Sabtu, 17 Mei 2014

wisanggeni 22

Apa yang kudapat ini adalah pengembangan dari dua ilmu
dahsyat itu. Terus terang, tidak ada jurus yang namanya Jurus
Penakluk Raja, kau sendiri sudah tahu, kau sudah menemukan
intinya. Apa nama jurus ini, Jurus Angin atau Jurus Langit atau

Jurus Awan, terserah padamu namanya. Jurus itu kosong, jadi
namanya pun kosong. Eh, aku hampir lupa sesuatu yang
penting, apa pendapatmu tentang Sekar, apa kau sungguhsungguh
mencintainya?"
Pertanyaan itu mendadak dan tak pernah disangka. Wisang
Geni terkejut tetapi hanya sesaat. Ia menjawab mantap,
"Eyang, aku mencintai Sekar. Ia paling cantik, tubuhnya
molek, ia perlihatkan bahwa ia mencintai aku, tergila-gila
padaku, selalu mendahulukan kepentinganku, membuat aku
puas dan bahagia. Dia perempuan nomor satu dalam
hidupku." Geni heran akan jawabannya yang begitu mantap
dan pasti. "Eyang, aku memang mencintai Sekar, meski
banyak perempuan lain di sampingku, tetapi hanya gadis itu
yang aku cintai. Tetapi di mana dia sekarang? Eyang pasti
tahu dia berada di mana?" sambungnya lagi.
"Kamu pasti akan bertemu dengannya, tidak lama lagi.
Camkan ini, Geni, jangan kamu sia-siakan dia!"
"Kenapa Eyang? Ada apa dengan Sekar?"
"Dia itu cucuku, putri dari anakku! Aku titip cucuku itu
padamu, Geni. Aku tak minta apa pun dari kamu, hanya
tolong kamu jangan sia-siakan dia, kasihani dan cintailah
Sekar. Dan sekarang Geni, selamat tinggal!"
Wisang Geni menatap bayangan Eyang Sepuh sampai
menghilang di kerimbunan hutan. Tanpa terasa air mata
menitik. Geni menangisi Eyang Sepuh. "Jadi Sekar adalah cucu
Eyang. Itu artinya nenek Tongkat Sapu Lidi adalah isteri
Eyang. Apa yang terjadi pada diri Eyang? Mengapa Eyang
memilih hidup sendiri, mengapa tidak berdiam di Lemah Tulis
berkumpul bersama murid dan teman. Atau hidup bersama
isterinya itu?"
Akhirnya Geni mengetahui, justru dalam kesendirian itu
Eyang Sepuh menemukan dan mendalami ilmu silat bebas
merdeka bagaikan angin dan awan. Tanpa merasa

kesendirian, seseorang tidak akan menemukan kebebasan dan
kemerdekaan. "Aku rasa, aku tak mungkin bisa hidup sendiri,
aku tak perlu mengasingkan diri. Cukup jika aku bebas dan
merdeka dalam setiap langkah. Tidak terikat, tidak terkekang
oleh siapa pun. Mungkin lebih baik jika aku tinggal di suatu
tempat sunyi berdua isteriku Sekar."
---ooo0dw0ooo---
Gayatri tiba di desa Gondang dua hari setelah pertemuan di
hutan. Dia menunggu selama tujuh hari tetapi lelaki yang
dinanti tak juga muncul. Ia uring-uringan, merasa
dipermainkan. Siang itu Gayatri bertiga duduk di warung
makan. Ia tampak kesal, ia menggerutu kepada dua
pembantunya. "Lelaki itu mempermainkan aku, tujuh hari aku
sudah menunggu di desa ini. Apakah harus menunggu sampai
aku tua. Dia benar-benar kurang ajar, akan aku hajar dia,
kubuat dia menyesal pernah dilahirkan di dunia."
Dua pembantunya, Urmila dan Shamita, menghiburnya
bergantian. "Kami akan membalas dendam sakit hatimu."
"Kalian berdua, tak boleh ikut campur soal ini. Kamu ingat
itu, lelaki itu urusanku sendiri, mengerti ?!"
Dua gadis itu diam, tak berani buka mulut lagi. Mereka tahu
persis jika Gayatri sedang kesal dan marah-marah, lebih
selamat jika mereka diam
Tidak lama kemudian amarah gadis itu reda, dia bertanya
dengan kesal, "Ke mana aku harus mencari lelaki itu?"
Urmila memberanikan diri. "Putri, di desa tadi aku
mendengar cerita adanya binatang sakti wisah yang akan
muncul di akhir bulan Cakra di gunung Argowayang. Kata
orang, darah binatang itu berkhasiat menyempurnakan tenaga
dalam. Sebaiknya kita pergi ke sana, kata orang itu hampir
semua pendekar tanah Jawa akan datang ke Argowayang,

mungkin lelaki yang kau cari akan datang juga. Jadi kalau kita
mau ketemu dia, kita ke sana!"
Gayatri setuju. Sepuluh hari lagi, adalah hari akhir bulan
Cakra. Masih ada waktu untuk sampai di gunung itu.
Perjalanan biasa dari desa Gondang ke Argowa yang
diperkirakan enam hari. Jika jalan cepat biasa empat hari.
Teringat Geni, dia merasa sangat kesal. "Dia membodohi aku,
menunggu di sini membuat aku seperti orang bodoh, dasar
lelaki bangsat, nanti kuhajar dia."
Pada hari itu kekesalannya mencapai puncak karena Geni
belum juga muncul. Ia sedang dalam suasana hati marah.
Kebetulan tiga lelaki iseng menggodanya dengan kata-kata
kotor. Gayatri yang sedang kesal menemukan sasaran
pelampiasan amarahnya.
Tiga lelaki iseng itu adalah pedagang yang hanya mengerti
ilmu silat sekadar membela diri dari gangguan pejahat. Mereka
mengira gadis India itu tidak mengerti bahasa Jawa. Tidak
dinyana, Gayatri mengerti semua olok-olok kotor yang mereka
bincangkan. Kemarahan Gayatri terhadap Geni, tumpah habis
atas tiga orang pedagang itu. Senjata bornya melayang
menghantam batok kepala lawan. Tiga orang itu mati
Terdengar suara sinis, "Huh perempuan asing berani jual
lagak di sini, beraninya membunuh orang yang tak punya
kepandaian."
Gayatri menoleh. Seseorang memakai caping sehingga
wajahnya tidak tampak. Orang itu duduk di pojok warung
makan. Gayatri menjawab ketus. "Kamu siapa, mengapa ikut
campur urusanku, tiga orang itu kurangajar, mereka menghina
aku!"
"Mereka hanya kurang ajar dan mengolok-olok kamu,
lantas kamu bunuh begitu saja, kamu memandang murah
nyawa manusia!"

