Sabtu, 17 Mei 2014

wisanggeni 8

Selama hari-hari ia berlatih, kera-kera datang silih berganti,
membawa berbagai macam jenis buah-buahan yang selama
ini belum pernah ditemui Geni di dunia luar lembah. Geni
menghitung hari dengan mencoret-coret tebing. Jurus satu, ia
selesaikan dalam waktu duapuluh enam hari. Geni bingung,
"Mengapa guru Lalawa menyebut orang dengan tenaga dalam
lumayan akan menyelesaikan jurus ini dalam waktu dua
purnama artinya enampuluh hari, orang awam bisa dua kali
lipat lebih lama waktunya. Mengapa aku hanya duapuluh
enam hari, mungkin aku salah berlatih?" Geni membantah
pikirannya, "Tak mungkin aku salah berlatih!"
Geni tak tahu sebabnya, pendekar Lalawa pun tak
menyadari perbedaannya. Lalawa menciptakan ilmu sekaligus

berlatih, tentu saja perlu waktu lebih lama dari Geni yang
cuma berlatih saja. Lagipula Geni memang tergolong cerdas.
Siang itu Geni istirahat menjelang berlatih jurus dua. Ia
duduk di tepikolam. Seperti biasa menanti kerakecil mengantar
buah-buahan. Ia memandang ke jalanan setapak yang biasa
dilalui si kera kecil.
Tampak sahabatnya itu berlari sambil berteriak girang.
Tiba-tiba mata Geni menangkap benda kuning berkilat yang
bergerak di tebing yang akan dilewati si kera kecil. Ular
berbisa! Satu gigitan saja, kera itu bakal mati Geni meraup
batu seadanya, kerikil kecil itu ia sentil ke arah ular. Ia lupa
bahwa tenaganya sudah lenyap. Itu hanya gerak naluriah
ingin menolong sahabatnya yang nyawanya sedang terancam.
Batu itu melesat, mendesis dan menghantam kepala ular.
Pecah.
Kera itu berteriak kaget melihat ular itu masih kelojotan
dekat kakinya. Kera kecil tahu Geni telah menyelamatkan
jiwanya, ia berteriak dan berjingkrak, mengucap terimakasih.
Geni sangat terkejut melihat hasilnya. Ia tak pernah
menyangka tenaganya sudah pulih bahkan mungkin lebih
bertenaga Geni meraup batu yang lebih besar lalu menyambit
sekuat tenaga. Suara mendesing, batu itu lenyap dari
pandangan mata
"Hebat, benar-benar keajaiban, tenagaku sudah pulih." Dia
gembira, demikian juga kera besar dan kawan-kawannya,
sepertinya mereka sadar tenaga Geni semakin tangguh. Kera
besar menyerang Geni dengan mendadak, Geni mengelak dan
menangkis. Dua tangan bentrok! Kera besar terhuyunghuyung
mundur tiga langkah. Seekor lainnya, kera yang
kemarin mengalahkan Geni menyerang, Geni mengibas dan
menolak. Kera itu terhuyung dan jatuh telentang. Semua kera
berteriak senang, kera besar datang memeluk. Geni sangat
terharu melihat kegembiraan kera-kera itu. "Kalian benarbenar
sahabat sejati, kalian bersuka ria dan bergembira

melihat aku berhasil melatih tenaga batin. Sungguh aku harus
berterimakasih pada kalian."
Tinggal menetap beberapa hari lagi di lembah ia
menemukan keajaiban. Latihan itu telah mengembalikan
tenaga batinnya seperti sediakala. Rasa nyeri pun tak pernah
lagi menyerang, pertanda racun sudah lenyap dari tubuhnya.
Ia yakin bila mampu menyelesaikan latihan ilmu Wiwaha itu
tenaga batinnya akan berlipat ganda. Hal ini memacunya lebih
giat berlatih.
Jurus dua Kitrang Raja Pati (Pertengkaran Hebat tentang
Bahaya Maut yang Datang Mengancam) diselesaikan dalam
waktu sembilanbelas hari. Pendekar Lalawa memperingatkan
agar hati-hati melatih jurus dua. Inilah tingkat paling sulit dan
mengandung resiko besar. Jika salah berlatih, akibatnya fatal,
bisa cacat bahkan lumpuh atau mati.
Pada tingkat dua itu, seperti juga nama jurus, percampuran
unsur panas dan dingin mulai memasuki tahapan yang
kadarnya besar. Panas yang merasuk ke tubuh sangat
membakar. Begitu pun rasa dingin yang masuk, nyaris
membekukan sel sel darah. Pada akhir Latihannya, Geni
mampu menguasai dan mengatur dua unsur panas dan dingin
itu kemudian menyimpannya dalam tubuh. Pada tahapan ini
tenaga dalam Geni sudah lebih maju ketimbang sebelum luka
parah oleh pukulan Kalayawana.
Tingkat tiga Ngrupak Jajahaning Mungsuh (Mempersempit
dan Melemahkan Kekuatan Musuh). Pada tingkat ini, Geni
berlatih bergantian di kolam dingin, kolam panas dan di udara
terbuka. Mulainya penyesuaian dua unsur kolam, panas dan
dingin dengan udara di luar kolam yang cuacanya berubahubah.
Latihan dilakukan pagi, siang dan malam. Tingkat ini
sama berbahaya seperti tingkat dua, salah latihan bisa tewas
kepanasan atau kedinginan. Namun demikian Wisang Geni
mampu menyelesaikan dalam waktu enambelas hari.

Tingkat empat Pethuk Ati Golong Pikir (Bersatunya Hati,
pikiran, tekad dengan perbuatan). Pada tingkat akhir ini, dua
unsur panas dan dingin yang saling berlawanan itu sudah
menyatu dengan pikiran dan tenaga batin. Sewaktu pikiran
ingin mengeluarkan tenaga dingin, saat itu juga tenaga dingin
muncul dan menyebar ke seluruh bagian tubuh. Begitu juga
dengan tenaga panas. Tingkat ini paling sulit, Geni bahkan
harus sangat berhati-hati agar tidak salah penerapan. Karena
mengatur pikiran yang terkadang mencuat secara spontan dan
terkadang bisa buntu, perlu konsentrasi mutlak. Setelah
menyelesaikan tingkat ini, begitu Geni berpikir akan
menggunakan tenaga dingin pada saat berikut tenaga dingin
sudah siap untuk digunakan. Tingkat ini diselesaikan Geni
dalam tempo tigapuluh hari. Selesainya tingkat empat ini,
selesai sudah Geni berlatih ilmu Wiwaha. Geni berhasil
mewarisi ilmu Wiwaha itu seluruhnya dalam waktu
sembilanpuluh hari.
Begitu mengakhiri latihan tingkat empat, ia segera
mencoba ilmunya. Ia menyelam ke dasar kolam yang paling
dingin. Pojokan itu masih membuatnya merasa dingin nyaris
membeku. Ia berpikir akan menggunakan tenaga panas
melawan dan mengusir rasa dingin. Pada saat itu juga ketika
tubuhnya bergerak, ia tak lagi merasa dingin. Ia takjub akan
reaksi tenaga batinnya. Tenaga panas itu muncul cepat sekali,
hanya butuh sesaat saja. Luar biasa!
Wisang Geni sangat gembira. Seharian ia berlatih silat.
Mengulang semua jurus yang pernah dipelajarinya Bang Bang
Alum Alum, Garudamukha Prasidha, bahkan juga Waringin
Sungsang. Dia memainkan semua jurus itu dengan
menggunakan tenaga Wiwaha. Dia merasakan banyak
kemajuan. Ia merasa lebih leluasa bergerak. Gerakannya lebih
pesat, lebih ringan dan lebih pegas. Pukulan lebih berbobot.
Gerak jari tangan mematuk dari jurus Manusuk dulu hanya bis
membuat sebuah batu retak. Kini hancur jadi bubuk. "Sama
imbang dibanding tenaga guru Padeksa. Ah, betapa aku

