Sabtu, 17 Mei 2014

wisanggeni 27

Tiba-tiba Geni ingat kata-kata Gayatri. "Dia sendirian di luar
sana, tak punya siapa-siapa." Ingat kata-kata itu dan menilai
penolakan Prawesti, Geni sekarang mengerti apayang harus ia
lakukan. "Westi, kamu sekarang kurang ajar, berani panggil
aku, Geni, kamu tak lagi memanggil ketua atau Mas Geni."
"Kau bukan lagi ketua bagiku, aku sudah bukan murid
Lemah Tulis lagi, aku diejek orang, semua gara-gara kamu."
"Kamu harus ikut aku, harus ikut, kamu harus hidup
bersamaku, berempat bersama Sekar dan Gayatri."
Prawesti melotot memandang Geni. "Dengar Geni, aku tak
mau dikasihani oleh Gayatri atau Sekar, aku tak mau kamu
kasihani."
"Siapa bilang aku kasihan padamu." Berkata demikian Geni
memeluk erat Prawesti, menjambak rambutnya, dan mencium
mulutnya. Prawesti berontak, tetapi makin lama makin lemah.

Gadis itu bereaksi dengan bernafsu. Geni memperlakukan
Prawesti dengan kasar dan penuh nafsu. Dua anak manusia
itu tenggelam dalam nafsu birahi yang tak pernah kunjung
padam.
Tengah malam, saat bulan bersinar terang, cahayanya
menerobos sela-sela dinding air terjun sedikit menerangi goa.
Prawesti terbaring lemas di sisi Geni. Mendadak gadis itu
berbalik dan menerkam Geni, ia menampar pipi Geni. Ia
terkejut karena Geni tidak menangkis. Ia mengelus pipi lelaki
itu. "Kenapa kamu tidak menangkis?"
"Untuk perempuan yang kucintai, kalau hanya sekali
tamparan, tidak berarti apa-apa."
"Kamu bohong Geni, kamu tidak mencintaiku, kamu hanya
menganggap aku sebagai pelampiasan nafsumu saja."
"Tidak Westi, tidak benar itu. Aku mengejarmu karena ingin
memperbaiki kesalahanku, sekarang ini aku memaksa kamu
ikut bersamaku, kembali ke Lemah Tulis dan setelah itu kita
berempat, aku, kamu, Sekar dan Gayatri pergi dari Lemah
Tulis, kita hidup menyendiri, hanya berempat."
Prawesti mengelus bulu dada Geni. "Kamu sudah meniduri
aku, bagaimana kalau Gayatri dan Sekar tahu, mungkin...."
Geni memotong, "Gayatri dan Sekar mengikuti apa mauku,
lagi pula keduanya yang menganjurkan aku membawamu
pulang."
"Jadi semua ini anjuran dua isterimu itu, bukan
kemauanmu?"
Geni memeluk erat gadis itu. "Tentu saja itu kemauanku,
kamu kan tahu berada di dekatmu saja aku sudah
terangsang."
Gadis itu menggigit bahu kekasihnya. "Kamu selalu
mengucapkan kalimat itu kepada setiap gadis."

Geni tertawa geli. Prawesti mencium leher kekasihnya.
"Geni jawab yang jujur, siapa yang lebih kau cintai Sekar atau
Gayatri?"
"Mengapa kamu tidak menempatkan namamu ke dalam
pertanyaan itu?"
"Aku tahu diri. Sejak awal aku hanya meminta menjadi
pelayanmu, berada di sisimu. Aku tahu kamu mencintai dua
perempuan itu, aku tidak masuk hitungan. Jawablah dengan
jujur, siapa yang lebih kaucintai, Sekar atau Gayatri?"
"Aku akan berkata jujur, memang aku mencintai Sekar dan
Gayatri. Dan di antara mereka berdua, aku merasa aku lebih
mencintai Sekar."
"Apa kelebihannya yang membuat kau begitu mencintai
Sekar?"
Tanpa sadar Geni menjawab, "Sekar tidak pernah meminta,
dia selalu memberi, dia memberi semangat, kenikmatan dan
kebahagiaan. Dia mencintai aku, tetapi dia tidak cemburu, dia
memberiku kebebasan."
"Alasan itu bisa dimengerti, tetapi aku pikir pasti ada yang
istimewa dalam diri Sekar, dia sangat cantik, aku belum
pernah melihat perempuan secantik dia, apakah karena
kecantikannya?"
Geni menjawab tanpa ragu, "Dia sangat cantik."
Prawesti melanjutkan, "Gayatri, bagaimana dengan
Gayatri?"
"Gayatri cerdas," Geni menceritakan bagaimana Gayatri
menyelamatkan dia dari fitnah.
Mendadak saja Prawesti teringat sesuatu, dia melompat
berdiri dan berkata dengan suara parau dan gugup. "Geni, di
mana Gayatri sekarang ini?"
"Di Lemah Tulis, mengapa?"

"Kamu cepat pulang ke Lemah Tulis, Gayatri dalam bahaya,
cepat, jangan terlambat, isterimu dalam bahaya, aku nanti
menyusul."
"Ada apa? Bahaya apa?"
"Ekadasa, dia dendam padamu, dia merencanakan
membunuh Gayatri pada saat kau tidak ada di samping
isterimu. Cepat Geni, tak ada waktu lagi, pergi cepat, aku akan
menyusul."
Kendati belum mengerti sepenuhnya, saat itu juga Wisang
Geni berkelebat pergi. Ia menggelar ilmu ringan tubuh yang
paling tinggi.
"Gayatri dalam bahaya, tak mungkin, dia aman di Lemah
Tulis, ada kakek, ada Sekar dan anak murid yang pasti akan
membelanya. Tetapi ada apa dengan Ekadasa apakah dia
yang mau membunuh Gayatri, hmmm, biar ada sepuluh
Ekadasa juga tak akan ungkulan menghadapi Gayatri. Tetapi
isteriku itu baru saja sembuh dari luka dalam, apakah ia sudah
bisa bertarung seperti sediakala, tetapi Sekar ada di
sampingnya, lalu mengapa Prawesti begitu tegang dan
menyuruh aku cepat pergi melindungi Gayatri?"
Banyak pertanyaan yang simpang siur di benak Geni,
namun lelaki ini tak membuang-buang waktu. Ia mengempos
seluruh tenaga dalamnya dan berlari dengan ilmu ringan
tubuh paling tinggi. Di tengah jalan ia berjumpa dua
pengendara kuda. Sambil mengucap maaf, Geni menyerobot
seekor kuda dan memacunya menuju Lemah Tulis. Makin
cepat makin baik.
---ooo0dw0ooo---
Pagi hari itu ketika Wisang Geni meninggalkan Lemah Tulis
mencari Prawesti, sesaat kemudian Jayasatru keluar dari pintu
gerbang. Ia menuju ke rumah penduduk menemui seorang