Kendati caping itu menutupi wajahnya, namun dari
perawakan tubuh dan tonjolan di dadanya, Gayatri merasa
pasti dia seorang wanita. "Kenapa? Kamu mau membela
mereka, kamu juga mencari mati?"
"Aku tak suka cari perkara. Aku hanya tertarik pada
senjatamu, apa hubunganmu dengan perempuan bernama
Malini?"
Gayatri terkejut. "Perempuan ini bukan sembarang orang.
Ia tahu tentang senjata Malini dan Kumara. Siapa dia?"
katanya dalam bahasa India kepada dua pembantunya. Ia
menatap tajam perempuan tak dikenal itu. "Mereka kerabat
dekatku, bibi dan pamanku! Aku ulangi kata-kataku, jangan
mencari perkara, apakah kamu mencari mati?"
"Urusan apa kamu datang ketanah Jawa, mau membalas
dendam kekalahan Lahagawe seperti halnya Malini? Kamu
mencari orang Lemah Tulis?"
Gayatri terkejut, tetapi sesaat kemudian justru gembira.
"Kamu tahu banyak urusan ini, kamu pasti orang Lemah Tulis,
ayo antar aku kepada Wisang Geni!"
"Mau apa kamu mencari Wisang Geni?"
"Kenapa tanya lagi, ya untuk tarung dan mengalahkan dia!"
Perempuan itu mendorong capingnya ke atas sehingga
tampak wajahnya yang cantik jelita. Gayatri terkesiap. "Dia
masih muda, dan cantik." Tanpa sadar dia bertanya, "Siapa
kamu?"
Perempuan itu berdiri. "Namaku Sekar, aku isteri Wisang
Geni!"
Sekali lagi Gayatri terkejut tetapi sesaat kemudian ia
tertawa. "Kebetulan, kebetulan sekali. Kamu mewakili dosa
suamimu, aku akan memaksa kamu membawa aku kepada
Wisang Geni."

Sekar tertawa sinis. "Kamu pikir bisa mengalahkan aku?"
Sekar melompat keluar warung. Ia berdiri di jalanan. Gayatri
dan dua pembantunya menyusul. Saat berikutnya dua
pendekar wanita itu siap-siap tarung. Sungguh pemandangan
langka, nonton dua macan betina bertarung. Semua orang
menghindar, nonton dari pinggiran. Sekejap kemudian,
terbentuk lingkaran luas sebagai arena tarung.
Urmila maju ke sisi Gayatri. Ia berbisik dalam bahasa India.
Gayatri mundur ke belakang. Urmila berhadapan dengan
Sekar. "Untuk menghadapi orang usil macam kamu, tidak
perlu majikanku yang maju."
Sekar mendengus dengan suara hidung. Ia diam saja,
menanti serangan Urmila. Tanpa menunggu, pendekar India
ini maju menyerang. Ia menggunakan kumpulan jurus aneh
dari ilmu Teri Sanson Mein Jevan Mein Sirf Teri Kusbu Hai
(Dalam hidup dan nafasku hanya ada harum cirimu).
Terjangan pukulan dan tendangan berantai datang bagai
angin ribut, tetapi Sekar tidak gentar. Sekali melihat, ia tahu
bahwa Urmila tidak terlalu hebat baik tenaga maupun ringan
tubuhnya.
Sekar berkelebat dengan ringan tubuh Menunggang Ombak
disertai gerak jurus Mawunyangken (Menyakiti hati) dan
disusul Hasmaratura (Kesenangan cinta). Terjadi bentrokan
tangan lima kali beruntun, Sekar masih melaju terus sedang
Urmila terdesak mundur. Urmila terkejut, ia kalah tenaga. Ia
berusaha menebusnya dengan pengerahan kekuatan besar
serta jurus lebih tajam. Namun Sekar semakin unggul dan
lebih mendesak.
Pada jurus duapuluh tangan Sekar molos dari tangkisan
dan menghajar pundak Urmila. Gadis India ini mengeluh, ia
mundur sambil mencabut senjatanp, bor maut. Saat itu juga
Sekar melejit ke pohon kembang karet. Ia memotes ranting
kecil yang banyak cabangnya. Pertarungan meningkat seru
Senjata bor dikendalikan tali panjang mengincar titik kematian

di tubuh Sekar. Tetapi murid Nenek Sapu Lidi tertawa sinis.
"Ini bor mainan anak-anak, kamu lihat." Sambil mengelak, ia
memutar dan melempar ranting ke arah tali, .sementara
tangan lainnya menampar bor baja.
Tidak berhenti di situ, Sekar malahan menyerbu maju.
Ranting itu, melibat tali bor membuat simpul mati sehingga
Urmila tak bisa lagi mengendalikan senjatanya. Saat berikut
Sekar menampar pipi Urmila, tiga kali. Pipi gadis India itu
merah bengkak. Gayatri terkejut, hendak maju. Tetapi
dilihatnya Sekar mundur. "Tak usah khawatir aku tidak
menggunakan tenaga, aku tidak kejam seperti kamu yang
main bunuh semaunya, aku juga tak mau giginya rontok,
kasihan gadis cantik seperti dia giginya ompong." Sekar
tertawa geli. Dia merasa lucu melihat Urmila meraba pipi dan
memeriksa mulurnya.
Saat itu tangan Sekar menggapai Gayatri, mimiknya seperti
mengejek "Kamu maju, jangan cuma bisa memerintah anak
buahmu saja!”
Ejekan ini memancing kemarahan Gayatri yang lantas
melompat maju dengan senjata bor. Suara mencicit terdengar
lebih keras, pertanda tenaga Gayatri lebih besar dari Urmila.
Sekar tak mau memandang enteng. Ia mengerahkan tenaga
Segoro (Samudera) dan memainkan jurus Sapwa Tanggwa
yang lugas dan tegas.
Dalam beberapa jurus Sekar kewalahan menangkis dan
mengelak. Ia kemudian merogoh senjatanya, sebuah sapu lidi
kecil yang disembunyikan di balik punggungnya. Pertarungan
jadi imbang, sapu lidi itu berkali-kali menampar pergi bor maut
itu. Pertarungan imbang. Pada jurus limapuluh, Sekar
melompat mundur. "Aku tak punya waktu mam-main dengan
kamu, tetapi kalau hanya kepandaian semacam itu, sebaiknya
jangan coba menantang Wisang Geni, kamu akan
dipermalukan olehnya, dia terlalu tanggguh buat kamu lawan."

Dua perempuan itu saling pandang. Ada kesan baik dari
keduanya. Orang-orang melihat dua wanita yang sama-sama
cantik jelita. Ketika Sekar hendak pergi, Gayatri berseru,
"Tunggu! Benarkah kamu isteri Wisang Geni? Di mana aku
bisa bertemu dengannya?"
"Aku pun sedang mencarinya." Sekelebatan Sekar
menghilang di keramaian penonton.
Gayatri diam mematung. Ia berpikir keras. Pasti ilmu silat
Wisang Geni sangat tinggi. Jika isterinya saja begitu tangguh,
apalagi suaminya. "Gila! Gadis itu cantik jelita dengan ilmu
silat yang tinggi, hebat juga si Wisang Geni bisa memperisteri
pendekar wanita itu"
Tiga gadis Hirnalaya siap-siap berangkat ke gunung
Argowayang. Tetapi mendadak Gayatri berubah pikiran. "Aku
pikir sebaiknya kita tinggal di sini dua hari lagi, aku mau
istirahat dan berpikir. Masih belum terlambat untuk pergi ke
gunung itu."
Urmila dan Shamita tidak membantah.
Hari sudah hampir gelap ketika Wisang Geni tiba di desa
Gondang. Ia menghentikan kudanya di depan warung makan.
Ia memesan makan. Sambil melahap makanan, ia memanggil
pelayan dan bertanya apakah pernah melihat tiga gadis asing
yang cantik. Pelayan itu manggut. Setelah Geni memberinya
uang receh, ia rnemberitahu di mana tiga gadis India itu
nginap. Dia juga menceritakan gadis India itu telah
membunuh tiga orang iseng yang menggodanya dan
bertarung seru dengan seorang pendekar wanita lain.
Malam itu Geni menyatroni penginapan. Ia mengetahui
Urmila dan Shamita berada dalam satu kamar. Artinya Gayatri
sendirian di kamar sebelahnya. Geni membuka jendela dan
menerobos masuk kamar. Ia disambut serangan tajam
mengarah leher dan selangkangan. Sambil menangkis, Geni
berbisik, "Ini aku, Gayatri!"

