Sabtu, 17 Mei 2014

wisanggeni 32

Esoknya, hari pertama bulan Srawana, fajar baru
menyingsing, rombongan siap-siap berangkat. Gayatri
memeluk Sekar dan Prawesti. Ketiganya menangis. Gayatri
menangis di pundak Sekar. "Mbakyu Sekar, ajak Geni cepat
menyusul ke pelabuhan Jedung, waktu sangat sempit, satu
hari saja terlambat maka aku sudah berangkat ke Himalaya."
Sekar tersedu-sedu mengiyakan. "Aku tunggu dia di sini,
kita pasti akan menyusulmu, secepatnya. Itu pasti adikku,
jangan khawatir."
Saat itu tanpa setahu Gayatri dan Sekar yang masih
berpelukan, Prawesti menghampiri Yudistira dan isterinya.
"Pendekar Himalaya yang kenamaan, kamu tidak pantas dan
tidak adil jika menghukum putrimu Kalau kamu lakukan itu,
maka kamu adalah seorang ayah yang tak punya
tanggungjawab, ayah yang jahat, dan sedikit pun tidak
menyayangi kemanusiaan."
Alis Yudistira berdiri. Ia menatap gadis cantik ini. "Kamu
siapa, berani lancang bicara padaku?"
"Aku orang kecil, tetapi jika kamu memang suka
membunuh, kamu ambil nyawaku sebagai penukar hukuman
Gayatri, karena aku lihat kamu ini seorang ayah yang haus
darah."
Tubuh Yudistira gemetar, saking marahnya. "Aku tanya,
kamu siapa, apa hubunganmu dengan Wisang Geni?"
"Aku isteri Wisang Geni!"
Saat itu Gayatri dan Sekar sudah melihat apa yang
dilakukan Prawesti. "Gayatri lihat, itu Prawesti sedang bicara
dengan ayahmu. Anak edan itu, apa yang dia lakukan?"

Gayatri menggeleng kepala. "Aku sudah berpesan padanya,
jangan menentang ayahku. Tetapi dia melanggar pesanku.
Mbak, sekarang apa yang harus kita lakukan?"
Melihat Yudistira memegang dahi, isterinya tahu suaminya
sedang berpikir keras, memikirkan sesuatu yang pelik. Tak
sabar Satyawati bertanya kepada Prawesti. "Jadi kamu itu
isteri Wisang Geni, dan Gayatri juga isterinya, begitu
maksudmu?"
Diam-diam di dalam hati Prawesti memaki Wisang Geni.
Berita ini pasti membangkitkan amarah orangtua Gayatri. Ia
menjawab lirih, "Aku pikir kakak Gayatri sudah memberitahu
kalian. Tetapi biarlah, karena aku sudah terlanjur akan
kuceritakan seluruhnya. Pendekar Himalaya yang terhormat,
anak menantumu yang namanya Wisang Geni itu, dia punya
tiga isteri. Nomor satu, Sekar, itu orangnya," sambil ia
menunjuk arah Sekar.
Ia melanjutkan, "Nomor dua, kakak Gayatri. Nomor tiga,
aku, Prawesti. Mungkin di masa datang, dia akan menambah
isteri lagi, sebab sekarang ini Sekar dan Gayatri sedang hamil.
Itu sebab dia pergi ke gunung Bromo, mencari obat penguat
kandungan. Dia ingin banyak anak. Kamu akan menjadi kakek
dari banyak cucu, pendekar Himalaya."
Yudistira merasa darahnya seperti mendidih. Bagaimana
mungkin ada cerita gila macam ini. Tanpa sadar, ia berteriak,
keras dan membahana. "Gayatriiiiiiii!"
Teriakan itu dilandasi tenaga dalam tingkat tinggi. Suaranya
memantul menggema di tebing dan hutan. Semua orang
terkejut. Prawesti kaget, mundur sampai di dekat Sekar dan
Gayatri. Dalam hati Gayatri berteriak, "Mati aku sekarang!"
Satyawati menggenggam tangan suaminya. Tangan itu
gemetar. Sesaat kemudian Yudistira diam, menenangkan diri.
"Ini benar-benar gila, kisah ini lebih gila dari cerita dan kisah

