Sabtu, 17 Mei 2014

Geni 24

"Aku yang masak, itu resep India, rasanya enak, kamu
pasti suka, cobalah. Makan yang kenyang supaya kalau kamu
kalah tarung, kamu tidak punya alasan lapar atau belum
makan."
"Memangnya aku mau diadu tarung lawan siapa?"
Gayatri tersenyum "Kita tarung. Kamu berbuat banyak
kesalahan padaku. Kau harus bertanggungjawab. Sekarang
makanlah, tak usah khawatir, makanan itu tidak ada
campuran racun."
Geni melahap ayam panggang yang dimasak dengan
bumbu khas India. "Lezat, ternyata tidak cuma cantik kamu
juga pandai masak. Kamu belum mengatakan apa saja
kesalahanku?"
Gadis itu menatap Geni. Matanya berkaca-kaca. "Aku
sungguh mencintaimu. Aku sampai lupa daratan, memberikan
tubuhku yang masih perawan dan yang belum pernah
disentuh lelaki. Kamu tahu Geni, jika orangtuaku tahu aku
sudah tidak perawan lagi, hukumannya mati." Airmata
mengalir di pipinya. "Tetapi kamu mempermainkan aku"
"Tidak Gayatri. Aku tidak mempermainkan kamu, aku
mencintaimu dengan sungguh-sungguh." Suara Geni meski
lirih namun mengandung ketegasan.
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Jelas, kamu
mempermainkan aku. Kamu sudah tahu aku sedang mencari
Wisang Geni untuk tarung dan membalas dendam. Tetapi
kamu memberi nama palsu, Ambara, kamu meniduriku, kamu
pura-pura mencintaiku. Jika saat itu kamu mengaku Wisang
Geni, aku pasti tak sampai terjebak dan kehilangan perawan.
Kamu tega berbuat seperti itu, mengapa kamu lakukan
padaku Geni? Sekarang ini apa yang harus aku lakukan?"
"Kamu tak perlu risau Sekarang ini kamu sudah menjadi
isteriku."

Gayatri menggerakkankepala membuat rambut yang di
kondenya terlepas, terurai di bahu. Ia senyum dan bergaya,
memperlihatkan semua pesona kecantikan yang dimilikinya.
"Aku sudah menjadi isterimu? Tidak bisa begitu saja. Di
Himalaya, untuk menjadi suami isteri harus lewat upacara
perkawinan. Lagipula siapa pun lelaki yang menjadi suamiku
dia harus bisa mengalahkan aku dalam suatu tarung ilmu
silat."
Wisang Geni menggenggam tangan si gadis. "Lupakan
tarung itu, bicara tentang kawin. Kita kawin dengan upacara,
apa sulitnya? Tetapi yang penting, kamu kan sudah menjadi
isteriku. Dan aku tidak main-main, aku sungguh-sungguh
mencintaimu."
"Aku isterirnu. Sekar juga isterimu. Geni, bagaimana aku
dibanding Sekar, siapa lebih cantik, siapa lebih panas dalam
bercinta, Sekar atau aku?"
Geni menggeleng, ia menatap Gayatri. "Sekar itu cantik
Jawa, kamu juga tak kalah cantiknya, kamu cantik Himalaya.
Dalam bercinta, dia lebih panas, tetapi kamu lebih lembut.
Kalian berdua membuat aku tergila-gila."
"Kamu jujur, meskipun masih saja licik, kamu pintar bicara,
pintar merayu." Gayatri tersenyum Ia tahu Sekar lebih cantik
dan lebih molek tubuhnya namun ia puas bahwa Geni tetap
terpikat akan kecantikannya. "Malam ini aku akan membuat
dia tak bisa melupakan aku," katanya dalam hati.
Ia mengerahkan segenap pesona diri yang dimilikinya lewat
mimik wajah dan gerak tubuh. Dan memang Geni terpesona
memandang kecantikan di hadapannya. Kecantikan yang
nyaris sempurna. Geni merasa getaran cinta dan kehangatan
memancar dari sepasang mata coklat Gayatri yang indah.
Semakin Gayatri mencintainya semakin ia kasmaran akan
gadis itu. Geni menghela nafas.

Sejak pertemuan pertama, Geni tak pernah tidak
memikirkan gadis ini. Dia bercinta dengan Ekadasa tetapi
fantasinya mencari-cari wajah Gayatri. Bercinta dengan
Gayatri, satu malam di desa Gondang dan satu malam dalam
perjalanan, adalah petualangan sangat berkesan. Malam
menjelang berangkat ke Argowayang, ia meniduri Prawesti
lantaran rindu asmara kepada Gayatri. Tetapikemarin waktu
bercinta dengan Sekar, pelepas rindu enambelas purnama, ia
tahu bahwa Sekar lebih penting dari segala apa di muka bumi,
juga lebih penting dari Gayatri. Namun ia tetap terangsang
akan pesona Gayatri.
Geni menjawab jujur, "Gayatri, aku tergila-gila padamu,
sekarang ini aku tidak peduli, meskipun harus menyeberangi
lautan api asal memperoleh cintamu, aku mau. Aku ingin
memiliki kamu, ingin kamu selalu ada di sisiku. Aku mencintai
kamu sejak pertama kali bertemu di hutan itu."
Sepasang mata Gayatri berbinar, memancarkan sinar
kebahagiaan. "Kamu sudah meniduri aku, kamu tahu betapa
aku mencintaimu, cinta sepenuh hati sehingga aku mau saja
memberikan perawan dan kehormatanku. Saat itu aku tahu
kamu lelaki bernama Ambara, jika saat itu aku tahu kamu
adalah Wisang Geni, aku tetap akan memberimu cinta dan
perawanku. Aku mencintai kamu karena dirimu, dan itu tak
akan luntur dan berubah walau kamu bernama Wisang Geni,
pendekar yang harus kuajak tarung."
Geni memegang tangan Gayatri, mengecup tangannya.
Gayatri tersenyum memperlihatkan gerak mulut yang indah, ia
berpindah duduk di samping Geni. "Aku tahu kau dicintai
banyak perempuan dan kamu mengobral cintamu kepada
siapa saja perempuan yang membuat birahimu terangsang.
Mungkin saja kamu hanya tergoda dan bernafsu meniduri aku
dan pura-pura mencintai aku."
Ketika dia hendak memotong pembicaraan, jari tangan si
gadis menutup mulurnya. "Aku belum selesai, kekasih. Kamu

licik dan suka mempermainkan wanita. Waktu kamu
menciumku di hutan, aku yakin kamu sedang pasang
perangkap, setelah mendapatkan manis tubuhku, kau akan
pergi."
Dia selesai makan. "Kamu benar, Gayatri, semua laki-laki
normal akan bernafsu melihat kecantikanmu Aku juga
bernafsu. Jika cuma ingin tubuhmu waktu itu aku bisa
memerkosamu Tetapi aku belum pernah dan tak akan pernah
melakukan pemerkosaan. Ada sesuatu daya tarik dalam
kecantikanmuyang membuat aku ingin mengenalmu dan
memiliki kamu"
"Kamu dengar Geni. Waktu itu ketika kau menciumku,
tanganmu mengelus punggung dan meremas bokongku, aku
marah, sangat marah. Tetapi aku tak berdaya, aku tak punya
tenaga. Belakangan aku berpikir, bahwa bukan itu alasan aku
tidak berontak, yang benar adalah aku tak mau berontak
dengan kata lain aku menyukai kenakalanmu Sebenarnya saat
itu kamu telah menaklukkan aku."
Mereka duduk bersanding. Geni melingkarkan tangan di
punggung kekasihnya. Gayatri tersenyum Ia sudah
memutuskan akan tarung keras dan mengalahkan Geni.
Membuat lelaki itu menjadi tawanan. Lalu ia akan memaksa
Geni mengabulkan semua permintaannya. Ia membiarkan
tangan Geni menggerayangi buah dadanya. Geli. Dia
meneruskan kisahnya. "Waktu di hutan itu setelah kamu pergi,
aku menyesal mengapa tidak ikut denganmu Aku berpikir
mungkin aku sudah gila, tetapi nyatanya tidak. Aku sadar
bahwa aku dilahirkan untuk kemenanganmu, dan bahwa kamu
adalah pelindungku, kamu harus menjadi suamiku. Tetapi
waktu itu kenapa kamu menciumku dan tanganmu begitu
nakal?"
"Aku tak tahu, mendadak saja aku menyukaimu, aku
merasa ingin memilikimu, lalu timbul akal nakal itu, lalu aku
lakukan begitu saja, tanpa berniat buruk. Aku memang