lelaki muda. Tak lama berselang, lelaki itu menulis sesuatu di
secarik kulit tipis, menggulungnya sampai kecil, mengikatkan
di kaki burung elang. Burung itu terbang pergi Jayasatru
kembali ke perguruan setelah sebelumnya mampir di sebuah
warung.
Burung elang itu meluncur turun dan hinggap di tangan
seorang punggawa Tumapel. Dia, seorang lelaki tegap
bertelanjang dada memperlihatkan tubuhnya yang bidang.
Dia, punggawa Tumapel kesembilan, berjuluk Nawa si
Tombak, nama aslinya Margana. Ia berteriak ke dalam rumah.
"Jeng, sudah ada berita!"
Dari dalam rumah keluar Ekadasa, tangannya memegang
erat selembar kain yang hanya dililitkan di tubuh montoknya.
Ia menempelkan tubuh ke punggung Nawa. "Coba bacakan!"
Nawa mengambil sekerat daging, memberinya kepada si
elang, mengambil kulit yang terikat di kaki burung. Ia
membacanya, "Geni sudah pergi?”
Nawa berbalik, memeluk Ekadasa. "Ayo kita berangkat
sekarang."
Perempuan itu mendesah, "Nanti siang-siang saja kita
berangkat aku masih mau tiduran lagi." Sambil tertawa
cekikikan Ekadasa menarik lengan Nawa masuk rumah.
Sebuah rumah darurat di tepi hutan dekat desa Diwek,
delapan orang sedang tiduran. Lelaki kecil pendek dengan
rambut panjang dikuncir berjalan mondar mandir. "Sudah dua
hari kita menanti, aku sudah tak sabaran lagi, aku ingin
melumat perempuan asing itu, sudah dua tahun ini aku
mencarinya. Tak lama lagi dendam isteri dan selirku akan
terbalas. Tetapi mengapa begini lama?"
"Atirodra, aku juga sudah tak sabaran. Kita tidak saja diberi
kesempatan balas dendam malahan dijanjikan menjadi
punggawa Tumapel, wuah bisa pesta setiap hari, duit
berlimpah dan kapan saja kita mau perempuan pasti tersedia,"

tukas lelaki tinggi jangkung dengan wajah tirus macam burung
elang. Julukannya juga seram "Elang Maut".
Seorang lelaki lain, Maruta, usia setengah baya namun
tampan dan kekar. Ia duduk dan berkata lirih, "Aku tak ingin
hadiah apa pun, mendapatkan Ekadasa untuk satu malam
saja, aku bersedia pertaruhkan nyawa membelanya.
Menantang Wisang Geni yang konon disebut Pendekar Nomor
Satu Tanah Jawa, aku bersedia, apalagi hanya membunuh
perempuan asing."
Atirodra berkata tegas, "Kawan-kawan, kita sudah sepakat,
jika perempuan asing itu masih berada di dalam perguruan
Lemah Tulis, aku tak mau masuk. Itu sama saja dengan
memancing murid Lemah Tulis ikut campur. Sesuai janji, kita
hadapi perempuan itu di luar pagar Lemah Tulis, dengan
demikian tak ada alasan bagi Lemah Tulis membantu
perempuan itu, jangan lupa itu."
Delapan pendekar itu berhasil dikumpulkan Ekadasa dan
Nawa, sebagai pasukan khusus yang akan membunuh Gayatri.
Ekadasa sudah merencanakan sejak saat Geni mencium
perempuan India itu di depan matanya dan mengumumkan
pernikahannya dengan Sekar dan Gayatri. Ia sangat marah. Ia
merasa dirinya paling cantik, sehingga cemburunya meradang
melihat perempuan lain merebut lelaki yang dicintainya dan
yang pernah bercinta dengannya.
Ketika Geni menidurinya di kamarnya di istana Tumapel, ia
telah mengerahkan segala pesona miliknya untuk memikat
Geni. Dan pengalaman selama ini membuat Ekadasa yakin
setiap lelaki yang bercinta dengannya tidak akan pernah lupa
kenikmatan yang diberikannya. Itu sebab keakuannya
tersinggung oleh Gayatri. Seluruh kebencian dan
kecemburuannya akan terobati jika perempuan Himalaya itu
mari.

Di Argowayang ia membujuk Prawesti bersekongkol
membunuh Gayatri, tetapi Prawesti menolak malah
mengusirnya pergi.
Sepulang dari rumah nginapkelompok Lemah Tulis, ia
dibuntuti seseorang. Ia menoleh. Lelaki itu dikenalnya. Dia
Jayasatru. Tiba tiba terlintas rencana di benaknya akan
memanfaatkan lelaki itu. Senja itu ia berhasil membuat
Jayasatru bertekuk-lutut. Ia memberi kenikmatan
persetubuhan yang menurut Jayasatru, amat istimewa dan
luar biasa. Jayasatru makin tergila-gila mendengar Ekadasa
menjanjikan pertemuan di hari-hari mendatang.
Jayasatru tidak bermaksud mengkhianati Wisang Geni.
Tetapi melihat nasib Prawesti yang nelangsa, ia pun sangat
membenci Gayatri. Pada pikirannya, gara-gara Gayatri maka
Geni sampai mengusir Prawesti. Ditambah pengaruh pesona
erotisme Ekadasa, tak heran akhirnya Jayasatru menyetujui
rencana melenyapkan Gayatri. Dan rencana itu sangat rinci
dan njelimet sehingga ia yakin rahasianya tak akan
terbongkar.
Tugasnya hanya memberi kabar saat Geni pergi
meninggalkan Gayatri sendirian. Setelah itu ia mencari jalan
agar Gayatri bisa diajak pesiar ke bukit Kukun. Sampai di situ
tugasnya selesai, rombongan pembunuh sewaan akan
menyelesaikan rencana selanjutnya. Ia tak pernah mengenal
dan tak pernah bertemu dengan orang-orang sewaan itu,
semuanya ditangani Ekadasa.
Saat Wisang Geni dalam perjalanan bergegas menuju
Lemah Tulis, saat yang sama Sekar dan Gayatri sedang makan
di dapur. Tidak seperti biasa, kali ini Dyah Mekar
menemaninya. Tiga perempuan itu berbincang dengan akrab.
Diam-diam Dyah Mekar mengagumi pengetahuan sastra
Gayatri yang dengan lancar menceritakan perasaan Subadra
saat mengetahui suaminya, Arjuna kawin lagi

