Sabtu, 17 Mei 2014

wiaNGGENI 7

Berapa lama ia semedi, ia tak sadar. Mendadak pikirannya
tergugah. Bayangan gadis penari membayang di depan
matanya. Satu demi satu gambaran jurus itu muncul di
benaknya. Utuh! Bagai terbius ia bangkit mengikuti gerak tari
si gadis. Ia mengurut tujuh jurus tari yang sudah ia
sempurnakan dengan tujuh jurus yang diajarkan Padeksa,
memainkan Garudamukha Prasidha.
Ia sadar kini jurus pusaka Lemah Tulis itu sudah jadi
miliknya. "Tetapi aku tak lama lagi akan mati, jurus dahsyat ini
akan ikut terkubur. Ini tak boleh terjadi, aku harus berjuang
hidup, selamatkan jurus ini, menemui Wulan dan Sekar,
membalas kematian orangtua dan guru-guruku. Masih
banyakyang harus kukerjakan, aku tak boleh mati!"
Geni berlatih terus. Matahari terbenam Lereng gunung
menjadi kelam Bagai kesurupan Geni berlatih terus. Ketika ia
berhenti, mendadak saja ia berteriak kaget. "Bukankah aku
sudah kehabisan tenaga, lantas mengapa aku bisa bersilat
sepanjang siang? Dari mana datangnya tenagaku, mungkinkah
dari jurus pusaka ini."

Berpikir demikian, Geni mencoba memukul. Ternyata
pukulannya tak mengeluarkan tenaga besar. Sama sekali tak
ada tenaga batin. Tetapi ia tak kecewa, ia bahkan gembira,
lantaran merasa tubuhnya segar. "Ini pasti berkat latihan
Garudamukha Prasidha tapi apa mungkin cuma setengah hari
sudah mendatangkan manfaat sebesar ini." Ia ingat petuah
Padeksa. "Jurus Garudamukha Prasidha menyita waktu latihan
sekitar dua tahun. Itu pun jika orang itu sudah punya tenaga
dalam hasil latihan sepuluh tahunan. Sementara orang awam
yang tak punya tenaga batin terlatih, tak mungkin bisa
menguasai jurus pusaka ini. Pada pokoknya jurus pusaka ini
hanya bisa dilatih apabila kita memiliki tenaga batin mumpuni,
sebab ilmu ini adalah untuk menyempurnakan dan
meningkatkan tenaga batin yang sudah kira miliki."
Ia tak tahu apa yang terjadi. Ia cuma tahu tubuhnya kini
segar. Ia merasa gembira Namun mendadak saja ia
menggeliat. Rasa dingin yang amat sangat menusuk
tulangnya, ia menggigil hebat. Tubuhnya terbanting dan
terguling. Tanpa sadar ia menggelinding ke jurang terjal. Geni
merasa tubuhnya melayang. Dia jatuh ke dalam jurang.
Tubuhnya menggigil tetapi ia berpikir cepat. Ingin selamat.
Tangan menggapai apa yang bisa diraihnya.
Tubuhnya melayang di udara Ia melihat di bawah gelap
gulita. Tetapi samar-samar di kegelapan malam ia melihat
sebuah batu cadas menonjol. Tidak berpikir lagi, dia spontan
bereaksi memutar tubuhnya dalam sikap Makanjaran (Menari
dengan Lengan Terkembang). Di tengah udara ia menari
memutar dua tangannya Aneh memang, dalam keadaan kritis
itu mendadak muncul tenaga istimewa Jurus Makanjaran yang
sempurna telah menyelamatkan nyawanya Ia menggerakkan
tubuh sehinggakakinya menjejak tepat di atas batu cadas itu.
Kakinya sakit. Tetapi ia selamat. Anehnya rasa dingin
mendadak lenyap. Geni menengadah. Ada sedikit cahaya
bulan. Tempat dari mana ia jatuh, tidak terlalu tinggi. Tetapi