yang pernah kudengar. Gayatri, kamu kawin dengan lelaki
yang sudah beristeri?"
Kalimat terakhir ini dia kirim lewat tenaga dalam sehingga
hanya Gayatri sendiri yang mendengarnya. Gayatri mengirim
suara juga dengan tenaga serupa. "Maafkan aku, ayah, aku
jatuh cinta padanya karena dia sangat mencintaiku, dia sangat
kasmaran padaku!"
Yudistira tertawa. "Baik kita lihat bersama nanti, apakah dia
benar-benar mencintaimu dan apakah dia sungguh pendekar
sejati, kuharap saja kata-katamu benar dan suamimu itu
menyusul kita ke Jedung. Kita tunggu dia di Jedung."
---ooo0dw0ooo---
Pada malam di penghujung bulan Asadha, saat Gayatri
sedang menghadapi pertemuan keluarga di rumahnya di
lereng Welirang, saat yang sama Wisang Geni bertengkar
dengan Manohara di dalam goa kecil itu. "Kau bisa saja
menawan aku di sini dengan tidak mengantarkan aku keluar
dari hutan kamboja dan padang ilalang, itu urusanmu. Tetapi
aku tetap harus berangkat besok pagi, isteriku sedang
menanti aku."
Manohara mendekap Geni. "Aku tak pernah berpikir akan
menawanmu di sini, aku bukan perempuan murahan yang
licik. Aku akan mengantarmu keluar tetapi aku akan
membuntuti sampai gunung Welirang. Aku akan mohon, kalau
perlu mengemis pada Sekar dan Gayatri, aku hanya ingin
bersamamu sampai hari tua."
Geni menolak, alasannya ia perlu menghemat waktu, jalan
cepat agar tidak terlambat. "Apanya yang terlambat," tukas
gadis cantik itu. "Malam kemarin, kamu mengatakan tidak
terburu-buru dan masih ada sisa waktu dua malam lagi, tetapi
sekarang ini kamu bilang akan terlambat. Tidak perlu
beralasan katakan saja kalau kamu sudah bosan, kalau kau

cuma pura-pura menyintai dan menyukai aku, kamu kan
sudah puas selama dua hari meniduri aku, merayu dan
merayu, tak pernah berhenti."
Geni diam saja. Manohara semakin liar. "Aku pikir Sekar
dan Gayatri pasti mau menerima aku sebagai selirmu. Tak ada
wanita yang sanggup menjadi isterimu, melayanimu sendirian,
dengan kekuatan dan nafsumu yang tidak normal itu. Kamu
perlu paling tidak empat atau lima selir selain dua istrimu itu.
Sekarang baru Prawesti, masih ada lowongan tiga selir lagi.
Kenapa? Kamu takut pada Gayatri, takut pada Sekar? Lucu
sekali, pendekar tanpa tandingan di tanah Jawa ini takut pada
isteri-isterinya."
Wisang Geni menerkam gadis itu. "Mulutmu tajam. Kamu
ini memang kucing liar." Ia memeluk Manohara, menepuknepuk
bokongnya macam orangtua yang memarahi dan
memukuli pantat anaknya yang nakal.
"Benar apa kataku, kamu sudah terangsang lagi, kan,"
sambil berkata demikian, Manohara berontak dan mengecup
mulut lelaki itu Malam itu, Geni kembali menggeluti tubuh
molek Manohara, sementara di tempat lain Gayatri menangis
dalam pelukan Satyawati berulang kak menyebut nama Geni,
sampai ia tertidur. Dalam tidurnya Gayatri bermimpi
berpelukan dengan Geni di sebuah goa kecil di tengah kebun
bunga di istana keraton Tumapel.
Esok pagi, ketika fajar menyingsing di hari pertama bulan
Srawana, pada saat Gayatri pamitan dengan keluarga Gajah
Lengar dan Gajah Nila serta murid-murid Lemah Tulis lainnya,
saat yang sama di kaki gunung Bromo, Wisang Geni
terbangun dari tidur lelap.
Manohara masih terbaring bugil di sampingnya. Geni
teringat isterinya. Ia harus berangkat sekarang ini. Samarsamar
ia melihat cahaya fajar menerobos sela pintu goa. Ia
mengenakan pakaian.

