Sabtu, 17 Mei 2014

Wisanggeni 5

Geni memeluk kekasihnya. "Supaya aku lebih mencintaimu,
menjaga dan melindungimu sampai hari tua."
Dua sejoli itu bermalam di desa. Pembicaraan masih
berkisar pada keraguan Walang Wulan akan hubungan bibi
guru dan keponakan mund. Ia masih merasa bahwa
percintaan ini salah. Namun di malam hari ia tak kuasa
menolak ketika Geni memeluk, melucuti pakaian dan
menciumi sekujur tubuhnya. Ia tak kuasa menahan gejolak
birahi dan api cintanya yang membara.
Esok paginya, masih di kamar penginapan, Walang Wulan
sambil memeluk Geni, berbisik di telinga "Geni, kita berpisah
untuk sementara. Biarkan aku berpikir sendirian, beri aku
kesempatan memikirkan bagaimana tanggapan orang
terutama sesama murid Lemah Tulis, tentang hubungan kita
ini. Kita pasti akan bertemu lagi."
Wajah Geni berubah. "Bagaimana mungkin aku harus
berpisah dengan kamu Wulan, aku tak sanggup berpisah
denganmu, jangan Wulan, jangan lakukan itu, mengapa kamu
harus peduli dengan tanggapan orang, tidak, aku tak mau
berpisah." Geni memeluk erat tubuh kekasihnya "Wulan,
sebaiknya kita berdua mencari guruku, Padeksa, minta dia
mengawinkan kita."
Wulan menciumi leher Geni. "Kita berpisah untuk
sementara, biarkan aku sendiri, kita akan jumpa lagi. Tentang
perkawinan, aku pasti mau jika sudah tiba saatnya. Geni,
ijinkan aku pergi, tidak lama lagi kita akan berjumpa di
Mahameru"
'Wulan, kamu harus tahu, tidak ada kekuatan apa pun yang
bisa menghentikan aku mencintaimu Aku tahu kamu juga
mencintaiku, jadi aku akan mencarimu, aku akan mengawini
kamu, menjadikan kamu isteriku. Ingat itu Wulan," ujar Geni
Wulan menjawab lirih, "Aku ingat, akan selalu kuingat."

Pagi itu Walang Wulan pergi. Ia tidak memberitahu
tujuannya Wisang Geni sangat terpukul. Dia tak pernah
membayangkan kejadian seperti itu. Beberapa hari hidup
bersama di dalam goa air terjun di kaki gunung Arjuna,
kemudian bercinta berkasih mesra di atas perahu. Pada saatsaat
itu rasanya Wulan sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Lalu mendadak saja perempuan itu pergi, rasanya seperti ada
bagian tubuhnya yang hilang terbawa pergi bersama Wulan.
Sepanjang hidupnya, Geni tak pernah mendapat perhatian
seorang perempuan, apalagi dicintai. Bahkan kasih sayang ibu
pun hanya mengelusnya di masa kecil. Dan ketika nasib
mempertemukan dia dengan perempuan yang begitu
memerhatikan dan mencintainya, ia merasa dialah lelaki paling
bahagia di kolong langit. Dicintai dan mencintai. Tak ada yang
lebih bahagia dari itu.
Sepanjang perjalanan berperahu ia sangat bahagia.
Mendadak saja kebahagiaan itu sirna begitu saja. Hanya
lantaran Sari perempuan yang dicintai dan mencintainya itu
adalah Walang Wulan, adik perguruan dari ayah dan ibunya.
Akal sehatnya mengakui Walang Wulan sebagai bibi guru,
tetapi kekerasan hati dan dahaganya akan kasih sayang dan
cinta seorang perempuan membuatnya tidak bisa menerima
kejadian itu dengan wajar. Ia menolak kenyataan itu!
"Itu tidak adil! Tidak bisa! Kau bukan bibi guruku, Wulan,
kau adalah Sari kekasihku!" Wisang Geni berteriak sambil
berlari. Ia berlari terus, berlari dan berlari.
Ketika senja berubah menjadi malam. Ketika hutan menjadi
pekat ditelan gelapnya malam, dia berhenti di tengah hutan.
Ia tidak tahu berada di mana. Tetapi Geni tak peduli. Karena
sebenarnya dia hanya ingin lari menjauh dari persoalan yang
begitu meng goncang hatinya. "Mengapa kita harus berpisah,
Wulan?"
Malamnya dia tidur di atas pohon. Dia berpikir dan
merenung. Terjadi pertentangan dalam dirinya. Di satu sisi dia

mengakui Wulan adalah bibi guru, di sisi lain dia menolak
keras.
"Memang Wulan adalah adik perguruan ayah dan ibuku.
Wulan juga adik dari guruku Manjangan Puguh. Dari dua
alasan ini, benarlah Wulan adalah bibi guru Tetapi setahuku
tak ada aturan yang melarang perkawinan antara keponakan
murid dengan bibi guru Hanya memang aneh dan janggal
apalagi jika usia bibi guru lebih tua beberapa tahun. Dan itu
tidak seluruhnya benar, guruku adalah Padeksa, sedang guru
Wulan adalah Bergawa, maka jelas aku dan Wulan adalah
saudara seperguruan. Jadi sebenarnya tak ada sesuatu yang
menjadi hambatan, lalu mengapa tiba-tiba Wulan begitu panik
dan memutuskan untuk pergi meskipun hanya sementara. Dia
pergi hanya sementara waktu, sampai aku menemuinya nanti
di pertemuan Mahameru"
Di atas pohon itu, Geni tidak bisa tidur. Wajah Sari alias
Wulan terbayang-bayang. Tubuhnya yang molek, bibirnya
yang basah dan cintanya yang hangat membara, membuat
Geni hampir gila. Tetapi diam-diam Geni merasa kagum. Ilmu
tenaga dalam Karma Amamadang membuat Wulan awet
muda, tubuhnya masih sintal seperti gadis remaja. Padahal
menurut pengakuannya usianya sekitar empatpuluh dua
tahun. Ilmu apa itu, yang bisa membuat dia begitu awet
muda?
Selama beberapa hari Wisang Geni melangkah tak tentu
arah, tak punya tujuan yang jelas. Suatu siang ia tiba di desa
kecil Tajinan. Ia mencari warung makan. Warung itu sepi saja,
ketika ia masuk. Di pojok dekat pintu belakang duduk empat
orang. Di meja dekat jendela duduk sepasang lelaki
perempuan.
Geni tidak memerhatikan orang-orang di situ. Ia langsung
memilih tempat duduk dekat jendela. Agak lama ia menanti
pesanannya. Saat itu ia melihat seorang wanita muda
melangkah masuk warung. Seorang lelaki pendek gemuk,