terpesona melihat wajah dan buah dadamu. Pemandangan itu
melekat terus, bahkan sampai malam aku meniduri Ekadasa,
aku membayangkan dirimu."
"Kamu gila!"
"Ya gila, tergila-gila padamu!"
"Setelah kamu mendapat perawanku, malam itu, apa
pikirmu?"
"Aku makin kasmaran seperti ketagihan, aku tidak mau
melepas kamu pergi, aku ingin kamu selamanya berada di
sisiku."
"Waktu itu kau belum mengaku bahwa kamu adalah
Wisang Geni, mengapa?"
"Aku khawatir menjadi masalah di antara kita. Tetapi aku
tahu pada saatnya nanti aku tak bisa mengelak, hanya aku
berharap kamu tidak akan berubah. Makanya aku senang
kamu tidak berubah!"
"Kamu yakin aku jujur padamu? Kau yakin makanan yang
kau telan tadi tak ada racunnya? Kau yakin aku tak
membunuhmu atau berencana membalas dendam kakek
Lahagawe?" Gayatri menatap lekat-lekat mata lelaki itu.
Geni menggeleng, "Aku yakin kamu mencintaiku. Aku tahu
itu waktu bercinta denganmu. Kalau aku salah menilai dirimu,
aku tidak menyesal mati di tanganmu.*'
Perempuan itu menghela napas. "Sekarang, kau yakin
bahwa aku mencintaimu, amat mencintaimu?" Ia merapatkan
tubuhnya ke tubuh Geni. Tangannya melingkar di leher Geni.
Keduanya berciuman. Lama dan panjang. Birahi kelakilakiannya
bergelora. "Gayatri, aku terangsang."
"Hati-hati, permainan cinta ini bagian dari rencana dan
siasat tarung, jika kamu terangsang, kamu bisa kalah."
"Aku tak peduli dengan tarung itu, aku pasti akan kalah."

"Kamu tidak boleh kalah, jika kalah kamu tak akan
mendapatkan aku sebagai isteri, aku akan pulang dan mati di
India. Tetapi kalau kamu menang, aku akan tetap
mendampingimu sebagai isteri dan tiap hari memberimu
nikmat kesenangan!"
"Kalau begitu aturan mainnya, aku pasti mengalahkan
kamu! Tetapi katakan, mengapa ada aturan gila macam ini?"
"Urusanku dengan ayah, aku pernah bersumpah bahwa
hanya lelaki yang mengalahkan ilmu silatku yang akan
menjadi suamiku. Dan aku tak mau melanggar sumpah. Itu
sebab, kamu harus menang. Kalau kamu kalah meskipun
kamu sudah bercinta dan mengambil perawanku tetapi kamu
tak boleh jadi suamiku, kita hanya sebagai kekasih saja."
Saat itu di kegelapan malam, di balik pepohonan seberang
rumah, Prawesti mengintip dari jauh. Ia bisa memandang
lewat jendela. Ia melihat Wisang Geni dan Gayatri bercakapcakap,
pelukan dan ciuman. Prawesti membuang nafas,
gundah dibakar cemburu. Tiba-tiba terasa getar angin dan
suara ranting patah, ia terkejut ketika seorang wanita muncul
di dekatnya. Dia Ekadasa.
Pengawal keraton Tumapel ini memberi isyarat jari telunjuk
di mulut. Prawesti mengerti Kedua wanita ini tanpa sadar
langsung berteman, merasa senasib. Sama-sama menyukai
Wisang Geni, tetapi sekarang merasa ditinggalkan lelaki itu,
keduanya gundah dan cemburu Keduanya mengintai dari jauh,
tak berani terlalu dekat karena tak mau ketahuan.
Di ruangan itu, Urmila dan Shamita sibuk mengerjakan
sesuatu. Tampak seperti alat musik. Urmila membenahi
gendang, Shamita mempersiapkan seruling. Dua gadis ini
mengambil tempat duduk bersandar ke dinding rumah. "Putri,
kami sudah siap," kata Shamita sambil menarik napas.
Tampak wajah dua gadis pembantu itu tegang dan serius.

Geni dan Gayatri masih berpelukan. Geni melumat mulut
kekasihnya. Tangan Gayatri mengelus dada dengan sentuhan
lembut. Geni merasa birahinya tak terbendung lagi Ia sangat
terangsang. Nafasnya terasa panas.
Gayatri tersenyum dalam hati "Kamu akan kalah dan
menjadi tawananku. Aku akan membawa kamuke Himalaya.
Pasti ayah akan senang. Wisang Geni, murid Suryajagad,
menjadi tawanan dan suami Gayatri"
Ia melepaskan diri dari pelukan Geni. Ia memandang
dengan penuh arti dan makna cinta. "Geni, kamu harus bisa
mengalahkan aku untuk kebahagiaan kita berdua, dan aku
akan menghadapimu dengan ilmu silat andalan perguruanku,
jangan pandang enteng, bersiaplah, pertarungan dimulai,"
sambil berkata Gayatri melangkah ke tengah ruangan.
Berbarengan bunyi suling dan gendang mengumandang dalam
irama yang asing bagi pendengaran Geni.
Lelaki ini heran, namun sebelum dia beranjak dari duduk,
Gayatri telah menari mengikuti irama yang dimainkan dua
pembantunya.
"Jurus ini namanya Dinak Din Naachu Mein Gae Dil Jumne
Zamana, artinya aku menari, hati menyanyi dan dunia
bergembira. Wisang Geni kamu harus hati-hati, jurus ini
hebat, coba nikmati irama dan tarianku ini."
Gayatri mengerahkan tenaga batin kemudian menari
dengan gemulai. Namun di dalam kelemasan gerak ada
selingan hentakan gerak pinggul, dada dan pundak. Dua kaki
bergerak lincah, tangan dan kepala seperti ular yang bergerak
kian kemari mengikuti gerak mangsa. Meski sempat
terpesona, Geni cepat-cepat mengerahkan tenaga batin
membentengi diri.
Pesona itu semakin merasuk pikiran Geni. Gadis itu sangat
cantik, seperti dewi yang diceritakan dalam dongeng. Tak
pernah terpikir adanya makhluk cantik secantik Gayatri

Tubuhnya indah molek. Membayang kembali kenikmatan
malam itu ketika bercinta dengan perempuan cantik itu. Gerak
tari makin lama makin memabukkan. Waktu terus berjalan.
Geni tenggelam dalam pesona kecantikan dan keindahan. Ia
berusaha bertahan, memusatkan pikiran pada tenaga batin. Ia
masih di kursi. Ia memejamkan mata, tak mau lagi
menyaksikan goyang tubuh Gayatri Tetapi musik terus
menerobos pendengaran yang otomatis memantulkan visual
tarian yang penuh pesona dalam benaknya. Ia mulai mabuk,
pikiran kalut, rangsangan birahi mulai menguasai dirinya.
Tepuk gendang dan nada suling makin tinggi, mengikuti
gerak tari Gayatri yang makin agresif. Tenaga batin tiga gadis
ini makin diumbar begitu melihat Geni mulai gelisah. Sesaat
lagi Geni akan roboh. Saat itu Geni merasa dorongan birahi
untuk menghampiri, memeluk dan mencium si gadis. Antara
sadar dan tidak, ia bangkit dari kursi. Saat melangkah, ia
terhuyung dan roboh ke tanah. Saat itu, ketika kepala
terantuk di tanah, pikirannya tergugah bahwa ada sesuatu
yang tidak beres.
Ia belum pernah mendengar ada ilmu silat mirip sihir
seperti yang diperagakan tiga gadis India. Musik dan tari itu
dimainkan dengan tenaga dalam. Makin tinggi tenaga batin
yang dikerahkan semakin hebat pengaruh terhadap lawan.
Irama pun berganti-ganti, meriah dan penuh pesona,
kelembutan cinta diseling ratapan hati merana atau
kemarahan yang memuncak.
Irama musik dan goyang tari makin lama semakin
mengaduk-aduk pikiran dan batin si musuh. Pada klimaksnya,
musuh itu akan mengalami keguncangan jiwa Ia bisa
menangis, tertawa, marah, bergantian sampai akhirnya ia tak
bisa lagi membedakan apa-apa. Ia gila atau tewas. Tetapi
jurus ini juga bisa berakibat fatal bagi diri sendiri, khususnya si
penari.