Manohara terjaga. "Aku ikut." Suara gadis itu tegas.
Manohara cepat mengenakan pakaian. "Aku ikut, aku tak mau
ditinggal. Aku ikut, ke neraka pun aku ikut, kamu tak punya
hak mencegah aku."
Geni tak bisa lagi menghalangi tekad si gadis. "Bagaimana
dengan gurumu, kamu kan harus pamitan dengan dia."
Manohara tertawa genit. "Itu tandanya kamu setuju, begitu
kan suamiku?"
"Bukan suami, kamu bukan isteriku tetapi selir."
"Kamu salah, Geni. Aku memang selir, tetapi kau tetap
suamiku."
"Sudah tak perlu berdebat lagi, aku tanya tentang gurumu"
Manohara mendekat dan memeluk Geni. "Kau sudah
menyatakan menyintai, menyukai aku dan selalu bernafsu jika
aku di dekatmu Itu saja sudah cukup bagiku, aku tak perlu
yang lain, belakangan nanti baru aku pamitan pada guru, pasti
ia tidak akan marah."
Keduanya bergegas berangkat. Begitu keluar dari kawasan
ilalang, keduanya bersamplokan jalan dengan tiga perempuan.
Kalandara, Kemara dan Dumilah. Tiga perempuan itu kaget.
Geni tersenyum, agak malu. Manohara melompat mendekati
gurunya, memeluk dan berbisik di telinganya, "Ibu, aku sudah
menjadi isteri Wisang Geni, dua malam dia meniduri aku,
sekarang aku ikut dengannya menemui Sekar dan Gayatri, dua
isterinya itu."
Gurunya itu diam, agak bingung. "Apakah kamu sudah pikir
matang dan masak, bisakah kamu mendapatkan cintanya,
apakah dia bukannya hanya mempermainkan kamu, nak?"
"Memang aku tidak punya pengalaman dalam bercinta
tetapi aku tahu dia tidak mempermainkan aku, jangan
khawatir, aku bisa membawa diri, ibu"

Kalandara memberi hormat, "Tuan pendekar, pertarungan
di desa Bangsal telah mengangkat namamu sebagai pendekar
tanpa tandingan, kamu yang nomor satu di tanah Jawa ini.
Ilmu silatku jauh di bawah kehebatanmu, aku tak akan bisa
menuntutmu jika semisal kamu mempermainkan Manohara,
tetapi sebagai pendekar terhormat aku mengharap kamu
memelihara Manohara dengan baik. Jangan sia-siakan dia. Dia
anak yang baik, aku mengambilnya sejak bayi, tidak tahu
siapa ayah ibunya, ia sudah seperti anakku sendiri, aku sangat
menyayanginya, berat bagiku berpisah dengannya."
Lalu dengan agak malu-malu dia memandang Geni dan
bertanya, "Kapan-kapan kalau aku kangen kepadanya, boleh
aku berkunjung?"
Wisang Geni membungkuk hormat "Sekarang ini ibu adalah
ibu mertuaku, jadi kapan saja ibu mau berkunjung aku
persilahkan, tapi jika boleh aku memberi saran, jauhi
permusuhan dengan siapa pun dan jauhi keraton yang mana
pun juga. Tetapi bagaimanapun juga semua terserah padamu.
Sekarang aku mohon pamit, sekalian mengajak Manohara."
Gadis itu pamitan dengan kedua kakak perguruan dan ibu
angkatnya kemudian berlari menyusul Geni. Sesampainya di
desa kecil itu, Geni menyisipkan uang ke pemilik kandang dan
mengambil si Hitam "Kuda bagus, ini pasti kuda unggulan,
perkasa seperti tuannya," kata Manohara tersenyum
menggoda. "Kamu naiklah, biar aku berlari," kata Geni.
Perjalanan dilakukan tanpa henti, istirahat sejenak hanya
untuk makan siang. Waktu senja mereka tiba di desa kecil
dekat kali Bejik. Manohara memohon agar istirahat "Pahaku
lecet."
Geni setuju karena perjalanan sudah lebih dari separuh.
Jika besok pagi berangkat, mungkin malamnya sudah tiba di
Welirang Keduanya bermalam di rumah penduduk. Manohara
mengeluh, tubuhnya pegaL Ia hendak keluar kamar, Geni
menegur. "Mau ke mana?"

