Kamis, 22 Mei 2014

Ksatria Hutan Larangan 2

Pangeran Muda.
"Tapi waktunya sangat kurang, Anom. Kalau waktu berlatih
saya gunakan untuk memperbaiki napas dan daya tahan saya,
saya tidak akan dapat mengejar pelajaran-pelajaran lain yang
masih sangat banyak," jawabnya.
"Pelajaran-pelajaran apa lagi yang harus kita hadapi?"
tanya Pangeran Muda dengan penuh keingintahuan.
"Oh, engkau datang terlambat, jadi tidak sempat
mendengar apa-apa yang akan kita pelajari sebelum kita
disumpah menjadi calon-calon puragabaya yang
sesungguhnya. Pertama pelajaran gerakan ini...”
Sebelum Janur selesai dengan kalimatnya, Pangeran Muda
menyelanya, "Pertama, penguasaan keseimbangan."
"Bukan," ujar Janur. "Pertama adalah latihan gerakangerakan
yang menyatukan gerakan penghindaran dan
penyerangan. Penguasaan keseimbangan bukanlah pelajaran,
tetapi penyembuhan terhadap kebiasaan-kebiasaan jelek yang
telah melekat pada diri kita. Sebenarnya tulang-tulang serta
otot-otot kita dibuat sedemikian rupa hingga kita akan selalu
seimbang. Akan tetapi, kita sering lalai dengan otot-otot dan
tulang-tulang kita itu, sering menumbuhkan kebiasaankebiasaan
jelek, hingga akhirnya otot-otot serta tulang-tulang
kita berkembang ke arah yang salah. Maka rusak pulalah
keseimbangan kita. Hal ini sangat berbeda dengan binatangbinatang,
apalagi binatang-binatang buas yang hidup di alam
bebas. Mereka menerima bakat-bakat tubuhnya dari Sang
Hiang Tunggal dan mempergunakannya sesuai dengan
alamnya, hingga penguasaan mereka terhadap tubuh dan

keseimbangannya sangatlah baik. Nah, waktu kita sudah
datang, pelatih-pelatih tidak mengajarkan sesuatu kepada
kita, tetapi memberikan apa-apa yang sebenarnya kita
lupakan di masa lalu."
"Kalau begitu, sudah empat bulan ini kita belum selesai
dengan pelajaran pertama, Janur?"
"Memang, belum apa-apa. Apa artinya empat bulan bagi
masa pendidikan yang lamanya akan mencapai sepuluh tahun,
sekurang-kurangnya?"
"Sepuluh tahun?" seru Pangeran Muda keheranan. "Lebih,
mungkin lima belas tahun. Dan selama itu kita akan pelajari
semua mata pelajaran setahap demi setahap. Setelah
penguasaan gerak, kita akan digembleng dalam ketangkasan.
Setelah ketangkasan, pancaindra kita dipertajam. Selama itu
kita diharuskan bertapa berulang-ulang, untuk membersihkan
jiwa kita dari nafsu-nafsu dan keinginan yang tidak pantas
bagi seorang puragabaya. Kita pun akan terus-menerus
didampingi oleh Eyang Resi yang mengajarkan ilmu-ilmu
agama yang menjadi dasar kepahlawanan. Dan selama itu,
kita akan berulang-ulang dikirimkan untuk berlatih, yaitu
dengan menghadapi musuh secara sungguh-sungguh.
Mungkin kita akan dikirim ke daerah-daerah yang diganggu
perampok atau bajak laut. Kalau peperangan menghebat, kita
akan dikirim sebagai pengawal panglima-panglima atau
panglima-panglima besar. Dalam setiap kesempatan, ilmu kita
akan diuji. Dan siapa tahu kita gugur," kata Janur sambil
senyum.
'Janur, apakah dalam sepuluh tahun itu kita dibolehkan
pulang kepada keluarga?" tanya Pangeran Muda agak malumalu.
"Saya tidak tahu ... tapi kita dapat bertanya kepada ...
Pamanda Rakean," jawab Janur, sambil memandang dalamdalam
ke arah mata Pangeran Muda. Tampaknya dia pun agak
malu.
"Bagaimanapun juga sudah sewajarnya kita rindu pada
ayah dan ibu serta saudara-saudara kita, Janur," kata

Pangeran Muda untuk menghilangkan rasa ragu-ragu yang
sama-sama mereka pendam.
"Saya sudah rindu sekali, Anom, bahkan sering
memimpikan mereka."
"Saya juga," jawab Pangeran Muda. Lalu setelah
termenung melanjutkan, "Ya, sebaiknya kita bertanya kepada
Pamanda Rakean, tetapi jangan dalam waktu dekat ini. Lebih
baik bertanya nanti setelah tahun baru mendekat."
Tampak Janur menyetujui usul itu, kemudian ia bertanya,
"Berapa orangkah saudaramu?"
"Saya anak kedua, kakak saya wanita, sudah berumur tujuh
belas tahun."
"Adik saya yang terkecil sedang lucu-lucunya," kata Janur.
"Ketika saya pergi dia menangis mau ikut. Dalam mimpi, saya
berulang-ulang melihatnya," sambungnya sambil tersenyum,
tetapi matanya penuh dengan kenangan.
"Baiklah," kata Pangeran Muda, "saya akan mulai berlatih,
tolong perhatikan."
Berdiri Pangeran Muda di antara dua bangku tempat
mereka tidur, lalu melakukan gerakan-gerakan, di mana
tangan dan kaki dalam berbagai bentuk berputar-putar pada
tumpuan berat badan. Janur memerhatikan Pangeran Muda
sambil duduk di bangku, sekali-sekali dia memberikan
pendapat, kadang-kadang berdiri membetulkan, kadangkadang
mendorong Pangeran Muda kalau Pangeran Muda
tampak keluar dari pusat titik berat badannya.
Demikianlah latihan-latihan tambahan yang biasa dilakukan
oleh Pangeran Muda dengan bantuan Janur atau Raden Jalak
Sungsang itu. Biasanya latihan tambahan itu dilakukan kalau
siangnya latihan tidak terlalu melelahkan, atau kalau pelajaran
agama tidak diberikan oleh Eyang Resi Tajimalela. Dengan
latihan-latihan tambahan itu, akhirnya Pangeran Muda tidak
terlalu ketinggalan dalam kemampuan dan pengetahuannya
tentang segala pelajaran.

LATIHAN-latihan gerakan dan keseimbangan terus-menerus
dilakukan. Tujuannya adalah agar gerakan-gerakan itu
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan
bergerak pada tiap-tiap calon. Seandainya gerakan-gerakan ini
sudah menjadi kebiasaan, para calon tidak usah berpikir atau
mengatur siasat lagi kalau tiba-tiba mendapat serangan.
Seluruh tubuh, seluruh anggota badan akan bergerak
membuang serangan-serangan musuh dan memasukkan
serangan balasan sekaligus.
Adapun cara menanamkan pola-pola gerakan menjadi
kebiasaan ini dilakukan dengan sangat keras. Mula-mula
calon-calon dilatih hingga gerakan-gerakan sesuai dengan
pola-pola gerakan yang sudah ditentukan. Setelah itu, latihan
berkelahi berpasang-pasangan dimulai agar setiap calon dapat
merasakan sendiri guna dan keampuhan dari gerakan-gerakan
itu. Latihan ini dilanjutkan, yaitu dengan pemindahan tempat
atau waktu. Mula-mula latihan berkelahi berpasangan
dilakukan di lapangan depan candi, setelah itu dilakukan di
atas lapangan yang penuh dengan kerikil, kemudian di atas
lapangan yang penuh dengan batu-batu besar, kemudian
dilakukan di atas bidang yang sempit sekali, hingga kalau
seorang calon bergerak terlalu jauh, ia akan terjatuh ke
bawah. Terakhir latihan dilakukan di dalam air sedalam leher.
Airnya dipilih, mula-mula yang tenang, kemudian yang deras
arusnya. Demikian juga waktu latihan diubah-ubah, kadangkadang
siang, kadang-kadang malam, kadang-kadang subuh.
Dalam latihan-latihan itu tidak sedikit kejadian-kejadian
yang menyebabkan jatuh korban. Kadang-kadang ada pukulan
yang tidak terhindarkan, hingga terjadi cedera. Kecelakaan
terkilir atau patah rusuk adalah biasa, dan hal itu dirawat oleh
Pamanda Minda, seorang pelatih puragabaya yang ahli di
bidang pengobatan. Dari Pamanda Minda Pangeran Muda
mendapat penjelasan bahwa kalau calon-calon tidak boleh
lebih dari lima belas tahun umurnya saat masuk ke Padepokan
Tajimalela, hal itu berdasarkan dua pertimbangan. Pertama,

karena masa pendidikan yang lama; kedua, agar kalau terjadi
patah tulang mudah disambung lagi.
Di samping latihan menghindar dan menyerang serta
membiasakan gerakan-gerakan badan sesuai dengan polapola
yang ditentukan, terdapat pula latihan daya tahan.
Pertama, calon-calon diberi latihan-latihan yang setiap hari
harus dilakukan. Pagi-pagi ketika ayam-ayam hutan berkokok,
para calon harus sudah berdiri dengan tegak dan seimbang.
Pelatih menghitung sampai jumlah yang makin lama makin
banyak. Mula-mula seratus, kemudian lima ratus, kemudian
seribu, dan akhirnya dua ribu. Setelah berdiri ini calon
diperintahkan berlari, melalui lapangan, melalui padang
berbatu-batu, kemudian melalui hutan-hutan yang berpohon
dan berjurang-jurang. Latihan-latihan yang terutama
dilaksanakan untuk menggembleng penguasaan
keseimbangan ini diseling-seling dengan latihan-latihan daya
tahan lainnya.
Di antaranya terdapat latihan melakukan gerakan-gerakan
untuk waktu yang lama sekali dan hanya berhenti kalau sudah
ada perintah berhenti dari pelatih. Latihan yang sama
dilakukan dengan para calon berdiri di atas jembatan yang
hanya terbuat dari dua buah tambang ijuk besar.
Taraf lain adalah pelaksanaan gerakan di dalam danau,
dengan hampir seluruh badan terendam. Setelah itu, disusul
dengan gerakan di dalam sungai, dengan setiap calon
menghadap ke arah arus. Berat air danau sudah sangat
menguji daya tahan, arus sungai ternyata lebih berat lagi,
hingga banyak calon-calon yang hampir tenggelam karena
kelelahan. Seperti juga latihan penguasaan keseimbangan,
latihan ketahanan dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda.
WAKTU Pangeran Muda baru saja datang ke Padepokan
Tajimalela, yaitu pada hari pertama, sewaktu menunjukkan
tempat-tempat latihan Pamanda Rakean dan Mang Ogel
pernah menunjukkan sebuah jeram berganda. Jeram ini airnya
yang pertama terjun ke dalam sebuah kolam kecil yang

bundar ben-tuknya. Karena arusnya terjun di salah satu sisi
kolam itu dengan arah yang miring terjadilah putaran air yang
deras sekali, gemuruh, serta menguapkan titik-titik air. Ulakan
air ini kemudian keluar dari salah satu sisi bundaran itu, untuk
kemudian menghambur sebagai jeram baru yang jatuh di
sebuah sungai besar yang ada di bawahnya.
Cerita-cerita tersebar dari mulut ke mulut antara para calon
bahwa jeram ini merupakan jeram "pembunuh" yang setiap
tiga tahun meminta korban dari angkatan-angkatan calon
puragabaya yang berlatih di sana. Walaupun tak ada di antara
calon yang berani meminta pembenaran atas desas-desus itu
dari para pelatih—dan karena itu desas-desus, tetap tinggal
desas-desus saja—jeram itu tetap menjadi sumber kengerian
bagi calon-calon umumnya.
Kengerian ini ditambah dengan berbagai pengalaman yang
tidak dapat diterangkan dengan akal sehat. Dalam waktu
istirahat atau kalau para calon mendapat tugas mengambil
kayu bakar membantu panakawan, biasanya para calon
menghindari jeram itu. Akan tetapi, sering pula calon-calon
beristirahat tidak jauh dari jeram itu sehingga cukup jelas
mendengar deru air yang gemuruh.
Pada suatu kali Pangeran Muda bersama-sama Rangga
mendapat tugas membantu Mang Ogel mengambil kayu bakar
dekat jeram itu. Ketika mereka duduk-duduk beristirahat, di
antara deru suara air terjun itu seolah-olah terdengar jeritanjeritan
orang yang ketakutan dan sedang menghadapi Malakat
Maut. Pangeran Muda dan Rangga saling berpandangan, sadar
bahwa suara-suara itu dapat didengar oleh mereka berdua.
Maka, kedua anak muda itu pun berlarilah ke arah jeram,
dan memandang ke bawah, mencoba melihat kalau-kalau ada
orang yang terjatuh ke dalam ulakan air itu. Tapi tak seorang
pun mereka lihat di sana. Yang mereka lihat hanyalah air yang
berputar, yang samar-samar tampak di balik uap yang naik ke
angkasa. Kembali Pangeran Muda dan Rangga saling
berpandangan, kemudian seraya mundur mereka
meninggalkan jeram itu.

Setelah itu, tak terdengar suara jeritan-jeritan itu dan
mereka menyelesaikan tugas hingga usai. Akan tetapi, ketika
mereka akan pulang, dan sambil mengusung ikatan-ikatan
kayu bakar melangkah mengikuti Mang Ogel, jeritan-jeritan itu
terdengar kembali dengan jelasnya. Pangeran Muda pura-pura
tidak mendengar apa-apa dan berjalan terus. Demikian juga
Rangga, atau dia tidak mendengar apa-apa atau dia berpurapura.
Sedang Mang Ogel bernyanyi-nyanyi dan tampak seperti
tidak mendengar apa-apa pula. Setelah latihan jurus di dalam
danau dan sungai yang berarus, latihan dalam air yang
terakhir dilakukan di jeram itu. Setelah melakukan latihanlatihan
yang biasa dilakukan setiap hari, calon-calon
diperintahkan berlari ke arah jeram itu. Berdua-dua mereka
berbaris, antre untuk melakukan latihan. Para pelatih
memegang tambang-tambang ijuk besar untuk menurunkan
mereka. Ketika itu Pangeran Muda berdampingan dengan
Janur yang berdiri di ekor barisan.
Sepasang demi sepasang calon diturunkan dan setelah
pelatih melihat mereka tiba di tepi bundaran ulakan air,
tambang ditarik lalu calon diperintah untuk turun dan
mengambil kedudukan yang berlawanan di kedua sisi
bundaran. Begitu masuk air, mereka diperintahkan langsung
melakukan jurus menghantam arus air sambil mundur.
Dalam menghadapi arus yang sangat deras itu seorang
calon tidak boleh kehilangan keseimbangannya karena ia bisa
hanyut terbanting-banting oleh air menghantam cadas-cadas
yang runcing. Untuk mempertahankan keseimbangan itu, para
calon harus mengendalikan berat badan mereka dan dalam
sekejap harus melakukan sebanyak mungkin jurus agar tidak
hanyut. Di samping itu, karena arus dalam ulakan itu tidak
tetap, tetapi berbelok-belok sesuai dengan bentuk cadascadas
yang bertonjolan di tepi ulakan, setiap calon harus
dapat merasakan dengan setepat-tepatnya dari mana
datangnya hantaman air. Hanya dengan demikianlah seorang
calon akan dapat mempertahankan keseimbangannya
sementara melayani hantaman arus yang kuat dan berubahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ubah dari depan, sambil berpijak pada dasar ulakan yang
berbatu-batu itu.
Begitu pasangan pertama selesai diturunkan, terdengarlah
deru air menjadi lebih hebat gemuruhnya. Ulakan itu seolaholah
makhluk hidup, seekor binatang buas yang dengan
marah mencoba membunuh orang-orang yang mengusiknya.
Demikian juga, karena tenaga air ada yang melawan, yaitu
oleh tenaga pukulan calon-calon yang ada di dalamnya, buih
menyembur dan uap pun naik makin tebal. Gemuruh air,
membubungnya uap, dan teriakan-teriakan pelatih yang
memberikan perintah-perintah sungguh menggetarkan hati.
Terdengar setiap calon berdoa, menyerahkan diri kepada Sang
Hiang Tunggal dan Sunan Ambu.
Ketika waktu yang ditetapkan sudah terlampaui, tambangtambang
besar diturunkan oieh para pelatih, kemudian
tambang-tambang ditarik dengan bantuan para calon. Begitu
pasangan pertama selamat di bibir ulakan sebelah atas,
mereka dipeluk dan ditepuk-tepuk oleh kawan-kawannya,
kemudian dibaringkan di atas pasir untuk melepaskan lelah
dan diperiksa oleh Pamanda Minda kalau-kalau ada sendi yang
terkilir atau otot yang keluar dari kedudukannya. Setelah itu,
pasangan kedua menyambung giliran yang pertama dan
segala acara diulang kembali, di tengah-tengah gemuruh
jeram yang mengaum dan menggeram setiap kali pasangan
turun mengusiknya.
Pasangan demi pasangan melaksanakan giliran mereka dan
naik kembali untuk berbaring di pasir karena kelelahan.
Akhirnya, tibalah giliran Pangeran Muda dengan Janur.
Dengan membaca-baca doa-doa penyerahan diri di tangan
Sunan Ambu dan Sang Hiang Tunggal, Pangeran Muda dan
Janur memegang tambang masing-masing, lalu menuruni
tebing cadas yang menjadi dinding jeram itu.
Dalam jeram itu suasana hanya remang-remang saja,
karena uap begitu tebalnya, sedang suara gemuruh
memekakkan telinga, hingga seruan pelatih-pelatih sayupsayup
saja terdengar. Sayup-sayup terdengar perintah agar

