Sabtu, 17 Mei 2014

Wisanggeni 18

Prawesti tersipu malu. "Tapi paman, melihat cintanyayang
begitu besar kepada bibi guru Wulan, apa mungkin dia bisa
menyinta perempuan lain? Dia juga masih punya isteri lain,
Sekar yang entah ada di mana."
Jayasatru tersenyum Kini ia yakin Prawesti mencintai sang
ketua. Hanya gadis itu malu. "Semua laki-laki butuh
perempuan, begitu sebaliknya. Dan aku yakin ketua
membutuhkan lebih dari seorang isteri. Apalagi Sekar sudah
satu tahun ini tak ketahuan rimbanya. Ketua tak mungkin
sendirian terus. Tinggal kini, siapa perempuan yang bisa
menarik hatinya. Kau harus tahu, banyak perempuan yang
ingin menjadi isteri ketua."
Sebelum pergi, dia berbisik ke telinga Prawesti. "Kau harus
mendekatinya, berusaha menarik hatinya."
Prawesti kembali merenung. "Ya, pasti banyak perempuan
yang ingin menjadi istri atau kekasih ketua, bagaimana
dengan aku?"
Prawesti berusia duapuluh tahun, sudah tak punyakeluarga
sejak kecil. Kakeknya, GubarBaleman dan empat murid
termasuk ayahnya gugur di perang Ganter. Dia melihat semua
kawan perempuannya sepakat tidak lagi melayani ketua. Gadis

cantik itu tersenyum Tetapi senyum lenyap ketika teringat
Rahayu, murid Mahameru itu, yang hari itu datang bersamasama
ketua. "Apa hubungannya dengan ketua? Benar kata
paman Jaya, bakal banyak perempuan yang mengejar ketua."
Hari sudah siang, Prawesti ingat tugasnya menyediakan
makanan untuk ketua. Ia menuju dapur. Di tengah jalan,
berpapasan dengan dua murid wanita. Keduanya menegur
Prawesti, mengatakan santapan siang sudah siap. Prawesti
mengucap terimakasih.
Prawesti melihat Wisang Geni duduk semedi. Ia meletakkan
nampan di atas tikar. Ia memerhatikan lelaki yang dipujanya
itu. Sudah lama ia mengagumi Wisang Geni, tetapi tak pernah
berpikir akan menyintainya. Hanya kagum Terbatas pada rasa
kagum saja. Tetapi kini perasaannya berubah. Dari kagum
menjadi kasihan kemudian cinta.
Kemarin, Geni hanya berdua dengan Prawesti yang
melayani makan siangnya. Mendadak Geni menarik tubuh
Prawesti dan memeluk gadis itu sambil menyebut nama
Wulan. Prawesti hendak berontak melepaskan diri, tetapi
tenaganya hilang. Ada keinginan yang tak dapat ditolak,
keinginan untuk pasrah. Dan ia memang pasrah ketika Geni
menciumi dengan bernafsu. Ia tak sadar secara spontan
mengimbanginya dengan bernafsu. Beberapa saatkemudian
Geni sadar. Dia minta maaf, telah berlaku tidak senonoh.
Tetapi dia heran lantaran Prawesti tidak marah, malah
tersenyum dengan sinar mata berbinar. Prawesti masih
ingatketika itu dia mengatakan. "Tidak apa-apa ketua, aku
senang bisa membuat ketua senang."
Setelah kejadian itu Geni sering kali menyentuh tangan
atau menepuk bahu gadis itu. Dan Prawesti mulai berani
mengimbangi dengan sentuhan mesra. Keduanya mulai
membiasakan saling sentuh. Prawesti kemudian melangkah
lebih jauh, memijit betis dan telapak kaki sampai lelaki itu
tertidur.

Terdengar suara Geni yang membual Prawesti sadar dari
lamunan. "Kamu melamun apa?"
"Tidak, aku tidak melamun. Aku menanti perintah, aku siap
untuk melayanimu"
"Kulihat kau tersenyum tadi, apa yang membuatmu
senang."
"Aku senang, bisa melayani ketua."
Wisang Geni memerhatikan seksama gadis di hadapannya.
Tidak salah Prawesti dijuluki kembang Lemah Tulis, dia cantik,
kulit tubuh kuning sawo. Rambut panjang terurai. Matanya
bulat gemerlap dengan sepasang alis tebal. Mulurnya agak
lebar namun pantas. Tubuhnya sedang, tidak tinggi dan tidak
pendek, sintal dengan buah dada yang menonjol.
Gadis itu duduk di atas lipatan dua kakinya. Cantik dan
montok. Geni merasa gejolak birahi. Tak bisa menahan diri
lagi, Geni melesat dari duduknya, dalam sekejap sudah berada
di sampingnya. Tangannya meraih tubuh si gadis, memeluk
gemas, menciuminya dengan penuh nafsu. Prawesti dari
semula diam dan pasif menjadi bernafsu dan liar.
Sejak ciuman yang pertama kemarin, gadis itu sering
melamun merindu ciuman dan pelukan Geni. Karenanya begitu
lelaki itu memeluk dan menciumnya, tanpa bisa ditahan lagi
Prawesti balas mengimbangi dengan memeluk erat dan
ciuman yang bernafsu.
Geni terengah-engah berbisik. "Aku tak tahan lagi. Kamu
membuat birahiku tak terkendali."
"Ketua, aku pasrah, aku siap melayanimu, aku milikmu,
ambillah."
"Kita hanya berdua, jangan panggil aku ketua...."
"Ya, ambillah, nikmatilah tubuhku, aku rela dan pasrah,
Mas." Saat dua anak manusia itu tenggelam dalam lautan