"Itu sebab aku mengerti bagaimana perasaan Prawesti, ia
sedih dan nelangsa tetapi moral gadis itu sangat baik sehingga
ia tidak memusuhi aku dan Sekar atau membenci Geni.
Pertama jumpa dengannya aku sudah menyukainya, ia manis
dan ramah. Aku setuju malah memaksa Geni memaafkan dan
mengajaknya pulang berkumpul dengan aku dan Sekar."
Selesai makan ketiganya beranjak ke bilik masing-masing.
Di tengah jalan mereka jumpa Jayasatru. Lelaki ini sengaja
bersilang jalan dengan tiga wanita itu. "Kalau mau jalan-jalan
melihat-lihat pemandangan, sebaiknyake bukit Kukun,
pemandangannya bagus," kata Jayasatru yang melangkah
terus sambil mengharap umpannya mengena. Dan memang
usulan itu membangkitkan keinginan tahu Gayatri. "Mbak
Dyah, bukit itu jauh?"
"Tidak. Bukit itu tidak jauh dari sini, banyak pepohonan dan
dari ketinggian di situ kita bisa memandang jauh ke sekeliling
perdikan. Pemandangannya indah," kata Dyah Mekar.
Sekar menolak pergi. Ia memilih istirahat di bilik. Dyah
Mekar berdua Gayatri melangkah ke bukit. Setelah puas
berkeliling bukit, keduanya istirahat di bawah pohon dan
berbincang-bincang.
Dyah Mekar menyukai Gayatri yang cantik, cerdas dan baik
budi. Ia kagum mengetahui isi hati Gayatri yang tulus
terhadap Prawesti. Pandangan Gayatri menerawang jauh ke
depan, ia bertata lirih, "Dua hari sudah suamiku Geni pergi,
aku rindu kepadanya, tetapi aku tidak ingin dia cepat-cepat
pulang jika tidak membawa serta Prawesti, aku sangat
berharap dia menemukan Prawesti dan membawanya kemari."
Tanpa dibuat-buat Dyah Mekar memegang erat tangan
Gayatri, dan berbisik di telinganya, "Tadinya aku tak begitu
menyukaimu, kupikir kamu telah merebut Geni dari pelukan
Prawesti, dan kebetulan Prawesti sangat dekat denganku.
Tetapi sekarang aku sungguh menyukaimu, aku bangga

padamu, sungguh pintar ketua memilih isteri." Ia tertawa lirih,
Gayatri ikut tertawa.
Mendadak terdengar bentakan, "Ini dia perempuan
pembunuh itu." Beberapa bayangan mengepung Gayatri dan
Dyah Mekar.
"Siapa kalian?" kata Dyah Mekar. Saat berikutnya ia
mengenali seorang di antaranya, "Ekadasa, apa yang kamu
lakukan di sini?"
"Kamu orang Lemah Tulis, urusan ini tidak ada
sangkutannya dengan Lemah Tulis, kamu boleh minggir. Aku
dan teman-teman hanya berurusan dengan perempuan asing
ini, dia telah banyak membunuh pendekar tanah Jawa, kini
saatnya balas dendam."
"Tidak bisa. Dia isteri ketua Lemah Tulis, bagaimanapun
juga aku tak akan membiarkan orang mengganggu dia."
Gayatri berbisik pada rekannya, "Hati-hati mereka semua
memiliki ilmu silat tinggi. Jumlahnya banyak, sepuluh orang."
Ia menatap Ekadasa, "Waktu itu kamu telah melukai aku, kini
kamu datang bersama teman-temanmu, apa sebenarnya
maumu?"
"Jangan banyak bacot, kamu telah membunuh saudaraku,
sudah lama aku mencarimu, sekarang rasakan golok ini."
Pendekar bernama Atirodra langsung menerjang Gayatri.
Serangan ini diikuti sembilan temannya. Mereka sejak awal
sudah sepakat untuk menyelesaikan keroyokan mi secepatnya,
khawatir datangnya bantuan untuk Gayatri.
Gayatri cepat mengambil posisi. Ia memang baru sembuh
dari luka dalam, dan tenaga dalamnya belum pulih seperti
sediakala. Ia mengelak, balas menyerang. Dyah Mekar tak
mau ketinggalan, ia menyerang pendekar yang bernama
Maruta. Tetapi jumlah lawan yang banyak membuat Gayatri
dan Dyah Mekar terdesak. Melihai situasi yang tidak
menguntungkan, Gayatri berbisik, "Mbak Dyah, kita bertarung

saling memunggungi, tujuan kita adalah lolos menuju Lemah
Tulis. Begitu ada kesempatan, kamu lari ke Lemah Tulis minta
bantuan."
Dyah Mekar berbisik, "Aku tak mau meninggalkan kamu
sendiri."
Serangan sepuluh orang itu semakin gencar. Gayatri tidak
leluasa bertarung karena ia memikirkan keselamatan Dyah.
"Mbakyu, kamu pergilah, aku masih bisa bertahan untuk
waktu lama, tak usah khawatirkan aku, percayalah."
Sambil berkata, Gayatri mulai memainkan jurus handal an
dari Himalaya Terisanson Meiti Jevan Mein, Sirefteri Kusbu Hai
(Dalam hidup dan nafasku hanya ada harum dirimu). Ia
bergerak sangat cepat, gesit dan gemulai
Tangan Gayatri mengibas dan menampar. Ia bergerak
bagai penari, kakinya bergerak lincah dan gesit, pukulannya
yang berisi tenaga dalam mengancam setiap lawan. Seorang
pengeroyok kena tendangan, tulang pahanya retak. Seorang
lain kena kibasan tangan yang gemulai itu, pundaknya cedera
Gayatri bergerak kian kemari, mengelak dan menyerang.
Para penyerang, bahkan Ekadasa pun terkejut dengan sepak
terjang Gayatri yang begitu trengginas. Pada saat kepungan
agak kendur, ia mendorong Dyah Mekar. "Cepat lari, aku akan
menyusul."
Setelah menyaksikan ilmu silat Gayatri yang dalam
beberapa jurus sudah mencederai dua penyerang, Dyah Mekar
tak ragu lagi. Ia keluar dari kepungan dan lari menuju
perguruannya yang tidak jauh. Tak lama kemudian ia sampai
di pintu gerbang. Ia berteriak memanggil teman-temannya,
memberitahu Gayatri dikeroyok penjahat di bukit Kukun.
Tetapi ia terkesima melihat mereka hanya menggeleng
kepala, dan balik kembali ke dalam. Prastawana, suami Dyah
Mekar sedang turun gunung. Jayasatru dan beberapa murid