Agak malu gadis itu menjawab mencari tukang pijit.
Geni merasa lucu. "Memang kamu kenapa, capek?"
Gadis itu menggeleng. Geni menggapai, "Kenapa kamu
tidak minta tolong padaku?"
Manohara menyahut cepat, "Tidak boleh, mestinya aku
memijit kamu, kamu kan suamiku jadi aku yang harus
melayanimu"
Geni menarik tangannya. "Kubantu dengan tenaga dalam."
Ia menyuruh Manohara membuka baju atasnya, lalu
menyalurkan tenaga Wiwaha melalui punggung si gadis.
Manohara merasa tenaga panas merasuk ke semua bagian
tubuh. Keringat merembes dari pori-pori si gadis, menebar
aroma wangi bunga. Selesai pengobatan, hari sudah malam.
Di luar gelap. Gadis itu berpakaian, lalu keluar, "Aku mencari
makanan."
Esoknya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka berdua
menunggang si hitam. Karena pahanya lecet, gadis itu duduk
menyamping di depan Geni. Ia bercerita, terkadang kisah
humor membuat Geni tertawa. Suatu saat ia menoleh
memandang lekat wajah Geni. "Sebenarnya kamu tidak terlalu
tampan, tetapi ada sesuatu dalam tubuhmu yang memancar
daya tarik. Pertama lihat kamu, aku langsung jatuh cinta.
Ketika kamu memegang gemas bokongku, aku tahu kamu
juga tertarik padaku. Sejak itu aku mengkhayalketemu
denganmu Aku sepatutnya berterimakasih pada Dewi Obat
sehingga kamu pergi mencari bunga talasari, tanpa itu
mungkin seumur hidup aku tak pernah ketemu kamu, tak
pernah bisa menjadi isterimu Sekarang ini aku bahagia." Ia
memeluk Geni, "Aku menyintaimu"
Geni memperlambat lari si hitam. Manohara menggumam,
"Kamu terangsang, sayang?"

Geni mengangguk. Manohara menuntun tangan Geni ke
buah dadanya. "Aku juga, Geni." Dia menunjuk. "Di semak itu
saja."
Geni menunjuk ke depan, "Di depan tidak jauh lagi, ada
gubuk tua."
Ketika Geni bercinta dengan Manohara di gubuk tua dekat
kaki gunung Welirang, pada saat yang sama Gayatri dan
rombongan tiba di desa Tangkur yang jaraknya setengah hari
perjalanan ke pelabuhan Jedung.
Gayatri merenung. "Oh Geni kamu ada di mana, saat ini
kamu pasti di tengah jalan dan malam nanti tiba di rumah.
Esok pagi atau mungkin malam ini juga kamu berangkat ke
Jedung. Jikalau kita dengan perjalanan lamban bisa tiga hari,
kamu mungkin bisa dua hari, berarti tiga hari lagi baru kamu
tiba di Jedung."
Geni masih berpelukan dengan Manohara. Dari gubuk itu
ke rumah di lereng Welirang, sekitar setengah hari. "Jika
berangkat sekarang, kita sampai di rumah pada malam hari.
Kamu capek?"
Manohara memang merasa capek, meskipun sudah dibantu
dengan tenaga dalam. Perjalanan berkuda serta pergumulan
dengan Geni, membuat ia merasa letih. Tetapi ia tak mau
mengecewakan kekasihnya. "Aku tidak terlalu capek, ayo kita
berangkat biar cepat sampai dan istirahat di rumah."
Malam hari, Geni dan Manohara tiba di rumah. Ia
memanggil nama Sekar dan Gayatri. Namun yang keluar
menjemput Sekar, Prawesti bersama Gajah Lengar, Gajah Nila
dan isteri mereka. "Mana Gayatri?" Geni termenung
mendengar cerita Sekar. "Jadi waktu aku bercinta dengan
Manohara, pada saat itu Gayatri menghadapi saat kritis diadili
ayahnya. Dia menderita saat aku asyik bercinta, ini benarbenar
gila, aku memang gila," katanya dalam hati

Tak lupa Geni memperkenalkan Manohara kepada Sekar
dan Prawesti. Sebenarnya ketiganya sudah saling kenal. Tidak
diduga mereka kini berkumpul satu rumah sebagai isteri sang
pendekar Wisang Geni.
"Sekarang juga aku berangkat ke Jedung, sendiri, karena
aku akan melakukan perjalanan cepat, jika kalian ikut maka
hanya memperlambat perjalanan."
Tetapi Sekar memaksa ikut, "Aku tak tahu apa yang
menghadangmu di perjalanan, karenanya aku harus ikut. Biar
cepat, kita menunggang si hitam dan si putih. Prawesti dan
Manohara menyusul dengan kuda lain."
Prawesti menyahut, "Baik, kami berdua menyusul." Dia
mengajak Manohara mempersiapkan perbekalan. Tak lama
kemudian, setelah menerima buntalan pakaian dan bekal
makanan, Geni dan Sekar berangkat.
Sepasang kuda perkasa itu berlari tak kenal lelah. Geni
bahkan memaksa perjalanan malam hari. Meskipun gelap
namun ia masih mengenal jalanan dari Welirang menuju Dayu.
Keesokannya mereka sudah melewati desa Dayu. Mereka
memacu kudanya terus. Malam harinya tiba di desa Pandan,
mereka istirahat di rumah penduduk.
Meskipun letih namun Geni lebih mengutamakan Sekar
yang sedang hamil. Dia membantu dengan penyaluran tenaga
dalam memulihkan tenaga isterinya. Selesai membantu
isterinya, Geni mengambil posisi semedi. "Kita istirahat
sekadarnya, tengah malam nanti kita melanjutkan perjalanan,"
kata Geni sambil semedi menata tenaga dalamnya.
Selesai semedi Geni melihat isterinya sedang berbaring
memunggungi dia. Sesaat dia bimbang dan ragu. Dia merasa
tidak tega membangunkan Sekar tetapi pada sisi lain dia ingin
secepatnya tiba di Jedung. Dia menggamit lengan isterinya.
"Sekar, kita berangkat sekarang."