hutang budi kepadamu, terimakasih guru Lalawa. Engkau
bukan saja telah menolong nyawaku, kau juga mewariskan
ilmu Wiwaha yang dahsyat itu kepadaku."
Siang hari itu Wisang Geni merasa seakan bangkit dari
kematian. Ia merasa gembira. Tapi pada saat yang sama ia
merasa begitu duka. Kini ilmunya sudah maju pesat Jauh lebih
pesat dari tingkat yang dicapainya sebelum tersesat ke
lembah. Ia tahu dengan tingkat ilmu yang dicapainya
sekarang ini tidak sulit baginya untuk keluar dari lembah ini
menuju keramaian dunia. Tapi hatinya berduka karena harus
berpisah dengan kera-kera sahabatnya.
Tetapi biar bagaimanapun juga, hari ini dia harus pergi
meninggalkan lembah kera. Dia telah menghitung hari. Dia
sudah menghabiskan waktu seratus hari di lembah. Dia
merasa tidak pasti, tetapi perkiraannya, dia masih punya
waktu tigapuluh hari lagi untuk menghadiri pertemuan para
pendekar di puncak Mahameru.
Dia akan menghadiri pertemuan Mahameru. Tidak hanya
itu, masih banyak tugas lain yang harus ia selesaikan. Tugas
sebagai murid untuk membangun kembali perguruan Lemah
Tulis. Tugas membalas kematian dua orangtua dan gurugurunya.
Tugas sebagai pendekar pembela keadilan dan
kebenaran.
"Memang setiap pertemuan, adalah awal perpisahan. Tapi
setiap perpisahan belum tentu awal suatu pertemuan. Belum
tentu aku bisa sampai ke lembah ini lagi. Belum tentu aku bisa
bertemu dengan kalian lagi." Dia bicara dengan nada sendu,
kera-kera itu seperti mengerti maksudnya. Mereka berteriakteriak.
Kera besar memegang tangan Geni, membawanya ke dekat
kolam Dia menunjuk ke atas ke tebing yang tinggi, sambil
berteriak dan merundukkan kepalanya. Dia seperti memberi
hormat ke arah tebing itu. Geni mengerti ada sesuatu di
tebing yang ditunjuk kera besar. Dia memerhatikan seksama.

Ada sebuah lubang di tebing itu. "Mungkinkah itu goa? Tetapi
letaknya sangat tinggi, permukaan tebing juga rata dan licin.
Sulit untuk didaki."
Geni menggeleng kepala. Tak mungkin aku bisa mendaki,
tak ada tempat berpijak dan berpegangan di tebing yang
begitu rata dan licin. Kera besar berteriak dan berguling-guling
di tanah. Dia kecewa melihat sikap Geni yang menolak
mendaki tebing itu.
"Baiklah sahabat, aku akan mendaki dan memasuki goa itu,
pasti ada sesuatu di dalamnya Mungkinkah ada ilmu silat lagi
di situ?"
Geni tertawa, menertawakan dirinya yang begitu tamak.
"Kamu sudah memperoleh jurus Wiwaha masih juga belum
puas dan menghendaki tambahan lain. Tamak dan serakah."
Kera besar dan seluruh pasukannya berteriak memberi
semangat pada Geni yang beberapa kali gagal dalam
usahanya mendaki tebing itu. Tiba-tiba Geni menemukan jalan
keluar. "Menuruni tebing lebih mudah dari mendaki,"
gumamnya. Dia melihat keliling, kemudian berlari dan
mendaki di bagian lain. Dari tempat yang tinggi di atas goa
itu, Geni turun dengan mudah dan menjejak kakinya di mulut
goa.
Goa itu sebenarnya bukan goa, hanya sebuah celah di
tebing yang cukup untuk tubuh satu orang. Geni terkesiap
ketika melihat tumpukan tulang dan tengkorak manusia.
Diterangi sinar matahari, dia melihat ada tulisan di dinding
dekat tumpukan tulang belulang.
Kamu pasti telah menguasai ilmu Wiwaha. Aku merestui
kamu sebagai murid tunggal. Tugas pertamamu, membawa
tulang-belulang tubuhku ini dan kuburkan di tempat kamu
menemukan ilmuku.
Aku pendekar Lalawa, menemukan dan menciptakan jurus
Wiwaha di lembah kera ini. Aku mengembara dan tarung

selama puluhan tahun, tak seorang pendekar pun bisa
bertahan lebih dari dua puluh jurus. Aku tak punya tandingan.
Aku kesepian, tak punya lawan tak punya kawan.
Semua orang takut padaku, juga takut menjadi kawanku.
Kawanku hanya wanita-wanita yang kutiduri. Tetapi tak ada
yang bertahan lama di sampingku. Aku kembali ke lembah ini,
mewariskan Wiwaha entah siapa yang akan mewarisinya.
Tugasmu yang kedua muridku, jadilah pendekar budiman
yang menolong orang yang tertindas.
Pesanku padamu muridku, hati-hatilah dengan wanita, ilmu
Wiwaha akan membuat kejantanan dan nafsu birahimu
berlipat ganda. Tapi tak perlu takut, itu hanya reaksi dari ilmu.
Sekarang dalam usia lebih dari delapanpuluh tahun, aku
bertapa di sini sampai aku moksa.
Selamat tinggal muridku. Aku, gurilmu, Lalawa.
Geni termenung membaca tulisan itu yang diukir atas
dinding tebing yang keras. "Kasihan nasib guruku." Tanpa
ragu, Geni berlutut sungkem "Guru Lalawa, terimakasih atas
ilmu Wiwaha, aku pasti akan menjalankan tugas dan
pesanmu. Maafkan aku, menyentuh tulang tubuhmu yang
sangat kilmuliakan."
Geni mencari-cari sesuatu untuk membungkus tulangbelulang
gurunya. Tak ada. Dia melihat bajunya, sudah
compang-camping, tak mungkin bisa dijadikan pembungkus.
Tiba-tiba dia melihat sesuatu di pojok. Ternyata selembar kulit
yang digulung. Kulit itu tidak lapuk dimakan usia ratusan
tahun. Geni tahu, ada ramuan khusus yang membuat kulit
bisa tahan sampai ratusan tahun. Hati-hati dan penuh hormat,
Geni membungkus tulang gurunya kemudian menuruni tebing.
Dibantu kera sahabatnya, dia menggali lagi tempat dia
menemukan batu bertuliskan ilmu itu. Dia mengubur tulangbelulang
gurunya kemudian memberi hormat dengan sungkem