enggan membantu. Tidak demikian dengan Gajah Lengar,yang
langsung berlari mendaki bukit.
Dyah Mekar berdua Gajah Lengar tiba di tempat
pertarungan, tampak Gayatri dikeroyok empat orang. Ekadasa,
Nawa, Elang Maut dan nenek bersenjata tongkat kepala ular.
Tiga pengeroyok terkapar di tanah. Tiga lainnya berdiri di
pinggiran sambil sekali-sekali menyerang dari belakang.
Gajah Lengar kesal dan kecewa melihat rekan-rekannya
enggan menolong Gayatri yang adalah isteri Wisang Geni,
ketua mereka. Ia tak mengerti sebabnya. Tetapi ia tak peduli,
baginya membela Gayatri merupakan harga mati. Sebab
Wisang Geni adalah putra tunggal Gajah Kuning, gurunya. Ia
berteriak, "Curang," sambil ia menyerang lelaki yang berdiri di
pinggiran.
Pertarungan makin seru, Dyah Mekar dan Gajah Lengar
melawan tiga penjahat. Pertarungan berimbang, menyerang
dan bertahan silih berganti. Di tempat lain Gayatri terdesak.
Sebenarnya jurus silat Gayatri lebih unggul dibanding
pengeroyok. Dalam keadaan biasa, ia akan mengalahkan
mereka. Tetapi tenaganya belum pulih dari luka dalam. Ia
juga lupa membawa senjata andalannya. Dan tarung puluhan
jurus membuatnya lelah. Dari empat penyerangnya, nenek
bersenjata tongkat itu yang paling lihai. Nenek itu ternyata
guru dari Ekadasa, julukannya Tongkat Ular.
Gayatri terdesak. Empat pendekar itu menyerang dengan
jurus mematikan. Cepat dan ganas. Mereka ingin membunuh
Gayatri secepatnya. Tak ada ampun, tak ada belas kasihan.
Gayatri bahkan tak pernah mengenal siapa mereka. "Mengapa
mereka ini begitu membenciku, ingin membunuhku, kenapa?"
katanya dalam hati
Gayatri tahu diri, tenaganya belum pulih untuk pertarungan
panjang. Limapuluh jurus sudah berlalu, tiga pendekar sudah
ia gebuk terkapar di tanah. Kedatangan nenek tua bersenjata
tongkat kepala ular merupakan kesulitan paling besar baginya.

Nenek itu menyerang dengan jurus-jurus ganas, mengincar
titik kematian. Kesulitan lain, tiga pendekar yang berdiri di
pinggiran, mereka menyerangnya setiap melihat salah seorang
dari empat kawannya terancam bahaya. Dengan demikian
empat pendekar leluasa menyerang.
Situasi Gayatri agak tertolong dengan datangnya Dyah
Mekar dan Gajah Lengar. Begitu tiba di tempat Gajah Lengar
langsung menyerang tiga penjahat di pinggiran itu. Gayatri
heran melihat Dyah Mekar hanya membawa bantuan Gajah
Lengar. Ia bertanya dalam hati "Mengapa Dyah hanya
membawa seorang tenaga bantuan, ke mana murid Lemah
Tulis yang lain, apakah Lemah Tulis juga diserbu penyerang?"
Tetapi ia tak peduli. Baginya dua tenaga itu sudah cukup
untuk meringankan desakan lawan. Di balik itu Gayatri
mengerti keadaan dirinya, tenaganya semakin terkuras dan
lambat laun ia akan melemah. Empat penjahat itu bisa
membaca gerak Gayatri yang tidak lagi cepat dan ganas. "Ia
sudah lelah, cepat selesaikan," suara keras Ekadasa sepertinya
menambah daya gempur tiga kawannya.
Nawa menyerang ganas. Ujung tombaknya mengancam
leher Gayatri. Gadis Himalaya ini merunduk dan tombak itu
lewat di atas kepala namun tak urung beberapa lembar ujung
rambutnya putus beterbangan.
Gayatri terkesiap. "Hari ini mungkin ajalku sudah
ditentukan, seharusnya aku ikut saja ke mana Geni pergi,
sayang aku tak bisa bertemu suamiku lagi. Baiklah tetapi
sebelum ajal, aku akan adu jiwa," katanya dalam hati.
Mendadak Gayatri berseru dalam bahasa India, 'Martahoon
Magar Martabhinahin (Aku memukulnya tapi serasa tak
memukulnya)", tangan dan kakinya berkelebat. Dia
memainkan jurus andalan itu dengan pengerahan tenaga
dalam yang besar, memompa habis sisa tenaganya yang
masih tersedia. Jurus itu memang liar dan aneh, sulit ditebak
arahnya. Hanya sekejap saja, pundak Ekadasa kena tampar,

terlepas dari engsel. Tangan kiri wanita itu lumpuh. Rekannya,
Elang Maut, ulu hatinya kena tendangan Gayatri, langsung
tewas.
Gayatri gembira melihat hasilnya, ia memang berniat adu
jiwa sehingga tak lagi memikirkan pertahanan. Ia menyesal
pukulannya ke kepala Ekadasa luput dan hanya mendarat ke
pundak si wanita genit. Selang sesaat: ia melihat datangnya
serangan Nawa, ujung tombak mengarah dada, perut dan
leher berbarengan datangnya serangan tongkat si nenek yang
mengemplang kepala.
Tidak tinggal diam dengan sisa tenaganya Gayatri
memainkan jurus Yaadon Mein Tum Koye Rahoo Saare Jahan
Kobhul Ke (Melamunlah dalam pelukan dan lupakan dunia ini).
Ia menampar ujung tombak sambil kakinya melepas
tendangan. Nawa terpental, tulang pahanya patah. Gayatri
memang hebat, tetapi ia sudah sangat lelah. Tubuhnya
limbung pada saat mana tongkat kepala ular si nenek
mengancam akan menghancurkan kepalanya.
Melihat isteri ketuanya terancam maut, Gajah Lengar yang
sedang bertarung secepatnya meninggalkan lawannya dan
melompat dengan seluruh tenaganya. Dia membentak dengan
teriakan keras, "Mati kamu nenek cabul!"
Dia tidak hanya membentak tetapi berbarengan menyambit
kerisnya mengarah kepala si nenek, gerak lanjutan adalah
menubruk untuk melindungi Gayatri. Semua gerak dilakukan
dalam sekejap mata. Bentakan itu telah mengejutkan nenek
tua sehingga serangannya tertunda beberapa detik.
Nenek tua mengelak lemparan keris, tetapi tongkatnya
tetap mengancam kepala Gayatri yang semakin limbung.
Tubrukan dan dorongan Gajah Lengar membuat Gayatri
terpental dan terhindar dari sasaran tongkat. Sebagai gantinya
adalah Gajah Lengar yang menangkis tongkat dengan gerak
mengibas.