rupanya pemilik warung menghentikan langkah si gadis di
depan pintu "Kamu tak boleh masuk, tolong nona jangan
masuk, nanti semua orang pergi takut karena penyakitmu itu
bisa menular, nanti warung makan ini sepi tak ada yang
makan."
"Siapa bilang aku membawa penyakit. Aku sehat," kata
wanita muda itu.
Empat orang yang duduk di dekat pintu belakang, tertawa.
Salah seorang berseru. "Gadis itu cantik, sayang wajahnya
burik." Temannya tertawa, lalu berseru kepada pemilik
warung. "Pak Tua, biarkan gadis itu makan bersama kami, biar
wajahnya burik tetapi aku kan butuh tubuhnya bukan
wajahnya, ayo kemari sini, kamu dekat sama kangmas-mu
ini." Lelaki itu menghampiri si gadis, tangannya terjulur
hendak mencengkeram lengan.
Geni melihat itu, ia membungkuk mencari-cari batu kerikil.
Geni menjentik kerikil. Tiba-tiba laki-laki itu menjerit, batu
kerikil menghantam siku tangannya. Ia menoleh ke sana
kemari. Tak ada siapa-siapa. Sepasang lelaki perempuan
sedang asyik ngobrol. Di dekat jendela, Geni. Ia masih hendak
meneruskan niatnya ketika kerikil yang kedua menghantam
dahinya yang langsung bocor darah. "Gila, pasti ada dedemit
atau pendekar lihai yang melindungi gadis ini," katanya sambil
melangkah kembali ke teman-temannya.
Geni melangkah mendekati gadis burik itu. "Ayo adik,
makan bersamaku, kebetulan aku tak punya kawan ngobrol."
Geni menatap dengan mata melotot ke pemilik warung. "Adik
ini makan bersamaku, atas undanganku, kamu keberatan?"
Gadis itu masih muda. Tubuhnya langsing dengan dada
yang agak menonjol. Benar kata lelaki penggoda tadi,
tubuhnya cukup molek hanya wajahnya burik. Gadis itu bekas
terkena penyakit cacar. Bekas cacar berupa bintik-bintik hitam
menghiasi sekujur tubuh dan wajahnya. Rambutnya panjang
tidak terawat.

Pemilik warung itu geleng-geleng kepala.
Gadis burik itu malu-malu menatap Geni. "Tuan,
terimakasih, kamu sudah menolong aku. Tetapi aku tidak
pantas duduk bersama kamu, biar aku pergi saja, sekali lagi
terimakasih."
Geni memegang tangan gadis itu. "Jangan, jangan pergi,
makan dulu, baru kamu pergi. Ayolah."
Gadis itu memang lapar. Ia makan dengan lahap. Geni ikut
terbawa suasana, juga makan dengan lahap. "Namaku Wisang
Geni, kalau aku boleh tahu namamu siapa, adik?"
"Namaku Sekar."
Geni hendak bicara, tetapi batal Karena pada saat itu ia
melihat tiga lelaki memasuki warung. Ia mengenal salah
seorang adalah lelaki yang melukai Wulan di air terjun,
Kalamasura.
Kalamasura juga mengenal Geni. "Ha... ha... ha... dicaricari
tak ketemu, tidak dicari justru bertemu Hari ini kamu
harus membayar hutangmu!"
Tidak menanti sampai Kalamasura mendekat, Geni
melompat keluar lewat jendela. Ia tak mau melibatkan Sekar
dalam urusannya. Kalamasura ikut menerobos jendela, diikuti
dua temannya. Tak jauh berlari, Geni berhenti. Karena ia
memang tak berniat melarikan diri. Ia tertawa. "Hari itu kamu
merengek minta ampun, jadi kubiarkan kau pergi, sekarang
kamu malah mencari aku minta digebuk"
Olok-olok Geni itu menyulut amarah Kalamasura. Ia
menggeram hebat sambil menerjang dan melepas pukulan
yang mendatangkan angin kencang. Geni menghindar.
Kalamasura mendesak hebat. Tetapi Geni dengan Waringin
Sungsangmudah. saja mengelak. Ia juga tidak manda
diserang, mulai membalas. Tanpa terasa puluhan jurus
berlalu.

Kalamasura makin berang karena semua jurusnya dengan
mudah bisa dikelit. Malahan serangan balik Geni mulai
mempersulitnya. Melihat posisi Kalamasura terdesak, dua
temannya ikut mengepung dan mengeroyok Geni. "Dimas
Sura, hayo kita hajar rame-rame."
Karuan saja Geni kewalahan. "Hei mana ada aturan begini,
main keroyokan."
Tetap mengepung dengan serangan terarah, salah seorang
kawan Kalamasura berseru, "Kita bertiga selalu bersatu, tak
peduli lawan hanya satu orang atau sepuluh orang. Kamu
siap-siap saja mati di tangan kami."
Perlawanan Geni hampir tak ada artinya. Di antara tiga
lawan itu, Kalamasura adalah yang paling rendah ilmu
silatnya. Tak heran hanya dalam beberapa jurus saja, Geni
sudah jatuh di bawah angin. Geni mencium bahaya. Harus ada
jalan keluar. Kabur! Itu perbuatan rendah. Tetapi kalau tidak
kabur, ia bisa mati.
Ia bimbang. Perhatian terpecah. Akibatnya fatal! Pukulan
lawan telak menghajar pundaknya. Dalam keadaan
sempoyongan Geni melihat tendangan Kalamasura
mengancam pinggangnya. Lawan lain memukul batang
lehernya. Geni mengelak. Sikunya ditekan di samping
pinggang, menangkis tendangan. Kepala ditekuk sampai rapat
ke dada. Tangan kanan melingkar ke belakang leher. Dua
kakinya merentang rapat di tanah. Tanpa sadar Geni telah
memainkan jurus Nanawidha (Beraneka Warna) dari Bang
Bang Alum Alum yang digabung dengan jurus Mangapeksa
(Menanti) dari Garudamukha.
Memainkan dua jurus dari dua ilmuyang berlainan ini
sebelumnya tak pernah dipelajari Geni. Namun dalam keadaan
darurat di mana jiwanya terancam ia justru memainkannya
dengan sempurna.

Terjadi benturan, siku tangan Geni bergetar menerima
tendangan Kalamasura. Sikap "menanti" dari jurus
Mangapeksa berhasil meredam tendangan lawan, lalu
meminjam tenaga lawan, tangan Geni menyampok lutut
lawan. Kalamasura menjerit. Masih untung bagi Kalamasura,
tenaga Geni telah hilang sebagian akibat benturan di siku.
Kalau tidak, lututnya bisa remuk
Saat berikut dua kaki Geni yang merentang rata di tanah,
membuat posisi tubuhnya turun sehingga tebasan lawan ke
leher tidak mengena. Tetapi lawan yang ketiga yang tadi
memukul dadanya kembali berhasil menggampar punggung
Geni.
"Duuukkk!" Geni terlempar. Darah dalam tubuhnya
bergolak. Mulut berasa asin. Keadaannya kritis, karena dua
lawannya memburu dengan sengit.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi. Tiga ekor
kuda berlari cepat menuju arena pertarungan. Ketiga kuda
dalam formasi berjajar, kuda yang di tengah ditunggangi
Sekar si gadis berwajah burik tadi. Gadis itu berseru, "Cepat
lompat!"
Geni tak membuang waktu lagi, dengan Waringin Sungsang
ia melontarkan diri ke atas punggung kuda. Semua serba
cepat, sukar diikuti mata. Lari kuda sangat cepat, tetapi gerak
Wisang Geni tak kalah cepatnya. Begitu duduk di punggung
kuda, Geni muntah darah. Tetapi ia tetap bertahan di
punggung kuda. Ia terkejut melihat penolongnya tak lain
adalah Sekar.
"Tak salah dugaanku kau pasti dari kalangan pendekar,"
kata Geni. Ketika menyaksikan Geni dikeroyok tiga orang,
Sekar tahu gelagat tidak menguntungkan bagi pemuda itu.
Diam-diam ia menyelinap ke istal di belakang warung dan
mencuri tiga ekor kuda. Sigap ia menggiring tiga ekor kuda itu
ke arena pertarungan. Dan ia tiba pada saat yang tepat.

