Sabtu, 17 Mei 2014

Geni 10

Geni merasa gugup, tak sanggup bicara.
Perempuan itu mendadak membalik tubuh menindih tubuh
Geni. "Aku tidak marah. Aku mencintaimu, tetap mencintaimu,
jika kau pernah bercinta dengan Sekar, atau mungkin gadis
lain, aku tidak marah. Selama kamu masih mencintaiku, masih
kasmaran dengan Walang Wulan, aku tetap setia di sisimu.
Jika kamu sudah bosan padaku dan tidak lagi mencintaiku,
barulah aku pergi."
Ia masih bingung. Ia seperti tak percaya apa yang
didengarnya. "Kamu tidak marah, Wulan?"
Wulan mencium lelaki itu. "Geni, ceritakan saja, aku hanya
ingin mendengar ceritamu, apakah dia cantik? Tentu dia masih
muda dan perawan, iya?"
'Wulan, kamu keliru. Dia memang cantik tetapi wajahnya
penuh dengan bintik bekas cacar, tetapi mungkin sekarang ini
sudah sembuh. Tetapi Wulan, kamu tak boleh meninggalkan
aku lagi."
Wulan menggeleng kepala, "Tidak, aku tak mau berpisah
denganmu lagi."
Agak canggung ia menceritakan pengalaman dengan Sekar
sejak tarung dan dilukai Kalayawana serta dua pendekar India
itu sampai harus berobat di Lembah Cemara. "Aku bercinta
dengan Sekar, berulang-ulang, ia sangat mencintaiku, aku pun
mencintainya. Tapi aku juga mencintaimu Wulan. Cintaku
padamu tak pernah berubah meskipun aku juga mencintai
Sekar."
Wulan merapat dan memeluk kekasihnya. "Geni, jika kita
hanya berdua dan sedang bercinta, kamu panggil aku dengan

sebutan bibi, itu membuat aku lebih terangsang. Dan lebih
menikmati."
Geni heran, namun tak mau berpikir panjang, karena
Wulan masih menindih tubuhnya. Geni merasakan rangsangan
birahi membuat jalan darahnya merambah kencang. "Bibi, aku
mencintaimu bibi."
Keduanya bergelut, bergilmul, bercinta, memburu
kenikmatan dan kebahagiaan. Fajar menyingsing keduanya
tidur berpelukan, lelap.
Matahari pagi sudah tinggi ketika keduanya terbangun.
Geni berburu mencari makanan. Wulan memanggang anak
kambing hutan. Geni menceritakan pengalamannya berjumpa
Gajah Watu dan Waning Hyun serta dua pangeran keraton.
"Jadi paman Gajah Watu sudah muncul di dunia
kependekaran. Dan Lembu Agra sedang menyusun rencana
jahat akan membunuh dua sesepuh perguruan. Geni, kita
harus cepat mencari mereka."
"Mencari ke mana? Lagipula, sekarang ini yang paling
penting menyembuhkan racunmu dulu, setelah itu baru kita
pergi mencari dua sesepuh itu sekalian menuju Mahameru,
aku pikir guru dan paman Gajah Watu juga bakal hadir di
Mahameru."
Hari ketiga di goa. Wulan gembira, karena tenaganya
sudah pulih seperti sediakala. Keduanya berlatih tarung. Geni
mengajari Wulan jurus Garudamukha Prasidha. Keduanya
masih tinggal di goa itu beberapa hari lagi. Dari pagi sampai
sore berlatih silat, malam hari bercinta memadu kasih asmara.
Dalam beberapa hari itu Wulan telah menguasai
Garudamukha Prasidha. Seperti pengalaman sebelumnya,
kalimat misterius Parahwanta Angentasana Dukharnaiva tetap
tidak terpecahkan. Wulan pun tak bisa menembus misteri
kalimat itu. Meskipun demikian, Wulan telah mencatat
kemajuan pesat dalam penguasaan jurus pusaka Prasidha itu.

"Kau hanya perlu berlatih melancarkan jurus dan memadukan
dengan pikiran sampai suatu saat jurus itu bisa kau mainkan
cepat dan lancar berdasarkan naluri."
Hari kesepuluh, keduanya meninggalkan goa. "Kita harus
mencari desa, membeli kebaya untuk aku, pakaianmu dan
pisau tajam untuk mencukur jenggot, kumis dan berewokmu."
Malam hari keduanya tiba di sebuah desa. Mencuri uang di
rumah orang kaya, esoknya membeli pakaian. Dalam
perjalanan menuju Mahameru, Wulan mencukur jenggot dan
brewok kekasihnya.
Hari itu, tengah bulan Srawana, limabelas hari sebelum
pertemuan Mahameru yang akan berlangsung pada hari
pertama bulan Bhadrapada. Sepasang kekasih itu tiba di hutan
pinggiran kali Beji di kaki pegunungan Tengger. Melihat air
sungai yang jernih dan udara yang sejuk, keduanya
memutuskan untuk istirahat beberapa hari. Geni berkeliling. la
menemukan sebuah goa kecil. Keduanya bekerja
membersihkan goa untuk tempat tinggal sementara. Senja
hari mereka berenang di sungai, teringat perkenalan pertama
di air terjun gunung Arjuno. Mereka bercengkerama memadu
cinta.
Malam hari keduanya duduk menghadap api unggun.
Wulan dengan rambutnya yang basah, tampak cantik berseri.
Ia bersandar di pundak Geni. "Kau masih ingat, dulu aku
pernah menceritakan dua lelaki pernah menjadi kekasihku,
tapi kau tak menanyakan siapa dan bagaimana perasaanku
pada mereka?"
"Aku ingin bertanya, tetapi takut kamu tersinggung atau
salah faham. Kupikir, aku tak perlu tahu masa lalilmu, yang
penting aku tahu sekarang kau mencintaiku, itu sudah sangat
berarti bagiku."
"Aku perlu menjelaskan ini padamu, karena kamu harus
tahu, karena kamu akan menjadi satu-satunya suamiku dan

supaya kamu membantu aku mengatasi masalah ini. Ada dua
lelaki yang pernah meniduriku. Yang pertama adalah Gajah
Watu, dia yang menikmati perawanku. Yang kedua, kamu
sudah tahu dia, Lembu Agra."
Geni terkejut. "Apa? Gajah Watu? Paman Gajah Watu?"
Wulan menghela nafas. "Ini memang sangat rahasia, tetapi
aku harus jujur padamu, cerita tentang paman Gajah Watu
cukup panjang." Wulan menangis. Geni memeluk, memegang
dagu dan menengadahkan wajah Wulan. Ia mengecup air
mata kekasihnya, kemudian mengecup mulurnya. "Tak usah
kau ceritakan aku juga tak peduli, aku tetap mencintaimu."
"Aku percaya akan cintamu. Tetapi harus kukeluarkan isi
hati ini supaya aku bebas dari pikiran yang memberatkan ini."
Ketua Lemah Tulis, Bergawa, mempunyai tiga adik
perguruan, Branjangan, Padeksa dan Gajah Watu. Sebagai
ketua dan yang memiliki ilmu silat paling mumpuni, Bergawa
punya tujuh murid, Gubar Baleman, Ranggaseta, Gajah
Kuning, Kebo Jawa, Sukesih, Lembu Agra dan Walang Wulan
Di antara tujuh muridnya, Bergawa sangat menyayangi si
bungsu Wulan. Itu sebab ia sering memerintahkan tiga
adiknya membantu melatih Wulan. Tanpa disadari Gajah
Watu, yang usianya hanya terpaut sepuluh tahun lebih tua
dari Walang Wulan, jatuh cinta pada gadis remaja yang waktu
itu berusia enambelas tahun. Suatu ketika, Gajah Watu
mengajak Wulan turun gunung mencari pengalaman. Dalam
petualangannya, Gajah Watu meniduri dan merenggut
perawan keponakan muridnya. Wulan tak berdaya malahan
lama-lama menyukainya. Selama tiga bulan perjalanan itu,
Gajah Watu memuaskan cliri meniduri Wulan.
Teringat pengalaman itu Wulan menangis. "Ia tidak
memerkosaku, tetapi ia merayuku, membuat aku lupa,
membuat aku ketagihan. Dia lelaki pertama yang menggauli
tubuhku. Lambat laun aku tahu bahwa Gajah Watu, paman