Gayatri selamat, tetapi lengan Gajah Lengar kena hantam
tongkat kepala ular. "Duuukkk," tulang lengan Gajah Lengar
patah Tetapi tongkat itu seperti ular hidup, terus bergerak
dalam serangan susulan mengejar Gayatri. Melihat itu
meskipun kesakitan, Gajah Lengar siap mempertaruhkan
nyawa melindungi isteri sang ketua.
Pada saat kritis itu terdengar lengking teriakan perempuan.
Kesiuran angin kencang menyerbu dalam arena. Sekar datang
pada saat yang tepat
Setelah berpisah dengan Gayatri, Sekar istirahat di biliknya.
Dalam tidurnya ia terjaga oleh mimpi buruk. Ia melihat
suaminya bermandi darah. Suaminya tampak sekarat tapi
masih bisa berteriak minta tolong, "Sekar, tolong aku!"
Sekar melompat bangun. Ia lari keluar. Sampai di gerbang,
ia ingat Gayatri dan Dyah Mekar pergi ke bukit Kukun.
Firasatnya tajam ada yang bertarung di bukit itu. Ia lantas
mengerahkan ringan tubuhnya yang paling handal
Wimanasara. Dari kejauhan ia melihat Gayatri terancam
jiwanya. Ia langsung masuk tarung.
Belum sampai di dekat Gayatri, Sekar mendorong dengan
dua jurus Sapwa Tanggwa (Sapu menyapu) yakni
Mammyangken (Menyakiti hati) disusul Hatut (Sehidup
semati). Serangan itu datang bergelombang dengan tenaga
besar Segoro (Samudera).
Hantaman Sekar memaksa nenek tua mengubah posisi kaki
dan menarik pulang serangannya. Tanpa pikir lagi ia
mengerahkan seluruh tenaga menahan hantaman Sekar.
"Deeesss" dua tenaga berbenturan. Nenek itu terdorong
mundur dua langkah. Ia memandang Sekar. Ia heran dan tak
menyangka tenaga Sekar yang hanya seorang gadis muda,
bisa sebesar serudukan gajah.
Gayatri terbaring di tanah. Ia nyaris pingsan, tetapi
langsung siuman ketika mendengar lengkingan Sekar. Sambil

tarung Sekar bertanya keadaannya. Gayatri menjawab tegas,
"Aku tak apa-apa, hanya letih, kau cepat selesaikan nenek
jelek itu." Di samping Gayatri, berdiri Gajah Lengar dengan
tegar dan waspada, siap melindungi isteri ketuanya.
Nenek itu marah dan menyerang ganas, tongkatnya
mengancam dada. Sekar mengerahkan seluruh tenaga Segoro
dalam jurus Harwuda (Seratus ribu juta) dan Ghardawari
(Saling sayang). Tangannya memutar dan menarik. Tangan
lainnya mengibas dalam lingkaran besar. Tongkat si nenek
terbawa dalam arus putaran. Saat berikut Sekar menyodok
dan tongkat memukul balik kepala si nenek. Tengkorak
kepalanya retak. Tak sempat berteriak, nenek itu tewas di
tempat Ia bahkan tidak sempat melihat gerakan lawan.
Tidak berhenti sampai di situ, Sekar merunduk ke tanah,
meraup pasir dan batu kerikil kemudian mengibas ke tiga
penjahat yang sedang mengancam Dyah Mekar. Terdengar
desir angin yang mencicit, tiga orang itu berteriak keras,
wajah mereka kena terjang pasir kasar. Pasir itu menusuk
daging, perih dan panas. Darah menetes dari wajahnya.
Beruntung pasir dan kerikil tak mengena mata. Sambil teriak
kesakitan ketiganya kabur. Tarung usai.
Sekar memeluk dan memeriksa Gayatri. Ia merasa lega
karena sahabatnya hanya kehabisan tenaga karena kelelahan.
Dengan bantuan tenaga dalam dan istirahat satu hari, ia akan
pulih sediakala. "Untung kamu tidak kena apa-apa," katanya.
Dia memeriksa Gajah Lengar yang tulang lengannya patah.
Sementara Gayatri sudah berdiri dan membantu membalut
luka Dyah Mekar yang kena senjata tajam di pundak, lengan
dan paha. Sekar yang sedikitnya sudah menguasai ilmu
pengobatan dari Dewi Obat merawat Gajah Lengar. Ia
membenahi letak tulang yang patah, mengamankannya
dengan dua potong kayu lebar. Keadaan Gajah Lengar tidak
berbahaya.

Pada saat itu kesiuran angin keras mendatang. Geni
muncul. Ia terkejut namun gembira melihat Gayatri tertawa
dalam pelukan Sekar. Ia mendekat Gayatri berkata lirih,
"Untung Sekar datang di saat yang tepat, terlambat sedikit
saja, aku, kangmas Gajah Lengar dan mbak Dyah sudah tak
bernyawa. Eh, mana Prawesti?"
Geni tak menjawab. Setelah yakin Gayatri tidak luka. Ia
menoleh ke para pengeroyok yang sedang berusaha bangkit.
Nawa dan Ekadasa mengerang kesakitan. Kali ini Geni marah.
Dalam benaknya tidak ada lagi sisa kenangan indahnya tubuh
punggawa wanita itu. Ia benar-benar marah: "Ekadasa, ini
peringatan terakhir, jika kamu masih mengganggu isteriku, tak
ada ampun bagimu, aku akan telanjangi kamu di depan
umum, semua pakaianmu akan kulucuti dan membiarkan
kamu jadi tontonan orang. Ingat itu! Sekarang pergi bersama
temanmu semua, pergi, sebelum aku berubah pikiran."
Wisang Geni memeluk Gajah Lengar, kemudian menyalami
Dyah Mekar. "Terirnakasih kangmas Lengar dan mbakyu
Dyah, kalian sudah mempertaruhkan nyawa melindungi
isteriku."
Karuan saja dua anak buah itu tersipu-sipu, malu. "Itu
sudah kewajiban kami, ketua. Kamu membuat kami jadi
sungkan."
Gayatri menyahut dengan tertawa senang, "Aku yang harus
berterimakasih kepada kakak berdua, kalau tidak ada kalian,
aku pasti sudah mati, kalian sudah menyelamatkan nyawaku
dan kamu juga mbakyu Sekar, terimakasih." Ia mengulang
pertanyaannya, "Eh Geni, mana Prawesti?"
Dyah Mekar dan Gajah Lengar terharu, dalam keadaan
seperti itu, Gayatri masih juga menanyakan Prawesti. Satu
bukti ketulusan hati perempuan India ini. Geni menyahut
dengan kesal, "Aku sudah temukan dia, tetapi aku pulang
duluan, dia menyusul belakangan. Dia yang mengatakan
adanya bahaya mengancam kamu, dan ia mendesak aku

