Sabtu, 17 Mei 2014

WisangGeni 2

Tenaga dua pendekar Jawa itu tersedot diseret arus tenaga
lingkaran. Keadaan kritis. Sebab begitu Lahagawe menyibak
dua tangannya disusul tenaga mendorong maka tulang dada
dua pendekar Jawa itu terancam berantakan. Benar saja!
Tampak jari-jari tangan Lahagawe lurus merapat, dua
tangannya mengubah lingkaran menjadi gerakan seperti
menyibak air. Tenaga dua pendekar Jawa terpental ke kiri dan
kanan. Dua siku Lahagawe ditekuk. Keadaan kritis. Maut
mengancam dua pendekar Jawa.
Sekonyong-konyong datang menyeruak bayangan serba
putih, seorang pendekar usia enampuluh, rambut, jenggot,
kumis dan alis semua serba putih. Kakinya tidak terlihat
karena tertutup jubah pulihnya. Jubah itu menjuntai sampai ke
tanah berkibar ditiup angin.
Persis dewa yang turun dan kahyangan ke bumi. Ia bagai
terbang, ringan bagai kapas, sungguh ilmu ringan tubuh yang
sulit diuari bandingannya. Masih dalam keadaan melayang,
pendekar itu melonjor dua tangan dalam gerak berputar. Siku
dibengkokkan. Jari tangan seperti meraup, kemudian tapak
tangannya dihadapkan ke arah dua pendekar Jawa. "Jangan
gunakan tenaga, kosongkan tubuhmu !" Suara pendekar jubah
putih itu merdu dan akrab di telinga Puguh dan Baleman.
Pada saat Lahagawe meluruskan dua tangannya, memukul
dahsyat ke dada dua pendekar Jawa, pada saat yang sama
angin pukulan si jubah putih menerpa Baleman dan Puguh.
Dua pendekar Jawa ini tanpa rasa curiga sedikit pun mengikuti
bisikan si jubah putih. Keduanya mengosongkan tubuh dan

tidak menggunakan tenaga Pukulan pendekar itu mengangkat
dua pendekar Jawa seperti terbang melayang beberapa depa
dari sasaran pukulan Lahagawe. Pukulan Lahagawe menerpa
tanah kosong. Debu berterbangan Ada semacam bebauan
tanah terbakar.
Lahagawe murka melihat pukulannya mengena tempat
kosong. "Siapa orang yang berani mati mencampuri urusanku
?"
Pendekar jubah putih tertawa. "Karena menyangkut gengsi
dan kehormatan tanah Jawa, aku terpaksa ikut campur. Ilmu
seberang tak boleh tepuk dada di tanah Jawa. Orang asing tak
boleh temberang di negeri ini."
Dua pendekar itu kemudian terlibat pertarungan dahsyat Si
jubah putih bertarung seperti orang tidak bertenaga
Gerakannya aneh. Semua anggota tubuhnya bergerak namun
aneh kakinya tidak bergerak. Memang kakinya tertutup jubah,
namun bisa dilihat bahwa kakinya tidak memijak bumi Ia
melayang, ujung jubahnya pun tak menyentuh tanah.
Mengetahui lawan berilmu silat tinggi, Lahagawe memukul
dengan jurus mematikan. Semua pukulan tertuju ke titik
kematian. Si jubah putih mengelak dan balas menyerang.
Limapuluh jurus berlalu. Lahagawe mulai terdesak, ia
memutuskan menyerang dengan jurus paling mematikan Teri
sanson Mein Jevati Mein Sirf teri kusbu hai (Dalam Hidup dan
Nafasku Hanya Terdapat Harum Dirimu), jurus adu jiwa
Lahagawe selama ini belum menemukan tandingan yang
membuatnya kelewat sombong. Tapi kehebatan si jubah putih
telah mengusik harga dirinya, itu sebab ia melancarkan jurus
adu jiwa
Pendekar jubah putih tersenyum, seperti main-main, ia
menepuk dua tangannya. Benturan tenaga terdengar.
"Desss.". Tepukan itu telah membuat pukulan Lahagawe
melenceng jatuh di ruang kosong. Si jubah pulih menjulurkan
satu tangan ke depan bagai hendak mencengkram. Lahagawe

terdesak, surut dua langkah sambil melontarkan pukulan
Banjao kisi ke kisi ko aapna banalo (Jadilah Milik Seseorang
dan Milikilah Seseorang).
Tapi si jubah putih tak berhenti. Tangan kiri seperti
menggaruk belakang kepala. Tangan kanan ditekuk dan
diputar mengarah bumi. Pinggul dihentak ke kiri dan kanan.
Tangan kirinya mendorong menangkis pukulan dua tangan
Lahagawe. Tangan kanannya menjulur dan menyusup ke
depan menggaruk dada Lahagawe.
Lahagawe terkesiap. Ia terpental surut dua langkah.
Wajahnya pucat. Ia tak berdaya ketika si jubah putih bergerak
maju. Lahagawe memasang kuda-kuda, berdiri dengan wajah
pucat tetapi mata bersinar penuh amarah. Ia menggeram dan
menghimpun segenap tenaga, dua tangannya membuat
lingkaran besar dan kecil. Ia mengulang jurus andalan Banjao
kisi ke kisi ko aapna banalo (Jadilah Milik Seseorang dan
Milikilah Seseorang) dalam sikap sama-sama mati.
Mendadak pendekar jubah putih seperti menangis, lengan
kiri disapukan ke matanya, tangan kanan membuat lingkaran
kecil mengarah ke depan, tangan kiri menjulur ke depan.
Berbarengan tangan kanannya digentak dengan tarikan
dahsyat ke dadanya. Kuda-kuda Lahagawe gempur dan
tubuhnya bergetar, terombang ambing didorong dan ditarik
tenaga si jubah putih. Sesaat kemudian si jubah putih berkata
lirih. "Ah tidak ada gunanya membunuh kamu, pulanglah ke
negerimu, jangan pernah kembali lagi ke tanah Jawa!" Dua
tangannya seperti mengusir ayam, tetapi angin pukulannya
membuat Lahagawe terpental ke belakang.
Pendekar Himalaya itu muntah darah. Matanya melotot, dia
sungguh tak percaya bahwa dia bisa kalah dan terluka sampai
muntah darah. Dia berkata lirih dalam bahasa Jawa yang
fasih, "Terimakasih, tuan sudah mengampuni jiwaku. Aku
akan pulang ke Himalaya, tak akan datang lagi ke tanah
Jawa."

Pendekar jubah putih tanpa menoleh meneruskan
geraknya, melayang pergi begitu saja. Geraknya ringan seperti
terbang. Hebatnya lagi, seluruh gerakan sejak awal sampai
akhir, semua dalam satu gerak sinambungan yang harmonis
dan mulus. Seperu tak ada paksaan dalam geraknya. Bagai
terbang ia menuju ke bagian di mana Raja Kertajaya sedang
dalam kepungan.
Sepak terjangnya membuat para pengepung pontangpanting,
ia membelah kumpulan manusia semudah menyibak
air dalam kolam. Ia menggandeng lengan Baginda Raja
kemudian berdua menerobos keluar, meloloskan diri.
Semudah itu, bagaikan tak menemukan perlawanan. Ia masuk
kepungan, menggandeng lengan Baginda Raja, menerobos
keluar dengan mendendangkan kidung Penakluk Raja, kidung
yang kemudian menjadi populer dan dibincangkan orang di
dunia kependekaran.
Ilmu dari seberang,
Tak boleh tepuk dada,
Di Tanah Jawa ini,
Dari Gunung Tejar,
Jurus Penakluk Raja,
Ilmu dari segala ilmu,
Melenggang ke Barat,
Meluruk ke Timur,
Merangsak ke Utara,
Merantau ke Selatan,
Tak ada lawan,
Tak ada tandingan,
Ilmu dari segala ilmu

