya untuk istirahat. Wisang Geni semedi.
Esok harinya masih banyak tamu lain yang berdatangan.
Dari pagi sampai sore tak pernah putus. Senja itu Wisang Geni
seorang diri berkeliling di sekitar kaki gunung. Tiba-tiba ia
terkejut melihat empat orang berjalan berpapasan dengannya.
Tanpa sadar ia berseru, "Sekar!"
Gadis itu memang Sekar. Gadis itu lari menyongsong Geni.
Ia melompat memeluk Geni. "Geni, kamu masih hidup!"
Sesaat kemudian Sekar sadar, ia melepas pelukannya. Geni
takjub melihat kecantikan gadis di depannya. Tak ada lagi
bekas penyakit cacar di wajahnya. Wajahnya berseri semakin
membias kecantikan alaminya, rambutnya ikal terurai sebatas
bahu. Ia cantik, sangat cantik dengan kulit kuning sawo dan
tubuhnyayang kurus, langsing namun montok. "Sekar kamu
cantik sekali, kamu sudah sembuh, eh katamu dulu perlu
waktu satu tahun."

Ia masih saja segar dan ceria. Ia tertawa senang. "Nenek
menyembuhkan aku dalam waktu tiga bulan, lagipula aku tak
jadi dipingit satu tahun sebab aku berhasil membujuk nenek
untuk melihat keramaian Mahameru." Tawanya membuat
kecantikannya bersinar. Geni mendelong memandang
kekasihnya yang seakan salin rupa menjadi seorang dewi yang
mempesona.
Geni memberi hormat kepada Dewi Obat. "Kamu
penolongku, Dewi Obat, tanpa pertolonganmu aku mungkin
sudah mati. Terimalah hormat sungkemku."
Ketika memerhatikan dua orang dalam rombongan Sekar,
ia terkesiap. Ia ingat benar. Dua orang itu, si gadis penari dan
satu lainnya Ki Dalang. Sungguh suatu kebetulan, dua orang
itu adalah orang yang ia cari selama ini. Tetapi saat itu ia
memutuskan membiarkan Sekar dan rombongan istirahat
dulu.
Ia berbisik kepada Sekar, "Aku kenal dua kawanmu itu, si
gadis penari dan Ki Dalang. Nanti malam aku akan
mengunjungi kemahmu, kamu tunggu saja."
Gadis itu berkata lirih, "Kamu datang untuk aku atau untuk
urusan Kinanti Prasidha itu?"
"Kamu tunggu saja."
Malam harinya, setelah makan malam, Geni keluar kemah.
Wulan mengikutinya, "Mau ke mana kamu?"
Geni diam sesaat. "Aku ada urusan, kamu tunggu di sini
saja!" Tanpa menanti jawaban Wulan, ia menggelar Waringin
Sungsang dan lenyap ke pekatnya malam.
Sekar dan Dewi Obat terkejut melihat Geni berdiri di luar
kemah. Gadis itu hampir lupa diri saking gembiranya, tapi ia
cepat menguasai diri. Geni mengucap terimakasih kepada
Sekar dan Dewi Obat yang telah menolongnya. "Kau sudah
ucapkan tadi sore, tetapi apakah hanya itu maksud

kedatanganmu anak muda?" Dewi Obat berkata tanpa
berusaha supaya ramah.
Geni menatap tajam Ki Dalang dan si gadis penari. Ki
Dalang berusia limapuluhan. Sedang si penari seorang gadis
usia sekitar duapuluh lima tahun. Cantik, segar dengan
potongan tubuh agak gemuk. Raut wajahnya mirip Sekar.
"Namaku Wisang Geni. Aku murid tunggal Padeksa dari
Lemah Tulis. Aku sangat beruntung memperoleh pertolongan
dan petunjuk Dewi Obat sehingga bisa menemukan kisanak
berdua dalam pesta tahunan di lereng gunung Lejar. Dan
cerita Ghatotkacasraja sangat menarik perhatianku. Aku
beruntung bisa menyaksikan tari Kinanti Prasidha yang kucaricari
selama ini."
Empat orang itu terdiam. Ki Dalang mendehem kemudian
bertanya, "Aku tak mengerti, apa maksudmu?"
Geni bisa menebak pikiran orang tua itu. Ia berdiri
kemudian memperlihatkan separuh dari jurus Agniwisa
sebelum digabung dengan sepenggal tari Kinanti.
"Ini namanya jurus Agniwisa tetapi belum sempurna. Jurus
ini baru sempurna setelah digabung dengan salah satu gerak
tari Kinanti yang kau mainkan malam itu." Berkata demikian
Geni mempertontonkan gerak tari yang merupakan perpaduan
jurus tadi. Geni melanjutkan penjelasannya. "Sekarang coba
bandingkan dan perhatikan jurus Agniwisa yang lengkap, hasil
gabungan separuh jurus tadi dengan tarian Kinanti".
Kemudian ia duduk kembali dan menatap empat orang itu.
Ia lantas menanyakan arti kalimat Parahwanta Angentasana
Dukharnawa. Kini mereka benar-benar percaya. Empat orang
itu serempak mengucap selamat. Mereka gembira, pada
akhirnya ada seorang pendekar Lemah Tulis yang berjodoh
dan menguasai Prasidha dari manfaat tari Kinanti itu.
Ki Dalang menghela nafas, wajahnya kelihatan muram
"Maaf pendekar Wisang Geni, sebenarnya kami tidak tahu apa