Kera-kera ikut memberi hormat dengan cara berdiam diri dan
tidak berceloteh.
Kera besar memeluknya kemudian memberi tanda,
menyuruh Geni pergi. Kera itu menunjuk ke atas tebing yang
tak terlihat ujungnya. Tampak hanya langit putih bersih.
Mendaki tebing itu ibarat mendaki menuju langit. Geni berlari
memanjat tebing. Tiba di suatu tempat di celah tebing, dia
menoleh ke bawah dan melambai tangannya. Dia bersiul
keras, seperti siulan kera. Siulannya bergema dan memantul di
tebing-tebing.
---ooo0dw0ooo---
Pagi hari di lereng bagian selatan gunung Lejar, udara
masih saja sejuk kendati matahari sudah agak tinggi. Sisa-sisa
tetesan embun masih membasahi dedaunan yang rimbun.
Suasana hutan sunyi dan lengang. Wisang Geni menghirup
udara pagi sepuasnya. Ia baru saja keluar dari lembah kera.
Tebing terjal itu bukan lagi penghalang sulit baginya. Mudah
saja ia memanjat menggunakan ilmu Waringin Sungsang&xn.
Garudamukha dengan tenaga batin Wiwaha. Seperti baru
keluar dari kurungan, ia melangkah santai sambil memandang
alam sekeliling.
Dia tiba di tempat yang banyak pohon rindang. Di tempat
ini, empat bulan lalu dia menemukan tari Kinanti Prasidhayang
kemudian berhasil digabungnya menjadi jurus Garudamukha
Prasidha. Suara ki dalang seperti mengiang kembali di telinga.
Matanya seperti melihat kembali gerak gemulai gadis yang
menarikan tari Kinanti. Ia menghela napas, merasa berduka
dan menyesal. "Seharusnya aku menemui mereka, si penari
dan si dalang, paling tidak aku harus mengucap terimakasih
dan memperkenalkan diri."
Ia juga menyesal, tidak bertanya lebih lanjut tentang
makna tarian. Terutama kalimat Parahwanta Angentasana

Dukharnawa (Aku hendaknya menjadi perahilmu
menyeberangi laut kesusahan). Dia berkata dalam hati, "Tapi
kalau memang jodoh, suatu waktu pasti akan jumpa lagi. Dan
saat itu aku pasti akan menanyakan makna kalimat tersebut."
Tak disangka bahwa arti dan makna kalimat itu begitu
penting dan sangat menentukan penguasaan ilmu tingkat
tinggi dari perdikan Lemah Tulis itu. Setiap melatih
Garudamukha Prasidha Geni selalu terbentur pada
penggunaan tenaga. Ada sesuatu yang membuat penyaluran
tenaga seperti terhambat, tenaga tak bisa dipusatkan pada
saat hendak digunakan, tenaga selalu menyebar saat hendak
digunakan.
Anehnya, kalau dia menggunakan jurus Garudamukha
tingkat awal atau Bang Bang Alum Alum tenaga itu bisa
leluasa digunakan. Tapi begitu ia menggelar jurus
Garudamukha Prasidha maka tenaganya seperti tersumbat. Ia
tahu sebabnya. Tidak lain lantaran makna dan arti kalimat itu
belum bisa terpecahkan. Hampir tiap saat ia memikirkan, tapi
tetap saja menemui jalan buntu. Dalam keadaan termenung
itu sayup-sayup ia mendengar suara ribut. Seperti bentakan
dan teriakan banyak orang. Hanya sekejap saja suara makin
dekat. Pertanda orang-orang itu bergerak pesat
Geni bergerak cepat. Ia melompat ke pohon terdekat.
Bersembunyi di kerimbunan daun. Suara bentakan orang dan
benturan senjata tajam memecah kesunyian hutan di sekitar
persembunyian Geni. Tampak beberapa orang bertarung
dengan sengit. Memerhatikan lebih seksama, ia melihat ada
kesamaan di antara sejumlah orang. Sepertinya mereka terdiri
dari satu rombongan. Pakaian sama, seragamkeraton. Tapi
yang ini berbeda dengan seragam Tumapel yang pernah
ditemuinya bersama Sekar beberapa waktu lalu.
Mereka yang berseragam, semuanya berjumlah sembilan
orang. Tujuh lelaki, dua perempuan. Rombonganyangmenjadi
lawan, terdiri empat orang. Seorang kakek dan tiga orang

muda. Di antaranya seorang gadis kurus dengan wajah putih
cantik. Geni teringat seseorang. "Bukankah dia gadis kurus
cantik dan misterius yang juga menguasai jurus
Garudamukha?" Melihat ini, simpati Geni lantas memihak pada
kakek dan tiga orang muda. Empat orang ini terdesak hebat.
Kakek bertempur hebat menghadapi tiga pengeroyok. Mata
Geni terbelakak, heran menyaksikan kakek memainkan
Garudamukha dengan hebatnya. "Siapa kakek ini, ilmunya
tidak di bawah guru Padeksa? Ia pasti orang Lemah Tulis, tapi
siapa?"
Meski tiga pengeroyok berilmu tinggi tapi tampaknya kakek
itu masih bisa menguasai keadaan. Geraknya masih leluasa,
malah berkali-kali ia menoleh ke tiga anak muda itu. "Larilari...
biar kutahan mereka di sini!" Teriakannya sia-sia. Tiga
anak muda itu agaknya tak mau lari. Para punggawa
mengepung rapat, juga tak mau mereka lolos. "Mau lari ke
mana? Kalian jangan mimpi bisa lolos!"
Pemuda berpakaian putih tertawa sinis. "Kalian tak punya
guna semua, tak punya malu, apa pikirmu bisa menaklukkan
kami?" Ia dikeroyok dua orang, lelaki separuh baya dan
perempuan cantik usia empatpuluhan. Kepandaian mereka
lumayan.
Geni bisa membedakan kepandaian mereka yang
bertarung. Kakek itu yang paling tinggi ilmunya. Namun ia
tidak punya kesempatan membantu kawannya karena dilibat
tiga lawannya. Tiga punggawa itu kelihatan paling jago di
antara rekan-rekannya. Kalau si kakek terlibat pertarungan
ketat yang memerlukan konsentrasi, tidak demikian dengan
pemuda baju putih. Pemuda ini bertarung sambil
memerhatikan dua temannya. Terkadang ia menerobos
keroyokan meninggalkan kedua lawannya membantu dua
temannya yang terdesak. Meski tak sehandal kakek itu, namun
ilmu pemuda baju putih cukup tinggi dan jurus-jurusnya aneh.