guruku itu, hanya butuh tubuhku, butuh melampiaskan
birahinya, ia tidak mencintaiku. Pada suatu hari, aku lari dan
kembali ke Lemah Tulis. Aku merahasiakan aib ini, tetapi guru
Bergawa sangat arif. Tak seorang pun bisa membohongi guru.
Entah bagaimana caranya, guru mengetahui rahasia ini."
Ketika Gajah Watu kembali ke perguruan, Bergawa
memanggilnya masuk kamar rahasia. Bergawa marah besar,
menampar, menendang Gajah Watu lalu mengusirnya pergi
dari perguruan. Tak seorang pun yang mengetahui ini. Ketika
hendak pergi dari Lemah Tulis, Gajah Watu mendatangi
Wulan. Ia minta maaf pada Wulan. Sejak hari itu Wulan
melupakan Gajah Watu. Dan rahasia itu hanya diketahui
Wulan, Bergawa dan Gajah Watu. Setelah kejadian dengan
Gajah Watu, Wulan jatuh dalam pelukan Lembu Agra, kakak
seperguruannya. Namun hubungan tidak bisa lama, karena
Lemah Tulis akhirnya hancur lebur. Beberapa tahun
mengembara, Wulan sampai di suatu tempat di mana dia
menolong seorang tua yang sedang sakit. Orangtua itu,
ternyata pendeta Panawijen, membalas budi dengan
mengajarinya Karma Amamadang ilmu melatih tenaga dalam
yang bisa membuat seorang wanita menjadi cantik berseri,
bercahaya dan awet muda.
"Mengapa kau ceritakan padaku, Wulan?"
"Aku ingin jujur padamu, sehingga jika nanti kita jumpa
paman Gajah Watu, kamu bisa membantu aku mengatasi rasa
benciku padanya." Wulan memeluk erat kekasihnya. "Geni,
bagaimanapun masa laluku, aku mohon jangan tinggalkan
aku. Begitu kamu tinggalkan aku, saat itu juga aku mati."
"Tidak, aku tak akan pernah meninggalkan kamu lagi, kita
berdua akan selalu bersama, selamanya."
"Benar?"
"Iya benar, aku bersumpah demi orangtuaku yang sudah
mati."

Wulan melanjutkan ceritanya. Setelah peristiwa itu Wulan
sangat pendiam. Ia sangat terpukul Pada saat itu Lembu Agra
yang sudah lama menaruh hati pada adik perguruannya,
menyatakan cinta. Lembu Agra berhasil mencairkan kebekuan
hati Wulan. Bujuk rayu Agra membuat Wulan membalas cinta
bahkan mau diajak bercinta. Agra menidurinya. Wulan terkejut
mendapatkan Agra beringas seperti binatang. ternyata tidak
hanya sekali, tetapi dalam setiap bercinta Agra berlaku kasar
bahkan seperu memerkosa. Wulan mulai menghindari
pertemuan. Ia sering ikut Sukesih dan Gajah Kuning
berkelana.
"Agra melamar aku, menyatakan cintanya padaku, tetapi
aku tak bisa menerimanya. Ketika Lemah Tulis porak poranda,
guru Bergawa menyuruh aku dan Agra kabur agar ilmu Lemah
Tulis tidak punah. Aku berpencar. Akhirnya aku bertualang
sendiri. Satu tahun aku belajar dari guru pendeta Panawijen,
kemudian turun gunung aku jumpa Lembu Agra. Aku berjalan
bersamanya beberapa hari, kami bercinta, hanya beberapa
hari kemudian kami berpisah. Aku masih berjumpa Gajah
Watu, aku luluh oleh bujuk rayu, dua tahun aku hidup
bersamanya. Namun sekali lagi dia memperlihatkan wataknya,
bahwa dia hanya membutuhkan tubuhku. Dia menghinaku,
aku pergi. Aku bersumpah tak akan mau ketemu Gajah Watu
lagi."
Wulan memeluk kekasihnya dan berbisik di telinganya.
"Kamu bosan mendengar ceritaku?"
Geni menggeleng kepala, "Teruskan ceritamu, supaya
semua kekesalan itu kau buang keluar."
Wulan melanjutkan. "Pertemuan terakhir dengan Agra di
bukit Lejar dan beberapa hari hidup berdua dengannya,
adalah perbuatanku yang paling bodoh. Aku ingin
melupakanmu, mengganti kamu dengan kehadirannya. Waktu
ia merayuku, aku memutuskan menjadi isterinya. Namun aku
tak bisa menggantikan dirimu, aku tetap mencintaimu Aku

bahkan tak bisa bercinta dengannya. Beberapa hari kemudian
aku tetapkan keputusan berpisah dengannya. Aku kabur dan
bertekad mencarimu. Beberapa hari lalu, ia menolong aku dari
penjahat yang telah membius aku. Sejak itu, beberapa malam
ia merayuku tetapi aku menolak halus. Aku mencari jalan
meloloskan diri. Aku tak mau memancing kemarahannya
sebab ada tanda-tanda dia hendak memerkosaku. Tetapi
malam itu ia tak bisa dikendalikan lagi, ia pasti akan
memerkosaku. Sebenarnya tak begitu menjadi masalah karena
sebelum itu pun ia pernah dan sering meniduriku, tetapi sejak
mengetahui besarnya cintaku padamu Geni, aku tak bisa
menerimanya lagi, aku merasa jijik. Itu sebab malam itu ia
akan memerkosaku, jika kamu tidak datang tepat saatnya, aku
sudah nekat bunuh diri"
Wulan menangis. Geni memeluk kekasihnya. "Sudah kau
tumpahkan seluruh isi hatimu?"
Wulan mengangguk. "Setelah kuceritakan semua ini,
apakah kamu masih mau mencintaiku, Geni?"
geni masih memeluk kekasihnya. "Tidak ada perubahan
apapun, aku tetap mencintaimu, malah sekarang aku semakin
mencintaimu setelah begitu panjang penderitaan yang kau
alami."
----ooo0dw0ooo-
Persaingan Asmara
Tiga hari di penghujung bulan Srawana sepasang kekasih
itu tiba di desa Tumpang. Siang itu banyak orang lalu lalang di