Kalamasura tergeletak di tanah. Lututnya parah, nyaris
remuk Dua kawannya hendak mengejar Geni dan Sekar,
namun urung karena memikirkan Kalamasura. Tiga orang ini
memandang kepergian Geni dengan mendongkol. Tampaknya
memang Geni dan Sekar akan lolos. Tetapi belum jauh
berkuda, mendadak Sekar berteriak, "Hei minggir, pak tua,
minggir!"
Geni melihat seorang tua kurus menyeberang jalan. Karena
begitu mendadak, kuda-kuda itu tak bisa dikendalikan.
Tampaknya kuda akan menabrak si orangtua. Namun ketika
kuda-kuda itu hanya terpaut tiga tombak, orangtua membalik
tubuhnya Dua tangannya terkembang macam burung
membentang sayap.
Debu beterbangan di depan Sekar dan Geni. Kuda kuda itu
seperti menabrak tenaga misterius. Kaki-kakinya tertekuk.
Sesaat kemudian tiga kuda tersuruk Sekar dan Geni
terpelanting. Dalam keadaan luka parah dan tidak siap, Geni
tak mampu menguasai tubuhnya sehingga terbanting keras ke
tanah. Sekar bersalto dengan lincah dan mendarat dalam
posisi berdiri.
"Ha... ha... ha...," Orangtua itu tertawa Suaranya kering,
nyaring dan bergelombang seperti ringkik kuda. Ia
memandang Geni dan Sekar dengan mimik aneh. "Kamu anak
ingusan, tetapi kamu bisa lolos dari tiga muridku, artinya
kamu cukup jago. Siapa kamu, sebut gurumu supaya aku
tidak kesalahan membunuh orang."
Pada saat itu terdengar teriakan. "Guru!" Ternyata
Kalamasura dan dua temannya sudah tiba di situ.
Geni mengeluh. "Celaka, tiga muridnya saja aku tak
ungkulan, apalagi ditambah gurunya Mungkin sudah takdir
dewata, aku harus mati di sini." Tahu dirinya tak bakal lolos
dari maut, Geni berdiri tegap. Lukanya tak lagi dirasakan.
Kalau memang harus mati, matilah sebagai laki laki. Dia
menatap orangtua kurus itu. Tak ada rasa gentar sedikit pun.

Orangtua itu kurus kering seperti tengkorak hidup.
Pakaiannya serba hitam, celana sebatas lutut, telanjang dada
dengan jubah longgar yang terjulai sampai batas lutut
memperlihatkan tubuhnya yang kurus tinggal tulang dibalut
kulit. Rambutnya panjang riap-riapan. Wajahnya tiris dihiasi
kumis dan jengot jarang. Sebelah matanya hanya tinggal
kelopak tanpa bola mata Tampangnya seram dan tak enak
dipandang.
Geni berkata lantang, "Semua ini urusanku sendiri, tidak
ada sangkut pautnya dengan temanku ini." Ia menoleh
memandang Sekar dan mendorong gadis itu pergi, "pergilah
kamu"
Orangtua itu tertawa "Baru hari ini kutemui orang yang
berani memerintah di hadapanku Bocah gila, kamu belum tahu
bahwa semua orang yang pernah ketemu aku, hanya boleh
pergi jika kusuruh dia pergi."
Di luar dugaan Sekar bukannya pergi malah tertawa
mengejek. "Huh Kalayawana yang hebat, Penguasa Kegelapan
dari Gondomayu yang kesohor dan ditakuti, ternyata cuma
cacing kurus yang tak punya malu, beraninya cuma menghina
orang muda yang tak punya nama. Kamu memalukan,
Kalayawana sebaiknya kau pulang ke Gondomayu dan kubur
namamu yang hebat itu."
Semua orang terkejut. Wisang Geni terkesiap lantaran tidak
menyangka ketemu Kalayawana pembunuh dua orangtuanya.
"Kau pembunuh orangtuaku, kau punya hutang pada Lemah
Tulis, kamu harus mati di tanganku!"
Kalayawana dan tiga muridnya terkejut. Rupanya pemuda
itu orang Lemah Tulis. Dan si gadis punya nyali harimau,
berani mengolok-olok meski sudah tahu hebatnya
Kalayawana. Ejekan itu membangkitkan amarah Kalayawana
yang menghentak kakinya ke tanah. Tanah bergetar bagai
dilanda gempa. Itulah pameran tenaga dalam yang dahsyat.

"Kamu mulut lancang, dan kamu orang Lemah Tulis, harus
kupelintir batang lehermu, biar mampus."
Kalayawana mengangkat tangan hendak mencengkeram
Sekar, tetapi tangannya terhenti di udara. Sekar tertawa.
"Benar kataku, Kalayawana itu pengecut, hanya berani tarung
lawan orang kecil, kalau memang jago kamu cari lawan yang
sepadan."
Kalayawana kalap. "Gadis mulut busuk, coba siapa
pendekar yang kau hadapkan padaku, panggil kakek
moyangmu, panggil gurumu, biar kupecahkan batok
kepalanya, ayo bawa dia kemari."
"Huh, kamu pintar dan licik, sudah tahu aku sendirian,
kamu gembor-gembor nantang guruku, jangan-jangan
matamu yang tinggal sebelah akan copot lagi atau kepalamu
yang kecil kayak kepala udang itu pecah berantakan digebuk
guruku." Sekar mengejek dengan pemikiran Kalayawana akan
malu turun tangan dan membiarkan mereka pergi. Tetapi
ejekannya kelewat batas.
Kalayawana tak bisa menahan diri lagi Selama ini tak ada
orang berani menghina dirinya sepertiyang dilakukan Sekar. Ia
marah dan berteriak keras, tubuhnya melayang ke arah Sekar.
Pada saat itu Wisang Geni sudah memutuskan akan adu
jiwa. Orang ini adalah musuh utamanya yang membunuh
orangtuanya. Hutang nyawa bayar nyawa. Ia tak memikirkan
lagi keselamatan diri. Juga tak peduli ilmu silat musuh lebih
tinggi di atasnya. Dalam keadaan terluka, Geni menggigit
lidahnya sendiri. Itu cara menghimpun seantero tenaga dalam.
Tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Sikap ini sangat
berbahaya. Hampir sama dengan bunuh diri. Tak ada tenaga
cadangan dalam tubuh, akibatnya fatal. Jika terluka, sulit
untuk sembuh. Geni memang nekad, "Kamu mati atau aku
yang mati," teriaknya sambil menyerang dengan jurus
Shuhdrawa (Hancur Luluh) dari Garudamukha.