cepat-cepat kembali. Ternyata dia benar. Dan aku memang
terlambat, untung ada Sekar."
Wisang Geni tampak kesal. Ia menggenggam tangan Gajah
Lengar dan mengajak tiga perempuan itu kembali ke Lemah
Tulis. Geni berdiam diri sepanjang jalan. Dari wajahnya yang
kusut tampak ia sedang marah. Mereka tiba di kaki bukit,
berbarengan dengan tibanya Prawesti yang menunggang
kuda.
Prawesti melompat dari kuda, ia mendekati Gayatri. "Kamu
tidak apa-apa?"
Gayatri tersenyum, "Kamu lihat sendiri aku sehat"
Dia menggenggam tangan Gayatri. Ketika gadis Himalaya
itu tersenyum, tak bisa membendung harunya Prawesti
menghambur memeluk Gayatri. Ia menangis dan berkata
dalam sendu. "Maafkan aku, memang aku bodoh, maafkan
aku Gayatri."
Gayatri berbisik di telinga Prawesti, "Mulai sekarang, kamu
harus memanggil aku, kakak, tak peduli berapa pun usiamu."
Prawesti mengangguk. "Iya kakak, aku akan ikuti semua
perintahmu." Gayatri mendorong Prawesti. "Kamu pergi
kepada mbakyu Sekar, minta maaf padanya."
Tanpa diperintah dua kali, Prawesti menggenggam dan
menciumi tangan Sekar. Ia memeluk Sekar. "Mbak Sekar, aku
minta maaf atas semua kesalahan dan kebodohanku."
Dua perempuan itu menggenggam tangan Prawesti.
Persentuhan tangan tiga perempuan itu menjalarkan
pertemanan tulus. Keakraban merambah lewat telapak tangan
menuju hati sanubari ketiganya. Dua perempuan itu saling
rangkul. "Maafkan aku, kak Gayatri. Malam itu aku seperti
orang tolol, mau saja terjerumus bujukan Ekadasa. Aku
berterimakasih karena kakak berdua telah mengajak aku
pulang."

Dalam perjalanan menuju perguruan, Geni bertanya
bagaimana Prawesti bisa menduga adanya bahaya itu.
Prawesti menceritakan kejadian di Argowayang ketika Ekadasa
membujuknya. "Maafkan aku ketua atas kesalahanku malam
itu. Tetapi Ekadasa benar-benar membenci kakak Gayatri.
Rencananya, ia memisahkan ketua dari kakak, sebab ilmu silat
ketua tak mungkin bisa dilawan. Pada saat ketua tidak berada
di tempat, dia bersama teman-temannya menyerang kakak
Gayatri. Dia minta aku bekerjasama dan tugasku memancing
ketua pergi dari sisi kakak. Waktu itu aku marah dan
mengusirnya. Tetapi kemarin terpikir jangan-jangan lantaran
aku kabur dan ketua mencari aku, kakak Gayatri diserang
Ekadasa. Tetapi sebenarnya kakak aman karena berada di
perguruan Lemah Tulis, kupikir tak akan ada yang berani
menyerang. Tapi tampaknya rencana Ekadasa hampir saja
berhasil."
Wisang Geni diam, tetapi ia mendengar percakapan itu.
Begitu juga Dyah Mekar dan Gajah Lengar yang berjalan
berdampingan. Gayatri memotong, "Westi kamu tidak
bersalah, lagipula aku sendiri salah, tubuhku masih lemah,
belum sehat benar, seharusnya aku di rumah saja berlatih
semedi. Sialnya, aku juga tak membawa senjata" Ia
menyambung dengan kesal "Kalau aku sehat dan berbekal
senjata, sepuluh orang itu t,ak ada apa-apanya"
Dyah Mekar ikut bicara, "Jikalau saja aku tidak mengajak
Gayatri jalan-jalan ke bukit Kukun, mungkin tak akan ada
kejadian itu, aku minta maaf ketua."
Geni menyahut dengan kesal, "Kalian mencari-cari alasan
siapa yang salah, kalian tidak bersalah, tak ada seorang pun
yang salah. Aku akan membereskan semua ini." Mendengar
suara Geni yang serak pertanda marah, ketiganya diam tak
menyahut.
Mereka tiba di pendopo. Wisang Geni duduk di tangga
pendopo, berkata kepada Gajah Lengar, tepatnya

memerintah. "Kangmas, tolong panggil kedua kakek sepuh
dan semua murid, aku sebagai ketua ingin bicara."
Sekar, Gayatri dan Prawesti selama ini belum pernah
melihat Wisang Geni bersikap tegas dan kasar seperti itu.
Sikap seorang pemimpin, tegas, tegar dan wibawa. Diam-diam
mereka keder dan takut. "Wibawanya itu, wibawa seorang raja
yang bisa memutuskan mati hidup seseorang, pantas jika ia
disegani dan ditakuti anak buahnya"
Hari sudah senja ketika semua orang berkumpul di
pendopo termasuk Padeksa dan Gajah Watu. Mereka
menduga-duga ada kejadian apa yang membuat wajah ketua
muram dan kesal. Geni mengumpulkan segenap tenaga
batinnya, ia harus membicarakan hal paling penting dalam
kehidupannya.
"Aku mohon maaf kepada guru Padeksa dan paman Gajah
Watu, dua sesepuh yang paling kuhormati, sebagai ketua
Lemah Tulis hari ini aku harus menyelesaikan apa yang harus
kuselesaikan, untuk aku pribadi dan untuk kemajuan Lemah
Tulis. Ada beberapa kejadian yang membuat aku mengambil
keputusan ini.
"Pertama, kejadian aku dituduh memerkosa perempuan.
Aku tidak persalahkan kalian yang percaya berita buruk itu.
Kalian punya hak untuk percaya. Aku kecewa, karena itu
membuktikan bahwa kalian tidak percaya padaku, kalian tidak
percaya bahwa aku laki-laki yang punya moral baik dan budi
pekerti tinggi yang mustahil mau melakukan perbuatan
terkutuk itu.
"Di sini ada pembelajaran, bahwa jika seorang pemimpin
sudah tidak dipercaya oleh anak buahnya, maka dia tidak
layak lagi menjadi pemimpin. Itu artinya aku sudah tidak layak
menjadi ketua Lemah Tulis.
"Hal kedua, perkawinan dengan Sekar dan Gayatri adalah
urusan pribadiku, pilihanku sendiri. Isteriku Gayatri memang