alun-alun desa. Sebagian besar adalah para pendekar, tampak
dari dandanan yang singsat dan senjata bawaannya.
Dipastikan mereka singgah dalam perjalanan ke Mahameru.
Dari desa Tumpang, jarak ke perguruan Mahameru bisa
ditempuh satu hari perjalanan cepat. Jika santai diperkirakan
dua atau tiga hari.
Saking banyaknya para pendatang yang mengunjungi desa
itu, tidak heran jika semua kamar penginapan sudah terisi.
Walang Wulan dan Wisang Geni beruntung mendapat satu
kamar yang hanya berisi satu dipan. Kamarnya sempit, dipan
juga kecil. Tetapi lebih nyaman ketimbang bermalam di hutan.
"Dua hari tinggal di sini, ditambah dua hari perjalanan ke
Mahameru maka kita akan tiba tepat pada hari pertemuan itu
berlangsung," kata Geni.
Keduanya makan malam di warung dekat alun-alun. Alunalun
itu pusat keramaian di mana banyak orang berjualan.
Mereka berjalan di antara keramaian. Sekonyong-konyong
Geni menarik tangan Wulan dan menyusup di dalam
kerilmunan orang.
Wulan heran, "Kenapa? Ada apa?"
Geni berbisik lirih. "Aku melihat Lembu Agra bersama
temannya, tak tahu berapa jumlahnya. Aku rasa tujuan
mereka juga ke Mahameru."
Wulan berbisik, "Lebih baik kita menghindari mereka, kita
kembali ke penginapan saja."
Keduanya mengambil jalan lain menuju penginapan.
Langsung masuk kamar. Wulan mengeluarkan bungkusan kue
yang tadi ia beli.
Geni berbaring di dipan. Wulan membawa kue, menyuapi
kekasihnya.
"Dipan ini sempit untuk kita berdua, kau tidur di atas, biar
aku di lantai," kata Wulan sambil mengejapkan mata.

Geni meraih tubuh kekasihnya, "Aku tak mau tidur pisah
dari kamu, kita berdua berhimpit supaya hangat. Cuma
kuharap dipan ini tidak patah atau ambruk." Ia mencium
mulut kekasihnya, tangannya merambah ke bagian dalam
kebaya.
Wulan menyembunyikan wajah di dada Geni, "Kau selalu
berhasrat meniduri aku, kau menyukainya?"
"Ya tentu saja, aku tak pernah puas, aku ingin selalu
memelukmu dan bercinta denganmu."
"Apakah kau juga punya keinginan yang sama terhadap
wanita yang kau jumpai, misalnya Sekar?"
"Kenapa menanyakan Sekar pada saat seperti ini, kau
cemburu?"
"Sedikit cemburu," Wulan mencium leher kekasihnya. "Aku
mau kamu jadikan isteri, isteri utama. Aku tak mau kamu
tinggal pergi. Aku mau tetap di sisimu, sampai kapan pun."
Geni menciumi wajah kekasihnya. "Sekarang ini, bahkan
sejak hari-hari kemarin, kamu sudah jadi isteriku. Dan tentu
saja aku tak akan pergi meninggalkanmu."
"Bagaimana dengan Sekar?"
"Sekar? Ia sudah kuberitahu bahwa ada seorang
perempuan yang paling kucinta, namanya Wulan"
"Lantas apa tanggapannya?"
"Ia menerima kenyataan ini, bahwa aku lebih
mendahulukan Wulan, bibi dan isteriku yang montok."
"Di depanku kau bicara begitu, di depan Sekar mungkin
kamu bicara sebaliknya."
"Aku akan katakan ini, mengulanginya di hadapan kalian
berdua, biar semuanya jelas."
"Tetapi Geni, usiaku lebih tua dari kamu."

"Aku tak peduli. Sudah berkali-kali kukatakan aku tak peduli
akan usiamu."
Wulan mulai terangsang. Ia menciumi tubuh Geni.
Sambil melucuti pakaian Wulan, Geni berbisik di telinga.
"Wulan, aku heran, kau mengatakan lebih tua dari aku, dan
kamu sepuluh tahun lebih muda dari paman Gajah Watu,
tetapi bagaimana mungkin kamu masih tampak seperti gadis
remaja, tubuhmu sekal, montok dan segar. Sungguh semua
orang pasti mengira usiamu masih dua puluh tahun "
Perempuan ini senang mendengar pujian dari orang yang ia
cintai. Ia memeluk Geni, "Belasan tahun lalu, dalam
pengembaraanku seorang diri, aku kebetulan berjumpa
pendeta tua dari desa Panawijen. Ia sakit parah. Aku
menolong merawatnya. Ketika sembuh ia memberiku hadiah
ilmu tenaga dalam Karma Amamadangi. Konon menurutnya
ilmu itu hanya ia sendiri yang memilikinya, dan sudah
mewariskan kepada cucunya, Ken Dedes. Jadi aku adalah
perempuan kedua yang menerima warisan ilmu dahsyat itu.
Saat itu aku tak punya tujuan hidup, perguruanku luluh lantak,
guru dan kerabatku mati semua, aku benci setiap mengingat
Gajah Watu, aku tak mau ketemu Lembu Agra. Dan karena
guruku itu tinggal sendiri, maka aku menemaninya. Satu
tahun aku berlaku sebagai anak pungut berlatih tenaga dalam
Karma Amamadangi. Setelah satu tahun dan rampung melatih
ilmu itu, aku turun gunung."
"Karma Amamadangi, semacam ilmu tenaga dalam?"
"Ilmu ini bisa membuat perempuan awet muda. Latihan
ditekankan pada pengendalian pikiran dan pengendalian hawa
nafsu. Dalam segala urusan harus bisa mengendalikan diri,
tidak marah, tidak sedih meskipun keadaan memaksa kita
untuk marah dan bersedih. Dalam urusan cinta kita harus bisa
mengendalikan diri dengan demikian bisa menikmati seni
bercinta, tidak asal mengumbar nafsu saja."

Geni teringat ketika ia membantu mengobati Wulan dengan
tenaga dalamnya Ia menemukan adanya gumpalan hawa
dalam tubuh kekasihnya yang sering berpindah-pindah seperti
bola. Gumpalan itu tak bisa dihancurkan, selalu melejit lari jika
dibentur tenaga Geni. Ia menceritakan dan Wulan mengiyakan
bahwa itulah hasil latihan Karma Amamadangi.
"Kata guru pendeta, Karma Amamadangi bisa menghasilkan
tenaga dalam ampuh apabila gumpalan itu bisa digempur
menyebar ke seluruh jalan darah. Tapi bagaimana caranya, ia
tak menjelaskan dan aku amat bodoh karena tak bertanya
Tetapi ia mengatakan, jika gumpalan itu pecah, khasiat awet
muda itu akan lenyap dan sebagai gantinya memperoleh
tenaga dalam mumpuni. Terus terang aku lebih suka tetap
awet muda supaya bisa melayanimu selamanya Supaya
tubuhku ini selalu merangsang birahimu."
Geni termenung. "Dalam dunia kependekaran memang
banyak keanehan yang tak terpecahkan, bahkan oleh orang
yang paling pandai pun. Aku yakin pendeta Panawijen itu tak
tahu cara menghancurkan gumpalan itu, jika tahu mungkin
sudah mengajarkannya kepadamu. Misteri itu hampir sama
dengan pengalamanku, lihat saja kalimat Parahwanta
Angentasana Dukharnawa juga tak terpecahkan."
"Aku tak mau kehilangan gumpalan itu, nanti aku cepat
keriput dan kamu akan pergi meninggalkan aku mencari gadis
yang lebih muda dan segar."
Geni menyusup kepalanya ke dada kekasihnya dan
menggumam lirih. "Ilmu itu hebat. Pantas kamu membuat aku
kasmaran setiap terbayang tubuhmu"
Wulan berbisik di telinga kekasihnya "Katakan dengan jujur,
aku mau kamu jujur, apakah Sekar selalu memberimu
kenikmatan asmara lebih istimewa dari yang kuberikan?"
Ia meneruskan menelusuri bagian kaki Wulan, menciumi
tumit, telapak, betis dan paha sambil berkata lirih. "Kamu