Gubar Baleman dan Manjangan Puguh terpesona oleh
sepak terjang pendekar jubah putih itu.
Siapa dia? Pada saat bersamaan, telinga Gubar Baleman
mendengar kesiuran angin. Dia merunduk. Tombak itu lewat
di atas kepalanya, dia melihat Tambapreto dan beberapa
pendekar lain melur ukke arahnya. Manjangan Puguh tak
tinggal diam, dia bergerak cepat bagai siluman. Itulah
Waringin Sungsang tingkat paling tinggi. Tidak cuma bergerak
dia juga menampar ke kanan kiri. Terdengar teriak kesakitan,
tiga pendekar lawan memegang kepala kemudian roboh, mati,
tanpa suara. Tapi satu mati, datang lima, mati dua muncul
duapuluh. Sepertinya pasukan Tumapel tak pernah habis.
Di pihak Kediri, hanya beberapa gelintir yang masih
bertahan. Gajah Kuning dan Sukesih sudah bersimbah darah,
keduanya masih melawan dan membunuh beberapa lawan.
Kalayawana tertawa sadis seperti ringkik kuda, membuat
sepasang suami isteri makin terdesak hebat. Manjangan
Puguh melayang hendak menolong. Tapi Sukesih justru
berteriak keras padanya, "Puguh pergi cepat selamatkan
anakku. Cepat pergi, ingat janjimu"
Pada saat itu juga sebatang tombak nancap di dada
Sukesih. Mata Puguh membelalak. Perempuan itu berteriak
lagi. "Pergi Mas Puguh, pergilah, tak ada gunanya bertahan,
kita sudah kalah."
Manjangan Puguh melesat pergi, amarahnya meluap. Dia
bagaikan terbang, menghajar siapa saja lawan yang
menghadangnya. Dia melewati banyak mayat musuh, tapi dia
juga menyaksikan teman-temannya mati satu per satu Mahisa
Walungan, Gubar Baleman, Kebo Jawa, Gajah Kuning dan
perempuan yang dicintainya. Dia meloloskan diri menuju
keraton, memenuhi janji dan ikrarnya untuk menyelamatkan
putra kecintaan Sukesih. Puguh berlari sambil menangis.
Tangis seorang pendekar tangguh.
---ooo0dw0ooo---

Tanah perdikan Lemah Tulis yang tadinya selalu ramai
dengan latihan ilmu silat serta kegiatan bercocok tanam dan
aktifitas lain, hari itu tampak porak poranda. Di sana sini
mayat bergelimpangan. Tak ada sisa makhluk hidup. Kerbau,
sapi, ayam, babi dan semua binatang ternak, mati Yang ada
hanya burung pemakan bangkai, terbang melayang dan
hinggap di sana-sini. Bau busuk mayat manusia dan bangkai
binatang tercium di mana-mana.
Padeksa, adik seperguruan Bergawa menerobos masuk
pekarangan. Dia mendengar berita hancurnya Lemah Tulis
serta kekalahan pasukan Kediri dalam perang Ganter. Dia
bergegas menuju Lemah Tulis. Dia tiba di perdikan Lemah
Tulis tiga hari setelah serangan yang membumihanguskan
perguruannya. Dia melihat berkeliling. Amarahnya meluap
kesedihannya memuncak.
”Hancur, semua hancur, tidak ada sisa,” desisnya.
Dia berlari ke sana kemari, berteriak memanggil orang.
Suasana sepi, lengang, hanya terdengar gema suaranya
memantul. Tak ada orang yang menjawab panggilannya. Ia
memeriksa mayat-mayat. Banyak yang dikenalnya, banyak
juga yang tak dikenalnya, pasti para penyerang. Semua murid
mati dalam pertarungan, bekas darah kering tercecer di manamana.
Dia tak merasakan sengatan terik mentari. Ia lari
menuju kamar Bergawa. Tertutup rapat. Tak mungkin bisa
dibongkar atau dibuka dari luar. Selamanya hanya satu orang
saja yang bisa membuka pintu rahasia itu dari luar, yakni
ketua Lemah Tulis, tak ada orang lain. Tiba-tiba matanya
melihat mayat tertelungkup agak jauh dari pintu kamar. Ia
menghampiri dengan jantung berdegup kencang. Ia membalik
mayatnya. Padeksa berteriak, ”Kangmas, kangmas Branjangan
!”
Dia juga menemukan mayat Ranggaseta. Dua mayat itu
sudah dingin, kaku dan berbau busuk. Padeksa memeriksa di
sekitarnya. Ia tak menemukan kakaknya, Bergawa. ”Kangmas

pasti ada di sini, aku tahu dia tidak ikut berperang di Ganter.
Ia masih di sini!” Tiba-tiba terlintas di benaknya, mungkin
Bergawa masih hidup dan berada di dalam kamar rahasia. Dia
mengetuk pintu dengan pengerahan tenaga dalam, mengetuk
dengan isyarat rahasia, ”Kangmas, kangmas, ini aku Padeksa.”
Sesaat kemudian terdengar balasan dari dalam, ketukan
yang tidak keras namun cukup jelas. Padeksa gembira, pasti
orang yang di dalam itu Bergawa, tidak mungkin lain orang.
Dia mengetuk lebih keras. ”Kangmas, buka pintunya.”
Pintu kamar terbuka perlahan. Padeksa mendorong. Dia
menerobos masuk, mendapatkan Bergawa bersandar di
dinding dekat pintu.
Padeksa memeluk Bergawa, ”Kangmas, oh, untung kamu
masih hidup.” Dia merasakan tubuh Bergawa dingin. Dari luar
tidak terlihat adanya luka.
”Kangmas, kau luka dalam? Kangmas Branjangan mati,
perguruan hancur, banyak murid mati, perbuatan siapa
kangmas, apa benar pasukan Arok?”
Bergawa luka parah, tenaga intinya musnah kena pukulan
Lahagawe. Dia tak mungkin pulih bahkan ajalnya sudah
merapat. Tetapi ia masih sempat menceritakan kehancuran
Lemah Tulis. Ada pengkhianat dalam perguruan, semua murid
dari yang rendah sampai murid utama bahkan Bergawa dan
Branjangan pun terkecoh. Air minum dalam gudang diracun
dengan racun pelemas tulang. Itu sebab, para penyerbu tak
menemukan perlawanan berarti. Bergawa menyebut nama
para penyerbu antara lain pendekar kosen dari I Iimalaya
Lahagawe, Tambapreto, Sepasang Sapikerep, Sempani,
Jayawikata, Palot, Kalayawana, Samparan.
”Seharusnya aku ikut tarung sampai mati, itulah
kehormatan bagi seorang pendekar, tetapi Branjangan
memaksa aku sembunyi di kamar rahasia ini dan sebisa
mungkin bertahan hidup untuk menyampaikan tragedi ini

kepada kamu dan Gajah Watu. Dia yakin kalian akan datang
meskipun terlambat. Ternyata harapannya terpenuhi, kau
datang tepat saat ajalku sudah dekat.”
Bergawa berpesan bahwa Padeksa harus menjabat ketua
Lemah Tulis sampai metemukan seorang murid yang tepat
dan layak sebagai ketua penerus. Dua tugas lain, menemukan
ilmu pusaka Garudamukha Prasidha yang konon rahasianya
dipegang keturunan Kanjeng Paduka Nyi Kili suci
”Kamu harus temukan murid pengkhianat iiu, selanjutnya
masa depan perguruan ada di tanganmu”
Sebelum mati, Bergawa sempat memberitahu kunci kamar
rahasia.
Padeksa melangkah lunglai keluar. Dia agak kaget melihat
beberapa orang desa menghadang jalannya. Lalu seorang di
antaranya membuka caping sambil memberi hormat. ”Paman
Padeksa, terimalah hormat kami.”
Padeksa mengenalnya, dia Prastawana, murid langsung
kakaknya Branjangan. Semuanya enam orang. Prastawana
dan Dipta, keduanya murid Branjangan Dua pemuda murid
Gajah Kuning yakni Gajah Nila dan Gajah Lengar. Dua lainnya,
Jayasatru, murid Ranggaseta dan Dyah Mekar, gadis kecil
putri tunggal Ranggaseta.
Prastawana menceritakan pada malam menjelang serangan
mematikan itu, beberapa murid yang keracunan disuruh pergi
oleh guru ketua. Sekarang ini mereka hidup berpencar dan
sementara menyamar sebagai orang desa. Mereka
memberanikan diri kembali ke perdikan untuk menyelidiki
keadaan. ”Kami datang berniat mengubur teman-teman,”
katanya sendu.
Mendadak saja, Padeksa berbisik, ”Cepat sembunyi, ada
orang datang!”