Pangeran Muda dengan Janur mulai turun. Dari dinding cadas
itu Pangeran Muda melangkah turun, dan baru saja setengah
betisnya terendam, air seolah-olah menyambar dan
mengguncangkan keseimbangannya. Untung kaki Pangeran
Muda terlatih. Dengan sigap ditancapkannya kedua kakinya itu
ke cadas-cadas di tepi ulakan air, sambil terus merasa-rasakan
hantaman air. Perlahan-lahan Pangeran Muda masuk lebih ke
dalam ulakan, ke arah arus yang menderu. Dan secara tidak
diduga-duga, air melonjak, menghantam dadanya, tetapi
gerakan-gerakan yang telah melekat menjadi kebiasaan
menghindarkannya dari bahaya terpental. Akhirnya, tibalah
Pangeran Muda di tengah-tengah arus. Di sana Pangeran
Muda mulai melakukan gerakan-gerakan yang bersifat
melayani hantaman air yang berubah-ubah arah dan
derasnya. Karena perubahan arah dan deras hantaman air ini
cepat sekali, sambil mundur Pangeran Muda terus-menerus
melakukan gerakan-gerakan, sementara kedua kakinya
meraba-raba, mencari pijakan yang mantap.
Waktu yang sekejap itu dirasakannya sangat lama dan
kelelahan yang luar biasa mulai menyakiti setiap ototnya.
Berulang-ulang air hampir berhasil mengangkat pijakan
kakinya, berulang-ulang hantaman air menemui sasaran tanpa
dilayani dengan baik, hingga Pangeran Muda sempoyongan
sambil mundur.
Pada suatu saat terdengar suara batuk, dan suara tercekik
dari seberang. Kemudian Pangeran Muda merasa ada benda
licin yang menghantam bagian kiri pinggangnya. Suatu benda
lain menangkap kakinya, hingga dengan sempoyongan
Pangeran Muda harus mempertahankan keseimbangannya.
Sekali lagi benda licin menghantam pahanya kemudian
Pangeran Muda mendengar seruan-seruan dari atas, dan
melihat uluran tambang berayun-ayun dalam buih dan uap.
Pangeran Muda menangkap tambang itu, kemudian dengan
susah payah merangkak ke atas, mengikuti tarikan kawankawannya.

Setiba di atas Pangeran Muda menjatuhkan diri, tetapi
hanya sekejap, karena para calon berteriak memanggilmanggil
Janur yang ternyata belum menyambut uluran
tambang itu. Pangeran Muda ikut berteriak-teriak. Sementara
itu, tampak Pamanda Anapaken dan Pamanda Rakean
meluncur pada tambang, masuk ke dalam jeram. Menerima
dua orang puragabaya itu gemuruhlah jeram, mengaum dan
menggeram, sementara buih memercik ke atas. Seolah-olah
air jadi bergejolak. Setelah beberapa lama, dengan memanjati
tambang-tambang, muncullah kedua orang puragabaya itu,
tetapi tanpa Janur.
Suasana jadi hening. Tak seorang pun berani berkata. Doadoa
mulai dipanjatkan oleh ketiga puragabaya, kemudian oleh
para calon yang di antaranya mengucapkannya sambil
menangis. Di antara percikan air yang dingin di pipi Pangeran
Muda, terasa ada dua titik yang panas. Janur tidak keluar lagi
dari jeram itu.
Setelah mereka tidak terpukau lagi oleh peristiwa itu,
Pamanda Rakean segera memberikan perintah agar para calon
segera melakukan pencarian, yaitu di sungai besar yang ber
ada di bawah ulakan air itu. Para pelatih sendiri segera
menuruni ulakan air kembali dan setelah beberapa lama
berada di sana mereka naik kembali dan menyatakan bahwa
Janur sudah tidak ada dalam ulakan air itu. Maka mereka pun
berlari-larilah menuruni lereng gunung yang berhutan-hutan
menuju sungai besar yang gemuruh di dalam jurang yang
dalam. Setiba di sana, tanpa memikirkan keselamatan diri
masing-masing, para calon maupun ketiga puragabaya itu
segera terjun, menyelami dasar sungai, memeriksa lekukanlekukan
cadas dan batu-batu.
Pangeran Muda termasuk pada mereka yang paling dulu
menerjuni sungai itu, walaupun baru saja naik dari jeram
ulakan air. Ia lupa akan segala kelelahan dan rasa sakit pada
otot-otot serta tulang-tulang. Diselaminya setiap liku sungai
yang gemuruh berbusa-busa itu, diperiksanya akar-akar
pohonan yang terjurai ke dalam air. Sementara itu, tak putusTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
putusnya Pangeran Muda berdoa, mudah-mudahan Janur
masih hidup.
Ternyata pencarian yang dilakukan untuk waktu yang
s.ingat lama itu tidak menghasilkan apa-apa. Mereka terpaksa
bergerak makin lama makin ke hilir. Namun demikian, Janur
lidak ditemukan juga. Akhirnya, sampailah mereka ke bagian
sungai yang sangat dalam dan tak dapat diselami tanpa
membahayakan jiwa mereka. Walaupun begitu, beberapa
calon, termasuk Pangeran Muda, masih mencoba mengarungi
arus yang deras itu. Akhirnya, para puragabaya yang cemas
berseru agar para calon naik dari dalam sungai. Setelah para
calon berada di darat, melompatlah ketiga puragabaya itu ke
dalam arus, lalu untuk beberapa lama tidak muncul-muncul.
Ketika para calon sudah mulai cemas, muncullah para pelatih
itu satu per satu di hilir sungai.
Melihat hal itu berlarilah para calon menuju pelatih mereka.
Akan tetapi, setelah dekat mereka segera menyadari bahwa
usaha para puragabaya yang menantang bahaya itu sia-sia
juga. Maka berkumpullah mereka dengan wajah sedih
memandang para puragabaya itu. Sementara itu, hari menuju
ke senja, burung-burung tampak beterbangan tergesa-gesa
kembali ke sarang masing-masing, kalong dan kelelawar mulai
keluar, mengepak di langit yang berwarna merah tembaga dipulas
oleh warna terakhir cahaya matahari.
"Jante," kata Pamanda Anapaken, "pimpin para calon
pulang ke padepokan."
"Saya tidak akan ikut pulang, Pamanda," kata Pangeran
Muda.
"Tidak. Semua harus pulang di bawah pimpinan Jante, kami
bertiga akan melanjutkan pencarian. Harap segala peristiwa
disampaikan kepada Eyang Resi. Kami segera kembali setelah
mendapat isyarat Kahiangan tentang nasib jalak Sungsang,"
lanjut Pamanda Anapaken.
Karena kepatuhan pada pelatih-pelatih merupakan salah
satu kewajiban di Padepokan Tajimalela, dengan membisu
para calon berjalanlah melalui hutan-hutan, padang-padang

berbatu, kemudian lapangan pasir ke tempat mereka masingmasing.
Jante melaporkan kepada sang Resi tentang apa yang
terjadi; mendengar itu, sang Resi segera pergi ke dalam candi,
memanjatkan doa-doa.
Walaupun pelajaran malam hari ditiadakan karena peristiwa
itu, para calon tidak segera tidur. Mereka berkumpul di sana
sini, mengobrol tentang pengalaman-pengalaman mereka,
masing-masing dengan Janur. Mereka semua sependapat
Janur adalah anak yang sangat halus perangainya. Di samping
itu, ia adalah seorang di antara anak yang paling berbakat
dalam ilmu kepuragabayaan. Gerakan-gerakan perkelahian
dipelajarinya dengan cepat dan dikuasainya secara sempurna.
Janurlah yang dalam latihan berpasangan sukar
dirubuhkan.
Bahkan Jante, calon yang sangat tangkas, berulang-ulang
dapat ditipu dan dijatuhkannya.
Bagi Pangeran Muda, Janur mempunyai kedudukan yang
khusus. Bukan saja karena ia menjadi kawan sekamarnya,
tetapi karena mereka mulai bersahabat. Sementara itu, Janur
telah pula mengutangkan budi kepadanya. Janurlah yang
membantunya dalam pelajaran, hingga Pangeran Muda tidak
terlalu sukar mengurangi ketinggalan-ketinggalan yang
disebabkan oleh keterlambatannya datang di Padepokan
Tajimalela itu.
Akan tetapi, karena para puragabaya tidak muncul-muncul,
akhirnya para calon pergi juga memasuki kamar masingmasing.
Pangeran Muda memasuki kamarnya, lalu
memandang ke arah bangku yang kosong, yang mungkin akan
kosong untuk selama-lamanya, atau diisi oleh orang lain.
Belum pernah Pangeran Muda merasakan betapa
berbahayanya latihan-latihan yang diberikan kepada caloncalon
puragabaya. Betapa besar petaruh yang diberikan oleh
para calon dan keluarga mereka untuk mendapatkan
kehormatan menjadi pengawal pribadi sang Prabu. Dengan
renungan-renungan seperti itu dan dengan mulai merasakan

linu-linu pada otot-otot dan tulang-tulangnya, akhirnya
terlenalah Pangeran Muda.
Entah berapa lama Pangeran Muda terbaring lelap karena
pada suatu saat didengarnya ingar-bingar di kamar sebelah.
Ketika dibukanya jendela, tampaklah hari sudah mulai terang,
sedang para calon tampak berlarian menuju lapangan.
Pangeran Muda segera bangkit, dan setelah berpakaian
dibukanya pintu, lalu melangkah keluar mengikuti yang lainlain.
Di tengah-tengah lapangan berkumpullah para calon,
panakawan, puragabaya, dan Eyang Resi Tajimalela. Melihat
hal itu, kecutlah hati Pangeran Muda. Suatu firasat
mengatakan bahwa kejadian yang tidak dapat dihindarkan
telah menimpa Janur dan seluruh keluarganya.
Di tengah-tengah kawan-kawan yang menitikkan air mata,
di bawah pandangan mata para puragabaya dan dengan
diiringi oleh doa-doa Eyang Resi, terbaringlah Janur. Tidak lagi
ada kehidupan di badannya. Keesokan harinya jenazah
dikirimkan kepada keluarganya, diiringkan oleh beberapa calon
di bawah pimpinan Pamanda Minda dan panakawan Jasik. Ke
dalam rombongan yang lima orang banyaknya itu termasuklah
Pangeran Muda. '
Bab 6
Jante Jaluwuyung
Sebelum Raden Jalak Sungsang gugur dalam latihan, Jante
yang nama sebenarnya Raden Jaluwuyung sekamar dengan
salah seorang pelatih, yaitu Pamanda Anapaken. Hal itu
merupakan pengecualian. Bukan saja karena asrama itu
memang kekurangan ruangan, tetapi sebagai calon yang
pandai, Jante dipilih untuk menjadi pembantu para pelatih,
dan tinggalnya di kamar Pamanda Anapaken memang sesuai
dengan kedudukannya. Akan tetapi, setelah Janur tiada, Jante
pindah ke kamar Pangeran Muda.

''Ibunda meninggal waktu saya dilahirkan, kemudian
ayahanda menikah dengan Bibinda, adik sekandung Ibunda.
Saya adalah anak sulung dari adik-adik yang tidak seibu. Saya
sering merasa adanya ketidakadilan-ketidakadilan dalam hidup
ini. Untuk menguranginya, saya harus menjadi orang baik.
Saya dianggap oleh Ayahanda dan seluruh keluarga sebagai
anak sulung yang pantas, patut diturut oleh adik-adik. Kiranya
puragabaya-puragabaya yang berkewajiban mencari caloncalon
berpendapat bahwa saya pun pantas menjadi
puragabaya. Bagi saya, tidak ada bedanya hidup di puri
Ayahanda atau di sini. Bukankah saya sebenarnya tidak punya
ibu? Anom, ini rahasia, jangan katakan kepada siapa pun
percakapan yang kaudengar dari mulutku."
Pangeran Muda tersenyum dan mengangguk, walaupun
agak heran juga mendengar percakapan yang aneh dari
seorang yang berperangai manis seperti Jante.
Walaupun setahun lebih tua, Jante tidaklah lebih tinggi
darinya. Hanya badan Jante yang lebih kukuh, otot-ototnya
lebih penuh dan kekar. Alisnya rendah dan berbulu lebat,
sedang matanya yang kecil sangat kelam warnanya.
Semuanya itu memberikan kesan seolah-olah Jante selalu
murung; itulah, barangkali sebabnya orangtua Jante memberi
nama Jaluwuyung. Dagu Jante agak persegi, tetapi karena
suka tersenyum, dagunya yang persegi itu tidaklah
memberikan kesan bahwa ia seorang yang keras.
Kepindahan Jante ke kamarnya sungguh-sungguh
melegakan hati Pangeran Muda; pertama, karena ia tidak akan
kesepian; kedua, karena Jante adalah calon yang sangat
pandai, sehingga Pangeran Muda akan banyak mendapat
bantuan darinya. Sedang bantuan ini sungguh-sungguh
dibutuhkannya karena bagaimanapun juga Pangeran Muda
adalah seorang calon yang terlambat datang.
Di luar latihan, di waktu senggang, sering sekali Pangeran
Muda menanyakan tentang itu dan ini bentuk-bentuk gerakan
atau berbagai jurus dan cara menggunakannya. Jante yang
tampaknya senang mendapat kepercayaan dengan giat

membantunya, dengan memberi keterangan-keterangan dan
contoh-contoh. Sering di luar waktu latihan Pangeran Muda
dan Jante turun kembali ke sudut lapangan, lalu jante
memberikan contoh-contoh kepadanya. Berulang-ulang pula
Pangeran Muda berlatih berkelahi berpasangan dengannya,
dan hal itu sangat membantunya dalam memahami apa-apa
yang harus dikuasainya sebagai calon puragabaya.
'Anom, sebenarnya Janur lebih pandai daripadaku. Setiap
pelatih berpendapat, bahwa dialah yang paling berbakat di
antara kita. Sayang sekali daya tahannya rendah, hingga ia
tidak sanggup menghadapi jeram itu. Saya yakin, kalau ia
hidup ia akan jadi puragabaya yang paling baik, ia akan
mengalahkan kita semua dalam perkelahian," demikian kata
Jante pada suatu kali.
WALAUPUN belum paham benar tentang ilmu perkelahian
yang diajarkan di Padepokan Tajimalela, terasa oleh Pangeran
Muda bahwa Janur mempunyai bakat yang sangat besar,
hingga bukan saja ia mudah mengerti apa yang diajarkan oleh
pelatih-pelatih itu, tetapi terutama dengan cepat ia dapat
menguasainya. Dalam latihan-latihan berkelahi berpasangan,
menonton cara Janur tidak saja menimbulkan rasa kagum,
tetapi juga rasa keindahan. Gerakan-gerakan Janur bukanlah
lagi merupakan gerakan, tetapi merupakan tarian. "Tari
Kematian," demikian Janur pernah menyatakan kepada
Pangeran Muda.
"Anom, engkau pun termasuk berbakat, sayang engkau
terlambat datang, jadi kau harus belajar lebih keras," demikian
kata Jante pula.
Dengan latihan yang terus-menerus di bawah para
puragabaya, dengan bantuan Jante dan calon-calon lain,
akhirnya
Pangeran Muda menguasai ilmu perkelahian yang diberikan
sebagai pelajaran di Padepokan Tajimalela. Menguasai ilmu
perkelahian berarti gerakan-gerakan serta jurus-jurus yang
dilakukan setiap hari telah melekat dan tidak dapat