Gayatri tertegun, ia mengenal suara Geni. Samar-samar
lewat cahaya bulan dari jendela, ia melihat Wisang Geni
berdiri di depannya. Tiba-tiba Gayatri bangkit amarahnya.
"Kenapa kamu membohongi aku?" Ia memukul dada Geni.
Lelaki itu tidak mengelak. "Dess!"
Geni terpelanting, jatuh telentang di lantai. Gayatri terkejut.
"Kenapa kamu tidak mengelak?"
Sambil memegangi dadanya, ia mengeluh. "Memang aku
bersalah. Tetapi sebenarnya aku terlambat karena ada
halangan. Di ibukota kerajaan sedang ribut, jadi semua jalan
ditutup pasukan, orang tak boleh masuk keluar. Aku tertahan
empat hari."
Gadis India itu luluh marahnya. Ia berlutut dan memegang
dada Geni yang masih telentang di lantai. "Dadamu sakit?"
Tangan Geni memegang tangan Gayatri, menuntunnya ke
bagian jantung. "Di sini sakitnya, sakit cinta. Dengarkan detak
jantung orang yang mencintaimu dan yang rela mati untukmu,
Gayatri."
Ia hendak menarik kembali tangannya, tetapi Geni
menahannya. Geni menarik tubuh Gayatri. Tangannya
memeluk, tangan satunya memegang kepala si gadis. Ia
melumat bibir si gadis.
Gayatri tak berdaya, karena sebenarnya sejak ciuman
pertama di hutan, gadis India itu sudah takluk. Dia merasakan
tangan jahil Geni merambah ke balik baju tidurnya yang
longgar. Dia terangsang, nafasnya memburu Dia berusaha
mencegah tangan nakal dan mulut nakal lelaki itu. Tetapi dia
tak berdaya karena dia menyukainya. Dia hanp berbisik pelan,
"Jangan, jangan diteruskan, aku masih perawan, kita harus
kawin dulu."

Geni menggelitik telinga si gadis dengan bisikan halus, "Aku
mencintaimu, aku sungguh-sungguh, aku akan mengawinimu,
itu pasti."
Gayatri mulai bereaksi. Ia menjambak rambut Geni,
sementara mulutnya memagut mulut Geni Ia membiarkan
tangan lelaki itu melucuti pakaian tidurnya. Ia bertanya,
"Siapa namamu?" Dalam hati dia merasa sudah gila, kenapa
baru sekarang dia menanyakan nama lelaki itu. Tetapi dia
puas, karena sudah menemukan pendekar yang pantas
menjadi suaminya. "Kalaupun aku harus mati dihukum ayah,
aku toh sudah merasakan kenikmatan ini," gumamnya dalam
hati
"Ambara." Sekenanya Geni menyebut nama samaranyang
pernah ia gunakan ketika pertama kali berkenalan dengan
Wulan.
"Ambara kamu harus mengawini aku, kamu janji?"
"Aku bersumpah demi dua orangtuaku yang sudah mati,
aku janji akan mengawinimu, kekasihku." Geni memeluk.
Gayatri memeluk Keduanya berpelukan dalam deru birahi.
Gayatri menangis. Geni menghibur. Mereka bercinta. Sampai
fajar menyingsing keduanya lelap, berpelukan dalam keadaan
bugil.
Di kamar sebelah, Shamita dan Urmila saling pandang. "Dia
sudah gila! Dia jatuh cinta, sampai perawannya pun ia
berikan," bisik Urmila. Temannya menyahut bisik-bisik,
parasnya agak ketakutan. "Gawat, guru bisa membunuh kita
berdua karena dinilai gagal melindungi putrinya. Tetapi kita
tak berdaya, mana berani kita membantah kemauan Gayatri."
Matahari pagi mulai muncul. Gayatri menggigit pundak
Geni. "Ambara, aku percaya padamu, kamu harus mengawini
aku, jangan ingkar. Kamu sudah bersumpah akan
mengawiniku."

"Aku akan mengawinimu, itu janjiku dan aku bersumpah
demi kehormatan ayah dan ibuku aku akan mengawinimu.
Kalau aku ingkar, biar aku mati digigit seribu ekor ular," kata
Geni dengan penuh keyakinan.
"Seribu ekor tambah satu ekor yang paling besar. Yang
satu itu adalah aku," bisik perempuan itu. Keduanya bercinta
lagi.
Gayatri berbisik, "Ambara, kamu benar mencintai aku?"
Geni mengangguk
Perempuan itu mengelus wajah Geni. "Begitu cepat kamu
jatuh cinta? Kita baru ketemu."
"Pertemuan dan perkenalan ini aneh. Pertemuan pertama
aku sudah jatuh cinta. Sepanjang jalan ke keraton, aku
membayangkan wajah dan tubuhmu yang indah, itu jatuh
cinta yang kedua. Dan sekarang ini aku jatuh cinta yang
ketiga. Aku pikir aku harus mendapatkan kamu sebagai isteri,
biar selamanya aku bisa memeluk dan mencium kamu"
Wisang Geni mengutarakan dengan bisik-bisik sambil
mengelus lembut wajah Gayatri.
Perempuan itu menyembunyikan wajahnya di dada Geni.
"Kamu adalah laki-laki pertama yang kucintai, aku sudah
serahkan cinta dan tubuhku padamu, padahal kita baru
berkenalan, ini memang aneh," Gayatri menggigit pelan
lengan Geni. "Ambara, jangan bohongi aku, jangan
permainkan cintaku, jangan menyakiti hatiku, ya?"
Siang itu di warung makan, Shamita dan Urmila
memerhatikan wajah Gayatri yang berseri-seri. Geni
tersenyum. Tapi senyumnya lenyap, mendengar cerita
pertarungan kemarin siang. Ada gadis cantik jelita, berilmu
tinggi yang sanggup mengalahkan Urmila dan meladeni
Gayatri limapuluh jurus. Gadis itu mengaku bernama Sekar
dan adalah isteri Wisang Geni. Mendengar ciri-ciri si gadis,
Geni merasa gembira, ia yakin gadis itu tak lain Sekar