tak mungkin bisa naik ke sana, tebing sangat terjal. Ke bawah,
gelap gulita "Lebih baik aku menanti sampai matahari terbit."
Menanti terbitnya matahari, Geni duduk semedi di batu
cadas yang tak terlalu luas. Ia berlatih, menggerakkan tubuh
mengikuti jurus pusaka Garudamukha Prasidha untuk
mengusir rasa dingin yang mengiringi turunnya embun dan
kabut pegunungan. Ia tak perlu menanti lama, menyaksikan
fajar mulai menyingsing. Matahari masih sembunyi di ufuk
Timur namun cahayanya sudah menerangi alam sekeliling.
Kini Geni bisa melihat ke bawah. Tak tampak dasar. Embun
dan kabut menutupi pandangannya. Ke atas, ia melihat
tebingyang terjal dengan permukaan yang licin, mustahil ia
bisa memanjat ke atas. Lagipula menuruni tebing jauh lebih
mudah dan lebih ringan dibanding memanjat ke atas. Ia
memutuskan menuruni tebing, mungkin di dasar jurang ada
kehidupan. Ia mengamati dengan teliti dalam radius pendek ia
bisa melihat jelas. Tebing di bawahnya tidak rata dan tidak
licin. Tampak beberapa batu menonjol, bisa dijadikan
pegangan dan pijakan.
Manusia memang aneh. Kemarin dan hari-hari sebelumnya,
Geni bahkan mencari mati, tak ingin hidup. Tetapi sejak jatuh
dari tebing, semangatnya untuk hidup dan menyelamatkan
nyawa justru menggebu. Ia ingat nasehat Dewi Obat
kepadanya berdua Sekar, "Kalian musti tabah, hidup harus
diperjuangkan. Geni, jika kamu menetap di sini kamu pasti
mati muda, tetapi jika pergi memperjuangkan hidup, adu
peluang kamu sembuh dan hidup lanjut. Saat itu kalian bisa
bertemu lagi."
Tekadnya besar, semangatnya tinggi, kemauannya keras
untuk mencari selamat. Satu-satunya jalan menuruni tebing
menuju dasar jurang yang jaraknya tak bisa diukur. Gagal pun
tak ada yang perlu dirisaukan. Gagal berarti mati Dan soal
mati, ia sudah harus mati hari-hari kemarin, mungkin juga
beberapa hari ke depan.

Menuruni tebing terjal yang penuh batu cadas hanya
dengan tangan dan kaki sungguh penderitaan yang menyiksa.
Cadas yang keras dan tajam telah merobek tangan dan kaki.
Hampir sekujur tubuhnya lecet berdarah. Namun Geni pantang
menyerah.
Ia memandang ke bawah, kabut menghalangi pandangan
meskipun terik matahari mulai membakar. Keringat dan darah
membasahi tubuh. Tulang dan ototnya meregang menjerit
memohon istirahat. Geni bergerak terus. Ia seakan tak peduli
apa yang akan terjadi. Ia membayangkan Sekar sedang
menantinya di dasar jurang, Sekar dengan kenikmatan
cintanya. Juga Wulan, perempuan montok itu tergolek di
dalam goa di dasar jurang, tumit, betis dan pahanya yang
indah menggodanya. Dua wanita itu sedang menanti di dasar
jurang. Tetapi dasar jurang, belum juga tampak. "Mungkin
aku harus menuruni jurang ini sampai ajal menjemputku tetapi
apa peduliku, akan kulakukan sampai mati pun," gumamnya.
Menuruni tebing jurang ia selalu melihat ke bawah,
mencari-cari batu tempat pijakan. Suatu ketika matanya
menangkap sesuatu yang bergerak, di bawah. Selang sesaat
ketika lebih jauh menurun ia berteriak gembira Itu pucuk
pepohonan. Semangatnya bangkit. Semakin mendekati dasar
jurang semakin mudah menuruni tebing.
Ketika kakinya menginjak dasar jurang, dengkulnya
menggeletar hebat diikuti tubuhnya yang mengejang. Ia jatuh.
Ia berbaring diam karena tahu bahwa semuanya itu
disebabkan keletihan yang amat sangat. Ia tak mampu
menggerakkan kaki dan tangan. Ia melirik tangannya, penuh
darah. Jari-jari dan telapak tangan luka, lecet dan terkelupas.
Rasanya perih, seluruh rubuhnya perih. Ia lama diam,
akhirnya tertidur pulas di bawah pohon besar yang rindang.
---ooo0dw0ooo---

Pendekar Lalawa
Wajah Kalayawana tampak mengerikan, matanya yang
hanya sebelah itu menyala seperti matahari. Merah dan
memancarkan panas luar biasa. Orang jahat itu tertawa keras
sambil melancarkan pukulan berantai. Wisang Geni berusaha
mengelak tetapi tubuhnya tak mampu bergerak. Dia merasa
sakit, tubuhnya terguncang keras dilanda beberapa pukulan
Kalayawana. Saat berikut dia merasa tubuhnya terlempar,
melayang-layang ke suatu tempat.
Tiba-tiba Wisang Geni melihat seorang dewi yang cantik
muncul, wajah dan tubuhnya mirip Sekar. Wajahnya cantik tak
ada bekas cacar. Dia berseru memanggil, "Sekar!" Tetapi sang
dewi tidak menengok ke arahnya melainkan mengejar dan
mengusir Kalayawana yang lari ketakutan. Sang dewi balik
menghampirinya.
Wisang Geni masih merasakan dirinya melayang-layang,
dan dia tak bisa menghentikan gerak tubuhnya. Dia tak punya
daya untuk menguasai tubuhnya sendiri, tenaganya lenyap.
Dalam ketidakberdayaan dia melihat sang dewi tersenyum
padanya dan menarik dia turun ke bumi, mengelus dan
memijit-mijit tubuhnya. Dia merasa aman dan nyaman. Dia
memerhatikan sang dewi, ternyata bukan Sekar, tetapi mirip
Sekar.
Mendadak dia melihat cahaya terang benderang menerangi
alam. Cahaya itu menuju ke arahnya. Dia tak bisa mengelak,
karena tubuhnya tak bisa bergerak. Cahaya itu menerpa
kepalanya. Geni merasa kepalanya pecah. Tetapi aneh, dia
tidak mati Dia membuka matanya. Samar-samar dia melihat
sang dewi sedang memijit m tubuhnya. Saat berikut, pelanpelan
wajah sang dewi yang tadinya cantik berubah menjadi