hebat bibi, tapi Sekar juga tak kalah hebat. Kalian berdua
membuat aku mabuk, dan aku bisa mabuk sepanjang hari, tak
pernah bosan."
Ciuman itu dan bisikan "bibi" itu membuat Wulan
merasakan api birahinya tak terbendung lagi. "Geni suatu saat
nanti orang akan tahu hubungan cinta kita, paman Padeksa
juga paman Gajah Watu, tak mungkin kita bersembunyi
selama-lamanya," Wulan berbisik.
Geni menggumam di antara nafasnyayang panas memburu.
"Aku akan minta restu guru Padeksa, dan ilmumkan bahwa
kamu sudah menjadi isteriku. Aku pura-pura tidak tahu
rahasiamu dengan Gajah Watu, dan akan minta restunya juga.
Kamu isteriku dan aku suamimu"
Dua hari berlalu. Kamar itu menjadi saksi bisu bagaimana
dua insan itu bercinta dengan gairah birahi yang begitu
mempesona. Hari itu, pagi-pagi sekak sepasang kekasih itu
berangkat menuju Mahameru, santai dan tidak bergegas.
Sepanjang perjalanan keduanya hanya membicarakan cinta
dan ilmu silat. Wulan makin menguasai jurus pusaka
Garudamukha Prasidha, ilmu silatnya maju pesat.
Hari masih siang ketika mereka tiba di hutan yang menjadi
batas desa Wajak. Dari jauh tampak gunung Mahameru
menjulang tinggi menembus awan seperti menopang langit.
Dari desa Wajak diperlukan dua hari perjalanan kaki untuk
sampai di lereng gunung Mahameru yang menjadi markas
perguruan Mahameru
Di jalanan setapak menuju desa, Geni melihat
pemandangan yang membuat hatinya gembira. Dari jauh
tampak dua orang sedang berjalan. Geni mengenali. Orang itu
jangkung, bahunya lebar dengan rambut digulung di atas
kepala. Tidak bisa mengendalikan diri lagi, Geni berteriak,
"Guru...."

Dua orang itu menoleh ke belakang. Ia tak salah. Orang itu
memang guru Padeksa. Tetapi Geni merasa seperti disambar
petir mengenali lelaki di samping Padeksa. Dia, Lembu Agra.
"Celaka!" Secara naluriah Geni berteriak. "Guru, awas!"
Sambil berteriak Geni melesat dengan Waringin Sungsang.
Ia bergerak pesat, Wulan tanpa sadar ikut melesat. Tetapi
Lembu Agra lebih cepat lagi Ia memukul pinggang Padeksa.
Orangtua itu tak menyangka bakal dibokong secara keji. Tadi
sewaktu Geni berteriak memperingatkan, ia sudah bersiap
datangnya serangan musuh. Tetapi ia tak melihat adanya
musuh. Ia tak menyangka jika Lembu Agra itulah yang
dimaksud Geni. Ia tak menyangka keponakan muridnya sendiri
yang membokong. Tak pelak lagi ia terpukul, pinggangnya
kena gelontor. Ia terhuyung mundur. Dari mulutnya muntah
darah segar. Lembu Agra tidak cuma memukul satu kali.
Pukulan berikutnya menyusul ke dada Padeksa. Saat itu
Wisang Geni masih terpaut jarak agak jauh.
Padeksa dalam keadaan terhuyung-huyung masih bisa
beraksi. Ia menahan nafas sambil mengirim pukulan dengan
jurus Manusup mendahului serangan lawan. Jurus Padeksa itu
cepat dan telengas. Lagipula tak perlu tenaga besar, karena
sasarannya adalah mata. Menurut perhitungan, pukulan
Lembu Agra akan sampai lebih dahulu. Itu jelas akan melumat
habis tulang dada Padeksa, orangtua ini akan mati sehingga
jari tangannya tak akan sampai menyentuh mata Lembu Agra.
Tetapi Lembu Agra tidak yakin. Bagaimana kalau
hitungannya meleset. Pasti celaka. Ia bisa kehilangan mata.
Ini resiko cedera yang lebih mengerikan dibanding kematian
misalnya. Lembu Agra tak berani menanggung resiko, ia
mengubah jurusnya. Tadinya menggunakan Sambarataka
(Rusak, kiamat) kini diganti dengan jurus Sanvakrura (Segala
Perbuatan yang buas) keduanya dari ilmu andalan Pitu
Sopakara. Gerakannya sebat, membebaskan diri dari serangan

tusukan mata, ia lalu mengirim pukulan mematikan ke pelipis
Padeksa.
Pergerakan Geni yang begitu pesat membawanya
mendekat tempat kejadian. Belum juga kaki menginjak tanah,
tanpa basa-basi lagi Geni menggelontor lawan dengan jurus
Gongkrodha. Marah, ia sangat marah, seluruh tenaga Wiwaha
membanjir keluar lewat dua tangannya. Dalam menyerang, ia
bahkan tak memikirkan lagi pertahanan. Jurus Gongkrodha
dari Garudamukha bukan jurus adu jiwa atau sama-sama
mati, tetapi tanpa sadar Geni telah mengubahnya dalam
sekejap. Dia justru mau adu jiwa, kalau perlu sama-sama mati
asalkan Padeksa lolos dari bahaya. Biasanya tangan kiri
melintang di dada untuk menjaga serangan balasan atau
untuk mengirim serangan susulan, kini Geni menggunakan
dua tangan untuk menyerang dengan tenaga Wiwahaymg
dahsyat.
Serangan ini sangat dahsyat, angin pukulannya terasa di
sekeliling. Lembu Agra terkesiap. Ia tak pernah menyangka
tenaga Geni bisa sedemikian hebatnya. Geni belum tiba tetapi
hawa pukulannya mendatangkan angin maha dingin. Lembu
Agra tak berani ayal, memutar tubuh, berjongkok dan
melentingkan tubuh ke belakang. Ia melompat mundur dan
menjauh.
Lembu Agra terpisah empat tombak. Mata Geni melotot
seperti hendak melahap mentah-mentah lawannya. Saat itu
Wulan sudah berjongkok dan memeluk Padeksa. Orangtua itu
kembali muntah darah segar, sudah empat kali. Lukanya
sangat parah. Wulan berseru, "Geni kau tolong paman guru,
biar aku yang hadapi bangsat keji dan pengecut ini."
Urat dan otot di tubuh Geni mengejang. Ia membalik tubuh
dan memondong Padeksa. Meraba nadi gurunya, ia tahu
nyawa orangtua itu di ujung tanduk. Tak ayal lagi, Geni
memeluk gurunya. Dada Padeksa ditempel ke dadanya,
kemudian mengerahkan tenaga dalam dingin. Itulah ilmu

