Sabtu, 17 Mei 2014

wisanggeni 21

Gadis itu tak pernah tahu Geni sengaja mengalah.
Geni sendiri merasa aneh, dia tak tahu mengapa timbul
kenakalan dan kegembiraannya menggoda gadis cantik ini.
Luka di lengan itu tak akan membuat ia mati atau luka parah.
Begitu lengannya terluka, Geni teriak kesakitan. Darah
menetes dari lukanya. Gayatri berhenti menyerang.
"Bagaimana jurusku, hebat enggak, itu namanya jurus
Memukul Buaya Mata Keranjang." Gadis itu tertawa.
Geni memegang lengannya. Darah. "Aku menyerah kalah,
kamu hebat Gayatri, kamu tampak gembira bisa mengalahkan
aku tetapi tolong ampuni kesalahanku, jangan kau cincang

aku, silahkan bunuh saja aku karena kebetulan aku sudah
bosan hidup." Geni lalu menyentuh lukanya, membawa jarinya
ke lidah. Mendadak dia merasa lidahnya gatal. "Ada racun,
kamu memakai racun," Kaki Geni gemetar, berdirinya limbung.
Geni lemas, pelan-pelan ia jatuh terlentang. "Racun apa ini?"
"Sekarang kau kena batunya. Racun laba-laba hitam ini
akan membuat kau mati dalam waktu dua hari. Hanya aku
yang punya pemunahnya, aku akan menolongmu tetapi ada
syaratnya." Gayatri tertawa dan bertingkah seperti seorang ibu
memarahi putranyayang nakal.
Geni mengeluh. "Aku lemas, tenagaku hilang. Apa
syaratnya, sebutkan, jika terlalu sulit ya aku terima mati saja,
mati bagiku juga enak karena kebetulan aku memang sudah
bosan hidup."
Gayatri berdiri di dekat Geni. Dua pembantunya bergerak
mendekat. Gayatri membentak. Pembantu itu mundur agak
jauh dari tempat kejadian. Geni mengerti bahwa Gayatri tak
mau pembicaraan didengar dua pembantunya. Gayatri meniru
gaya bicara Geni sewaktu hendak menolongnya tadi.
"Sulit, sangat sulit."
"Apanya yang sulit, sebut saja."
Gayatri tersenyum, memandang Geni yang terbaring di
dekat kakinya. "Pertama, kau harus mencium kakiku, mohon
ampun atas dua dosamu itu."
"Aku pasti mau, tadi sudah mencium mulutmu sekarang
kakimu, mencium kaki perempuan cantik macam kau, aku
mau saja malah senang."
Gayatri heran. Apakah di tanah Jawa para pendekar tidak
merasa malu mencium kaki lawan mohon ampun. Gayatri tak
mau menyerah begitu saja. "Tidak semudah itu, masih ada
syarat lain, tetapi sekarang belum terpikir, hitung-hitung kau
berhutang padaku, kamu bersedia?"

"Aku tak mau. Bagaimana kalau nantinya kau minta
nyawaku, aku tak mau mati konyol."
"Sekarang sebenarnya kamu sudah mati, racun itu tak ada
obatnya. Jadi seandainya nanti aku menagih nyawamu, kan
sama saja. Lagipula tadi kau katakan kau sudah bosan hidup."
Geni tertawa. "Kau pintar bicara. Baiklah, hitung-hitung kau
meminjamkan hidup padaku, begitukan, suatu waktu nanti
kau akan mengambilnya lagi, baik aku bersedia."
"Belum tentu aku menagih nyawamu, bisa saja permintaan
lain, pekerjaan yang mudah kaulakukan atau yang sulit. Nah
sekarang lakukan syarat pertama dulu, mencium kakiku dan
mengemis mohon ampun.”
Wisang Geni membalik tubuh, bergerak seperti hendak
jongkok. Mendadak dia melenting. Gayatri kaget. Terlambat,
Geni sudah mencolek pipinya. Gadis itu menampar kepala,
Geni merunduk dan mendorong pundak. Gayatri menangkis.
Dalam sesaat keduanya sudah saling menyerang. Sepuluh
jurus berlalu, Geni memainkan Jurus Penakluk Raja dengan
tenaga Wiwaha yang utuh. Gayatri mengerahkan segenap
ilmu dan tenaga dalamnya.
Memasuki jurus duapuluh, Gayatri mulai terdesak. Geni
masih ingat ketika bertarung lawan Malini dua tahun lalu.
Sama seperti Malini, Gayatri juga memainkan jurus tenaga
bumi, yang intiya mengalihkan tenaga lawan dan
memunahkannya ke bumi. Geni menggunakan jurus
Prabhawadan Raga, menerima tenaga lawan dan mengirim
kembali ke lawan.
Geni menambah sedikit tenaga sehingga jika terkena telak
Gayatri tidak akan terluka parah. Gadis itu terkejut, tenaga
pukulannya lenyap ke tempat kosong, saat berikutnya pukulan
Geni datang bagai air bah. Gayatri tak sempat menghindar,
hanya bisa menutup diri dengan tangan di depan dada.

Melihat majikannya terancam dua gadis baju hijau menyerang
Geni dengan pukulan jarak jauh.
Geni mengubah jurus, tetap memukul Gayatri dengan
kanan, tangan kirinya dengan gerak memutar mengisap
pukulan dua gadis berbaju hijau. Gayatri kritis. Tetapi Geni tak
berniat melukai, saat terpaut beberapa jengkal dari tubuh
Gayatri, Geni mengalihkan serangannya ke pohon di samping
gadis itu. Saat bersamaan tangan kiri mengalihkan pukulan
dua baju hijau ke pohon lain. Dua pohon yang besarnya
sepelukan manusia itu patah dan tumbang. Geni tak berhenti,
ia menerjang dan sekali cengkeram berhasil menawan Gayatri
yang lemas tak berdaya. Ia memeluk gadis cantik itu.
Keduanya saling tatap. Gadis itu merunduk.
Gayatri berkata lirih, "Kenapa kamu tidak meneruskan
memukul? Huh, belum tentu aku akan terluka." Gadis ini tetap
belum mau mengaku kalah. Ia tetap membiarkan tubuhnya
dipeluk Geni.
"Ya, ilmu silatmu tinggi, aku yakin kau tidak akan terluka,
cuma aku memang tidak suka memukul perempuan cantik."
Gayatri mengalihkan pembicaraan. "Siapa nama kamu?
Apakah kau orang yang bernama Wisang Geni?"
Wisang Geni tidak terkejut. Dia sudah menduga sejak awal,
begitu mengetahui ilmu silat Gayatri satu aliran dengan yang
dimiliki Malini. "Dia pasti datang mencari aku, pasti urusan
balas dendam kekalahan Lahagawe oleh Eyang Sepuh
Suryajagad. Dulu Malini dan Kumara yang diutus membalas
dendam, gagal karena kukalahkan. Kini Gayatri, yang diutus
bersama dua pembantu dan mungkin beberapa orang lain
yang tak tahu seberapa tinggi ilmu silatnya."
"Aku orang tidak dikenal, panggil saja aku orang tak punya
nama, eh tadi kau menanyakan Wisang Geni? Apa sih
hebatnya orang bernama Wisang Geni itu, mau apa kau
mencarinya, kau mengenalnya di mana?"