Tadi waktu berembuk menggelar jurus ini, dua
pembantunya menolak keras, mereka khawatir Gayatri terluka
mengingat Wisang Geni memiliki tenaga batin mumpuni. Adu
tenaga lewat jurus silat ini sangat berbahaya bagi si penari
maupun orang yang diserang. Namun Gayatri tetap saja
ngotot. Urmila dan Shamita tahu majikannya punya alasan
yang tampaknya rahasia dan sangat pribadi. Merasa tak
mungkin membantah, dua gadis ini bertekad membantu
Gayatri dan mengerahkan segenap tenaga batin memainkan
alat musiknya.
Keduanya tak tahu bahwa Gayatri menetapkan keputusan
itu karena dalam keadaan bimbang. Ia bingung memilih
antara cintanya pada Geni atau membalas dendam Pada
akhirnya ia tak peduli lagi apa pun yang bakal terjadi.
Gayatri menari dengan penuh perasaan. Ia memang
mencintai Geni dan perasaannya mengatakan Geni juga
mencintainya. Tetapi ia tahu di antara cinta itu ada
kemustahilan yang tak mungkin bisa ditembus. Gayatri
menangis dalam hati ketika Geni mengutarakan cinta. Namun
ia sembunyikan perasaannya dari pandangan Geni. Perasaan
inilah yang ia tumpahkan dalam tarian maut itu.
Akibatnya fatal. Gayatri makin larut dibuai perasaan sendiri.
Pada sisi lain Urmila dan Shamita bingung. Tadi mereka
sepakat Gayatri hanya memberi pelajaran dan
mempermalukan Geni. Lantas tarian dan musik segera
dihentikan jika Geni sudah roboh. Sebab jika dilanjutkan, Geni
bisa gila atau tewas.
Untuk bisa menghentikan jurus, kendali ada pada Gayatri
sebagai penari. Sementara Urmila dan Shamita hanya
bertugas pengiring. Sesuai rencana, setelah Geni roboh di
lantai, seharusnya Gayatri menurunkan tempo tahap demi
tahap sampai akhirnya menghentikan tari. Tetapikenyataannya
justru sebaliknya, membuat Urmila dan Shamita bingung.

Wisang Geni sudah roboh tetapi Gayatri malah semakin
meningkatkan tempo tarian, gadis itu seperti kesurupan.
Celakanya lagi, Urmila dan Shamita tidak mungkin bisa
menghentikan. Sebab begitu musik berhenti sementara
Gayatri masih menari, akibatnya bisa membahayakan.
Ketiganya terutama Gayatri akan luka parah, bisa-bisa tewas
atau gila.
Memang ada yang tak pernah diketahui Gayatri bahkan si
pencipta jurus silat ini pun tidak tahu. Bahwa jika si penari
mencintai orang yang diserang, maka si penari akan dikuasai
dan dimabuk perasaan sendiri. Makin besar tenaga dikerahkan
makin dia terbuai rasa cinta, dan akibatnya bisa fatal. Sekali ia
hanyut oleh perasaannya, tak ada lagi jalan berhenti. Bahkan
seandainya orang yang diserang sudah mati pun, si penari tak
pernah tahu dan tak bisa berhenti. Pada akhirnya si penari
pun menjadi korban, gila atau mati
Gayatri dalam bahaya. Geni dalam bahaya. Urmila dan
Shamita tidak tahu apa yang terjadi, mereka tak bisa
menghentikan musik. Mereka tahu jurus itu hanya bisa
dihentikan oleh si penari. Namun jika pengiring musik
menghentikan musik, akan terjadi bencana, ketiganya luka
parah, tenaga membalik menghantam diri sendiri.
Geni di ambang maut. Waktu ia roboh, kepalanya terantuk
lantai. Goncangan itu menjernihkan pikirannya. Ia melihat
kilatan cahaya, dalam gelap. Di benaknya ia masih melihat
Gayatri meliuk dengan hentakan pinggul dan goyangan dada
yang mempesona. Geni berada di batas sadar dan tidak. Tapi
kilatan cahaya itu seperti peringatan ada yang tidak beres.
Serta merta Geni menggoyangkepala, berulang dan keras.
Seketika tenaga Wiwaba bangkit. Geni sadar.
Berbareng saat kritis itu Ekadasa dan Prawesti menjerit.
Ekadasa berteriak, "Geni!" Prawesti berseru, "Ketua!" Sambil
berteriakkedua wanita ini melompat keluar dari
persembunyian menyerbu masuk rumah lewat jendela. Dua

wanita itu yang sedang dirasuk cemburu dan marah, punya
alasan menyerang Gayatri. Keduanya menyerang dengan
tamparan keras.
Jurus tari itu diciptakan untuk tarung langsung. Tiga gadis
itu biasanya tarung sambil menari dan menyanyi Seharusnya
Gayatri sanggup mengelak dan memukul balik membuat
penyerangnya luka parah. Tetapi saat itu ia dalam keadaan
tidak sadar meski masih menari mengikuti irama musik. Urmila
dan Shamita terkejut mendengar teriak dua pendekar wanita
itu Keduanya rhelihat Gayatri masih seperti orang mabuk
Mereka tetap tidak berani menghentikan musik, hanya mampu
berseru memperingatkan, "Putri awas!"
Wisang Geni mendengar teriakan Prawesti dan Ekadasa,
juga peringatan Urmila. Ia melihat Gayatri seperti orang
mabuk, mata tertutup, menarinya kacau. Pengaruh magis
jurus masih melilit pikiran Geni, namun sudah banyak
berkurang. Ia melihat Gayatri diserang Prawesti dan Ekadasa.
Tanpa sadar dia berseru, "Jangan serang dia!" Geni
melompat, ingin menolong Gayatri namun terlambat beberapa
langkah. Serangan itu menerpa telak pundak dan dada
Gayatri. Gayatri terlempar, saat mana Geni tiba di sisinya,
menghalau serangan susulan. Ia meraih tubuh Gayatri
sebelum menyentuh lantai.
Gayatri muntah darah. Ia pingsan. Geni memandang tak
percaya apa yang sudah terjadi. Prawesti dan Ekadasa
terkejut melihat mata Geni merah dan berair. "Kenapa kamu
berlaku kejam terhadapnya, apakah dia pernah berbuat salah
pada kamu?"
Kedua perempuan itu tak mampu menjawab. Tak mengira,
hanya dengan sekali pukul Gayatri langsung kena dan roboh.
Mengapa gadis itu tidak menangkis atau menghindar,
bukankah ia memiliki ilmu silat tangguh. Keduanya tidak tahu,
saat itu Gayatri dalam keadaan tidak sadar. Hanya lantaran