isterinya. Gayatri heran, "Kamu kelihatan gembira, kamu kenal
gadis itu?"
Geni mengangguk. "Tentu saja, katamu dia isteri Wisang
Geni. Nah sekarang kamu tahu, kira-kira sampai di mana
tingkat kepandaian pendekar itu setelah kamu tarung dengan
isterinya."
Mereka berangkat ke Argowayang. Sepanjang jalan Gayatri
manja mendampingi Geni. Mereka menjauh dari Urmila dan
Shamita. Malam itu mereka nginap di desa kecil. Setelah usai
bercinta, Geni berbisik, "Aku mau mampir di suatu tempat
rahasia lagipula perlu cepat, jadi kamu terus ke Argowayang,
kita akan jumpa di sana."
Gayatri tak mau. Namun setelah dibujuk rayu, gadis itu
akhirnya bersedia mengikuti rencana Geni. Ia mencium Geni.
"Kamu jangan terlambat lagi, Ambara aku percaya padamu,
jangan tinggalkan aku, ingat kamu sudah bersumpah."
---ooo0dw0ooo---
Lembu Ampai dan rombongan tiba di hutan batas desa
Gurah dalam perjalanan menuju Argowayang. Di samping
Lembu Ampai, tampak Lembu Agra dan empat pengawalnya
dari perguruan Turangga. Selain itu para pendekar utama
seperti Si Gila Ujung Kulon bersama dua saudaranya Parma
dan Sakerah, Si Belut Putih, Nenek Kembar Segoro Kidul
Prameswari dan Kameswari, Si Bayangan Hantu. Juga sepuluh
anggota Patlikur Sinelir bersama duabelas punggawa pilihan.
Seluruhnya, tigapuluh lima orang. Mereka menuju
Argowayang, selain niat berburu binatang sakti widali juga
menyerang orang Lemah Tulis. Mereka yakin para murid
Lemah TuLs akan hadir, termasuk juga Wisang Geni.
"Sayang Kalandara tidak hadir. Kabar yang kudengar,
Kalandara dan tiga muridnya telah dipermalukan Wisang Geni.

Mungkin itu sebabnya Kalandara mengundurkan diri,'' kata
Lembu Ampai.
"Sayang sekali, padahal aku ingin mengawini Manohara,
muridnya yang cantik itu. Tak bisa jumpa sekarang, mungkin
suatu hari nanti aku harus mengunjungi Lembah Bunga,"
tukas si Belut Putih.
"Jika mengunjungi Manohara, sebaiknya kamu bawa emas
kawin kepala Wisang Geni, pasti dia senang," kata Lembu
Agra.
"Wah mana bisa aku membunuh Wisang Geni seorang diri,
jika dia bisa mengalahkan Kalandara bersama tiga muridnya,
pertanda ilmu silatnya tinggi, lain hal jika kita rame-rame
mengeroyok"
Lembu Ampai tertawa. "Tak perlu mengeroyok, karena
adikku ini Ki Jaranan yang dulunya bernama Lembu Agra akan
menantang tarung Wisang Geni. Adikku ini ketua partai
Turangga."
"Kudengar Turangga punya ilmu andal Pitu Sopakara,
bagaimana hebatnya kita saksikan nanti, mungkin bisa
mengalahkan Wisang Geni. Aku pikir lebih baik kita keroyok
saja ketua Lemah Tulis itu, habis perkara," potong Si
Bayangan Hantu.
Lembu Agra melihat sekeliling. Dia melihat pohon kayu
yang batangnya sebesar dua pelukan manusia. Dia menuju ke
pohon itu sambil berkata lantang, "Kalian lihat ini, jurus Pitu
Sopakara”. Dia memukul. Semua orang tertegun. Mereka tidak
melihat kehebatan Pitu Sopakara. Apa hebatnya? Pohon tetap
tegar, tak ada perubahan balikan kulit pohon sedikit pun tidak
lecet. Lembu Agra berkata kepada seorang punggawayang
tubuhnya paling kurus. "Punggawa, coba kamu sentuh pohon
itu."
Punggawa memegang pohon. Mendadak terdengar suara
gemuruh. Pohon besar itu patah dan roboh. Semua kaget,

juga Lembu Ampai. Mereka mendekat. Tampak bagian dalam
pohon itu hancur. "Pukulan itu tidak merusak kulit luar, lecet
pun tidak, tetapi bagian dalamnya hancur seperti bubuk, bisa
dibayangkan jika menimpa tubuh manusia," kata Lembu
Ampai.
Nenek kembar Prameswari tertawa senang. "Melihat
hebatnya Ki Jaranan, aku yakin kita akan menyaksikan tarung
hebat di gunung Argowayang, Wisang Geni hebat ilmunya
tetapi masih dari cerita orang, aku belum menyaksikan dengan
mata sendiri, tetapi pukulan Pitu Sopakara kuakui sungguh
hebat."
Lembu Ampai menjelaskan siasat dan maksud tujuannya ke
gunung Argowayang. Yang utama, berburu binatang sakti
widah. Maksud lain yang tak kalah penting, menghantam dan
membunuh orang Lemah Tulis terutama Wisang Geni.
---ooo0dw0ooo---
Rombongan pendekar Cina siang itu tiba di desa Bareng,
sekitar tiga hari perjalanan dari desa Bangsal. Mereka
menunggang kuda. Paling depan pemimpin rombongan Ciu
Tian, diikuti Liong Kam berdampingan dengan sastrawan
Siauw Tong, kemudian Sio Lan dan Kim Mei, Li Moy
berpasangan dengan Sian Hwa, Sin Thong dengan Pak Beng,
Mok Tang dengan saudaranya Mok Kong.
Ciu Tian berpesan pada rekannya. "Kita istirahat di sini,
habis makan siang kita lanjutkan perjalanan, jangan lupa kita
semua harus tetap kumpul dalam rombongan, jangan ada
yang terpisah. Jika kita bersatu, semua kesulitan akan bisa
diatasi."
Warung makan itu tidak begitu besar. Begitu sampai di
pintu masuk, mendadak Sian Hwa berseru kaget, "Mei Hwa!"

Di meja pojokan, sepasang lelaki dan wanita sedang
makan. Keduanya terkejut. Mei Hwa menoleh, wajahnya pucat
saking kaget, lalu ia berteriak girang. "Ibu," sambil berlari
memeluk Sian Hwa. MeiHwa membawa ibunya ke meja,
memperkenalkan lelaki itu. "Ibu, ini suamiku, Manjangan
Puguh dari perguruan Merapi"
Sian Hwa kaget. Inikah sebab anaknya tidak pulang ke Cina
dan memilih menetap di tanah Jawa. "Oh, jadi kamu sudah
nikah."
"Iya, ibu maafkan aku. Sudah lebih satu tahun kami
menikah, kami sudah punya anak, seorang putri, sekarang ini
aku titipkan pada guru suamiku di pulau Sempu. Kau harus
lihat cucumu, kulitnya putih, cantik, matanya sipit persis aku,
cuma rambutnya ikal seperti ayahnya," kata Mei Hwa sambil
melirik suaminya.
Sian Hwa memerhatikan menantunya. Manjangan Puguh,
lelaki separuh baya, rambut panjang, kumis tipis dengan
tubuh jangkung dan berotot. Lelaki ini tampak segar, matanya
bersinar terang, pertanda tenaga dalam cukup tinggi.
Manjangan Puguh membungkuk memberi hormat "Terimalah
hormat saya, ibu mertua. Maafkan saya, kalau baru sekarang
kita bertemu."
Sian Hwa termenung. Sekonyong-konyong terdengar suara
Ciu Tian, "Toaci, terimalah ucapan selamat dari aku dan
kawan kawan, kamu telah bertemu anakmu, malahan
sekarang kamu sudah punya menantu dan cucu, selamat,
selamat"
Mereka mengucap selamat dengan menjura. Sian Hwa
membalas. Mei Hwa salaman dengan Pak Beng, Sin Thong
dan Liong Kam
"Dulu kiia penuh sama-sama, kami pulang ke Cina, tetapi
kamu memilih tinggal. Kami baru tahu sekarang ternyata ada