Gayatri meronta melepaskan diri dari pelukan. Ia
menyentuh lengan Geni. "Lukamu masih berdarah. Biar
kubalut," sambil gadis ini merobek sebagian selendang yang
melilit tubuhnya. Dia membalut lengan Geni. Dia melakukan
itu dengan lembut dan cekatan. "Aku baru datang dari
Hirnalaya, belum punya teman, dan baru kamu orang pertama
yang kukenal si pendekar tanpa nama. Aku belum kenal
Wisang Geni, aku lihat kepandaianmu sangat tinggi,
bagaimana kalau kamu dibandingkan Wisang Geni, apa benar
dia pendekar berilmu tinggi? Apakah kau pernah tarung
dengannya?"
"Aku tidak bisa mengalahkan dia, dan dia juga tidak bisa
mengalahkan aku."
Gayatri terdiam Pikirannya menerawang. Dari pertarungan
tadi, dia bisa mengukur kepandaian lelaki itu. Dia tidak yakin
bisa mengalahkan lelaki penolongnya, sehingga kata-kata si
lelaki tadi ibarat penjelasan tingginya ilmu silat Wisang Geni.
"Dia tidak bisa mengalahkan Wisang Geni dan Wisang Geni
juga tak bisa mengalahkannya, berarti mereka berdua sama
imbang. Jika demikian masih ada peluang aku mengalahkan
Wisang Geni, apalagi jika aku maju bertiga dengan jurus
Hirnalaya." Berpikir demikian Gayatri merasa lega.
Geni ingin tahu lebih banyak tentang Gayatri. "Ada urusan
apa kau mencari Wisang Geni, apakah kalian bermusuhan?
Kalau perlu aku akan membantumu!"
Gayatri menghela nafas. "Urusan balas dendam. Tetapi aku
sebenarnya pergi diam-diam, pasti ayah ibuku akan
mencariku. Aku tinggalkan pesan, aku ke tanah Jawa mau
balas dendamnya kakek."
Geni semakin yakin Gayatri ini ada hubungannya dengan
Malini dan Kumara. "Aku pernah tahu ada sepasang pendekar
dari negerimu, kalau tidak salah mereka suami isteri.
Perempuannya bernama Malini, dia cantik tetapi tidak secantik

kamu, ilmunya tinggi, ia juga jahat dan kejam, banyak
pendekar negeri ini mati dibunuhnya."
"Suami Malini bernama Kumara, mereka murid adiknya
kakek. Beberapa bulan lalu Kumara pulang ke Himalaya,
sendirian, isterinya masih di tanah Jawa. Dia menceritakan
kekalahannya dari Wisang Geni, yang konon murid
kesayangan pendekar tua Suryajagad. Aku penasaran
mendengar ceritanya. Ketika dia kembali ke Jawa, diam-diam
aku mengikutinya. Dia sekarang ini pasti sudah berada di
negeri ini, katanya Malini sudah melahirkan seorang putra."
"Dia pasti tahu kau mengikutinya, tak mungkin kau
bersembunyi di perahu tanpa dia mengenalmu"
"Tidak. Dia berangkat dengan perahu lain, aku berangkat
belakangan. Sekarang aku menyesal tidak bersama-sama
dengannya, aku ingin mencarinya, jika bersama Malini dan
Kumara, pasti aku lebih aman."
"Kau ingin membunuh Wisang Geni?"
"Aku bukan pembunuh, aku tak punya niat membunuh.
Kakek juga tiak pernah menyuruh aku membalas dendam,
lagipula kakek sudah mati. Aku hanya ingin menjajal
kepandaiannya, tetapi kalau dalam pertarungan dia mati
terbunuh, ya itu kan resiko kita yang mempelajari ilmu silat,"
Geni penasaran. "Tadi katamu, kakekmu itu pernah
dikalahkan oleh guru Wisang Geni, begitu?"
"Itu duapuluh lima tahun silam, mungkin aku belum
dilahirkan. Kakek menjadi penasehat seorang raja di tanah
Jawa, dan Ki Suryajagad berada di pihak lawan. Kakek kalah
dalam tarung, menurut cerita, kakek mengakui Suryajagad
seorang pendekar sejati. Itu sebab kakek tak pernah
dendam."
"Lantas mengapa Malini dan Kumara datang ke negeri ini,
katanya mau membalas dendam kakekmu"

"Ceritanya lain, sebenarnya yang paling penasaran
terhadap Ki Suryajagad adalah adik seperguruan kakek. Dia
bertekad menebus kekalahan, mungkin beliau yang mengutus
Malini dan Kumara. Tapi aku heran, mengapa kau bertanya
terus, sepertinya kau tertarik cerita ini."
Geni tersenyum "Aku suka melihat gayamu bicara, lagipula
aku ingin tahu semua tentang dirimu, hanya itu."
Gadis itu merasa jantungnya berdebar keras. Ia suka pujian
itu, "Mengapa?"
Geni tertawa. Dia membawa telunjuk jari ke mulutnya.
Gayatri mengerti isyarat itu. "Kau kurangajar, kau
berulangkali menghina aku." Saking kesalnya gadis itu
membanting kaki. Dua pembantu berbaju hijau itu bergerak
maju, Urmila berkata dalam bahasa India. Tetapi sekali lagi
Gayatri membentak.
Geni ingin tahu. "Apa kata anak buahmu itu?"
Gayatri tersenyum sinis. "Mereka mau maju serentak,
mengeroyok kamu menggunakan jurus tiga bersatu padu,
tetapi aku bilang, kurcaci macam kamu belum pantas
dikeroyok"
"Mengapa kau tak mau membunuh aku?"
"Terus terang, aku tidak yakin bisa mengalahkan kamu
Kedua, kamu tak boleh mati sebelum membayar hutang dua
dosamu itu."
"Bayar hutang? Bagaimana caranya?"
"Hutang pertama, kamu antar aku ketemu Wisang Geni,
aku akan menantang tarung. Katakan kepadanya jangan main
keroyok memanfaatkan banyaknya murid Lemah Tulis. Hutang
dosa kedua, belum bisa kukatakan sekarang, lain waktu saja."
"Baik, aku akan antar kamu menemui Wisang Geni, nanti
beberapa hari lagi kita ketemu di sini."