arti tari Kinanti tersebut, kami juga tak mengerti arti kalimat
itu. Yang diajarkan kepada kami hanya gerak tubuhnya saja,
tak ada keterangan apa pun perihal sikap mental. Maaf, kami
benar-benar tidak tahu, jika tahu pasti akan kami jelaskan."
Kepala Wisang Geni ibarat disiram air dingin. Hilang sudah
harapannya. Sebenarnya dua orang inilah yang diharapkan
bisa membuka tabir rahasia Prasidha. Tapi ternyata lagi-lagi ia
membentur tembok karang, Jalan buntu. Menghampiri Geni,
Sekar berbisik di telinga kekasihnya, "Geni, aku akan
membantilmu, tetapi kamu harus ingat janjimu dan kamu
harus menepati janjimu itu, aku lihat kekasihmu Wulan sudah
berada di sampingmu, pantas saja kamu lupa padaku."
Memeluk pinggang gadis itu, Geni berbisik, "Aku tidak
ingkar janji, tetapi apa mungkin aku mencium kamu di depan
kerabatmu ini atau bercinta sekarang juga?"
Sekar menampar pundak Geni. "Kamu ngaco!" Ia menoleh
kepada Ki Dalang dan si gadis penari. "Geni mungkin kamu
perlu tahu bagaimana sikap tubuh, kaki, tangan dan kepala
waktu kalimat itu diucapkan Mbakyu, apakah kalimat itu setiap
diucapkan selalu pada ayunan tubuh dan langkah serta gerak
tangan yang sama?"
"Benar, selalu pada posisi dan gerak tubuh yang sama.
Pertama aku ucapkan kalimat itu waktu tubuhku doyong ke
kanan, yang kedua kali ketika doyong ke kiri, kemudian
doyong ke depan dan ke belakang." Gadis penari itu kemudian
memberi contoh dengan menari Kinanti. Tetapi Geni masih
saja tak bisa menembus arti dan maknanya. Mereka berusaha
membantu Geni, tetap sia-sia, Garudamurkha Prasidha tetap
jadi misteri.
Menghampiri Geni yang sedang bingung, Sekar berkata
lirih, nadanya menggoda. "Maaf kekasih, aku gagal
membantilmu, jadi terserah kamu mau menepati janji atau
ingkar." Ia menarik Geni keluar tenda.

Geni memegang lengan Sekar, "Aku akan memperkenalkan
kamu dengan Walang Wulan, Aku sudah bicara dengannya
tentang kamu, jadi tak akan ada masalah."
"Kamu bicara apa saja?"
"Aku cerita bagaimana hebatnya kamu memasang
perangkap cinta, membuat aku kasmaran dan mencintaimu
habis-habisan." Geni memandang mata Sekar yang kedipkedip
bercahaya, ada rasa bangga dan cinta di situ.
"Terus, kamu bilang apa lagi?"
"Aku katakan bahwa aku akan hidup bersama dua
perempuan yang kucintai dan mencintai aku, Wulan sebagai
isteri pertama, Sekar isteri kedua, begitu dulu yang kamu
katakan padaku, iya kan?"
Saat itu Dewi Obat sudah berdiri di samping Sekar. Ia
muncul begitu saja. Ia mendengar sebagian perkataan Wisang
Geni. Ia berkata tawar. "Wisang Geni, aku peringatkan kamu,
jangan kamu mempermainkan cucuku, aku akan mengejar
kamu!"
Geni tersenyum. Ia melihat sepasang mata Dewi Obat
menatapnya dengan bersinar ceria. Nenek itu tidak marah,
malah memperlihatkan wajah gembira. "Sejak bertemu
cucilmu, aku sudah kasmaran, mana mungkin aku
mempermainkan dia. Dewi, seharusnya kau mengancam
cucilmu agar tidak meninggalkan aku."
Sekar menarik tangan Geni, menghindar dari neneknya.
"Ayo Geni, ajak aku temui dia, mbakyu Wulan, sekarang juga!"
"Jangan sekarang, besok pagi, sekarang kita kabur ke
hutan, aku sudah rindu padamu." Geni mencekal lengan
Sekar, membawanya kabur turun gunung. Di gelapnya malam,
mereka menemukan tempat tersembunyi jauh dari daerah
perdikan Mahameru.

Geni memeluk kekasihnya, mencium mulutnya dengan
bernafsu. Gadis cantik itu bergerak liar. Ia terengah-engah
menahan gejolak nafsunya "Geni, peluk aku erat-erat, aku tak
tahan lagi, lima purnama aku merindukan kamu, tak ada lelaki
lain yang bisa mengobati rindu ini, apalagi aku cuma ditemani
pepohonan cemara."
Geni menanggalkan pakaian Sekar. Keduanya bugil di
tengah hutan, dan gelapnya malam. Memadu cinta
mengarungi lautan birahi yang tertunda selama lima bulan.
Keduanya berangkulan, kelelahan. Geni menciumi buah dada
kekasihnya, "Sekar kamu masih saja hebat mempesonia
seperti saat perpisahan di hutan cemara dulu."
Sambil mengelus dan menjambak rambut kekasihnya,
Sekar menangis bahagia. "Aku takut kamu sudah mati, Geni.
Tetapi aku sangat yakin, bahwa kamu masih hidup dan pasti
akan ketemu aku di Mahameru"
Geni memeluk tubuh montok dan molek itu. "Kamu sangat
cantik, seperti kataku dulu, kamu memang cantik."
"Aku tahu itu, dulu aku tak mau diobati nenek, tetapi
setelah aku bertemu kamu, bercinta dengan kamu, aku malah
ngotot minta diobati nenek, karena aku ingin
mempersembahkan kecantikanku ini hanya untuk kamu,
kekasihku."
"Bagaimana kamu begitu yakin aku akan sembuh dan
hidup?"
Sekar berbisik di telinga. "Aku yakin, karena aku yakin akan
cintaku, aku yakin masih ada hari esok dan banyak lagi hari
esok yang tersedia untuk membuatmu bahagia."
"Kenapa, kamu mengatakan membuat aku bahagia, kenapa
kamu tidak mengatakan membuat kamu bahagia?"
Sekar menindih tubuh Geni, dua tangannya memegang
wajah kekasihnya. Ia mengecup mulut Geni. "Sebab, aku akan