Tapi sesungguhnya yang hebat adalah keampuhan kerisnya
yang bagaikan ular naga menyambar ke sana kemari.
Semua punggawa itu jeri terhadap keris di tangan si
pemuda. Keris itu berkilauan diterpa sinar mentari. Cahayanya
hijau kemerahan, terkadang birukekuningan. Mereka tak
berani mengadu senjata. Geni teringat, itulah keris yang
pernah menjadi senjata si gadis kurus cantik yang akhirnya
membenam di dada pendekar Tambapreto.
Gadis kurus seperti juga pemuda berbaju hitam terdesak
hebat oleh empat lawan. Tapi setiap si gadis kurus atau
pemuda baju hitam terancam, selalu si pemuda baju putih
sempat membantu. Namun tampaknya keadaan takkan
bertahan lama. Pemuda baju hitam itu sudah terluka di
beberapa tempat Gadis itu tampak mulai letih.
Keadaan kritis. Geni beraksi cepat, melayang turun
menggunakan Waringin Sungsang sambil berteriak. Tanpa
sadar Geni meniru teriakan kera, sesuatu yang dipelajarinya di
lembah kera. Teriakan dengan tenaga batin luar biasa,
menggema hebat di penjuru hutan. Semua orang yang
bertempur, terkejut tak terkecuali kakek yang berilmu tinggi
itu
Belum lenyap gema teriakan itu, serangan Geni sudah
menyergap salah seorang lawan yang mengeroyok si gadis.
Geni memang sengaja memilih lawan paling lemah, si
punggawa wanita. "Lebih cepat seorang lawan roboh lebih
bagus, itu akan merontokkan nyali dan semangat tarung yang
lainnya," pikirnya.
Ia melancarkan jurus Gora Andaka (Banteng Besar) dari
Bang Bang Alum Alum mengarah kepala punggawa wanita itu.
Serangan yang dibungkus tenaga dingin Wiwaha melanda
bagai serbuan hamuk banteng. Punggawa wanita itu terkejut.
Dari angin pukulan saja, ia tahu, ia bukan tandingan Geni.
Tiga kawannya juga terkejut. Punggawa wanita mengelak

dengan merunduk sambil memutar tubuh menyabetkan
pedang.
Salah seorang rekannya ketika melihat wanita itu terancam
serangan ganas, segera meninggalkan pemuda baju hitam. Ia
melesat ke arah Geni, mencegat gerakan Geni dengan tebasan
golok. Tidak percuma Geni berlatih di lembah kera. Tanpa
menghentikan pergerakan majunya, ia melontarkan pukulan
jarak jauh ke perut si punggawa wanita. Tangan lainnya
memukul ke arah ketiak lawan prianya.
Geni seperti tak menghiraukan datangnya golok. Ia yakin
pukulan jarak jauhnya akan melukai pundak si lelaki Benar!
"Buukkk!" lengan lelaki itu keseleo kena angin pukulan Geni.
Golok itu jatuh tepat di depan wajah Geni. Hanya sekali
gebrak, dua lawan terluka Lelaki itu cidera lengan. Wanita itu
terhuyung-huyung, pedangnya terlempar. Wajahnya pucat,
tubuhnya menggigil kedinginan, sesaat kemudian ia muntah
darah!
Geni tak berhenti. Ia menerobos kepungan tiga lelaki yang
mengeroyok kakek tua. Kak ini ia menggelar jurus Nanawidha
(Beraneka Warna). Dua tangan mengirim pukulan berantai ke
dua lawan sekaligus. Dia menggunakan tenaga panas. Tiga
lawan itu terkejut bukan main. Meski tak menyaksikan
langsung, namun mengetahui dua rekannya sudah menjadi
korban Geni, mau tak mau timbul rasa keder dalam hati.
Kalau lawan terkejut melihat kehebatannya, Geni pun tak
pernah menyangka bisa kejadian begitu. Di luar dugaan,
kepandaiannya kini sudah maju pesat terutama kekuatan
tenaga dalamnya. Pukulan Geni belum tiba, tapi hawa panas
sudah menerjang. Dua lelaki itu tak bisa menghindar. Mau tak
mau, dua punggawa itu menarik serangan mereka yang
mengarah ke kakek tua. Dua lelaki itu beralih menghadapi
serangan Geni yang seperti luapan air bah. Yang seorang
mengirim beberapa tusukan berantai dengan sepasang
tombak pendek. Rekannya yang bertangan kosong memukul

dengan dua tangan sambil mengerahkan segenap tenaga
dalam. Seorang lagi, yang paling tinggi ilmunya, tetap
melanjutkan pertarungan dengan kakek tua.
Tusukan berantai sepasang tombak mendatangkan
kesiuran angin tajam, pertanda tenaga lelaki itu cukup besar.
Geni tak berani ambil resiko, ia mengelak dengan bergerak ke
sisi kanan. Saat itu pukulan tenaga dalam lawan lainnya sudah
menghadang di depan mata. Tak ada ruang gerak lagi, Geni
memukul dengan dua tangan, mendorong ke depan.
Terdengar suara orang mengeluh. Lawannya itu terdorong
mundur sampai tiga langkah. Gerakan Geni masih berlanjut,
menyongsong serangan tombak lawan. Ia melancarkan
pukulan melingkar. Lawan mengelak ke samping sambil
menikam dengan dua tombak. Geni membatalkan serangan.
Ia merundukkan kepala. Tubuhnya membungkuk ke depan
seperti sengaja menabrak tusukan tombak. Lawannya
terkejut, tapi tentu saja gembira. "Cari mati kau!"
Pada saat tombak sudah di depan hidung, mendadak
kepala dan tubuh Geni seperti membal melenting ke belakang.
Itu memang gerak tipu yang menjadi ciri jurus Nanawidha dari
Bang Bang A.lum Alum. Tubuhnya melenting ke belakang
sekaligus kaki kanan naik menerpa pergelangan tangan lawan.
Kena! Tombak terpelanting ke udara!
Pada saat itu lelaki yang satu dengan curang menghantam
punggung Geni. Mabuk kemenangan, itu yang membuat Geni
lengah. Ia baru sadar ketika pukulan itu hanya berjarak
sejengkal dari punggungnya. Terlambat untuk mengelak! Geni
cuma bisa menahan napas untuk mengurangi luka dalam.
Buk! Pukulan dua tangan yang digerakkan tenaga dalam
tingkat tinggi itu menghantam punggungnya, Geni terlempar
sampai terduduk di tanah. Sesaat ia merasa mual. Ia merasa
sakit seperti ribuan semut menerobos pori-pori di
punggungnya. Aneh, sesaat kemudian, sakit itu lenyap begitu
saja. Tubuhnya kembali segar, aliran darah berjalan lancar.