kera yang menyeringai. Tidak hanya seekor kera tetapi
beberapa ekor. Saking terkejut spontan dia memejamkan
mata.
"Apakah aku sudah mati lalu dihidupkan kembali dengan
wujud lain, wujud kera? Apakah aku hidup di dunia kera? Tapi
ke mana perginya dewi cantik tadi yang telah menolong aku?
Apakah tadi hanya mimpi?"
Tiba-tiba terdengar jeritan yang melengking keras.
Kemudian sepasang tangan berbulu memeluk dan
menggendongnya. Geni masih tetap memejamkan mata. Dia
merasakan tubuhnya digendong seseorang yang tangannya
berbulu lebat. Apakah makhluk itu seekor kera? Belum sempat
berpikir lebih jauh, dia merasa tubuhnya melayang. "Apa yang
terjadi?" Dia membuka mata. Tampak pohon-pohon dan
tebing berputar. "Celaka rupanya aku dilempar." Pikirannya
belum stabil ketika dia merasa tubuhnya kecebur dalam air.
Saking terkejutnya air menerobos masuk mulut dan
hidungnya. Gerak refleks menolong diri, kaki Geni menendang
air dan muncul ke permukaan.
Matanya masih nanar, pikirannya pelan-pelan mulai bekerja
normal Dia melihat keliling. Ternyata dia berada di sebuah
kolam besar yang diapit tebing-tebing terjal. Jalan keluar dari
kolam hanya satu tepian. Tetapi di situ berdiri sekumpulan
kera berteriak-teriak sambil menuding ke arahnya. Geni
memberanikan diri berenang ke tepian, jika tidak maka dia
akan tenggelam karena tenaganya masih belum pulih.
Lagipula, air kolam itu panas, sangat panas.
"Oh ternyata aku belum mati," ia ingat kini, ia berada di
dasar jurang setelah susah payah menuruni tebing terjal.
"Rupanya di dasar jurang ini ada kehidupan juga. Mungkinkah
ada manusia hidup di sini, atau cuma kera-kera liar?" Banyak
pertanyaan belum terjawab, dia akhirnya sampai di tepian
kolam meski berenang dengan susah payah.

Seekor kera besar, rupanya pemimpin di antara mereka,
berteriak melengking. Teriakannya keras. Teriakan itu
membuat kera-kera lain lari ketakutan dan menyingkir jauh.
Kera besar kemudian membantu Geni duduk di tepi kolam
Sesaat Geni tak tahu harus berbuat apa. Seekor kera kecil
datang membawa bebuahan. Tidak banyak, hanya dua.
Warnanya merah, ukuran dan bentuknya mirip mangga Ia
menyodorkan kepada Geni. Rasanya enak, gurih dan harum
baunya. Buah itu terasa dingin di mulut namun terasa hangat
di perut.
Kera kecil melompat-lompat. Gembira. Kera besar meraba
luka di tubuh Geni, lalu menunjuk kolam Geni melihat lukalukanya,
kulit dan dagingnya lecet ketika menuruni tebing.
Hampir tak ada bagian tubuh yang tidak luka. Geni
memandang kera besar. Ia mengerti apa maksud makhluk itu.
"Ia ingin aku mencuci luka dengan air kolam," gumamnya.
Ketika ia meraup air untuk mencuci luka tiba-tiba kera
besar mendorongnya. Ia terpental ke dalam kolam Terdengar
suara riuh. Kera-kera itu berjingkrak sambil tertawa. Riuh.
Wisang Geni merasa lucu, berenang ke tepian. Tetapi kera
besar itu melompat-lompat dengan air muka marah. Ketika
Geni merapat ke tepian, kera besar immendorongnya kembali
ke air. Kera itu menuding ke suatu tempat.
Geni mengikuti arah yang ditunjuk. Itu bagian kolam yang
paling ujung dan paling pojok. Di situ tidak terlihat sesuatu
apa pun. Selain suara kera yang masih saja bising, kolam itu
punya kesan teduh dan lengang. Bahkan ada semacam
nuansa angker dan magis. Air kolam di bagian pojok itu tidak
beriak. Seluruh permukaannya terselubung uap panas yang
tebal. Geni berenang ke bagian itu.
Air di kolam itu panas. Tetapi makin mendekati pojok
kolam, air semakin panas. Anehnya lagi, ia merasa ada
mahluk hidup lain yang bergerak di bawah. Sesuatu yang