Terdengar suara derap kuda masuk pekarangan. Seorang
laki-laki melompat turun. Manjangan Puguh dan bocah berusia
delapan tahun, Wisang Geni. Padeksa mengenal Puguh,
karenanya lantas keluar menemui Pertemuan cukup
mengharukan, Puguh menceritakan apa yang dilihatnya di
Ganter. Dan mengapa dia bisa lolos dan menyelamatkan putra
Gajah Kuning.
”Aku sudah berjanji pada kedua orangtua Geni, bahwa aku
harus kembali ke keraton menyelamatkan Geni sebab keraton
bakal jatuh ke tangan musuh. Gajah Kuning dan Sukesih tak
mau anaknya menjadi tawanan atau dibunuh musuh. Demi
persaudaraan aku rela menjadi pengecut hina yang lari dari
medan perang. Itu pilihan yang sulit.”
Terdengar suara Padeksa menghibur. ”Jangan menyesali
apa yang sudah terjadi.”
---ooo0dw0ooo---
25 Tahun Kemudian
Tahun 1247 suatu malam di tengah bulan Margasirsa.
Duapuluh lima tahun kemudian setelah perang Ganter yang
menelan banyak korban jiwa itu. Bulan purnama menerangi
hutan di pinggir desa Mlarak. Tampak sebuah bangunan tua di
antara pepohonan jati. Reruntuhan rumah tua itu hampir tidak
beratap. Hanya satu sisi dinding yang terbuat dari batu hitam
yang masih utuh. Dinding lainnya sudah tidak utuh. Daun
pintu sudah tak ada, rusak dan lapuk termakan rayap.
Di ruangan dalam yang terbuka dan luas mirip bangsal
beberapa orang sedang istirahat. Rumah tua itu sering
dijadikan tempat menginap perantau yang kemalaman di
jalan. Suasana sunyi dan sepi. Hanya terdengar suara jengkrik

dan kodok sahut-sahutan. Gerimis membuat malam makin
dingin.
Terdengar suara orang mendendangkan kidung. Suaranya
sinis dan dingin. Suaranya tidak keras namun terdengar jelas
oleh semua orang di rumah besar. Suara jengkrik dan kodok
mendadak senyap ditelan suara yang membawa suasana
magis.
Dari Gunung Lejar,
Jurus Penakluk Raja.
Ilmu dari segala ilmu,
Melenggang ke Barat,
Meluruk ke Timur,
Merangsak ke Utara,
Merantau ke Selatan,
Tak ada lawan,
Tak ada tandingan,
Ilmu dari segala ilmu
Kidung itu seakan menyihir semua orang. Semua diam.
Saling pandang. Sebagian wajahnya pucat. Sebagian lainnya
waspada. Kidung dinyanyikan dengan tenaga dalam tinggi,
membuat jantung orang berdegup kencang. Suara itu juga
menebar pengaruh magis.
Pelan-pelan gema suara menghilang. Suara jengkrik dan
kodok mulai lagi bersahutan. Gerimis masih menyiram bumi.
Seorang lelaki paruh baya bersandar di dinding tertawa dingin,
menghentakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya gembul, kepala
botak.
”Kidung hanya satu kali dinyanyikan, berarti ia akan
membunuh satu orang di antara kita di ruangan ini, siapa?

Aku pasti akan melawannya, aku akan adu jiwa dengannya,
sudah lama aku mencarinya,” kata si lelaki botak itu. Semua di
ruangan saling pandang. Semuanya, sebelas orang, tujuh
lelaki dan empat wanita.
Seorang anak muda berusia sekitar tigapuluhan sedang
melahap nasi bungkus. Ia menunda makannya, memandang
lelaki gembul botak itu dengan heran. Ia menoleh kepada
kakek tua berusia enampuluhan yang duduk di sampingnya.
”Guru, mengapa harus ada yang mati terbunuh? Apa anehnya
kidung tadi.”
Sebelum kakek itu menjawab, lelaki botak mendahului
dengan tertawa dingin. ”Anak muda, itu tadi namanya
tembang Jurus Penakluk Raja tapi belakangan lebih dikenal
orang dengan sebutan Kidung Maut. Dan si penyanyi adalah
dedemit kejam yang doyan membunuh. Kalau kidung
dinyanyikan satu kali, artinya ia akan mencabut nyawa satu
orang sebelum fajar menyingsing. Kalau dua kali, ya artinya
dua nyawa.”
”Siapa si pembunuh itu ?”
”Siapa? Selama ini tak seorang pun pernah melihat
tampangnya. Orang rimba persilatan menjulukinya si Kidung
Maut. Ia muncul tiba-tiba dan dengan ilmunya yang tinggi
mudah baginya untuk membunuh siapa saja. Ia muncul tibatba
dan menghilang tiba-tiba persis siluman. Agaknya
benarlah syair kidungnya, tak ada lawan, tak ada tandingan!”
”Apakah tuan pernah memergoki kejadian seperti malam
ini?” Pemuda itu masih penasaran.
”Ini yang pertama kali. Waktu isteriku jadi korban
kekejamannya, aku tak ada di situ. Istriku memang mati
dibunuh dedemit itu. Dan
Sesaat Manjangan Puguh tertegun. Kemudian ali mukanya
berubah cerah, ia tertawa lepas. ”Kamu pasti Wisang Geni,
wah kamu sudah dewasa, aku pangling, kalau bertemu di

jalan aku pasti tak bisa mengenalmu Berdirilah dan kembali ke
samping kakek gurumu, nanti kita ngobrol.” Ia memberi
hormat dengan dua tangannya kepada orangtua yang
disebutnya kakek itu. ”Ki Padeksa, terimalah hormatku”
Wisang Geni kembali ke tempat duduknya. Tetapi
langkahnya terhenti karena pada saat bersamaan terdengar
kembali kidung Jurus Penakluk Raja ditembangkan. Suara
penyanyinya sama, tetap jernih dan bening. Dari suaranya
sulit diduga, dia itu perempuan atau lelaki.
Dari Gunung Tejar, Jurus Penakluk Raja, Ilmu dari segala
ilmu,
Melenggang ke Barat, Meluruk ke Timur, Merangsak ke
Utara, Merantau ke Selatan,
Tak ada lawan, Tak ada tandingan, Ilmu dari segala ilmu
Semua orang di ruangan saling pandang. Tidak ada suara
lain kecuali kumandang kidung itu. Suaranya mendengung dan
bergema di segala penjuru Sesaat kemudian suara lenyap.
Belum juga orang-orang itu hilang rasa tegangnya, kidung
berkumandang lagi. Begitu seterusnya sampai empat kali
beruntun. Semua orang tegang. Pendekar wanita separuh
baya yang dikenal sebagai Nyi Pujawati bangkit. Ia tampak
kesal. ”Rupanya satu saja tak cukup bagi si Kidung Maut,
malam ini ia menginginkan lima nyawa. Benar-benar
kurangajar, apa dia pikir kita semua ini batang pisang yang
manda digorok begitu saja. Di ruangan ini juga hadir dua
tokoh kelas atas, Ki Manjangan Puguh dan Ki Padeksa. Aku
ingin tahu apa yang mau dilakukan si pembunuh itu.”
Sambil berkata, Pujawati dengan geram menggerakkan
tangannya. Sekejap saja sebilah pedang sudah dalam
genggaman. Gerakannya sebat dan sulit diikuti pandangan
mata orang biasa. Itu suatu bukti perguruan Goranggareng
kesohor dengan ilmu pedangnya, bukan bualan semata.