lelaki yang sudah kamu pilih, selamat Mei Hwa," tegur Liong
Kam.
Sian Hwa duduk bertiga anak dan menantunya. Sedangkan
Ciu Tian dan rombongan memilih meja yang agak jauh.
Tampaknya mereka sengaja menjauh dan tidak mau
mengganggu pembicaraan Sian Hwa dengan anak dan
menantunya.
Mei Hwa menjelaskan kepada ibunya, kematian Sam Hong,
pemimpin rombongan terdahulu terjadi dalam pertarungan
resmi yang disaksikan banyak orang. Tak ada yang curang.
Sam Hong mati, di lain pihak Wisang Geni terluka parah.
"Sebenarnya kami hampir menang, semua pendekar tanah
Jawa sudah kalah, lalu muncul Wisang Geni dan segalanya
berubah. Ia seorang diri bergantian mengalahkan Pak Beng,
Sin Thong, kemudian Sam Hong. Hanya paman Liong Kam
yang tak sempat menghadapi Wisang Geni, kalaupun punya
kesempatan juga pasti kalah, karena dari lima orang dalam
rombongan, paman Liong Kam termasuk paling rendah
kepandaian silatnya."
Sian Hwa menatap Mei Hwa. "Wisang Geni itu ilmunya
setinggi apa, sampai bisa mengalahkan pendekar paling
dihormati di Cina, Sam Hong. Ceritamu lain dengan kabar
yang dibawa Pak Beng dan Sin Thong, bahwa Sam Hong kalah
dalam tarung yang tidak adil, bahwa ada yang membokong
Sam Hong dengan jarum beracun."
"Tidak benar cerita itu, tak ada yang curang dalam tarung
itu, Sam Hong dan Wisang Geni sesungguhnya sama kuat dan
imbang, sayang salah seorang harus kalah, dan kebetulan
Sam Hong yang kalah. Seharusnya tarung selesai tanpa ada
yang terluka, sayang pada saat akhir Sam Hong memaksakan
adu tenaga mati atau hidup," tukas Manjangan Puguh. "Ibu
mertua, kalian datang kembali ke Jawa, apakah mencari
Wisang Geni?"

Sian Hwa menghela nafas. "Aku cuma ingin mencari anakku
Mei Hwa Tetapi Ciu Tian ingin balas kematian Sam Hong. Dan
Ciu Tian itu kakak seperguruan Sam Hong, selama ini dia
menyepi di gunung Wuthan, dia turun gunung melanglang ke
tanah Jawa karena kematian Sam Hong. Orang lain, juga ingin
tarung dengan Wisang Geni. Sekarang ini aku terangsang
ingin menjajal Wisang Geni, sampai di mana hebatnya dia?"
Sian Hwa melanjutkan, "Mei Hwa dan kamu menantuku,
aku datang ingin menengok anakku, dan jika Mei Hwa memilih
tetap tinggal di negeri ini, aku tidak keberatan begitupun jika
ingin pulang ke negeri leluhur. Apapun pilihan Mei Hwa, jika
pilihan itu membuatnya bahagia, aku pasti mendukung."
"Maafkan aku, ibu Aku bahagia tinggal di negeri ini, semua
orang ramah. Aku bahagia bersama suami dan anak, maafkan
aku, ibu"
"Tidak apa. Toh juga sewaktu di Cina, kamu tidak selalu
bersama ibumu, aku sibuk menyepi memperdalam ilmu silat,
sedang kamu suka bepergian. Tak apa Mei, ibu menghargai
pilihanmu"
"Sekarang ini, ibu dan rombongan sedang menuju ke
mana?"
"Kami sedang menuju ke gunung Argowayang, katanya ada
binatang sakti widah yang akan muncul, siapa yang minum
darahnya bisa memperoleh tambahan tenaga dalam, kamu
berdua mau ke mana, ke Argowayang juga?"
Mei Hwa mengangguk. Mei Hwa berbisik pada ibunya, "Ibu
tahu, dulu itu Wisang Geni pernah jadi murid suamiku, tapi
belakangan dia memperoleh tambahan ilmu silat dari berbagai
aliran, sekarang ini mungkin silatnya sudah jauh lebih unggul
dari suamiku."
Sian Hwa menatap menantunya. Rasanya ingin menjajal
silat anak menantunya itu. Sian Hwa menghela napas. "Aku
harus membela dia, demi kebahagiaan Mei Hwa."

---ooo0dw0ooo---
Pertarungan Argowayang
Setelah berpisah dengan Gayatri, Wisang Geni melanjutkan
perjalanan ke Lemah Tulis. Dia ingat janjinya mengajak
Prawesti ke gunung Argowayang. Bulan Cakra masih
menyisakan enam hari, dia melakukan perjalanan cepat ke
Lemah Tulis. Dari Lemah Tulis ke gunung Argowayang bisa
dicapai tiga atau empat hari. Senja itu ia tiba di Lemah Tulis.
Dia tampak letih. Tanpa istirahat lebih dahulu diamenemui
Padeksa dan Gajah Watu. Tetapi dia tidak menceritakan
pertemuannya dengan Eyang Sepuh.
Gajah Watu menceritakan bahwa tadi pagi rombongan
Prastawana beserta lima murid berangkat ke Argowayang.
"Mereka takut terlambat, juga mengira kamu langsung ke
Argowayang. Baiknya kamu istirahat dulu, besok pagi baru
berangkat," kata Gajah Watu.
Dia cepat menuju rumahnya. Dia tidak menemukan
Prawesti. Rasa letih dan kantuk membawa Geni cepat pulas.
Malam hari, Geni terbangun. Ada orang yang mengguncang
tubuhnya. Ternyata Prawesti. "Ketua bangun, makanan sudah
siap, makan dulu."
"Kamu tidak ikut rombongan ke Argowayang?"
Prawesti menggeleng kepala. "Tidak. Aku menunggu
ketua."
"Siapa saja yang menyertai Prastawana?"