nafsu birahi, pada saat yang sama di pendopo yang tidak jauh
dari rumah Geni, Gajah Watu dan Padeksa duduk berhadapan
dengan salah seorang murid, Jayasatru Ketiga lelaki itu
tersenyum memandang ke arah rumah ketua Lemah Tulis.
Senyum yang penuh arti
Padeksa, tertawa senang. "Adalah lebih baik bagi Lemah
Tulis jika Wisang Geni mengawini Prawesti. Karena
sebenarnya aku kurang setuju ia beristeri Sekar, tetapi apa
boleh buat sudah terjadi. Aku lebih senang jika Geni memilih
orang sendiri."
Di bilik ketua Lemah Tulis, Geni berbaring di samping
Prawesti. Pada masa itu terutama di dunia kependekaran,
orang tidak terikat batasan moral agama serta kepercayaan
sehingga hubungan intim di luar pernikahan antara lelaki dan
wanita bisa saja terjadi. Meskipun demikian Geni tetap merasa
bersalah lantaran selama ini ia mengaku menyintai Walang
Wulan dan Sekar, dua isterinya. Tetapi hanya hanya terpaut
lima hari setelah Wulan dikubur, ia telah meniduri Prawesti. Ia
merasa telah mengkhianati Wulan dan juga Sekar.
Prawesti seperti mengetahui apa yang dipikir ketuanya. Dia
pun merasakan hal yang sama, ada rasa bersalah, sepertinya
dia telah mengkhianati bibi gurunya, Wulan "Ketua, mohon
ampun, aku yang bersalah, hukumlah aku, tapi jangan
salahkan dirimu."
Geni memeluk Prawesti. "Aku yang salah, padahal sebagai
ketua perdikan seharusnya aku bisa menahan diri, aku
menyesal telah merenggut perawanmu."
"Ketua, aku rela perawanku kau ambil, tubuh dan cintaku
kini milikmu, ketua. Aku senang dan bahagia, meski aku
merasa seperti mengkhianati bibi Wulan."
Geni menghela nafas. "Sebenarnya Wulan telah merestui
malahan menganjurkan aku mengawinimu."
"Apa? Restu? Aku tak mengerti, ketua."

"Sebelum ajal Wulan berpesan agar aku cepat mencari
Sekar. Katanya, nafsu kelaki-lakianku sangat besar karenanya
aku butuh lebih dari seorang isteri. Ia menyebut namamu
sebagai calon, katanya kau muda, cantik dan pasti akan setia
mendampingiku."
"Apakah benar begitu? Apakah aku memang cantik?"
Geni memeluk Prawesti. "Kau memang cantik, masih
perawan dan sangat menggoda."
Prawesti malu-malu, memeluk Geni dan menyembunyikan
wajahnya di dada lelaki itu. "Bibi Wulan memang benar, aku
pasti akan setia mendampingimu."
Geni menciumi wajah Prawesti. Perempuan itu melarikan
wajahnya ke dada Geni. "Mas, aku tanya padamu kau jawab
dengan jujur? Kamu bersedia?"
Lelaki itu mengiyakan dengan menggerutu. Nafsunya
berkobar lagi. Tangannya meraba-raba semua bagian tubuh
Prawesti.
"Ketua, kau jawab dulu pertanyaanku, nanti baru aku layani
lagi."
"Kau memerintah aku?"
"Aku membujuk, bukan memerintah, dan itu pun pada
saat-saat tertentu seperti sekarang ini, di saat lain aku adalah
budakmu, pelayanmu yang siap melayanimu bahkan
seandainya kau meminta nyawaku pun."
Geni tertawa. "Tanyalah."
Prawesti memeluk, menyembunyikan wajahnya di dada
Geni.
"Mas, Sekar isterimu itu, ia sangal cantik, lebih cantik dari
aku. Kau pasti mencintainya. Bagaimana kisahmu
dengannya?"

Geni menceritakan pengalamannya dengan Sekar, dua
tahun lalu. Ia terluka oleh pukulan Kalayawana dan dipaksa
menelan racun oleh pasangan pendekar dari India, Kumara
dan Malini. Kemudian Sekar membawanya ke Lembah
Cemara, memaksa neneknya mengobati. Nyatanya Dewi Obat
yang kesohor itu hanya sanggup mengusir sebagian racun,
memperpanjang usianya tiga bulan. Nyawanya tertolong
setelah secara kebetulan terjatuh di jurang di kaki gunung
Lejar, malahan di tempat itulah Geni menemukan ilmu Wimihn
warisan pendekar Lalawa.
"Kamu bercinta dengannya? Katamu ia bekas penyakit
cacar?" Geni tertawa merasa lucu akan kecemburuan gadis
itu. "Waktu itu memang tubuhnya penuh bercak cacar. Tapi
sekarang sudah sembuh. Lagipula Sekar memang cantik,
tubuhnya indah dan ia membuat aku kasmaran. Aku sangat
mencintainya."
"Jika harus memilih satu di antaranya, kamu memilih siapa,
Sekar atau bibi Wulan?"
Geni teringat saat dua isterinya luka keracunan. Saat itu ia
hai us memilih mendahulukan Wulan atau Sekar. Nalurinya
mendorong ia menolong Sekar lebih dahulu. "Aku mencintai
Sekar. Selama satu tahun lebih, sudah empatbelas purnama,
aku rindu dan selalu teringat Sekar. Tetapi aku juga mencintai
Wulan."
Mendadak dengan gesitnya Prawesti berpindah posisi. Dia
kini tengkurap di atas tubuh Geni. Dia menatap mata lelaki itu.
”Mas Geni, ketuaku yang mulia, jika kau bertemu lagi dengan
Sekar isterimu, atau perempuan lain yang cantik dan montok,
apakah kau akan mencampakkan aku?"
Geni melihat sepasang mata bening Prawesti, tajam dan
menantang, tak ada rasa takut. Saat itu Geni tahu persis
betapa beraninya perempuan ini. Juga cantik. Berani, setia
dan cantik, adalah tiga sifat yang jika dimiliki seorang
perempuan maka berbahagialah lelaki yang meyuntingnya.