Manjangan Puguh memandang semua orang di ruangan.
”Kita tak punya waktu, setiap saat pembunuh itu bisa
menyerbu Kupikir sebaiknya kita semua berkumpul di tengah
ruangan dalam bentuk lingkaran, setiap orang menghadap
keluar lingkaran. Dengan demikian serangan dari arah mana
saja bisa kita ketahui. Cepat!”
Tak perlu diulang, semua orang bergerak mengikuti saran
Manjangan Puguh. Sepasang suami isteri yang usianya sudah
tua, beringsut keluar menuju pintu. ”Kami hanya dua orangtua
pedagang kecil yang tak mengerti silat. Kami juga bukan dari
dunia kependekaran. Pasti bukan kami yang dimaui penyanyi
kidung itu. Kami mohon pamit, para pendekar.”
Tertatih-tatih dua orangtua itu melangkah keluar
reruntuhan rumah tua dan menghilang di kegelapan malam
Semua pendekar memandang dengan mata mendelong tanpa
bisa berbuat apa-apa. Wisang Geni tetap berdampingan
dengan Padeksa. ”Kakek, keadaan tampaknya gawat
Pembunuh misterius itu rupanya memiliki ilmu silat yang
tinggi. Aku lihat guru Puguh dan kakek juga, tampak tegang.”
Padeksa diam saja. Mulutnya komat-kamit. Rupanya ia
bicara kepada muridnya menggunakan ilmu memendam suara
lewat tenaga perut. Hebat! Orang lain tak mungkin bisa
mendengar. Pertanda tenaga dalamnya sudah mencapai
tingkat tinggi ”Geni, tenaga dalam orang itu cukup aneh dan
sulit diukur tinggi rendahnya. Pasti dia pendekar kelas atas.
Kita harus hati-hati, kamu jangan sekali-sekali menjauh dari
sisiku.”
”Geni, aku sudah tua, sudah lebih dari separuh abad. Aku
hidup dalam penyesalan sejak Bergawa mati Kalau saja dulu
aku tak menuruti katahatiku, kalau saja dulu aku dan dimas
Gajah Watu mau menetap bersama kakang Bergawa dan
kakang Branjangan mungkin kita masih bisa bahu-membahu
menyelamatkan Lemah Tulis, atau kalau pun harus mati, mati
dalam tarung adalah pilihan paling mulia bagi pendekar.

”Tapi nasi sudah jadi bubur. Aku menyesal, merasa
bersalah. Meski hatiku agak terhibur karena sempat menemui
kakang Bergawa sebelum ajalnya. Ia mati meram karena aku
berjanji akan melaksanakan tiga perintahnya. Jika aku mati
malam ini, maka tiga tugas itu harus kamu laksanakan sebab
itu perintah perguruan.”
Cerita Padeksa terhenti. Saat itu terdengar jeritan dua
orang saling susul. Suaranya mendirikan bulu roma. Saat
berikut, dua sosok bayangan menyerbu masuk, mendatangkan
angin kencang. Manjangan Puguh dan Pujawati bergerak
sebat, hampir berbarengan ”Kena kamu dedemit!” teriak
Pujawati
Makian itu disusul teriak girang Pujawati karena pedangnya
mengena sasaran tubuh manusia. Pukulan melingkar
Manjangan Puguh yang berisi tenaga dalam dahsyat mengena
telak dada lawan yang lain. Darah muncrat ke mana-mana.
Dua musuh itu sudah dipecundangi, begitu mudahnya. Semua
mata melotot memandang dua sosok mayat yang tergeletak di
ruangan. Ternyata mereka dua orangtua pedagang kecil tadi.
Luka menganga di dada tepat bagian jantung. Darah
membasahi seluruh tubuhnya. Mereka dibunuh dengan keji
kemudian mayatnya dilempar ke dalam, itu yang membuat
Pujawati dan Manjangan Puguh kecele.
”Bangsat kejam!” Dua murid Pujawati membuang muka,
tak tahan melihat mayat mengerikan itu. Apalagi dua orangtua
itu bukan dari kalangan pendekar. Mereka orang awamyang
tak bisa silat. Pujawati menggamit dua muridnya, Rorokunda
dan Rorowangi. ”Kalian jangan jauh-jauh dari gurumu”
Padeksa dan Wisang Geni tak begitu peduli. Sekilas melihat
dua mayat, Padeksa menggamit Wisang Geni. Namun sebelum
ia buka mulut, terdengar suara Manjangan Puguh. ”Ki
Padeksa, Nyi Pujawati, coba perhatikan ini, senjata apa ini
yang bisa membuat lubang di dada manusia, mungkin
semacam bor.”

Dua pendekar itu mendekat dan memerhatikan mayat.
Lukanya sama, tepat di bagian jantung. Tampak seperti
senjata itu menembus dada, berputar dan melumat hancur
tulang dan daging di seputar dada sebelah kiri. ”Mungkin
benar, senjatanya semacam bor namun jelas sekali
dikendalikan dengan tenaga dalam yang besar,” tukas
Padeksa.
”Setahuku, belum pernah ada pendekar di tanah Jawa yang
menggunakan senjata aneh seperti ini,” tambah Pujawati
Lelaki botak alias Si Tangan Besi menyela, ”Menurut cerita
orang, sepanjang beberapa bulan belakangan ini, si Kidung
Maut selalu meninggalkan saksi hidup. Dan mereka yang ikut
menyaksikan pembunuhan keji itu tak pernah menyebut
adanya senjata, mereka mengatakan orang itu berkelebat
macam siluman, geraknya sangat cepat dan ia selalu beraksi
dengan tangan kosong. Mungkin saja, malam ini malam
istimewa sehingga dia menggunakan senjata”
Saat itu semua orang lengah. Mereka terpencar dan tidak
berada lagi di dalam lingkaran. Tiba-tiba saja terdengar suara
mencicit yang bising. Manjangan Puguh berteriak. ”Kembali ke
lingkaran semula!”
Terlambat!
Suara mencicit sudah memenuhi ruangan. Senjata itu
hampir tak terlihat. Bor maut berbentuk kerucut sebesar ibu
jari, dikendalikan dengan tali yang saking tipisnya hampir tidak
terlihat. Semuanya ada empat bor maut. Senjata itu berputar
bagai gasing dan menyambar ke sana kemari dengan
kecepatan tinggi
Semua orang panik. Sibuk berkelit dari serangan senjata
maut itu. Caci maki dan sumpah serapah keluar dari mulut
para pendekar. Tidak lama. Tidak sampai sepeminuman teh,
terdengar jerit dan lengking kesakitan.