"Kamu berangkat sekarang saja tetapi sendirian. Aku
menyusul besok pagi atau besok siang." Suara Sekar lirih dan
dingin. Samar-samar Geni menangkap suara sesegukan dan
isak tangis yang ditahan-tahan.
"Sekar, ada apa, mengapa kamu menangis? Kamu letih?"
Geni memegang lengan isterinya. Tetapi Sekar menepis
tangan suaminya, dia berkata ketus, "Jangan pura-pura, aku
lebih suka kalau kamu berterus terang, itu lebih baik bagiku
meskipun misalnya terasa pahit."
"Aku tidak mengerti apa persoalannya, mengapa kamu
mendadak marah seperti ini?" tanya Geni lirih.
Perempuan itu membalik tubuh. Matanya menatap dengan
penuh kemarahan. Ada api di dalam mata yang indah itu.
"Terimakasih kamu sudah membantu aku dengan tenagamu
yang hebat, tenagaku sudah pulih, aku sudah siap
menunggang kuda sehari semalam lagi bahkan kalau perlu
dua hari dua malam sampai aku mati di atas punggung kuda."
"Aku tahu kamu marah, tetapi apa salahku?"
Kata-kata Geni itu menambah kemarahan Sekar. "Aku tahu,
Geni. Kamu membantu aku bukan karena sayang dan cinta,
tetapi supaya aku bisa menunggang kuda sehari semalam lagi,
iya kan. Supaya kamu cepat bertemu dengan Gayatri-muyang
sangat kau cintai itu."
Wisang Geni bingung. Dia tahu isterinya marah. Tidak
biasanya Sekar marah. Berarti ada sesuatu yang telah
menyinggung perasaannya yang membuat dia marah. "Iya
kamu benar, kita melakukan perjalanan cepat ke Jedung
supaya tidak terlambat sebab kita harus mencegah jangan
sampai Gayatri dibawa pulang ayahnya ke Himalaya."
Mendengar itu, Sekar meledak dalam tangis dan marah.
"Kamu telah membohongi aku, selama ini aku mempercayai
kamu, percaya bahwa kamu mencintai aku. Aku mohon
padamu Geni, jangan bohongi aku dengan rayuan manismu

itu. Katakan dengan jujur, kamu tidak mencintai aku, kamu
hanya kasmaran pada tubuhku. Katakan, tak usah ragu, sebab
aku tak akan berubah, tetap saja mencintai kamu
sebagaimana adanya cintaku yang kemarin. Cintaku tetap
sama seperukemarin maupun hari ini. Cintaku tak akan
luntur., tapi tolong jangan bohongi aku, jangan menyakiti aku
dengan membohongi aku."
Geni memegang tangan isterinya, menciumi tangan yang
jari-jarinya lentik. "Aku tidak pernah bohong, aku
mencintaimu, aku kasmaran padamu, itu hal yang benar,
bukan rayuan atau kebohongan. Bagaimana kamu bisa bicara
seperti itu, mengatakan aku membohongi kamu?"
Dia menarik tangannya dari genggaman suaminya. "Aku tak
mau pergi sekarang, aku tak mau berdebat, aku ngantuk dan
mau tidur. Kalau kamu mau pergi, pergilah, tinggalkan aku di
sini, biar aku mati ditelan macan jangan urusi aku, kamu
pergilah ke Jedung urus isterimu itu!"
Pada akhirnya Geni mengerti mengapa Sekar mendadak
marah. "Oh dia cemburu," katanya dalam hati. Geni bergerak
sebat, tangannya menotok urat di pundak isterinya. Karena
tak menduga akan diserang, Sekar tak bisa berkelit.
Seandainya mengetahui akan diserang pun Sekar tidak akan
mampu mengelak. Dua tangannya lemas, tetapi kakunya
masih bertenaga. Dia hendak bergerak, tetapi tangan Geni
sudah menotok pangkal pahanya. Sekar rubuh di dipan. "Geni,
mau apa kamu?"
"Apa lagi, ya mau memeluk kamu."
"Aku tak mau, tidak mau!"
"Sekarang, ceritakan padaku, mengapa kamu marah, kamu
cemburu?"
"Aku tidak cemburu Gayatri adalah adik dan sahabatku.
Tetapi aku marah karena merasa kamu bohongi. Tenagamu
mumpuni, kamu mampu melakukan perjalanan gila seperti ini.