tubuhnya masih dibentengi tenaga batin yang tinggi maka
Gayatri tidak sampai tewas. Namun tetap saja dia luka parah.
Urmila dan Shamita terkejut melihat majikannya kena pukul
dan roboh muntah darah. Mereka luput dari bahaya terluka
sebab tarian Gayatri berhenti seketika, dihentikan serangan
Ekadasa dan Prawesti. Melihat majikannya terluka muntah
darah, dua pembantu itu meradang menyerbu Ekadasa dan
Prawesti. Urmila menyerang Prawesti, Shamita menggempur
Ekadasa. Sekejap saja, dua gadis India itu unggul dan
mendesak hebat lawannya.
Geni berteriak, "Urmila berhenti, lebih penting sekarang
menolong Gayatri."
Siapa pun tak pernah tahu, Geni pun tak pernah tahu,
bahwa dua pukulan itu telah menyelamatkan Gayatri dari ajal
atau kegilaan. Hantaman itu tanpa sengaja telah membetot
Gayatri keluar dari perangkap pengaruh tarian itu. Hantaman
di pundak dan dada tak terlalu parah. Meski dalam keadaan
tidak sadar, tetapi Gayatri masih menari dengan pengerahan
tenaga batin tinggi. Itu sebab ia tidak sampai tewas meski tak
terhindari luka parah.
Geni memeluk Gayatri dengan berbagai macam perasaan.
Marah terhadap Prawesti dan Ekadasa. Ia takut Gayatri
mengalami nasib sama dengan Walang Wulan. Ia memeriksa
nadi gadis itu. Kacau, tak beraturan. Darah segar masih
merembes dari ujung mulutnya, meski sudah tidak banyak
lagi. Mata Gayatri meram. Suara Geni panik, "Gayatri, bangun,
jangan mati. Ayo bangun." Ia memeluk tubuh gadis itu, lebih
erat, wajahnya sangat dekat dengan wajah cantik itu. Ia
meneliti. Gayatri meram.
Geni makin panik, tangannya menempel punggung Gayatri
lalu mengerahkan tenaga dalam Tenaga dingin menerobos
punggung dan merambah ke seluruh tubuh Gayatri. Saat itu
Gayatri sudah sadar. Tapi dia masih meram, pura pura
pingsan.

Ia ingin tahu reaksi Wisang Geni. Ia tahu Geni panik dan
berusaha menolong dengan pengerahan tenaga dalam. Ia
ingin tahu lebih banyak lagi. Geni makin panik ketika bantuan
tenaga dalamnya tidak mampu menyadarkan Gayatri.
"Bangun, kamu harus bangun, Gayatri, aku mencintaimu,
jangan tinggalkan aku."
Wisang Geni berpikir cepat. Tak ada jalan lebih cepat dan
tepat dalam upaya menyadarkan Gayatri melainkan dengan
pernafasan lewat mulut. Tanpa rasa kikuk, Geni mencium
mulut Gayatri. Mulut itu terkatup erat, perlahan-lahan terbuka.
Ia kaget begitu hendak menyalurkan nafas dan tenaga batin
lewat mulut, Gayatri membuka mata, mengedip. Ia bahkan
bereaksi membalas ciuman.
Keduanya berciuman. Empat perempuan itu menyaksikan
dengan aneka macam perasaan. Ekadasa kabur, ia marah dan
cemburu. Prawesti kabur dengan tangisan. Urmila dan
Shamita lega, mereka sempat melihat majikannya main mata.
"Tuan Putri, kamu pasti tidak apa-apa, kita berdua keluar,
menunggu di beranda saja," kata Shamita dalam bahasa
India.
Setelah ciuman panjang itu. Geni masih memeluk erat
Gayatri. "Aku mencintaimu, bagaimana lukamu?"
Gadis cantik itu menggeleng kepalanya. "Dadaku sakit,
rasanya ngilu. Coba kau panggil Shamita."
Kedua pembantu itu muncul. Gayatri meminta Shamita
merogoh pil dari dalam kantong yang disimpan di dadanya. Ia
mengambil dua buah. Ia tertawa, lirih. "Ini pil buatan ayah,
manjur untuk luka dalam. Jika dibantu dengan tenaga dalam,
aku rasa akan cepat sembuh, mungkin sekitar tujuh hari."
Geni menyahut cepat, "Aku akan membantumu."
Gayatri tertawa menggoda. Ia masih lemah namun tetap
ceria. "Apakah harus lewat pernafasan mulut lagi?"

Geni mengelus hidung bangir si gadis. "Ya, sulit, memang
sulit, jadi harus lewat pernafasan mulut."
Keduanya tertawa. Tiba-tiba wajah Gayatri berubah serius.
"Siapa dua perempuan itu, mengapa mereka mau
membunuhku?" Ia memang tidak melihat dan tak tahu siapa
yang memukulnya.
Geni menatap Gayatri mencium dua mata coklatnyayang
indah. "Mereka Prawesti dan Ekadasa. Mungkin mereka
mengira kau akan mencelakakan aku."
Suaranya lirih, "Mengapa kau membela mereka?"
Geni bingung. "Aku tidak membela, malahan aku tadi
marah! Itu sebab mereka kabur."
Ia merangkul leher Geni, mencium mulutnya. "Mereka
kabur karena melihat kamu mencium aku dengan bernafsu."
Ia tertawa geli. Dalam benaknya dia menertawakan dua
perempuan saingannya itu.
"Gayatri, kamu perlu istirahat Kubantu dengan tenaga
dalam."
Ia mencium leher Geni. "Pengobatan bisa ditunda, aku
sudah telan pil salju jadi aku tak akan mati. Geni, tadi kau
panik, kau khawatir aku mati, iya?"
"Memang aku panik karena takut kehilangan kamu,
sekarang ini kamu orang paling penting bagiku. Waktu menari
tadi kulihat kau seperti kesurupan, kau bisa luka parah. Lain
kali jangan mainkan jurus maut itu."
Gayatri tertawa cekikikan. "Kamu menang. Sesuai
sumpahku, kamu pantas jadi suamiku."
"Sebenarnya aku tak perlu tahu siapa dirimu, karena
cintaku tidak terpengaruh pada masa lalu atau siapa
keluargamu. Aku mencintai kamu sebagaimana adanya dirimu.
Tetapi Gayatri, aku ingin tahu lebih banyak tentang diri

perempuan yang kucinta dan yang akan menjadi ibu dari
anak-anakku."
"Usiaku duapuluh tahun, belum kawin, belum pernah
disentuh lelaki, hanya kamu satu-satunya lelaki yang pernah
menyentuh, mencium dan meniduriku, kamu memang licik,"
katanya lirih. Mendadak wajah gadis itu menjadi sendu dan
muram. "Ceritanya panjang, aku sudah dijodohkan, tetapi aku
tidak suka, itu sebab aku kabur ke negeri ini Ibu merestui
kepergianku, ayahku tidak tahu. Aku benci lelaki itu, aku
sungguh tidak suka." Gayatri mendadak memegang dadanya.
"Sakit sekali, Geni."
Geni terkejut, berteriak memanggil Urmila "Kalian berjagajaga,
jangan biarkan orang lain masuk mengganggu, aku akan
menolong majikanmu dengan pengobatan tenaga dalam"
Urmila memandang majikannya yang mengangguk setuju.
Geni menggendong Gayatri ke bilik dalam. Kamar itu sempit,
hanya ada sebuah dipan kecil. Ia mendudukkan Gayatri,
kemudian ia duduk di belakangnya. Dua tangannya menyusup
di balik baju Gayatri mengurut punggungnya Samar ia melihat
kulit punggung putih halus. Ia melirik bagian pinggul.
Pinggulnya padat, dihiasi bulu-bulu hitam yang halus. Gayatri
berbisik lirih, "Geni jangan berpikiran macam-macam,
sembuhkan aku dulu baru bercinta"
Geni menguasai birahinya "Aku ikut perintahmu, tuan
putri." Ia memusatkan pikiran. Saat berikut tenaga dingin
bagai air bah merasuk ke tubuh Gayatri, bergerak teratur ke
seluruh bagian tubuh. Gadis itu merasa sejuk, makin lama
makin dingin sampai akhirnya ia menggigil.
Mendadak tenaga dingin itu lenyap berganti hangat, makin
lama makin panas. Keringat mengalir di sekujur tubuhnya. Bau
harum tubuhnya merasuk penciuman Geni namun lelaki ini
tetap memusatkan tenaganya. Pengerahan tenaga batin
dingin dan panas bergantian merupakan obat mujarab. Gayatri
kagum akan tenaga dalam sedahsyat itu, dingin dan panas