bahagia jika kamu bahagia. Jadi harus kamu yang bahagia
dulu, baru aku merasa bahagia"
Geni menggilmuli tubuh Sekar. Sekali lagi dan berulangulang,
tak pernah bosan. Seperti ketika perpisahan di Lembah
Cemara, di hutan Mahameru gelapnya malam menjadi saksi
jerit halus dan deru nafas serta degup jantung dua kekasih itu
mengarungi lautan asmara. Keduanya kembali ke kemah
masing-masing menjelang munculnya cahaya merah matahari
pagi.
Pagi itu sekembalinya ke kemah, Geni mendapatkan Wulan
sedang menunggunya. "Geni, kamu pergi ke mana
semalaman?"
Ia tak menjawab. Dalam perjalanan pulang tadi, pikirannya
seperti menemukan suatu rahasia menyangkut Garudamukha
Prasidha. Ada sesuatu melintas di benaknya. Ia coba
menangkapnya tetapi sia-sia. Ia masih terbenam dalam pikiran
itu ketika dikejutkan suara keras Wulan. "Aku bertanya
padamu, Geni, kamu sedang melamun apa?"
Geni menoleh. Ia minta maaf karena tidak mendengar
pertanyaan tadi, pikirannya masih memikirkan jurus pusaka
itu. Wulan bertanya lagi. "Siapa orang-orang yang kau temui
tadi malam?"
Geni menceritakan pertemuannya dengan empat orang itu,
Dewi Obat, Ki Dalang, si penari dan Sekar. Mereka berusaha
membantu menemukan makna kalimat misterus, tapi gagal.
Tak ada yang tahu apa itu arti dan makna kalimat Parahwanta
Angentasana Dukharnawa.
Wulan ikut berduka. Ia merunduk kemudian berkata lirih.
"Aku tahu kamu pergi berdua Sekar, bercinta semalaman,
kenapa harus takut berkata jujur kepadaku?"
Geni menatap Wulan lekat-lekat di matanya. "Aku tidak
takut mengatakan sesuatu padamu, aku memang bercinta
dengan Sekar, semalaman. Aku pikir hal ini tak perlu

kuceritakan padamu sebab kamu sudah tahu hubunganku
dengan Sekar. Lagipula aku tidak akan melapor kepadamu
untuk apa saja yang akan kulakukan dan yang telah
kulakukan. Aku suamimu. Kamu yang harus melapor tentang
apa saja yang telah dan yang akan kauperbuat, karena itu
kewajiban seorang isteri yang setia."
Tak menduga akan mendapat jawaban tegas seperti itu,
Wulan terkejut. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Ia belum
menemukan kata-kata untuk menjawab. Ia masih diam. Geni
memecah kesunyian pagi. "Wulan, isteriku, aku punya
penyakit buruk yakni aku tidak suka didesak. Mengertilah
Wulan, jangan desak dan menyudutkan aku, apa saja yang
aku suka akan kulakukan, kemarin kamu sudah berkata
padaku bahwa kamu bersedia menerima Sekar sebagai
isteriku. Kamu isteri utama, Sekar yang kedua. Nah, kenapa
sekarang ini kau mendesak aku?"
"Aku cemburu." Diam-diam Wulan terkesima, merasa keder
dan takut melihat ketegasan serta wibawa suaminya.
"Buang saja jauh-jauh rasa cemburilmu, kamu malah
menyiksa diri sendiri. Bagaimanapun juga kamu harus
menerima Sekar. Besok aku akan memperkenalkan dia
kepadamu, kuharap tak ada lagi persoalan menyangkut
Sekar."
Esok paginya, Geni memperkenalkan Sekar pada Wulan.
Mulanya Wulan seperti hendak menerkam Sekar. "Ia sangat
cantik, pantas saja Geni kasmaran padanya." Tanpa sadar
wajahnya cemberut, dingin dan kaku.
Gadis muda ini terkejut melihat sikap Wulan, namun ia juga
pasang kuda-kuda. "Katanya usianya lebih tua dari Geni,
tetapi ia tampak seperti gadis remaja, cantik dan montok.
Tetapi kenapa ia galak, apa dia pikir aku takut, wuah kalau
untuk berebut cinta Wisang Geni, jangankan satu, sepuluh
Wulan pun akan kuladeni."

Dua wanita itu seperti mau saling terkam, persis dua macan
betina sedang berebut pejantan. Tetapi ketegangan mencair
setelah Geni menegaskan keduanya harus saling bantu.
Wulan, isteri utama, Sekar yang kedua. "Tak boleh ada
pertengkaran! Jika ada pertengkaran, aku tidak mencari siapa
benar siapa salah, itu kesalahan kalian berdua, kalian isteri
Wisang Geni jadi harus ikuti aturan Wisang Geni. Camkan itu!"
Dua perempuan itu memandang Geni dengan rasa tak percaya
bahwa laki-laki itu bisa bicara begitu tegas.
Sekar memandang Wulan dengan ramah. "Mbakyu Wulan,
aku mohon maaf, kalau sikapku tadi kurang ajar."
"Dik Sekar, aku juga minta maaf, seharusnya aku
menyambutmu dengan gembira." Wulan membentang dua
tangan, Sekar menghampirinya. Keduanya berpelukan.
Sekar berbisik, "Baru hari ini aku melihat sikap Geni yang
tegas dan wibawa."
Wulan tertawa lirih, "Sejak dia menguasai ilmu dahsyat
Wiwaha itu sikapnya jadi tegas dan sangat jantan."
"Ilmu apa itu, mbak?"
"Namanya ilmu Wiwaha, tenaga dalamnya maju sangat
pesat dan dalam urusan bercinta dia makin perkasa dan
beringas. Benar demikian Sekar?"
"Memang, dia lebih perkasa dibanding sebelum berpisah
dengan aku lima bulan lalu." Sekar tertawa geli.
---ooo0dw0ooo---
Nyawa Bayar Nyawa