Tetapi aku tidak sekuat kamu, apalagi dalam keadaan hamil.
Tetapi kamu tidak memikirkan aku, apakah aku kuat atau letih
atau mau mati, kamu hanya memikirkan Gayatri. Hanya
Gayatri yang ada di dalam benakmu Padahal kamu sering
berbisik di telingaku, Oh Sekar, aku mencintaimu, aku
kasmaran padamu, kamu lebih istimewa dari Gayatri atau
perempuan mana pun. Itu rayuan beracun. Aku hanya mohon
padamu, sejak malam ini, jangan merayuku lagi, jika perlu
tubuhku, kamu hanya perlu berteriak Sekar kemari, aku ingin
bercinta denganmu! Maka aku akan datang, buka pakaian dan
membiarkan kamu meniduri aku. Bagiku itu lebih jelas dan
lebih jujur."
Wisang Geni tertawa geli. Sekar melotot merasa
disepelekan. Dia hendak bicara tetapi tangan Geni cepat
membungkam mulurnya. Sekar meronta dan menggigit tangan
yang membungkam mulurnya. Geni membiarkan. Mata Sekar
melotot tetapi tidak tega menyakiti suaminya, akhirnya gigitan
itu mengendur.
"Maafkan aku, Sekar. Aku sungguh goblok, aku tidak
berpikir waras. Seharusnya aku memberimu waktu istirahat,
aku berlaku tidak pantas memaksa kamu berkuda sehari
semalaman. Maafkan aku, isteriku." Dia melihat mata isterinya
berbinar, ada rasa gembira. Geni melanjutkan, "Sekar, aku
tidak pernah membohongi kamu Aku berkata jujur bahwa aku
hanya mencintaimu seorang," Geni menarik tangannya dari
mulut isterinya.
"Kamu bohong, bohong!" Sekar berteriak. Sesaat kemudian
dia melanjutkan lirih, "Kamu mencintai Gayatri. Adapun aku,
kamu hanya butuh tubuhku, butuh cara aku melayanimu
dalam bercinta."
Wisang Geni memeluk dan menciumi leher isterinya yang
berkeringat lalu tangannya yang kekar memegang dua pipi
perempuan cantik itu. "Kamu dengar Sekar, jangan keras
kepala, aku hanya mencintai kamu seorang!"

"Jangan bohong, katakan saja, kamu mencintai Gayatri dan
kamu akan mati apabila tidak bertemu dengannya di Jedung,
kamu juga akan mati jika dia pergike Himalaya, dan kamu
akan mengajak semua orang-orangmu pergi ke Himalaya
mengejar cintamu yang hilang itu. Katakan saja Geni, jangan
khawatir, aku tidak akan berubah, aku tetap mencintaimu,"
Sekar bicara berapi-api meski dengan nada yang rendah dan
lirih.
Lelaki itu diam. Pikirannya bekerja. "Jika Gayatri dibawa
pulang ke Himalaya karena aku terlambat datang, apakah aku
akan menyusul dia ke Himalaya? Mengajak semua isteriku?
Atau pergi sendirian? Bagaimana jika sesampai di Jedung,
Gayatri sudah dihukum dan tewas misalnya, apa yang akan
aku lakukan?"
Melihat suaminya diam, Sekar beranggapan semua
tuduhannya benar. Sekar memeluk suaminya, amarahnya
reda. "Geni, aku tetap mencintaimu, aku akan ikut kamu, ke
mana pun, ke Himalaya pun aku ikut. Tetapi kamu tak perlu
merayuku dan membohongi aku, jujur saja, aku tak akan
marah. Aku hanya marah jika aku dibohongi."
Geni duduk di pembaringan, menatap mata indah isterinya.
Mendengar ucapan Sekar yang legowo itu, Geni semakin
mencintainya. "Sekar, aku sudah lama berpikir tentang diriku
dan hubunganku dengan kamu, Wulan, Gayatri dan
perempuan lain. Sekarang baru aku sadar, bahwa
sesungguhnya cintaku hanya satu, aku tidak bisa mencintai
dua perempuan sekaligus. Aku hanya mencintai satu
perempuan, perempuan lain cuma nafsu birahi!" Sekar
memotong cepat, "Dia, Gayatri! Iya kan?"
Seperti tidak mendengar apa yang dikatakan isterinya, Geni
melanjutkan dengan mimik serius. "Pertanyaanmu tadi, jikalau
Gayatri dibawa paksa ayahnya, apakah aku akan menyusul ke
Himalaya? Aku bisa menjawabnya sekarang ini karena aku
sudah tahu siapa sebenarnya perempuan yang paling kucinta "