pengobatan tingkat paling tinggi melalui penyaluran tenaga
dalam Namun ada bahayanya, pada saat itu tak boleh ada
gangguan. Sebab begitu ada gangguan yang menghalangi
penyaluran tenaga maka tenaga akan berbalik melukai
keduanya. Padeksa akan mati dan Geni akan menderita luka
dalam.
Sekilas melirik Wulan tahu keadaan Geni dan Padeksa. Ia
harus mengulur waktu. Ia menatap tajam Lembu Agra.
"Kenapa kau melakukan perbuatan sekeji itu? Siapa kamu
sebenarnya dan apa maksudmu?"
Lembu Agra tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema
seantero desa dan hutan. Bulu kuduk Wulan berdiri. Ngeri
menyaksikan perubahan wajah dan watak lelaki yang dulu
dikenalnya sebagai kakak perguruan yang santun. "Tenagamu
itu, kamu tidak seperti seseorang yang tenaga dalamnya
cacat."
"Aku tak pernah luka, dan aku tak pernah dipukul
Kalayawana, itu hanya cerita bohong!"
"Jadi kamu sekongkol dengan para penyerbu, mengkhianati
guru, menghancurkanmu sediri, kenapa?"
Sepasang mala Lembu Agra memancarkan rasa dendam.
"Aku harus membasmi semua mang Lemah Tulis, kecuali
kamu Wulan. Kamu akan kuperisteri, kamu akan menjadi isteri
ketua partai Turangga. Partai yang nantinya menguasai dunia
kependekaran dan diagung-agungkan orang."
Wulan memandang tak percaya. Wisang Geni benar. Apa
yang diceritakan Geni semuanya benar. Tetapi mimpikah dia?
Tadinya Lembu Agra begitu baik, lembut dan penuh kasih
sayang. Sifat baik itu tak ada lagi, yang tampak adalah sifat
angkara murka dan keinginan membunuh.
"Kemarilah Wulan, tetap bersama kangmas-mu ini. Kamu
akan menikmati hidup disanjung orang, semua anak buahku
akan berlutut bersimpuh di kakimu, mereka bersedia kamu

perintah meskipun harus masuk kubangan api pun. Kemarilah,
bagaimanapun juga aku tetap mencintaimu, cintaku tak
pernah akan luntur."
Wulan berteriak, "Berhenti di situ, jangan maju lagi. Kamu
maju lagi, kita adu jiwa."
"Kenapa kau begitu ketus. Kamu bukan lawanku. Tak ada
gunanya melawanku, lebih baik menjadi isteriku daripada
menjadi lawanku. Jangan kepincuk dengan bocah ingusan itu.
Aku lebih pengalaman dan lebih hebat dari Wisang Geni yang
masih ingusan itu."
"Seorang pendekar harus berani berterusterang, mengapa
kamu membokong paman Padeksa, mengapa memusuhi
Lemah Tulis?"
"Kamu ikutan gila! Dengar Wulan, ketika kakek gurilmu,
Rama Bakwan bersama empat muridnya dan orang-orang
Lemah Tulis lain menumpas habis perguruan Turangga,
membasmi dan membunuh orangtua dan sanak keluargaku,
semua murid perguruanku, apakah waktu itu ada yang
mempertanyakan tentang sikap pendekar? Pembasmian itu
membuat aku sengsara, anak kecil usia sepuluh tahun,
sebatangkara dan lemah di tengah kehidupan pendekar yang
keras dan kejam. Puluhan tahun aku memendam dendam ini."
Wulan mendelik. Dia gemetar menahan marah. "Jadi kamu
sudah lama menyusup ke Lemah Tulis?"
Lembu Agra tertawa. "Kamu cerdik Wulan, kamu mau
mengulur waktu sementara laki-laki binatang itu menolong
Padeksa. Usahamu percuma, pukulan Pitu Sopakara tak ada
obatnya, Padeksa akan mati!"
Sekali lagi Wulan terkejut. Lembu Agra benar-benar
menguasai ilmu sesat itu. "Ketika romo guru memaksa kita
berdua melarikan diri saat Lemah Tulis sudah tak mungkin
dipertahankan lagi, waktu itu romo guru mengatakan adanya

seorang murid pengkhianat yang meracuni air minum dengan
racun pelemas tulang, kamu kah pengkhianat itu?"
Agra tertawa sinis. "Huh siapa lagi kalau bukan aku. Tak
ada orang yang bisa menerobos Lemah Tulis, yang paling
mungkin adalah perbuatan orang dalam Bergawa memang
pintar, tetapi aku lebih pintar. Hari itu, saat meracuni gudang
air minum, sungguh aku bahagia. Belasan tahun aku
memendam dendam berdarah ini, pura-pura belajar ilmu silat
dari Bergawa, tetapi aku diam-diam melatih Pitu Sopakara
ilmu warisan leluhurku."
Mata Wulan merah, air mata membasahi pipinya. Ia
gemetar. Tangannya mencabut keris di pinggang. Padeksa
dan Geni yang sedang berkutat dalam proses penyembuhan
ikut mendengar semuanya. Tubuh Padeksa gemetar menahan
amarah. Geni pun tak sanggup menahan rasa gemasnya.
Inilah murid pengkhianat yang dicari-cari selama ini. Tubuh
Padeksa semakin gemetar, bergetar hebat. Geni mencelos,
gurunya dalam keadaan kritis. Mendengar kisah
pengkhianatan itu perhatian Padeksa terpecah. Hal ini bisa
mencelakakan mereka berdua. Geni cepat mengempos seluruh
tenaga dingin ke tubuh gurunya.
Lembu Agra tertawa. "Padeksa, percuma tak ada obatnya,
kamu akan mati, aku titip pesan agar di kubur nanti kau
beritahu Bergawa dan Branjangan apa yang kuceritakan tadi."
Wulan tak bisa mengendalikan diri lagi. Ia melesat
menyerang Agra. Keris di tangannya mematuk semua jalan
darah kematian. Lembu Agra berkelit sambil berkata sinis.
"Kau bukan tandingku, keris itu cuma mainan anak-anak.
Lebih baik jadi isteriku, kamu sudah merasakan
keperkasaanku di tempat tidur, ketika itu kamu mendesah
berteriak saking nikmatnya, kau sudah lupa itu? Wulan aku
lebih perkasa dari bocah ingusan itu!"
Wulan merasa malu sekaligus marah dan kalap. "Lelaki
jahanam ini harus kubunuh," katanya dalam hati Ia

menyerang gencar, tetapi dengan penuh perhitungan. Ini
pertarungan hidup atau mati, dan bukan hanya menyangkut
dirinya namun juga nyawa Wisang Geni dan Padeksa. Dua
orang itu tak boleh diganggu. Dan semua itu tergantung pada
dirinya seorang. Seberapa lama ia bisa bertahan dan mengulur
waktu. Tetapi sampai kapan Geni bisa menyelesaikan
pekerjaannya menolong Padeksa? Wulan tak mau berpikir
lebih lanjut, ia tahu peluangnya tipis, awan kematian sudah
muncul seperti mendung tebal yang menutup cahaya mentari.
Lembu Agra juga tahu tak ada lagi sesuatu yang bisa
menghalangi kemenangannya. Ia tak bergegas. Ia menguasai
keadaan dan waktu. Ia bisa menjatuhkan hukuman mati
kapan ia mau. Ia menikmati saat-saat kemenangannya, saat di
mana dia adalah pemegang keputusan hidup dan mati orang
lain! Ia telah memutuskan Geni dan Padeksa mati! Wulan
harus hidup!
Wulan bertarung dengan tekad bulat. Ia tahu kepandaian
lawan lebih unggul. Karenanya ia lebih mementingkan
bertahan ketimbang menyerang. Yang perlu baginya adalah
mengulur waktu sampai Geni selesai menolong Padeksa. Ia
tak peduli seandainya harus bertarung sampai titik darah
penghabisan, sampai ajal menjemputnya. Pikiran ini
membuatnya lebih tenang.
Geni melihat perkembangan yang tidak menguntungkan
pihaknya. Padeksa sudah agak lumayan tetapikeadaanya
masih kritis. Kesalahan sekecil apa pun, bisa menyebabkan
gurunya tewas. Ia tak mungkin menghentikan pengobatan. Ia
juga tahu, Lembu Agra memegang kendali waktu. Begitu Agra
menyerang, Wulan pasti akan kalah.
"Rupanya kau masih saja menyukai bocah ingusan itu.
Padahal dewa sudah menetapkan kamu akan menjadi isteriku.
Mau atau tidak mau, kamu akan kupaksa! Sekarang kamu
harus menjadi milikku! Awas serangan!"