Sekar sejak awal sudah menggenggam pasir di tangannya.
Ketika datang serangan Kalayawana, ia mengelak sambil
melempar wajah lawan dengan pasir.
Kalayawana terkesiap. Serangan dua anak muda itu cukup
berbahaya. Tetapi dasar dia memang lihai. Ia menggerakkan
tangan kiri menolak serangan Geni, adu tenaga. Tangan
kanan mengibas pasir mengembalikan kepada Sekar. Ia
bergerak seperti ayal-ayalan tetapi akibatnya luar biasa. Pasir
itu kembali menyerang Sekar yang terpaksa bergulingan.
Sebagian pasir menerpa tubuhnya, rasanya panas. Geni
menerima akibat yang jauh lebih parah. Adu tenaga itu berat
sebelah. Tenaga dingin Kalayawana menghantam telak Geni,
menerobos sampai ke tulang sumsum. Mata Geni melotot. Ia
muntah darah, tiga kali. Tubuhnya bergetar kedinginan.
"Kalian akan mati dengan perlahan-lahan, karena aku tadi
hanya menggunakan sebagian tenaga saja." Ia lalu tertawa
keras, lengking suaranya bergelombang, nyaring tajam dan
kering. Suara ku menusuk telinga Sekar dan Geni. Itulah
tertawa Begananta yang bisa membuat lawan hilang ingatan
atau mati Dalam keadaan sehat pun belum tentu Sekar dan
Geni bisa mengatasi tertawa iblis apalagi dalam kondisi luka
parah. Sesaat kemudian jantung mereka berdegup kencang,
wajah kemerahan karena sedikit demi sedikit darah mulai
berkumpul di kepala.
Wajah Sekar merah membara, keringat membasahi
tubuhnya. Dari mata mengalir air. Pada puncaknya nanti,
bukan air yang keluar dari pori dan lubang tubuh melainkan
darah. Wisang Geni lebih sengsara, ia rubuh. Ia merasa ribuan
semut menggerogoti tubuh terutama kepala. Ia memusatkan
pikiran, kalau harus mati maka matilah sebagai laki-laki.
Jangan menjerit, jangan mengeluh dan jangan mengemis
kepada lawan.
Pada saat kritis itu terdengar suara perempuan tertawa.
Tawa itu menindih tawa Kalayawana, terdengar merdu dan

meringankan penderitaan Geni dan Sekar. "Memang hebat
tertawa Begananta dari kuburan Gondomayu, mana bisa dua
orang muda itu melawanmu," seru perempuan itu.
Suasana mendadak lengang. Kalayawana menghentikan
tawanya. Sepasang lelaki dan perempuan mendatangi. Geni
mengenalnya sebagai dua orang yang duduk di warung makan
tadi. Kalayawana bercekat hatinya. Tawa perempuan itu telah
mampu menerobos dan mengganggu lengkingnya. Itu saja
sudah hebat. Apalagi itu dilakukan dari jarak jauh. Tak
disangkal menilik ukuran tenaga dalamnya, orang itu jelas
pendekar dari kalangan atas.
"Siapa sampean?"
Kalabendana dan Kalayuda tadinya hendak memaki dan
menghajar perempuan itu. Tetapi mendengar nada
pertanyaan sang guru, mereka urung. Kalau gurunya sampai
peduli siapa orang itu, artinya cuma satu, ilmu silat orang itu
cukup tinggi.
"Selamat bertemu Kalayawana, aku Malini dan ini suamiku
Kumara. Kami orang asing di tanah Jawa ini, sengaja kami
datang untuk berkenalan dengan para pendekar tanah Jawa."
Dua orang asing itu melangkah santai. Langkahnya ringan
namun geraknya pesat. Saat berikut mereka sudah berdiri dua
tombak dari Kalayawana. Ilmu ringan tubuh mereka nyaris
sempurna. Malini berusia sekitar tigapuluh, suaminya mungkin
lima tahun lebih tua.
Kalayawana memandang tajam. Malini berpakaian aneh.
Bagian bawah, celana longgar. Bagian atas sepertinya dililit
kain sutera berlapis-lapis. Kulit tubuhnya putih pucat kontras
dengan warna pakaiannya yang hijau tua. Ia cantik,
hidungnya mancung, mulut agak lebar, rambut panjang
disanggul rapi dan bergelung di atas pundaknya. Matanya
bening dan berkilat-kilat. Suaminya yang bernama Kumara
juga berdandan aneh. Celana longgar, panjang sekilas kaki.

Bajunya sempit tanpa lengan dan terbuka di bagian dada
memperlihatkan bulu dada yang hitam. Rambutnya hitam
keriting digelung di atas kepala. Kulit tubuhnya sawo matang.
Ia juga berhidung mancung, wajahnya membersit kekerasan.
Diam-diam Kalayawana mengatur pernafasannya. Kalau
terjadi pertarungan, jelas dua orang itu bukan lawan ringan.
Tiba-tiba ia teringat seseorang. "Apa hubungan kalian dengan
Lahagawe?"
"Bagus kamu masih ingat akan paman guruku. Ia kini
bertapa di kaki gunung Himalaya. Meskipun kamu mengaku
kenal dengan paman guruku itu, tetapi jika kamu
menyombongkan diri, tetap akan kuhajar."
Kalayawana penasaran. "Tetapi bagaimana bisa kamu
mengetahui aku Kalayawana dan jurus ketawa Begananta,
kamu juga bisa bahasa Jawa, sudah lama tinggal di Jawa?"
Malini tertawa melihat Kalayawana penasaran. "Aku enam
bulan belajar bahasa Jawa, aku tahu semua nama pendekar
kosen di negeri Jawa berikut ilmunya. Aku sudah satu tahun di
tanah Jawa, nah kini kamu serahkan dua anak muda ini
kepadaku, aku punya urusan dengan mereka. Serahkan, itu
lebih baik bagimu"
"Tidak bisa semudah itu Anak muda perguruan Lemah Tulis
ini adalah urusanku, tak ada sangkutan dengan kamu,
pergilah!"
Berkata demikian Kalayawana menoleh ke Geni dan Sekar.
Dua muda mudi ini dalam keadaan luka parah. Sekar berusaha
mengatur pernafasan, meski pun agak sesak namun bisa
berjalan lancar. Adapun Geni, luka tenaga dalamnya sangat
parah. Bangkit atau bergerak pun sulit. Ia tak lagi punya
tenaga. Jalan darahnya sudah tidak karuan. Menurut tata cara
dan ilmu pengobatan yang dipelajarinya dari guru Waragang,
ia tahu lukanya sulit untuk bisa disembuhkan. Tenaga
dalamnya rusak. Awalnya tenaga dalamnya terluka kena hajar