Pagi itu embun masih bergayut di udara. Hawa dingin
pegunungan menusuk sampai tulang sumsum. Di lapangan
terbuka di depan pintu gerbang perguruan Mahameru di situ
tersehat puluhan tenda tempat nginap para tamu undangan.
Bahkan mereka yang tak diundang, asalkan punya nama yang
cukup dikenal akan diberi tempat nginap di tenda.
Puluhan tenda diatur dalam lingkaran berlapis. Di tengah
lingkai.m sebuah tanah lapang dikosongkan, untuk arena
tarung. Tenda-tenda yang berada di lingkaran dalam, di
pinggir arena tarung disediakan bagi perguruan besar dan
pendekar perorangan yang punya nama besar. Tenda-tenda
itu terdiri tiga macam ukuran, yang paling bcsa i untuk
rombongan yang anggotanya banyak. Tenda ukuran sedang
untuk rombongan yang sedikit anggotanya. Selain itu
disediakan tenda kecil untuk satu atau dua pendekar
perorangan.
Pagi itu semua tenda sudah terisi. Suasana sunyi dan sepi.
Para pendekar duduk di luar tenda menghadap gelanggang.
Mereka memperlihatkan wajah yang tegang. Tak ada yang
bicara apalagi tertawa. Kalaupun ada yang bicara dengan
rekannya, dilakukan dengan suara rendah dan bisik-bisik.
Terdengar suara trompet tanduk. Semua mata memandang
ke pintu utama perguruan Mahameru. Dari situ keluar
beberapa orang dengan langkah tegas menuju sebuah tenda
paling besar dan yang mencolok warnanya. Itu tenda tuan
rumah, perguruan Mahameru yang terkenal.
Seorang bertubuh tinggi besar berjalan paling depan.
Dialah ketua perguruan Mahameru, pendeta Macukunda yang
kesohor. Empat pengawal dengan langkah jumawa mengiringi
dari belakang. Mereka saudara perguruan sang ketua,
Antasena, Rawaja, Bragalba dan Matangkis. Di belakang
empat orang ini, delapanbelas murid angkatan pertama
melangkah dalam barisan yang tidak teratur.

Begitu tiba di depan tendanya Macukunda memberi hormat
kepada semua tamu kemudian duduk di kursi yang disediakan.
"Selamat datang semua tamu. Maaf kalau beberapa hari ini
sampean semua tidak dilayani dengan baik. Maklum banyak
orang yang hadir, melebihi perkiraan, dan kami tak punya
makanan. Sekali lagi aku mohon maaf, jika ada kekurangan
selama berada di Mahameru. Aku sangat bahagia bisa
bertemu dengan begini banyak pendekar yang sudi
berkunjung atas undangan aku yang rendah."
Ia berhenti sejenak, memandang semua tamu, tatapannya
berwibawa. "Semua pendekar di tanah Jawa mengetahui
adanya tantangan dari para pendekar daratan Cina. Mereka
nantang adu ilmu silat, lima jago Cina lawan lima jago tanah
Jawa. Nah, untuk itulah aku mengundang sampean semua,
untuk sama-sama kita memilih lima jago kita yang akan
mewakili gengsi tanah Jawa menghadapi pendekar Cina."
Suara pendeta Mahameru tidak keras namun semua
mendengarnya jelas. Bisa menjangkau jarak jauh namun tidak
memantulkan suara Wisang Geni berbisik pada Wulan dan
Sekar yang duduk di sampingnya "Hebat tenaga dalam
pendeta itu."
Terdengar suara tertawa "Sudah jelas, salah satu dari lima
jago adalah pendeta Macukunda. Siapa sanggup menghadapi
jurus Brahmanagrha hanya bisa dihitung dengan jari. Setelah
Lemah Tulis tak terdengar lagi, perguruan Mahameru boleh
dibilang kini tak ada tandingan. Aku pastikan pendeta
Macukunda sudah terpilih, tetapi sisa yang empat orang harus
diadu! Siapa paling jago, dia boleh mewakili tanah Jawa!"
Semua orang memandang lelaki pembicara itu. Dia lelaki
kekar bercambang, baju dan ikat kepalanya serba merah.
Sesaat kemudian seorang lelaki botak berteriak, "Aku tak
setuju dengan Jayawikata Aku tidak ragu akan kehebatan
pendeta Macukunda, tetapi lebih adil jika semua orang ikut
tarung. Lebih banyak peserta kan lebih seru!"

Di sana sini terdengar suara bisik-bisik. Rupanya orang
terpancing untuk memilih satu dari dua usulan tadi. "Tidak
usah khawatir, dan memang supaya adil, aku setuju dengan
usul Ki Sawung, kebetulan aku sudah lama ingin mendapat
lawan tarung," tukas Macukunda.
Seorang wanita tua bangkit dari duduk. "Sebelum adu ilmu
silat dimulai sebaiknya kita tentukan aturan mainnya. Aku
usul, seorang pendekar yang sudah memenangkan
pertandingan maka dia memperoleh hak istirahat. Ia boleh
istirahat atau jika ia mau boleh saja tarung terus. Sebab tidak
mungkin seorang itu bertarung terus, lagipula lawan bisa
memanfaatkan tenaganya yang sudah terkuras dan lelah."
"Bagus, bagus aku setuju usul Nyi Pujawati. Itu usul bagus.
Kutambahkan lagi, pertarungan harus satu lawan satu dan
bebas. Siapa terbunuh tidak perlu disesali, hitung-hitung ilmu
silatnya yang dangkal."
Wulan berbisik kepada Geni, "Dia itu Sempani!" Mendengar
itu Geni mengepal tinjunya. Sudah dua lawan yang
dipergokinya di sini, Jayawikata dan Sempani. Dua orang ini
bertanggungjawab atas pembantaian di Lemah Tulis. Hutang
nyawa bayar nyawa!
Peraturan tarung telah disepakati bersama. Tarung bebas
dengan menggunakan senjata apa saja, tak ada batasan.
Keroyokan pun boleh jika lawan tidak keberatan. Siapa
menang, ia boleh istirahat. Lawan yang kalah dan
meninggalkan gelanggang tidak boleh dikejar. Lawan yang
sudah menyerah tak boleh dibunuh. Harus memilih lawan
sepadan, seangkatan dan sederajad. Dan untuk menyingkat
waktu agar tidak sembarang orang masuk arena maka hanya
pendekar undangan yang boleh masuk arena menantang.
Sebagai pimpinan pertemuan, Macukunda berhak
menghentikan pertarungan apabila dianggap perlu.
Seorang lelaki berusia empatpuluh tahun lompat ke tengah
arena, ia memutar sepasang pedang pendek. "Aku Sindu dari