bisa diubah sesuka hati. Sepanjang malam Geni mengobati
Gayatri.
Saat menjelang pagi, Gayatri merasa banyak lebih baik.
"Geni, cukup sekian dulu, aku sudah baikan, kamu perlu
istirahat" Ia melepas tangannya dari punggung Gayatri.
Keduanya bersila. Geni mengatur kembali tenaga dalamnya.
Gayatri memeriksa tenaganya. Ia gembira sudah bisa
mengerahkan tenaga dalam meski belum pulih sepenuhnya.
Gayatri membalik tubuh. Ia melihat Geni sedang bersila.
Keringat membasahi wajah Geni dan seluruh tubuhnya,
menebar aroma kelaki-lakian. Gayatri mencium bebauan
asing, tetapi yang merangsang birahi.
Ia pernah mencium bau tubuh Geni sewaktu bercinta.
Sekarang ia membaui lagi. Tanpa sadar ia menatap lelaki itu
dengan penuh rasa cinta, ia mengeluh dalam hati. "Ooh
betapa aku mencintai lelaki ini, tetapi sungguh suatu
kemustahilan. Oh Dewa, tolong aku, beri aku petunjuk dan
jalan keluar."
Ia melangkah turun dari dipan, bermaksud menuju beranda
hendak memanggil dua pembantunya. Langkahnya terhenti,
tubuhnya tertarik oleh tangan kuat Geni. Ia jatuh dalam
pelukan kekasihnya. Geni merangkul dan membelai wajah
kekasihnya. "Gayatri, aku tak akan mempermainkan kamu,
matilah aku jika aku punya maksud buruk itu. Aku sangat
mencintaimu"
Dua pasang mata saling tatap. Mata Gayatri basah.
"Wisang Geni, aku juga mencintaimu, tetapi semua ini
mustahil, umurku hanya tinggal tiga purnama lagi. Aku
disuratkan mati, tiga bulan lagi, tak ada yang bisa mencegah."
Gayatri menatap mata Geni.
Lelaki ini terkejut tetapi hanya sesaat. "Aku tak peduli, aku
mencintaimu, kamu juga mencintaiku, itu sudah cukup. Jika

umurmu hanya tiga purnama lagi, biarlah tiga purnama ini
menjadi bagian paling indah dalam hidup kita."
Gayatri mengangguk. Geni tak kuasa menahan diri,
menciumi wajah dan mulut Gayatri. Keduanya berciuman
lama, ciuman yang penuh arti cinta. Geni memeluk
kekasihnya. Keduanya dirangsang birahi saling menginginkan.
Terengah-engah Gayatri merangkul erat kekasihnya.
"Kekasihku, cintailah aku, aku seorang yang haus akan cinta,
beri aku kepuasan cinta, Geni."
Geni menciumi rambut kekasihnya. "Bagaimana dengan
lukamu?"
"Aku tidak apa-apa, sebagian tenagaku sudah pulih." Ia
memegang tangan Geni, menuntun ke perut. Geni mengeluselus
perut kekasihnya. Gayatri berbisik. "Aku tak ingin mati
muda, aku ingin hidup lama, aku ingin perut ini berisi anakmu,
aku ingin melahirkan anakmu. Geni cintailah aku."
"Kamu tak akan mati, aku tak akan membiarkan kamu
mati, sebenarnya apa yang menjadi beban deritamu, apa
penyakitmu atau mungkin ada musuh yang mengancam
kamu?"
"Tidak. Aku sehat, tak punya penyakit, aku juga tak punya
musuh yang mengancam jiwaku. Tetapi kematian memang
hampir pasti akan menjemputku tiga bulan lagi, bahkan
mungkin saja sebelum tiga purnama!"
"Apa sebenarnya yang terjadi? Ceritakan padaku, Gayatri!
Mumpung masih punya waktu tiga bulan, aku akan cari jalan
menyelamatkan isteri yang kucinta."
Gayatri berbisik, "Geni urusan itu ditunda dulu, aku mau
kamu membahagiakan aku, aku mau kaucintai sekarang ini,
aku tak mau yang lain." Ia merangkulkan kakinya ke tubuh
Geni, mencium mulut kekasihnya. Geni mengibas, angin dingin
meniup lampu damar. Kamar gelap gulita. Hanya terdengar
nafas dua insan yang kasmaran dan dilanda birahi Keringat

membasahi tubuh. Mereka bercinta. Akhirnya tidur pulas
sambil berpelukan.
Geni terjaga. Tangan lembut Gayatri mengusap dadanya.
"Bangun kekasihku yang perkasa."
Geni menindih tubuh isterinya, tangan mengusap buah
dada, menatap mata lalu mencium mulutnya. "Ada yang
hendak kau ceritakan padaku?"
"Aku ingat Sekar, kemana ia pergi sehabis bersamamu?"
"Ia mencari dua neneknya, Nenek Sapu Lidi dan Dewi Obat.
Setelah peristiwa aku terluka, kedua nenek itu pergi mencari
tempat terpencil menyembuhkan luka Dewi Obat Kata Sekar,
ia akan mencarinya di desa di kaki gunung. Kenapa tiba-tiba
kamu menanyakan Sekar?"
"Dia jujur dan menghormati hak orang lain. Ia bisa
menerima aku sebagai isterimu meski beberapa hari
sebelumnya kami bertarung seru. Ia menerimaku apa adanya.
Ia jujur ketika memaksamu menentukan dirinya sebagai isteri
utama. Aku menyukainya, kupikir ia benar dan berhak
mendapatkan itu. Tetapi tampaknya aku akan kesulitan
menghadapi Prawesti dan Ekadasa, karena mereka berdua
sudah memendam cemburu dan iri hati"
"Lantas bagaimana sikap tindakanmu, terhadap kedua
perempuan yang nyaris membunuhmu?"
"Aku tidak dendam, tetapi kupikir lebih baik aku
menghindar dan tidak perlu bertemu keduanya sementara
waktu ini."
Geni menghela nafas. "Tampaknya aku harus melepas
Prawesti dan Ekadasa, biar mereka mencari jalan sendiri,
mencari laki-laki lain yang lebih cocok."
Dia terkejut. "Geni, kamu tak bermaksud menceraikan
mereka, iya kan? Jangan lakukan itu, terutama Prawesti, ia
sudah berbakti dan melayanimu semasa kau sakit. Kau sudah

meniduri merenggut perawannya, kau tak pantas menyianyiakan
dirinya."
"Begini, aku putuskan menceraikan, kamu memilih memberi
maaf. Dua pendapat ini sama kuat, satu satu. Aku akan minta
pendapat Sekar. Apa pun yang dipilih Sekar, itulah keputusan
atas Prawesti dan Ekadasa. Tetapi seharusnya kamu setuju
dengan keputusanku, tidak mungkin kita hidup berkumpul
bersama orang yang punya ganjalan sakit hati"
Dia mengalihkan pembicaraan. "Geni, kamu punya hutang
padaku. Aku menagihnya sekarang, tetapi kau tak boleh
marah. Jikalau kau tidak setuju, katakan saja, aku tak akan
kecewa. Tetapi permintaan berikutnya pasti akan lebih sulit."
"Benarlah apa yang kukatakan, kamu cerdas dan pandai
berhitung, selalu ada syarat dan hutang, baik katakan saja,
semoga saja syarat itu bukan urusan menangkap widali, kalau
itu aku tak sanggup."
"Aku tak peduli dengan widali, sekarang pun aku sudah
merasa cukup dengan ilmu silat yang kumiliki, apalagi ada
engkau di sisiku, siapa yang sanggup menghadapi kita
berdua? Syaratnya mudah, pertama ceritakan tentang
Prawesti dan Ekadasa dan mungkin perempuan lain yang
sudah kautiduri. Kedua, aku minta agar kamu mengawiniku
dalam upacara adat Himalaya. Namun hal ini harus bicara dulu
dengan Sekar, karena setahuku kamu juga belum mengawini
Sekar dalam upacara adat Jawa."
"Tidak sulit. Aku bisa mengabulkan permohonanmu itu." Ia
menceritakan petualangan cintanya dengan Prawesti dan
Ekadasa.
"Aku kasmaran sejak bertemu kamu di hutan. Kau masih
ingat, aku harus pergi karena ada janji dengan seorang
perempuan."
"Kamu bertemu Ekadasa?"