menggerayangi dan menggelitik tubuhnya. Ia menyelam.
Ternyata ikan. Jumlahnya banyak dan jinak.
Makin ke pojok kolam, air makin panas, uap panas makin
tebal, membuat dia sulit untuk bernafas. Geni tidak tahan
berlama-lama di situ. Tak hanya sulit bernafas, panasnya air
seperti hendak merebus tubuhnya. Ia berbalik arah berenang
ke tepian.
Mendekati tepi kolam, ia melihat kumpulan kera itu
berjingkrak, menjerit dan melengking. Tampaknya marah atau
tidak puas. Kera besar menggerakkan tangan, menyuruh Geni
kembali ke pojok kolam. Geni merapat ke tepian. Kera besar
menghalanginya, malah mendorong dia kembali ke kolam Tak
sadar Geni berteriak, "Panas, aku tak tahan! Istirahat dulu!"
Seakan mengerti, kera besar membantu Geni naik dari
kolam. Ia mengajak Geni ke bagian lain kolam. Kolam itu
besar dan luas. Memerhatikan lebih cermat ternyata kolam
besar itu terdiri dua bagian yang menjadi satu. Batas pemisah
hanya dinding batu kasar warna hitam. Dinding itu nyaris tak
terlihat sebab terendam sedikit di bawah permukaan air.
Memerhatikan lebih lanjut Geni menemukan perbedaan.
Kolam di mana tadi ia berenang, ada uap yang menyelimuti
hampir seluruh permukaan. Tetapi kolam yang satu ini,
berbeda. Di bagian kolam ini tak ada uap panas. Tampak uap
tipis dan bening mengambang di permukaan. Kolam ini
kelihatan angker. Airnya tenang tak bergerak seperti
menyimpan misteri.
Geni mendekati tepi kolam hendak meraup air. Mendadak
kera besar mendorongnya. Begitu tubuhnya tercebur di kolam,
Geni berteriak. Seperti pengalaman sebelumnya, saking
terkejut tanpa sengaja ia meneguk air. Air kolam itu dingin,
sangat dingin Tubuhnya seperti ditusuk ribuan jarum es. Ia
menggigil hebat.

Cepat ia berenang ke tepian. Kera besar melompat girang,
lalu mendorongnya kembali ke kolam Tubuh Geni menggigil
hebat Giginya saling beradu. "Gila! Dingin luar biasa, aku tak
tahan!"
Dia berenang ke tepian. Kali ini kera besar berlaku baik,
menariknya keluar dari kolam. Begitu menginjak tanah, Geni
langsung nyebur ke kolam air panas. Rasa dinginnya mereda.
Ia keluar dari kolam, duduk di sebuah batu besar dekat kolam
Kera besar tertawa sambil menunjuk dada Geni. Ia melihat
luka-lukanya. Aneh, luka-luka itu tampak bersih. Luka yang
kecil yang hanya tergores batu tajam, mulai rapat Sedang luka
besar dan lebar memperlihatkan tanda-tanda membaik.
Wisang Geni takjub. Dua kolam ini suatu keajaiban alam.
Yang satu airnya panas luar biasa. Satu lainnya dingin nyaris
membeku. Anehnya karena dinding batas yang tidak tinggi, air
kedua kolam ini bercampur menjadi satu. Tapi sifat panas dan
dingin itu tetap terpelihara Air yang panas tak bisa
melenyapkan sifat dingin air kolam tetangga, begitu
sebaliknya. Geni memandang sekeliling. Ke mana dia
memandang ke situ matanya terbentur tebing terjal bagai tak
berujung. Lembah itu menyerupai silmur raksasa yang
dikelilingi tebing terjal. Tak mungkin bisa didaki manusia
kecuali dia memiliki ilmu silat tinggi.
Tanahnya subur. Di mana-mana tampak pepohonan
dengan daun rimbun serta buah-buahan warna warni. Macammacam
buah. Melihat ini, dia tidak perlu khawatir mati
kelaparan. "Mati? Aku masih hidup, tetapi terpencil dan
terasing dalam jurang ini sama halnya dengan mati Apakah ini
bentuk lain dari kematianku? Tetapi kenapa aku harus peduli,
bagaimanapun juga ajalku sudah semakin dekat," katanya
dalam hati
Dia tidak sempat melamun atau berpikir jauh, kera besar
datang lagi mendorong. Dia tak bisa menghindar, tercebur ke
kolam panas.