Geni merasa heran. Belum sempat berpikir, ia melihat lawan
datang memburu dengan mengirim pukulan mematikan.
Geni bangkit dari duduk. Dua tangannya terentang luwes,
itulah jurus Makanjaran (Menari dengan Lengan Terkembang)
dari Garudamukha.
Lawan merasa heran. Diam-diam ia mengagumi tenaga
dalam Geni yang meskipun sudah terkena pukulan telak jurus
Kelabang tapi masih sanggup berdiri. Bahkan sanggup
melanjutkan tarung. Tapi punggawa istana itu tak peduli.
"Sekali lagi kena Aji Kelabang, kau pasti modar” serunya.
Tak pernah terpikir oleh punggawa itu ada ilmu sehebat
Wiwaha. Dia tak tahu, bahwa saat Geni mengetahui pukulan
akan menimpa punggung saat itu juga tenaga Wiwaha
melindungi bagian tubuh di sekitar punggung. Itu sebab Geni
hanya terlempar. Dan pukulan Kelabang hanya menerobos
sesaat, dan saat berikut sudah terusir oleh tenaga Wiwaha
Lelaki itu mengerahkan segenap tenaga dalam. Nafsu
membunuh memancar dari sepasang matanya. Geni bersikap
biasa. Tak terhindarkan lagi terjadi benturan tenaga Geni
mengibas dua tangan. Begitu pukulan lawan membentur dua
tangannya, Geni memutar dan mendorong dalam jurus
Gongkrodha (Kemarahan Luar Biasa) dan Garudamukha.
Suara tulang patah diiringi suara orang mengeluh
kesakitan. Lelaki itu terhuyung-huyung mundur, dua
tangannya tergantung lemas tak bertenaga. Ia berkata
dengan wajah pucat. "Ilmu apa itu... siapa kamu...?"
Tanpa ada yang memberi komando, mendadak perkelahian
berhenti. Semua orang seperti sepakat. Mereka bertanyatanya
siapa pengemis gembel yang dengan beberapa pukulan
sudah menjatuhkan empat punggawa keraton.
Geni tersenyum ke gadis kurus. "Kau baik-baik saja nona?"

Gadis kurus memandang heran. "Siapa kau, apakah kita
pernah berjumpa?"
"Ah kau tentu lupa, kita pernah bertemu di....," mendadak
saja Wisang Geni teringat akan dirinya. Wajahnya dipenuhi
kumis dan brewok yang lebat bahkan sampai menutupi
mulutnya. Rambut panjang tak terurus. Pakaian dekil dan
compang-camping. Ia tak melanjutkan kata-katanya.
Penampilannya yang macam pengemis, tentu saja tak dikenal
orang. Wulan pun tak mungkin bisa mengenalnya lagi. Ia batal
melanjutkan kata-katanya. "Tentu saja kau tidak mengenalku!
Ha... ha...."
Tertawanya tiba-tiba terhenti. Dia melihat semua orang
memandangnya aneh. Geni menatap semua orang di situ.
"Apakah kalian merasa perlu bertanya siapa aku?"
Lelaki separuh baya yang tadi bertarung sengit dengan
kakek tua itu maju. Rupanya dialah pemimpin rombongan.
"Sampean telah ikut campur dan menggagalkan usaha dan
perintah Paduka Baginda Raja Kediri. Itu sebabnya kami ingin
tahu siapa nama sampean, pendekar yang berilmu tinggi yang
berani menentang perintah Baginda Raja?"
"Aku tak ada urusan dengan kerajaan. Aku cuma tidak
senang melihat kalian yang mengandalkan jumlah orang lebih
banyak mengeroyok empat orang, itu tidak adil dan aku tidak
suka!"
"'Sampean harus mengerti bahwa sekarang ini sampean
sudah tergolong musuh kerajaan. Katakan nama sampean,
hutang ini akan kami bayar kembali!"
"Namaku tak perlu kalian tahu. Dan kalau mau bayar
hutang ini, boleh saja, kapan dan di mana saja kita bertemu!"
"Katakan namamu, atau mungkin kau takut pembalasan
kami? Seorang pendekar berani berbuat, berani bertanggung
jawab."

"Persetan dengan pendekar atau bukan pendekar. Sekali
aku tidak mau menyebut nama, selamanya tak akan kuberi
tahu!"
Lelaki itu menoleh ke rekan-rekannya, tampak ia merasa
geram Tetapi ia tahu persis kekuatan pihaknya melemah dan
kini berada di bawah angin. Empat rekannya sudah terluka,
apalagi di pihak sana ada pengemis brewok yang kosen dan
misterius.
Saat itu mata Wisang Geni bentrok dengan sepasang mata
punggawa wanita yang tadi kena pukulan tenaga dingin. Mata
itu memancarkan sinar memelas. Tubuh wanita itu menggigil,
rupanya rasa dingin belum juga hilang. Tampaknya luka
parah. Tubuhnya dipapah rekannya yang wanita.
Geni teringat akan keadaannya ketika terluka oleh pukulan
Kalayawana. Ia terserang rasa dingin yang amat sangat
hampir setiap hari. Apakah wanita ini akan menderita seperti
apa yang dirasakannya waktu itu?
Tiba-tiba Geni melesat ke wanita itu. Punggawa wanita
yang memapah rekannya terkejut. "Hei apa yang kau
lakukan?" Rekan-rekannya yang lain memburu. Tapi mana
bisa mendahului gerakan Geni yang menggunakan Antarlina
(Menghilang) jurus paling handal dari Waringin Sungsang.
Geni seperti hilang dari pandangan.
Punggawa wanita itu merasa angin menerpa wajahnya. Ia
tahu Geni berada di depannya. Ia melepas tubuh rekannya,
mencabut pedang, memukul dengan tangan kiri diikuti
tebasan pedang ke arah bayangan Geni.
Sambil tetap maju, Geni merunduk dari tebasan pedang,
mengelak dari pukulan lurus lawan. Ia melonjorkan tangan
kanan mendorong wanita itu pergi. Tangan kiriinya
menjambret lengan wanita yang terluka. Saat itu tiga
punggawa lelaki sudah sampai di situ. Tapi mereka ragu-ragu
menyerang melihat tangan Geni menggenggam lengan