Ujung Pangkah, aku menantang Kalabendana si licik dari
kuburan Gondomayu Hayo Kalabendana keluar kamu, jangan
sembunyi di balik jubah gurilmu. Hayo keluar, hadapi aku!"
Terdengar tertawa keras. Sesosok bayangan berkelebat
masuk arena, "Sindu kamu cari mati! Dulu kamu kulepas agar
usiamu panjang tetapi kamu sendiri yang memperpendek
ilmumu." Tanpa basa-basi Sindu menyerbu Kalabendana.
Keduanya bertarung rapat. Sindu bersenjata pedang pendek.
Kalabendana menghadapinya dengan keris luk tujuh.
Pertarungan imbang. Sampai jurus limapuluh Sindu di atas
angin. Kalabendana keteter. Pundaknya berdarah kena sabet
pedang pendek. Beberapa jurus berikut paha Kalabendana
tertusuk. Kalabenda kritis. Gerakannya tidak leluasa, ia
pincang di lengah serangan gencar Sindu. Mendadak Sindu
limbung. Permainan pedangnya kacau. Mendadak Macukunda
berseru, "Kalayawana hentikan ilmu Begananta itu, kamu telah
berbuat curang!"
Ketika itu di tengah gelanggang terjadi perubahan besar.
Sindu melepas pedangnya dan membekap telinganya.
Keadaannya aneh. la bukan hanya terdesak bahkan jiwanya
terancam. Meski pincang namun keris Kalabendana sigap
mencari lubang kematian di tubuh Sindu. Tiga tusukan makin
membuat pendekar Ujung Pangkah itu limbung. Tusukan
keempat, Sindu jatuh terduduk. Tubuhnya bersimbah darah.
Macukunda meledak marahnya. "Kalayawana! Kamu berani
mengaco pertemuan yang kuselenggarakan!"
Terdengar suara tawa yang datang dari kemah yang
berada di lingkaran dua. Seorang lelaki tua kurus kering dan
tirus. Dia Kalayawana! "Ah Macukunda, tak perlu sampai
marah. Aku tak melanggar aturan, tadi aku cuma tertawa dan
kebetulan ilmu Begananta keluar begitu saja. Lagi pula kan tak
ada aturan yang melarang orang tertawa, iya kan?"
Macukunda terdiam. Kalayawana benar, memang tak ada
aturan yang melarang seseorang dari luar gelanggang

membantu rekannya yang sedang tarung. Tak ada aturan
melarang ia membantu muridnya dengan tertawa dari luar
gelanggang. Dua anak murid Mahameru melompat ke dalam
arena menggotong mayat pendekar Ujung Pangkah itu.
Kalabendana melompat keluar arena sambil berseru, "Aku
mau istirahat dulu."
Seorang lelaki botak, Tongkat Besi dari Gunung Limas
menerobos arena menantang Kebo Bantala. Pertarungan
berlangsung imbang dan ketat, tongkat besi lawan golok.
Setelah tarung puluhan jurus, Kebo Bantala berhasil melukai
dada lawan Darah mengucur dan lukanya tetapi Tongkat Besi
tak mau menyerah. Makin lama k makin melemah, di pihak
lain Kebo Bantala tak mau turun tangan kejam. Akhirnya
Macukunda memerintah adik perguruannya melerai
perkelahian.
Pertarungan berlanjut. Ada perkelahian lantaran dendam,
ada yang memang ingin adu kepandaian semata. Waktu
berjalan cepat. Matahari makin condong ke barat dan para
pendekar yang masuk gelanggang makin lihai. Pendekar yang
bertarung makin terpilih dan makin sedikit.
Dari tadi Wisang Geni duduk terpaku. Tanpa disadarinya
matanya sering memandang ke dua tempat, tenda Jayawikata
dan Sempani. Dilihamya seorang lelaki menghampri Sempani.
Meski agak jauh tetapi Wisang Geni bisa mengenalinya. Dia
Lembu Agra, rupanya murid pengkhianat itu baru muncul.
Sekonyong-konyong Sempani masuk gelanggang. Ia bertolak
pinggang. Suaranya bening dan lantang. "Aku Sempani dari
Tanjung Ligit, aku punya hutang piutang darah dengan
Padeksa, maka aku menantang Padeksa dari Lemah Tulis, ayo
cepat keluar, kita bikin perhitungan, kamu atau aku yang
mati!"
Wisang Geni berkata lirih, "Bangsat, pasti pengkhianat itu
yang memberitahu keadaan guru yang belum sehat." Lalu
kepada Padeksa ia berkata dengan nada khawatir. "Guru,

kamu tak boleh masuk, biar aku saja, sekalian kulunasi hutang
darah Lemah Tulis."
Suara Sempani terdengar lagi. "Mana Padeksa? Kenapa
tidak berani keluar, apa kamu sudah tak punya kehormatan
lagi?"
Wisang Geni dan rombongan, serba salah. Tak mungkin
Padeksa masuk gelangang dalam keadaan tubuh belum pulih,
sama dengan mengantar nyawa percuma. Waning Hyun
menghampiri Geni, ia berbisik halus. "Kalau aku menolongmu
sekarang ini, apa terhitung kamu berhutang budi padaku,
suatu saat aku akan minta tolong padamu maka kau harus
bersedia, ya atau tidak?"
Wisang Geni memandang Waning Hyun dengan penuh
tanda tanya. Tetapi ia tak punya pilihan. Geni mengangguk.
Waning Hyun bertanya lagi, "Kamu yakin bisa mengatasi
Sempani?" Sekali lagi, Geni mengangguk mantap.
Tak ayal lagi Waning Hyun berteriak. Suaranya nyaring
namun cukup jelas didengar semua orang. "Hai Sempani,
kamu belum berharga untuk menantang Ki Padeksa. Semua
orang tahu kamu adalah penjahat cabul, pemerkosa, mana
bisa disejajarkan dengan Ki Padeksa. Satu syarat dan aturan
tarung di sini adalah sepadan. Kau tidak sepadan dengan Ki
Padeksa. Kamu orang jahat, penjahat cabul, dan entah apalagi
kejahatanmu. Sedang Ki Padeksa adalah orang jujur yang
selalu menjaga kehormatannya."
Orang-orang yang mendengar ucapan Hyun tertawa keras.
Riuh tawa itu membuat Sempani meluap amarahnya. "Jangan
banyak bacot, bilang saja Padeksa takut. Itu saja yang aku
perlukan bahwa Padeksa tidak punya kehormatan. Biar semua
orang tahu kini bahwa Lemah Tulis memang sudah tak punya
kehormatan lagi. Ayo Padeksa, keluar kau!"
Waning Hyun berteriak lagi, "Sempani goblok, aku sudah
katakan bahwa Ki Padeksa itu tidak sepadan dengan kamu.