Saat berikutnya senjata itu menghilang. Datang secara
mendadak, pergi pun sangat tiba-tiba. Suasana lengang.
Kidung Maut tetap tak kelihatan batang hidungnya.
Dua mayat tergeletak di tanah. Darah segar masih
mengucur dari lubang di dadanya. Warsakumara dan Tangan
Besi! Dua pendekar yang saling bermusuhan, kini mati
bersamaan tanpa pernah mengenal wajah pembunuhnya.
Semua saling pandang. Seperti tak pernah ada sesuatu yang
terjadi karena berlangsung begitu cepat. Semua sependapat
ilmu iblis itu teramat tinggi. Tanpa memperlihatkan diri ia
sanggup mencabut nyawa dua pendekar di depan mata
delapan pendekar lainnya.
Manjangan Puguh memandang Padeksa dan Pujawati.
Teror bor maut itu masih terbayang Suaranya seakan masih
mencicit di telinga Pujawati membanting kaki, saking kesal.
”Gila, sungguh pembunuh licik dan keji” Tak bisa kuasai
dirinya lagi, pendekar pedang Goranggareng itu berteriak,
”Bangsat licik, keluar kau, hadapi aku.”
Suara Pujawati bagai guntur di tengah malam sunyi Gema
suara itu dipantulkan ke sana kemari. Suatu pameran tenaga
dalam dari seorang pendekar kelas satu Suasana kembali
sunyi
Seorang lelaki muda tampan dan tampaknya serombongan
dengan Pujawati, berkata sambil memberi hormat kepada para
pendekar. ”Sebaiknya kita jangan terpancing, serangan iblis
itu akan datang lagi. Sudah empat nyawa melayang, masih
ada satu lagi yang diincarnya sebelum fajar, salah satu di
antara kita. Maka lebih baik kita siap-siap menghadapinya.”
”Benar apa yang dikatakan Setawastra, sebaiknya kita
semua siap dalam kelompok.” Berkata demikian Pujawati
menarik dua muridnya yang cantik, mendekat kepadanya.
Setawastra memegang lengan temannya. ”Kangmas
Matangga, kita harus bahu-membahu untuk selamat.” Lelaki

bertubuh kekar itu manggut. Ia mencabut pedang dari balik
punggung ”Sebaiknyakita tetap berdampingan, dimas. Apa
pun yang terjadi, jangan sampai kita terpisah.”
Manjangan Puguh bergabung dengan Padeksa dan Wisang
Geni. Delapan pendekar itu terbagi dua kelompok tetapi tak
berjauhan satu sama lain. Semua bersiap. Menanti!
Sepi dan lengang. Tak ada suara apa pun kecuali suara
kodok dan jengkrik. Saat demi saat berlalu. Fajar semakin
dekat. Dari jauh terdengar suara kokok ayam. Belum ada
tanda-tanda Kidung Maut akan menyerang. Tanpa terasa
suasana ini mendebarkan semua orang. Mereka tetap siaga.
Mendadak terdengar suara gedubrakan. ”Bruuaaakkk!”
Tembok rumah tiba-tiba runtuh dijebol orang. Dihantam
dengan pengerahan tenaga dalam sangat tinggi Bunyikeras itu
disusul bebatuan tembok yang beterbangan ke sana kemari
dengan kecepatan tinggi dan serabutan. Debu beterbangan
memenuhi ruangan. Sinar rembulan purnama dan penerangan
obor tak mampu menembus kumpulan debu. Obor pun mati.
Orang sulit melihat datangnya bebatuan yang begitu banyak
jumlahnya. Hanya menggunakan ketajaman pendengaran
membuat para pendekar pontang-panting mengelak terjangan
batu. Salah hitung, kepala bisa pecah.
”Bangsat pengecut, perlihatkan dirimu!’’ teriak Pujawati
marah. Matangga dengan suaranya yang keras kasar
membentak. ”Ayo hadapi aku secara jantan, jangan main
sembunyi!’’
Dari balik debu yang masih memenuhi ruangan, sosok
bayangan berkelebat. Gerakannya gesit, bahkan teramat gesit.
Seakan berlomba adu cepat dengan batu-batuyang
beterbangan. Tangannya mengibas menyemburkan tenaga
dalam dahsyat ke Manjangan Puguh dan Padeksa. Dua
pendekar kawakan ini terkejut. Tenaga lawan sungguh besar.
Tak ayal lagi keduanya membalas dengan seluruh kekuatan
tenaga dalam. Tak terhindar adanya benturan tenaga.

”Dukk ! Dessss!”
Padeksa terdorong surut satu langkah, Manjangan Puguh
juga. Bayangan lawan bagai tak mendapat rintangan, tetap
menyerbu Kini sasarannya Wisang Geni!
Wisang Geni sejak awal sudah siaga penuh. Ia merentang
dua tangan dalam sikap Mangapeksa (Menanti) dari jurus
andalan Lemah Tulis Garudamukha. Ini sikap pasrah dan
menanti yang menyimpan banyak perubahan tak terduga.
Geni mengerahkan segenap tenaga dalamnya. Ia tahu situasi
kritis mengancam hidupnya.
Padeksa dan Manjangan Puguh terkesiap. Kalau mereka
saja terdesak mundur oleh tenaga dalam lawan, bagaimana
lagi nasib Wisang Geni. Tanpa pikir lagi keduanya menerjang
lawan sambil mengirim pukulan jarak jauh.
Saat itu Kidung Maut sudah sampai di depan Geni. Ia
mengibas dengan tangan kiri, tangan kanan mencengkeram
batuk kepala. Tenaga kibaran itu sangat besar membuat
tubuh Geni serasa kaku. Saat berikutnya kepalanya terasa
dingin. Geni tahu jiwanya berada di ujung tanduk, namun ia
tidak gentar. Ia bergerak dengan dua jurus susulan
Angluputana (Yang Akan Membebaskan) dan Sumpetutit
(Jungkir dan Berputar). Saat itu Geni berpikir sederhana, jika
ia harus terluka atau bahkan binasa, maka lawannya pun
harus mengalami kerugian besar. Pukulan dan tendangannya
mengarah pelipis dan selangkangan lawan. Pada saat itu dua
pukulan Padeksa dan Manjangan Puguh ikut mengancam
punggung Kidung Maut.
Terdengar suara lawan ”iiihhh!” Kidung Maut terkejut,
diam-diam ia memuji gerakan Geni. Jika ia meneruskan
serangan, Geni pasti mati, namun ia pun akan terluka parah.
Begitu juga pukulan dua pendekar kawakan yang mengarah
punggungnya.

Dia membatalkan serangan pada Geni, sambil
merentangkan dua tangannya ia menerima pukulan Padeksa
dan Manjangan Puguh. ”Deeeesss!” Punggungnya kena telak.
Pakaian di bagian punggungnya pecah dan robek. Namun
Kidung Maut itu tampak tidak terluka. Saat pukulannya
mengena telak punggung lawan, Padeksa dan Manjangan
Puguh merasa tenaganya amblas di ruang kosong. Memang
terasa adanya benturan, namun tidak ada daya tolak dari
punggung lawan sebagaimana mestinya.
Ternyata sebenarnya Kidung Maut meminjam tenaga
lawan, pukulan itu tidak melukainya bahkan tubuhnya dengan
kecepatan tinggi melayang ke arah Pujawati
Ketua Goranggareng ini menyambut dengan kibasan
pedang Kembangtehn (Bunga Tiga Warna) satu jurus
mematikan dari ilmu andalannya Kemayangan (Bahagia dan
Beruntung). Berbarengan dengan itu Matangga dan
Setawastra bersama-sama mengirim pukulan gabungan
yhmjilakmi (Menghasilkan) salah satu jurus tangan kosong
handal dari perguruan Mahameru Sergapan tiga pendekar ini
sepertinya menebar hawa kematian. Kidung Maut tak punya
peluang untuk lolos.
Kenyataan tidak demikian. Kidung Maut membuat gerakan
putar, tubuhnya melintir dan meliuk ke samping, menghindari
pedang Pujawati. Ternyata geraknya bukan hanya
menghindar. Tetapi sekaligus menyedot dan menarik tubuh
Pujawati sampai terhuyung ke depan Dua tanggannya
kemudian membentur pukulan dua murid Mahameru
”Duuukkk... dukkk!”
Malangga dan Setawastra terhuyung empat langkah ke
belakang. Pujawati hilang keseimbangan dan tersuruk dua
langkah ke depan.
Kidung Maut benar-benar pamer kepandaiannya. Meminjam
tenaga lawan, ia melejit dan melenting ke atas melewati tiga
lawannya. Kini dua gadis Goranggareng yang terancam!