rekannya yang terluka. "Kalian diam di tempat, sekali kepruk
temanmu ini akan mati!"
Semua orang terdiam. Punggawa yang menjadi pimpinan
berteriak. "Itu bukan tindakan pendekar!"
"Memang aku bukan pendekar," berkata demikian, tangan
Geni cepat menotok dua belas titik di punggung dan pundak
wanita itu. Sebat dan cepat. Telapak tangannya menempel di
punggung.
Punggawa wanita yang terluka itu merasa hawa panas
menerobos punggung, berputar-putar di seluruh tubuhnya.
Sesaat kemudian ia muntahkan darah beku. Saat itu juga Geni
mendorongnya ke arah rekan-rekannya. Secara naluriah
wanita itu melakukan salto, jatuh berdiri di samping teman
wanitanya. Ia tak lagi menggigil. Sudah sembuh!
Semua orang diam, terpaku di tempat. Satu lagi gebrakan
aneh lelaki brewok itu. Menyerang, merebut dan
menyembuhkan orang yang tadinya adalah lawan.
Gerakan Geni juga menakjubkan semua orang. Itulah ilmu
ringan tubuh tingkat tinggi dan langka. Gerakan yang sulit
diikuti mata. Caranya mengobati luka punggawa wanita juga
menunjukkan penguasaan ilmu pengobatan serta tenaga batin
yang tinggi.
Punggawa wanita memberi hormat. "Terimakasih kamu
sudah menolong, tetapi..." Ia tak bisa melanjutkan katakatanya,
wajahnya merah menahan malu.
Pemimpin rombongan punggawa segera ke depan.
"Pertolonganmu itu tidak bisa menghapus dosa-dosamu
kepada kerajaan Kediri. Kami, dari regu Sinelir, tetap akan
mencarimu untuk menagih hutang ini, kamu sudah dianggap
pemberontak." Berkata demikian, lelaki itu mengibaskan
tangan Sesaat kemudian mereka menghilang dari pandangan.

Geni tak peduli. Ia masih meresapi kegembiraan. Tidak
disangka hanya dalam waktu sekitar seratus hari, ia sudah
salin rupa. Dari seorang yang terluka parah dan nyaris mati,
menjadi seorang yang memiliki kepandaian silat yang begitu
tinggi. Mendadak saja ia merasa kesiuran angin disertai
seruan, "Awas serangan!"
Ada orang menyerangnya. Geni memutar tubuh setengah
putaran dengan jurus Paghasa (Pergeseran Kaki dalam Jarak
Dekat) dari Waringin Sungsang. Mudah saja ia lolos dari
serangan. Ternyata kakek tua itu yang menyerang. Geni
heran, apa kesalahan yang dilakukan nya? "Tunggu dulu, hei
kenapa kamu menyerangku?"
Kakek itu tak menjawab. Malah serangan semakin gencar.
Sepak terjangnya mendatangkan angin kencang dan hawa
panas luar biasa. Anehnya, semua jurus yang dimainkan si
kakek, tidak asing bagi Geni. Itulah dua belas jurus luar biasa
dari Garudamukha.
Berturut-turut kakek itu menempurnya dengan tiga jurus
yakni Warayangungas, Sikepdhebak, Dekungpulir. Geni
terdesak mundur. Ada sebabnya mengapa Geni terdesak. Dari
semula Geni sudah tahu kakek itu menguasai jurus
Garudamukha. Karenanya ia tak berani sembarangan
menggunakan tenaga Wiwaha. Siapa tahu, kakek ini salah
seorang ketua Lemah Tulis. Ia tak berani kurang ajar. Tapi
lawan yang dihadapi Geni kali ini bukan sembarang orang. Itu
sebab begitu konsentrasinya terpecah, kontan pukulan kakek
itu menampar bahunya.
Geni terpental mundur. Rasa panas membakar bahunya. Ia
mengerahkan tenaga dalam dan sekejap kemudian panas itu
lenyap. Belum sempat ia menentukan sikap, serangan kakek
itu datang lagi. Terdengar bentakan orang tua itu. "Keluarkan
ilmu simpananmu!"
Kakek im kembali menyerang dengan jurus-jurus
Garudamukha. Dua jurus sekaligus Shuhdrawadan

Gongkrodha. Semuanya mengarah titik kematian, ulu hati,
pelipis, kemaluan, jantung, tenggorokan, pusar dan kepala.
Sepanjang pertarungan Geni hanya menggunakan Waringin
Sungsang untuk menghindar. Tapi ini saja tak cukup. Ia
terdesak hebat. Mau tak mau akhirnya ia membalas dengan
jurus dari Bang Bang Alum Alum.
Pertarungan sengit terjadi. Geni yang bertarung setengah
hati, makin terdesak. Kembali dua pukulan menghajar pundak
dan pahanya. Dan kali ini ia tak sempat untuk berbenah diri.
Pundak dan pahanya terasa panas seperti terbakar. Terpaksa
untuk menolong diri Geni memainkan jurus-jurus
Garudamukha. Kali ini pertarungan jadi imbang. Ke mana
serangan kakek itu tertuju, ke situ Geni menahannya dengan
jurus yang tepat. Persis seperti latihan saja.
Geni teringat, dulu ia sering berlatih tarung dengan guru
Padeksa menggunakan cara ini. Hanya bedanya, waktu itu
tenaga batinnya tak ungkulan untuk adu tenaga. Kali ini lain.
Mulanya dalam adu tenaga Geni berlaku setengah-setengah.
Tapi karena tenaga kakek itu begitu kuat, Geni akhirnya
menggunakan seluruh tenaga batin. Pertarungan menjadi
imbang. Keduanya sama kuat. Kakek itu lebih matag
bertarung dan memainkan Garudamukha, sedang Geni lebih
menguasai ilmu ringan tubuh dan lebih unggul tenaga
dalamnya. Tak terasa pertarungan berlangsung puluhan jurus.
Seperti waktu menyerang yang begitu tiba-tiba, mendadak
saja kakek itu menghentikan serangan.
"Hebat, tak dinyana ada murid Lemah Tulis yang begini
handal. Siapa kau, murid siapa kau?" Kakek itu memandang
Geni dengan sorot mata wibawa. Suaranya pun terdengar
mantap, memerintah.
"Rupanya ia sengaja menguji ilmu Garudamukha. Ia
mengenalku ketika tadi aku memainkan jurus Makanjaran dan
Gongkrodha. Tapi siapa kakek ini." Berpikir demikian, tanpa
dibuat-buat Geni benar-benar merasa takluk. "Namaku,