"Tidak, aku tak akan meninggalkanmu Tapi...."
Prawesti memotong ucapan Geni, tangannya membekap
mulut lelaki itu. Dia tahu sekarang belum waktunya meminta
cinta Wisang Geni. Belum waktunya mengharap Geni
mengawininya karena lelaki itu baru lima hari kematian isteri.
Juga masih ada Sekar dalam ingatan Geni. Tetapi sekarang
satmya memancing janji lelaki itu. "Mas, ingat kau sudah
berjanji tak akan meninggalkan aku. Kau boleh bercinta
dengan perempuan lain, aku tak peduli meskipun aku akan
cemburu, tetapi kau sudah berjanji dan janji pendekar utama
tanah Jawa adalah janji yang tak boleh diingkari. Jika kau
mencintai perempuan lain kau harus ingat akan janjimu, kamu
harus menerima pengabdianku sebagai salah satu isteri atau
selirmu, aku akan setia di sisimu, melayanimu, kau harus janji
ketuaku yang mulia."
"Aku sudah berjanji tidak akan meninggalkanmu, hanya
tentang kawin atau menjadi isteri, aku tidak berani berjanji.
Tetapi Westi, mengapa kau lakukan semua ini, mengapa kamu
pasrah dan rela menjadi pelayanku, kenapa?"
Prawesti tersenyum Dia mengecup mulut Geni. Menatapnya
dengan penuh rasa cinta. "Kau tidak sadar, kau tidak tahu,
atau pura-pura tak tahu bahwa aku mencintaimu. Aku tak
mungkin bisa hidup jika kau tinggalkan, mungkin aku akan
bunuh diri."
"Kita kan baru saja berdekatan. Baru lima hari."
"Aku sudah mencintaimu sejak pertama kali melihatmu,
tetapi waktu itu kau kan suami bibi Wulan dan juga ketua
perdikan, aku tak berani memperlihatkan cintaku, bisa menjadi
tertawaan dan hinaan orang."
Wisang Geni memeluk Prawesti erat dan rapat seakan
hendak menelan perempuan itu dan menyatukan dengan
dirinya.
---ooo0dw0ooo---

Hutan rimba di kaki gunung Bromo masih berselimut kabut
tebal. Suasana sepi dan lengang. Tak ada tanda-tanda
kehidupan selain kicau burung dan kokok ayam jantan. Pagi
itu udara bersih, berembun dan dingin. Dari kerimbunan hutan
muncul dua lelaki berlari pesat menguak kabut. Keduanya
berhenti di lapangan luas yang ditumbuhi ilalang setinggi
dada. Keduanya saling pandang.
"Apa benar ini tempatnya?" Lelaki jangkung berkumis lebat
memecah kesunyian pagi.
"Tak salah lagi, ini Lembah Bunga, mungkin kita baru
sampai di tapal batas," sahut temannya yang bertubuh pendek
gemuk
Lelaki jangkung itu, menghela napas panjang, memenuhi
parunya dengan udara bersih pegunungan. Ia berseru,
lantang dan keras. "Kami utusan keraton Kediri, ingin bertemu
Penguasa Cantik dari Lembah Bunga, Nyi Kalandara."
Suara ini mengumandang jauh, berulang-ulang dipantulkan
gema. Pertanda tenaga dalam si jangkung ini cukup berbobot.
Belum juga gema suara ini lenyap, terdengar tawa gelak.
Tawa ini berderai panjang, mirip ringkik kuda. Seorang lelaki
berpakaian putih muncul mendekat. "Hm... kalian dari keraton
Kediri, kalian pasti punya nyawa rangkap berani datang
kemari. Dan kau tadi pamer tenaga dalam atau memang
benar-benar kulonuwun"
Dua utusan Keraton Kediri itu menahan rasa dongkol
karena tugas yang diembannya jauh lebih penting dari
meladeni sikap temberang lelaki berbaju putih. "Oh sama
sekali tidak. Tak ada maksud kami pamer kepandaian di
Lembah Bunga yang ketuanya begitu kesohor, cantik dan
berilmu tinggi. Tetapi kami juga bukan sembarang orang, kami
diutus keraton Kediri, Paduka Raja Yang Muka Panji Tohjaya,
pesan penting untuk ketua Lembah Bunga"

Sekonyong-konyong lelaki berbaju putih menerkam dengan
dua tangan terpentang. Gaya menyerang yang unik.
Menyerang ganas tetapi dengan membiarkan pertahanan
sendiri terbuka Jarak yang dua tombak itu bukan rintangan
baginya Desir angin tajam menerpa kedua tamu yang tak
pernah menyangka ada aturan main macam itu
Serangan unik itu berubah di tengah jalan. Dari posisi
tangan terbentang berganti menekuk tangan di depan dada
kemudian menjotos lurus ke dada lawan. Pada saat
berbarengan tangan larinya mencakar wajah lawan disusul
tendangan lurus mengarah selangkangan lawan. Sasarannya
adalah si jangkung.
Lelaki jangkung ini terkejut sesaat. Ia bergerak cepat.
Tanpa menggeser kuda-kudanya, ia mendoyongkan tubuh ke
kiri memunahkan cakar lawan. Tangan kanannya membuat
dua gerakan, menangkis pukulan dan tendangan sementara
tangan kirinya balas menjotos pinggang lawan.
Semua berlangsung cepat Hanya dalam sekali tarikan
nafas. Serangan lelaki jangkung jatuh di tempat kosong. Lelaki
berbaju putih, meminjam tenaga tangkisan lawan, melesatke
tetamu pendek gemuk Kali ini tendangan potong mengawali
serangannya.
Lelaki gemuk tertawa sinis. Ia menggeser langkah,
menghindar. Keadaan berbalik, kedudukan lelaki berbaju putih
kini terancam Lelaki gemuk memukul keras menggunakan dua
tangan. "Kena kau!" Tetapi ia tertipu. Jurus aneh lelaki baju
putih tidak putus di situ saja. Tendangan potong tadi cuma
pancingan.
Begitu si gemuk menghindar, si baju putih melakukan gerak
putar sambil menekuk tubuh dilanjutkan dengan tendangan
mengarah leher. Itu belum semua. Dari posisi setengah
jungkir tangannya mengirim pukulan keras ke selangkangan
lawan.