Pujawati yang terpisah agak jauh dan dalam keadaan
limbung tak bisa berbuat apa-apa. Begitu juga dua murid
Mahameru
Tidak demikian Wisang Geni yang cerdik. Ia bisa membaca
jalan pikiran Kidung Maut. Saat Kidung Maut menempur
Pujawati, saat itu juga Geni menerjang ke arah Rorowangi dan
Rorokunda. Sehingga waktu dua gadis cantik itu diserang,
Geni ikut membantu dengan jurus Sumpetutit (Jungkir dan
Berputar).
Dua gadis cantik ini juga bukan orang lemah, dua kilatan
pedang berkelebat mengibas udara
Terdengar suara menggumam dari balik topeng Kidung
Maut, suara yang tidak jelas. ”Hmmmmm.’’ Ia memainkan
ilmu pinjam tenaga, menangkis pukulan Geni, ia melenting
dan melesat meloloskan diri dari kibasan pedang dua gadis itu.
Gerakan menangkis itu dilakukan sambil ia melayang pergi ke
luar ruangan menghilang di kegelapan malam. Sepertinya ia
lari karena gagal.
Mendadak terdengar suara mencicit saling susul. Dua bor
menyerbu masuk. Semua terkejut. Geni sehabis bentrok
tenaga dan surut empat langkah dengan dada sesak sempat
melihat bor itu mengancam Rorowangi. Tanpa sadar Geni
melesat ke arah gadis itu memotong jalan bor maut. Padeksa
dan Manjangan Puguh ikut meluruk ke arah sama, begitu juga
Pujawati Tiga pendekar kawakan ini bergerak pesat menolong
Rorowangi. Tetapi Kidung Maut lebih cepat lagi. Saat itu juga
terdengar suara mencicit lainnya, dua bor lain menyerang
pesat.
Terdengar jeritan maut. Rorokunda yang sendirian dan
tidak dilindungi menjadi korban. Dadanya bersimbah darah.
Tewas mengerikan. Saat itu juga suasana sepi dan lengang.
Fajar mulai menyingsing.

Semua terpana. Pertarungan berlangsung singkat. Serba
cepat dan telah menebar detik-detik kematian yang
mengancam semua pendekar. Hanya nasib baik saja yang
meloloskan mereka dari kematian. Rupanya sambil melayang
pergi, menuju kegelapan malam, Kidung Maut menyerang
dengan senjata bor mautnya. Tak seorang pun menyangka
keadaan seperti itu.
Lawan juga berlaku licik, menyerang Rorowangi namun
yang yang di incarnya adalah Rorokunda. Sehingga begitu
semua perhatian dan pertolongan mengarah pada Rorowangi,
saat itu juga ia menyerang Rorokunda. Lihai, sungguh lihai.
Lihai dan licik!
Rorowangi memeluk mayat adiknya, menjerit dengan
tangis memilu. ”Adikku, kenapa kamu tinggalkan aku, maafkan
mbakyu ini karena gagal melindungi adiknya.”
Pujawati merunduk, selama ini belum pernah ia
dipecundangi orang setelak itu. Muridnya mati di depan
hidungnya tanpa ia sanggup menolong. Lawannya pun hilang
begitu saja.
Malangga, Setawastra dan Wisang Geni merasakan
jantungnya berdegup kencang. Benturan tenaga dengan
Kidung Maut membuat tenaga dalam mereka jadi tidak
karuan. Mereka duduk semedi mengatur kembali tenaga
intinya. Padeksa dan Manjangan Puguh masih bingung dan
takjub. Mereka heran, sebab jelas-jelas Kidung Maut kena
pukulan telak di punggungnya, pukulan yang sanggup
menghancurkan gajah sekali pun ternyata tidak mempan
terhadap tubuh lawan. Mereka takjub akan ilmu pinjam
tenagayang dimainkan Kidung Maut. Jelas, tenaga dalam dan
ringan tubuh lawan sangat tinggi, ditambah lagi dengan jurusjurus
aneh, membuat orang bertopeng itu tampak sangat
digdaya.
Drama berdarah itu selesai persis fajar menyingsing.
Seperti kebiasaan yang diceritakan dari mulut ke mulut,

Kidung Maut menepati janjinya. Lima kali kidung dinyanyikan,
lima nyawa melayang
Hebatnya lagi, ia menyisakan saksi hidup agar dunia
kependekaran mengetahui kehebatan Kidung Maut.
”Tak ada lawan. Tak ada tandingan. Ilmu dari segala Ilmu.
---ooo0dw0ooo---
Suasana pagi di sekitar bangunan tua itu sepi dan lengang.
Tak terdengar kicau burung. Seakan makhluk unggas itu ikut
berdukacita. Seakan ikut sedih atas malapetaka yang ditabur
Kidung Maut tadi malam.
Wisang Geni masih membayangkan Rorowangi yang cantik.
Rorowangi yang menangisi kematian adiknya. Rorowangi yang
memandangnya dengan penuh rasa terimakasih. Ia juga tak
bisa melupakan pengalaman mengerikan itu. Selama ini ia
telah melewati banyak pertarungan namun sepak terjang
musuh seperti Kidung Maut tak akan pernah bisa ia lupakan.
Telengas, keji dan sangat lihai.
Geni masih memandangi rombongan Pujawati, Rorowangi
dan dua murid Mahameru yang menghilang di balik hutan.
Geni merasa ada sesuatu dari dirinya yang terbawa
Rorowangi. Ia kesengsem akan kecantikan gadis itu.
Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang montok. Geni punya
perasaan kuat si gadis punya perhatian padanya. Ia sering
memergoki Rorowangi sedang memandangnya. Dan saat mata
mereka bentrok, gadis itu melempar senyum dengan mata
yang berkedip-kedip. ”Ia juga ada perhatian padaku, tetapi
apakah ia sudah punya hubungan dengan Setawastra, murid
Mahameru itu?” gumamnya dalam hati.
Dalam keadaan termenung, Geni dikejutkan panggilan
Padeksa. ”Geni, tadi saat kau diserang, tiba-tiba dia
membatalkan serangannya padamu, apa yang terjadi ?”

Wisang Geni tak bisa menjawab. Ia sendiri tak mengerti
mengapa Kidung Maut membatalkan serangannya. Kalau saja
serangan itu dilanjutkan, ia tak yakin bisa menghindari maut.
”Waktu itu aku siap dengan kuda-kuda Mangapeksa (Menanti)
dan siap menyerang dengan jurus Angluputana (Yang Akan
Membebaskan) dan Sumpetutit (Jungkir dan Berputar), tetapi
aku tak mengerti mengapa ia batal menyerang, ia
mengeluarkan suara ’iiihhh’ seperti orang terkejut. Aku tak
tahu apa yang membuat ia terkejut.”
Manjangan Puguh memotong penuturan Geni. ”Coba, nak,
kamu ingat-ingat suara orang itu, suara lelaki atau
perempuan?”
”Orang itu memakai topeng, wajahnya tak terlihat,
potongan tubuh pun tersembunyi dalam jubah panjangnya.
Waktu ia menyanyikan kidung agak sulit membedakan
suaranya, tetapi tadi malam aku yakin mendengar suara
kaget, suaranya mirip suara perempuan. Dia pasti seorang
perempuan, guru.”
Manjangan Puguh mengerutkan kening, tampak ia berpikir
keras. ”Waktu benturan tenaga jarak jauh aku mencium
bebauan yang biasa dipakai kaum wanita, wewangian bunga,
apakah kau juga mencium bebauan serupa, Ki?”
Padeksa yang ditanya tertawa lirih. ”Aku tak pernah tahu
bagaimana bebauan perempuan, tetapi memang aku sempat
mencium wangi-wangian segar semacam bebauan bunga.”
”Tak salah lagi, ia pasti perempuan!” teriak Manjangan
Puguh.
”Benar guru, aku juga mencium wewangian itu. Tetapi apa
bedanya perempuan atau lelaki, yang pasti ia seorang
pembunuh keji yang berilmu tinggi.”
”Ada bedanya bagiku, Geni. Itu bukti bahwa Kidung Maut
bukan seseorang yang kukenal dan yang sangat kuhormati!”