Wisang Geni, anak Gajah Kuning dan Sukesih. Aku murid
Manjangan Puguh."
"Jangan bohong, dari mana kau peroleh Garudamukha itu?"
"Dari guru Padeksa".
"Apa arti Parasada Atishasha?"
"Itulah sikap kebesaran jiwa dan percaya diri untuk menjadi
menara yang tinggi. Dari ketinggian yang luar biasa ini, kita
bisa melihat semua gerakan lawan dengan jelas."
Kakek itu memandang Geni dengan tajam. Geni merasa
bulu kuduknya berdiri. "Apa saya salah bicara?"
Kakek menggeleng kepalanya. Tiba-tiba matanya basah.
"Di mana kangmas Padeksa, gurilmu itu?"
"Saya tidak tahu di mana guru berada. Maafkan saya yang
tak kenal peradaban, tapi dengan siapa saya berhadapan?"
Itulah kata-kata paling sopan yang pernah diucapkan Wisang
Geni.
"Namaku sebenarnya Gajah Watu. Tapi kini orang
mengenalku sebagai Ki Bhojana".
Wisang Geni bagai disengat kalajengking. Kaget luar biasa.
Lama ia bersama Padeksa mencari paman guru yang satu ini
tetapi tak pernah ketemu. Tak dicari justru jumpa di sini. Geni
menjatuhkan diri. "Saya haturkan sungkem kepada paman
guru atau mungkin saya harus menyebut kakek guru, karena
saya putra Gajah Kuning dan Sukesih."
"Ha... ha... ha... Mana bisa kau jadi cucu muridku. Kau
murid Padeksa, berarti aku ini paman gurilmu."
"Tetapi ayah dan ibu saya adalah murid kakek Bergawa.
Dan saya juga murid paman Gubar Baleman."
"Tidak peduli, itu urusan lain. Kau tetap murid
keponakanku. Kau pilih saja, kamu jadi keponakan muridku

atau menjadi keponakan murid dari muridku yang perempuan
ini?"
Berkata demikian, Gajah Watu menunjuk gadis kurus
berwajah cantik itu. Gadis cantik itu tertawa riang. "Guru, aku
segan dan tidak mau punya keponakan murid yang
kepandaiannya begini hebat.”
Kakek itu tertawa keras. "Kenapa kau ngomong pakai
tetapi... apa yang kurang dari Wisang Geni ini?"
Gadis kurus itu tertawa kecil. Dengan matanya yang jenaka
ia memandang Geni dan berkata dengan agak malu-malu.
"Kalau mau jadi keponakan muridku, harus berpakaian bersih,
harus mencukur jenggot dan kumis harus...."
"Ah itu kan mudah saja...."
Berkata demikian, kakek itu menoleh kepada pemuda baju
putih. "Pinjam kerismu, Den Mas"
Kontan saja Geni melangkah mundur. "Jangan, jangan.
Saya mau dan sedia menjadi keponakan murid paman Gajah
Watu."
"Kau bersedia karena terpaksa?" tegas kakek itu.
"Tidak, tidak terpaksa. Aku memang lebih suka begitu.
Karena memang itu yang sebenarnya, aku kan murid guru
Padeksa. Terimalah sungkemku, paman Gajah Watu."
"Hei... kau harus memanggilku paman Bhojana. Itu namaku
yang sekarang!"
Gadis kurus itu nyeletuk, "Bagus, aku kini memperoleh
kakak seperguruan yang ilmunya jauh lebih tinggi dari aku."
Gadis itu menoleh dan tersenyum kepada pemuda baju putih.
"Kau terlalu memujiku, nona," kata Geni agak malu.
"Eh tadi kau menegurku seakan-akan kita pernah bertemu,
di mana kita pernah ketemu, aku benar-benar tak ingat lagi?"

"Nona, memang tak mengenalku. Sekarang ini dandananku
macam pengemis, kita dulu pernah bersama-sama seorang
perempuan, bertiga, mengeroyok dan membunuh
Tambapreto, masih ingat?"
Gadis itu tertawa. "Oh itu kamu? Tapi dulu ilmu silatmu
tidak sehebat sekarang? Hei, mana kawan wanitamu, dia pasti
dari Lemah Tulis juga?"
"Iya namanya Walang Wulan. Dia murid paman Bergawa.
Berarti dia saudara perguruanmu".
Mereka berkenalan. Wisang Geni terkejut mengenal tiga
orang muda yang ditolongnya. Gadis kurus cantik berkulit
putih, tidak lain adalah puteri keraton yang dicari-cari, puteri
Waning Hyun. Ia lebih terkejut lagi mengetahui pemuda baju
putih itu, adalah putera mahkota keraton Tumapel yakni
pangeran Ranggawuni, putera dari Baginda Raja Anusapati.
Sedang pemuda berbaju hitam adalah saudara kandung puteri
Hyun, Mahisa Cempaka.
Entah bagaimana, mendadak ada rasa tidak suka muncul
dalam dirinya. Geni tak bisa mengingkari dendam sejarah.
Orang-orang dari keraton Tumapel dulu yang membantai dan
menghancurkan Lemah Tulis.
Orangtuanya, meski dibunuh Kalayawana, tapi pasukan
Arek merupakan bagian dari peristiwa berdarah itu. Dan tiga
orang muda ini, tak lain keturunan Ken Arok. Keturunan dari
orang yang paling bertanggungjawab atas musnahnya
perdikan Lemah Tulis.
Tapi bagaimana bisa terjadi, paman Gajah Watu mengambil
puteri Hyun sebagai murid. Dan bagaimana lagi hubungan
paman Gajah Watu dengan dua pangeran itu? Geni bingung.
Apa yang dirasa Geni, tanpa sadar memancar dari wajah
dan sinar matanya. Gajah Watu melihat ini. Ia mengerti.
Tanpa sadar orang tua itu menghela napas. Ia tahu persis apa
itu dendam. Karena dendam juga maka perjalanan hidupnya

berubah. Ia masih ingat, dua kali dia berusaha menerobos
istana Tumapel, untuk membalas dendam dan membunuh
raja. Pertama di tahun 1222 dan yang kedua di tahun 1239.
Yang pertama, gagal membunuh Ken Arok karena keraton
dijaga banyak punggawa berilmu tinggi yang berasal dari para
pendekar kenamaan. Tujuhbelas tahun kemudian (1239) atau
duabelas tahun setelah kematian Ken Arok (1227) yang
kemudian digantikan Anusapati, dia kembali menyatroni
keraton. Baginya membunuh raja Tumapel adalah tugas
perguruan. Raja Tumapel, Anusapati meski bukan keturunan
Ken Arok melainkan putra Ken Dedes dengan suami
pertamanya Tunggul Ametung, tetapi tetap saja adalah raja
Tumapel. Malam itu dia berhasil menyusup sampai ke dalam
keraton. Di taman keraton ia memergoki bayangan berlari
dengan gesit. Orang itu bertopeng.
Rasa curiga menuntunnya membuntuti bayangan tersebut
yang menggendong sesuatu di punggung. Pada saat itu
terdengar suara ribut, tanda rahasia istana berbunyi. Rupanya
istana kebobolan musuh. Gajah Watu sadar malam itu tak
mungkin meneruskan niat membunuh raja. Ia memutuskan
lari menyelamatkan diri. Tiba-tiba dia mendengar suara
berteriak minta tolong. Suara itu, suara anak kecil. Rupanya
orang itu menculik anak kecil.
Sesaat ia berpikir, jangan-jangan yang diculik salah seorang
pangeran. Tanpa pikir panjang lagi ia bergerak lebih cepat Ia
berhasil mengejar. Bertarung beberapa jurus, ia tahu
lawannya sedang terluka. Tahu tak mungkin menang, malah
jiwanya terancam, orang bertopeng itu melempar anak kecil
gendongannya dan kabur cepat.
Gajah Watu memeriksa keadaan anak kecil itu yang
ternyata gadis kurus. Gadis kecil itu tersenyum padanya.
"Terimakasih pak tua. Kau sudah menolongku. Eh, sebagai
tanda terimakasih nanti kau kuberi hadiah emas dan pakaian
bagus-bagus."