Sekar menatap suaminya, diam menanti ucapan
selanjutnya.
"Bagiku tidak penting, apakah Gayatri pulang ke Himalaya
atau tetap di sini. Juga tidak penting apakah aku akan
menyusul ke Himalaya atau tidak. Aku bisa saja tidak
menyusul Gayatri ke Himalaya, hal itu tidak besar artinya
bagiku. Artinya aku bisa hidup meskipun tanpa Gayatri, seperti
halnya Wulan, aku bisa hidup setelah Wulan mati. Terhadap
Gayatri, Wulan, Prawesti dan semua perempuan, aku hanya
ingin meniduri mereka, aku tidak mencintai mereka, aku
hanya bernafsu. Jika mereka pergi, aku bisa mendapatkan
perempuan lain. Tak ada bedanya." Geni menatap isterinya
dengan sinar mata yang memancarkan sejuta makna cinta.
"Tetapi terhadap perempuan bernama Sekar, aku
nicimuiaiiiya, aku tidak mau kehilangan dia, aku tidak bisa
membayangkan bagaimana aku menjalani hidup tanpa dia di
sisiku." Geni memeluk dan mencium isterinya. Sekar bereaksi
dengan liar. "Geni, benarkah apa yang kudengar, benarkah
kamu mencintai aku seperti itu?"
"Terhadapmu aku mencinta dan bernafsu. Kepada Gayatri
dan perempuan lain, hanya nafsu birahi belaka."
"Apakah itu rayuanmu lagi, ataukah ungkapan jujur? Sejak
kapan kamu mengetahui perbedaan itu?"
"Aku jujur, Sekar. Sejak di hutan cemara, aku sudah
mencintaimu Tapi selama ini kupikir aku mencintai kalian
semua. Pertanyaanmu tadi telah menggugah hati dan
pikiranku. Seandainya kamu, yang dibawa lari ke Himalaya,
aku tidak akan ragu dan akan segera menyusulmu apa pun
resikonya. Tetapi jika Gayatri, aku masih akan
mempertimbangkan resiko untung ruginya, ini adalah
perasaanku yang paling jujur. Aku ingin cepat sampai di
Jedung karena ingin mencegah keberangkatan Gayatri, itu
tanggungjawabku sebagai suami"

Sekar menciumi wajah dan leher suaminya. "Geni, aku
merasa aku adalah perempuan paling beruntung di kolong
langit, paling bahagia. Aku mencintaimu, suamiku, dengan
segenap raga dan jiwaku" Keduanya larut dalam bhahinya
cinta. Selesai bercinta, Sekar berbisik, "Aku bahagia suamiku."
Dia memijit dan mengelus-elus tubuh Geni sampai suaminya
tertidur pulas. Keesokan harinya, tubuh suami isteri itu bugar
kembali. Sebelum matahari terbit, keduanya sudah berada di
atas kuda tunggangan.
---ooo0dw0ooo---
Tarung Untuk Cinta
Malam hari waktu Geni dan Sekar nginap di desa Pandan,
saat bersamaan Gayatri bersama Susmita dan Ayeshak pergi
menemui nakhoda perahu. Mereka mendengar kabar perahu
akan berangkat besok siang, padahal menurut perhitungan
Gayatri, paling cepat Wisang Geni baru akan tiba satu hari
kemudian. "Kita harus memberi uang tambahan sebagai
penggembira kepada nakhoda, agar mau menunda
keberangkatan perahu sekitar dua hari," kata Susmita dalam
perjalanan. Tetapi tiga perempuan itu lupa membawa uang.
Mendadak Gayatri teringat kalung emasnya, ia meraba
lehernya. Kepada sang nakhoda, Gayatri menyodorkan kalung
emas dengan liontin bergambar garuda, hadiah
perkawinannya dari permaisuri Tumapel, Waning Hyun. "Ini
sebagai jaminan, kamu simpan, nanti besok siang akan aku
tebus. Tolong tunda keberangkatan kapalmu dua hari, aku
menanti seseorang. Dia akan menemuiku di sini dua hari lagi"