"Hei, tidak bisa begitu, aku mau sekarang juga kamu antar
kami."
"Sekarang tidak bisa, aku sudah ada janji. Janji ini lebih
dahulu dari janjiku padamu, jadi kamu harus menunggu
giliran."
"Kamu janji dengan siapa, dengan perempuan?"
Geni tertawa, dia heran gadis ini bisa menebak jitu. "Iya
memang janji dengan perempuan, bagaimana kamu bisa
menebak jitu?"
"Apa dia cantik, lebih cantik dari aku?"
"Dia memang cantik, perempuan paling utama di negeri ini,
tetapi kalau cantik, aku pikir kamu lebih cantik, lagipula dia
belum pernah kucium" Geni tertawa.
Gayatri merasa jengah dan malu. "Kamu harus datang
menemuiku, jangan ingkar janji, awas kamu kalau ingkar
janji."
"Aku pasti akan mencari kamu Tetapi sebaiknya kamu
jangan menunggu aku di hutan ini, lebih baik di desa Gondang
jaraknya dua hari perjalanan dari sini."
"Baik kita ketemu di desa Gondang, berapa hari lagi?"
"Desa Gondang arah ke Barat, dua hari perjalanan dari
hutan ini. Kamu istirahat tiga hari, pada hari kelima atau
keenam, kita sudah akan jumpa lagi. Aku pergi." Geni melesat
pergi.
Gayatri berteriak, "Hei kamu jangan bohong."
Terdengar sahutan, "Lima hari dari sekarang aku akan
menjumpai kamu"
Gayatri menghela nafas. Dia merasa lelaki itu telah merebut
hatinya. Dia membayangkan tubuhnya, tegap, kulit sawo
matang dan wajah tak begitu tampan, rambut putih ubanan,

aroma tubuhnya yang keras. Ia jantan dengan ilmu silat yang
tinggi. Gayatri tak pernah bayangkan ada orang memiliki
tenaga dalam setinggi itu yang bisa mengusir racun laba-laba
dengan pengerahan tenaga hanya dalam waktu yang begitu
singkat "Aku sudah berjanji pada orangtua, hanya lelaki yang
bisa mengalahkan aku saja yang akan kupilih menjadi
suamiku, apakah dia yang menjadi jodohku?" Gayatri
tersenyum sendiri membayangkan kenakalan Wisang Geni.
Dan ciuman itu, begitu menggelitik dan menggugah birahinya.
Tanpa terasa jari Gayatri meraba bibirnya, seakan-akan bibir
Wisang Geni yang hangat itu masih menempel. Urmila dan
Shamita saling pandang dan tersenyum geli melihat tingkah
laku Gayatri.
Tak tahan merasa geli, Urmila berbisik, "Putri, aku lihat dia
sudah menaklukkan hatimu, Putri sehebat apa sih
ciumannya?"
Shamita tertawa. "Putri, kulihat kamu diam saja dipeluk
lelaki itu, bahkan tubuhmu gemetar. Putri, kupikir kamu sudah
jatuh cinta."
Pipi Gayatri memerah saking malu. "Siapa bilang aku jatuh
cinta, tiru niina teringat ayah dan ibu" Ia memburu dua
pembantunya.
"Berhenti menggoda atau aku hajar kalian," kalanya sambil
tertawa. Ia menambahkan, "Jika lelaki itu mempermainkan
aku, akan kubunuh dia."
Urmila menjawab, "Akuyakin dia tak main-main,
percayalah. Aku melihat dia begitu terpesona akan
kecantikanmu Putri."
---ooo0dw0ooo---

Menunggang Angin
Siang itu Wisang Geni tiba di desa Karangplosos, dekat
pusat kerajaan Tumapel. Desa ini merupakan jalan masuk
yang paling dekat menuju pusat kerajaan. Tidak heran jika
desa ini ramai, banyak warung dan rumah penginapan.
Penduduknya padat, jumlah para pendatang yang umumnya
pedagang pun cukup banyak. Di antara penduduk terdapat
para punggawa kerajaan yang menyusup dalam penyamaran.
Perang dingin antara kerajaan Tumapel dengan Kediri sudah
bukan rahasia, itu sebab mata-mata kerajaan Tumapel disebar
di desa ini, untuk menangkap siapa saja orang yang
mencurigakan. Tangkap dulu baru diperiksa.
Ketika memasuki desa, Wisang Geni mengetahui ada orang
yang mengikuti langkahnya. Geni pura-pura tak tahu, dia
masuk warung dan memesan makanan. Ada tiga orang yang
mengikutinya. Satu di antaranya pergi, dipastikan melapor ke
atasannya. Dua rekannya tetap tinggal. Sampai saat itu Geni
belum menemukan cara yang tepat untuk menemui permaisuri
WaningHyun. Mungkin dua mata-mata itu bisa dimanfaatkan.
Berpikir demikian selesai makan Geni menghampiri pemilik
warung. "Pak, saya ingin masuk ke keraton, bagaimana
caranya, bapak bisa membantu saya?"
Pemilik warung memandang curiga, dia belum pernah
melihat wajah Geni. Dia bergumam dalam hati, "Pasti dia
orang asing, jangan-jangan orang Kediri, wah bisa celaka
aku." Matanya memberi isyarat kepada dua mata-mata
kerajaan itu, lalu berkata kepada Wisang Geni. "Orang muda,
sampean punya keperluan penting di keraton?"
Terlintas bayangan Trini dan Ekadasa, pendekar ketiga dan
kesebelas dari delapan belas pengawal keraton Tumapel. "Ah
Bapak, jangan curiga, aku mau menjenguk kekasihku, dia
salah seorang dari pendekar pengawal keraton Tumapel."

Dua orang mata-mata itu sudah berada di dekat Geni.
"Tuan, jika memang mau ketemu pendekar Tumapel, mari ikut
kami."
Geni mengikuti dua lelaki itu. Keduanya bertubuh tegap,
langkahnya ringan. Pandangan mata dingin, wajah serius yang
sulit diajak senyum. Tiba di perbatasan desa, mereka
menempuh jalan setapak. Samar-samar tampak pagar tinggi.
Di balik pagar itulah keraton dan pusat pemerintahan kerajaan
Tumapel.
Dari arah pintu gerbang, beberapa orang berlari ke arah
Geni. Mereka berhenti di depan Geni. Jumlahnya tujuh orang.
Ternyata mereka kawan dari kedua mata-mata itu. Kepala
rombongan, seorang lelaki tinggi kekar bercambang dan
rambut gondrong maju ke depan. "Siapa sampean, maksud
dan tujuan apa mau ketemu dengan punggawa Tumapel?"
"Maaf, aku cuma mau ketemu pendekar Tumapel yang
bernama Trini dan Ekadasa, bawa dua orang itu kemari, maka
semuanya akan jelas, dan sampean tak perlu terlalu sibuk"
"Tuturkan dulu maksud tujuan sampean"
Geni bergumam lirih tetapi bisa didengar semua orang.
"Kalian cerewet macam nenek-nenek tua, maaf aku tidak
punya banyak waktu, dan waktuku sudah terbuang percuma
di sini."
Berkata demikian Geni melangkah ke depan. Tentu saja
sembilan orang itu marah. "Lancang sekali, berani berlagak di
depan keraton Tumapel, kamu pasti orang Kediri!"
Geni tetap melangkah. Tiga lelaki yang berada di depan
langsung menyerang. Sekali bergerak Geni langsung
menggunakan ringan tubuh yang paling hebat dari Waringin
Sungsang. Tubuhnya bagaikan lenyap dari pandangan mata.
Geni berkelebat ke pintu gerbang. Sembilan orang itu
mengejar.