Tamu gemuk itu terkejut. Serangan lawan tak mungkin
dihindari kecuali melempar diri ke belakang. Dan memang ia
berhasil lolos, namun tetap saja ia merasa malu. Pertarungan
sudah usai. Dua tamu Kediri merasa kagum Hebat kepandaian
lelaki baju putih itu. Sekali serang ia melepas enam pukulan
berantai, serba cepat
Lelaki jangkung merangkapkan dua tangannya di dada. Ia
memberi hormat "Hebat Jurus Lembah Bunga bukan nama
kosong. Tetapi belum cukup untuk menakuti-nakuti utusan
keraton Kediri."
Tampak ia mendongkol namun bicaranya terputus. Ia
melihat dua perempuan baju putih berdiri tak jauh dari tempat
perkelahian. Dua perempuan itu bergerak cepat, seperti
terbang. Keduanya cantik. "Ah... Kampak, kamu mengejutkan
tamu kita. Tetapi bagus juga, kita bisa menyaksikan
kepandaian orang-orang Kediri," kata gadis yang lebih tua,
usianya sekitar tigapuluhan.
Tamu jangkung memperkenalkan diri "Aku Krepa, dan
kawanku ini Cucut. Kami utusan Mapatih Ki Lembu Ampai dari
keraton Paduka Raja Panji Tohjaya. Paduka Mapatih
menyampaikan salam persahabatan kepada ketua Lembah
Bunga, Nyi Kalandara."
"Sampean dari kelompok Patlikur Sinelir?" tanya si gadis.
"Tidak, kami belum beruntung dan belum cukup
kepandaian untuk bisa masuk regu Sinelir, maaf siapa
gerangan nona?"
"Aku, Mawar dan adikku ini Seruni, kami murid Nyi
Dumilah. Dan kawanku ini, Kampak dia tukang kebun. Kalian
mau jumpa ketua perguruan kami, mari ikuti kami."
Keduanya bergerak cepat, sengaja memperlihatkan ilmu
ringan tubuh. Ringan seperti kupu-kupu. Cepat seperti burung
elang. Mereka bergerak pesat menerobos kerimbunan hutan.
Krepa dan Cucut berupaya keras membuntuti. Tak berapa

lama, mereka tiba di kebun yang luas. Tampak berbagai
macam bunga tertata rapi dalam beberapa kelompok sesuai
warnanya. Di tengah kebun, seorang perempuan duduk di
atas batu hitam yang besar. Bajunya panjang, warna merah.
Rambutnya panjang tergerai sebatas dada. Dia cantik, meski
tak bisa menyembunyikan ketuaan di wajahnya.
Matanya berkilat-kilat Pandangannya tajam dan dingin. Mau
tidak mau dua utusan Keraton Kediri itu bergidik. Dalam hari
keduanya mengakui perempuan tua itu menebarkan rasa
takut. Tiga wanita berbaju hitam berdiri di sampingnya.
Mereka murid-murid utama.
Kemara, murid pertama, berusia empatpuluhan, tidak
cantik namun tampak sexy dan genit. Dumilah murid kedua
usianya lebih muda sekitar tigapuluhan, tidak cantik namun
punya daya tarik pada tubuhnya yang montok dengan
pandangan mata genit. Manohara murid bungsu berusia
duapuluh tahun, masih perawan, wajah cantik. Tubuhnya
molek, lingkar pinggang kecil, bokong semok dengan
payudara menonjol. "Akulah Kalandara, ketua Lembah Bunga.
Cepat katakan apa pesan Lembu Ampai, atau mungkin juga
ada pesan dari rajamu."
Krepa dan Cucut membungkuk hormat. Krepa merogoh
sesuatu dari balik bajunya. Mendadak Kalandara mengerakkan
tangannya. Angin keras dan dingin mendorong Krepa mundur
dua langkah. Bumbung berisi surat dalam genggamannya
melayang tersedot ke tangan Kalandara. Tentu saja Krepa dan
Cucut terkejut. Pertunjukan tenaga dalam yang tinggi. Sekali
sentak bumbung pecah di udara dan selembar kulit melayang.
Kulit itu terhenti di udara, tergantung begitu saja, di depan
Kalandara. "Dumilah, kau baca surat itu," perintahnya pada si
murid.
Dumilah menggerakkan tangannya dan surat itu melayang
ke tempat ia berdiri. Ini juga pertunjukan tenaga dalam yang

tinggi Dua tangan Dumilah memegang lembar kulit itu dan
membacanya.
"Sobatku Nyi Kalandara, terimalah hormatku, sudah sekian
tahun kita tidak berjumpa, tentu kepandaianmu semakin
tinggi, aku khawatir aku tak lagi bisa mengimbangimu, aku
perlu tenagamu untuk sama-sama bekerja di keraton Kediri,
kita akan menghadapi banyak pertarungan, di antaranya
menghadapi Wisang Geni orang yang sudah membunuh kakak
perguruanmu, datanglah ke istana Paduka Yang Muka Raja
Panji Tohjaya, aku tunggu. Dari Mapatih Lembu Ampai."
"Ha... ha... haa... haaa... hahahaha...." Suara tertawa
Kalandara menggema di seantero hutan. Krepa dan Cucut
terkejut. Itu tawa khas Lembah Bunga. Konon tawa merdu itu
mengandung daya magis yang merangsang birahi lawan.
Orang tak akan curiga mengira hanya tertawa biasa. Namun
pada puncaknya, orangyang mendengar akan merasa darah
mengalir ke otak. Saat kemudian darah merembes keluar dari
telinga, hidung, mata diikuti kejang-kejang, lalu mati
Dua punggawa keraton Kediri ini sudah diwanti-wanti
Mapatih Lembu Ampai saat berangkat tentang bahayanya ilmu
tawa dari Lembah Bunga. Teringat itu kontan saja Krepa dan
Cucut membentengi diri dengan tenaga dalam. Tetapi seperti
awalnya, mendadak saja tawa itu berhenti. "Percuma
mengerahkan tenagamu, Ki Sanak. Aku memang tak mau
melukai kalian. Jika mau, kalian tak akan mampu bertahan
meskipun kalian siap dengan tenaga dalam."
Kalandara tersenyum "Kalian akan diantar keluar dari hutan
ini, tanpa diantar kalian akan tersesat. Katakan kepada Lembu
Ampai, aku setuju bergabung dan aku akan datang
menjenguknya dalam waktu dekat Dumilah dan Manohara,
antar mereka keluar."
Tamat Jilid 1