Gajah Watu terkesima. Gadis kecil ini punya nyali luar
biasa. Ia sama sekali tak merasa takut. Suaranya wajar-wajar
saja.
Pada saat itu terdengar kesiuran angin. Beberapa bayangan
berkelebat mengepung dan menyerang Gajah Watu.
Semuanya ada enam orang. Empat orang menyerang. Dua
lainnya menjaga gadis kecil itu. Gajah Watu kini benar-benar
sibuk. Empat orang itu berilmu tinggi dan dalam sekejap saja
terjadi pertarungan sengit.
Gadis kecil itu berteriak-teriak kegirangan. Lucunya, ia
berteriak membantu Gajah Watu. Ia balikan mengolok-olok
empat punggawa istana itu. Tak lama kemudian tempat itu
sudah dikepung banyak orang. Tak mungkin lagi Gajah Watu
bisa lolos.
Seorang lelaki berjubah panjang mendekati pertarungan.
"Huh, betapa beraninya sampean, dengan kepandaian
sejengkal itu berani membentur istana Tumapel."
Mendadak gadis kecil itu berteriak, "Hei kamu jangan
mengejek pak tua itu. Dia yang menolongku. Kalau bukan
karena dia, tentu aku sudah dibawa kabur jauh oleh penculik
itu."
"Apa katamu, Den Puteri? Dia bukan penculikmu?"
"Kamu semua apa kerja kamu, penculik itu masuk keraton
dan menerobos sampai keputrian, kalian di mana? Kerjamu
cuma tidur, dasar goblok."
"Maaf kami terlambat datang tuan putri."
"Sudah jangan banyak omong, cepat hentikan perkelahian
itu."
Malam itu Gajah Watu melihat kesempatan emas. Ia
dibawa menghadap ke hadapan Baginda Raja Anusapati.
Sekali lagi gadis kecil itu menolongnya, memaksa baginda raja
mengampuni Gajah Watu, juga memberi ijin tinggal di istana

menjadi guru pribadinya. Gadis kecil itu ternyata puteri
Waning Hyun, keponakan Anusapati Nenek putri Hyun adalah
Ken Dedes. Ayah Waning Hyun, Bhatara Parameswara adalah
putra Ken Dedes dari suami Ken Arok. Sedang Anusapati
adalah putra Ken Dedes dari suami Tunggal Ametung.
Sejak itu Gajah Watu tinggal di istana, menggunakan nama
samaran Ki Bhojana. Dia menjadi guru silat putri Hyun.
Ternyata meski sangat dimanja, tetapi Waning Hyun sangat
rajin berlatih silat. Jika sebelumnya dilatih banyak guru secara
bergantian, kini ia hanya bersedia berlatih di bawah bimbingan
Gajah Watu.
Gajah Watu pura-pura senang mengabdi keraton tetapi
dalam benaknya menanti kesempatan bertindak. Waktu
berjalan terus, tahun berganti tahun Gajah Watu akhirnya
sadar, bahwa dendam hanyalah ilusi dari nafsu angkara.
Tegakah ia membunuh gadis kecil yang tak tahu apa-apa
tentang dendam Lemah Tulis, hanya lantaran ia adalah cucu
Ken Arok?
Cerita Gajah Watu tentang pengalamannya tak bisa
melumerkan bara dendam dalam sanubari Geni. Dendam bagi
Gajah Watu diartikan sebagai ilusi nafsu angkara. Selama
belum terlampiaskan selama itu juga ilusi bergelayut di
pelupuk mata. Bagi Wisang Geni, dendam adalah semangat.
Dendam sama dengan tujuan hidup. Karena dendam itulah ia
bisa lolos dari kematian. Dendamlah yang memelihara dan
membesarkannya selama ini. Ia tak mungkin bisa menghapus
ingatan masa kecil saat Manjangan Puguh menggendong
membawanya lari dari istana yang sudah dikepung musuh.
Meski waktu itu usianya delapan tahun tetapi ia mengerti
kenapa mereka kabur dari istana. Masih lekat di ingatannya,
hiruk pikuk di keraton. Semua orang berhambur ingin
menyelamatkan diri.
Di mana-mana orang berteriak tentang kekalahan pasukan
keraton di perang Ganter. Orang-orang berlarian sambil

membawa harta benda dan keluarganya. Geni menahan
tangis. Ia menanyakan keadaan orangtuanya. Dari jawaban
gurunya, ia merasa orangtuanya dalam bahaya besar. Tapi ia
tak boleh menangis, itu pantangan bagi seorang pendekar,
begitu yang diajarkan kepadanya.
Geni telah melalui hari demi hari yang penuh kekerasan
dan kegersangan hidup. Tak ada kasih sayang ibu, tak ada
kebanggaan memiliki seorang ayah. Yang ada hanyalah
perasaan dendam yang melecut diri untuk giat berlatih ilmu
silat. Dendam bagi Geni adalah urusan besar.
Mengetahui Warung Hyun dan dua kawannya adalah
keturunan Ken Arok, Geni tak bisa menyembunyikan perasaan
tidak sukanya. Dia tak bisa berpura-pura. Sikapnya dingin dan
kaku. Tentu saja sikap ini menjengkelkan Gajah Watu. Tapi
orangtua ini tak bisa memaksa Geni mengubah sikap. Suka
atau tidak suka, Gajah Watu harus menerimanya sebagai hal
yang wajar.
Tidak demikian dengan tiga orang muda itu. Namun reaksi
ketiganya tidak sama. Ranggawuni berpikir sikap Geni itu
lantaran malu dan segan setelah mengetahui mereka
keturunan keraton. Mahisa Cempaka pun berpikiran sama.
Tapi Waning Hyun seakan bisa membaca jalan pikiran Geni.
"Ki Wisang Geni, bersama kami, anda tak perlu basa-basi.
Kalau berada di luar keraton, kami adalah orang biasa. Jadi
kau tak perlu sungkan."
Wisang Geni menyahut dingin ucapan Ranggawuni "Mana
berani aku kurang ajar terhadap seorang putera mahkota yang
tak lama lagi akan menjadi Yang Dipertuan di kerajaan
Tumapel."
Ranggawuni dan Mahisa Campaka menganggap jawaban
Geni adalah sejujurnya. Tapi Waning Hyun merasa adanya
nada sinis. Hanya sebelum gadis itu menjawab, Gajah Watu
sudah mendahului. "Geni, ada yang ingin kutanyakan
kepadamu."

Gajah Watu memisahkan diri bersama Geni. Ia menanyakan
tentang ilmu Geni yang bertenaga panas dan dingin. Ia tahu
pasti ilmu hebat itu bukan ajaran Lemah Tulis. Geni
menceritakan pengalamannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;