Di depan gerbang para pengawal menanti, semua
menggenggam senjata di tangan. Pagar dan pintu gerbang
sangat tinggi, tak mungkin bisa diterobos apalagi dihadang
puluhan orang bersenjata. Geni merasa serba sulit. Tadinya
dia berpikir, mudah menerobos keraton dan keputren.
Ternyata tidak mudah. Jika menggunakan kekerasan pasti
akan jatuh banyak korban. Tetapi tampaknya tidak ada jalan
lain. Geni mempersiapkan tenaga Wiwaha dan berkata
lantang, "Mana pemimpin kalian?"
Seorang berkumis lebat maju. "Siapa kamu, nyalimu besar
berani meluruk keraton Tumapel. Kamu punya nyawa rangkap
berapa? Hayo ladeni aku, Nanggolo." Lelaki itu menyerang
dengan keris terhunus. Ada hawa panas menyembur dari
tusukan kerisnya. Jurus yang digunakan juga ganas, menebar
hawa kematian. Tetapi ilmu silat Geni sudah mencapai tingkat
tinggi Serangan itu tak ada artinya. Geni membiarkan keris
menusuk dadanya. Nanggolo ragu-ragu, ia heran mengapa
Geni tidak mengelak.
Geni memang tidak mengelak. Begitu ujung keris terpaut
satu jengkal dari dadanya, Geni menggerakkan tubuh, tenaga
Wiwaha menyedot tenaga lawan. Nanggolo terkejut merasa
menusuk ruang hampa, ia hendak menarik serangan,
terlambat. Tangannya tergetar hebat, rasa dingin menerobos
lewat tangannya merasuk dadanya. Geni menggerakkan
tangan, merebut keris dan mendorong. Nanggolo terhuyung
mundur empat langkah. Dia hanya limbung. Geni memang
tidak berniat melukai punggawa itu.
Pada saat itu bayangan gesit menerobos menyerang Geni.
"Siapa kamu berani jual lagak di Tumapel." Lelaki itu
menyerang dengan pukulan beruntun. Geni santai menangkis
serangan lawan dengan tamparan. Terjadi bentrokan tangan.
Tiga kali bentrok, lelaki itu mundur. Dia kesakitan, kedua
tangannya merah bengkak.

Lelaki itu kecil kurus dengan rambut gondrong. Dia
menatap Geni dengan marah. Dia hendak mencabut keris
ketika muncul dua punggawa mencegahnya. "Hentikan,
dimas."
Dua lelaki yang baru datang, menatap Geni dengan
pandangan menyelidik. "Siapa Tuan ? Apakah sampean sadar
bahwa telah berbuat makar, memberontak terhadap kerajaan
Tumapel?"
"Wah sampean semua sudah melampaui batas. Aku ini
datang ke Tumapel ingin ketemu Trini dan Ekadasa, bukannya
dipermudah oleh anak buahmu, malah aku dikeroyok Setelah
aku dikeroyok, kini kamu menuduh aku makar, memberontak.
Rupanya kalian memaksa aku untuk berlaku kasar. Tadi aku
tidak mau melukai orang, tetapi jangan menyesal jika
sekarang ada yang terluka atau mari"
"Sampean terlalu menganggap rendah Tumapel, aku ingin
lihat sampai di mana kepandaian sampean sehingga begitu
sombong." Dia menghunus pedang di tangan kanan, tangan
kiri memegang sarungnya. Tanpa basa basi, dia menyerang.
Sekali gebrak pedangnya menusuk tujuh titik, sarung pedang
ikut menghantam kepala.
Geni kesal namun masih mengendalikan diri untuk tidak
membunuh. Tetapi untuk mempersingkat tarung, ia
memainkan juruss Prabhawa dari Penakluk Raja. Hanya satu
gebrakan saja ia sudah nerampas pedang dan sarung lawan.
Semua orang terkejut. Lelaki itu, Patwelas, seorang dari
delapanbelas punggawa Tumapel, terkesima. Dia tak mengerti
cara yang digunakan Geni merebut pedangnya. "Ilmu sihir,"
gumamnya.
Geni tertawa. "Ya, ini memang ilmu sihir, awas, aku sihir
pedang ini menjadi elang raksasa." Sambil Geni melempar
pedang dan sarung ke atas. Semua orang terpancing
memandang ke atas. Pada saat itu Geni melesat dengan
Waringin Sungsang, tangannya bergerak cepat, menyentil

pelipis para serdadu dan punggawa. Geni tidak menggunakan
tenaga besar, cukup membuat mereka pingsan.
Pedang dan sarung jatuh ke tanah. Tidak terjadi apa-apa.
Sesaat kemudian orang-orang itu sadar sebagian kawan
mereka tergeletak. Mereka geger, memeriksa rekannya.
Ternyata hanya pingsan.
Punggawa yang tadi datang bersama Patwelas, adalah
Panca, pendekar nomor lima dari delapanbelas punggawa
Tumapel. Dia menggamit rekannya Patwelas. Keduanya tahu
persis bahwa ilmu silat Wisang Geni sangat tinggi, tak
mungkin bisa dilawan. Keduanya bingung, tak tahu harus
berbuat apa.
Geni mengirim suara keras sampai menggema ke dalam
keraton, "Hei bawa keluar Trini dan Ekadasa, sebelum lebih
banyak orang yang terluka." Belum juga gema suaranya
hilang, lima bayangan berkelebat masuk arena. Seorang di
antaranya, Ekadasa, punggawa Tumapel nomor sebelas.
Geni mengenal gadis cantik itu. "Nah ini dia, Ekadasa,
kekasihku. Hei kenapa kamu tidak cepat datang."
Wajah Ekadasa merah saking malu. "Aku bukan kekasihmu,
eh, kenapa kau berbuat onar dan melukai banyak orang."
"Kalau kamu cepat keluar mungkin urusan tidak sampai
rumit begini. Tetapi tak usah khawatir, tak ada yang terluka,
tak ada yang mati," sambil menunjuk punggawa yang
tergeletak di tanah. "Mereka ini hanya pingsan untuk beberapa
saat saja, tidak lama lagi mereka akan sadar. Hayo sekarang
antar aku ke dalam."
Ketika Geni hendak bergerak maju, empat punggawa
melapis di depan Ekadasa, menghadang gerak maju Geni.
Ekadasa berbisik kepada salah seorang rekannya. "Dia adalah
Wisang Geni, paduka permaisuri dan paduka raja sengaja
mengundangnya. Dan ini rahasia, tak boleh diketahui banyak
orang."