Hawa pukulannya menebar bau bacin. Serangan ganas.
Tetapi pada batas-batas tertentu ia menahan diri agar tidak
melukai Wulan. Hal ini tentu saja sangat membantu Wulan
meski dalam hati ia sangat marah lantaran dipandang remeh.
Wulan mengerahkan segenap kemampuan. Ia tak lagi
memikirkan hidup. Lebih baik mati daripada tertawan hiduphidup.
Duapuluh jurus berlalu. Wulan mulai terdesak mundur
ke arah Geni. Jarak dengan Geni semakin dekat, hanya
terpaut satu kaki. Suatu saat ketika Wulan mengelak dengan
gerakan menyamping, Lembu Agra menggunakan peluang
dengan melepas pukulan ke arah Geni. Wulan terkesiap. Ia tak
bisa menolong karena terpisah oleh jarak. Secara naluriah ia
menyambit kerisnya ke dada lawan. Lembu Agra tak peduli,
tetap menyerang Geni, pikirnya sekali pukul Geni dan Padeksa
modar. Keris itu bergerak lurus mengeluarkan kesiuran angin
keras. Mendadak saja Lembu Agra menjerit. Ia melompat
mundur. Matanya melotot menatap Geni. Dahi dan mulutnya
mengeluarkan darah. Ia bahkan meludahkan dua giginya yang
patah. Apa yang terjadi?
Tadi pada saat Lembu Agra menyerang. Geni sebenarnya
sudah pasrah. Lantas matanya sempat melihat empat butir
batu tergeletak di tanah dekat tangannya. Ia berlaku nekad.
Tak ada bedanya ia tetap akan mati, kecuali jika peluang ini
bisa dimanfaatkan. Ia memindahkan seluruh tenaga ke tangan
kanan yang memeluk Padeksa, tangan kiri yang tak bertenaga
turun, meraup empat kerikil. Lalu tenaganya dikembalikan
pada posisi sebelumnya, jeriji tangan kiri menyentil ke arah
lawan. Semua gerakan dilakukan dengan cepat dan tepat.
Tenaga Wiwaha memperlihatkan keajaiban.
Lembu Agra tak mengira Geni bisa menyerang. Dua batu
pertama dengan tepat menghantam dahi dan mulurnya. Agra
terkejut bagai disambar halilintar. Tetapi ia hebat, ia bisa
mengelak dua batu susulan begitupun lemparan keris Wulan.

Untung bagi Agra, sentilan itu tidak sempat menggunakan
tenaga sepenuhnya, hanya sebagian tenaga saja. Meskipun
demikian cukup membuat semangat Agra terbang sesaat. Ia
kalap. "Kubunuh kamu anak jahanam!"
Saat itu Wulan sudah bergerak menghadang di depan Geni.
Kali ini Agra menyerang dengan jurus ganas dan tenaga
penuh, ia cuma ingin melumat mati Geni dan Padeksa. Mati
dengan sekali pukul. Ia melihat Wulan menghadang, tetapi ia
tak bisa lagi menarik pukulannya yang bertenaga besar.
Pukulan itu akan melanda Wulan terlebih dahulu, baru
menyusul Geni dan Padeksa.
Di saat kritis itu, Geni memegang tumit Wulan sambil
berbisik, "Wulan mainkan jurus Mangapeksa.
Wulan sedang bingung. Ia mendengar bisikan Geni, tetapi
bisikan Mangapeksa (Menanti) didengarnya sebagai Agniwisa
(bisa api). Dua jurus itu agak mirip sebutannya. Jurus
Mangapeksa dari Garudamukha adalah jurus menanti
serangan untuk kemudian mengirim serangan balik. Sedang
jurus Agniwisa adalah tamparan kemarahan dari
Garudamukha Prasidha.
Pada saat Wulan memainkan jurus Agniwisa saat
bersamaan tenaga maha panas Geni sudah menerobos melalui
tumit kakinya merangsak ke seluruh tubuh dan bermuara pada
dua tangan yang sedang memukul. Akibatnya luar biasa.
Lembu Agra mengeluh dan terpukul mundur dua langkah.
Matanya kunang-kunang, tubuhnya terasa panas seperti
terbakar matahari terik. Kalau saja dia tidak cepat melangkah
mundur menyeimbangkan pukulan, bisa-bisa dia terluka.
Ini gila bagaimana mungkin Wulan mendadak bisa punya
tenaga sehebat itu. Dari mana datangnya tenaga Wulan itu?
Dan jurus apa tadi yang digunakan Wulan, jurus aneh tetapi
sangat ampuh? Dia memang tak pernah mengenal dan belum
sempat mempelajari Garudamurkha Prasidha yang handal itu.

Mata Lembu Agra menangkap sebab musababnya. Tangan
Wisang Geni memegang tumit kaki Wulan. Rupanya dari situ
Wulan memperoleh tenaga besar itu.
Tetapi ia tetap saja heran, tak mungkin ada kejadian aneh
begitu. Geni sedang menolong Padeksa dengan pengerahan
tenaga dalam, tak mungkin bisa membantu tenaga dalam
lewat tumit kaki Wulan. Karena begitu Geni mengalihkan
sedikit saja perhatian apalagi tenaga dalamnya ke tempat lain,
maka Padeksa akan muntah darah. Dan Geni pun akan
menderita luka dalam yang parah akibat tenaga dalamnya
yang memukul balik.
Bukan cuma Lembu Agra yang heran, Geni dan Wulan pun
tak habis heran. Tadi sebenarnya ketika Geni menyambit
dengan batu, ia berlaku nekad lantaran keadaan kritis. Pada
pikirnya ia pasti akan mendapat luka dalam karena
mengalihkan tenaga dengan menyambitkan batu. Tetapi aneh,
kenyataannya ia sama sekali tidak luka. Itu sebabnya Geni
kembali berlaku nekad, untung-untungan. Pikirnya, serangan
Agra sudah pasti akan menelan korban, bukan cuma Wulan
saja bahkan dia dan Padeksa pun ikut tewas. Apa salahnya
kalau adu untung, siapa tahu kejadian seperti tadi terulang
kembali?
Ternyata tak ada tenaga membalik yang melukai tubuhnya.
Tentu saja Geni heran sekaligus gembira. Ini penemuan aneh,
suatu bukti hebatnya tenaga Wiwaha yang diwarisinya dari
pendekar Lalawa. Sekarang ia tahu, tenaga Wiwaha panas dan
dingin sudah menyatu dalam tubuhnya tetapi pada saat
tertentu bisa memisahkan satu sama lain. Tenaga dingin tetap
membantu Padeksa, sementara tenaga panas membantu
Wulan menghadapi tenaga Lembu Agra
Keajaiban Wiwaha itu telah menolong Geni. Kesalahan
Wulan mendengar bisikan Geni sehingga melancarkan jurus
Agniwisa dari ilmu Prasidha juga bagian dari keberuntungan.
Dua keberuntungan ini tak hanya menolong Wulan, Geni dan