"Selain paman Prastawana dan Dyah Mekar, ada Gajah
Lengar, Daraka, Kebo Lanang dan juga paman Jayasatru
Ketua kapan kita berangkat?"
"Besok pagi, tetapi aku pergi sendiri, kau tunggu aku di
rumah."
Prawesti menggeleng kepalanya. "Aku ikut, kamu sudah
berjanji mengajak aku."
Geni memeluk gadis itu dan mencium rambutnya "Aku
hanya guyon, besok kita pergii berdua. Tetapi di sana, kamu
harus hati-hati, ada kemungkinan kita ketemu musuh, pasti
terjadi pertarungan." Geni meraih tubuh Prawesti. Memeluk
dan mencumbu.
Prawesti tak kalah bernafsunya. "Ketua, aku rindu,
padamu."
Malam itu dilalui dua insan dengan permainan cinta.
Ketika Prawesti pulas di sampingnya, Geni menatap si gadis
yang tidur lelap. Malam gelap, tetapi dia bisa mengamati jelas
tubuh Prawesti yang bugil. Tanpa sadar ia membuat
perbandingan di antara tiga kekasihnya. Ketiganya cantik dan
memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Gayatri sangat cantik,
kecantikan seorang wanita asing yang berbeda dengan
kecantikan perempuan Jawa, potongan tubuhnya indah.
Prawesti kalah segala-galanya, kecantikan wajah dan tubuh,
termasuk hubungan seks, Gayatri lebih merangsang.
Dibanding Sekar? Sekar menang segala-galanya.
Perempuan yang satu ini sangat luar biasa. Ia cantik dengan
potongan tubuh sangat molek. Ia langsing, pinggang, bokong
dan buah dada yang sangat padu dan imbang. Perpaduan
antara kecantikan wajah dan kemolekan tubuh menampilkan
perwujudan Sekar bagai seorang dewi dalam dongeng. Ia
hangat dalam pendekatan, panas dalam hubungan seks, lebih
dari itu ia selalu mengutamakan kepentingan Geni di atas
kenikmatan dirinya. Geni tahu persis ia sangat mencintai

Sekar. Dia teringat, ketika nyawanya berada di ujung tanduk,
Sekar berani melawan Kalayawana tanpa menghiraukan
keselamatan jiwanya. Saat itu Sekar rela berkorban jiwa
untuknya. Mendadak Geni merindukan Sekar, tubuhnya,
ketawanya dan cintanya yang begitu hangat dan panas. "Di
mana kamu Sekar, apakah kamu masih seperti Sekar yang
dulu, yang mencintai aku, yang membuat aku tergila-gila
padamu?"
Keesokan paginya Geni dan Prawesti berangkat ke
Argowayang. Kegiatan di Lemah Tulis berjalan seperti biasa,
dipimpin Padeksa dan Gajah Watu serta murid lapis atas. Di
tengah jalan Geni sering melamun, membayangkan wajah
Gayatri juga Sekar. "Aku sudah rindu pada Sekar dan aku
sudah berjanji mengawini Gayatri, tetapi aku harus temukan
cara mendamaikan dua perempuan itu, keduanya sudah
tarung meski pun belum saling kenal, celakanya lagi aku tak
bisa meninggalkan salah seorang dari keduanya," gumamnya.
---oo0dw0ooo---
Gayatri bersama dua pembantunya tiba di desa Limo tiga
hari sebelum akhir bulan Cakra. Suasana desa sangat sepi,
sebagian penduduk sudah meninggalkan rumah, mengungsi.
Sebagian lain sedang bersiap siap akan meninggalkan desa.
Gayatri heran.
Seorang penduduk, perempuan tengah baya menuturkan
penduduk lakui karena widali sakti sudah menelan banyak
korban. Sudah empat kali terjadi dalam sepuluh tahun
terakhir, setiap akhir bulan Caitra, semua penduduk desa Limo
mengungsi menjauh dari malapetaka. Sebelum itu banyak
penduduk menjadi korban. Tidak terhitung lagi jumlahnya
termasuk juga para pendekar pendatang.
Cerita mengenai para pendekar yang memburu widali,
memang benar. Hari-hari mendatang, puncaknya di malam

menjelang pergantian bulan Caitra ke bulan Waisaka, banyak
pendekar akan hadir. Niat mereka membunuh widali tak
pernah surut meski tahu sudah banyak korban berjatuhan.
Bahkan sebagian orang percaya widali itu mustahil bisa
dibunuh. "Widali itu sakti, ia muncul tiba-tiba dan menghilang
cepat setelah membunuh korban. Sebaiknya kalian pergi,"
kata perempuan tua itu kepada Gayatri bertiga.
Tetapi tiga perempuan itu memutuskan tetap di desa, ingin
nonton keramaian. Meskipun heran kenekatan tamunya,
perempuan itu dengan sukarela meminjamkan rumahnya pada
Gayatri. Ia bersama tujuh anggota keluarga, anak dan
cucunya, berangkat dengan pedati yang ditarik lembu.
Widali itu peranakan musang jantan liar dengan kucing
betina berbulu lima warna. Perkawinan yang tidak lazim itu
melahirkan widali yang konon darahnya berkhasiat
membangkitkan tenaga dalam membuat seseorang menjadi
sakti mandraguna. Cerita ini berasal dari pendekar peramal Ki
Panarupan tigapuluh tahun lalu. Cerita kemudian berkembang,
konon dia sering bertualang mencari korban di tempat lain.
Khusus di Argowayang, ia muncul tiga tahun sekali dan tepat
di ujung bulan Caitra, seakan ia menantang seluruh pendekar
tanah Jawa. Ia muncul mendadak, menggigit leher dan
menghirup darah korban dengan satu isapan kuat dalam
sekejap mata. Kecepatan geraknya luar biasa. Ia selalu
muncul menjelang tengah malam dan menghilang sebelum
fajar. Dia muncul hanya untuk membunuh atau dibunuh,
setelah itu jika masih hidup dia akan menghilang dan
bertualang ke tempat lain. Ia akan muncul lagi tiga tahun
berikut.
Rumah yang ditempati Gayatri berada di tempat tinggi,
menghadap ke jalan setapak di lereng gunung. Dari rumah itu
Gayatri bisa mengawasi para pendatang. Selama dua hari ia
bersama dua pengawalnya berlatih tenaga dalam. Mereka
merencanakan siasat menghadapi para pendekar. "Kita jangan

menggunakan jurus andalan Himalaya, kecuali jika sudah
terpaksa. Aku mau sekali digunakan di depan umum, jurus itu
bisa mengalahkan Wisang Geni.”
Urmila dan Shamita mengangguk. Jurus itu memang
mematikan, Atehai Zaminepar Kabehiyeh Chande Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi) jika digelar
biasanya memakan korban. Jurus ini bisa dimainkan seorang
diri, bisa oleh dua orang. Bahkan jika tiga orang bekerjasama
maka kehebatan jurus ini diumpamakan seperti kekuatan
menarik bulan dan bintang turun ke bumi
Hari itu, dua hari menjelang berakhirnya bulan Caitra,
matahari siang sangat terik, tetapi udara sejuk pegunungan
membuat suasana sepi desa Limo semakin sepi. Rasanya
orang ingin tidur. Gayatri semedi di dalam rumah, ia
terbangun ketika mendengar bisikan Shamita. "Putri, ada
rombongan datang, mereka kelompok Cina yang ketemu kita
di pelabuhan Jedung. Jumlahnya tigabelas orang, rupanya ada
tambahan dua orang lagi. Tadi hanya empat orang wanita,
sekarang ada lima wanita, juga seorang lelaki jangkung yang
melihat tampangnya pasti pendekar negeri ini."
Rombongan yang dipimpin Ciu Tian memang mendapat
tambahan Manjangan Puguh dan Mei Hwa. Rombongan itu
melewati rumah Gayatri. Melihat dua perempuan yang duduk
di serambi rumah, Ciu Tian dan rombongan tidak begitu
peduli. Mereka mengenali, dua perempuan itu pendekar asal
Himalaya.
Sejenak mereka heran mendapatkan desa itu kosong.
Semua rumah kosong, tak ada penghuni. Manjangan Puguh
menjelaskan bahwa semua penduduk sudah mengungsi. Tidak
lama, mereka akhirnya menemukan sebuah rumah kosong
yang cukup besar, cocok untuk tempat tinggal sementara.
Beberapa saat kemudian banyak orang berdatangan. Ada
yang datang sendiri, berdua bahkan rombongan. Yang paling