bukan karena takut tetapi ia merasa jijik berhadapan
denganmu Begini saja, biar muridnya saja yang tarung lawan
kamu. Sebenarnya ia juga tidak sepadan dengan kamu, ia
masih perjaka dan belum kawin, tetapi kamu, toh semua
orang tahu kelakuan penjahat cabul macam Sempani si
pendekar gadungan."
Bagaikan kebakaran jenggot saking marahnya, Sempani
berteriak, "Mana dia, biar muridnya dulu yang kupatahkan
batang lehernya, nanti baru menyusul gurunya. Mana dia?"
Waning Hyun tertawa nyaring. "Jangan-jangan tangan dan
kakimu yang patah."
Sempani teriak lagi, suaranya mengguntur. "Mana dia?"
Wisang Geni berdiri. Ia melirik Wulan dan Sekar. Ia
mengucap terimakasih kepada Waning Hyun. Tak lupa ia
mohon diri pada Padeksa. Dua perempuan itu, Wulan dan
Sekar hampir berbareng mengingatkan agar hati-hati.
Pada saat itu sesosok bayangan berkelebat. Orang hanya
merasa kesiuran angin, tahu-tahu di tengah gelanggang telah
berdiri seorang lelaki jangkung dan tampan dengan jubah
hijaunya bergerai ditiup angin. Dialah Manjangan Puguh. Ia
memberi hormat kepada Macukunda. "Maaf, aku terlambat
datang karena ada yang harus kukerjakan."
Macukunda berdiri membalas hormat. "Ho, ho, ho, kau
sudah datang, merupakan kehormatan bagiku, Ki Manjangan
Puguh, silahkan kamu istirahat dulu." Sambil ia memerintah
dua anak muridnya untuk mengantar Manjangan Puguh.
Manjangan Puguh menoleh pada Sempani. "Maaf Ki
Macukunda, sudah bertahun-tahun aku mencari orang ini yang
namanya Sempani, ia tak boleh tarung dengan siapa pun , ia
harus membayar hutang darah padaku!"
Berkata demikian Manjangan Puguh langsung menyerbu
Sempani dibuat kalang kabut menangkis. Dalam gelanggang

tarung terjadi perkelahian sengit. Macukunda berteriak keras.
"Ki Manjangan kuharap dengan segala hormat, pandanglah
mukaku, jangan merusak jamuanku, semua pertarungan harus
ada tata kramanya. Hentikan dulu amarahmu Ki."
Bersamaan dengan itu empat pendekar yang dari tadi
berdiri di belakang Macukunda melesat ke dalam gelanggang.
"Tahan!"
Manjangan Puguh menghentikan serangannya Tadi orang
hanya melihat bayangan berkelebat mengurung Sempani.
Tahu-tahu bayangan itu hilang dan Manjangan Puguh terlihat
berdiri tenang lima tombak dari Sempani yang masih kalang
kabut menangkis. Hebat gerakan Manjangan Puguh. Sebagian
orang meleletkan lidah, kagum, melihat ilmu ringan tubuh
yang begitu tinggi
"Benar-benar nama Manjangan Puguh bukan nama
kosong." Hanya itu yang diucapkan empat pendekar
Mahameru itu. Selanjutnya mereka diam menanti perintah
Macukunda.
"Apa maksudmu Ki Macukunda? Bukankah jamuan ini kau
selenggarakan untuk pertarungan. Nah aku sudah memilih
Sempani sebagai lawan, kenapa kamu mengatakan aku
mengaco jamuanmu?"
Macukunda tertawa. "Kau terlambat datang makanya kamu
tidak tahu bahwa Sempani sudah menantang Ki Padeksa dari
Lemah Tulis. Kubu Ki Padeksa menganggap Sempani tidak
sepadan dan menyodorkan murid Padeksa untuk menghadapi
Sempani. Maka pertarungan ini sudah resmi, tak bisa diubah
lagi kecuali memang Ki Sempani mau tarung denganmu lebih
dahulu tapi kulihat Ki Sempani sudah kewalahan melawanmu
tadi, mana berani dia menerima tantanganmu." Macukunda
tertawa geli "Eh Ki Sempani apakah kamu mau berganti
musuh, kini menghadapi Ki Manjangan Puguh?"