Kalayuda. Tetapi paling parah adalah pukulan
Kalayawanayang menggunakan jurus Ghandarwapati pada
saat Geni mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya.
Tiba-tiba Malini tertawa, lengkingnya tinggi dan nyaring.
Makin lama makin bergelombang. Udara di sekitar terasa
bergetar. Itu pameran tenaga dalam tingkat tinggi.
Kalayawana terkesiap, belum tentu ia bisa mengungguli
tenaga Malini. "Aku sebenarnya ingin menguji pukulan
Ghandarwapati dan ketawa Begananta tetapi aku tidak yakin
kamu akan bersedia, mungkin kamu letih setelah tarung
dengan dua anak muda ini." Malini menghentikan tertawanya.
Tampaknya Kalayawana tersinggung, tetapi belum juga
memutuskan sikap, terdengar suara Kumara. "Kalayawana si
jago tua, berbaik hati kepada isteriku adalah bijaksana."
Selesai kata-katanya ia merogoh saku, mengeluarkan gelang
perak, melemparnya dengan asal-asalan ke udara Gelang
meluncur pesat mengeluarkan suara mencicit dan tepat
membelenggu seekor burung yang sedang terbang. Burung
jatuh agak jauh. Kumara menggerakkan tangan, burung itu
tersedot ke telapak tangannya. Ia membuka belenggu gelang
kemudian melepas burung itu mengudara lagi. "Itu mainan
anak-anak di kampung kami," kata Kumara dingin.
Kalayawana terdiam "Gila, mereka sengaja ingin
membentur aku, tetapi terus terang belum tentu aku bisa
menang meski seandainya tiga muridku ikut bertarung.
Lagipula, mereka inginkan dua anak muda itu, apa peduliku,"
katanya dalam hati Kalayawana menoleh ke tiga muridnya.
"Ayo kita pergi, masih ada urusan lain yang lebih penting,
kebetulan aku sudah tak ada kepentingan lagi dengan dua
anak muda itu, Malini kamu ambillah."
Geni melotot menatap Kalayawana. "Suatu hari kelak, kau
akan menyesal tidak membunuhku hari ini, karena pada hari
itu aku akan membunuhmu"

Orangtua yang dijuluki Iblis Gondomayu itu tertawa keras.
"Kamu harus menghindar jangan sampai ketemu aku lagi.
Akan kucincang tubuhmu dan kuberikan kepada anjing. Kamu
jangan mimpi melawanku, meski sepuluh tahun kamu
berlatih!"
Geni melihat semua kejadian. Ia tahu ilmu silat dua
pendekar asing ini telah membuat Kalayawana ciut nyalinya.
Ia tidak kenal kedua suami isteri itu. "Katanya ia ada urusan
dengan aku, urusan apa? Aku belum pernah jumpa dengan
keduanya."
Malini menghampiri Geni. Ia berjongkok memeriksa denyut
nadi. Saat berikut ia memeriksa Sekar. Geni memandang
Malini. Tadi ketika wanita itu jongkok di dekatnya ia mencium
aroma harum Bau tubuh perempuan. Anehnya bau itu seperti
tak asing, ia merasa pernah mencium bau yang sama. Tetapi
di mana, ia lupa.
"Anak muda, temanmu cuma luka ringan, tidak sulit
mengobatinya. Tetapi lukamu parah, tenaga dalammu luka
berat, kukira tak ada tabib yang bisa mengobatimu Kupikir
kamu sudah mendekati ajalmu, kasihan, padahal kamu masih
muda."
Suara Geni nadanya getir. "Aku tahu."
Kumara berkata dalam bahasa India. Suaranya ketus dan
kasar. Malini membalas tak kalah sengitnya. Dua orang itu
bertengkar. Sesaat kemudian keduanya diam. Malini
menghampiri Geni. "Kata suamiku, ia bisa mengobati kamu'"
Wisa Geni berseri, "Terimakasih, mau menolong aku."
Suami isleri itu diam. Geni heran. Suasana lengang. Tibatiba
Sekar memecah kesunyian. "Kamu mau menolong
kawanku, tetapi tidak secara cuma-cuma, begitu kan? Katakan
apa bayarannya?"

Malini senyum "Adik kecil ini cerdas. Memang kami akan
minta kau menolong kami, setelah kamu sembuh nanti, kamu
bersedia?"
Wisang Geni memandang Malini. Ia mengagumi
kecantikannya, yang tampak makin cantik jika tersenyum Saat
dia akan mengiyakan, Sekar mencegah. "Jangan sembarang
janji, tanya dulu, apa yang ia maui dari kamu"
"Siapa gadis ini, apa dia isterimu?"
Geni menggeleng. "Kami hanya teman biasa. Memang
begitu lebih adil, kamu katakan apa yang harus kukerjakan
jika kamu sudah menyembuhkan aku."
"Baiklah!" kata Malini, mulurnya kemudian komat-kamit.
Sekar melihat Geni memerhatikan penuh perhatian. Ia hendak
bersuara tetapi batal, teringat sesuatu. "Rupanya ia bicara
menggunakan ilmu memendam suara, baru hari ini aku
menemui orang yang menguasai ilmu hebat ini. Jelas ia hanya
mau bicara dengan Geni, dia tidak mau aku mendengar."
Geni mendengarkan. "Tak usah heran aku tahu, namamu
Wisang Geni, kamu murid Lemah Tulis. Kami sedang mencari
tokoh sakti Lemah Tulis, Ki Suryajagad. Dia kawan karib
paman guruku, Lahagawe. Ada pesan yang harus
kusampaikan pada tokoh sakti Suryajagad. Kau bantu
mengantar kami menemuinya, itu saja."
Hanya sekilas mendengar Geni lantas mengerti
persoalannya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan
Malini. Dalam hati ia tertawa, "Dia pikir bisa menipuku.
Lahagawe adalah orang yang dikalahkan Eyang Sepuh
Suryajagad di perang Ganter, tak mungkin dia seorang
sahabat. Ini pasti urusan dendam. Ternyata mereka adalah
musuh Lemah Tulis."
Wisang Geni menjawab ia tak bisa membantu. Kontan
wajah Malini berubah. Kulit mukanya yang putih berubah
merah lantaran marah. Kumara menghampiri Geni. 'Jika kamu

tak mau membantu maka telanlah racun ular salju ini." Ia
menjejalkan satu butir obat ke mulut Geni. Malini juga
menjejalkan obat serupa ke mulut Sekar. Dua anak muda ini
tak kuasa menolak
Dengan logat asing, Kumara menjelaskan racun itu mulai
bereaksi besok, penderitaan akan meningkat setiap hari. Pada
hari ketujuh sudah tak bisa ditolong lagi dan akan mati pada
hari kedelapan.
"Kami menunggu di warung makan tadi, sampai malam
nanti. Esok pagi kami sudah pergi jauh, jika mau memenuhi
syarat, kamu boleh datang menemuiku dan akan kuobati,
bukan cuma menyembuhkan racun ular salju juga luka
dalammu Jika tidak datang artinya kamu memilih mati sendiri,
jangan salahkan kami!"
Matahari mulai doyong ke barat. Geni dan Sekar masih
terkapar di hutan. Geni memandang Sekar dengan iba. "Gadis
ini tak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah terlibat urusanku
Bahkan nyawanya kini terancam, bakal mati sengsara jika tak
memperoleh obat penawar racun."
Sebenarnya Geni sudah bulat tekad tak mau menerima
pertolongan dua pendekar asing itu, apalagi dengan syarat
seperti itu. Itu kan sama dengan mengkhianati perguruannya.
Lagipula mengemis pertolongan bukan sikap pendekar. Tetapi
bagaimana dengan keselamatan Sekar yang tak berdosa?
Geni bimbang. "Biarlah aku tak perlu diobati, Sekar saja
yang diberi penawar. Sebagai gantinya aku akan mengajak
mereka ke suatu tempat terpencil di bukit Lejar. Dalam
perjalanan mungkin aku bisa menemukan jalan lolos.
Pokoknya aku tidak akan mengkhianati perguruan, lagipula
mana aku tahu di mana tempat Eyang Sepuh Suryajagad."
Berpikir demikian Geni memaksa berdiri. Sekujur tubuhnya
sakit dan nyeri. Susah payah ia bisa juga berdiri meski harus