dihilangkan lagi dari pola gerakan Pangeran Muda. Dalam
latihan-latihan itu, seluruh anggota badan dan seluruh tubuh
Pangeran Muda bergerak dengan sendirinya setiap mendapat
serangan. Gerakan-gerakan ini telah disempurnakan begitu
rupa dalam latihan-latihan yang terus-menerus, hingga bukan
saja dapat menghindarkan Pangeran Muda dari pukulan
orang, tetapi juga dapat memberikan balasan yang ampuh. Di
samping itu, Pangeran Muda menyadari bahwa dalam latihanlatihan
itu akhirnya seluruh anggota badan bergerak dengan
sendirinya, tanpa harus berpikir dahulu. Kenyataan itu sangat
membesarkan hati Pangeran Muda karena akhirnya segala
jerih payah yang dialaminya berbuah juga. Seluruh tubuh
Pangeran Muda sekarang menjadi senjata yang ampuh. Akan
tetapi, di samping itu Pangeran Muda pun merasa cemas
karena anggota badannya itu seolah-olah tidak dikuasainya
lagi dan memiliki kemauan sendiri. Hal ini dapat
membahayakan karena seorang yang tidak sengaja atau
secara bermain-main mencoba memukul Pangeran Muda
mungkin akan mendapat balasan yang membahayakan jiwa, di
luar keinginan Pangeran Muda sendiri. Sekarang mengertilah
Pangeran Muda mengapa seorang puragabaya dilarang keras
berkelahi karena hal itu akan berarti bahaya bagi mereka yang
mencoba melawan puragabaya.
Ketika itu Pangeran Muda telah setahun penuh berada di
Padepokan Tajimalela. Hasil pendidikan telah terasa, bukan
saja oleh Pangeran Muda, tapi juga oleh calon-calon yang lain.
Umumnya mereka telah menguasai gerakan-gerakan yang
ampuh dan sudah menjadikan gerakan-gerakan ilu sebagai
kebiasaan yang lekat pada setiap anggota badan mereka.
Latihan-latihan berkelahi berpasangan atau latihan-latihan
dalam cara pengeroyokan dilakukan dengan lancar. Bagi
orang-orang yang tidak mengetahui, latihan-latihan
perkelahian itu dapat saja disangka latihan-latihan tari-menari
bersama Orang-orang awam akan menyangka bahwa dalam
gerakan-gerakan yang seolah-olah lembut itu tidak
mengandung bahaya. Hanya para puragabaya dan para calon

yang menyadari bahwa gerakan-gerakan indah yang dilakukan
dengan tangan, kaki, ataupun bagian tubuh lainnya,
semuanya memungkinkan kematian atau cedera.
"Anom," kata Jante pada suatu sore ketika mereka
beristirahat, "hanya dalam setahun saja kita sudah berubah.
Di kawah mati ini di tengah-tengah hutan larangan, kita telah
diubah menjadi binatang buas." Sambil berkata demikian,
Jante memandang jarinya yang panjang-panjang.
"Tubuh kita adalah binatang buas, Jante, tetapi saya yakin
wejangan-wejangan Eyang Resi telah memperhalus jiwa kita.
Sebaliknya, ketika saya masih berada di puri Ayahanda, saya
merasa sebagai seekor binatang. Saya berenang di kali, naik
kuda, berburu, berlatih memanah dan melempar tombak,
mempergunakan belati, mengangkat gada dan tameng. Ketika
itu saya baru menyadari bahwa saya memiliki otot-otot.
Sekarang saya baru merasa, bahwa saya adalah manusia, dan
sebagai manusia saya mengemban kewajiban-kewajiban mulia
yang diletakkan Sang Hiang Tunggal di pundak kita."
'Apakah yang kau maksud dengan kewajiban-kewajiban
yang mulia itu, Anom?" Jante bertanya.
Pangeran Muda agak keheranan, mengapa hal itu harus
ditanyakan oleh Jante. Walaupun begitu, Pangeran Muda
segera menjawabnya, "Misalnya, mengasihi sesama hidup,
yang kita lakukan dengan mengabdi kepada sang Prabu dan
dengan berbuat baik selalu dalam kehidupan sehari-hari."
'Apakah Eyang Resi pernah menerangkan hal itu?" Jante
kembali bertanya.
"Pernah, tapi tidak dengan kata-kata yang saya gunakan
itu," jawab Pangeran Muda.
"Tapi mengapa kita diajar cara-cara berkelahi yang sangat
berbahaya? Bukankah itu bertentangan dengan keharusan
berbuat baik?"
'Jante, kau pernah menanyakan hal itu langsung kepada
Eyang Resi, dan Eyang Resi pernah menjawabmu. Apakah kau
lupa lagi?"

'Anom, saya sangat mudah lupa tentang pelajaranpelajaran
kerohanian. Terus terang saya sangat tidak berbakat
untuk itu. Kau sangat berbakat untuk itu, Anom," lanjutnya.
'Jante, segala kepandaian boleh kaukuasai kalau kau
mampu. Segala kepandaian, termasuk kepandaian berkelahi,
tidaklah jelek. Yangjelek adalah penggunaannya. Seandainya
kepandaian kita digunakan untuk merampok atau membunuh
orang-orang yang tidak bersalah, tentu saja hal itu sangat
jelek. Akan tetapi, alangkah baiknya kalau kita gunakan
kepandaian kita itu justru untuk melindungi segala kebaikan
dalam kehidupan ini."
"Ilmu-ilmu rohani adalah bagianmu, Anom. Bagianku
adalah mempergunakan otot-otot saja," ujar Jante.
Pangeran Muda tidak mengatakan apa-apa mengenai
pernyataan temannya itu.
Karena Pangeran Muda berdiri, Jante rupanya terdorong
untuk melanjutkan percakapannya, "Mulai kemarau yang akan
datang kita akan menghadapi pelajaran yang baru, yaitu
pelajaran ketangkasan. Menurut yang saya dengar dari
beberapa panakawan, pelajaran ketangkasan ini tidak kurang
berbahayanya daripada pelajaran keseimbangan dan
perkelahian. Kalau dalam pelajaran yang lalu kita terutama
menghadapi manusia sebagai lawan, dalam pelajaran yang
akan datang alamlah yang menjadi lawan kita."
Apa yang dikatakan Jante itu ternyata benar. Dalam
pertengahan pertama tahun kedua, pelajaran ketangkasan
dimulai. Ternyata pelajaran ini bukan saja berbahaya seperti
pelajaran taraf pertama, bahkan lebih berbahaya lagi.
Bab 7
Ular dan Bajing
Daerah-daerah di sekitar Padepokan Tajimalela sungguhsungguh
merupakan daerah-daerah yang tepat untuk menjadi
tempat latihan ketangkasan ini. Jurang-jurang dari yang paling

landai hingga yang paling curam ada, sungai-sungai yang
airnya paling tenang hingga yang paling deras banyak;
demikian juga, padang-padang hingga hutan-hutan rimba
terbuka untuk ditundukkan oleh keberanian dan ketangkasan
manusia.
Latihan ketangkasan yang pertama adalah latihan meniru
ular. Setiap calon diberi petunjuk-petunjuk tentang cara
berjalan dan merangkak tanpa mengeluarkan bunyi. Latihan
ini mula-mula dilakukan di dalam hutan di mana terdapat
daun-daunan serta ranting-ranting kering yang akan berbunyi
setiap mendapat sentuhan. Untuk melakukan latihan ini, para
calon dengan sendirinya harus melepaskan alas kaki yang
terbuat dari kulit mentah agar mereka dapat meraba-raba
tanah serta benda-benda yang ada di atasnya dengan tapak
kakinya itu. Hanya setelah saraf tapak kaki peka maka para
calon dapat menghilangkan bunyi-bunyi yang mungkin
dikeluarkan oleh benda-benda yang disentuh oleh tapak kaki
mereka.
Latihan ini sangat melelahkan karena seluruh perhatian
dipusatkan ke tapak kaki, suatu perbuatan yang baru bagi
para calon sendiri. Di samping itu, menghilangkan bunyi
bukanlah suatu yang mudah. Daun-daun yang kering, rantingranting
bahkan rumput-rumputan, cenderung untuk berbunyi
kalau mendapat sentuhan secara sembrono. Adalah kewajiban
bagi seorang puragabaya untuk mengenal berbagai benda
yang teraba oleh tapak kakinya, untuk kemudian mengenal
kemampuannya mengeluarkan bunyi. Kalau keduanya sudah
dikenal, baru ditentukan bagaimana ia akan memijak benda
itu.
Taraf mengenal benda, mengenal kemampuannya
mengeluarkan bunyi dan taraf menentukan bagaimana cara
memijak dengan sendirinya harus dilakukan dalam waktu yang
singkat sekali karena para calon diperintahkan bukan saja
harus dapat berjalan tanpa bunyi, tetapi harus pula dapat
berjalan cepat. Inilah yang sangat melelahkan para calon.

Latihan itu sungguh-sungguh memerlukan pengerahan segala
kepekaan saraf.
Latihan berjalan tanpa bunyi ini dilakukan di atas berbagai
daerah yang sifatnya berbeda-beda. Pertama, di dalam semaksemak,
disusul di atas tanah yang berkerikil, dilanjutkan
dengan di atas lumpur di rawa-rawa. Setelah beberapa bulan
berlalu dan para pelatih menganggap para calon cukup
menguasai pelajaran itu, latihan lanjutan dilaksanakan.
Latihan lanjutan ini berupa latihan merangkak tanpa bunyi.
Kalau dalam latihan pertama telapak kaki yang dipertajam
sarafnya, dalam latihan merangkak seluruh permukaan tubuh
diperhalus kepekaannya. Dalam latihan ini para calon
diperintahkan benar-benar untuk meniru ular, binatang yang
terkenal tidak pernah bersuara kalau bergerak.
"Bagaimana kalau kita menangkap seekor ular untuk
diamati?" katajante kepada Pamanda Rakean pada suatu hari.
Rupanya pelatih itu sangat setuju karena kemudian mulai
mengajak berunding tentang rencana itu.
"Kita akan menangkap ular sanca. Tidak usah yang terlalu
besar, cukup yang bagian-bagian tubuhnya dapat kita lihat
selagi dia bergerak."
Mendengar perkataan itu, para calon sangat bergembira.
Bagaimanapun juga perburuan binatang merupakan
kegemaran para bangsawan, termasuk putra-putra mereka.
Sedang para calon puragabaya adalah putra-putra bangsawan
Pajajaran. Oleh karena itu, begitu ditetapkan, mereka
berangkat ke daerah rawa yang berdekatan dengan
Padepokan untuk mencari ular besar itu.
Pencarian yang disangka akan dilakukan beberapa hari,
ternyata dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Ketiga
puragabaya yang menjadi pelatih mereka dengan mendengusdengus
dan membaui udara secara mudah dapat mengetahui
di mana ular besar itu berada.
"Di pohon kiara itu," seru Pamanda Minda sambil memberi
isyarat kepada para calon agar mengikutinya. Di satu tempat
di dalam hutan terdapat beberapa pohon beringin besar. Di

bawah pohon beringin besar itu terdapat jalan setapak yang
biasa dipergunakan oleh gerombolan babi atau kijang. Di atas
pohon beringin itu ular-ular besar tinggal, sambil mengintai
mangsa mereka yang sewaktu-waktu lewat di bawah.
Ketika mereka sudah dekat ke pohon itu, suasana seram
tiba-tiba mencekam hati Pangeran Muda. Bagaimanapun juga
ular-ular sanca adalah binatang-binatang yang sangat
perkasa. Di samping itu, binatang-binatang buas ini menjadi
kesayangan para siluman. Melihat pohon yang besar dan
gelap itu, meremanglah bulu kuduk Pangeran Muda. Akan
tetapi, segala ketakutan itu segera hilang setelah Pangeran
Muda melihat bagaimana tenang dan tabahnya para
puragabaya yang berjalan di muka para calon.
Beberapa langkah lagi jauhnya dari pohon beringin itu,
Pamanda Rakean mengacungkan tangan. Rombongan pun
berhentilah.
"Tebang sebatang pohon, cari yang lurus, besarnya jangan
melebihi pohon pisang, tetapi harus cukup panjang."
Mendengar perintah itu pergilah beberapa orang calon dengan
perlengkapan golok. Setelah yang lain menunggu beberapa
lama, datanglah mereka kembali sambil dengan susah payah
membawa batang pohon yang panjang dan lurus.
"Sediakan tambang yang panjang," kata Pamanda Anapaken.
Tambang pun segera diuraikan. Setelah siap, ketiga
puragabaya berjalan ke depan, lalu tengadah.
"Ini, sebesar paha, apakah tidak terlalu besar?" tanya
Pamanda Rakean kepada kedua temannya.
"Tidak," jawab Pamanda Anapaken.
Para calon pun tengadah dan dalam gelap daun-daun
beringin itu, bergulunglah seekor ular sanca, melilit-lilitkan
tubuhnya pada cabang-cabang pohon itu.
"Pamanda, awas!" kata seorang calon. Mendengar suara
ketakutan dari calon itu, yang lain siaga.
'Ada apa?" tanya Pamanda Anapaken.
"Lihat, di pohon kiara yang kecil, besar sekali!"

Semua berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Rangga,
dan tampaklah oleh mereka seekor ular yang sangat besar,
bergulung-gulung di antara daun-daunan. Kepala ular yang
hampir sebesar kepala kuda terulur-ulur, memandang kepada
mereka dengan matanya yang bercahaya dan menyeramkan.
Melihat ular yang sangat besar itu mundurlah para calon,
hingga Pamanda Rakean berkata, 'Jangan takut. Walaupun
ular ini binatang yang sangat perkasa, ia juga binatang yang
sangat bodoh. Ia tidak akan menyerang kita kecuali kalau
lapar bahkan kalau lapar ia tidak akan menyerang kita kalau
kita tidak lewat tepat di bawah pohon itu. Ular adalah
binatang yang terikat oleh kebiasaan dan karena sudah biasa
menangkap babi hutan di bawah pohonnya, tidak di tempat
lain, ia tidak tahu lagi apakah binatang-binatang yang tidak
lewat di bawah pohonnya dapat dimakannya atau tidak. Jadi
janganlah takut, asal tentu saja jangan berjalan di bawah
pohon itu karena engkau mungkin akan disangka babi hutan
olehnya."
Setelah berkata demikian, dengan tangkas seperti seekor
bajing, Pamanda Rakean memanjat pohon beringin itu diikuti
oleh kedua kawannya. Mendengar ada yang mengganggu,
ular sanca yang sebesar paha itu mengangkat kepalanya dan
sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang berbunyi
berdesis-desis.
Seperti tiga ekor monyet, ketiga puragabaya itu mendekati
ular itu dari berbagai arah. Pamanda Rakean membuka kedua
tangannya, lalu mendekati kepala ular yang bergerak-gerak di
antara akan melarikan diri dan akan mengadakan perlawanan.
Dan ketika ular itu bergerak dan menjulurkan kepalanya,
dengan sigap Pamanda Rakean menangkap lehernya. Ular
menggulung dan mencoba membelitnya, tetapi Pamanda
Minda sudah siap dan dengan segera menangkap bagian
tengah tubuh ular itu. Pamanda Rakean segera turun diikuti
Pamanda Minda sambil menarik tubuh ular itu. Akan tetapi, hal
itu tidak mudah dilakukan karena ekor ular itu dengan ketat
membelit sebuah cabang beringin. Pamanda Anapaken segera

bertindak demi melihat kedua temannya mendapat kesulitan.
Dibukanya dengan tekun ikatan ekor ular itu, hingga akhirnya
lepas dan dengan mudah kedua temannya dapat menarik
seluruh tubuh ular itu dengan mudahnya.
Setibanya di bawah ular itu mencoba berontak, tetapi di
dalam tiga pasang tangan puragabaya yang paham akan ilmu
tenaga, usaha ular itu tidaklah berarti. Dan setelah tubuhnya
direntangkan sepanjang batang pohon yang lurus itu,
Pamanda Rakean memerintahkan agar tambang segera
diikatkan. 'Jangan terlalu keras, nanti mati!" serunya. Para
calon pun bekerja dengan hati-hati, kemudian rombongan
kembali dengan mengusung tubuh ular yang sudah terikat
pada batang pohon itu. Begitu mereka tiba di Padepokan,
segera ular itu dilepas dari batang itu, lalu dipegang oleh para
calon yang dengan susah payah menahan geliatan ular yang
berusaha melepaskan diri.
"Marilah kita lepaskan di padang berkerikil dan kalian
mengamati bagaimana ular itu mempergunakan tubuhnya
dalam meluncur," kata Pamanda Anapaken. Rombongan itu
pun, dengan ular di tangan mereka, berjalanlah ke padang
kerikil yang tidak jauh letaknya dari Padepokan. Di padang
yang luas itu segera ular dilepaskan, dan para calon sambil
tertawa-tawa dengan gembira berlari-lari mengiringi ular yang
ketakutan dan kebingungan mencari-cari jalan untuk
meloloskan diri.
Dengan menajamkan pandangan, Pangeran Muda
mengamati cara ular itu meluncur di atas batu-batu dengan
tidak mengeluarkan bunyi, bahkan dengan tidak
menggerakkan batu-batu sama sekali. Apakah yang
menyebabkan ular itu dapat meluncurkan badannya yang
besar seolah-olah benda yang ringan?
"Lihat!" kata Pamanda Anapaken sambil berlari-lari, "lihat
gerakan-gerakan di bagian bawah badan ular itu. Berat
badannya tidak dijatuhkan lurus-lurus ke bawah, tetapi
dijatuhkannya ke depan, hingga tekanan badannya tidak
mengenai batu-batu itu secara tepat, tetapi hanya melintasi,