perempuan asing, jadi aku anggap wajar dan cukup
manusiawi jika kalian tidak menyukainya. Kalian punya hak
tidak menemaninya di dapur, tidak mengajak bergaul, tidak
menyukainya. Kalian punya hak mengasingkan dia dari
pergaulan di perdikan ini, tapi tak seorang pun yang boleh
mencelakai isteriku, camkan itu.
"Contoh, kejadian di bukit Kukun tadi, kalian diberitahu oleh
Dyah Mekar bahwa Gayatri isteriku dikeroyok banyak orang,
tetapi kalian diam dan memilih tidak mau membantu, itu hak
kalian. Aku menghormati hak pilih kalian. Tetapi aku kecewa,
karena tugas kependekaran adalah menolong manusia yang
perlu ditolong, dan itu telah kalian langgar, kalian lupa itu.
"Hal ketiga, tantangan dari pendekar Cina, mereka
menantang aku, dan tidak ada sangkut paut dengan Lemah
Tulis, ini urusan dendam mereka atas kematian Sam Hong dua
tahun lalu. Akan kuhadapi tantangan ini, aku tidak minta
bantuan kalian karenanya aku larang kalian ikut campur. Mau
nonton silahkan. Aku akan datang ke desa Bangsal di bulan
Waisaka bersama Sekar, Gayatri dan Prawesti."
Wisang Geni menoleh ke arah dua kakek sepuh. "Hal
keempat, aku mohon maaf atas kelancanganku kepada guru
berdua, aku sudah pikir masak-masak, hari ini aku
mengundurkan diri dari jabatan ketua, untuk seterusnya
silahkan guru berdua dan para kawan memilih ketua baru,
ketua yang kalian percaya."
Pengumuman terakhir ini disambut keluh kesah semua
murid. Semua menyuarakan tidak setuju. Gajah Lengar
berseru, "Tidak bisa, ketua harus tetap memimpin kami,
kesalahan segelintir murid tak bisa menjadi sebab ketua
meninggalkan kami, masih banyak murid yang mencintaimu
dan yang bersedia mati untukmu."
Wisang Geni mengangkat tangannya, meminta agar para
murid diam sejenak. "Aku belum selesai. Aku berdiri di sini
dengan penuh kesadaran, aku belajar banyak dari pengalaman

sebagai ketua Lemah Tulis, keputusanku sudah bulat untuk
mundur tetapi aku tak akan tinggal diam jika ada orang
menyerang perguruan ini. Aku pernah mengucap janji dan
mengancam di hadapan banyak pendekar di gunung
Argowayang, bahwa siapa pun yang memusuhi Lemah Tulis
akan aku hadapi, tanpa kecuali. Janjiku ini masih berlaku
sampai kapan pun bahkan sampai ajalku.
"Hal kelima, akan kubereskan semua urusanku. Hari ini aku
bukan lagi ketua, tetapi aku masih nginap disini bersama
Sekar, Gayatri dan Prawesti sampai kalian mendapatkan ketua
baru. Kemudian aku akan pergi menetap di lereng gunung
Welirang." Geni berhenti dan merasa lega telah mengutarakan
keputusannya yang berat itu.
Ia melanjutkan, "Pintu rumahku akan selalu terbuka untuk
kalian semua, silahkan datang kapan saja. Aku menyepi
bersama tiga isteriku. Cukup sudah kata-kataku, aku mohon
pamit, selanjutnya pertemuan ini akan dipimpin guru dan
paman guru," sambil dia menoleh ke arah Padeksa dan Gajah
Watu. Ia kemudian menggandeng tiga isterinya melenggang
menuju rumah. Ia meninggalkan orang-orang yang gelisah
dan ribut di belakangnya.
---ooo0dw0ooo---
Malam hari di Lemah Tulis keadaan sunyi Biasanya suasana
cukup meriah dengan sekelompok murid menyanyi berbagai
macam kidung dan tembang sekelompok lain belajar sastra
Tetapi malam itu semua murid tampak lesu dan kurang
bersemangat Terjadi banyak perdebatan. Sebagian besar
mempersalahkan diri dan menyesal atas sikap dan perlakuan
tidak adil kepada Gayatri.
Di dapur keadaan sepi. Hanya tampak Gayatri, Sekar dan
Prawesti mempersiapkan santap malam Mereka tampak akrab,
tertawa di lain saat berbisik-bisik. Dyah Mekar bersama dua

murid, Rukmini dan Selasih masuk. Ketiganya ikut larut dalam
pembicaraan. Ketiga isteri Geni pamit setelah siap dengan
masakannya Sepeninggal mereka, Selasih berbisik, "Gayatri
orangnya baik, ramah lagi. Tadinya kukira wanita cantik
seperti dia pasti angkuh."
Mereka bertiga terkejut ketika masuk rumah, ternyata
Padeksa dan Gajah Watu sedang bicara dengan Wisang Geni.
Agaknya urusan penting. Mereka tak mau mengganggu,
berniat keluar lagi setelah meletakkan makanan di tilam. Geni
menggeser duduknya dan memanggil tiga isterinya duduk di
dekatnya. "Kalian duduk di sampingku, silahkan dilanjutkan,
guru."
Padeksa dan Gajah Watu diam. Tampak keduanya
tersinggung. "Geni, aku mau bicara hanya dengan kamu,
jangan ada yang lain ikut mendengar," kata Padeksa agak
kaku.
"Guru, tiga wanita ini, adalah wanita dalam hidupku, aku
mohon guru membolehkan mereka ikut mendengarkan."
Gajah Watu melihat suasana memanas. Ia batuk-batuk
kecil dan berkata lirih, "Kangmas, mohon tiga perempuan ini
dibolehkan mendengarkan apa yang diputuskan Wisang Geni."
Akhirnya Padeksa mengalah, dia mengangguk, "Geni,
semua murid menginginkan kamu jangan mundur. Untuk itu
mereka akan mematuhi apa saja syarat kamu. Mereka
menyatakan menyesal akan kesalahannya."
"Guru, aku tak sanggup memimpin suatu kelompok orang
yang pernah tidak mempercayai moralku, bahkan kakek
sendiri orang yang mendidik aku sejak kecil bisa tidak
mempercayai moralku. Sedangkan Gayatri dan Sekar, orang
yang belum lama mengenalku tidak mempercayai fitnah keji
itu. Keduanya tidak percaya moralku sebejat itu."
"Kamu harus bisa memaafkan kesalahan orang, apalagi jika
yang bersangkutan sudah minta maaf," suara Padeksa lirih.