menyolok adalah rombongan keraton Kediri yang terdiri dari
tigapuluh lima orang dipimpin Mapatih Lembu Ampai
Rombongan Lemah Tulis berjumlah enam orang. Murid
perguruan Mahameru juga datang, dipimpin Bragalba adik
seperguruan Macukunda, bersama empat murid angkatan
pertama, Narapati, Aryaka, Matangga dan Ayu Rahayu. Dari
perguruan Rrantas sepuluh orang dipimpin langsung ketuanya
Warok Sampang, isteri-isterinya dan enam murid utama
termasuk kepala murid Prabowo dan Santiyaki
Rombongan Tumapel datang berjumlah tujuh orang
dipimpin
Panji Patipati alias pendekar Pamegat dengan enam
pendekar keraton, Dwi, Trini, Catur, Panca, Sapta dan
Ekadasa. Selain rombongan terkenal itu, banyak pendekar dari
berbagai aliran dan bermacam tingkat kepandaian ikut berjudi
dengan nasib, mendapatkan darah widali yang berkhasiat atau
mati dibunuh bintang sakti itu.
Urmila dan Shamita menghitung pendatang, jumlahnya
mencapai seratus orang lebih. "Luar biasa jumlah sebanyak
ini, jika terjadi kekacauan dalam perburuan widali bisa
dibayangkan hiruk pikuknya. Pasti ramai dan seru," tukas
Urmila.
"Kamu belum melihat lelaki itu?" tanya Gayatri.
”Lelaki yang mana Putri, di sini banyak laki-laki, hampir
semuanya laki-laki, aku tidak tahu yang mana yang dimaksud
tuan Putri," goda Urmila.
"Urmila, kau tahu siapa yang kumaksud, dia sudah datang,
belum?"
Urmila tak berani menggoda lagi. "Belum, aku belum
melihatnya. Tetapi tunggu dulu, oh itu dia, dia datang
bersama seorang gadis."

Dari bawah lereng gunung tampak Wisang Geni berlari
kencang, tangannya menggandeng Prawesti. Keduanya seperti
terbang. Geni tidak melihat Urmila dan Shamita yang berada
di beranda rumah di pinggir jalan. Geni memang sangat
bergegas, khawatir terlambat.
Dari jendela rumah Gayatri melihat Geni. "Kurangajar, dia
membawa perempuan kekasihnya."
Gayatri bergerak pesat, menerobos jendela, mengeluarkan
senjata bor maut. Tanpa basa-basi ia menerjang dengan
senjata mautnya. Wisang Geni terkejut. "Gayatri, tunggu dulu,
tahan."
Geni senang menemukan Gayatri namun ia harus mengelak
dari serangan bor maut. Saat yang sama Urmila dan Shamita
menyerang Prawesti. Dua pembantu ini mengira ilmu silat
Prawesti sama hebat dengan Wisang Geni. Karenanya mereka
menyerang bersamaan dengan jurus paling handal. Tetapi
mereka keliru, ilmu Prawesti tidak sehebat perkiraan.
Prawesti berupaya mengelak dan membalas menyerang
dengan pukulan keras Garudamukha Prasidha. Tetapi
menghadapi seorang Urmila saja mungkin Prawesti tidak
ungkulan, apalagi ditambah keroyokan Shamita. Dalam lima
jurus, Prawesti sudah kelabakan. Geni melihat Prawesti
terancam. Khawatir Prawesti luka, Geni berniat menerjang dua
pembantu itu. Tetapi mana mau Gayatri melepas Geni. Dia
menyerang gencar.
"Hayo, keluarkan jurusmu yang paling hebat, jika tidak,
nyawamu akan hilang percuma," seru Gayatri yang tampak
sangat marah.
"Kamu ini galak sekali, sedikit-sedikit mengancam
membunuh aku, kamu sama dengan Malini dan suaminya
yang suka membunuh orang tak berdosa, di desa Gondang
kamu sudah membunuh tiga orang."
"Mereka kurang ajar, kamu membela mereka?"

"Aku kan tidak ingkar janji, kita sudah ketemu di Gondang,
juga janjiku bertemu di sini, mengapa kamu marah begini?"
Saat itu Gayatri sedang kesal, cemburu melihat Geni
menggandeng Prawesti yang cantik. Tetapi keduanya terus
bercakap sambil tarung. Dalam duapuluh jurus tampak
keduanya seperti berlatih, serangan memang ganas tapi saat
kritis serangan ditahan. Mereka tak mau saling melukai.
"Kamu tega mempermainkan aku, Ambara, kamu jahat.
Apakah kamu lupa malam itu di desa Gondang, kamu
mengatakan mencintaiku." Gayatri makin kesal melihat Geni
sering melirik Prawesti. Padahal Geni hanya tak mau Prawesti
celaka, ia takut dua pembantu Gayatri menurunkan tangan
jahat
"Aku tidak mempermainkan kamu, aku mencintaimu, buruburu
aku mengejarmu kemari karena tak tahan menahan
rindu."
Gayatri gembira, dia tersenyum, "Benarkah, kamu
merindukan aku?" Keduanya terus bertempur, seperti sedang
berlatih.
Hal ini tidak luput dari lirikan Urmila, Shamita dan Prawesti.
Gadis Lemah Tulis ini bergumam, "Rupanya mereka sudah
saling mengenal."
Melihat majikannya aman, Urmila dan Shamita juga tidak
berniat melukai Prawesti. Cukup melumpuhkan gadis itu. Pada
jurus duapuluh, pukulan Urmila mengena pundak Prawesti
yang jatuh duduk. Geni terkesiap, namun lega mengetahui
gadis itu hanya ditotok jalan darahnya.
"Tahan dulu Gayatri, aku perlu cepat menolong anak
buahku, jiwa mereka terancam."
Gayatri tertawa, menggoda. "Baik, kamu boleh pergi, tetapi
perempuan itu tetap di sini, sebagai jaminan supaya kamu
tidak lari lagi." Ia tertawa senang.