itulah sebabnya badan ular itu seolah-olah menjadi ringan,
dan itu pula sebabnya ia meluncur begitu cepat. Seluruh berat
badannya tidak diberi kesempatan menekan ke arah tanah,
tetapi dilemparkannya ke depan. "Lihat!"
Setelah mereka puas mengamati cara ular meluncur,
dibiarkan oleh mereka ular yang kelelahan itu pergi. Akan
tetapi, baru saja mereka berkumpul untuk membahas apa
yang mereka amati, seorang panakawan berlari sambil
berseru-seru, 'Juragan! Juragan! Jangan dilepaskan!"
Ternyata orang itu Mang Rawing, seorang panakawan yang
dikenal sebagai penggemar daging ular. Pamanda Minda yang
berdiri tidak jauh dari ular itu meluncur segera mencegat ular
itu lalu dengan sebuah sepakan di kepala ular, dihentikannya
binatang yang malang itu. Hanya sebentar saja ular itu
bergerak-gerak, kemudian Mang Rawing datang mengangkat
mayatnya dan menyeretnya ke arah Padepokan di bawah
pandangan mata para calon yang keheranan, geli, atau jijik.
Pamanda Rakean berseru-seru, menarik perhatian mereka
kembali pada pelajaran. Maka para calon pun merangkaklah di
atas padang kerikil itu, mencoba melakukan apa yang
dilihatnya pada gerakan-gerakan ular tadi. Beberapa orang
calon merasa geli akan kelakuan mereka itu dan tidak
menahan tertawa. Para puragabaya meminta supaya mereka
diam. Dan latihan pun berjalanlah dengan sungguh-sungguh.
Latihan itu berjalan hingga matahari condong ke barat, dan
setelah para calon kelelahan, luka-luka, dan penuh debu,
barulah para puragabaya menghentikannya. Betapapun
lelahnya para calon tidaklah mengeluh, bukan saja karena
dirasa bahwa kepandaian bergerak tanpa bunyi itu memang
sangat penting, tetapi meniru-niru binatang itu oleh
kebanyakan mereka dianggap perbuatan yang lucu dan
menggembirakan. Oleh karena itu, sepanjang jalan menuju
Padepokan mereka tetap tertawa-tawa dan bersenda gurau,
saling memberikan pendapat tentang tingkah laku masingmasing
waktu mereka berlatih.

Akan tetapi, ketika tiba di dekat dapur Padepokan mereka
sangat terkejut. Mang Ogel, dengan muka yang pucat dan
penuh keringat dingin tampak sedang muntah-muntah dekat
kandang ayam. Pangeran Muda dengan yang lain-lain segera
berlari mendekatinya. Mang Ogel sambil memegang ulu
hatinya terus-menerus muntah, dan baru setelah isi
lambungnya habis ia berhenti menganga-ngangakan
mulutnya.
Setelah Mang Ogel tenang, seorang calon memberinya
minum air dingin yang jernih dan sejuk. Dan setelah tampak
tidak lagi pusing Pangeran Muda segera bertanya; apa
sebabnya Mang Ogel begitu menderita.
"Demi para siluman, lebih baik saya melihat si Rawing
dimakan ular daripada menyaksikan dia melahap binatang
besar yang menjijikkan itu! Oooooooo ohek ohek!"
Mengertilah Pangeran Muda apa yang terjadi dengan Mang
Ogel. Rupanya para calon pun sekarang tahu apa yang terjadi.
Maka tertawalah mereka, lupa akan penderitaan Mang Ogel.
SETELAH berbulan-bulan latihan menjadi ular ini dilakukan,
akhirnya para puragabaya menganggap para calon sudah
cukup menguasai apa-apa yang harus mereka lakukan. Pada
hari latihan terakhir mereka diharuskan berjalan atau
merangkak tanpa bunyi dan tidak kelihatan oleh para pelatih.
Ujian ini dilaksanakan dengan baik oleh para calon, yang
seperti ular atau harimau meluncur dan menyelinap di atas
berbagai macam tanah, di dalam semak-semak. Hanya
beberapa orang saja sebelum sampai ke tempat yang
ditentukan dapat dilihat oleh pelatih. Sebagai hukuman
terhadap mereka ini, para pelatih menyediakan batu-batu
untuk melempar para calon yang tidak sanggup
menyembunyikan kehadirannya. Pangeran Muda termasuk
calon yang selamat, tidak pernah mendapat lemparan batu
para pelatih yang cukup besar itu.
Setelah latihan ini dianggap selesai, dengan pesan para
pelatih agar para calon terus-menerus melatihnya sendiri,

latihan macam baru pun segera dimulai. Dalam latihan ini,
kepandaian memanjat pohon dan menuruninya
digemblengkan pada para calon. Setelah pohon, tebing-tebing,
juranglah yang menjadi tantangan mereka. Seperti juga
latihan meniru ular, latihan meniru bajing ini dilakukan pada
berbagai waktu, siang hari, malam hari, subuh, atau pagi-pagi.
Kadang-kadang mata mereka dibiarkan terbuka, kadangkadang
ditutup dengan kain hitam. Di samping itu, pada taraftaraf
lanjutan mereka menaiki atau menuruni jurang itu tidak
diperbolehkan mengeluarkan bunyi.
Dari hari ke hari, tebing-tebing, jurang atau pohon-pohon
yang harus dipanjat berubah-ubah, makin lama makin sukar
ditempuh dan makin berbahaya. Di samping itu, suatu jurang
belum dapat diatasi oleh para calon, kalau para calon belum
dapat menuruninya setelah selesai menaikinya. Seperti juga
dalam waktu menaiki, pelaksanaan menuruni jurang tidak
boleh mengeluarkan bunyi. Di samping itu, para pelatih terusmenerus
menuntut kepada para calon agar pendakian atau
penurunan dilakukan secepat-cepatnya.
Akan tetapi, karena sebelum latihan meniru bajing ini
latihan meniru ular telah dilakukan, bahaya-bahaya serta
kesukaran-kesukaran banyak sekali berkurang. Para calon
telah memiliki saraf-saraf yang sangat peka, hingga telapak
kaki mereka dapat mengenal batu-batu yang goyah serta
dapat membahayakan dan dapat memilih bagian-bagian cadas
mana yang dapat dijadikan pijakan dengan aman.
Untuk dapat meniru bajing dengan sempurna, para calon
pun diajari bagaimana caranya melompat dari pohon ke
pohon, melompati jurang dari yang sempit hingga yang lebar
sekali. Semuanya itu harus dilakukan pula dalam kecepatan
yang setinggi-tingginya dan tanpa mengeluarkan bunyi.
Ketika taraf terakhir dari latihan-latihan ini hampir selesai,
seorang lagi di antara para calon gugur. Yang sangat
menyedihkan, bukanlah karena kecelakaan itu tidak dapat
dihindarkan lagi, tetapi justru sebaliknya. Di samping itu,

kecelakaan yang terjadi bukanlah akibat kelalaian sang calon,
tetapi karena benar-benar nasib buruk telah menimpanya.
Ketika itu latihan yang sedang dilakukan adalah latihan
menuruni jurang yang begitu curam, hingga para calon harus
mendaki dan menuruninya dengan mempergunakan tambang.
Elang, calon yang malang itu, mendapat giliran beberapa
saat sebelum giliran calon terakhir. Dengan mata tertutup oleh
kain hitam, dengan tangkas dipegangnya tambang ijuk, lalu
kakinya yang sangat halus saraf-sarafnya tanpa bunyi merabaraba
dengan cepat, memilih pijakan-pijakan yang kukuh. Akan
tetapi, tiba-tiba angin bertiup dengan kencang, menghempashempas
tebing jurang itu. Oleh tiupan angin yang keras itu,
Elang tidak dapat meluncur dengan cepat. Tubuhnya agak
terayun-ayun, walaupun tetap dapat berpijak dengan kukuh.
Akan tetapi, ayunan-ayunan itu menyebabkan salah satu
bagian dari tambang yang melekat di tebing jurang itu
tergesek-gesek pada cadas yang runcing dan menipis. Pada
saat tambang yang tipis ini tidak lagi dapat menahan berat
badan Elang, putuslah tambang itu dan melayanglah Elang,
lalu terhempas pada landasan jurang yang bercadas-cadas
runcing.
Ketika ia diusung ke arah padepokan oleh kawankawannya,
ia masih dapat berkata-kata, walaupun dengan
lemah. Akan tetapi, ketika ia telah dibaringkan dalam ruangan
dekat candi dan ketika Pamanda Minda sedang menyiapkan
alat-alat untuk membetulkan tulang-tulangnya yang remuk,
nyawanya tidak dapat bertahan lebih lama dalam tubuhnya
yang rusak itu. Maka latihan pun dihentikan untuk satu
minggu lamanya. Pertama, sebagai tanda berkabung karena
meninggalnya calon itu; kedua, karena beberapa calon dengan
Pamanda Minda harus meninggalkan Padepokan untuk
mengantarkan jenazah kepada keluarganya.
Dengan meninggalnya Elang, telah tiga orang calon yang
mendapatkan kecelakaan, dengan seorang dapat selamat
jiwanya, tetapi gagal sebagai calon. Dari para panakawan,
Pangeran Muda mendapat penjelasan bahwa angkatannya

termasuk angkatan yang nahas. Biasanya kecelakaan dan
korban-korban tidak sebanyak itu.
"Mudah-mudahan dengan banyaknya kecelakaan ini Sang
Hiang Tunggal berkenan untuk menjadikan angkatan ini
menjadi puragabaya-puragabaya yang baik di kemudian hari,"
kata Pangeran Muda.
"Nyakseni," ujar Mang Ogel.
Bab 8
Mang Ogel
Dihentikannya latihan-latihan serta pelajaran-pelajaran lain
dalam waktu seminggu memberikan kesempatan kepada para
calon yang bertempat tinggal dekat untuk minta izin pulang
dahulu ke keluarga mereka masing-masing. Eyang Resi
tampaknya tidak keberatan, bukan saja karena sudah hampir
dua tahun para calon terus-menerus berlatih, tetapi beliau pun
bermaksud meringankan dukacita yang dihadapi para calon,
setelah korban-korban berjatuhan dalam latihan itu.
Kesempatan ini pun dipergunakan oleh Pangeran Muda
dengan sebaik-baiknya.
Waktu Pangeran Muda menghadap dengan calon-calon lain
untuk meminta izin, kepada Pangeran Muda, Eyang Resi
berpesan, 'Anom, di antara kawan-kawanmu engkaulah satusatunya
putra bangsawan yang bertingkat pangeran. Kalau di
rumah kau miliki peralatan-peralatan kesatriaan yang dapat
kau sumbangkan pada Padepokan, Eyang mengharap agar
Anom dapat membawanya kalau nanti kembali ke sini."
"Dapatkah Eyang Resi menunjukkan alat-alat kesatriaan
apakah yang diperlukan itu?" tanya Pangeran Muda.
"Sebanyak mungkin. Misalnya, tombak, panah, dan
perlengkapan lainnya yang tidak pernah dipakai oleh
puragabaya, tetapi selalu dipergunakan oleh seorang
bangsawan, khususnya bangsawan yang memangku
kedudukan sebagai perwira Jagabaya."

"Eyang Resi, kebetulan hamba memiliki perlengkapan
kesatriaan itu. Hamba memiliki dua batang tombak yang baik,
tiga panah, tutup dada dari logam, tameng, ikat rambut dari
emas, cincin-cincin keluarga dari emas," ujar Pangeran Muda.
"Anom, maksud Eyang tidak usahlah barang-barang yang
mahal karena barang-barang itu kemudian akan terbuang
setelah dipergunakan dalam upacara di sini," lanjut Eyang
Resi.
"Kalau demikian lain lagi soalnya. Akan tetapi, Anom perlu
menyadari, bahwa benda-benda itu akan dibakar dalam
upacara," demikian penjelasan Eyang Resi.
"Tidak apa, Eyang, karena sejak sekarang hamba tidak
memerlukannya lagi; bahkan kalau hamba gagal menjadi
puragabaya, hamba kira hamba akan terlalu tua untuk
mencintai benda-benda itu."
"Baiklah, terserahlah kalau demikian, Anom. Bawalah yang
sekiranya tidak akan menyusahkan Anom."
Kemudian terpikir oleh Pangeran Muda, bahwa kalau harus
membawa perlengkapan itu dari puri ayahandanya, Pangeran
Muda akan memerlukan seorang pembantu yang membawa
sebagian dari perlengkapan itu. Seandainya ia sendiri yang
harus membawa perlengkapan-perlengkapan itu, mungkin
perjalanan akan menjadi sukar sekali untuk ditempuh, hingga
kemungkinan terlambat pulang ke padepokan nenjadi besar.
Teringatlah oleh Pangeran Muda akan Mang Ogel yang
mungkin akan bersenang hati kalau diberi kesempatan untuk
mengikutinya ke puri Anggadipati. Maka berkatalah Pangeran
Muda, "Eyang Resi, untuk keperluan membawa barang-barang
perlengkapan itu, dapatkah kiranya hamba membawa
Panakawan Ogel sebagai pembantu?"
"Kalau ia tidak keberatan, Eyang sendiri tidak terlalu
membutuhkan tenaganya sementara para calon meninggalkan
padepokan."
"Kalau begitu, hamba akan membawanya, Eyang Resi."
"Baik, Anom, sampai bertemu lagi, selambat-lambatnya
dalam sepuluh hari," ujar Eyang Resi. Mereka pun bubarlah.

MANG Ogel sangat gembira menerima usul itu, dan
keesokan harinya, baru saja ayam berkokok, sudah diketukketuknya
pintu ruangan Pangeran Muda. Waktu Pangeran
Muda keluar dan setelah membersihkan diri, ternyata Mang
Ogel telah mempersiapkan segala-galanya. Maka
keberangkatan pun dapat dilakukan dengan segera.
Rombongan Pangeran Muda dan Mang Ogel adalah
rombongan pertama yang meninggalkan wilayah Padepokan
Tajimalela.
Setelah melewati hutan-hutan larangan dan jurang-jurang
yang curam yang menjadi penghalang bagi orang luar untuk
dapat mengunjungi padepokan, sampailah mereka di rimba
yang lebat di punggung gunung yang landai. Sekarang
perjalanan tidak terlalu sukar ditempuh. Oleh karena itu,
kedua pejalan ada kesempatan untuk bercakap-cakap.
"Mang Ogel, sudah dua tahun kita bergaul, tetapi karena
kesibukan masing-masing, saya belum sempat bertanya-tanya
tentang asal usul Mang Ogel," kata Pangeran Muda.
"Wah, repot Anom, sungguh repot!" ujar Mang Ogel.
"Repot bagaimana, Mang?"
"Bayangkan, pada suatu hari Ayah berkata, 'Ogel kamu
sekarang sudah besar, sudah waktunya punya penghasilan
sendiri. Maukah kamu kumintakan kerja kepada Kuwu?'
"Mendengar perkataan Ayah itu, alangkah bangganya hati
Emang, karena merasa sudah dianggap dewasa. Menurut
anggapan Emang, seorang dewasa itu jauh lebih senang
daripada seorang anak atau yang belum dianggap dewasa.
Orang dewasa mau mengadu jangkrik atau mengadu domba
tidak akan ada yang mengusik. Lalu Emang bertanya, 'Apakah
Juragan Kuwu sudah percaya pada Emang untuk menjadi
gembala domba-dombanya?'
"Ayah menjawab, 'Kuwu akan mencoba kemampuanmu
dahulu. Ia bersedia memercayakan sepuluh ekor domba
kepadamu!' Belum selesai Ayah berkata, saya sudah menyela,
Ah, Ayali, terlalu sedikit kalau hanya sepuluh ekor, bagaimana