Kalau tadinya ilia merasa enggan, sekai ang dia mencoba
menikmati bei main main di kolam panas. Berganti-ganti dia
berenang di kolam dingin dan panas. Ketika matahari
terbenam, Geni sudah mulai terbiasa dengan panas dan
dinginnya air kolam. Ia juga mulai bersahabat dengan kerakera.
Sikapnya pasrah. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk
keluar dari lembah. Lagipula, dia tak punya kepentingan lagi
untuk keluar sebab bagaimanapun juga dia akan mati Dan
mati di lembah ini atau mati di luar lembah, sama saja, tak
ada bedanya, tetap sama, mati! Geni berpikir sederhana, dia
harus pasrah menjalani hidup seperti apa yang ada di depan
mata dan menikmatinya. Dia memang tak punya pilihan. Dia
mencari tempat untuk bermalam, semacam goa. Jika tak ada
goa maka dia berpikir akan membangun rumah sederhana. Di
sekitarnya terdapat banyak pohon yang rimbun. Tapi dia tak
punya perkakas. Setelah berkeliling akhirnya dia menemukan
sebuah goa kecil, cukup untuk satu orang. Dibantu kera-kera
ia membersihkan goa.
Tanpa disadarinya sudah tiga hari ia tinggal di lembah. Tiap
hari bergaul dengan kera Makan buah, menangkap ikan
kolam. Ikannya gemuk dan berlemak. Selama itu dia hanya
sekali-sekali diserang rasa dingin. Geni menghitung hari,
menurut perhitungan Dewi Obat, kemarin seharusnya dia
sudah mati
Tetapi aneh. Bukan saja belum mati Malah rasa dingin dan
nyeri mulai berkurang. Tampaknya ada tanda-tanda sembuh.
"Tetapi benarkah, aku akan sembuh? Apakah berkat khasiat
kolam dingin dan panas itu atau buah-buahan dan ikan yang
kumakan? Barangkali juga tenagaku sudah mulai pulih?"
Berpikir demikian, dia coba memukul udara Tetapi tak ada
tanda-tanda tenaganya pulih. Tetap lemah seperti manusia
biasa. Meskipun demikian kegembiraannya tak berkurang.

Paling tidak tubuhnya kini segar dan racun dingin itu tak lagi
merongrong tubuhnya
Hanya begitu teringat akan tugas kewajiban yang diberikan
Padeksa, ia merasa kepala seperti digodam palu besar.
Apakah seterusnya ia harus tinggal di lembah ini? Bagaimana
dengan Lemah Tulis? Hutang jiwa orangtua dan gurugurunya?
Bagaimana dengan Wulan dan Sekar, dua
perempuan yang dia cintai? Lalu Padeksa dan Gajah Watu,
juga Manjangan Puguh?
Pertanyaan itu silih berganti menjejali benak. Ia duduk
bersila, memusatkan pikiran untuk melupakan semua
pertanyaan tadi. Dia berusaha mengingat hal-hal lain,
mendadak dia teringat gadis molek yang menari kinanti
l'mstdha. Dia ing.u kembali jin us-jurus yang sudah
digabungnya selama beberapa hari kemarin. Ia bangkit dan
mulai bersilat. Cukup lama ia berlatih, tak disadarinya kerakera
bergerombol di sekelilingnya. Terdengar celoteh bising.
Seekor di antaranya yang bertubuh besar melangkah maju.
Ia berceloteh menunjuk Geni kemudian memukul-mukul
dadanya sendiri. Setelah tiga hari bergaul Geni mulai mengerti
apa maksudnya. "Oh, dia menantangku berkelahi." Ia menoleh
memandang kera besar. Pemimpin kera itu melompat-lompat
seperti tak sabar ingin menyaksikan pertarungan "Celaka!
Kalau aku masih punya tenaga dalam, tentu tidak sulit
mengatasi lawan ini. Tetapi dengan keadaanku seperti
sekarang, sulit bagiku untuk menang."
Belum sempat Geni menentukan sikap dan mengatur
strategi, ia sudah diserang. Dua tangan lawan menerkam
mencakar dada dan kepala. Ia menghindar dengan jurus
Parasada Sltishasha dari Garudamukha Prasidha. Lutut kanan
terangkat, dua tangan mengembang, persis sikap menara
tinggi yang menantang badai sebagaimana arti dan makna
jurusnya.