---ooo0dw0ooo---
Agak jauh ke dalam desa, rombongan Lemah Tulis sedang
istirahat di rumah kosong salah seorang penduduk. Mereka
dipimpin Prastawana.
Sekonyong-konyong terderigar suara keras dan lantang dari
luar rumah. "Hai orang-orang Lemah Tulis, keluar kalian
semua untuk menerima kematian." Suara itu menggema di
lereng gunung sampai ke hutan di kaki gunung. Pertanda
orang itu memiliki tenaga dalam yang sangat kuat
Tidak sempat berembuk enam murid Lemah Tulis keluar. Di
depan rumah berdiri sekelompok orang. Seorang di antaranya,
Lembu Agra. Sekilas Prastawana mencium adanya bahaya.
Padeksa dan Gajah Watu pernah berpesan agar menjauhi
Lembu Agra. "Ia berbahaya, ilmunya tinggi, ganas dan keji.
Jangan melayani dia. Hanya ketuamu, Wisang Geni yang bisa
menandinginya."
Prastawana ingat pesan ini, dia juga tak mau mencelakakan
adik-adiknya. "Kalian jangan ikut bicara, biar aku yang
tangani, paman Padeksa sudah memberi wejangan padaku
sebelum berangkat, jangan membantah perintahku!"
Prastawana memberi hormat. "Rupanya Lembu Agra,
pendekar kesohor yang membelot dari Lemah Tulis. Ada
urusan apa?"
"Aku bukan Lembu Agra, aku Jaranan ketua partai
Turangga, aku akan membunuh semua murid Lemah Tulis,
tanpa kecuali."
"Lembu Agra, kamu pernah menjadi murid paman
Bergawa, sedang aku murid bapak Branjangan, kita
sesungguhnya pernah saudara seperguruan. Tetapi kamu
sudah membunuh saudara kita, Walang Wulan, artinya kamu
bukan murid Lemah Tulis lagi, kita tak punya urusan.

Sekarang apa urusannya kamu mencari murid Lemah Tulis,
kebetulan kami memang sedang mencari kamu. Tetapi kami
masih menunggu ketua Wisang Geni yang sedang dalam
perjalanan kemari. Sebaiknya kamu pergi, mumpung masih
punya waktu untuk lari!"
Lembu Agra tertawa keras. "Kau banyak bacot,
Prastawana, maut sudah di ujung hidung masih buka mulut
besar. Terimalah ajalmu," tegasnya sambil melancarkan dua
pukulan jurus Pitu Sopakara.
Pukulan itu membawa angin keras dan bau bacin.
Prastawana tak berani menangkis, ia menghindar. Tanpa ragu
sedikit pun Prastawana memainkan jurus Prasidha. Meski
pernah berguru di Lemah Tulis tetapi Lembu Agra belum
sempat mempelajari Prasidha. Karenanya untuk sementara
pertarungan imbang.
Setelah memperoleh bimbingan langsung dari Wisang Geni
dan berlatih di air terjun, Prastawana sudah hampir sempurna
menguasai Prasidha. Dia mengelak dengan cekatan, jika
terpaksa dia mengalihkan tenaga serangan lawan ke tempat
lain. Duapuluh jurus berlalu. Agra tertawa, "Hanya ini
kehebatan Prasidha, kini terimalah Pitu Sopakara tingkat
tujuh."
Terdengar bunyi otot di sekujur tubuh Agra, wajah lelaki ini
berubah merah berganti hijau. Pada saat itu sekonyongkonyong
terdengar suara tertawa keras Wisang Geni. Tertawa
itu menggema di seluruh gunung. Semua pendekar yang
masih istirahat di dalam rumah, keluar saking terkejut. Mereka
menuju ke pusat keramaian.
Belum habis pantulan gema suara, tampak Wisang Geni
berlari dengan kecepatan luar biasa. Kecepatan larinya
membawa serta angin keras, debu dan daun-daun kering.
Sesaat kemudian Gayatri datang, bersama dua pembantunya.
Urmila menggandeng Prawesti.

Begitu tiba di tempat tarung, Geni mendorong Prastawana.
Ia menatap Lembu Agra. "Hutang nyawa bayar nyawa. Kamu
membunuh isteriku, sekarang aku menagihnya. Aku akan
membunuhmu, sudah banyak dosamu terhadap Lemah Tulis."
Rombongan Lemah Tulis gembira. "Ketua datang."
Saat berikut Jayasatru berteriak, "Hei itu Prawesti."
Geni menoleh ke Gayatri. "Gayatri tolong bebaskan gadis
itu."
Seperti kena sihir Gayatri mengikuti perintah Geni. Dalam
bahasa India dia memerintah Urmila mengantar Prawesti ke
rombongan Lemah Tulis. Gayatri masih diliputi teka-teki diri
Wisang Geni. "Siapa Ambara ini, dari perguruan mana dia,
tenaga yang dipamerkan lewat tertawa tadi sangat tinggi.
Orang dengan tenaga seperti dia hanya ayah dan kakek yang
bisa mengimbangi," katanya dalam hati.
Terdengar suara Lembu Agra. "Sudah tiba saatnya kamu
mati, Wisang Geni!"
Saking terkejutnya Gayatri berdiri terkesima mendengar
Lembu Agra menyebut nama lelaki itu, Wisang Geni.
"Mengapa Ambara dipanggil Wisang Geni? Apakah dia benarbenar
Wisang Geni, orang yang kucari-cari selama ini?"
gumamnya dalam hati.
Lembu Agra melanjutkan dengan suara yang cukup keras,
ada warna jumawa dalam suaranya. "Wisang Geni, sudah
suratan dewa kita harus tarung mati atau hidup, kamu juga
punya dosa padaku. Tidak ada tempat di bumi ini bagi kamu
Bersiaplah ke neraka menemui isteri pelacurmu itu."
Wisang Geni tertawa sinis. "Jangan marah, tenang saja,"
katanya dalam hati "Semakin tenang, semakin kamu bisa
menguasai angin, menunggang angin dan menjadi angin."
Sekonyong-konyong Gayatri menyela di antara dua
pendekar itu. Dia mendekat, berhadap-hadapan, menantang

mata Geni. "Kamu ini Wisang Geni? Mengapa kamu
membohongi aku? Mengapa kamu tidak mengaku dirimu
sebenarnya Wisang Geni."
Meskipun kata-kata Gayatri diucapkan perlahan, namun
telinga Lembu Agra yang peka mendengarnya. "Betul nona,
Wisang Geni ini pembohong, sudah banyak gadis yang dia
nodai, dulu calon istriku pun dia rebut dan bawa kabur, dia
memang pantas mati"
Gayatri menoleh. Dia kesal dan marah mendengar Wisang
Geni punya banyak perempuan. Bahkan dia sudah melihat
buktinya, ketika Geni menggandeng Prawesti. "Siapa kamu
berani campuri urusanku, belum tentu moralmu lebih baik dari
moralnya?"
Lembu Agra jengkel, tangannya mengibas. "Persetan
perempuan asing." Maksudnya membuat Gayatri terpental.
Tetapi dia kecele. Gayatri membalas dengan tamparan
selendang. Agra terkejut, gesit ia menghindar. Ia lolos tetapi
dipaksa mundur satu langkah.
Geni memegang lengan Gayatri, berbisik dengan nada
halus dan rendah. "Gayatri, maafkan aku, jika aku
mengatakan terus terang siapa aku, kamu pasti akan
memusuhi aku, dan itu aku tidak mau. Karena aku
mencintaimu sejak pertama memandangmu. Dan setelah
malam itu kamu sudah menjadi isteriku, aku makin
mencintaimu. Sekarang kamu mundur dulu, aku mau tarung.
Urusan itu nanti aku minta maaf padamu."
Gayatri menatap mata Geni. Dari sinar matanya memancar
rasa khawatir dan ragu. "Urusanmu dengan aku akan kita
bereskan nanti, tetapi sekarang ini apakah kau memerlukan

bantuanku?"

0 komentar:

Posting Komentar

 
;