---ooo0dw0ooo---

Wisang Geni - Pendekar Tanpa
Tandingan
Jilid 2
Daftar Isi
14. Rahasia
Kidung...................................................................... 341
15. Limabelas
Purnama.............................................................. 359
16. Pendekar Tanah
Seberang.................................................... 380

17. Menunggang
Angin.............................................................. 402
18. Pertarungan
Argowayang.................................................... 427
19.
Perkawinan...........................................................................
.. 456
20. Perempuan
Hamil................................................................. 481
21. Selamat
Tinggal..................................................................... 500
22. Goa Cinta Di Tebing
Cinta................................................. 519
23. Damai Itu
Indah.................................................................... 546
24. Bunga
Talasari........................................................................ 575
25. Memburu
Cinta..................................................................... 604
26. Tarung Untuk
Cinta.............................................................. 623
---000odw0ooo---

Rahasia Kidung
Hari itu, sepuluh hari setelah kematian Walang Wulan,
seperti biasa, Prawesti menyediakan makan siang untuk
Wisang Geni. Selesai keduanya bersantap, Prawesti dengan
manja merebahkan diri di pangkuan sang ketua. Hubungan
dua insan itu makin intim seperti layaknya suami isteri.
"Prawesti, aku merasa tidak pantas menjadikan kamu
sebagai pelampiasan nafsu birahi dan rasa rindu akan
isteriku."
Gadis itu menyentuh bibir Geni dengan jari. "Mas, jangan
sebut itu lagi, sudah aku katakan, aku bersedia dan rela
menjadi pelayanmu. Aku tahu, kau masih mencintai Sekar,
masih merindukan dia, sering di malam hari kau memanggil
namanya. Kau juga belum bisa melupakan bibi Wulan, dan
mungkin dalam waktu dekat ini kamu sulit mencintai
perempuan lain, aku bisa mengerti Dan aku tak peduli."
Prawesti memegang tangan Geni, menciumi tangan itu.
"Kangmas Geni, yang penting bagiku kau telah berjanji,
membolehkan aku tetap melayanimu sebagai pelayan. Itu saja
aku sudah bahagia, karena sejak lama aku menyintaimu
Hanya waktu itu, kau masih suami bibi Wulan, kau juga
seorang ketua, maka cintaku kusimpan dalam hatiku, hanya
menjadi milikku sendiri. Sekarang ini aku bahagia, kau
memeluk aku, kau lelaki pertama yang memiliki diriku, yang
pertama dan terakhir."
Geni terharu Dia memeluk dan mencium Prawesti. "Walang
Wulan telah membawa mati cintaku, Sekar membawa lari
cintaku, sementara ini aku memang tak mungkin mencintai
perempuan lain. Aku minla maaf, Westi."
Tidak mungkin Geni bisa merahasiakan hubungannya
dengan Prawesti karena sehari-hari gadis itu berada di dalam

biliknya. Hanya berdua, terkadang sepanjang malam. Sebelum
timbul gunjingan, maka Geni menceritakan hubungan itu
kepada Padeksa dan Gajah Watu. Dua tokoh sepuh itu
tersenyum gembira dan merestui hubunganku. Begitu juga
Jayasatru
Tiga orang itu sadar sepenuhnya, bahwa kehadiran
Prawesti pada saat di mana Geni memerlukan seorang
perempuan telah banyak menolong lelaki itu. Padeksa
menegaskan kepada Gajah Watu dan Jayasatru bahwa
Prawesti telah menyelamatkan ketua Lemah Tulis dari
kegoncangan batin. Gadis itu hadir dengan cintanya yang
tulus dan hangat telah menarik Geni keluar dari lamunan yang
berkepanjangan. Prawesti tak pernah memberi kesempatan
Geni untuk menyendiri dan melamun.
Dari hari ke hari meskipun Prawesti setia melayaninya
namun Wisang Geni tidak bisa melupakan kematian isterinya.
Dendamnya kepada Lembu Agra terasa seperti api yang
membara di dadanya. Terkadang ia merasa hendak mengejar
dan melumat habis pembunuh keji itu. Tetapi ia tahu tak
mungkin bisa menemukan lelaki itu yang menghilang begitu
saja, tak ada jejak.
Dia yakin Agra sedang memperdalam ilmu andalannya Pitu
Sopakara. Dan pada saatnya nanti, suatu hari kapan dan di
mana, pertarungan mati hidup dia dengan Lembu Agra pasti
terjadi. Hutang nyawa Wulan, harus ditagih sekaligus dengan
bunganya.
Seringkali ia mengingat pengalamannya berdua dan
bercinta dengan Wulan, pada saat dimana Prawesti tidak
berada di sampingnya. Geni sering tersenyum mengingat
perkenalan pertama dengan Wulan. Dia teringat air terjun di
hutan dawuk di lereng gunung Arjuno. Di tempat itulah
pertama kali dia jumpa Wulan. Waktu itu mereka berkenalan
menggunakan nama samaran, Ambara, dan Sari. Itulah awal
perjalanan cinta yang begitu indah.