Ekadasa memberi hormat "Silahkan masuk, tetapi
perkataanmu tadi bahwa aku ini kekasihmu, tolong kamu
ralat, soalnya itu menyangkut kehormatan diriku."
"Baik, aku minta maaf," katanya sambil tertawa. Kepada
orang-orang di sekitar, Geni berkata, "Nona Ekadasa ini tak
ada hubungannya dengan aku. Tadi aku cuma main-main, ia
bukan kekasihku." Sambil mendekati Ekadasa, Geni
bergumam, pelan dan hanya bisa didengar gadis itu sendiri.
"Apa perlu aku remas bokongmu lagi?"
Secara naluriah, tangan Ekadasa bergerak melindungi
bokongnya. Geni melangkah terus, tak peduli. "Kau kurang
ajar," gerutu si gadis. Tetapi dalam benaknya, Ekadasa
bertanya-tanya, apakah Geni punya perhatian khusus
kepadanya atau hanya iseng.
Wisang Geni dikawal Ekadasa, Panca, Patwelas dan
Nanggolo memasuki balairung. Beberapa orang tampak
sedang menanti. Antaranya beberapa dari delapan belas
pengawal kerajaan. Seorang lelaki separuh baya tampil ke
depan. "Ki Wisang Geni, ketua Lemah Tulis, selamat datang di
Tumapel. Sudah lama kita tidak bertemu, aku prihatin dan
belasungkawa atas kematian isterimu."
Geni membalas hormat. "Terimakasih atas perhatianmu, Ki
Pamegat Aku datang karena dipanggil permaisuri, eh iya aku
harus memanggil apa kepada permaisuri?"
Belum sempat Pamegat menjawab, datang seorang utusan
dari keputren. Gadis pelayan itu memberi hormat kepada
Pamegat. "Mohon maaf paduka tuan, hamba diutus yang
dipertuan gusti permaisuri, menjemput tamu yang bernama Ki
Wisang Geni bersama paduka tuan Ki Pamegat"
Pamegat dan Wisang Geni berjalan di belakang gadis
pelayan itu menuju keputren. Begitu masuk ke keputren, Geni
mencium wewangian yang harum Ruangan besar dipenuhi
warna warni tirai dan selendang. Beberapa dayang yang terdiri

dari gadis-gadis remaja, cantik dan bersih, menyiapkan
makanan di meja besar. Gadis-gadis tampak sibuk, meski
sekali-sekali berhenti memberi hormat kepada Geni dan
Pamegat.
Dua gadis pelayan mempersilahkan dua tetamu itu duduk
di kursi besar. "Silahkan duduk paduka tuan, tak lama lagi
gusti permaisuri dan baginda raja akan masuk ruangan."
Tak lama kemudian, para dayang memberi hormat sambil
jongkok sembah sungkem Sepasang pria dan wanita muncul
dari ruangan dalam Pamegat dan Geni berdiri. Geni
mengenali, Waning Hyun dan Ranggawuni.
Pamegat jongkok sembah sungkem. Geni serba salah.
Selama ini ia belum pernah berjongkok sembah sungkem
kepada seseorang. Secara naluri ia membungkuk memberi
hormat dengan merangkap diia tangannya Geni merasa sudah
melakukan sesuatu yang benar. Dia tidak berjongkok sungkem
tapi telah memberi penghormatan yang layak kepada raja dan
permaisuri.
Waning Hyun tersenyum. Perempuan ini cantik luar biasa,
aura kecantikan dan wibawa menyatu dalam tubuh mungil
yang dibungkus busana kerajaan warna warni. Di sampingnya
Ranggawuni, kini Raja Tumapel bergelar Wisnuwardhana.
Suara Ranggawuni terdengar wibawa meskipun Raja ini
berusaha ramah semampunya. "Kangmas Wisang Geni, tak
perlu basa basi, duduklah. Kamu datang saja sudah
merupakan tanda kamu tidak melupakan persahabatan kita
yang tak pernah hilang. Paman Pamegat, duduklah, ada yang
perlu kita bicarakan."
Geni tetap saja merasa rikuh. "Aku tidak biasa basa-basi
apalagi pakai tata krama keraton," gumamnya pelan.
Permaisuri tersenyum "Kangmas Geni, kami mengerti kamu
tidak terbiasa dengan tata-krama keraton, maka silahkan kita

bercakap dalam bahasa pendekar seperti pergaulan kita di
masa lalu."
Ranggawuni menyela, "Kangmas Geni, aku dan Hyun
berdukacita mendengar tragedi kematian mbakyu Wulan."
Meski terdengar wibawanya, namun suara itu mengandung
duka.
Geni menghela nafas, teringat akan isterinya. Selama ini dia
telah berusaha mengatasi rasa duka dan kehilangannya,
namun kerapkali rasa duka datang seperti tusukan pedang ke
jantungnya. "Aku akan membalas hutang nyawa ini, Lembu
Agra si pengkhianat dan Lembu Ampai si punggawa Kediri,
aku akan memburu mereka sampai ke neraka pun." Suara
Geni terdengar parau. Orang yang mendengarnya merasa
seram.
Suasana hening. Geni memecah kesunyian "Hamba
sungguh merasa rikuh, hamba tidak terbiasa tinggal di istana,
bahkan memanggil paduka tuan berdua pun hamba tidak
tahu. Paduka Raja dan Permaisuri, maafkan hamba yang tak
punya tatakrama ini."
"Kangmas, jangan berkata begitu. Dulu kau panggil aku
Hyun, sekarang ini boleh saja kau panggil aku dengan
panggilan itu. Aku bersama kakang prabu sangat senang kau
bersedia datang ke sini, ternyata kau masih ingat janjimu
dulu."
"Memang benar, hamba datang karena janji, hamba tak
boleh ingkar janji, mohon maaf, apa gerangan yang raja dan
permaisuri inginkan dari hamba."
Waning Hyun menghela nafas. "Kangmas, sekarang ini aku
sebagai adik perguruanmu minta tolong kepadamu sebagai
kakak perguruanku, aku bukan menagih janji, tetapi lebih
tepat adalah aku minta tolong padamu"
"Katakan permaisuri, jika aku sanggup pasti akan kubantu."

"Ini urusan keraton Kediri yang berniat menyerang
Tumapel. Sekarang ini menurut mata-mata yang bisa
dipercaya, Kediri sudah menghimpun orang-orang hebat dari
dunia persilatan. Mereka pasti menyerang Tumapel tetapi
menurut kabar mereka akan menghabisi Mahameru dan
Lemah Tulis terlebih dahulu."
Wisang Geni mengerut kening "Aku tak pernah tahu bahwa
Keraton Kediri memusuhi Lemah Tulis dan Mahameru"
Pamegat yang dari tadi berdiam diri, bicara. "Bisa ditebak,
Lembu Agra tak hanya dendam terhadap Lemah Tulis, juga
berkeinginan partainya, Turangga menguasai dunia ilmu silat.
Itu bisa dicapai jika Mahameru dan Lemah Tulis hancur. Maka
ia dibantu Lembu Ampai yang punya kekuasaan, menghimpun
tokoh silat yang mendendam Mahameru dan Lemah Tulis."
Geni tersenyum pahit. "Oh jadi Lembu Agra sudah
bergabung ke pihak Kediri. Baru sekarang aku tahu di mana
dia sembunyi."
Pamegat menyebut nama tokoh persilatan yang bergabung
dengan Keraton Kediri, Kalandara dan tiga muridnya, Si Gila
dari Ujung Kulon bersama dua saudaranya Parma dan
Sakerah, Pendekar Belut Putih, Nenek Kembar dari Segoro
Kidul Prameswari dan Kameswari, Pendekar Bayangan Hantu,
Lembu Ampai, Lembu Agra bahkan penasehat Raja Tohjaya
yang jarang tampil, Pranaraja yang sakti ikut membantu.
Kabar terakhir, penyerangan ke Lemah Tulis dan Mahameru
akan dilancarkan dalam waktu satu purnama ke depan. Hanya
belum jelas, perguruan mana yang akan diserang duluan.
Geni terkejut. Tak disangka marabahaya sudah di depan
hidung sementara Lemah Tulis belum mengetahuinya. Tetapi
ia tak begitu khawatir, sistem pertahanan Lemah Tulis sudah
ditata rapi. Ia ingat ketika Trini dan Ekadasa berkunjung ke
Lemah Tulis yang menimbulkan keributan, hampir semua
murid sudah berada pada posisi yang sudah direncanakan.