Padeksa dari bahaya maut tetapi juga memukul mundur
Lembu Agra
Memang aneh. Tadinya Geni apalagi Wulan, tak bisa
memainkan jurus Prasidha dengan pengerahan tenaga penuh
lantaran intisari kalimat Parahwanta Angentasana Dukharnawa
belum terserap. Tetapi kenapa tadi itu jurus Agniwisa bisa
dimainkan dengan tenaga penuh, tenaga panas Wiwahayang
sampai memukul mundur Lembu Agra
Sebabnya tidak lain karena Prasidha pada prinsipnya adalah
ilmu meminjam tenaga dari luar yang diolah dengan tambahan
tenaga sendiri menjadi serangan balik. Dan karena Wulan
yang memainkan jurus sedang tenaganya adalah tenaga Geni,
maka jurus itu bisa dimainkan sempurna dengan tenaga
penuh. Sayang sekali Geni tidak mengerti sebab musabab
keberhasilan jurus tadi, dan ia pun tak punya waktu
memikirkan keberhasilan dan keajaiban tadi. Lembu Agra pun
tak mau berpikir mencari tahu sebab musabab jurus yang
membuat ia terpukul mundur.
Lembu Agra melotot. Ia bisa menebak sebagian saja. Ia
tahu di belakang Wulan ada tenaga Geni. Artinya kalau ia
menyerang hebat maka ia akan adu tenaga batin dengan
Geni. Dalam hal ini Wulan pasti tak akan terluka. Ia memang
tak mau Wulan sampai luka parah atau tewas. "Tetapi
kalaupun Wulan sampai terluka ya apa boleh buat.
Bagaimanapun juga aku harus tuntaskan urusan ini. Kalau
Geni dan Padeksatak kubunuh sekarang, kelak mereka akan
menjadi musuh berat. Mumpung sekarang ada kesempatan."
Berpikir demikian Lembu Agra segera melangsir serangan
dahsyat Salah satu jurus paling mematikan dari Pitu
Sopakarayakm Taragnyana (Penenung yang mendatangkan
penyakit). Jurus ini mengandung sihir ilmu hitam, membuat
lawan terpesona padahal justru terancam kematian. Hawa
pukulan Lembu Agra yang berbau bacin telah menenung

Wulan, membuat perempuan ini terlena. Pada saat kritis itu
Geni berteriak. "Gunakan Sanakanilamarta”
Wulan yang sedang tertegun, kaget mendengar bentakan
Geni. Suara itu menerobos menghantam gendang telinganya
menggugah sarafnya. Bagai robot Wulan segera mainkan
Sanakanilamarta (Sebesar angin yang terkecil) salah satu jurus
dari Garudamukha Prasidha itu. Terdengar benturan tenaga.
Lembu Agra terhuyung mundur empat langkah. Ia tak
percaya. Ia memandang Geni dan Wulan bergantian. Matanya
merah beringas tetapi wajahnya pucat. Dari mulutnya
menetes darah. Tanpa sepatah kata pun ia berbalik tubuh dan
kabur.
Geni melepas pegangan pada tumit Wulan, menarik pulang
tenaganya. Wulan seperti kehilangan tenaga, jatuh terduduk
lemas. Ia mendelong memandang Geni. Lelaki ini tersenyum,
kemudian memejamkan mata, memusatkan perhatian pada
Padeksa.
Kejadian begitu mengejutkan, serba cepat dan dadakan.
Tarung tadi sangat mencekam telah membuat Wulan lemas.
Ia lelah, tenaganya terkuras banyak. Batinnya juga terpukul.
Memang ia tidak mencintai Agra, tetapi kenyataan kakak
perguruan yang bersamanya belajar ilmu silat di Lemah Tulis,
ternyata seorang pengkhianat dan pengecut rendah, sangat
memukul batinnya.
Tadinya ia sulit percaya Lembu Agra adalah penyusup dari
partai Turangga, yang punya niatan jahat menghancurkan
Lemah Tulis dan semua orang-orangnya. Tetapi kenyataan itu
sulit dipungkiri. Lembu Agra adalah pengkhianat kotor yang
moralnya lebih rendah dari binatang melata. Wulan sangat
terpukul, karena ia pernah berpikir akan menerima lamaran
Agra dan menjadi isterinya. Apa jadinya kalau sampai
kejadian. Apa yang akan diperbuatnya jika di belakang hari ia
mengetahui suaminya adalah pengkhianat yang telah

mencelakakan gurunya dan seisi perdikan Lemah Tulis. Diamdiam
ia bergidik, bulu romanya berdiri, tubuhnya menggigil.
Membuang pikiran tadi, ia menatap Wisang Geni. Dilihatnya
lelaki itu sedang memejam mata, tangannya nempel di dada
Padeksa. Ia takjub mendengar suara nafas Geni yang teratur,
hilang dan timbul, lembut dan perlahan. Pertanda tenaga
dalamnya sulit diukur. Setahu Wulan, hanya mendiang
gurunya saja yang tenaga dalamnya mumpuni seperti itu.
Wulan menoleh ke Padeksa yang masih berada di pangkuan
Wisang Geni. Orangtua itu kelihatan membaik. Matanya
terpejam. Nafasnya teratur meskipun kadang tersendat.
Wajahnya yang tadinya pucat bagaikan mayat kini mulai
memerah dan berkeringat
Wulan menghela nafas lega Ia memandang kekasihnya
dengan mata berkaca-kaca Ia merasa semakin mencintai lelaki
itu, cintanya makin subur. "Sungguh, aku tak bisa hidup tanpa
dia," gumamnya dalam hati. Ia memejamkan mata, semedi,
menghimpun semua tenaganyayang sudah cerai-berai
disebabkan pertarungan keras dan pertentangan batin dalam
dirinya
Matahari mulai doyong ke Barat. Wulan sudah selesai
semedi. Ia bangkit dari duduk, melonjorkan kaki dan tangan.
Tubuhnya terasa segar. Ia melirik Geni dan Padeksa Geni tak
lagi memeluk sang guru. Posisinya berubah. Padeksa sudah
bisa duduk bersila Geni bersila di belakang gurunya, dua
tangan menempel di punggung gurunya Keduanya masih
memejam mata
Tidak lama kemudian ketika matahari sudah hampir
tenggelam dan hari sudah mulai gelap, dua orang itu
membuka matanya "Guru, bagaimana keadaanmu sekarang?"
Geni bertanya
"Lumayan, sudah membaik."