Rindu kepada Wulan dan Sekar sering mengganggunya
meskipun Prawesti berada di sampingnya. Malam itu, Geni
merindukan Sekar dan Wulan. Ia memeluk, menciumi
Prawesti. Bercinta dengan gadis muda itu, sambil
membayangkan dua isterinya. Ia membayangkan Sekar yang
begitu cantik. Ia seakan melihat Wulan dengan sentuhan
keibuannya.
Tengah malam, Prawesti tidur lelap, saking letihnya. Gadis
itu tak mengeluh mengeluh kendati setiap hari harus melayani
ketuanya. Dan selalu seusai bercinta, Prawesti akan tidur tak
sadar diri. Selagi ia tidur, Wisang Geni mengendap-endap
keluar kamar.
Wisang Geni menerobos kegelapan malam. Karena
hebatnya ringan tubuh Waringin Sungsang, tak seorang pun
murid Lemah Tulis yang melihat kepergian ketuanya. Penjaga
gerbang pun tak bisa memergoki gerakan Geni di gelapnya
malam. Wisang Geni memutuskan pergi ke air terjun yang
penuh kenangan.
Esok paginya, Prawesti bangun dari tidur mendapatkan
Geni tak ada lagi di kamar. Gadis itu panik. Dia mencari ke
seluruh pelosok perdikan, Geni tak ada. Kabar merambah
cepat. Semua murid ikut mencari tetapi Wisang Geni bagai
lenyap ditelan bumi. Batin Prawesti terpukul Dia menangis,
mengira ada kesalahan tanpa sadar yang dia lakukan yang
membuat lelaki itu marah.
Malam itu bulan tertutup awan tebal. Di hutan dawuk
suasana sepi. Hujan deras bagai tercurah dari langit. Suara
guruh dan petir menggelegar menambah seram suasana
hutan. Suara air terjun pun tak kalah kerasnya. Malam itu air
terjun sangat deras disebabkan meluapnya air kali Bango di
bagian hilir.
Dalam kegelapan itu terlihat bayangan manusia bersilat di
bawah air terjun. Gerakannya luar biasa. Cepat, hampir tak
tertangkap oleh mata manusia biasa. Tenaganya besar,

terlihat dari air terjun yang tersibak ke sana ke mari kena
hantaman. Air yang tercurah dari atas terbelah ke sana sini,
dihantam tenaga yang sangat besar.
Geni bukan berlatih silat, melainkan melampiaskan
perasaan dendamnya. Dia memukul dan menendang seakanakan
Lembu Agra yang diserangnya.
Sepanjang malam, Geni bersilat. Tidak pernah berhenti. Dia
bergerak terus dari saat ke saat Sejak sore hari sampai
menjelang matahari terbit. Esok harinya dia beristirahat,
mencari makan. Buah-buahan dan ikan. Kemudian
melanjutkan latihannya.
Sudah tujuh hari dia berlatih di air terjun. Pada mulanya dia
melampiaskan rasa dendamnya. Memukul air dengan sejadijadinya,
membayangkan Lembu Agra di depannya. Hari kedua
ia mulai berpikir tentang ilmu silat. Ia teringat saat amarahnya
meluap dan memuncak melihat Wulan dihantam Lembu Agra,
tanpa dikendalikan mendadak tenaga Wiwaha tersalurkan
sempurna ke seluruh tubuhnya. Senjata punggawa Sinelir tak
mempan melukai kulitnya. Hanya dengan sekali serangan dia
bisa mematikan tiga punggawa itu dan melukai Lembu Agra.
Dia mencoba mengulang, mengumpulkan tenaga Witvaha
secara utuh dan sempurna namun sia-sia. Tenaga itu ada dan
cukup besar tetapi ada sebagian tenaga yang bergerak liar.
Tenaga liar itulah yang belum mampu dia kendalikan.
Geni merenung dan memikirkan misteri tenaga Wiwaha itu.
Dia ingat ketika mengalahkan pendekar daratan Cina, Sam
Hong dua tahun lalu, tenaga Wiwaha itu juga muncul dan
terhimpun secara sempurna. Dalam pertarungan menghadapi
Lembu Agra dan Lembu Ampai, tenaga itu juga muncul secara
misterius.
Ada kesamaan dalam dua peristiwa itu. Tenaga itu muncul
secara spontan pada saat dia menghadapi situasi kritis. Ketika
itu pukulan Sam Hong jika mengena telak sudah pasti akan

membunuhnya. Dia tak bisa menghindar lagi Jika itu terjadi,
dia pasti mati. Spontan saja dalam saat kritis antara mati dan
hidup, tenaga Witvaha itu muncul merambah langsung ke
seluruh tubuh dan menghasilkan tenaga yang sangat besar
dan dahsyat.
Tetapi dalam keadaan biasa, tenaga itu tidak bisa
dihimpun. Geni tercenung, bagaimana nasibnya jika dalam
situasi kritis, tenaga ku tidak muncul. Pertanyaan ini
menantang Geni untuk menemukan cara menghimpun dan
mengeluarkan tenaga Wiwaha yang dahsyat itu secara utuh.
Pada hari ketujuh mendadak dia teringat kepergiannya ke
hutan ini tanpa memberitahu siapa pun, tidak juga kepada
Prawesti. Ada perasaan aneh ketika teringat Prawesti. Ia
membayangkan tubuh gadis itu yang montok dan segar. Geni
merasa adanya keinginan keras memeluk tubuh perempuan
itu. Hasrat yang cukup besar. Tidak sabar lagi, siang itu juga
Geni menggelar Waringin Sungsang berlari menuju Lemah
Tulis. Esok hari saat matahari hampir terbenam, Geni sampai
di perdikan Lemah Tulis. Murid-murid heboh, melihat ketuanya
tiba-tiba muncul. Geni menemui Padeksa dan Gajah Watu. Dia
menceritakan kepergiannya ke air terjun.
Pembicaraan menyinggung misteri tenaga Wiwaha. Dia
menjelaskan semua proses munculnya tenaga Wiwaha secara
utuh dan sempurna itu. Dia bertanya-tanya, kenapa hanya
dalam keadaan kritis, tenaga itu muncul. Bagaimana jika
dalam situasi kritis tetapi tenaga itu tidak muncul.
"Sebenarnya kamu tak perlu terlalu risau. Tenaga Wiwaha
yang kau miliki, meski tidak keluar secara sempurna, tetapi itu
sudah lebih dari cukup menjadikan kamu sulit dicari
tandingannya."
Wisang Geni tidak setuju kesimpulan Gajah Watu. Dia
meyakinkan guru dan paman gurunya itu, Lembu Agra dengan
Pitu Sopakara bakal menjadi lawan yang sangat berbahaya
bagi Lemah Tulis. Ilmu silatnya yang tinggi, kebencian dan