"Salah! Aku janji bertemu permaisuri Raja Tumapel,
namanya Waning Hyun, dia adik perguruanku tetapi sudah
seperti adik kandung. Malamnya aku nginap di keraton, aku
tak bisa tidur, wajah dan tubuhmu terbayang terus, aku
akhirnya nyelinap ke kamar Ekadasa. Aku membayangkan
meniduri Gayatri yang cantik. Aku hanya semalam saja
bersama Ekadasa. Kau marah?"
Wisang Geni heran. Gayatri tidak marah, malah tertawa.
"Aku tidak marah, hanya heran, apa yang membuat
perempuan mau saja kau rayu, padahal kau bukan laki-laki
yang tampan. Aku pun heran kenapa aku mencintaimu dan
bersedia menjadi isterimu. Lantas bagaimana aku harus
bersikap jika setelah menikah, kamu masih saja suka
menggauli perempuan lain?"
"Ketika Walang Wulan masih hidup, aku hanya hidup
bersama dia dan Sekar, tak pernah menggauli perempuan lain.
Begitupun jika sudah beristeri kamu, aku tak akan menoleh ke
perempuan lain."
"Tentu saja harus begitu, jangan sampai aku harus
membunuh semua perempuan di negeri ini, atau mungkin
kalau aku sudah sangat jengkel kamu kuracun biar mati"
Gayatri tertawa renyah. "Ah ini cuma guyon."
"Sejak awal kamu suka mengancam, membunuh dan
membunuh. Sudah berapa orang yang kau bunuh selama ini?"
"Aku tidak suka membunuh. Juga belum pernah
membunuh."
'Lantas tiga orang di desa Gondang itu, siapa yang
membunuh mereka?"
"Bukan aku, kamu yang membunuh mereka. Sebab kamu
membuat aku marah, menunggumu selama tujuh hari, kamu
ingkar janji membuat aku macam perempuan tolol. Dan tiga
orang itu pantas mati, kurangajar mengatai dan mengolokolok
aku sundal."

Geni menanyakan alasan kawin dengan upacara adat
Himalaya. Padahal di dunia kependekaran, kawin adalah soal
biasa. Tak perlu ada upacara macam-macam. Kalau sepasang
lelaki dan perempuan sudah saling menyukai, maka langsung
saja kawin. Kawin dengan upacara adat biasanya dilakukan
orang-orang kaya, atau orang keraton atau pamong desa.
Upacara yang dilanjutkan dengan pesta makan dan minum
diiringi musik dan tari.
"Aku hanya mau upacara adat Himalaya tanpa pesta, tanpa
dihadiri banyak orang. Yang penting upacara sakralnya saja.
Tetapi kalau kau tak mau, tidak apalah, karena bagaimanapun
juga aku sudah resmi sebagai isterimu Hanya kupikir, jika ada
upacaranya maka kemarahan orangtuaku akan berkurang."
"Kenapa dengan orangtuamu, di mana mereka sekarang?"
"Mereka masih di Himalaya, tetapi tak lama lagi mereka
akan datang ke negeri ini, mencari aku. Entah bagaimana
sikap ayah mengetahui aku sudah kawin dengan Wisang Geni
cucu murid pendekar tua Suryajagad. Barangkali dia bisa mati
saking marahnya."
"Jadi upacara Himalaya itu, bagaimana cara dan apa
syaratnya?"
"Upacaranya sederhana, hanya pengantin mengitar api suci
sambil didoakan oleh pendeta. Waktunya tidak lama, bahkan
terkesan singkat Hanya persiapan yang agak lama. Pertama,
kita mencari pendeta, bisa saja diwakili Kumara. Aku
didampingi Shamita dan Urmila, mungkin juga Malini. Kita juga
harus mencari Sekar, aku tak mau membuatnya tersinggung."
"Bagaimana jika ia mau ikut upacara kawin. Bagaimana jika
ia minta upacara adat Jawa dengan kalian berdua sebagai
pengantin perempuan?"
"Aku tak keberatan. Bagiku yang penting adalah upacara
sakral itu, apakah itu adat Himalaya atau adat Jawa, aku mau
saja."

Geni memeluk kekasihnya. "Kamu punya sesuatu yang
jarang dimiliki perempuan lain, mau mengerti perasaan orang
lain dan tidak suka memaksakan kemauan sendiri kepada
orang lain."
Samar-samar terdengar suara merdu seorang wanita
berseru, "Banjao kisi ke kisi ko aapena banalo." Jelas bukan
suara Shamita maupun Urmila. Gayatri tercenung, Geni
bertanya, apa artinya itu. Gayatri menerjemahkan, "Jadilah
milik seseorang dan milikilah seseorang. Itu kata-kata sastra
dari buku Natyam Sasrayang kenamaan, buku falsafah tua dari
India. Pepatah itu nama jurus yang handal dan menjadi tanda
pengenal kami dari perguruan Yudistira di lereng Himalaya."
Suara itu terdengar jauh, dan bergerak sampai akhirnya
terdengar gemanya di dalam rumah. Gayatri bergegas keluar
kamar, Geni mengikuti dengan penuh tanda tanya. Di
beranda, dua orang tamu yang baru tiba sedang bercakap
dengan Urmila dan Shamita. Melihat dua tamu itu Geni
mengenalnya sebagai Malini dan Kumara "Paman, bibi," seru
Gayatri sambil lari memeluk Malini. Dua pendekar itu menatap
Geni dengan waspada.
"Wisang Geni! Kamu berbuat apa di sini, apa yang kamu
lakukan pada keponakanku?" suara Malini ketus dan tinggi.
Kumara sudah pasang kuda-kudanya.
"Tidak, aku tak melakukan apa-apa, aku hanya mencintai
Gayatri, cuma itu, aku tidak mencekoki dia dengan racun yang
mematikan, aku tidak punya niat jahat."
"Mengapa kamu berada di kamar Gayatri?" Malini bertanya
pada Geni, tetapi tanpa menanti jawabannya, ia menoleh dan
bertanya dalam bahasa India kepada Gayatri. Sebelum gadis
itu menjawab, Geni berseru sambil tertawa geli.
"Malini, kamu perlu tahu, Gayatri sekarang ini sudah
menjadi isteriku, jadi tak usah heran kalau aku berada satu