Wisang Geni mengiyakan. "Aku sudah maafkan, aku hanya
tak mau menjadi ketua lagi, itu saja."
"Geni, kami masih butuh kamu sebaga iketua, kamu
pikirlah dulu" Gajah Watu bicara dengan penuh harapan,
hampir-hampir seperti memohon.
Wisang Geni tetap pada keputusannya. Dua orangtua ini
gagal mengubah keputusan Geni, keduanya pamit. Empat
orang muda ini mengantar sampai di pintu "Guru, besok pagi
aku akan pamitan," kata Geni.
Sambil menikmati santapan malam, Geni berkata kepada
tiga isterinya, "Besok kita pamitan, kita ke gunung Welirang,
aku nanti minta tolong kangmas Gajah Lengar dan Gajah Nila
ikut membangun rumah."
Geni membantu mengobati Gayatri menata tenaga dalam.
Luka isterinya sudah sembuh namun perkelahian tadi
menyebabkan jalan darah tidak lancar. Usai mengobati
Gayatri, Geni semedi.
Ketika membuka mata, ia terkejut melihat Gayatri, Sekar
dan Prawesti berbaring di tikar dengan selembar kain
menutupi tubuh. Tiga wanita itu tertawa. "Mulai malam ini,
Geni, kita bertiga tidur bersamamu," bisik Sekar sambil tawa
cekikikan.
Wisang Geni tak pernah menyangka tiga isterinya bisa
cepat akrab. Tadi sewaktu di dapur Gayatri menanyakan usia
Prawesti dan Sekar.
"Sembilanbelas," kata Prawesti.
Lalu Gayatri memotong cepat, "Aku duapuluh, jadi kamu
harus panggil aku kakak," bisik Gayatri.
Prawesti mengiyakan. Sekar menyahut, "Aku duapuluh
satu, jadi kalian berdua panggil aku kakak." Gayatri tertawa.
Sebenarnya usia mereka sama, duapuluh tahun.

Selanjutnya tiga perempuan itu bisik-bisik, akan tidur
bertiga "Geni itu mesti dikeroyok, kalau sendirian kita bisa
cepat tua atau cepat mati Tapi mbak Sekar, aku heran
bagaimana mbakyu Wulan bisa tahan melayani Geni selama
dua tahun," bisik Gayatri
"Oh mbak Wulan itu luar biasa, usianya empatpuluhan
tetapi nampak seperti gadis belasan tahun, karena punya ilmu
Karma Amamadangi, ilmu langka warisan Ki Panawijen," kata
Prawesti. "Ilmu itu membuat wanita awet muda dan tubuh
tetap sekel" imbuhnya.
Malam itu Geni merasa beruntung, kehilangan Wulan tetapi
memperoleh ganti tiga isteri cantik. Malam itu menjadi
istimewa bagi Geni dan tiga isterinya Empat insan ini
bercanda-ria dan bercinta sepanjang malam.
---ooo0dw0ooo---
Goa Cinta di Tebing Cinta
Siang itu di biliknya Geni sedang makan bersama tiga
isterinya. Seorang murid masuk. Ia tampak canggung di depan
Geni. Agak gugup ia memberitahu ada tetamu ingin
menjumpai Wisang Geni. Ternyata dua lelaki itu utusan dari
keraton Tumapel yang mengantar hadiah dari permaisuri
Waning Hyun. Dua ekor kuda, pejantan warna hitam pekat
dan kuda betina warna putih. Selain itu ada perhiasan emas
berupa dua untai kalung dengan liontin bergambar burung
garuda. Sangat indah. Ada kulit tipis bertuliskan Hadiah untuk
isteri kangmas Geni, Sekar dan Gayatri dan Hyun.
Sekar dan Gayatri menyukai perhiasan emas itu, tampak
gembira seperti anak kecil memperoleh mainan. Geni

berterimakasih melihat kegembiraan dua isterinya. Ia menulis
di balik kulit itu. Terimakasih atas hadiah paduka, isteriku
sangat gembira. Ia memberikan surat tersebut kepada dua
lelaki itu. Kepada Gayatri, Sekar dan Prawesti, dia berkata,
"Sungguh kebetulan mendapat hadiah itu, aku memang
sedang membutuhkan kuda."
Usai makan, Gayatri duduk di dekat Geni. Prawesti
membereskan sisa makanan. Gayatri menghela napas,
memandang Geni dengan rasa cinta. "Geni, ada sesuatu yang
aku harus katakan padamu Aku tidak suka kamu melepas
jabatan ketua dengan alasan aku tidak disukai di sini. Aku
malu, karena orang pikir aku melapor dan mengadu
kepadamu, mereka akan menuduhku jahat Padahal aku tak
pernah tersinggung apalagi marah, aku menerimanya dengan
hati terbuka. Kupikir, lambat laun sikap mereka akan melunak.
Perbuatan mereka tidak melukai aku, lantas mengapa harus
melukai kamu, padahal aku tak pernah melapor."
"Memang kamu tidak mengadu padaku, tetapi aku melihat
dengan mataku sendiri, ketika kamu masuk dapur, mereka
menyingkir keluar dari dapur sambil meludah. Aku mendengar
mereka bergunjing di belakangmu. Tentu saja aku sangat
tersinggung, karena mereka tidak menyukai isteriku,
aturannya kan jelas jika menghormati aku sebagai ketua
patutlah jika mereka berbaik hati pada isteri si ketua," kata
Geni kesal.
"Ketika kamu menyatakan mundur dari jabatan ketua, aku
sungguh terkejut. Kamu pernah mengatakan niat itu padaku
beberapa waktu lalu, tetapi kupikir hanya ungkapan rasa
kesal. Sekarang sudah terjadi, dan pasti mereka menduga
disebabkan kehadiranku sebagai isteri, aku yang mengadu
domba, apalagi aku adalah cucu dari musuh Eyang Sepuh
Suryajagad. Lengkap sudah citra buruk atas diriku, Gayatri
penyebab utama Wisang Geni mundur dari jabatan ketua
Lemah Tulis."

"Mereka anak buahku, jika tidak menghargai isteriku, itu
hak mereka, tetapi aku juga bisa marah. Seharusnya mereka
percaya padaku, itu yang disebut setia kepada pemimpin.
Lagipula aku tidak melakukan sesuatuyang melanggar aturan
perguruan. Nah sekarang apa alasan mereka tidak
memercayai aku? Jika percaya padaku, mereka harus bisa
berteman dengan isteri si ketua," jawab Geni dengan nada
tinggi.
"Geni, jangan marah, aku bukannya menentang kamu,
melainkan mengutarakan isi hatiku. Aku di sini sebatangkara,
aku tak punya siapa-siapa hanya kamu seorang." Gayatri
memeluk suaminya, merangkul erat, ia mengecup bibir

suaminya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;