kalau dua puluh?' Ayah mula-mula tetap pada pendiriannya,
yaitu bahwa sepuluh ekor cukup untuk percobaan. Saya tahan
harga, kalau tidak dua puluh lebih baik Emang tidak jadi
gembala saja. Akhirnya, Ayah mengalah dan mengusahakan
agar Kuwu mau memercayakan sepuluh lagi dari dombanya.
"Mengapa Emang berkeras untuk dapat dua puluh ada
beberapa alasannya; pertama, kalau mendapatkan dua puluh
kemungkinan mendapat upah lebih banyak. Kalau ada dua
ekor domba yang beranak dari sepuluh, Emang mendapat satu
ekor. Dari dua puluh mungkin yang beranak empat ekor, jadi
berarti Emang akan mendapat dua ekor. Alasan kedua adalah
bahwa dua puluh domba kemungkinan jumlah jantannya lebih
banyak. Itu berarti bahwa Emang akan dapat memiliki domba
aduan lebih dari satu ekor, selanjutnya, itu berarti Emang
akan puas mengadu domba punya Kuwu dengan domba yang
digembalakan oleh kawan-kawan Emang.
'Ayah rupanya tidak dapat menduga apa yang ada dalam
pikiran Emang. Sebenarnya', usahanya untuk mendapatkan
domba gembalaan adalah untuk mengalihkan perhatian
Emang dari kesenangan mengadu jangkrik dan ayam. Ayah
tidak berpikir panjang dan tidak menyangka bahwa Emang
akan lebih merajalela lagi dalam kesenangan Emang mengadu
binatang.
"Maka, beberapa hari kemudian Emang pun sudah menjadi
gembala. Bayangkan, empat ekor domba jantan, yang dua
sudah bertanduk panjang, yang dua sedang tumbuh. Alangkah
menyenangkannya! Ayah tidak melihat mata Emang bercahaya-
cahaya. Ia malah berkata, Jagalah dengan hati-hati,
jangan meleng, nanti domba-domba itu diserang anjing hutan
atau harimau tutul yang banyak berkeliaran di tepi padang,
balikan siang hari.' Tentu saja Emang mengiyakannya,
walaupun soal anjing hutan atau harimau tidak menarik
perhatian Emang yang sudah tergila-gila pada kegemaran
mengadu domba.
"Keesokan harinya Emang dengan kawan-kawan berpesta
di padang itu, schari-harian mengadu domba, hingga dombaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
domba jantan itu gemetar kelelahan. Masih untung kalau
tanduknya tidak patah atau kepalanya pecah. Walaupun
begitu, setelah beberapa lama Emang tidak tahu lagi mana
yang menjadi binatang gembalaan Emang, mana yang
menjadi gembalaan orang lain. Di samping itu, banyak di
antara gembalaan Emangyang entah ke mana perginya.
Bayangkan! Karena takut dimarahi, Emang tidak pulang
dengan kawan-kawan, tetapi terus mencari-cari domba
gembala itu. Memang beberapa ekor Emang temukan kembali,
tapi kebanyakan entah ke mana. Mungkin telah diseret oleh
harimau tutul atau diambil oleh pencuri-pencuri. Menghadapi
kenyataan demikian, bingunglah Emang. Ketika malam tiba,
Emang masih berada di tengah-tengah padang dengan
beberapa ekor domba. Karena kebingungan, Emang
tambatkan domba-domba itu pada sebatang pohon, sedang
Emang sendiri duduk di salah sebuah dahannya, sambil
termenung-menung mencari jalan keluar.
"Selagi Emang termenung-menung demikian, dari jauh
tampaklah cahaya obor-obor. Tentu mereka mencari Emang.
Melihat cahaya itu, karena kebingungan Emang melepaskan
tambatan domba-domba, lalu menghalaunya, Emang sendiri
berlari, lupa akan segala bahaya yang mungkin terjadi, karena
di malam hari di padang itu biasa berkeliaran anjing-anjing
hutan, mencari domba-domba yang ketinggalan. Setelah
Emang tidak melihat cahaya-cahaya obor itu, Emang baru
memanjat pohon kembali. Sepanjang malam Emang
kedinginan di atas pohon itu dan keesokan harinya, tak seekor
domba pun tampak, bahkan tempat yang Emang kenal pun
sudah tidak ada lagi. Entah berapa lama dan berapa jauh
Emang berlari-lari di padang yang luas itu. Rupanya Emang
sudah tersesat.
"Dengan tidak tentu tujuan dan tidak tahu apa yang harus
dilakukan, berjalanlah Emang mengikuti ujung ibu jari kaki,
sepanjang jalan memetik buah-buahan, baru setelah malam
tiba Emang ingat ke rumah, lalu menangis terisak-isak. Tak
berani Emang menangis keras-keras, takut didengar binatang

buas atau siluman. Malam itu pun Emang kedinginan lagi di
atas pohon.
"Entah telah berapa hari Emang berada di padang yang
berdekatan dengan hutan itu, Emang sudah lupa lagi. Yang
Emang ingat adalah bahwa ketika itu pakaian Emang sudah
tidak keruan, perut lapar dan sakit karena hanya diisi buahbuahan
seadanya. Emang terus-menerus menangis, dan
berusaha untuk menemukan jalan pulang walaupun tahu
bahwa Emang telah menyusahkan Ayah dan mungkin Ayah
akan menghukum Emang karena perbuatan yang sembrono
itu. Akan tetapi, apa pun yang akan Emang derita di tangan
Ayah, Emang anggap lebih baik daripada harus hidup di hutan
seorang diri.
"Pada suatu hari ketika Emang mencari-cari jalan, tiba-tiba
Emang mendengar derap kaki kuda. Emang ketakutan,
jangan-jangan yang lewat itu orang jahat. Emang mengintip
dari balik semak-semak dan melihat seorang tua setengah
baya diikuti oleh tiga orang anak umur empat belasan,
semuanya naik kuda, dan semuanya adalah bangsawan.
Emang sangat gembira, tetapi tidak sempat minta tolong
karena mereka memacu kuda cepat sekali, seolah-olah sedang
berlomba. Dengan putus asa Emang berteriak-teriak, tetapi
karena tidak didengar, akhirnya Emang menjatuhkan diri
sambil menangis tersedu-sedu karena kecewa dan putus asa.
'Akan tetapi, kemudian Emang menyadari bahwa Emang
dapat mengikuti mereka dengan menuruti jejak kuda mereka.
Maka dengan menunduk, Emang berlari-lari menuruti jejak itu,
dengan harapan akhirnya Emang dapat menemukan jalan
besar yang biasa dilewati oleh manusia. Akan tetapi, harapan
Emang itu meleset karena tapak-tapak kaki kuda itu makin
lama makin jauh masuk ke dalam hutan dan mendaki gunung
yang tinggi. Akan tetapi, karena sudah kepalang, Emang
mengikutinya terus, walaupun sambil bimbang.
"Berulang-ulang Emang berhenti dan sangsi, apakah yang
Emang ikuti itu manusia atau guriang-guriang? Kalau manusia,
mengapa masuk hutan lebat? Akan tetapi, jejak kuda itu

sungguh-sungguh menarik hati Emang, dan Emang berlari
terus-menerus, takut-takut hari keburu menjadi gelap.
Sepanjang hari Emang berlari, kadang-kadang menyeberangi
sungai kecil, kadang-kadang menyelinap di antara tebingtebing
cadas yang sempit. Kadang-kadang Emang kehilangan
jejak itu, tetapi dengan kemauan yang keras, akhirnya Emang
menemukan kembali. Lari, terus lari, kadang-kadang jatuh
kadang-kadang kehabisan napas karena mendaki, tetapi terus
lari dan lari.
"Tepat sebelum malam jatuh, tiba-tiba Emang sampai di
sebuah tempat yang tinggi, dan ketika melihat ke bawah,
tampaklah oleh Emang lapangan yang luas berpasir, di
tengah-tengahnya terdapat bangunan-bangunan yang aneh.
Emang gemetar ketakutan karena ketika itu Emang yakin
bahwa yang Emang ikuti itu bukanlah manusia, tetapi para
guriang. atau lebih celaka lagi para siluman yang menggoda
dan menyesatkan Emang. Di antara bangunan-bangunan itu
bergerak sosok-sosok tubuh, semuanya berbaju putih. Emang
sangat ketakutan, lalu bersembunyi. Ketika malam makin
larut, karena takut akan binatang buas, Emang terpaksa
memanjat pohon lagi. Wah, dinginnya malam itu. Maklum,
Emang berada di puncak gunung.
"Keesokan harinya, pagi-pagi benar Emang terjaga dan
dengan heran melihat orang-orang atau guriang-guriang yang
berpakaian putih itu melakukan hal-hal yang aneh tapi
menyenangkan untuk dilihat. Mereka menari berpasangpasangan,
beberapa orang mengawasi dan membetulkan
tarian-tarian yang dilakukan oleh mereka.
"Sedang asyik-asyik Emang menonton tarian itu, tiba-tiba
dari bawah pohon terdengarlah bentakan, 'Turun!' dan ketika
Emang melihat ke bawah, seorang laki-laki yang juga berbaju
putih tengadah dan memberi isyarat supaya Emang turun.
Dengan gemetar Emang turun, dan setelah berada di bawah
Emang disuruh mengikuti, berjalan ke arah bangunanbangunan
yang aneh itu.

"Emang dibawa kepada seorang pendeta, dan ditanya
mengapa Emang sampai di sana. Emang menjelaskan
semuanya, dan setelah tuan rumah berunding, pendeta itu
mengatakan, 'Kau harus rriengetahui bahwa kau tersesat di
tempat pendidikan puragabaya. Hutan ini adalah hutan
terlarang dan orang yang memasukinya tidak boleh kembali
lagi karena mungkin akan membocorkan rahasia letak tempat
latihan dan pendidikan ilmu rahasia ini. Kau terpaksa harus
tinggal bersama kami.'
"Maka tinggallah Emang bersama mereka, hingga sekarang.
Ketika itu Emang masih kecil dan masih tidak tahu adat. Pada
suatu hari, setelah Emang tinggal lama di padepokan dan
sering melihat latihan-latihan yang sangat menarik hati
Emang, memohonlah Emang pada Eyang Resi, Juragan Sepuh,
mungkinkah hamba diperkenankan ikut belajar?'
'"Ogel, calon-calon puragabaya yang kaulihat adalah hasil
pilihan yang sangat saksama. Mereka yang jumlahnya hanya
lima belas orang itu dipilih dari beratus-ratus putra
bangsawan. Yang pertama-tama menjadi ukuran adalah
perangainya, kemudian keluarganya, kemudian kesehatan dan
kecekatan tubuhnya. Engkau tidak mungkin diizinkan menjadi
puragabaya, pertama, karena keluargamu tidak kami ketahui,
kedua, engkau berbadan pendek dan bulat. Walaupun begitu,
karena engkau patuh dan berkelakuan baik serta banyak
membantu kami selama engkau di sini, aku tidak hendak
mengecewakanmu.
'"Sejak hari ini, janganlah engkau membersihkan halaman
atau lantai candi dan asrama. Janganlah kau mengerjakan halhal
lain, kecuali mencari kayu bakar. Akan tetapi,
kuperintahkan kepadamu, agar dalam mencari kayu bakar itu
engkau tidak mempergunakan golok. Kau hanya
diperbolehkan mempergunakan tanganmu. Kau harus
mendapatkan jumlah kayu bakar yang dibutuhkan oleh
padepokan ini dengan hanya mempergunakan kedua
tanganmu.'

"Emang merasa heran akan perintah itu. Emang
menganggap bahwa Emang telah lancang meminta ikut
latihan dengan para puragabaya. Oleh karena itu, tugas yang
baru sebagai pencari kayu bakar Emang anggap sebagai
hukuman. Apa boleh buat, Emang memang bernasib jelek dan
harus menerima segala-galanya dengan tabah. Maka sejak
hari itu Emang jadi tukang mencari kayu bakar. Baru saja satu
kali mencari kayu bakar, tangan sudah lecet-lecet dan sakitsakit.
Keesokan harinya penderitaan bertambah berat lagi.
Lecet-lecet jadi bengkak dan bahkan terus pecah. Hari ketiga
Emang mematah-matahkan dahan-dahan kecil sambil
mengerang-erang kesakitan. Sungguh siksaan yang luar biasa,
tetapi Emang tahan juga. Hari keempat demikian juga,
akhirnya saraf-saraf Emang mati, dan kesakitan jadi
berkurang, walaupun tangan Emang sudah tidak seperti
tangan manusia lagi. Akan tetapi, karena kebutuhan akan
kayu bakar terus ada, Emang harus tetap bekerja,
mempergunakan tangan ini.
"Dengan tidak Emang sadari, ternyata tangan Emang
kemudian menyesuaikan diri pada tugas itu. Emang tidak
merasa sakit lagi, balikan makin lama pekerjaan menjadi
makin ringan. Dan akhirnya pekerjaan mematah-matahkan
dahan yang kering ataupun basah menjadi semacam
permainan. Di samping itu, makin hari tangan Emang menjadi
makin kuat dan besar, hingga akhirnya seperti adanya
sekarang ini.
"Pada suatu hari, Emang disergap oleh beberapa orang
calon, lalu dimasukkan ke dalam sebuah penjara yang terbuat
dari besi yang tebalnya hampir menyamai tebal ibu jari
tangan. Sambil tertawa-tawa mereka mengunci Emang di
dalam dan berkata bahwa Emang tidak akan mendapat
makanan kecuali kalau mau mengambil sendiri.
"Menghadapi lelucon itu mula-mula Emang kebingungan,
kemudian Emang tak acuh karena menyangka bahwa akhirnya
mereka akan membukakan kunci penjara besi itu. Akan tetapi,
sampai hari hampir senja tak ada seorang pun muncul. Rasa

lapar mulai menyiksa perut Emang, di samping itu rasa kesal
pun meluap. Emang berteriak-teriak, tapi hanya disahuti
dengan gelak tertawa dari jauh. Akhirnya, Emang geram juga
dan mencoba-coba kekuatan besi itu. Dengan keheranan
Emang melihat, betajia besi-besi itu melengkung dengan
mudahnya antara jari-jari Emang.
"Ketika itu Emang mengerti bahwa mereka memasukkan
Emang ke dalam penjara itu bukan main-main, tetapi dalam
rangka menilai hasil latihan yang telah diperintahkan oleh
Eyang Resi. Dan ketika mereka melihat Emang berhasil keluar
dari kurungan besi itu, mereka sangat gembira. Mereka
datang sambil mengucapkan selamat, sedang malam harinya,
dengan mengelilingi api unggun yang besar, diadakanlah
upacara pelulusan Emang.
"Dalam upacara itu, pakaian gembala Emang dibakar,
bersama-sama dengan sapu, golok, alat-alat masak, dan
lainlain, yaitu alatalat yang semenjak itu tidak boleh lagi
Emang sentuh. Untuk mengganti alat-alat itu, Emang diserahi
besi kendali kuda, besi tapal kaki kuda, dan ikat pinggang,
yang walaupun bukan ikat pinggang puragabaya, warna dan
bentuknya hampir sama. Hal itu menyatakan bahwa Emang
pun berhak berkelahi kalau kebenaran dan keadilan
membutuhkan tenaga Emang."
Demikianlah kisah kehidupan Mang Ogel, yang dengan
penuh perhatian didengarkan oleh Pangeran Muda.
"Apakah Emang pernah berkunjung kepada orangtua
Emang?"
"Wah, tentu saja, Anom, karena akhirnya Emang pun
merindukan mereka."
"Bagaimana mereka ketika bertemu kembali dengan
Emang?"
"Mereka sudah tidak mengenal Emang lagi karena entah
berapa tahun Emang berada di Padepokan sejak Emang
melarikan diri."
"Lalu Emang bagaimana?"

"Emang bertanya kepada Ayah, apakah anaknya yang
bernama Ogel itu ditemukan kembali atau tidak. Jawabnya
tidak, karena anak itu telah dimakan gerombolan anjing hutan
bersama domba-dombanya. Emang bertanya, apakah Ayah
harus mengganti domba-domba itu, jawabnya juga tidak,
karena kalau Ayah harus mengganti domba-domba itu, Kuwu
harus mengganti nyawa Emang. Maka persoalannya selesai."
Mendengar cerita itu legalah hati Pangeran Muda.
Kemudian ditanyakan pula tentang bagaimana Mang Ogel
mengenalkan diri kembali, "Bagaimana ayah Emang mengenali
Emang?"
"Emang bertanya, 'Apakah Ogel itu seorang anak yang
pernah tertimpa kuali besi di punggungnya dan mendapatkan
luka yang seperti ini?' sambil membuka pakaian dan
memperlihatkan punggung. Ayah membelalak, lalu melihat
wajah Emang, setelah itu ia merangkul Emang sambil
berteriak-teriak memanggil Ibu. Mereka sangat bersenang hati
dengan nasib Emang, dan kepada para tetangga selalu
menyatakan bahwa Emang jadi puragabaya."
"Engkau puragabaya, Mang, walaupun dengan gaya
tersendiri," ujar Pangeran Muda sambil tersenyum dengan
tulus. Sementara itu, kuda mereka pun berlari dengan sedang,
ladam kakinya berdepuk-depuk di tanah hutan yang gembur.
Bab 9
Lembah Tengkorak
Sementara itu, kedua penunggang kuda tiba di pinggir
jurang. Dari atas jurang itu terdapat suatu celah, yaitu jalan
air yang biasa dipergunakan oleh para penghuni Padepokan
Tajimalela sebagai jalan kalau mereka hendak mengunjungi
dunia luar. Ketika Pangeran Muda dan Mang Ogel hendak
melalui celah itu, mereka melihat dulu ke sekeliling. Hati
mereka menjadi kecut ketika di bawah jurang itu hutan samar
saja tampaknya, karena kabut naik dari dataran rendah.