kamar dengan ponakanmu itu. Dan kamu tak perlu ikut
campur urusanku."
"Apa? Kamu gila, apakah kamu sudah meniduri ponakanku?
Di kamar kalian berbuat apa?" Sekarang ini Kumara yang
marah.
Wisang Geni diam, tidak bereaksi. Gayatri menarik lengan
Malini dan suaminya. Mereka bicara bisik-bisik. Geni
menggerutu, "Buat apa bisik-bisik segala, biar kalian berteriak
pun aku tak akan mengerti, membicarakan apa pakai bahasa
India, rahasia?"
Malini akhirnya bicara dalam bahasa Jawa. "Tidak bisa,
ayahmu akan membunuh kami berdua, kamu sudah gila
Gayatri, kamu sudah dijodohkan dengan Wasudeva. Kamu
harus kawin dengan dia, kamu tak boleh kawin dengan orang
Jawa, apalagi Wisang Geni, murid dari musuh kakekmu. Kamu
sudah gila."
Kumara ikut-ikutan marah. "Kami tidak akan mengijinkan
perbuatan gila ini. Tak ada ampun, ayahmu akan ngamuk
besar dan kami berdua akan dicincang oleh ayahmu. Malini,
kalau dia tetap ngotot, lebih baik kita kabur sekarang juga,
biar kakak Yudistira tahu kita tidak ikut campur dan tidak
terlibat dalam urusan gila ini. Dan memang kita tak tahu apaapa
dan juga tidak terlibat!"
Tumpah ruah kemarahan Malini kepada Geni. "Kamu adalah
musuh bebuyutan kami, hutang kekalahan kami tahun lalu
akan kami lunasi sekarang ini. Kamu tidak ksatria, sengaja
menjebak keponakan kami, itu bukan sifat pendekar
namanya."
Nada suara Geni tawar. "Aku tak pernah memusuhi kalian,
kamu sendiri yang mencari permusuhan dengan aku, bahkan
membunuh banyak orang. Ketika kalian kalah, apa yang aku
lakukan? Aku malah menolong kalian agar pergi sebelum para
pendekar negeri ini mengeroyok kamu berdua yang waktu itu

sudah luka parah. Coba bayangkan jika aku buka rahasia
kalian sebagai si Kidung Maut aku pastikan ratusan orang akan
mengejar dan mencincang tubuhmu. Kalau tentang Gayatri,
sejak pertama jumpa dia aku sudah mencintainya, aku
mengawininya, nah apakah itu sesuatu yang melanggar
aturan?"
Dua pendekar suami isteri itu diam. Mereka tidak yakin bisa
mengalahkan Wisang Geni sekarang ini. Gayatri akhirnya
berkata kepada Malini dengan nada tinggi. "Bibi, aku tidak
mungkin kawin dengan Wasudeva, aku bukan hanya tidak
cinta, tetapi aku muak dan benci. Dulu ia pernah menggoda
kakakku, Manisha. Kakak sangat mencintainya, tetapi ia pergi
berkelana dan tak pernah kembali ke kampung. Ia
membiarkan kakak sengsara menantinya. Ketika ayah
menjodohkan kakak dengan Mahesh, kakak menolak, ayah
menghukumnya, kakak mati bunuh diri karena hidupnya yang
merana. Apakah aku salah jika aku membenci lelaki itu?"
Ia bicara dengan semangat berapi-api, Malini dan Kumara
diam. Gayatri melanjutkan, "Dan bagaimana mungkin aku mau
menjadi isterinya, padahal ia pernah meniduri kakakku,
membiarkan kakak hamil dan dia tak mau bertanggungjawab
perbuatannya. Cerita ini ayah tidak tahu, sebab kakak hanya
menceritakan deritanya padaku dan ibu. Sungguh lebih baik
aku mati daripada kawin dengan orang itu. Dan sekarang ini,
aku telah menemukan lelaki yang mencintai dan bersedia
membelaku, jadi apa salahnya aku menjadi isterinya. Tetapi
sekadar memenuhi persyaratan, aku mohon padamu bibi,
kawinkan kami dalam upacara sederhana."
Mendengar cerita itu, bukan hanya Wisang Geni juga empat
pendekar India itu terkejut. Ini peristiwa luar biasa. Kini
Kumara dan Malini mengerti alasan Gayatri menolak
Wasudeva. Tetapi orangtua Gayatri pasti akan ngamuk
mengapa putrinya mau mengawini Wisang Geni, orang luar
dan musuh perguruan. Tidak mustahil mereka akan

menghukum Gayatri, bahkan juga semua yang terlibat dalam
urusan ini.
Empat orang itu termenung, bingung tak tahu harus
bersikap. Mereka suka dan bersedia menolong Gayatri, tetapi
mereka lebih takut kepada ayah dan ibu Gayatri. Apa jalan
keluarnya?
Kumara bertanya kepada Geni apakah sungguh-sungguh
mencintai Gayatri. Geni mengiyakan. Kumara menanyakan
kepada Gayatri apakah sudah berpikir matang menjadi isteri
Geni, sebab itu sama artinya memutus hubungan dengan
orangtua bahkan juga dengan perguruan. Gayatri
mengiyakan. Kumara setuju menikahkan dua sejoli itu dalam
upacara adat Himalaya
Wajah Urmila dan Shamita pucat "Kami pasti dihukum,
tugas kami adalah melindungi Gayatri. Tetapi bagaimana
mungkin kami membiarkan Putri menikah tanpa restu
orangtua."
"Urmila, itu semua tanggungjawabku, aku punya alasan,"
kata Gayatri sambil maju memeluk dua pembantunya. Urmila
berkata sambil menangis, "Putri, kamu majikanku tapi sudah
seperti adik, pasti kamu sudah berpikir masak-masak waktu
mau bercinta dan menjadi isterinya. Kami mencintaimu, kami
pasti membelamu di depan orangtuamu, meskipun kami akan
dihukum guru"
"Shamita, waktu itu kamu sendiri yang meyakinkan aku
bahwa lelaki itu mencintaiku, selain itu hatiku berkata bahwa
dia tak hanya mencintai aku melainkan juga mau mati
membela aku."
"Kalau begitu lakukan saja, Putri, restuku untukmu Aku pun
akan membelamu di hadapan guru." Shamita memeluk dan
menciumi wajah Gayatri.
Kumara dan Malini lebih terkejut lagi mendengar
pengakuan Gayatri, ia sebagai isteri kedua Wisang Geni. Isteri

pertamanya adalah Sekar. Dan kedua isteri itu bersahabat
satu sama lain. "Aku pikir Gayatri sudah tidak waras,
urusannya sungguh gila," kata Kumara.
Enam orang itu berunding. Akhirnya disepakati Geni
mencari dan membawa Sekar untuk diajak bicara. Setelah itu
upacara kawin adat Himalaya akan dilaksanakan hari itu juga.
"Lebih cepat lebih baik, sebelum gunung ini ribut oleh
perburuan widali sakti."
Baru saja Geni berada di luar rumah, tampak Sekar berlari
pesat ke arahnya. Gadis ini melompat memeluknya, berbisik,
"Aku sudah rindu padamu, Geni, mana Gayatri katanya kau
tarung dengannya, mengapa ada kejadian seperti itu?"
Sekar setelah berpisah dari kekasihnya, berkeliling mencari
dua neneknya. Setelah bertemu dan memastikan Dewi Obat
sudah sehat kembali, ia kemudian mengantar dua neneknya
ke kaki gunung. Dua neneknya menuju Lembah Cemara.
"Kamu hati-hati nduk, banyak orang jahat yang ngiler melihat
kecantikanmu," kata Nenek Sapu Lidi sambil cekikikan. Sekar
tertawa.
Sekar kemudian mencari Geni ke rumah tempat menginap
murid Lemah Tulis. Ia mendengar cerita Prawesti dan Ekadasa
bahwa Geni tarung lawan Gayatri dan bahwa Geni luka serta
keadaannya kritis. Mereka kemudian menolong Geni,
menghantam Gayatri, tetapi Geni malah kecewa dan marah.
"Geni sudah kasmaran dan lupa daratan, kepincut kecantikan
dan ilmu pelet Gayatri, kamu hati-hati terhadap perempuan
Himalaya itu, Sekar," kata Ekadasa.
Sungguh terkejut Sekar mendengar cerita aneh ini. Hanya
dalam semalam keadaan berubah menjadi sedemikian buruk.
Itu sebab begitu jumpa Geni, ia langsung menanyakan
keadaan yang sebenarnya.
Geni tertegun. Dua perempuan itu sudah bertindak jauh.
"Sekar, jangan percaya pada dua perempuan itu. Semuanya