”Siapa yang kau maksud, guru ?”
Manjangan Puguh memandang langit. Suaranya agak
serak. ”Kejadiannya duapuluh lima tahun silam di tengah
perang Ganter. Berdua kakang Gubar Baleman, aku bertarung
lawan jago kepercayaan Ken Arok, pendekar Himalaya,
Lahagawe dari India.
”Hebat ilmu pendekar itu, kami berdua terdesak hebat
Nyawa kami sudah di ujung rambut. Mendadak datang
pendekar penolong itu. Keduanya kemudian terlibat tarung,
sungguh perkelahian pendekar kelas utama. Sebelum dan
sesudahnya aku tak pernah melihat ada pertarungan tingkat
tinggi seperti itu lagi. Tidak sampai limapuluh jurus penolong
itu sudah menghajar pendekar Lahagawe muntah darah.
Pendekar penolong kemudian seperti terbang melayang pergi
membawa serta Baginda Raja lolos dari kepungan lawan. Dia
berlalu sambil mendendangkan kidung Jurus Penakluk Raja
itu.”
”Syairnya sama, guru ?”
”Syairnya sama persis. Hanya ada satu bait awal yang
dinyanyikan pendekar penolong tetapi yang tidak
ditembangkan si Kidung Maut tadi malam. Kidung itu sangat
terkenal pada masa itu tetapi belakangan, setelah duapuluh
lima tahun berlalu, orang mulai lupa. Lengkapnya begini,
Ilmu dari seberang,
Tak boleh tepuk dada,
Di Tanah Jawa ini,
Dari Gunung Lejar,
Jurus Penakluk Raja,
Ilmu dari segala ilmu,
Melenggang ke Barat,

Meluruk ke Timur,
Merangsak ke Utara,
Merantau ke Selatan,
Tak ada lawan,
Tak ada tandingan.
Ilmu dari segala ilmu
”Tadi malam Kidung Maut tidak menembangkan bait awal
Ilmu dari seberang, tak boleh tepuk dada, di Tanah Jawa ini.
Selain itu pembunuh tadi seorang perempuan, berarti ia bukan
pendekar penolongku. Nah pertanyaannya sekarang, kalau ia
bukan penolongku itu, lantas siapa dia ? Mengapa ia selalu
menembang kidung Penakluk Raja setiap melakukan
pembunuhan keji?”
Suasana lengang seketika, Padeksa kemudian angkat
bicara. ”Sebenarnya kidung Penakluk Raja itu konon gubahan
kakek Sepuh Suryajagad, tokoh sepuh dan legenda hidup
perguruan kami. Dan hanya sedikit orang terutama di
kalangan murid utama saja yang mengerti dan hafal kidung
Penakluk Raja.” Padeksa berhenti sejenak lalu melanjutkan.
”Ki Manjangan, penting sekali mengetahui pendekar penolong
itu, kau satu-satunya saksi hidup yang pernah menyaksikan
sepak terjangnya dalam perang Ganter, mungkin dari jurus
ilmu silatnya bisa kita ketahui apakah dia Eyang Sepuh
Suryajagad atau bukan, dan apa hubungannya dengan si
pembunuh itu?”
”Sudah duapuluh lima tahun berlalu, setiap kupikirkan tetap
tak ada jawaban. Aku Cuma merasa ilmu silat kakek penolong
itu sangat tinggi dan sulit diukur. Terkadang aku merasa tak
asing dengan gerak silatnya, tapi makin kupikir makin aku tak
mengenalnya.”
Kening Padeksa berkerut, tanda ia berpikir keras.
”Tampaknya ini rahasia besar yang menyangkut dunia

kependekaran kita. Coba kau pusatkan pikiran dan mengingat
kembali kejadian itu dan menceritakannya secara rinci.
Mungkin bisa terpecahkan.”
Manjangan Puguh duduk bersila, dua tangannya sedekap
dengan sepasang telunjuk menempel ujung hidungnya yang
mancung. Ia memejamkan mata. Tidak mudah mengingat
kejadian yang sudah duapuluh lima tahun berlalu. Kecuali jika
kejadiannya memang sangat berkesan. Sebab jika kejadiannya
sangat berkesan akan menempel ketat di alam bawah sadar.
Untuk mengingatnya seseorang memerlukan konsentrasi
penuh menggali ingatan atas kejadian itu. Kejadiannya
memang sangat berkesan bagi Manjangan Puguh. Ada
seorang wanita cantik terlibat di dalamnya, wanita yang
sangat dicintainya, Sukesih. Wanita itu tewas bersama semua
sahabat dan kenalan dekatnya, bahkan mereka yang sudah
dianggap saudara
Pendekar jangkung ini kemudian menceritakan apa yang
dilihatnya. Pertarungan itu sangat dahsyat. Kedua pendekar
itu memeragakan ilmu silat yang sulit dicari tandingannya.
Pendekar penolong berjubah putih dengan anggun
mengalahkan pendekar Lahagawe yang beringas dan penuh
amarah. Pertarungan itu seperti terpampang kembali di depan
matanya. Dia menceritakan dengan rinci setiap gerak yang
dimainkan pendekar jubah putih itu.
Padeksa mendengar dengan serius, keningnya berkerut.
Orangtua ini tampak berfikir keras. Tiba-tiba dia bangkit dari
duduk melangkah, tangan dan kakinya memainkan jurus.
”Gerak menepuk dua tangan lalu satu tangan
mencengkeram ke depan itu pasti gerak awal jurus Sumujug
Tundaghata (Menukik dan Menyerang Mematuk). Tangan kiri
menggaruk belakang kepala dan tangan kanan ditekuk dan
diputar mengarah bumi itu jurus Parasada Atishasha (Menara
Menjulang). Pinggang digoyang, tangan kiri mendorong
pukulan lawan, tangan kanan menyusup ke depan mengelus

dada lawan, itu gerakan akhir dari Sumujug Tundaghata. Itu
peragaan jurus biasa ilmu Garudamukha, tetapi karena digelar
dengan tenaga dalam yang tinggi luar biasa, maka jurus
menjadi sangat ampuh. Siapa lagi jikalau bukan Eyang Sepuh
Suryajagad, satu-satunya orang yang bisa menggelar
Garudamukha sehebat itu”
Wisang Geni tak bisa menyembunyikan keinginan tahunya.
”Siapa beliau, siapa Eyang Sepuh Suryajagad?”
Padeksa tak menjawab. Ia berdiri seperti patung,
pandangan menerawang jauh. Manjangan Puguh menarik
lengan muridnya. ”Geni, biarkan dia sendirian, ia sedang
memikirkan jurus tadi.”
Keduanya duduk. Geni menatap gurunya lekat-lekat
Manjangan Puguh menghela napas. ”Geni, hidup memang
banyak tantangan, apalagi hidup di dunia kependekaran yang
serba keras dan kejam di mana hanya hukum rimba yang
berlaku, siapa kuat dia jadi raja, siapa lemah dia jadi budak
atau mati ditindas. Sering kita dilanda keresahan, bentrokan,
marah, kecewa karena dua hal pokok.Tidak memperoleh apa
yang kita inginkan. Atau memperoleh sesuatu yang tidak kita
inginkan.
”Geni, aku dan ayahmu, beserta kangmas Gubar Baleman
dan kangmas Mahisa Walungan sudah angkat saudara. Kami
bertiga menjadi inti pasukan elit keraton yang dipimpin
kangmas Mahisa Walunganyang tidak lain adalah adik Baginda
Raja Kertajaya. Kami punya rencana besar yakni mencetak
seorang pendekar yang sangat hebat dan menjadi nomor satu
di dunia kependekaran. Kami sepakat memilih kamu Sejak
bayi, tubuhmu dibentuk dengan memberimu bekal kekuatan,
jamu unggul dari gurumu Waragang, jamu dan makanan
khusus menjadi santapanmu sehari-hari, obat anti racun,
dasar tenaga dalam, dasar ilmu ringan tubuh. Kamu dilatih
khusus.”