Geni yakin adanya Padeksa dan Gajah Watu serta murid
lapis atas yang sudah terlatih, Lemah Tulis tidak mudah
diporakporanda. Namun banyak kejadian di luar perkiraan.
Maka tak boleh lengah. Pengalaman mengajarkan, duapuluh
lima tahun lalu Lemah Tulis dihancurkan gerombolan yang
meminjam kekuasaan Ken Arok
Geni teringat percakapannya dengan Gajah Watu dan
Padeksa.
Persengketaan antara Kediri dan Tumapel, perselisihan
antar keluarga sendiri, tidak jelas siapa salah siapa benar.
Yang jelas, keduanya memperebutkan kekuasaan. Itu sebab
Geni sepakat tidak mau ikut campur apalagi menyeret Lemah
Tulis masuk dalam kancah pertarungan kekuasaan itu. Geni
hanya akan menghadapi tokoh silat di kubu Kediri lantaran
mereka berniat menghancurkan Lemah Tulis.
Waning Hyun gembira ketika Wisang Geni berjanji
membantu keraton Tumapel. Hanya saja Geni menyatakan
tidak mau terlibat dalam perang, jika memang terjadi perang
antara dua kerajaan itu. "Hamba akan menghadapi orangorang
Kediri terutama tokoh silat yang memusuhi Lemah Tulis.
Khususnya dua orang itu, Lembu Agra dan Lembu Ampai akan
mendapat bagiannya."
Ranggawuni, Waning Hyun dan Pamegat gembira
mendengar janji Geni namun ada keraguan. Mungkinkah Geni
sanggup menghadapi banyak musuh yang memiliki
kepandaian silat mumpuni. Pamegat lantas menawarkan
bantuan tenaga.
Tetapi sebelum Geni menjawab, seorang lelaki muda
memasuki ruangan. Tanpa memberi hormat layaknya seorang
hamba atau bawahan, pertanda ia memiliki kedudukan tinggi.
Dia Mahisa Campaka, saudara seayah Waning Hyun dan ipar
sang raja.

Ranggawuni berdiri dan merangkul iparnya. "Dimas, kamu
baru datang dari perjalanan jauh, kakang Wisang Geni sudah
berjanji akan menghadapi para pendekar yang membela
keraton Kediri."
Mahisa Campaka tertawa, menyalami Geni. "Sudah lama
kita tidak berjumpa kangmas Geni. Aku lihat kepandaianmu
makin dahsyat. Beberapa hari lalu aku menyaksikan
pertarunganmu di desa Bangsal, kau tidak cuma mengalahkan
Kalandara dan tiga muridnya tetapi juga telah
mempermalukan mereka."
Usai makan malam permaisuri memerintah seorang
punggawa mengantar Geni ke kamar tamu. Di tengah jalan
menuju kamar tamu yang letaknya di kebun bunga, Geni
melihat Ekadasa mendatanginya.
Pendekar ini sudah ganti busana, tidak lagi mengenakan
seragam pengawal, melainkan pakaian biasa. Ia tampak
cantik. Ekadasa memerintah punggawa itu pergi. "Biar aku
yang mengantar pendekar tamu ini melihat-lihat
pemandangan kebun," katanya sambil melirik Geni.
Geni tersenyum "Kamu tidak takut ketemu dengan aku,
Ekadasa? Tidak takut kuremas bokongmu lagi" Geni tertawa
kecil.
Gadis itu menantang mata Geni. "Kalau memang kamu
gemas dengan bokongku, jangan di depan umum, aku malu,
Geni."
Dari gelagat dan tingkah laku gadis itu yang agak genit,
Geni tahu bahwa Ekadasa membuka peluang yang mengarah
ke hubungan intim "Kamu tampak cantik. Sebenarnya aku
masih mau ngobrol denganmu tetapi aku sudah ngantuk. Eh,
katamu, kamu mau antar aku ke kamarku. Di mana?"
Kamar tamu itu letaknya di pojokan kebun bunga. Tidak
ada obor, tetapi cahaya bulan purnama sedikit menerangi
kebun. Sampai di depan pintu, Geni masuk sambil menarik

tangan Ekadasa yang terlempar ke pelukannya. Di belakang
pintu Geni memeluk perempuan cantik itu. Tangan Geni
meremas bokong, satu lainnya menyusup dalam kebaya,
meraba buah dada yang montok kenyal. Geni mencium
dengan liar. Ekadasa terengah-engah.
Ia bicara dengan nafas memburu, "Geni, kamu menyukai
aku? Jangan di sini, tidak boleh. Tengah malam nanti kamu
kutunggu di kamarku, kamarku di seberang sana, di depannya
ada pohon mangga, satu-satunya pohon mangga di keputren
ini." Geni masih memeluk, menciumi leher dan mulurnya.
Ekadasa susah payah melepaskan diri, kabur ke kamarnya
dengan hati berbunga-bunga.
Tengah malam itu Geni nyelinap ke kamar Ekadasa.
Perempuan itu sudah menantinya dengan hanya sepotong
kain melilit tubuhnya. Ekadasa memburu dan melompat ke
dalam pelukan Geni. "Kamu datang juga, kekasihku. Jika kamu
memang gemas dan menyukai aku, mengapa tak mengejar
aku ketika di Lemah Tulis waktu itu."
Semalaman sampai pagi, sepasang anak manusia itu
bercinta. Geni menikmati tubuh molek Ekadasa sepuasnya.
Namun ia merasa aneh, wajah Gayatri membayang terus. Ia
melihat wajah Gayatri yang marah, cemberut dan tertawa.
Semalaman ia meniduri Ekadasa namun waj ah Gayatri
membayang terus. Keduanya lelap, berpelukan dalam keadaan
bugil, sampai fajar menyingsing.
Esok pagi hari saat Geni hendak berangkat, gadis itu
memeluknya. Ekadasa masih setengah bugil. "Geni kamu mau
pergi? Aku masih belum puas. Lagipula kau bisa istirahat di
kamar ini beberapa hari, tak ada orang yang tahu. Aku akan
melayani kamu sepuasnya."
Lagi, Geni terangsang melihat tubuh molek wanita itu.
Montok dan segar meski agak gemuk Geni menggumuli
Ekadasa. Keduanya bercinta lagi. Seharian itu Ekadasa
melayani Geni, makan, minum dan bercinta. Perempuan itu