Serangan lawan berhasil ditangkis. Tetapi bentrokan tenaga
membuat Geni terdesak mundur dua langkah. Seperti
mengerti unggul tenaga, kera itu mencecer terus dengan
serangan cakar. Tak terhindarkan Geni terpelanting,
terbanting keras ke tanah. Tiga kali cakar kera itu melukai
dada dan pundak Geni, darah menetes.
Kera itu memburu terus, hendak menerkam dan
menghabisi Geni. Tiba-tiba terdengar teriakan kera besar.
Suara lengkingnya keras. Kera yang jadi lawan Geni, mundur
ketakutan dan bersembunyi di balik kerilmunan kawannya.
Kera besar memapah Geni ke tepi kolam. Geni sangat malu.
Hanya satu gebrakan, ia terjungkal di tangan seekor kera.
Ingin rasanya ia sembunyi ke dalam tanah. Kera besar
menunjuk dada Geni dan kolam Kemudian ia bergerak seperti
orang bersilat Ia mengulangi lagi. Menunjuk Geni, menunjuk
kolam, lalu bersilat lagi.
Wisang Geni tidak mengerti maksud kawannya,
menggeleng kepala. Kera besar berlari ke sebuah batu besar.
Ia mengangkat batu dan melontarkan ke atas, menangkapnya
dengan mudah. Dia melempar lagi dan menangkap kembali.
Kera besar memainkan batu yang besar dan berat itu seperti
anak laki-laki memainkan bola. Sekali lagi kera besar
menunjuk Geni kemudian menunjuk kolam, membusungkan
dada dan mengangkat dua tangan sambil berteriak keras.
Terdengar dahsyat, gemanya dipantul tebing berulang-ulang.
Geni kagum, ternyata sahabatya itu memiliki tenaga luar
biasa. Dia akhirnya mengerti apa maksud si kera besar.
"Menunjuk kolam, dia menyuruhku berlatih di kolam supaya
kuat. Tapi bagaimana cara berlatih di kolam, apakah hanya
berenang setiap hari?"
Dia belum mengerti. Tetapi dia sepertinya merasa bahwa
kolam itu menyimpan misteri yang belum terkuak. Dalam
beberapa hari itu, luka-luka di tubuhnya sudah mengering dan

sembuh. Air kolam itu punya khasiat. Begitu juga buahbuahan
dan ikan yang dimakannya setiap hari.
Tiba-tiba dia teringat kata-kata Dewi Obat, "Kamu akan
sembuh dengan sendirinya apabila memiliki tenaga panas dan
tenaga dingin pada taraf tinggi." Ia berpikir keras.
"Mungkinkah aku bisa memperoleh tenaga itu dari air kolam
ini? Sifat panas dan dingin kolam ini berada di taraf paling
tinggi. Namun bagaimana cara memindahkan dua tenaga
panas dan dingin menjadi bagian tubuhnya?
Kera besar memerhatikan Geni. Sepertinya dia tahu
temannya sedang berpikir keras. Dia tak mau mengganggu.
Dia menoleh ke kumpulan anak buahnya, berteriak menyuruh
mereka bubar. Geni berpikir dan mencoba menemukan cara
latihan, tetapi dia tak juga memperoleh jawaban memuaskan.
"Biarlah mungkin aku akan memperoleh jawabannya, masih
banyak waktu."
Pagi hari seperti biasa, ia berenang di kolam. Berenang ke
sana kemari, menyelam dan memburu ikan. Ia tak pernah bisa
menangkap ikan lagi. Selain tidak lagi jinak, ikan itu selalu
bersembunyi di pojok kolam, bagian terdalam yang tak
mampu didekati Geni. Pada kolam dingin, air di pojokan itu
teramat dingin. Makin dekat semakin dingin membeku. Geni
tak bisa mendekat Jika mengejar ikan dan ikan itu berenang
memasuki daerah pojok itu, Geni terpaksa balik badan. Tidak
tahan akan air dingin yang nyaris membekukan darahnya.
Anehnya, meski begitu dinginnya, tetapi air di situ tidak
membeku. Keadaan hampir sama di kolam panas, Geni tak
pernah bisa memasuki kawasan pojok yang airnya panas tidak
tertahankan.
Terbersit sesuatu dalam benaknya, "Mengapa aku tidak
berusaha mendekati pojok dasar kolam, ada apa sebenarnya
di bagian pojok itu?"