salah faham." Ia menceritakan keadaan yang sebenarnya.
Juga menceritakan niat dan permintaan Gayatri untuk upacara
kawin. "Tetapi ia ingin bicara denganmu, ia ingin jika kamu
mau, kalian berdua menjadi pengantin. Dan tentang adat
Himalaya atau adat Jawa, ia serahkan padamu untuk
memilih."
Di kolong langit ini Sekar hanya percaya pada Wisang Geni.
Ia telah menyerahkan segala miliknya, cinta dan tubuh kepada
lelaki ini. "Aku hanya percaya kamu saja. Apa yang kau
katakan, itulah yang sebenarnya. Mari kita temui Gayatri."
Dua perempuan itu berpelukan. "Bagaimana nenekmu?"
tanya Gayatri.
"Tak apa-apa, keduanya sehat" Sekar senyum saat
pandangannya bertemu Malini dan Kumara. Dua pendekar ini
takjub memandang Sekar. "Dari seorang gadis dekil dan burik,
dia sekarang cantik jelita dengan tubuh yang begitu
mempesona," kata Malini dalam hati Dia mengatakan dengan
nada pujian.'Wisang Geni, kamu beruntung memperoleh dua
isteri yang begitu cantik."
Geni tertawa menggoda. "Bukan aku yang beruntung,
sebenarnya mereka berdua yang beruntung mendapatkan aku
sebagai suami."
Godaan ini memancing Sekar dan Gayatri yang segera
menyerang suaminya. Geni melangkah mundur. Kedua
perempuan mendesak sampai akhirnya masuk kamar.
Keduanya mengeroyok, memegang dan membanting Geni ke
lantai. "Kamu harus ngaku bahwa kamu yang beruntung
mendapatkan isteri secantik aku dan Gayatri." Dua perempuan
itu mencopot busana masing-masing. "Lihat tubuh kita, indah
dan molek."
Geni terangsang. "Kalian benar, aku salah. Memang aku
yang beruntung mendapatkan kalian sebagai isteri, kemarilah
sayang."

Dua perempuan itu melompat keluar kamar. Geni berseru
"Hei tunggu dulu!" Dua gadis cantik itu tertawa cekikikan
menatap Geni yang juga tertawa.
Tanpa berunding lagi, Sekar menyatakan setuju perkawinan
adat Himalaya. Tetapi Kumara protes, "Bagaimana mungkin
seorang lelaki kawin sekaligus dengan dua perempuan, aku
belum biasa."
Tiga perempuan itu, Malini, Urmila dan Shamita membela
Gayatri. "Lakukan saja, yang penting upacaranya sakral," kata
Malini.
Pernikahan dilaksanakan malam itu juga. Urmila, Shamita
dan Malini mencari perlengkapan. Bunga, dedaunan, kulit
pohon warna warni ditumbuk, menyalakan api unggun.
Pakaian pengantin perempuan meminjam warna merah milik
Urmila. Setelah upacara selesai, Geni membopong dua
isterinya, masing-masing di kiri dan kanan masuk kamar. Dua
perempuan itu mengeroyok habis suaminya. Percintaan dan
pertemanan yang unik.
"Kamu sekarang sudah menjadi isteriku, apakah kau
bahagia?" tanya Geni. Pengantinnya mengangguk. Gayatri
mengingatkan masih ada syarat yang harus dipenuhi Geni
yakni mengumumkan kepada semua orang, bahwa Gayatri
dan Sekar kini resmi menjadi isterinya. Gayatri memaksa harus
sekarang juga "Dalam keadaan masih belum pulih seperti
sekarang ini, aku tak mau jadi korban widali, setelah kau
umumkan pernikahan ini, kita pergi turun gunung, kita
menyepi bertiga sampai lukaku sembuh total."
"Baik, aku setuju kita umumkan sekarang juga Tetapi
mengenai widali mungkin kita harus menunggu
pemunculannya nanti malam, siapa tahu aku bisa menangkap
widali sakti itu dan meminumkan darahnya kepada kalian
berdua"

"Firasatku mengatakan widali itu tak akan tertangkap
malam nanti, bahkan ada beberapa pendekar yang mati siasia.
Aku tak mau mati konyol, aku mau kita pergi saja. Widali
itu tak bisa dibunuh meskipun oleh pendekar berilmu lebih
tinggi darimu. Jangan kamu terlampau tamak, keadaan
sekarang sudah cukup membahagiakan aku, lukaku juga akan
cepat sembuh dengan pengobatan tenaga dalammu serta pil
salju. Kita pergi saja, Geni." Sekar sependapat Ia menganggap
tak ada gunanya ikut dalam perburuan widali.
Malam itu juga mereka menuju penginapan Lemah Tulis. Di
tengah jalan Geni cerita pada Sekar, bahwa ia akan
menceraikan Prawesti dan Ekadasa. Tetapi Gayatri justru
mengusul agar Prawesti diampuni. "Keadaan satu satu.
Tinggal kamu Sekar, apapun keputusanmu, maka itulah
keputusanku," tegas Wisang Geni.
Tertegun sesaat Sekar berkata lirih, "Sulit, apabila pada
awalnya sudah ada perasaan tidak suka atau tidak percaya.
Lama-lama bisa bagaikan api dalam sekam, sekali waktu bisa
meletus dan membakar kita sekeluarga. Ceraikan saja, Geni!"
Gayatri terkejut. Sekar mendekati dan memeluknya "Kamu
dan aku, yang paling dirugikan nantinya"
Gayatri berbisik lirih, "Aku ikut apa katamu."
Wisang Geni dan dua isterinya tiba di rumah Lemah Tulis.
Mereka menyambut ketuanya Sedikit basa-basi, Geni
mengumumkan dia baru saja melakukan upacara sederhana
perkawinan dengan Sekar dan Gayatri. Kontan saja, semua
murid terperanjat. Kabar ini mengejutkan meskipun tandatanda
hubungan intim ketua dengan gadis India itu sudah
tercium sejak hari kemarin.
Dyah Mekar menggenggam tangan Prawesti yang dingin
dan basah. Tak seorang bisa membayangkan apa yang dirasa
Prawesti. Jelas ia sangat terpukul. Jika Dyah Mekar tidak
memeganginya, mungkin ia limbung dan roboh pingsan.

Ekadasa tak ada di ruangan. Tetapi ia mendengar semuanya
dari balik jendela rumah. Ia semakin dendam dan cemburu
pada Gayatri.
Gerak-gerik Prawesti, wajah yang pucat, tubuh yang
gemetar, tidak luput dari pengamatan Wisang Geni. Lelaki ini
merasa kasihan, tapi bagaimanapun dia harus memilih dan
mengambil keputusan. Memang pahit, terutama bagi Prawesti,
tetapi tidak ada jalan lain.
Dengan berat ibarat kaki dibebani batu puluhan kilo, enam
murid melangkah maju. Satu per satu memberi selamat,
menyalami Geni, dan dua isterinya. Ketika giliran Prawesti,
gadis ini menyalami Geni dengan wajah tunduk. Geni merasa
serba salah. Prawesti kemudian menyalami Gayatri dan Sekar.
Ia berusaha tegar tetapi hatinya hancur berkeping. Ia
melangkah gontai ke kamar. Ia tak menyangka Geni
mengumumkan perkawinan secara terang. Ia juga malu,
karena merasa dipermalukan di depan rekannya. "Mengapa
aku tidak diberitahu, mengapa semua murid Lemah Tulis tidak
diajak menyaksikan. Apakah kesalahanku itu tak bisa
dimaafkan," tanya Prawesti dalam hati
Para murid Lemah Tulis kecewa melihat sepak terjang Geni.
Hal ini tak luput dari pengamatan Geni. Ia memanggil
Prastawana, Dyah Mekar, Gajah Lengar, Kebo Lanang dan
Jayasatru Agar tidak beredar kabar yang tidak benar, Geni
menjelaskan perihal ia menceraikan Prawesti dan Ekadasa.
Apa perbuatan dua perempuan itu dan alasan mengapa ia
harus menceraikan mereka. Keduanya kini bebas untuk

mencari jodoh lelaki lain.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;