bersandar di pohon. "Ayo kita jalan, tak perlu menunda-nunda
waktu lagi."
"Kemana kita ?"
"Pergi menemui orang asing itu, kan mereka yang punya
obat penawar." Geni tak hirau keheranan kawannya, ia
berusaha berjalan meski tulang-tulangnya seakan menjerit
sakit, nyeri dan ngilu. Tetapi Geni memaksa diri, ia melangkah
sempoyongan.
"Pergilah sendiri, aku di sini saja," suara Sekar ketus. Geni
menoleh ke belakang, dilihatnya Sekar masih tak beranjak dari
duduknya. "Ayo Sekar kita ke warung tadi."
"Kamu pergi sendiri, aku tidak. Aku tak sudi mengemis
pada musuh, itu tidak pernah ada dalam benakku. Bagiku mati
lebih terhormat ketimbang mengemis minta ampun."
Wajah Geni merah seketika. Ia malu dan tersinggung.
Ditatapnya Sekar dengan tajam. Wajah yang penuh bekas
cacar itu meringis kesakitan. Geni diam-diam memuji sikap
kawannya. "Aku juga tak bermaksud mengemis belas kasihan
musuh. Mati bagiku urusan kecil, kehormatan buatku
urusannya besar. Tetapi aku memikirkan keselamatanmu,
Sekar."
"Ada apa dengan aku?"
"Kamu masih muda. Kau tak tahu urusan, kau cuma
terbawa-bawa dalam urusanku karenanya aku
bertanggungjawab atas keselamatanmu Kau terluka gara-gara
menolongku."
"Kamu salah. Kau juga masih muda. Kita berdua luka
karena ilmu silat kita yang rendah, jangan salahkan orang lain.
Kamu telah berbuat baik kepadaku, orang lain biasanya jijik
melihatku, tetapi kamu malah mengajak aku makan. Kamu
duluan yang berbuat baik, jika setelah itu aku menolongmu,
kukira itu wajar saja."

Geni takjub akan sikap kawan barunya. Ia memerhatikan
lebih teliti. Sekar tidak kurus. Tubuhnya berisi, dibungkus
pakaian agak ketat menonjolkan potongan tubuhnya yang
langsing. Wajahnya boleh dikata cantik jika saja tak ada
bercak hitam bekas cacar. Hidung tak terlalu bangir. Mulut
kecil berbentuk bulat dengan bibir penuh. Geni merasa
kasihan, "Kalau tak ada bercak bekas cacar, pasti dia kelihatan
cantik."
Sesaat dua anak manusia itu saling tatap. Ditatap demikian
tajam oleh seorang lelaki, Sekar merasa darahnya mengalir
cepat. Ia merunduk malu, rambutnya yang hitam lebat
menutup wajahnya. "Kenapa kau memandangku begitu?"
Sekar gadis yang polos. Apa yang dipikirnya, itu yang dia
ucapkan. Tak ada tedeng aling-aling, dan pertanyaan itu
sungguh mengena.
Tanpa pikir panjang Geni mengatakan apa yang ada di
benaknya. "Kamu sebenarnya gadis yang cantik, Sekar."
Tiba-tiba saja Sekar menengadah menatap Geni dengan
marah. Matanya berkilat-kilat Ia melompat bangun, kemudian
menerjang Geni. "Bangsat, kamu sama saja dengan yang
lain!"
Meski melihat datangnya serangan tetapi Geni tak punya
tenaga untuk menangkis atau mengelak. Pukulan mendarat di
bahu Geni yang dengan susah payah berhasil menangkap
tangan si gadis. Ia memeluk Sekar. "Kenapa kamu marah, aku
mengatakan sesuatu yang benar."
Seketika Sekar sadar. Ia memberontak, tetapi Geni tetap
memeluk. Akhirnya gadis itu diam membiarkan tubuhnya
dipeluk. Hari sudah malam Selama ini Sekar kenyang dihina
orang karena bekas cacarnya. Ia senang berkenalan dengan
Geni yang tampak tidak jijik berada di dekatnya. Geni bahkan
mengajaknya makan bersama. Namun pujian Geni tadi
dikiranya sindiran seperti halnya orang-orang sering
mengejeknya.

Suara Geni terdengar merdu di telinganya. "Sekar, aku
memujimu dengan tulus, kamu memang cantik, aku sungguhsungguh."
"Aku tahu. Tetapi Geni, apakah kamu tidak jijik memeluk
aku, kamu tidak takut terjangkit cacar?"
Geni memeluk erat tubuh Sekar yang ternyata sintal dan
lembut. "Tidak, aku tidak jijik. Banyak orang tidak tahu bahwa
cacar yang sudah sembuh, tidak bisa menular. Dan kamu
sudah sembuh total, hanya bekasnya yang tertinggal, Sekar."
Tangan Sekar melingkar ke punggung Geni. Gadis itu balas
memeluk. Geni merasakan lunaknya buah dada menghimpit
dadanya. Ia juga merasa nafas Sekar yang panas dan
tersengal-sengal. "Geni, kita berdua akan mati oleh racun ular
salju, apakah kamu benar-benar tidak jijik padaku?"
"Tidak!" Geni lalu mencium mulut si gadis, ciuman panjang.
Ia melucuti pakaian si gadis.
"Geni, aku masih perawan," Sekar berbisik setengah
mendesis.
Wisang Geni sibuk menggerayangi tubuh Sekar yang
ternyata montok dan sintal. Sepanjang malam dua insan itu
merenangi nikmatnya bercinta di kegelapan hutan.
Ketika fajar menyingsing, matahari mulai menerangi hutan,
burung dan binatang hutan lainnya bangun mulai mencari
makan, dua insan itu masih tidur saling berpelukan. Sekar
terjaga. Ia sadar tubuhnya bugil dan masih dalam pelukan
Wisang Geni. "Hei Geni, bangun, sudah pagi!" Ia bereaksi
melepas diri dari pelukan. Tetapi lelaki itu malah memeluknya
lebih erat.
"Aku pikir, tenagaku sudah hilang seluruhnya, ternyata
tidak, mungkin saja racun itu belum bekerja"
Geni menatap wajah Sekar, "Adik Sekar, apakah kamu
menyesal dengan kejadian tadi malam?"