"Mang, kalau kita pulang kembali, kita akan kemalaman
dijalan, tetapi kalau kita lanjutkan perjalanan, mungkin kita
akan tersesat dalam kabut ini. Satu hal yang dapat kita
harapkan bahwa setelah hari panas, kabut ini akan menguap
dan naik ke angkasa," kata Pangeran Muda sambil merenung
ke arah kabut yang sangat tebal itu.
"Anomlah yang memutuskan, Emang sendiri sudah
berpengalaman dalam tersesat di hutan hehehe," ujar Mang
Ogel.
Mendengar tertawa Mang Ogel hilanglah kecut hati
Pangeran Muda.
"Mari kita untung-untungan saja, Mang. Kalaupun kita
harus tidur di hutan, kita akan dapat melindungi diri dan kudakuda
kita," kata Pangeran Muda sambil menarik kendali,
memberi isyarat pada si Gambir supaya mulai menuruni celah
jurang itu. Mang Ogel pun menghentakkan kakinya ke arah
lambung kudanya yang pendek sambil berseru, "Ha!" Maka
kedua kuda mereka pun berjalanlah dengan hati-hati
menuruni celah curam itu.
Tidak berapa lama kemudian mereka pun sudah tiba di
hutan yang ada di bawah jurang, kemudian mulai berjalan di
bawah kabut yang rendah. Ternyata kabut itu sangat tebal,
hingga pemandangan di hutan itu remang-remang saja.
Pangeran Muda merasa seolah-olah mereka sedang memasuki
gua yang remang-remang dan berudara dingin. Kuda mereka
mendengus-dengus kedinginan, sedang burung-burung hutan
yang ketakutan oleh kabut yang rendah itu terbang ke sana
kemari sambil berbunyi, panggil-memanggil dengan
kawannya. Begitu rendahnya kadang-kadang burung-burung
itu terbang, hingga berulang-ulang mereka menggelepar di
sekeliling kedua penunggang kuda itu, bahkan kadang-kadang
menabraknya. Para penunggang kuda dengan hati-hati, tapi
berkeras, terus berjalan sambil mengawasi jalan setapak yang
ada di hadapan mereka.
Akan tetapi, makin lama kabut itu makin tebal juga, hingga
akhirnya Pangeran Muda turun dari punggung kuda diikuti

oleh Mang Ogel. Mereka berjalan menuntun kuda masingmasing,
sementara kaki mereka meraba-raba rumputan dan
semak-semak, menjaga agar mereka tidak tersesat. Sambil
berjalan demikian Pangeran Muda tak habis-habisnya berdoa,
mudah-mudahan matahari bersinar lebih terang atau angin
kencang betiup, agar kabut yang tebal itu melepaskan
cengkeramannya terhadap hutan itu. Akan tetapi, doa-doa itu
sia-sia belaka, makin lama makin tebal juga kabut itu, hingga
Pangeran Muda hanya sanggup melihat beberapa langkah saja
sekeliling dirinya.
"Mang Ogel, talikan kendali kudamu pada pelana kuda
saya, agar kita tidak terpisah." Mang Ogel melakukan apa
yang diperintahkan oleh Pangeran Muda, dan mereka pun
terus berjalan, dalam kabut yang makin lama makin kelam
juga. Entah telah berapa lama mereka berjalan, dan entah
arah mana mereka berjalan, tiba-tiba suatu hal terjadi. Suara
tertawa yang keras dan menyeramkan tiba-tiba terdengar
entah dari mana. Dari atas, kiri, dan kanan atau belakang
tidak mereka ketahui. Mendengar suara tertawa itu,
meremanglah bulu roma Pangeran Muda, sementara itu si
Gambir mendengus-dengus sedang surainya berdiri, matanya
liar mengawasi ke sekelilingnya.
"Sambal!" gerutu Mang Ogel. "Dikiranya kita seperti anakanak,
dapat ditakut-takuti!" Akan tetapi, kemudian terdengar
Mang Ogel membaca mantra-mantra mengusir siluman.
Sementara itu, suara tertawa terdengar, kadang-kadang jauh,
kadang-kadang dekat sekali. Setiap kali suara itu terdengar
kuda-kuda jadi gelisah.
Kadang-kadang Pangeran Muda seolah-olah melihat, dalam
keremangan itu ada sosok manusia atau makhluk lain
bergerak. Tapi hanya selintas. Kemudian terdengar suara lagi
kadang-kadang suara laki-laki, kadang-kadang suara
perempuan. Pada suatu kali, ketika kabut sedikit menipis,
Pangeran Muda melihat ada seorang perempuan, dengan
telanjang bulat dan rambut terurai berlari sambil tertawa di
dalam semak-semak itu. Rupanya si Gambir melihatnya pula

dan meringkik sambil tidak mau melangkahkan kakinya.
Pangeran menarik kendalinya agak keras dan mereka pun
terus berjalan.
"Anom, kita tersesat ke dalam hutan mereka," kata Mang
Ogel.
"Hutan siapa?" tanya Pangeran Muda.
"Hutan makhluk-makhluk terkutuk itu," ujar Mang Ogel.
"Mang, mereka tidak punya hutan. Mereka tidak berhak
atas dunia ini. Tempat mereka sebenarnya di Buana Larang.
Buana Pancatengah diserahkan oleh Sang Hiang Tunggal pada
manusia. Para siluman itu tidak tahu diri," jawab Pangeran
Muda.
Tiba-tiba bergelaklah suara tertawa dari berbagai arah,
suara laki-laki dan perempuan, tetapi nada tertawa itu sangat
berbeda dengan nada tertawa manusia, menyeramkan,
menegangkan bulu roma. Pangeran Muda dan Mang Ogel
tidak menyerah pada tekanan makhluk-makhluk yang tidak
tampak itu. Mereka terus berjalan sambil mengucapkan
mantra-mantra.
Kemudian terdengar suara baru, suara bayi menangis di
dalam semak itu. Mang Ogel berhenti sejenak, lalu berkata,
'Anom!" Sambil berkata demikian, ia bergerak akan melangkah
ke arah suara bayi itu.
"Mang, jangan pedulikan!" kata Pangeran Muda. Rupanya
Mang Ogel mengerti karena ia segera kembali memegang
kendali kudanya dan terus mengikuti Pangeran Muda yang
meraba-raba jalan dengan kakinya. Ternyata suara bayi itu
mengikutinya, ke mana pun mereka pergi. Kadang-kadang
terdengar pula suara tertawa sayup-sayup, kadang-kadang
terdengar suara-suara lain yang tidak dikenal, tetapi
semuanya menggelisahkan kuda-kuda mereka, hingga sarafsaraf
mereka menjadi tertekan dan sangat tegang karenanya.
"Anom, kita bisa gila kalau terus-menerus begini," bisik
Mang Ogel.

"Bacalah mantra-mantra itu terus Mang Ogel,
pertahankanlah pikiran waras kita dengan mengutuk nama
mereka."
Pada suatu saat Pangeran Muda seolah-olah melihat
sesosok tubuh melompat di hadapannya. Nalurinya segera
menjawab hadangan itu dengan gerakan menyerang yang
cepat bagai kilat. Akan tetapi, sosok tubuh yang berkelebat di
hadapannya lenyap dalam sekejap. Kejadian semacam itu
beberapa kali terulang, tetapi Pangeran Muda tidak mau
tertipu untuk kedua kali. Dilangkahkannya kakinya merabaraba
tanah menjaga agar mereka tidak terjatuh ke dalam
jurang.
Akhirnya, kabut itu menipis juga dan pandangan menjadi
lebih luas. Makin lama kabut makin menipis, dan akhirnya
hutan yang di sekeliling tampak, walaupun masih suram
kelihatannya. Pangeran Muda mulai merasa lega, dan mereka
pun mulai menaiki punggung kuda masing-masing.
'Anom, Mang Ogel tidak kenal dengan hutan ini."
"Tidak jadi apa, Mang. Akhirnya kita kan menemukan jalan
kembali, mari!" Mereka pun melanjutkan perjalanan tanpa
bercakap-cakap. Dari jauh masih terdengar suara tertawa
sayup-sayup, suara bayi pun masih terus mengikuti mereka,
walaupun lebih lemah kedengarannya.
Tiba-tiba Pangeran Muda menghentikan kudanya. Di
hadapan mereka terbentang hutan yang aneh dan
menyeramkan. Pohon-pohon di sana tidak berdaun, sedang
batang-batangnya yang berdiri bagai rangka-rangka besar,
bentuknya seperti orang-orang yang sedang disiksa,
menggeliat-geliat kesakitan. Sementara itu, suasana sangat
sunyi, tak ada yang bergerak, tak ada suara, bahkan angin
pun tidak bertiup di tempat itu.
Setelah sejenak berhenti, Pangeran Muda melanjutkan
perjalanan, sambil terus membaca doa-doa. Pada suatu
tempat dengan terkejut Pangeran Muda menahan kendali si
Gambir, karena di hadapannya tiba-tiba saja menganga
sebuah jurang yang sempit tapi dalam, yang dasarnya tidak

kelihatan. Dari jurang itu keluar asap berwarna, yang baunya
sungguh-sungguh tidak menyenangkan.
"Anom," bisik Mang Ogel, "jauh sekali rupanya kita
tersesat. Jurang itu lubang para siluman yang terowongannya
tentu saja berujung di Buana Larang, kerajaan mereka yang
terkutuk itu."
"Sssssst," bisik Pangeran Muda, sambil membelokkan si
Gambir. Mereka terus berjalan, bukan karena tahu akan
tujuan, tetapi kalau tidak berjalan mereka akan merasa sangat
tertekan. LJntunglah makin lama kabut makin menipis, dan
suara-suara yang tidak menyenangkan yang mengikuti mereka
makin lama makin sayup-sayup. Akhirnya, tibalah mereka di
suatu padang terbuka, di pinggir suatu lembah yang tidak
ditumbuhi pohon-pohonan. Pangeran Muda memecut si
Gambir agar berlari di lembah itu, tetapi tiba-tiba didengarnya
Mang Ogel berteriak, "Anom berhenti!"
Pangeran Muda dengan cepat menghentikan kudanya.
Mang Ogel segera tiba di sampingnya.
"Lihat," kata Mang Ogel sambil menunjuk ke tengah
lembah. Di sana tampak benda-benda putih yang tidaklah lain
kecuali tengkorak-tengkorak binatang dan manusia.
"Lembah Kematian," bisik Pangeran Muda yang pernah
mendengar dongeng orang tua-tua.
"Lembah Tengkorak."
"Mari kita teruskan perjalanan, mari kita lihat tengkoraktengkorak
itu lebih dekat," kata Pangeran Muda.
'Jangan, Anom. Lebih baik kita kembali," kata Mang Ogel
ketakutan. Akan tetapi, Pangeran Muda yang merasa
penasaran tampaknya tidak akan mengurungkan niatnya.
Mang Ogel menahan kembali si Gambir, sambil tetap
memandang ke arah lembah luas yang dipenuhi oleh tulangtulang
yang telah memutih. Di suatu tempat tampak mayat
manusia setengah utuh, menyeringai dengan tangan-tangan
yang menjulur seolah-olah hendak memeluk sesuatu. "Jangan,
Anom!" bisik Mang Ogel. Sementara itu, serombongan burung
yang terhalau oleh gumpalan kabut terbang rendah. Mereka

berputar-putar, tetapi karena di mana-mana kabut tebal
mendinding, burung-burung itu kemudian terbang di atas
Lembah Tengkorak itu. Setelah itu, pemandangan yang
mengherankan terjadi. Tiba-tiba saja burung-burung itu
berjatuhan seperti batu-batu yang dilemparkan dari langit ke
atas lembah itu. Beberapa burung selamat dan berusaha
terbang melarikan diri dari atas lembah itu sambil berteriakteriak.
Akan tetapi, mereka pun kemudian tidak berdaya dan
berjatuhan. Beberapa ekor jatuh di dekat Pangeran Muda dan
Mang Ogel.
"Sambal!" gertak Mang Ogel perlahan-lahan. "Siluman
sungguhrsungguh sudah berkuasa penuh di lembah itu, Anom.
Mari kita pergi!"
Sekarang Pangeran Muda menyadari akan bahaya yang
tidak kelihatan yang mengancam nyawa mereka. Dengan
patuh Pangeran Muda menarik kembali si Gambir, dan mereka
pun berjalan menjauhi lembah yang menakutkan itu.
Entah berapa lama mereka tersaruk-saruk di dalam hutan
itu, akhirnya, pada suatu kali Mang Ogel berseru, menyatakan
bahwa dia mengenal hutan itu.
"Kalau begitu, berjalanlah di muka, Mang," kata Pangeran
Muda.
Mang Ogel berjalan di muka, dan akhirnya tibalah mereka
di padang yang mereka kenali. Setelah mengucapkan syukur
kepada para guriang yang melindungi mereka di hutan
terkutuk itu, mereka beristirahat. Kemudian, agar tidak kemalaman
di padang, mereka memacu kuda mereka ke arah
wilayah yang didiami manusia.
Bab 10
Kuntum Kenanga
Tidak berapa lama kemudian, ketika langit berubah dari
biru menjadi nila, dan awan-awan yang perak menjadi emas,
tampaklah sayup-sayup sebuah kampung. Akan tetapi,

ternyata kampung yang mereka tuju itu sangat besar. Ketika
Pangeran Muda menanyakan kepada Mang Ogel tentang nama
kampung itu, Mang Ogel menjelaskan, "Anom ini bukan
kampung. Rumah-rumah dan tempat-tempat pemujaan di sini
banyak sekali. Oleh karena itu, malam ini kita akan bermalam
di sebuah kota kecil yang diperintah oleh Tumenggung
Wiratanu. Kota ini penduduknya rajin-rajin; di samping bertani
mereka berdagang dan membuat kerajinan tangan, hasil
pekerjaan tangan ini mereka kirim ke Pelabuhan Negara
Kutabarang. Sang Prabu sudah beberapa kali berkenan datang
ke kota ini, walaupun kecil, terutama karena tertarik oleh
kegiatan niaga penduduknya."
"Kalau begitu, malam ini kita makan besar, Mang. Rindu
benar rasanya lidah saya akan makanan-makanan daerah
pedataran."
"Wah, sungguh-sungguh satu hati kita ini, Anom! Mari kita
percepat kuda-kuda kita. Mereka pun sudah rindu akan
rumput dataran rendah!" sambil berkata demikian, dipacunya
kudanya dengan kencang.
Pangeran Muda terpaksa pula memecut si Gambir yang
melonjak lari dan dengan penuh semangat meluruskan uraturatnya
di dataran yang luas itu. Tidak berapa lama kemudian
tibalah mereka di lawang kori kota itu.
Ketika melihat Mang Ogel yang tampak aneh itu, para
gulang-gulang yang menjaga lawang kori mula-mula raguragu
untuk mengizinkannya masuk. Akan tetapi, setelah
mereka melihat Pangeran Muda yang dari ujung rambut
hingga telapak kakinya menyinarkan kesatriaan, dengan
hormat mereka mempersilakan kedua pengembara itu
memasuki kota.
"Dapatkah saya mengetahui nama dan keluarga Raden?"
tanya kepala gulang-gulang kepada Pangeran Muda.
"Nama saya Anggadipati, ayahanda adalah Pangeran
Anggadipati, tentu Saudara pun pernah mendengar nama
beliau. Ini adalah pengawal saya, Mang Ogel."