mengerahkan seluruh pesona dirinya untuk memikat cinta
Geni. Ia menggumam betapa lelaki itu kuat dan liar. "Aku tak
mau kehilangan kamu, Geni, apa pun yang terjadi," desisnya
di antara deru nafsu birahinya.
Esok paginya Geni melakukan perjalanan cepat menuju
desa Gondang, memenuhi janji bertemu Gayatri. Dua malam
kemarin ia puas menikmati tubuh Ekadasa. Tetapi sekarang,
mengingat akan segera bertemu Gayatri, ia merasa
bersemangat dan gairahnya bangkit.
Di tengah jalan ketika memasuki hutan di batas desa
Prigen, Geni merasa ada sesuatu yang aneh di sekitarnya, ada
seseorang membuntutinya. Namun setiap dia menoleh ke
belakang, tak ada siapa pun. Dia memasang telinga, tak ada
suara. Tak ada siapa pun, tetapi ia merasa ada orang di
dekatnya. Tanpa sadar bulu kuduknya berdiri. Saat itu
matahari masih di atas kepala, cukup menerangi kepadatan
hutan. Namun hutan itu senyap. Tiba-tiba ia merasa desir
angin, seseorang menyerang dari belakang.
Geni menoleh ke belakang. Terlambat, serangan itu datang
sangat cepat. Dia berkelit, menangkis. Sia-sia, tamparan lawan
menerpa kepalanya. Anehnya tamparan itu bagai usapan,
lembut, lunak dan tak bertenaga. Geni melihat bayangan itu
bergerak sangat pesat. Dia mengejar, sia-sia. Geni
mengerahkan Waringin Sungsang tingkat paling tinggi, tetap
saja sia-sia. Orang itu tak terkejar, dari jauh hanya tampak
bayangan seseorang berjubah putih. Geni berteriak, "Hei siapa
kamu, berhenti, hadapi aku secara jantan."
Dia tak pernah membayangkan ada kejadian seperti itu.
Ilmu silatnya sudah tergolong kelas utama di tanah Jawa,
mustahil ada orang bisa mempermainkan dirinya. Tetapi
nyatanya, kepalanya sempat dielus lawan. Bagaimana
seandainya orang itu bermaksud jahat, kepalanya bisa pecah.
Dia tetap mengejar, tetapi orang itu tak bisa dikejar, jelas ilmu
ringan tubuh lawan sangat luar biasa. Orang itu sengaja mainTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
main. Sesekali bayangan itu bergerak pesat dan hilang dari
pandangan mata. Saat berikutnya dia muncul lagi di kejauhan.
Dia membelakangi Geni, wajahnya tak terlihat. Geni berteriak,
"Tuan pendekar, aku mohon petunjuk."
Bayangan itu, dalam keadaan berlari, tanpa menghentikan
langkah, memutar tubuh, lalu berbalik arah berlari kencang
menuju Geni. Gerakan itu mustahil bisa dilakukan di tengah
udara. Jelas orang itu memiliki kepandaian silat yang tidak
terukur tingginya. Kini lawan itu menuju ke arahnya,
menyerang! Wisang Geni terkesiap. Ia segera pasang kudakuda,
mengerahkan segenap tenaga Wiwaha.
Bayangan itu berlari mendatangi Geni, gerakannya
membawa serta angin kencang. Semakin mendekat, semakin
besar angin yang dibawanya. Debu, daun-daun kering bahkan
ranting patah pun ikut terbawa. Geni tak bisa melihat
lawannya karena tertutup kepulan debu Tetapi dia tahu persis
di balik kepulan debu bercampur daun dan ranting, orang itu
melancarkan serangan dahsyat.
Geni mengerahkan tenaga Wiwaha siap dengan jurus
Prasidha paling handal dengan sikap jiwa Hayu (Selamat).
Angin keras itu menghantam Geni, bermuatan debu, daundaun
dan ranting kering. Geni menghantam sekeras mungkin,
adu tenaga. Tetapi tak ada reaksi, pukulan Geni bablas ke
ruang kosong.
Ketika angin reda dan debu lenyap. Tak ada siapa pun di
depan Geni. Ke mana orang itu? Geni menoleh ke belakang. Ia
terperanjat. Orang itu ada di depannya, hanya terpaut satu
langkah. "Dia tak bermaksud buruk, jika mau dia bisa saja
menghantam aku. Tak mungkin aku bisa selamat,"
Berpikir demikian, Geni tidak bereaksi, diam. Orang itu,
kakek berjubah putih, rambut, jenggot dan kumisnya putih
seperti kapas. Matanya bening, lembut dan damai. Mendadak
Geni ingat seseorang. Tidak mungkin keliru "Eyang Sepuh!"
Geni menjatuhkan diri, duduk di tanah, sungkem

Kakek itu ikut duduk. Keduanya duduk berhadap-hadapan.
"Kamu sudah lama kepingin ketemu Eyangmu ini?" Lalu kakek
itu tertawa geli. Geni teringat mimik dan gaya tertawa
kekasihnya Sekar, jika tertawa menggoda.
Geni manggut. "Aku sudah lama kangen dan rindu bertemu
Eyang, hari ini Eyang sudah mau memperlihatkan diri, cucumu
sangat berbahagia, mati pun cucumu ini rela."
"Wisang Geni, putra Gajah Kuning, cucu murid Bergawa,
murid Padeksa, kamu bocah nakal. Buat apa kamu mati, kalau
kamu mati banyak perempuan yang nangis," katanya sambil
tersenyum Kakek itu melanjutkan. "Prawesti cucu Gubar
Baleman itu dan gadis dari Hirnalaya itu, juga si cantik Sekar,
semua perempuan itu akan menangis. Kamu memang bocah
nakal! Aku muncul di depanmu ini tidak untuk menghukum
kamu, apalagi hanya soal-soal sepele itu."
Geni terkesiap. Ia heran Eyang Sepuh bisa mengetahui
semua kisahnya. "Ampun Eyang, aku memang bersalah,
ampuni aku."
"Lho, salah apa. Eyangmu ini waktu masih muda dulu lebih
nakal, jumlah istri dan selirku tidak bisa kuhitung, sangat
banyak," katanya dengan mimik jenaka, menggoda.
Ada keramahan dan keakraban dalam suara Eyang
Suryajagad membuat Geni berani menatap mata orangtua itu.
Dia melihat sepasang mau keripui yang hampir leriuiup alis
putihnya yang panjang dan lembut bagai kapas. Tetapi mata
itu seperti matahari senja, bercahaya terang tetapi tidak panas
melainkan sejuk. Kakek itu tersenyum "Tetapi semua
perempuan itu tak boleh menjadi penghalang bagimu dalam
pencapaian ilmu silat. Maka kamu harus bisa menguasai Raga
(Birahi), mengatur Kamuka (Cinta) dan menahan Matirta
(Hawa nafsu). Harus bisa, karena jalan utama menuju
tahapan tertinggi adalah pengaturan Nenggah (Menahan
nafas). Cucuku, kamu masih menyinta istrimu, Wulan yang
mati itu?"