Sempani tertawa keras. "Manjangan Puguh boleh menanti
giliran. Sebenarnya aku ingin juga menjajal ilmu dari
perguruan Merapi, tetapi sekarang biar kuminum darah murid
Padeksa itu, aku memang sedang haus, hayo mana dia
orangnya, keluar kamu."
Wisang Geni melangkah lebar memasuki gelanggang. Ia
tidak menggunakan ilmu ringan tubuh, tetapi mengerahkan
tenaga Wiwaha di setiap langkahnya. Setiap ia melangkah,
tanah bergetar dibuatnya. Begitu sampai di dekat Manjangan
Puguh, ia berlutut menyentuh ujung kaki gurunya. Tentu saja
sang guru terkejut, "Geni mengapa kamu yang maju?"
"Tidak usah khawatir, guru, aku bisa menjaga diri." Sambil
berkata Geni mengerahkan tenaga maha dingin melalui ujung
kaki Manjangan Puguh. Gurunya terkejut ketika ada tenaga
maha dingin merembes kuat dari kakinya. Ia tak mengerti dari
mana Geni memperoleh tenaga dalam sehebat itu. Jelas itulah
tenaga dalam pendekar kelas satu. Manjangan Puguh tak bisa
berbuat sesuatu pun. Itu pertarungan resmi. Ia hanya bisa
berpesan agar muridnya hati-hati dan waspada.
Wisang Geni menatap Sempani. Wajah lelaki itu dipenuhi
bintik warna hitam Ketika ia tertawa tampak giginya jarang
dan kuning.
Rambutnya jarang tetapi panjang bergerai sampai pundak
sehingga tampak lucu. Wajah yang buruk.
Pendekar buruk rupa itu tertawa keras. "Ini caranya
Padeksa dari Lemah Tulis menghindar dari tantangan. Dia
takut menerima tantanganku sampai rela mengorbankan
muridnyayang masih begini muda dan berbau kencur."
Geni tertawa keras. Lebih keras dari tawa Sempani.
Tertawa khas yang dipelajarinya di lembah kera Tawa itu
dikerahkan dengan tenaga Wiwaha tingkat paling tinggi. Suara
tawa itu mengalun dan bergelombang, panjang dan

mendirikan bulu roma yang mendengarnya Itu memang tawa
khas kera apabila sedang marah.
Tertawa Sempani terhenti. Ia mendelong menatap Geni. Ia
cukup terkejut mendengar pameran tawa Geni yang begitu
menakjubkan. Bahkan hampir semua orang di situ tercengang
akan tenaga dalam Geni. Hampir tak masuk akal ada seorang
muda yang memiliki tenaga dalam setinggi itu. Kalau muridnya
saja sudah begitu jago, bagaimana lagi dengan Padeksa
gurunya, gumam sebagian orang.
Sempani menatap wajah anak muda di depannya Ia
melihat sinar mata yang tenang, bening dan sangat dalam.
Tiba-tiba ia sadar, anak muda ini memiliki kepandaian yang
sulit diukur tingginya Melihat dari sinar matanya maka
pameran tenaga dalam lewat tertawa tadi itu bukan isapan
jempol belaka. Ada rasa enggan menyeruak dalam
sanubarinya, ia merasa gentar. Sempani cepat mengusir dan
mengubur perasaan enggan dan takut itu. "Aku harus
waspada, tak boleh main-main, kalau perlu satu tak kemplang,
ia modar, itu lebih baik!"
Berpikir demikian, ia merogoh senjata dari balik jubahnya
yang longgar. Sebatang tongkat dihiasi kepala burung elang.
Mulut elang itu terbuka, mengkilap ditimpa sinar matahari
siang. "Hayo keluarkan senjatamu, bocah jelek, sebelum kukepruk
kepalamu!"
"Guruku memerintah aku agar bertarung dengan tangan
kosong, jika hanya melawanmu saja aku harus menggunakan
senjata maka itu akan mengurangi harga diri dan kehormatan
Lemah Tulis." Kata-kata Geni sengaja diucapkan keras agar
didengar semua orang. Tentu saja orang-orang yang hadir di
situ geger, ucapan Geni itu agak sombong, namun melihat
tenaga clalamnya ketika tertawa tadi, jelas Geni punya ilmu
silat yang sangat mumpuni.
Sempani tersenyum dingin. Ia tahu anak muda itu
memancing dia agar kalap. Itu siasat kuno sebab orang kalap

akan kehilangan banyak tenaga dan berkurang konsentrasinya
Sempani tak banyak omong. Langsung menyerang ke bagian
tubuh yang mematikan. Dalam beberapa gebrakan awal, Geni
bisa mengukur kehebatan lawan. Tak begitu hebat, masih bisa
diatasi, begitu pikirnya.
Geni tak ragu lagi, mengeluarkan jurus Bang Bang Alum
Alum bergantian Garudamukha dengan ilmu ringan tubuh
Waringin Sungsang dan tenaga Wiwaha, semuanya jurus
andalan. Dua puluh jurus berlalu, tongkat pendek Sempani tak
bisa mendesak Geni. Bahkan dilihat lebih teliti, sedikit demi
sedikit Geni mulai menguasai pertarungan. Sempani sendiri
terkejut. Tak disangkanya ilmu silat Geni setinggi itu Ia sadar
kini ia dalam kesulitan. Ini pertarungan paling berbahaya
seumur hidupnya. Ketika bertarung dalam perang Genter
maupun ketika menyerbu memorakporanda Lemah Tulis, ia
tak sendirian. Banyak kawan. Tetapi sekarang ini ia harus
bertarung sendirian. Dan lawan yang dihadapi meski muda
usia namun ilmu silat dan tenaga dalamnya sangat tinggi.
Tiba-tiba Wisang Geni menarik diri, melompat mundur agak
jauh ke belakang. Bukan hanya Sempani yang kaget, semua
yang hadir merasa heran. Tidak biasanya seorang yang sudah
unggul dan berada atas angin melompat mundur memberi
kesempatan lawan berbenah diri. Ada apa?
Sambil memandang sekeliling, Geni menengadah langit dan
berkata dengan pengerahan tenaga Wiwaha, kedengarannya
seram "Hari ini satu lagi dari musuh Lemah Tulis akan kukirim
ke kuburan. Kamu Sempani, kamu bertanggungjawab atas
kematian orangtuaku dan ikut menyerbu Lemah Tulis. Kamu
akan mati hari ini, hutang darah bayar darah, hutang nyawa
bayar nyawa!"
Suara Geni terdengar menyeramkan. Sempani merasa
keder. Untuk mengatasi rasa takutnya, ia berteriak. "Kamu
siapa? Apa kamu pikir kamu sudah mengalahkan aku?"