Pikiran ini membuatnya bersemangat. Ada tantangan, dan
dia menyukai tantangan. Seharian dia berusaha mendekati
pojokan itu. Sedikit demi sedikit ia mulai mencapai kemajuan.
Dalam upaya menaklukkan pojokan kolam ia teringat
petuah gurunya, Gubar Baleman. Ia masih berusia sembilan
tahun waktu itu. "Geni, untuk mengejar dan memperoleh
sesuatu, kamu harus sabar, tekun dan ulet. Kamu harus bisa
bertahan di suatu tempat atau di suatu keadaan yang kamu
sendiri sudah merasa tidak mungkin bisa bertahan lagi. Itu
kunci kehidupan, Geni!"
Waktu berjalan terus. Setelah berjuang selama enam hari,
Geni akhirnya bisa mendekati pojokan kolam. Di pojokan dasar
kolam, di bagian sudut yang sempit, ada lubang sebesar
kepala manusia. Hawa panas luar biasa merembes keluar dari
situ. Rupanya itulah sumber tenaga panas. Di kolam dingin,
lain lagi. Ada sebongkah batu sebesar kepala manusia.
Warnanya putih mengkilat menerangi dasar kolam. Geni
terkejut ketika meraba batu, sangat dingin. Rupanya batu
itulah sumber air dingin. Anehnya tak ada lilmut yang melekat
di batu itu. Anehnya juga, begitu dinginnya tetapi air di
sekitarnya tidak membeku.
Geni merasa aneh, ketika menemukan lukisan di dinding
kolam. Ia bisa melihat jelas karena penerangan dari batu
putih. Ada empat kelompok lukisan. Satu kelompok terdiri tiga
lukisan. Untuk memeriksa lebih teliti, Geni naik ke permukaan,
menghirup udara, lalu menyelam lagi. Lukisan itu seperti
digurat dengan benda tajam, namun melihat kerasnya
dinding, jelas orang itu memiliki tenaga dalam dahsyat.
Lukisan menggambar duabelas orang dalam berbagai posisi.
Di atasnya ada tulisan bahasa Sansekerta.
Dari ujung kolam menuju ukiran kera di tebing, di tengah
jarak itu aku menyimpan jurus Wiwaha dptaanku, aku Lalawa,
pendekar tanpa tandingan.

Petunjuk itu singkat namun jelas. Geni naik ke permukaan.
Mencari ujung kolam, mencari ukiran kera di tebing. Mungkin
sudah lama dimakan usia, sebagian tebing sudah dipenuhi
lilmut dan rumput liar. Ia tak putus asa, mencari terus,
membersihkan tebing, mencari tebing yang dimaksud. Hari
ketiga, ia menemukan lukisan kera berjingkrak. Geni
menghitung jarak ke ujung kolam dingin, empatpuluh empat
langkah. Ia melangkah balik dan berhenti pada jarak langkah
duapuluh dua. "Di sini tepatnya, tempat di mana pendekar
Lalawa menyimpan jurus Wiwaha, tetapi apa itu jurus
Wiwaha, apakah jurus hebat? Pasti hebat, karena di akhir
pesannya, pendekar itu menulis bahwa dia tak punya
tandingan. Tidak punya tandingan, artinya tidak bisa
dikalahkan. Luar biasa!" berpikir demikian, Geni bersemangat
la menggali tempat itu dengan tombak berkarat yang dia
temukan di dekat situ. Kera besar dan kawannya ikut
menggali. Cepat sekali lubang menganga. Tak lama kemudian
Geni merasa tombaknya membentur benda keras, batu cadas.
Berulang kali ia menghantam, jangankan hancur, lecet pun
tidak. Bahkan tombaknya bengkok. Ia terpaksa menggali di
sekelilingnya. Ternyata permukaan batu itu cukup luas. Batu
itu, warnanya hitam legam, permukaannya rata.
Geni istirahat. Ia memandang permukaan batu. "Apakah
aku salah menggali tempat, ataukah batu ini hanya sebuah
peti? Barangkah ada petunjuk lebih lanjut." Berpikir begitu
Geni membersihkan tanah yang lengket di permukaan batu. Ia
menemukan tulisan Sansekerta diukir di bagian atas batu.
Huruf kecil namun bisa dibaca dengan jelas. Bahasa itu akrab
dengannya sebab sejak kecil ia dididik membaca dan menulis
dalam bahasa Jawa kuno dan Sansekerta, baik aksara maupun
Esan. Diam-diam dia berterimakasih pada gurunya, Waragang.
Ia terkesiap ketika membacanya.
Kamu berjodoh menjadi muridku, aku pendekar Lalawa, tak
punya tandingan di kolong langit. Terimalah jurus Wiwaha