”Aku masih ingat, guru, waktu kau melatih aku berlari dan
gelantungan di atas pohon. Ayah mengajari aku latihan tenaga
dalam Paman Baleman melatih kuda-kuda. Aku ingat
semuanya.”
Manjangan Puguh melanjutkan, ”tetapi perang Ganter telah
mengubah semuanya, jalan hidupmu, jalan hidupku, semua
berubah, tidak seperti yang kita rencanakan. Ayahmu dan
pamanmu Gubar Baleman, juga ibumu dan saudara lainnya,
semua tewas di Ganter.”
Wajah Geni tampak keras, ia memandang tajam gurunya,
”Guru, aku sudah tahu orangtuaku tewas di Ganter, tetapi
siapa orang yang membunuh mereka?”
Manjangan Puguh memandang Geni. Dalam mata muridnya
ia melihat pancaran bara api. Percikan marah dan dendam
kesumat yang tak terukur besarnya. Manjangan Puguh
menghela napas gundah. ”Sebelumnya tidak pernah
terpikirkan bahwa kita akan kalah dalam perang. Sebelum
menuju Ganter, kami mendengar berita Lemah Tulis
dibumihanguskan pasukan musuh. Kamu tahu Geni, sebagian
besar hulubalang keraton adalah murid Lemah Tulis, sehingga
berita itu sangat memukul mental pasukan keraton. Dendam
dan kekhawatiran berbaur dalam diri kami. Ternyata pasukan
Arok sangat tangguh, banyak pendekar berilmu silat tinggi
yang membelanya. Satu demi satu hulubalang Kediri mati
Tetapi kami pantang menyerah. Meskipun terdesak, kami
merasa tenang sebab Baginda Raja sudah lolos ditolong Eyang
Sepuh Suryajagad. Kami akan tarung sampai tetes darah
terakhir.”
Kejadian itu berputar kembali di depan mata Manjangan
Puguh. Ia melihat Sukesih, ibu Wisang Geni, bersama
suaminya Gajah Kuning bertarung bahu membahu. Satu hal
yang tidak akan pernah ia ceritakan kepada Geni bahkan
kepada siapa pun, percintaannya dan perselingkuhannya
dengan Sukesih. Ia mencintai wanita cantik itu saat masih

gadis belia dan tak pernah luntur sampai ajal menjauhkan
kekasihnya dari dekapannya.
Dia melihat panah nancap di pundak kekasihnya. Dia
melihat tombak yang nancap di dada kekasihnya, dada yang
sering dibelai dandikecupnya. Dia mendengar kembali seruan
kekasihnya. ”Puguh pergi cepat selamatkan anakku. Cepat
pergi, ingat janjimu.” Kemudian seruan yang kedua, ”Pergi
Mas Puguh, pergilah, tak ada gunanya bertahan, kita sudah
kalah.”
Ketika dia melesat pergi dia masih menoleh ke belakang.
Dia melihat Kalayawana menghantam kepala Gajah Kuning.
Sekali lagi dia menoleh dan melihat tinju Kalayawana
menghantam dada Sukesih. Dia berlari sambil menangis. Dia
menangis sepanjang tahun, dia sedih lantaran tak bisa
berbuat apa-apa dan hanya bisa menyaksikan perempuan
yang dicintainya itu mati.
”Aku mencari-cari pembunuh ibumu itu. Tapi dia seperti
hilang dari bumi. Semula dia berada di Tumapel, aku juga
mencarinya di kuburan Gondomayu tetapi tak pernah bisa
menemukannya.”
”Guru, kamu menyebut kuburan Gondomayu, apakah dia si
Penguasa Kegelapan dari Gondomayu yang bernama
Kalayawana?”
”Benar, Kalayawana!”
”Baik, aku akan mencari balas, hutang darah bayar darah,
hutang nyawa bayar nyawa.”
”Geni kamu tak boleh membalas dendam sekarang, itu
sama dengan mengantar nyawamu, ilmu silatnya sangat
tinggi. Itu sebabnya kakek gurumu Padeksa tidak
memberitahumu tentang Kalayawana.”
Wisang Geni tertawa lirih.
”Tetapi kamu telah memberitahu, terimakasih guru!”

”Geni, aku tadi kelepasan bicara Sebenarnya belum saatnya
kuberitahu. Kamu harus janji padaku, jangan balas dendam
sebelum ilmu silatmu maju pesat. Berjanjilah!”
”Soal itu, aku tak bisa menjanjikan apa-apa, guru”
Wisang Geni melihat ada penyesalan di mata gurunya, dia
bertanya lirih sambil memegang tangan gurunya. ”Guru, kamu
mencintai ibuku dan ibu mencintaimu, benarkah?”
Puguh terkejut. Bagaikan disambar petir. Dia gagap
menjawab, ”Kamu tahu? Dari mana kamu tahu?”
Geni tersenyum, menjawab dengan senyum ”Aku pernah
melihat kalian berdua memasuki goa itu.”
”Kamu membuntuti kami? Lalu kamu memberitahu
ayahmu?”
Melihat Geni menggeleng kepala, Puguh bertanya lagi,
”Mengapa tidak lapor pada ayahmu?”
Geni menggeleng sambil senyum menggoda. ”Itu biasa.
Ayah dan ibu saling menyintai, jika tidak mana mungkin aku
lahir. Ibu dan guru saling mencintai, jika tidak mana mungkin
mau berduaan dan bercinta di goa itu. Drupadi mencintai lima
Pandawa sedangkan ibu mencintai dua pendekar, jadi kupikir
itu hal yang biasa. Lagipula aku menyayangi ayah, ibu dan
juga kamu guru”
Manjangan Puguh memandang muridnya dengan kagum.
Dia melihat seorang muda yang jujur, cerdas dan berpikir
jernih. Dia mengalihkan pembicaraan. ”Kamu ingat, selain
Kalayawana, juga Tambapreto mengeroyok kangmas Gubar
Baleman. Dua musuh lainnya Bango Samparan dan Sempani
membunuh kangmas Mahisa Walungan dan Sepasang Iblis
Sapikerep membunuh pamanmu Kebo Ijo.”
Sepasang mata Wisang Geni memancarkan sinar penuh
dendam.

Tangannya terkepal, menahan amarah. Dia meyakinkan
dirinya ”Aku harus rajin berlatih, karena banyak hutang nyawa
yang harus kutagih. Aku akan mencari kalian, Kalayawana,
Tambapreto, Sempani, Bango Samparan, Iblis Sapikerep.
Hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa!”
-ooo0dw0ooo-
Cinta Pertama
Padeksa menghela napas, ia gundah. Sampai hari ini,
duapuluh lima tahun berlalu, ia belum bisa menyelesaikan
tugas yang diembankan Bergawa padanya. Ia belum
menemukan adik perguruan Gajah Watu dan juga keturunan
Nyi Ageng Kili Suci. Ia belum tahu bagaimana caranya bisa
mendapatkan jurus pusaka Garudamukha Prasidha. Ia juga
belum menemukan murid pengkhianat yang menabur racun
pelemas tulang. Ia belum membalas dendam meski setiap
mengingat tragedi berdarah itu, amarahnya berkobar. Cuma
satu hal yang membuatnya senang, Wisang Geni telah
menguasai seluruh ilmu silatyang dia ajarkan, duabelas jurus
Garudamukha yang berintikan tenaga gama (amarah) dan

tujuh jurus Garudamukha Prasidha.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;