Geni berkata keras, nada dingin. "Namaku Wisang Geni,
ayahku adalah Gajah Kuning, ibuku Sukesih. Hari ini kamu
harus mati, hutang nyawa bayar nyawa!"
Perasaan keder itu kembali menghantuinya, untuk
mengatasinya Sempani berteriak keras. "Bukan aku yang mati,
tetapi kau yang akan kukirim ke neraka, anak bangsat!"
Geni menyerbu dengan jurus Gongkrodha. Hawa panas
keluar dari sepasang tangannya. Sempani terkejut, mundur
dengan menggelinding ke belakang. Orang-orang terkejut
melihat Sempani begitu terdesak. Hebat anak muda ini, begitu
gumam penonton.
Pukulan Geni tegas mengarah kepala Sempani yang mau
tidak mau harus menangkis dengan tongkat. Sempani
mengeluh, karena kalah tenaga. Sedang Geni merasa senang
dan yakin akan segera menghabisi lawannya. Ia tak tahu
bahwa Sempani sedang memasang perangkap. Ketika terjadi
benturan tangan dengan tongkat, kaki Sempani naik ke atas.
Ia bukan menendang, tetapi menyaruk tanah dengan kaki dan
menghantamkannya ke wajah Geni. Sementara tangan yang
memegang tongkat mengemplang kepala Geni.
Dalam sekejap saja, dari posisi terdesak, Sempani berubah
menjadi unggul mutlak. Kini posisi berbalik. Geni dalam
bahaya. Matanya terancam buta, kepalanya bisa remuk! Geni
sendiri tak menyangka keadaan bisa berbalik seperti itu. Tapi
ia tidak gugup. Ia mengerahkan tenaga Wiwaha dan meniup
keras tanah yang mengarah wajahnya. Tangan menyampok
menangkis tongkat lawan. Tetapi serangan Sempani masih
berlanjut. Saat tongkatnya ditangkis, ia sengaja menghentak
ujung tongkat. Mulut elang di ujung tongkat itu seperti
menghembus asap halus. Itu bubuk racun! Sempani berteriak,
"Mampus kamu!"
Geni terkesiap. Tongkat hanya sejengkal dari wajahnya.
Tak ada ruang untuk mengelak. Apalagi Sempani masih

menyusul dengan serangan lain, tendangan mematikan ke
selangkangan dan pukulan tangan mengancam dada Geni.
Geni berlaku nekad. Ia yakin tenaga Wiwaha bisa
mengendalikan asap racun itu, seganas apa pun racun itu.
Tiga gerakan dilakukan Geni berbarengan. Ia meniup sekuat
tenaga membuyarkan asap beracun, mengangkat kaki kiri
menangkis tendangan dan dua tangannya berputar di depan
dada. Itulah jurus Nyakra Manggilingan (Berputar seperti
kincir) dari Bang Bang Alum Alum. Ada lagi gerak lanjut Geni
dan yang sangat mengejutkan Sempani.
Setelah meniup satu kali, Geni masih menambah lagi tiupan
susulan yang lebih bertenaga. Asap racun bergerak dengan
tenaga besar ke wajah lawan. Sempani bukannya takut akan
asap racun itu, karena ia tadi sudah menelan pemunahnya.
Tetapi ia terkejut karena tak menyangka Geni dalam keadaan
tarung, masih bisa meniup dengan tenaga besar. Hampir tak
masuk akal.
Bagi lain orang mungkin tak masuk akal dan mustahil,
tetapi bagi Geni yang telah menguasai Wiwaha hal itu tak
terlalu sulit. Semua berlangsung ringkas dan cepat. Tiga
gerakan Geni itu bukan cuma meloloskan diri dari ancaman
bahaya, malahan berbaik mencelakakan Sempani.
Terdengar teriakan Sempani. Tangannya seperti masuk ke
dalam pusaran berkekuatan tenaga dahsyat. Ia lak berdaya
mengatasinya. Tulang tangannya patah di beberapa bagian.
Tetapi itu belum semua! Tangan Geni yang berputar
mendadak diluruskan ke depan. Sekali lagi Sempani berteriak.
Beberapa tulang dadanya remuk.
Sempani terlempar ke tanah. Darah keluar dari mulutnya.
Matanya melotot memandang tak percaya kepada Wisang
Geni. Mulutnya serasa terkunci. Dia sudah malang melintang
di dunia persilatan selama bertahun-tahun dan telah

mengalami banyak pertarungan dahsyat, tapi kini terbaring
sekarat. Ia memandang tak percaya.
Geni tertawa sinis. "Kamu tadi mengatakan ingin menjajal
ilmu dari gunung Merapi. Itu salah satu jurus dari Bang Bang
Alum Alum. Kau juga mengatakan Lemah Tulis tak punya
kehormatan lagi, asal kamu tahu itu tadi jurus Garudamukha.
Pergilah ke neraka, Sempani. Aku sudah melunasi hutang
nyawa orangtuaku!"
Sempani membuka mulut. Suaranya pelan tapi terdengar
jelas, karena ketika itu suasana lengang, tak ada suara.
Semua orang terdiam
"Bunuh aku, bunuh aku, jangan biarkan aku begini!"
Wisang Geni menggelengkan kepala. "Aku tak bisa
membunuh lawan yang sudah tak berdaya. Lagi pula kau tidak
punya kehormatan lagi untuk meminta sesuatu dari murid
Lemah Tulis!"
Saat itu dua murid Mahameru melompat ke arena. Mereka
menghampiri dan akan menggotong Sempani keluar arena.
"Jangan, jangan angkat aku. Bunuhlah aku, bunuh aku!"
Suara Sempani memelas. Ia lebih ingin mati di dalam arena
daripada digotong keluar sebagai pecundang. Dua murid
Mahameru itu memandang kepada Macukunda. Melihat ketua
Mahameru manggut, seorang diantaranya menunduk dan
menekan dada Sempani. Pendekar itu mati!
Semua mata memandang Wisang Geni dengan kagum
Orang tak pernah menyangka ia bisa menang. Pertarungan
berlangsung singkat tapi begitu mencekam dan dipenuhi saatsaat
berbahaya. Bahkan disebut yang paling seru dan bahaya

sejak tadi pagi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;