artinya perkawinan, mengawinkan dua unsur panas dan dingin
menjadi tenaga batin. Kalau kamu bodoh, kamu mati. Kalau
cerdas, kamu pantas mewarisi jurus ini. Aku mencipta jurus ini
setelah menemukan kolam dingin dan panas. Jantan betina,
siang malam, air panas air dingin, semua bertentangan. Tapi
aku telah mengawinkan dua unsur berlawanan itu dan
menyerapnya menjadi tenaga dalam yang berkekuatan
dahsyat. Jika kolam ini masih ada maka akan sangat
membantu dalam berlatih.
Perhatian dan pikiran Geni terpusat pada rangkaian tulisan.
Petunjuk melatih tenaga batin di dalam air. Seluruhnya ada
empat jurus yang harus dilatih berurutan. Tulisan diakhiri
gambar kelelawar dan huruf "Lalawa".
Orangtua dan semua gurunya banyak menceritakan namanama
pendekar kosen jaman dulu, namun seingat Geni dia tak
pernah mendengar nama Lalawa. Siapa pendekar hebat itu,
yang tak punya tandingan di kolong langit. Ia melanjutkan
penggalian, sampai batu itu muncul di permukaan. Ia mencuci
batu, menemukan banyak tulisan di empat sisi batu.
Ia merenung, memuji ketelitian dan kecerdasan pendekar
Lalawa.
”Seandainya seseorang menemukan batu besar dengan
tulisan itu, tak akan berguna. Sebab jurus itu tak mungkin
dipelajari tanpa melihat gambar dan keterangan kunci yang
diukir di dinding kolam dingin. "Ia sengaja memisahkan
tempat simpanan ilmu sedemikian rupa sehingga hanya yang
berjodoh yang bisa menemukan. Lagipula tak akan ada orang
yang kesasar sampai di jurang tak berpenghuni ini. Aku
kebetulan saja jatuh dan nyasar ke lembah ini. Kalau aku tak
menemukan tulisan dan gambar di dasar kolam dingin tak
mungkin aku bisa memperoleh ilmu ini. Cara menyimpan ilmu
ini mirip cara leluhur Lemah Tulis menyimpan jurus
Garudamukha Prasidha ke dalam tarian Kinanti” katanya.

Ia menatap batu hitam. Ada perasaan akrab dalam dirinya
menatap lukisan kelelawar dan nama Lalawa. Dengan ilmu
Wiwaha pendekar Lalawa tak menemui tandingan di kolong
langit. Begitu hebatkah ilmu itu. Jika ia bisa mewarisi ilmu itu,
pasti lukanya akan sembuh, seperti kata Dewi Obat bahwa ia
akan sembuh jika memperoleh tenaga panas dan dingin pada
tingkat tinggi. "Tetapi berapa lama aku mempelajari ilmu ini.
Ah, tak usah kupikirkan karena sebenarnya aku sudah mati
beberapa hari lalu."
Geni bimbang, dia bertanya-tanya sesungguhnya pendekar
Lalawa itu dari golongan bersih atau kalangan sesat, selain itu
apakah boleh mempelajari dan mewarisi ilmunya? Ia
kemudian teringat petuah gurunya, Mahisa Walungan,
semasih dia kecil, "Geni, ilmu itu tak ada yang sesat. Semua
ilmu pada dasarnya bersih dan lurus. Yang kotor dan sesat
adalah orangnya. Batin yang kotor memancarkan perbuatan
jahat, batin yang bersih mendorong seseorang melakukan
perbuatan baik."
Keragu-raguannya lenyap. Dia tersenyum kemudian
memberi hormat kepada tulisan nama Lalawa. "Terimalah aku
sebagai muridmu, guru Lalawa, aku berjanji akan melakukan
perbuatan mulia dengan jurus Wiwaha yang kau wariskan
kepadaku."
Ia menoleh dan tersenyum ketika kera-kera itu berjingkrak
gembira dan berceloteh senang. "Apakah kera-kera ini turun
temurun lahir di lembah ini? Mungkin ratusan tahun lalu,
kakek moyang mereka, pernah menjadi pelayan guru Lalawa.
Kalau benar demikian, sungguh luar biasa bahwa mereka
begitu setia pada pesan leluhurnya."
Ia tak membuang waktu lagi. Ia mulai belajar. Inti ilmu
Wiwaha adalah menyerap panas dan dingin dari luar tubuh
dan meresapkannya ke dalam tubuh, kemudian mengelolanya
menjadi kekuatan batin yang jika disalurkan keluar menjadi

tenaga dahsyat Jurus satu Tepung Rapah Sambung Kalen
artinya mengawrnkan dua unsur yang bertetangga.
Geni memang cerdas. Ia segera mengerti yang dimaksud
jurus satu berkaitan dengan lukisan nomor satu yang
dilihatnya di dasar kolam dingin. Lukisan seorang berdiri dan
bertumpu pada ibu jari kaki, dua kaki lurus dengan lutut
ditekuk, dua tangan terentang ke samping. Latihan harus
dilakukan di dasar kolam bergantian di kolam panas dan
dingin. Di kolam dingin, dua tangan terentang dan digerakgerakkan
ke arah dalam sampai menyentuh dada. Di kolam
panas gerakan kebalikannya. Gerak tangan dan lutut yang
ditekuk dilakukan dengan lambat, makin lambat makin bagus.
Setelah menguasai ini maka gerak di kolam dingin diubah,
menjadi tangan digerakkan dari dada ke arah luar sampai
terentang, sedang di kolam panas menjadi kebalikannya. Jika
sudah menguasai latihan ini, maka penyempurnaan jurus satu
dilakukan di udara terbuka, dari pagi, siang, malam sampai
dini hari. Latihan sangat berat, tetapi semangat Geni sangat
tinggi. Ia ingin menyelesaikan latihan dan segera keluar dari

jurang ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;