Sekar menggeleng. "Tidak, aku tak menyesal, aku justru
sangat menikmati, tapi Geni tak lama lagi hari akan terang,
sebaiknya berpakaian sebelum dilihat orang, malu."
Geni tidak menyahut, ia memandangi tubuh bugil Sekar.
Tidak banyak bekas cacar di tubuh molek itu, masih tampak
dominasi kulit yang kuning sawo. "Kau memang cantik, Sekar.
Aku mengerti ilmu pengobatan, setahuku, bekas cacarmu itu
bisa hilang, ada obatnya meskipun ramuannya agak sulit
diperoleh."
Sekar hendak mengenakan pakaian, Geni mencegah. Ia
memeluk dan menciumi tubuh molek itu.
Sekar terengah-engah. "Geni, hari sudah siang, nanti dilihat
orang."
Geni tidak peduli. Akhirnya Sekar pun ikut tidak perduli.
Keduanya bergelut di tengah matahari pagi yang mulai
menerobos pepohonan lebat.
Dua anak manusia yang sedang diamuk birahi, bagaikan
berenang di alam maya aldiirnya terhempas kembali ke alam
nyata. Geni tertawa, Sekar tertawa. Ia memeluk Geni seperti
tak mau melepas lelaki itu. "Geni, sekarang ini mati pun aku
siap, tetapi aku masih mau hidup lebih lama lagi, hidup
bersamamu, Geni. Alasan itu mendorong aku harus pulang ke
rumah nenek."
"Mengapa pulang ke rumah nenekmu?"
"Nenek adalah pendekar wanita yang dikenal sebagai Dewi
Obat, ia sudah mengundurkan diri dari dunia kependekaran. Ia
mampu mengobati bekas cacar di kulit wajah dan tubuhku.
Tetapi waktu itu aku tidak mau, aku belum bersedia. Sekarang
aku mau."
"Mengapa kamu tak mau, bukankah setiap wanita ingin
kelihatan cantik?"

"Karena tak ada lelaki yang menyukai aku, tak ada yang
bersedia menjadi kekasihku."
Geni tertawa. Ia menganggap Sekar, gadis yang aneh.
Sekar seperti bisa membaca pikiran Geni. "Kamu benar,
memang sulit mencari lelaki yang tidak jijik padaku. Tetapi
alikirnya kan aku menemukan lelaki itu," dia menatap dengan
sinar mata mencinta. Dia melanjutkan sambil memeluk Geni.
"Menurutku, jika lelaki itu tidak jijik padaku, atau dia
menyayangiku, tentu dia akan lebih sayang dan lebih
mencintaiku jika wajah dan tubuhku sembuh dari bercak cacar
ini. Itu sebabnya, aku ingin pulang secepatnya ke Lembah
Cemara agar nenek menyembuhkan bekas cacar ini."
"Jauhkah Lembah Cemara?"
"Tidak jauh, jika perjalanan cepat dengan kuda bisa dua
hari, jika jalan kaki dalam keadaan luka seperti sekarang
mungkin bisa enam han. Geni, kita harus ke sana, nenek akan
mengobati lukamu dan juga mengobatiku, kita berdua bisa
menetap di sana bercinta setiap hari, oh aku akan bahagia."
Geni teringat Walang Wulan, kekasihnya itu. "Tetapi Sekar,
aku sebenarnya punya kekasih, aku sedang mencarinya."
Geni heran melihat Sekar tersenyum Gadis itu memeluk
Geni dan berbisik, "Aku tak akan menyuruh kamu mengusir
dia, kamu tahu Geni, ayahku hidup bersama tujuh isteri. Aku
tak peduli berapa perempuan yang menjadi isterimu, yang
penting aku salah seorang di antara mereka." Sekar tertawa.
Mendadak Sekar diam, Geni juga diam Suasana lengang.
Sesaat kemudian sayup-sayup terdengar derap kuda
mendatangi. Dua muda-mudi itu bergegas mengenakan
pakaian. Seperti bisa membaca pikiran masing-masing,
keduanya cepat bersembunyi di belakang batu besar,
berhimpitan.
Saat berikut rombongan berkuda berhenti di dekat batu
besar itu. Delapan orang. Dari dandanan tampaknya mereka

hulubalang keraton. Geni dan Sekar tak berani bergerak
sembarangan, takut ketahuan.
"Kita istirahat di sini." Yang berkata itu seorang lelaki
bertubuh tinggi kekar. Tampaknya dia pimpinan rombongan.
Mereka melompat dari tunggangan Gerakannya sebat,
dipastikan mereka memiliki ilmu silat yang handal. "Kangmas
Dwi, apa rencanamu Sudah empat hari kita belum juga
menemukan Gusti Puteri Waning Hyun Kurasa kita kehilangan
jejak."
Dwi duduk tepat menghadap batu besar tempat Geni dan
Sekar bersembunyi "Aku tak tahu Dimas Walu. Sebenarnya
dengan ilmunya yang tinggi, puteri Hyun tak perlu terlalu
dikhawatirkan, apalagi ia selalu didampingi gurunya Ki
Bhojana yang aneh. Tetapi yang membuat aku was-was
adalah berita duabelas anggota regu Sinelir keraton Kediri
sedang bertualang di luaran." Ia menoleh ke samping kanan.
"Diajeng Trini, apa pendapatmu?"
Wanita bernama Trini diam sejenak, "Kangmas, kupikir
sebaiknya kita menyebar dalam dua kelompok, siapa lebih
dulu menemukan Paduka Puteri atau ketemu regu Sinelir,
segera memberi tanda."
Usul Trini disetujui semua kawannya. Salah seorang yang
duduk berhadapan dengan Dwi dan Trini, bertanya, "Apa
tanda yang kita gunakan ?" Sambil berkata ia menggores
tanah di dekat kakinya. Ia menulis pesan. "Ada orang di
belakangku."
Ia memang duduk paling dekat dengan batu besar tempat
sembunyi Wisang Geni dan Sekar. Sekitar lima tombak. Ia
mendengar desah nafas muda-mudi, namun ia tak mau
gegabah. Semua kawannya membaca tulisan itu, mereka
memandang Dwi. Rupanya dalam segala hal, ia yang
memutuskan "Soal tanda itu, nanti saja kita tetapkan di
tengah jalan. Kita tidak punya banyak waktu, ayo berangkat

sekarang. Dimas Panca kamu paling depan," katanya kepada
lelaki yang menulis pesan.
Semua bergerakke kuda masing-masing. Panca sambil
menjawab, "Baik Mas" ia memutar tubuh, maju dua langkah,
dua tangannya mendorong ke depan Tiga gerakan hampir
serempak. Tenaganya membanjir keluar dan menerpa batu.
Batu besar terdorong membentur Geni, dan Sekar yang
terkejut karena tak menyangka akan diserang. Keduanya
terjengkang kebelakang. Panca tidak berhenti sampai di situ.
Ia merangkak maju. Dua tangannya mencengkeram pundak
dan tengkuk Geni.
Wisang Geni merasa angin tajam mengiris kulitnya. Dalam
keadaan biasa serangan itu bisa dikelitnya. Tetapi tubuhnya
tak lagi menyimpan tenaga, membuat ia tak kuasa
menghindar. Lehernya pasti akan patah. "Tak nyana aku mati
di sini." Dalam hati Geni mengeluh. Tetapi sepasang matanya
menatap lawan tanpa kedip. "Mati sekarang atau satu tahun
lagi, sama saja, mengapa harus takut?"
Jari tangan Panca sudah membenam di leher Geni. Sedikit
mengerahkan tenaga, leher akan patah. Mendadak ia
mendorong. Geni terlempar. Ketika serangan pertamanya
dengan mudah menjatuhkan lawan, Panca yakin Geni dan
Sekar bukan orang dari kalangan silat Tapi ia menguji lebih
lanjut. Ternyata Geni bukan saja tak mampu mengelak,
bahkan tenaga menolak dari dalam pun tidak ada. Karenanya
pada saat alehir Panca batal menyerang. "Kau siapa, berani
mengintai kami?"
Sekar cepat menjawab. "Siapa bilang kami mengintai. Kami
lebih dulu berada di sini. Kalian datang belakangan. Kami
bersembunyi karena tak mau jumpa dengan orang. Lalu kalian
berhenti istirahat di sini, apakah kami yang salah?"
Delapan punggawa itu mengurung Sekar dan Geni.
Perempuan yang bernama Trini mendekat dengan ketus
bertanya pada Sekar. "Bocah, kau belum menjawab