"Kami senang mendapatkan kunjungan kehormatan dari
Pangeran Muda," sambung kepala gulang-gulang itu.
"Paman, kami kemalaman dijalan. Kamilah yang harus
berterima kasih pada keramahtamahan warga kota yang telah
membuka pintunya bagi kami. Jadi, terima kasih atas segala
kebaikan."
"Dipersilakan, Pangeran Muda."
Maka kedua orang pendatang itu pun masuklah ke dalam
kota, dan tercengang ketika melihat kemeriahan kota itu.
Ketika itu langit senja telah berwarna tembaga. Oleh karena
itu, obor-obor yang dipasang sepanjang tepi jalan yang lebar
menjadi makin terang tampaknya di kanan kiri jalan, juga di
atas jalan, digantungkan orang berbagai hiasan dari janurjanur
serta bunga-bungaan. Sementara itu, orang-orang yang
hilir mudik, laki-laki, perempuan dan anak-anak, berpakaian
indah-indah. Sedang mereka tampaknya sangat sibuk pula.
"Paman, perayaan apakah yang sedang diselenggarakan
oleh warga kota?" tanya Pangeran Muda sambil memegang
kendali si Gambir yang dituntunnya dijalan besar itu.
"Anak Muda, siang tadi panen baru saja selesai dan malam
ini perayaan menghormati Sang Hiang Sri akan dilakukan di
lapangan depan pendapa," kata orang yang ditanya itu.
"Wah, kalau begitu malam ini Mang Ogel akan mabuk tuak
dan tidur pulas karena nasi ketan hehehe!" seru Mang Ogel
keriangan.
"Mang, engkau adalah seorang puragabaya, terlarang bagi
kita untuk menyentuh makanan atau minuman yang dapat
menghalau akal sehat dari kepala kita," kata Pangeran Muda
memberikan peringatan.
"Anom, Emang adalah puragabaya, tapi dengan gaya
tersendiri sesuai dengan pendapat Anom hehehe. Bagi
puragabaya gaya Mang Ogel kelebihan makan atau minum
tidak dilarang. Demikian juga, akal sehat Emang tidak usah
selalu ada dalam tempurung kepala Emang. Kasihan Anom,
sekali-kali perlu juga dibiarkan cari hawa, jalan-jalan hehehe."

"Baiklah Mang, asal jangan saya disuruh memapah Emang
pulang ke penginapan dan janganlah Emang muntahmuntah
karena mabuk nanti, seperti muntah-muntah sehabis melihat
Rawing makan ular itu."
"Jangan takut, Anom. Emang berpengalaman dalam minum
tuak. Tapi janganlah nanti diceritakan kepada orang-orang di
padepokan, apalagi kepada Eyang Resi, hehehe. Kalau Anom
usil, Emang tidak akan mau lagi menjadi panakawan Anom
hehehe."
"Baiklah, sekarang marilah kita cari tempat menginap,
Mang," ujar Pangeran Muda sambil menuntun si Gambir
menyusuri tepi jalan besar yang meriah oleh orang yang hilir
mudik, oleh pakaian mereka yang bagus-bagus dan hiasanhiasan
di atas dan di pinggirnya.
Di bawah cahaya obor yang terang benderang itu
tampaklah sebuah rumah besar yang di depannya terdapat
beberapa ekor kuda yang ditambatkan pada tiang-tiang
tambatan. Pangeran Muda dengan diikuti oleh Mang Ogel
segera berjalan ke arah sana, lalu berhenti sejenak,
memandang ke dalam rumah yang serambinya luas dan
terang oleh lentera-lentera minyak kelapa.
"Mang, pegangkanlah kendali si Gambir. Saya akan
menanyakan tempat," ujar Pangeran Muda. "Tidak, Anom.
Emanglah yang pergi."
"Baiklah, mari saya pegangkan kendali kudamu, Mang."
Mang Ogel pun masuk ke dalam serambi, lalu menghilang di
balik sebuah pintu. Tak berapa lama kemudian ia kembali dan
mengatakan bahwa tempat masih tersedia.
Setelah menambatkan kuda dan memberinya rumput,
keratan ubi mentali, dedak, dan taburan garam, Pangeran
Muda dan Mang Ogel membersihkan diri di tempat yang
tersedia di belakang rumah penginapan yang besar itu.
Setelah itu, mereka bersantap. Selesai bersantap mereka
mengenakan pakaian yang pantas, tetapi sangat sederhana.
Pangeran Muda mengajak Mang Ogel melihat-lihat kota.

Untuk sampai di tempat pesta tidaklah sukar. Dengan
mengikuti arus manusia yang hampir berdesak-desakan di
jalan itu, sampailah Pangeran Muda dengan Mang Ogel ke
sebuah lapangan yang sangat luas. Di sekeliling lapangan itu
terdapat tempat duduk dan beberapa panggung yang juga
diisi dengan tempat-tempat duduk. Panggung-panggung itu
dihiasi dengan janur dan buah-buahan serta bunga-bungaan
beraneka ragam. Di tengah-tengah lapang itu sendiri berdirilah
menara tinggi yang terbuat dari ikatan-ikatan padi yang
beribu-ribu jumlahnya. Di atas menara padi itu berdiri rumahrumahan,
yang di dalamnya disemayamkan patung Sang
Hiang Sri yang terbuat dari emas murni. Di kaki menara padi
itu ditanamkan orang panji-panji, umbul-umbul yang tiangtiangnya
terdiri dari bambu-bambu betung. Kain panji-panji
dan umbul-umbul itu terbuat dari sutra yang merah, kuning,
putih, hijau, Jingga, nila warnanya. Dari segala perlengkapan
itu sadarlah Pangeran Muda, bahwa kota kecil ini termasuk
kota kecil yang maju dan kaya raya penduduknya.
Ketika Pangeran Muda dan panakawannya sampai di
lapangan, orang sudah berjejal-jejal. Sementara itu, panggung
pun sudah diisi oleh pembesar-pembesar kota. Pembesar dan
para bangsawan duduk di deretan terdepan, di belakang
mereka duduklah putri-putri mereka yang berpakaian
serbaindah dan mengenakan perhiasan-perhiasan yang
gemerlapan. Melihat putri-putri serta emban-emban yang
cantik, bertanyalah Mang Ogel, "Anom, berapa tahun umurmu
sekarang?"
"Hampir tujuh belas, Mang. Mengapa?" Pangeran Muda
bertanya karena heran mendengar pertanyaan Mang Ogel
yang tidak disangka-sangka itu.
"Nah, tadi Anom menasihati Mang Ogel agar tidak mabuk
tuak. Sekarang Emanglah yang mendapat kesempatan
membalas. Emang hendak menasihati Anom: Awas jangan
mabuk oleh kerlingan dan senyuman gadis-gadis itu. Itu
bukan saja akan menghalaukan akal sehatmu, bahkan
menghalaukan seluruh pikiranmu, Anom!"

"Mang Ogel, jangan takut.
"Gadis-gadis itu tidak menarik perhatian saya," ujar
Pangeran Muda.
"Ala, ni anak! Kalau Anom tidak memerhatikan mereka,
mereka yang akan memerhatikan Anom. Lihat dirimu sendiri
dalam cermin, Anom. Walaupun kau belum tujuh belas, orang
akan menyangka sekurang-kurangnya kau berumur dua puluh.
Latihan-latihan dan udara sehat di padepokan menumbuhkan
rohani dan jasmanimu dengan cepat. Jadi, hati-hatilah."
"Jangan takut, Mang. Minumlah sepuas-puasnya hingga
kau kehilangan akal warasmu," ujar Pangeran Muda dengan
tersenyum
Mereka pun bergabunglah dengan orang banyak yang
berjejal-jejal sekitar lapangan itu.
Ketika bulan muncul di atas benteng sebelah timur kota,
dan menyaingi obor-obor dengan cahaya peraknya, ditiup
oranglah trompet tiram, mendayu-dayu bunyinya. Orangorang
yang ingar-bingar pun sunyilah, tanda upacara
mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri akan dimulai. Dari
panggung terbesar di tepi lapangan itu tampaklah
Tumenggung Wiratanu berdiri dari tempat duduknya, dan
dengan didampingi oleh beberapa orang pendeta kota ia mulai
berdoa dan berseru kepada Nyai Sang Hiang Sri yang duduk
dengan megah dalam rumah-rumahan di atas menara padi itu.
"Putri Sang Hiang Tunggal yang pemurah
Sang Hiang Sri yang abadi
Lambang kehidupan dan kesuburan
Seluruh warga kota Kuta Kiara menyilakan
Sang Hiang Sri untuk bersemayam selama-lamanya
di tengah-tengah kami."
"Nyakseni" gumam pendeta-pendeta yang diikuti oleh
khalayak. Dan sekarang, sebagai tanda kegembiraan karena
Sang Hiang Sri telah berkenan melimpahkan kemurahannya
kepada kita malam ini, semalam suntuk kita akan berpesta
dan tidak akan pernah tidur, hingga matahari menggantikan
purnama."

Selesai pembicaraan itu, dan sebelum Tumenggung
Wiratanu kembali ke tempat duduknya, dari kolong panggung
terdengarlah bunyi trompet diiringi gendang yang
bersemangat, maka gemuruhlah seluruh tempat itu oleh suara
bunyi-bunyian.
Tak lama kemudian melompatlah beberapa orang ke dalam
gelanggang dan mulai menari. Mereka segera diikuti oleh
kawan-kawannya yang lain, laki-laki, perempuan, tua, dan
muda. Mereka menari sambil menyanyi mengikuti irama
gendang, mengelilingi menara padi sambil meliuk
melenggang. Melihat kegembiraan anak negeri yang
diperlihatkan dalam tari dan nyanyi itu, hangat pulalah hati
Pangeran Muda.
Kalau saja Pangeran Muda bukan seorang bangsawan, dan
bangsawan tinggi pula, mungkin Pangeran Muda sudah
menggabungkan diri dengan barisan yang berlenggang-lenggok
dan melingkar-lingkar bagai ular itu. Akan tetapi, karena
selalu sadar akan kedudukannya, Pangeran Muda hanya
bertepuk.
"Mang Ogel, saya sudah beberapa kali mengikuti pesta
macam itu, bahkan pernah ikut menari, tetapi sekali ini
suasana meriah luar biasa," kata Pangeran Muda. Akan tetapi,
ketika tidak ada yang menyahut, Pangeran Muda segera
berpaling ke sampingnya. Ternyata Mang Ogel tidak ada.
Pangeran Muda melihat ke kiri dan ke kanan mencari-cari,
tetapi sia-sia, bukan saja karena orang terlalu banyak, tetapi
orang-orang itu tidak tinggal diam, bergerak kian kemari.
Pangeran Muda mulai kebingungan karena tanpa Mang Ogel
mungkin ia akan tersesat mencari tempat penginapan nanti.
Padahal ia bermaksud tidur sore-sore. Akan tetapi, kemudian
hatniya menjadi lega kembali demi melihat seorang yang
gemuk dan pendek menari-nari dan melambai-lambaikan
tangannya yang lebar dan besar seperti sepitan kepiting itu
dalam barisan manusia yang menari-nari dan melingkarlingkar
mengelilingi menara padi itu.

Sementara itu, ke tengah-tengah orang banyak itu
masuklah orang-orang yang mengusung tempayan-tempayan
besar. Di belakang pengusung-pengusung tempayan itu
berjalan pulalah pembawa niru-niru yang penuh diisi cangkircangkir
tanah liat. Pembagian tuak dimulai, dan orang-orang
pun terburu-buru mengelilingi pengusung-pengusung
tempayan itu. Sementara itu, dari arah lain diusung pula bakibaki
yang berisi makanan-makanan serta buah-buahan. Yang
paling menarik perhatian Pangeran Muda dalam sebuah baki
besar yang diusung oleh empat orang di atasnya berisi seekor
babi hutan besar yang telah dibakar dan dibumbui. Sambil
tertawa dan bersorak-sorak orang mengerumuni babi bakar
itu, dan mulai mempergunakan pisau-pisau untuk mengerat
dagingnya yang berlemak itu. Maka pesta itu pun lengkaplah,
yang menari, yang makan, yang minum semua sibuk.
Ketika sedang asyik memerhatikan segala keramaian itu,
seseorang menyentuh tangan Pangeran Muda. Ketika
Pangeran Muda berpaling tampaklah seorang pemuda
menyodorkan secangkir tuak.
"Untuk memeriahkan kedatangan Sang Hiang Sri, marilah
kita minum bersama," katanya.
"Terima kasih, kesehatan saya tidak mengizinkan saya
minum-minuman memabukkan," jawab Pangeran Muda,
terpaksa berdusta untuk tidak mengecewakan kebaikan
pemuda itu.
"Sakit apa?" tanya pemuda itu keheranan, "Saudara
kelihatannya sehat-sehat saja."
"Saya sendiri juga tidak tahu, hanya dukun meminta
kepada saya agar tidak minum tuak dan sebangsanya."
"Air gula boleh? Air buah-buahan?" tanyanya. "Boleh,
terima kasih, tapi jangan menyusahkan." "Tidak
menyusahkan," kata pemuda itu sambil mengambil secangkir
air buah-buahan yang diterima oleh Pangeran Muda setelah
mengucapkan terima kasih.
"Tampaknya Saudara orang baru," katanya pula.

"Saya baru saja datang tadi sore," ujar Pangeran Muda.
"Pantas, Saudara kelihatan asing dan kesepian," kata pemuda
itu sambil tersenyum. "Marilah, bergabunglah dengan kami,
orang muda tidak pantas berada di sini," sambungnya. Sambil
berkata demikian dituntunnya Pangeran Muda ke arah
panggung terbesar, kemudian, dengan melewati tukangtukang
tabuh gamelan di bawah panggung, kawan barunya itu
membawa Pangeran Muda ke dalam suatu tempat di belakang
panggung yang remang-remang disinari obor-obor kecil.
Di sana banyak sekali pemuda yang berumur belasan
sampai dua puluhan. Mereka ada yang bermain dadu, minum
tuak, makan, berpantun-pantunan. Umumnya mereka putraputra
bangsawan. Hal itu kelihatan dari pakaian mereka yang
bersulamkan benang emas atau benang perak, sesuai dengan
tingkat kebangsawanan keluarga mereka. Setiba di tempat itu,
kawan barunya disambut oleh kawan-kawannya, seraya
berbisik-bisik serta tertawa-tawa pergilah ia ke tempat lain,
lupa akan Pangeran Muda yang tertegun di sana dan merasa
asing.
Semula Pangeran Muda bermaksud kembali ke tempat
terang untuk menonton orang-orang yang menari, tetapi
untuk mencapai tempat itu harus melangkahi tukang-tukang
bunyi-bunyian yang berada di bawah panggung. Seandainya
Pangeran Muda seorang warga kota yang telah dikenal oleh
mereka, mungkin hal itu mudah saja dilakukan. Akan tetapi,
karena merasa dirinya orang asing, hal itu tidaklah
dilakukannya. Pangeran Muda malah memutuskan untuk
tinggal di tempat pemuda-pemuda itu, sambil meniru-niru
apa-apa yang mereka lakukan agar tidak menarik perhatian.
Main dadu bukanlah kegemaran Pangeran Muda, di
samping itu berjudi ditabukan bagi seorang puragabaya dan
juga bagi seorang calon. Minum tuak demikian juga. Setelah
melihat ke kiri dan ke kanan, tampaklah oleh Pangeran Muda
seorang pemain kecapi buta, yang dengan merdunya sedang
bernyanyi. Pangeran Muda segera melangkah ke sana, lalu

ikut duduk di atas tikar di mana orang-orang muda lain
sedang mengelilingi pemain kecapi itu.
Sambil mendengarkan nyanyian tukang kecapi itu,
Pangeran Muda memerhatikan tingkah laku orang-orang muda
di sana. Seorang muda memberikan uang logam kepada
tukang kecapi buta itu, lalu meminta dinyanyikan sebuah lagu.
Melihat itu, Pangeran Muda segera merogoh uang kecil,
bermaksud meniru perbuatan orang lain agar tidak merasa
terlalu asing dan agar tidak menarik perhatian orang. Akan
tetapi, baru saja lagu selesai, pemuda lain sudah memberikan
uang terlebih dahulu. Kali ini lagunya tidak menarik hati
Pangeran Muda. Oleh karena itu, dilayangkannya pandangan
ke sekeliling.
Mengertilah Pangeran Muda, mengapa putra-putra
bangsawan berkumpul di bawah panggung besar itu. Ketika
Pangeran Muda tengadah, berjajarlah putri-putri dan gadisgadis
emban di atas panggung. Mengerti pula Pangeran Muda
tentang kedudukan tukang kecapi buta, yaitu sebagai orang
yang menyampaikan isi hati pemuda-pemuda kepada pemudipemudi
yang berada di atas panggung itu. Pantas, pikir
Pangeran Muda, kalau lagu-lagu yang dinyanyikan oleh tukang
kecapi itu berupa lagu-lagu kasih asmara semata. Dengan
menyadari hal itu, dikembalikanlah uang logamnva ke dalam
kantongnya.
Sementara itu, tampak pula beberapa orang tua yang sibuk
di tengah-tengah pemuda-pemuda itu, yaitu orang-orang tua
laki-laki dan perempuan yang bolak-balik naik-turun
panggung. Mak Comblang! pikir Pangeran Muda. Pangeran
Muda mulai merasa tidak betah. Permainan-permainan yang
disaksikannya, walaupun menarik keingintahuannya, adalah
permainan-permainan orang-orang yang lebih tua
daripadanya. Walaupun begitu, Pangeran Muda tidak beranjak
dari tempat duduknya. Diperhatikannya segala gerak-gerik
orang-orang muda dan gadis-gadis itu dengan tekun.