Geni diam, ragu-ragu. Ia tak tahu ke mana tujuan
pertanyaan Eyang Sepuh. Namun ia menjawab jujur. "Tadinya
sangat menyintai, sekarang semakin lama semakin aku mulai
bisa melupakan."
"Bagus, cucuku. Semua itu, cinta, dendam adalah bagian
dari hidup. Berlatih silat juga bagian dari hidup. Semua itu bisa
mempermudah hidup tetapi bisa juga mempersulit hidup kita.
Hidup ini perbudakan. Kita menjadi budak, diperbudak
berbagai macam keinginan. Kamu lihat awan, dia bergerak
mengikuti angin. Lihat angin yang begitu merdeka, bergerak
semaunya. Dan hebatnya lagi dia berganti-ganti arah sesuka
dia. Di dunia tak ada suatu kekuatan pun yang bisa
menghentikan pergerakan angin. Coba pikirkan seandainya
kamu bisa menaklukkan angin, atau paling tidak meniru persis
sifat dan kelakuan si angin itu, pasti hebat ya?"
Geni merenung, pikiran menerawang mengikuti ajaran
Eyang. "Cucuku, jadilah seperti angin Bajra, dia bisa semilir
Sirir membuat orang ngantuk dan nyaman, tetapi pada saat
yang sama dia bisa hamuk macam Lesyus, Nilapraconda dan
Bajrapati menghancurkan apa saja yang dilewati Jadilah
seperti angin yang merdeka, maka kamu bisa bergerak
mengikuti angin, bahkan bisa lebih cepat dan lebih ringan dari
angin. Sekarang ikuti Eyangmu. Kosongkan pikiranmu,
rasakan angin di sekelilingmu. Angin itu ada, kamu juga ada."
Geni memandang Eyang Sepuh. Kakek itu duduk bersila,
perlahan sedikit demi sedikit tubuhnya terangkat dari tanah.
Dia berdiri. Gerakan dari duduk ke berdiri dilakukan tanpa
kakinya menginjak tanah. Dia bersilat, juga tanpa berpijak di
bumi Geni mencoba tapi gagaL Eyang Sepuh membimbing
tangan Geni.
"Jangan rasakan bumi, lupakan bumi, tengadah
memandang langit, rasakan angin, bebaskan diri macam
awan. Rasakan angin di bawah kakimu. Pusatkan pikiran,
tenaga dan hasratmu"

Ketika kakek itu melepas tangannya, Geni tak lagi berpikir
sesuatu pun, pikiran bebas, kaki tak berpijak di bumi Geni
melayang, tetapi begitu dia merasa gembira karena berhasil,
saat itu juga kakinya menginjak tanah. Eyang Suryajagad
melatihnya berulang kali. "Pikiran harus kuat, sinambungan
tidak boleh putus."
Malam hari kakek itu tidur dalam semedi, sementara Geni
berlatih tanpa henti. Semalaman Geni berlatih menguasai
angin.
Esok paginya Geni sudah mampu duduk, sila dan berjalan
tanpa kakinya memijak tanah. Tahapan berikut, bersilat dan
bertarung tanpa kaki memijak bumi. "Cucuku, lupakan semua
jurusmu, lupakan Garudamukha, lupakan Prasidha, lupakan
Wiwaha, lupakan semua, karena semuanya itu sudah ada
dalam tubuhmu, sudah ada dalam gerakmu. Kau hanya perlu
bergerak terus seperti angin, merunduk, berdiri, menyamping,
memukul, menangkis, menghentak, ikuti apa saja yang
diperintah pikiranmu, pusatkan pikiranmu terus, jangan putus,
inilah inti dari dari merdeka, bebas dan tidak terikat.
Nikmatilah kebebasan, maka kamu akan menguasai angin."
Pagi berganti malam. Semalaman Geni berlatih. Esok
paginya, ia berlatih tarung lawan si kakek. Kaki mereka tak
memijak bumi. "Lupakan semua jurus, tidak ada lagi jurus.
Kamu menyerang jika ingin menyerang. Dan seranganmu
tergantung pikiran, keinginan dan pandanganmu saat melihat
gerak lawan. Jika dia mengelak ke kiri, ke situ kamu
menyerang. Jika ia menyerang, kamu mengelak atau
menangkis sesuai yang kamu pikir. Semua sudah ada dalam
dirimu, kamu hanya perlu bersikap seperti angin, bergerak ke
mana saja. Bagaikan awan yang bergerak ketika ditabrak
angin. Seperti halilintar menyambar apa saja tanpa hambatan.
Bergerak bebas tanpa dibuat-buat. Bebas, merdeka. Bumi pun
tak lagi mengikat, kaki tak perlu memijak bumi. Bebas, tak
ada lagi perbudakan."

Siang itu Eyang Sepuh duduk bersila, Geni duduk di
hadapannya. "Pelajaran sudah usai. Kau hanya perlu melatih
pikiranmu saja. Pikiran harus cepat, sangat cepat, karena
hanya pikiran saja yang lusa mendahului kecepatan angin.
Semua sudah ada dalam dirimu, jurus, lenaga dalam, semua
ada padamu Tugasku sudah rampung, semuanya sudah
kuajarkan padamu, kamu akan menjadi pendekar yang tak
ada tandingannya, tetapi jangan sombong, jangan takabur,
jangan pernah memandang rendah apa pun meski sekecil apa
pun. Kamu harus ingat, seringkali yang kecil-kecil itu bisa
menjadi raksasa dan yang akan menghancurkan kita. Cucuku,
Wisang Geni, setelah hari ini kamu tak perrnah lagi bertemu
dengan aku, ajalku sudah dekat, tidak lama lagi aku akan
moksa. Sudah saatnya, karena tugasku sudah selesai."
Eyang Sepuh melanjutkan wejangan, "Selama ini aku hanya
menanti munculnya seorang murid Lemah Tulis yang
mumpuni dan bisa dipercaya. Sekarang aku sudah wariskan
semua ilmuku padamu" Dia menghirup udara "Sekarang
tanggungjawab ada di pundakmu, Lemah Tulis harus tetap
jaya, agar bisa sinambungan mengajar amal kebajikan dan
menolong manusia. Jadilah angin, cucuku, memberi kesejukan
dan kenyamanan pada umat manusia, jadilah angin topan,
guruh dan halilintar jika diperlukan untuk membasmi angkara
murka."
Geni memeluk kaki Eyang Sepuh, mencium lututnya,
mencium dua tangannya. "Empat hari bersama Eyang serasa
bertahun-tahun hidup di swargaloka, aku bahagia, Eyang apa
nama ilmu ini?"
"Cucuku, para pendiri Lemah Tulis hanya mewariskan jurus

Garudamukha dan Garudamukha Prasidha. Tak ada yang lain.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;