pertanyaan tadi, siapa kalian?" Tak kalah ketus, Sekar
menjawab. "Apa perlu tahu nama kami. Kami cuma orang
biasa yang tak beruntung, yang akan mati dibunuh hanya
sebab tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian."
Lelaki bernama Dwi itu tertawa. "Hebat, mulutmu tak kalah
tajam dari pedang. Nduk, kami tak pernah membunuh orang
tak berdosa, kami tak akan membunuh kalian." Ia menoleh
memandang Geni. "Sampean tampaknya luka berat, siapa
namamu dan mengapa berada di sini?"
Dalam hati Geni memuji pandangan jeli lelaki itu. "Namaku
Ambara, dan kawanku ini Suti, kami tidak beruntung ketemu
lawan yang lebih tinggi ilmu silatnya, kami kalah dan terluka."
Dwi tertawa. "Baiklah. Siapa pun namamu, aku mohon
padamu, anggap saja kalian tak pernah melihat kami, tak
pernah mendengar apa yang kami bicarakan, aku yakin kalian
akan penuhi permintaan ini." Ia memberi isyarat kepada
kawan-kawannya. "Kita pergi."
Delapan orang itu menghilang di kejauhan. "Siapa mereka?
Tampaknya mereka pendekar kelas satu. Mereka tak
mengganggu kka, kelihatannya mereka menjunjung tinggi
sikap ksatria," Geni berkata lirih.
Ternyata delapan pendekar tadi para hulubalang
kepercayaan raja Anusapati dari keraton Tumapel. Seluruhnya
ada delapanbelas. Mereka tak lagi menggunakan nama asli
atau nama julukan. Tetapi menggunakan urutan angka satu
sampai delapanbelas sesuai tingkat kepandaian masingmasing
Delapan hulubalang tadi, Dwi, Trini, Panca, Walu,
Ekadasa, Molas, Sodasa dan Pitulas.
”Tampaknya mereka bergegas mencari puteri Waning
Hyun, putri kesayangan Baginda Raja Parameswara. Ia kini
sedang diburu oleh pihak keraton Kediri. Sudah bukan rahasia
lagi adanya perebutan kekuasan antara keraton Kediri dengan

keraton Tumapel, padahal masih sesama saudara. Tetapi itu
bukan urusan kita, kita harus cepat pergi ke Lembah Cemara."
Geni kagum akan pengetahuan Sekar. "Katamu jika jalan
kaki bisa sampai enam hari, mungkin kita sudah mati di
tengah jalan, kata orang asing itu racun akan membunuh kita
dalam tujuh hari. Buat apa ke sana?"
Sekar memandang Geni. Ia tertawa. "Kau tunggu di sini."
Ia bergegas ke dalam hutan. Ia bersiul. Tak lama kemudian ia
datang menunggang kuda sambil menuntun seekor lainnya.
---ooo0dw0ooo---
Lembah Cemara
Keduanya melakukan perjalanan cepat ke Lembah Cemara.
Sekar sebagai penunjuk jalan berpatokan pada matahari.
Mereka beristirahat hanya waktu siang untuk makan. Sekar
menangkap ayam hutan dan memanggang. Keduanya makan
lahap. Tanpa istirahat lagi mereka melanjutkan perjalanan.
Hari sudah senja, mereka tiba di bagian hutan pepohonan jati
Ketika Sekar sedang mencari-cari tempat yang layak untuk
bermalam, dia mendengar suara keluhan. Ia menoleh,
ternyata Geni sudah terbaring di tanah. Lelaki itu terjatuh dari
kudanya. Dia terkesiap mendapatkan Geni menggigil hebat. Ia
menghampiri. "Geni kenapa kamu?"
Geni tak kuasa menjawab. Bibirnya gemetar. Butiran
keringat membasahi wajahnya yang pucat pasi Tampak ia
sangat kesakitan. Sekar ingat akan ancaman Kumara.
"Rupanya racun ular salju mulai bekerja," kata gadis itu.
Sekar hendak menolong, tetapi mendadak saja ia merasa
seperti ribuan semut merambat dalam tubuhnya. Rasa dingin
itu datang menusuk sampai ke tulang, ia menggigil hebat Rasa

sakit juga datang berbarengan. Nyeri dan ngilu. Sekar
berguling-guling di tanah, dari mulurnya keluar rintihan lirih.
Racun ular salju mulai bekerja. Seperti yang dikatakan
Kumara dan Malini, racun mulai bekerja satu hari kemudian.
Serangan racun di tubuh Sekar tidak begitu lama, hanya
sepenanakan nasi. Ketika serangan di tubuh Sekar sudah reda,
Geni masih menderita sakit. Geni memang lebih parah
disebabkan selain keracunan dia juga mengalami luka dalam
akibat pukulan Kalayawana. Serangan sudah mereda, namun
Geni masih merasa dingin. "Aku kedinginan."
Sekar yang sudah normal kembali, memeluk Geni. Ia
mengharap panas tubuhnya bisa menghangatkan tubuh lelaki
itu. "Geni, kamu harus bertahan, besok kita akan tiba di
rumah nenek."
Lelaki itu masih menggigil. Sekar memeluk lebih erat,
mencium mulut lelaki yang dicintai itu. "Geni, jangan mati, aku
mencintaimu"
Tak lama kemudian Geni merasa normal kembali. Sekar
bangkit. "Tunggu di sini." Ia pergi mengikat kuda di pohon.
Tak lama dia kembali menenteng dua ekor ayam hutan. "Aku
sudah menemukan tempat yang bagus untuk bermalam. Ayo
kita ke sana."
Geni hanya kehilangan tenaga dalam namun masih punya
tenaga macam lelaki biasa. Dia membantu Sekar
membersihkan tempat bermalam kemudian mengumpulkan
ranting dan kayu untuk membuat api. Keduanya duduk
bersanding berdampingan sambil menikmati ayam panggang.
Selesai makan, Sekar berbisik, "Geni, lukamu tampaknya lebih
parah."
"Aku luka dalam, kena pukulan Kalayawana dan juga racun
ular salju. Kalau menurut ucapan Kumara pada hari ketujuh,
racun akan membunuhku. Tapi melihat parahnya luka, aku
yakin kematianku akan lebih cepat, mungkin pada hari

keempat. Celakanya serangan rasa sakit lebih cepat
datangnya, mungkin besok siang racun akan menyerangku
lagi, begitu seterusnya. Serangan berikut mungkin besoknya di
pagi hari."
"Kalau aku, bagaimana? Parah juga?"
"Kamu tak begitu parah, racun akan menyerangmu pada
senja hari, sama seperti sekarang ini. Kau masih bisa hidup
sampai hari kemjuh seperti ancaman Kumara."
Keduanya berpelukan. Geni mencium leher si gadis. "Sekar,

tadi kau berkata, kau mencintaiku, benarkah?"

0 komentar:

Posting Komentar

 
;