Pada suatu saat datanglah seorang tua ke dekatnya. Orang
ini dengan tidak disangka-sangka berbisik kepadanya,
"Seseorang bertanya kepada Bibi tentang Raden," katanya.
"Siapakah dia?" tanya Pangeran Muda agak bingung.
"Yang duduk dekat tiang dan sedang memandang bulan
itu," kata orang itu.
Pangeran Muda berpaling dan terhenyak, karena orang
yang menanyakan tentang dirinya adalah seorang putri.
Pangeran Muda tidak tahu, apakah ia merasa takut, gembira,
terkejut, atau apa. Yang disadarinya hanyalah jantungnya
berdegup dengan cepat. Ia pun tidak tahu apa yang akan
dikatakannya kepada putri itu. Baru pertama kali ia
menghadapi pengalaman yang mengguncangkan dan
membingungkannya seperti itu.
"Siapakah dan dari manakah Raden? Nyi Putri ingin sekali
mengetahui. Ia bertanya kepada Bibi, kalau tidak salah Raden
baru pertama kali hadir di pesta seperti ini."
"Saya orang asing, Bibi... dan... besok sudah harus pergi ...
dari ... mana atau ke mana tidak boleh disebutkan. Saya...
seorang cantrik dari suatu padepokan."
Orang tua itu tersenyum, lalu berkata, "Mengapa harus
berdusta? Raden bukan seorang cantrik. Kalaupun bukan
seorang pangeran yang sedang berkelana dan cari
pengalaman, Raden mungkin seorang putra bangsawan,
sekurang-kurangnya putra saudagar."
"Terserah kepada Bibi, tetapi apa yang saya katakan itu
benar."
"Baiklah, tetapi Raden harus jawab pertanyaan Nyai Putri,
supaya Bibi dapat mengatakan sesuatu."
"Bibi, katakan saya berterima kasih akan keramahan Tuan
Putri, tetapi saya... saya adalah seorang cantrik yang
melarikan diri dari padepokan untuk menonton pesta ini. Kalau
rahasia tentang nama saya dibuka, saya akan mendapat
kesukaran," ujar Pangeran Muda yang kebingungan.
"Apakah Raden sudah mendapatkan sekuntum bunga lain?"
"Apakah yang Bibi maksud?"

'Jangan pura-pura tidak tahu. Tapi baiklah, Bibi akan
menyampaikan kata-kata Raden," kata orang tua itu, lalu
berjalan ke dalam gelap. Tak lama kemudian sudah tampak
berbisik-bisik dengan putri yang berada dekat tiang, yang
asyik memandang bulan.
Pangeran Muda berdiri dari tempat duduknya, lalu berjalan
dengan maksud meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, karena
banyaknya orang, akhirnya ia tertahan di suatu tempat tidak
berapa jauh dari tempat semula. Sementara Pangeran Muda
sedang berpikir-pikir, terjadilah suatu hal yang menarik
perhatiannya. Pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang
berada di atas panggung mulai main lempar-lemparan dengan
bunga-bunga, sementara orang tua mereka bercakap-cakap
dan pura-pura tidak tahu. Tidak puas dengan melemparkan
bunga kepada kekasih masing-masing, ada pemudi-pemudi
yang melemparkan perhiasannya, demikian juga pemudapemuda,
ada yang melemparkan gelang-gelang tangan dan
cincin-cincin permatanya. Pangeran Muda dengan gembira
memerhatikan permainan yang menyenangkan itu
Akan tetapi, kemudian hatinya menjadi kecut kembali,
ketika dilihatnya putri itu sedang memerhatikannya dan
tersenyum kepadanya. Pangeran Muda kebingungan, gembira
bercampur cemas. Gembira karena putri itu sangat cantik,
cemas karena hal itu baru pertama kali dialaminya. Di samping
itu, ia merasa tidak senonoh karena terlalu muda untuk
melakukan permainan seperti yang dilakukan oleh yang lainlain.
Tampak pula olehnya bahwa sebenarnya tuan putri jauh
lebih tua daripadanya.
Sementara Pangeran Muda bingung, tiba-tiba putri itu
menaburkan bunga-bungaan kepadanya. Dari baunya yang
segar Pangeran Muda tahu, bahwa bunga-bunga itu adalah
bunga-bunga kenanga. Karena kebingungannya, Pangeran
Muda segera meninggalkan tempat itu dan walaupun
terhalang oleh orang yang berjejal-jejal ia dapat menyelusup,
kembali ke lapangan depan panggung tempat Mang Ogel
sedang menari dengan orang lain.

Melihat Mang Ogel menari sambil sempoyongan, tertawalah
Pangeran Muda. Orang yang gemuk, pendek, dan bertangan
besar itu tampaknya sudah mabuk oleh tuak, bunyi-bunyian,
dan cahaya-cahaya obor. Sambil tersenyum-senyum dan
berpegangan dengan orang-orang lain yang mabuk, ia menarinari
dan menyanyi-nyanyi di tengah-tengah ingar-bingar
bunyi-bunyian. Waktu Pangeran Muda asyik tertawa-tawa
melihat Mang Ogel yang sempoyongan, seseorang terasa
menyenggolnya dengan keras. Pangeran Muda memberi jalan,
tetapi tidak ada orang yang lewat. Kemudian, terasa lagi ada
yang menyenggolnya, lebih keras lagi.
Pangeran Muda sekarang penasaran, ia berpaling, dan
tampaklah di belakangnya beberapa orang pemuda
memandangnya dengan tajam sambil melipat tangan di dada.
Mereka tampaknya marah kepada seseorang, dan Pangeran
Muda pun melihat ke sekeliling, tapi tak melihat ada pemuda
lain atau orang lain yang berhadapan dengan pemudapemuda
yang berjajaran di belakangnya itu.
Pangeran Muda mulai cemas, kalau-kalau orang-orang
muda itu bermaksud tidak baik terhadapnya. Hal itu mungkin
saja, karena orang-orang itu mungkin saja salah sangka dan
menganggap Pangeran Muda sebagai musuh atau orang yang
dicarinya. Tampak oleh Pangeran Muda bahwa orang-orang itu
bukanlah bangsawan-bangsawan yang biasa dikerahkan
menghadapi masalah-masalah seperti itu.
Sementara itu, Pangeran Muda mulai cemas oleh hal lain.
Kalau ia terlibat dalam perkelahian karena salah mengerti,
mungkin ia akan dilepas sebagai calon puragabaya. Di
samping itu, hal yang sangat ditakutinya adalah dirinya
sendiri, karena setiap anggota tubuhnya sangat berbahaya
bagi orang lain. Setiap jarinya, setiap ujung tulang dan otototot
pada tubuhnya yang lampai itu adalah senjata-senjata
yang sangat berbahaya dan kalau sudah bergerak sukar
dikendalikan. Bagaimana kalau senjata-senjata itu dipancingpancing
untuk bergerak oleh orang-orang yang tidak

menyadari akan bahayanya dan berbuat begitu karena salah
sangka atau salah mengerti?
Karena kecemasan-kecemasan seperti itu, Pangeran Muda
segera memikirkan cara-cara untuk menjauhi orang-orang
yang tampaknya salah sangka itu. Hal itu tidak sukar
dilakukannya. Kemampuannya bergerak seperti ular,
dipergunakannya dalam menjauhi orang-orang itu, dan dalam
sekejap mata Pangeran Muda sudah ada di tempat lain, dan
sambil tertawa-tawa melihat penari-penari yang telah mabuk
itu sempoyongan ke sana kemari, saling tabrak satu sama lain.
Makin larut orang bukannya makin kurang, tetapi
sebaliknya. Walaupun Pangeran Muda masih senang
menonton berbagai bentuk pertunjukan yang diadakan orang
di samping tari mengelilingi menara padi itu, ingatannya akan
keberangkatannya esok hari mendorongnya untuk segera
pulang ke penginapan. Setelah malam larut benar, Pangeran
Muda segera mendekati Mang Ogel yang terus juga menari,
walaupun sudah hampir tidak sanggup lagi berdiri. Begitu
mereka bertemu, Pangeran Muda segera memegang tangan
panakawannya itu, lalu menariknya keluar gelanggang. Karena
sudah mabuk benar oleh tuak, Mang Ogel hampir tidak lagi
dapat berjalan. Oleh karena itu, Pangeran Muda terpaksa
harus memapahnya dan dengan tersaruk-saruk membawanya
ke luar dari pusat keramaian itu.
Walaupun sudah hampir tidak dapat berjalan, sambil
bersandar pada tangan Pangeran Muda, Mang Ogel terus
berkata-kata dan tertawa-tawa.
"Hehehe orang-orang di sini sangat baik-baik, ala, tuaktuaknya
tua-tua benar. Heh, Anom, mana gadismu? Pintar
juga Anom ini, dilepas sebentar sudah kecantol. Hehehe,
seorang puragabaya tidak boleh mempergunakan bungabunga,
apalagi bunga kenanga, Anom. Eyang Resi akan
murka, tapi biar, beliau tidak melihat kita hehehe kita harus
pandai, dan minumlah banyak-banyak selagi jauh dari
padepokan, makanlah banyak-banyak hehehe selagi kita sehat
dan gagah perkasa aaaaahh."

Kaki Mang Ogel sudah tidak dapat berpijak lagi, ia seolaholah
mau tidur di tangan Pangeran Muda. Oleh karena itu,
Pangeran Muda terpaksa setengah menggendongnya. Setelah
dari jauh tampak obor besar dinyalakan di depan penginapan,
di suatu tempat yang gelap tiba-tiba Pangeran Muda dihadang
oleh dua orang pemuda. Tampak dengan segera bahwa
mereka adalah kedua orang badega yang mendelik kepadanya
di tengah-tengah keramaian yang baru ditinggalkannya.
Pangeran Muda berhenti melangkahkan kaki, tapi ia pun tak
berkata apa-apa. Di hatinya timbul lagi kecemasan, bagaimana
kalau orang ini memancing-mancing untuk berkelahi.
"Berhenti!" kata salah seorang di antara dua badega itu.
Pangeran Muda berhenti, sambil tetap memegang Mang Ogel
yang sudah tertidur di tangannya.
"Saudara-saudara mungkin salah sangka. Saya bukanlah
orang yang sedang Saudara-saudara cari," kata Pangeran
Muda.
"Betul ini orangnya," kata seseorang di dalam gelap, dan
ketika Pangeran Muda berpaling ke sana, tampaklah lima
orang pemuda lainnya, seorang di antaranya adalah
bangsawan muda yang sangat mewah pakaiannya.
Bangsawan muda inilah yang baru saja berkata.
"Saya yakin Saudara-saudara salah sangka," kata Pangeran
Muda, sementara itu didudukkannya Mang Ogel yang telah
mendengkur di sebuah bangku yang ada di tepi jalan.
"Pengecut! Kau tidak akan dapat meloloskan diri, bunga
kenanga itu masih kau selipkan di ikat kepalamu," kata salah
seorang pemuda yang berdiri dekat bangsawan muda yang
berpakaian mewah itu.
"Saya ingin melihat tampang orang ini dengan jelas," kata
bangsawan muda itu sambil melangkah.
"Den Bagus, hati-hati, siapa tahu orang yang tampaknya
pengecut ini membahayakan," kata salah seorang di antara
pemuda itu.

"Saya tidak akan berbuat apa-apa karena saya tidak ada
urusan dengan Saudara-saudara," kata Pangeran Muda,
menujukan kata-katanya kepada yang disebut Den Bagus itu.
"Kau punya urusan dengan kami. Kau telah berani
mengganggu gadis-gadis kota ini, kau tak tahu diri, kau orang
asing di tempat ini. Kau harus merasai sendiri bagaimana
akibatnya kalau kau tak tahu diri."
Alangkah herannya Pangeran Muda mendengar tuduhan
itu. Berkatalah Pangeran Muda, "Saya tidak pernah
mengganggu siapa-siapa, apalagi gadis."
"Kau dusta. Apa yang kau pesankan melalui Mak Comblang
itu? Tidakkah kami lihat? Tidakkah kami dengar? Kau sangka
kami pun buta, dan tidak bisa melihat bunga kenanga yang
kau sisipkan di tutup kepalamu," kata Den Bagus.
Pangeran Muda meraba-raba ikat kepalanya, dan terasalah
suatu benda, dan ketika diambil tampak bahwa benda itu
adalah sekuntum kenanga. Teringatlah Pangeran Muda
bagaimana putri itu menaburkan bunga-bunga kenanga
kepadanya. Tentu kenanga itu adalah salah satu yang
tersangkut dan tertinggal pada ikat kepalanya.
"Saya tidak menyisipkan bunga ini. Bunga ini dilemparkan
kepada saya lalu tertinggal," katanya dengan cemas.
"Pengecut! Mayang Cinde tidak tahu pemuda yang menarik
perhatiannya adalah seorang pengecut yang menjijikkan!
Pah!"
"Soalnya bukan pengecut atau pemberani, soalnya ada
salah paham. Saya tidak berbuat apa-apa kepada siapa pun,
dan kalau ada bunga di kepala saya, itu di luar tanggung
jawab saya!"
"Pengecut!"
Sementara itu ketujuh pemuda itu sudah mengelilinginya.
"Kalau begitu, bawalah saya ke pengadilan kota, panggillah
gadis dan perempuan tua itu sebagai saksi," kata Pangeran
Muda. Dalam hatinya berdoa, semoga pemuda-pemuda itu
tidak mencoba memukulnya karena ia takut tidak bisa
mengendalikan tubuhnya sendiri.

"Saya anggota Baros" kata salah seorang pemuda itu.
"Saya juga," kata yang lain, sementara itu mereka mulai
menyepak dan memukul Pangeran Muda dari berbagai arah.
Pangeran Muda berusaha sekuat tenaga menguasai tubuhnya
agar tidak memberikan balasan. Apa yang teringat olehnya
adalah hukuman yang mungkin dijatuhkan kepadanya oleh
Eyang Resi, seandainya ia terlibat dalam perkelahian yang siasia
seperti itu. Untuk menghindarkan bahaya yang
dimungkinkan oleh pukulan-pukulan pemuda-pemuda itu,
Pangeran Muda mengeraskan otot-ototnya dan
menghindarkan agar sepakan dan pukulan-pukulan itu tidak
mengenai bagian-bagian tubuh yang lemah.
Karena Pangeran Muda tidak melawan, mungkin mereka
menganggap Pangeran Muda benar-benar pengecut.
Anggapan ini menambah semangat mereka untuk menyiksa.
Pangeran Muda didorong ke dalam selokan. Pangeran Muda
benar-benar menyerah diri pada siksaan mereka itu. Dari
dalam selokan Pangeran Muda diseret, dan sambil terusmenerus
mendapatkan pukulan dan sepakan dibawa ke
sebuah ruangan yang gelap dan besar. Di sana penyiksaan
dilakukan kembali lebih hebat lagi. Betapapun Pangeran Muda
menghindarkan, tak urung darah mengalir dari siku dan
dengkul Pangeran Muda, begitu juga dari bibir atas yang luka
karena sepakan. Selama itu, Pangeran Muda terus-menerus
melindungi bagian-bagian dirinya yang lemah, dan karena
tidak melawan dan berdiam diri, mungkin akhirnya para
penyiksa menganggap Pangeran Muda telah jatuh pingsan.
Seseorang pergi dan kembali dengan seguci air. Air
disiramkan ke kepala Pangeran Muda, dan pemukulanpemukulan
dimulai lagi. Setelah mereka tampak puas dan
ayam jantan berkokok untuk pertama kali, Pangeran Muda
mendengar mereka pergi, lalu mengunci ruangan yang gelap
dan besar itu, setelah satu-satunya lentera di dalam ruangan
itu dipadamkan. Dengan tubuh linu-linu dan darah terasa asin
dalam mulutnya, Pangeran Muda mengucapkan syukur karena
sudah dapat mengendalikan diri dan tidak melakukan gerakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gerakan yang begitu berbahaya yang hanya terdapat pada
anggota-anggota tubuh seorang puragabaya.
Setelah berbaring sebentar melepaskan lelah, ia pun
bangkit, lalu meraba-raba dalam gelap itu. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;