dendamnya yang menggunung terhadap Lemah Tulis,
membuat Lembu Agra akan membunuh siapa saja murid
Lemah Tulis yang ditemuinya. Tidak menutup kemungkinan
dia akan mempersiapkan siasat untuk menghancurkan
perguruan Lemah Tulis.
"Guru dan paman perlu tahu, ketika aku melihat Wulan
terkena pukulan Agra, saat itu spontan tenaga Wiwaha muncul
secara sempurna dan utuh. Saat itulah aku memukul Agra, dia
menangkis. Dia terlempar ke belakang atau melempar diri ke
belakang, tetapi yang pasti tenaganya sangat besar. Dia bisa
menangkis pukulanku ia muntah darah, tetapi ia masih punya
tenaga. Jadi aku yakin ia tidak terluka parah. Jika aku
menyerang terus, mungkin aku bisa membunuhnya atau
paling sedikit membuat dia terluka parah, tetapi saat itu aku
memilih menolong Wulan, sehingga pengkhianat itu lolos.
Paman tahu, sebelum dia pergi, dia mengancam bahwa saat
itu dia baru berada di tingkat lima Pitu Sopakara, dia berjanji
akan menembus tingkat tujuh untuk adu jiwa denganku."
"Menurutmu, ilmu silat pengkhianat itu bakal semakin
tangguh dan dahsyat, bahkan mungkin sulit bagimu untuk
menandinginya. Nah, jika kau sendiri tidak bisa menandingi
dia, apalagi dengan kita dan semua murid perdikan ini," kata
Gajah Watu.
Kini ketiganya yakin Lembu Agra dengan ilmu Pilu Sopakara
menjadi ancaman besar bagi Lemah Tulis. Geni tidak tahu
ampuhnya jurus ganas peninggalan ketua partai Turangga itu.
Ketika adu pukulan, Geni tidak merasakan kehebatan ilmu
lawan, karena pada saat itu tenaga Wiwaha masih lebih
unggul dari Pitu Sopakara tingkat lima. Geni memang belum
merasakan akibat pukulan Pitu Sopakara, tetapi lewat
penuturan Wulan bisa dibayangkan hebatnya ilmu itu. Wulan
sendiri telah merasakan ampuhnya pukulan Pitu Sopakara.
luka hebat yang dibawanya ke liang kubur.

Geni masih ingat kata-kata Wulan menjelang ajalnya.
Pukulan Agra telah menghancurkan tubuh bagian dalam. Tak
ada bekas di bagian luar tubuh, sebab yang rusak adalah
tubuh bagian dalam. Rahimnya terluka, janin dalam rahim
mati seketika. Ilmu yang ganas. Pukulan itu baru tingkat lima.
Menurut Padeksa, jurus Pitu Sopakara tingkat tujuh jauh lebih
ganas, tak cuma dahsyat tenaganya juga mengandung sihir
dan racun.
Geni sadar jatuh bangun Lemah Tulis kini tergantung pada
dirinya.
Pada saatnya nanti akan terjadi pertarungan lawan Lembu
Agra. Jika belum menemukan cara mengatasi jurus ganas Pitu
Sepaham, sama artinya dengan kemenangan di pihak Lembu
Agra. Dan itu berarti kematian bagi Wisang Geni.
Jika itu yang terjadi, maka tidak cuma hutang darah Wulan
tidak terbayar melainkan juga kehancuran bagi Lemah Tulis.
Jika Wisang Geni kalah dan mati, maka tak ada lagi orang
Lemah Tulis yang mampu menandingi Lembu Agra. Itu alamat
buruk. Karena tujuan utama partai Turangga berikut Lembu
Agra sudah jelas, akan melenyapkan Lemah Tulis dari muka
bumi
Hari sudah malam ketika Wisang Geni memasuki
rumahnya. Ada cahaya di bilik dalam. Geni melihat Prawesti
duduk bersimpuh di dekat tikar. Ada makanan tersaji. Prawesti
duduk dengan kepala tunduk, rambutnya menutupi wajah.
Geni duduk di samping perempuan itu. Dia mendengar isak
perlahan. Dia memegang kepala Prawesti, menyentuh dengan
lembut. Prawesti menoleh. Airmata membasahi pipinya. Sinar
matanya sayu
Wisang Geni merasa heran. "Ada apa, Westi?"
Mendadak Prawesti membungkuk dan memegang kaki
lelaki itu. "Ketua maafkan aku, ampuni salahku, aku memang
tidak tahu diri. Tetapi mengapa ketua pergi secara diam-diam,

aku mencari, semua orang ikut mencari, ke mana ketua
pergi?"
Lelaki itu tersenyum "Aku pergi ke mana aku ingin pergi,
aku tak perlu melapor kepada siapa pun juga."
Tidak menyangka akan memperoleh jawaban seperti itu,
Prawesti bingung. Sebagai ketua memang benar Wisang Geni
tak perlu memberitahu kepada siapa pun. Sadar
kesalahannya, Prawesti minta maaf. Suasana yang kaku
mencair saat makan malam. Wisang Geni menyantap dengan
lahap. Dia bertanya siapa yang masak.
"Aku yang masak, ketua. Apakah tidak cocok?"
"Enak, enak."
Wisang Geni menanyakan kejadian di Lemah Tulis selama
kepergiannya. Tidak ada kejadian penting. Selama beberapa
hari, semua murid mencari ketuanya.
Prawesti tidak menceritakan betapa dia tiap malam
menangis merindukan Geni. Dia khawatir, mungkin ada
kesalahan yang tidak dia sengaja yang membuat lelaki itu
marah dan pergi. Dia khawatir Geni pergi untuk waktu yang
lama. Selama delapan hari itu Prawesti gelisah dan berduka.
Tetapi Prawesti bahagia ketika malam tiba. Wisang Geni
menumpahkan rasa rindu dengan cumbu rayu yang membuat
Prawesti melupakan derita selama delapan hari.
Geni menceritakan apa yang dilakukannya di air terjun di
kaki gunung Arjuno. Prawesti memberanikan diri meminta
agar Geni mengajaknya berlatih di tempat itu. Mendengar
permohonan Prawesti itu mendadak saja lelaki itu teringat
sesuatu. Jika semua murid Lemah Tulis, khususnya murid
utama berlatih di air terjun, akan cepat meningkatkan
kedigjayaan mereka. Dalam menghadapi ancaman
permusuhan dari Lembu Agra dan mungkin juga pihak keraton
Kediri, Geni merasa Lemah Tulis harus mempersiapkan diri
sebaik-baiknya.