"Guru, racun pukulan itu sudah keluar semuanya Keadaan
sudah tidak berbahaya lagi, tetapi masih butuh waktu untuk
memulihkan tenagamu. Aku akan membuat ramuan yang
harus di minum."
Padeksa menghela nafas. Wajahnya tampak kesal. "Tak
kusangka justru Lembu Agra, murid yang berkhianat itu. Geni
tadi kamu berteriak memperingatkan aku, dari mana kau tahu
bahwa dia akan membokong aku?"
Agak tersendat Wisang Geni menceritakan kejadian ketika
ia secara kebetulan mengintai pertemuan partai Turangga.
Namun ia tidak menceritakan bagian yang melibatkan Wulan.
Belum waktunya, pikir Geni.
Melihat paman gurunya sudah sehat, Wulan menghampiri
memberi sungkem "Terimalah sungkem keponakan muridmu,
Walang Wulan. Paman, tadinya aku juga sulit mempercayai
bahwa Lembu Agra adalah pengkhianat busuk itu."
"Kamu tidak salah, mungkin aku juga sulit mempercayai
Geni karena tampaknya mustahil. Tidak mungkin Lembu Agra
berkhianat Tetapi pada akhirnya kebenaran pun muncul.
Rahasia siapa pengkhianat itu terungkap lewat pengakuannya
sendiri." Dia menoleh memandang Geni dengan pandangan
menyelidik. "Tenaga dalammu sangat tinggi dan aku yakin itu
bukan pengajaran dari Lemah Tulis, dari mana kau pelajari
itu?"
Suaranya tegas berwibawa. Memang ada peraturan Lemah
Tulis, bahkan mungkin di semua perguruan pada masa itu,
seorang murid dilarang belajar ilmu silat dari orang lain tanpa
seijin gurunya. Geni merunduk. Ia menceritakan semua
pengalaman sejak luka parah oleh Kalayawana dan dua
pendekar India, kemudian terdampar di lembah kera dan
mempelajari tenaga Wiwaha-warisan pendekar tanpa tanding
Lalawa.

Padeksa mendengar cermat bahkan juga bagian Geni
menemukan tari Kinanti yang menyempurnakan Garudamukha
Prasidha jurus pusaka Lemah Tulis. "Sudah suratan Dewa! Tak
salah firasatku!"
Sepasang kekasih memandang orangtua itu dengan heran,
tak mengerti Padeksa tertawa. Suaranya ringan, tidak
bertenaga karena tubuhnya masih lemah. "Kamu sudah
disuratkan Dewa akan tampil sebagai penyelamat Lemah Tulis.
Aku yakin sekarang, kamulah Wisang Geni, murid yang akan
membangun kembali kejayaan perguruan, mengangkat Lemah
Tulis dari keterpurukan sekian lama ini. Kalau kau tunaikan
baktimu untuk perguruan dan menuntaskan semua tugasmu,
aku akan mati puas. Tidak percuma aku mendidikmu."
Wisang Geni menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya,
memegang lutut gurunya. "Guru, aku tidak berani...."
Kalimat itu tidak selesai karena Padeksa memotong.
"Berdiri Geni, berdirilah dan terima tugasmu dengan jantan.
Seorang lelaki sejati, pendekar sejati, tak akan pernah
menolak tugas seberat apa pun yang diberikan kepadanya.
Sekarang kamu masih memanggil aku sebagai guru, tetapi tak
lama lagi kau akan menjadi ketua Lemah Tulis. Aku hanya
perlu berjumpa dengan dimas Gajah Watu untuk menjelaskan
persoalan ini. Ia pasti setuju!"
Mendengar nama Gajah Watu disebut mendatangkan
perasaan berbeda dalam sanubari sepasang kekasih itu. Wulan
merasa kikuk, bagaimana menghadapi Gajah Watu yang
pernah melampiaskan nafsu bejat menikmati tubuhnya. Geni
senang lantaran bisa menceritakan pertemuannya dengan
paman gurunya itu. Tak lupa ia menceritakan pengalaman
Gajah Watu yang didengarnya sendiri dari cerita paman
guruku. Malam hari ketiganya menginap di rumah salah
seorang penduduk di batas desa. Keadaan Padeksa membaik.
Lukanya sembuh hanya tinggal tenaganya saja yang belum

pulih. Geni memperkirakan tiga bulan lagi baru tenaga sang
guru bisa pulih.
Pertemuan dengan Padeksa dimanfaatkan dua sejoli itu
untuk bertanya segala sesuatu tentang ilmu silat terutama
menyangkut Garudamukha Prasidha. Tapi dari Padeksa tidak
banyak yang bisa diperoleh. Hal ini semakin membuat Wisang
Geni penasaran. Kenapa Prasidha tak bisa dimainkan, kenapa
begitu sulit?
"Ilmu kelas atas, sulit dipelajari, apalagi ilmu pusaka
perguruan kita. Banyak ilmu yang untuk mempelajarinya harus
menyita seluruh ilmur kita. Itu sebab mengapa banyak orang
tersesat atau mati saat berlatih lantaran bernafsu menguasai
ilmu. Padahal tak seharusnya demikian. Ilmu itu harus
dipelajari dengan tekun, teliti dan penuh kesabaran," kata
Padeksa
"Guru, jurus Prasidha itu tak bisa dimainkan dengan tenaga
dalam sepenuhnya. Aku dan Wulan tak pernah bosan
mencoba tetapi selalu gagal. Mungkin lantaran belum
memahami makna kalimat Parahwanta Angentasana
Duk.harnawa maka aku tak bisa memainkan Prasidha dengan
tenaga penuh."
"Ada lagi yang aneh, tadi ketika terdesak, aku memegang
tumit Wulan, mengerahkan segenap tenaga Wiwaha dan
hasilnya bagus, pukulan Prasidha telah melukai Lembu Agra
Tenagaku bisa keluar sempurna melalui tubuh Wulan, tetapi
aku tak bisa memainkannya dengan tenagaku sendiri, ini
sungguh aneh, guru?"
Kemudian Padeksa menyuruh Geni memainkan
Garudamukha Prasidha. Orangtua itu membayangkan kembali
penuturan Manjangan Puguh yang pernah melihat jurus
Prasidha ketika Eyang Sepuh Suryajagad merobohkan
pendekar Lahagawe. Tapi Padeksa bagai membentur tembok,
makna kalimat Parahwanta A ngentasana Dukharnawa sebagai
inti pemahaman jurus Garudamukha Prasidha tetap tak bisa

ditembus. "Guru, apa hebatnya ilmu Pita Sopakara dan kenapa
hawa pukulannya berbau busuk? Tadi Wulan bersikap aneh, ia
seperti ditenung ketika diserang Lembu Agra. Mungkinkah
jurus itu mengandung sihir ilmu hitam?"
"Semua ilmu pada mulanya bersih tetapi bila jatuh di
tangan orang jahat akan berubah menjadi ilmu yang
membinasakan. Bila jatuh ke tangan orang bersih akan
digunakan untuk membela keadilan. Ilmu Pita Sopakara pada
mulanya diciptakan seorang pendeta asal India sekitar duar
atus tahun lalu. Aku tidak tahu persis ilmu itu, tapi konon ada
tujuh tingkatan untuk mencapai kesempurnaan. Entah
bagaimana ilmu itu jatuh ke tangan seorang pendekar
kalangan hitam bernama Turangga. Ia sakti luar biasa, konon
ia sampai di tingkat tujuh. Di tangan Turangga, ilmu itu
menjadi senjata pembunuh yang mengerikan. Ia
menggabungkan unsur racun dan sihir ke dalam ilmu Pita
Sopakara yang tadinya begitu lurus dan bersih."
"Kenapa ia begitu mendendam Lemah Tulis?"
"Itu permusuhan turun temurun. Dalam pertarungan
terbuka, satu lawan satu, Turangga babak belur dihajar Eyang
Harsa, kakek guruku yang menggunakan jurus Prasidha. Ia
luka parah, sebelum kabur ia bersumpah akan balas dendam
Tapi ia mati satu bulan kemudian. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;