Hari itu Geni sebagai ketua mengumumkan keadaan
darurat. Semua murid Lemah Tulis harus mempersiapkan diri
menghadapi serangan dari pihak luar. Juga waspada terhadap
tamu yang datang berkunjung. Wisang Geni memanggil
Jayasatru dan Prastawana. Dari silsilah perguruan Prastawana
lebih tinggi dari Jayasatru. Prastawana murid angkatan satu
dari empat tokoh Lemah Tulis, sedang Jayasatru hanya murid
dari Ranggaseta.
Pada kesempatan lain yang terpisah, Wisang Geni
memanggil dua murid wanita, Raditin dan Kirana. Keduanya
belum bersuami meski usia sudah empatpuluhan. Raditin,
murid tidak langsung Padeksa dan kakak perguruan Wisang
Geni. Sedang Kirana, murid Branjangan yang kini menjadi
murid kebanggaan Gajah Watu. Empat murid tersebut
mendapat tugas khusus mengawasi semua murid. Peristiwa
seperempat abad lalu ketika Lemah Tulis disusupi murid
pengkhianat, tak boleh terjadi lagi. Keempatnya bertugas
mengawasi dan menyelidik secara diam-diam seluruh kegiatan
dan aktifitas murid Lemah Tulis.
Dia berlaku cerdik, merahasiakan tugas Raditin dan Kirana
begitu juga Jayasatru dan Prastawana. Kelompok Prastawana
tidak mengetahui tugas kelompok Raditin, begitu sebaliknya.
Dia menugaskan empat murid itu melapor kepada Padeksa
dan Gajah Watu jika pada saat dibutuhkan Geni sedang tidak
berada di tempat
Dua tahun belakangan, Wisang Geni bersama Padeksa dan
Gajah Watu memberi latihan ilmu silat menggunakan senjata.
Selama ini dalam tradisi Lemah Tulis, ilmu menggunakan
senjata tidak dikenal. Jurus Garudamukha dan pada tingkatan
Prasidha adalah jurus tangan kosong.
Sebagai ketua, dengan bantuan Padeksa dan Gajah Watu,
Wisang Geni mencipta jurus senjata keris, tombak, golok,
pedang dan pisau atau pedang pendek. Meskipun
menggunakan senjata namun semua jurus dibedah dari ilmu

Garudamukha dan Prasidha. Hasilnya memang nyata, hampir
semua murid Lemah Tulis mengalami peningkatan ilmu
silatnya.
Dua hari kemudian Geni bersama Prawesti dan tujuhbelas
murid utama berangkat ke hutan dawuk di kaki gunung
Arjuno. Sebagian besar lainnya tetap berlatih di perdikan.
Di hutan dawuk di air terjun itu selama hampir satu bulan
Wisang Geni melatih langsung murid-murid Lemah Tulis.
Semuanya mengalami kemajuan pesat, tenaga dalam maupun
penguasaan jurus tangan kosong dan jurus senjata. Tekanan
air terjun yang besar dan berat, sangat membantu. Muridmurid
Lemah Tulis semakin kagum akan kehebatan ketuanya.
Geni tidak hanya melatih tetapi juga memberi contoh dengan
gerak tubuh dan tenaga batin.
Geni tidak hanya sibuk melatih. Pada waktu luang, dia terus
memikirkan misteri penyempurnaan tenaga Wiwaha. Di balik
air terjun, terdapat goa yang tersembunyi Di goa itulah Geni
bersemedi, merenung dan mencari jawaban dari misteri itu.
Pada waktu tertentu Prawesti datang menjenguk. Karena
tak mungkin membawa makanan menerobos air terjun tanpa
makanan tersebut basah, maka Prawesti terkadang memasak
di dalam goa. Prawesti juga tidak malu jika harus bermalam di
dalam goa karena hubungannya dengan Geni sudah bukan
rahasia lagi.
Geni berusaha menggali lagi alam bawah sadarnya,
pengalaman saat mempelajari Wiwaha peninggalan pendekar
Lalawa di gunung Lejar. Seingatnya dia sudah rampung
menyelesaikan empat tahapan Wiwaha. Jurus satu Tepung
Ropoh, Sambung Kalem, jurus dua Kitrang Raja Pati, jurus tiga
Ngrupak Jajahaning Mungsuh dan jurus empat Pethuk Ali
Golong Pikir.
Tidak ada yang tertinggal. Semua sudah dipelajari dan
hasilnya sudah nyata, tenaga dalamnya sulit dicari tandingan

Dia bahkan sanggup mengubah tenaga panas dan dingin
sesuka hati, bisa memukul dengan tenaga dingin, saat berikut
menghantam dengan tenaga panas. Dia ingat dalam beberapa
pertarungan tingkat tinggi, tenaga Wiwaha telah membuktikan
keampuhannya. Sejak memiliki tenaga Wiwaha itu, dia tak
pernah bisa dikalahkan orang. Selama ini dia yakin akan
kekuatan dirinya, tetapi sekarang ini menghadapi ancaman

Lembu Agra, dia merasa ragu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;