Nakhoda itu tersenyum Ia berlaku ramah dan sopan.
"Tentu orang yang ditunggu itu sangat penting buat nonanona."
"Ya dia suamiku, aku harus ketemu dia dulu"
"Maafkan saya, nona, kalau boleh tahu, kalung ini milik
keraton Tumapel. Boleh aku tahu siapa nona?" Ia bertanya
sopan sambil menolak menyentuh kalung itu.
"Kalung ini hadiah perkawinanku dari permaisuri Waning
Hyun, dan supaya kamu tahu, suamiku Wisang Geni punya
hubungan erat dengan keraton Tumapel."
"Benar juga perkiraanku, nona pasti orang penting, nama
suami nona sangat terkenal di seluruh tanah Jawa. Untuk dia,
untuk nona saya akan kerjakan permintaan nona, tetapi maaf
saya tidak berasi menyentuh kalung emas itu."
Ia mengantar tiga perempuan itu sampai ke tempat yang
aman. "Saya masih hulubalang keraton Tumapel, bagi kami
para hulubalang melihat kalung tersebut sama seperti
berhadapan dengan yang mulia permaisuri. Sehingga
permintaan nona sama dengan perintah keraton yang harus
saya patuhi. Perahu ini akan berangkat sesuai permintaan
nona yang muka."
"Gila, hebat sekali suamimu itu, bagaimana mungkin dia
bisa bersahabat dengan permaisuri raja, eh Gayatri, kamu
musti ngajak kita berdua mengunjungi keraton," tukas
Ayeshak gembira. Dua kakak ipar makin kagum ketika Gayatri
menjelaskan bahwa Wisang Geni adalah kakak seperguruan
dari permaisuri Waning Hyun.
Esok harinya, semua penumpang menerima pengumuman,
penundaan jadwal berangkat Ditunda selama dua hari, kata
nakhoda ada sedikit perbaikan di lambung perahu. Bagi para
pedagang, penundaan sudah merupakan hal yang biasa dan
sering terjadi.

Sepanjang hari Gayatri hanya menunggu kedatangan
kekasihnya. Sewaktu malam tiba Gayatri mulai diserang
perasaan ragu. Apakah Geni akan datang menjemputnya?
Bagaimana kalau dia tidak datang? Bagaimana kalau dia
mendapat halangan yang tak mampu dia atasi sehingga
terlambat tiba di sini?
Keesokan pagi, nakhoda datang menemuinya. Ia memohon
maaf, tak bisa lagi menunda keberangkatan, karena khawatir
ketemu topan di tengah lautan. Ia hanya bisa menunda satu
hari, sehingga sesuai perhitungan angin, maka siang hari,
perahu sudah harus berangkat "Maafkan saya, nona yang
mulia."
Matahari sangat terik. Udara panas. Pelabuhan sangat
sibuk. Banyak pedagang dan pekerja pelabuhan lalu lalang
naik turun perahu. Awak kapal sudah mempersiapkan layar.
Gayatri duduk bertopang dagu di buritan, memandang jauh ke
daratan, mengharap munculnya Wisang Geni. Ibunya dan dua
kakak iparnya, ikut-ikutan gelisah. Tiga perempuan itu
terkadang ragu akan kesetiaan Wisang Geni. "Apakah dia akan
datang, demi wanita yang dicintainya? Apakah dia benarbenar
mencintai Gayatri?"
Empat perempuan itu tidak mengetahui ketika itu Yudistira
sudah berdiri di belakang mereka. Suaranya terdengar lirih,
"Dia pasti akan datang, tak ada seorang laki-laki pun yang
bodoh dan gila yang mau melepas isterinya yang cantik pergi
ke tanah seberang tanpa dia berusaha mencegahnya. Katakataku
berlaku jikalau dia sangat mencintai isterinya. Jikalau
cintanya cepat luntur, maka dia tidak akan menyusul Gayatri
ke Jedung."
Yudistira menepuk pundak putrinya. "Tetapi ayah punya
firasat bahwa dia tak akan melepaskan engkau, jika dia
terlambat karena sesuatu sebab, dia pasti akan menyusul
mencarimu ke Himalaya. Percayalah pada ayahmu Sebenarnya
aku ingin sekali berjumpa Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa

ini. Aku ingin menjajal ilmu silatnya, juga ingin tahu jurus apa
yang dia gunakan sehingga bisa menaklukkan kekerasan hati
Gayatri putriku yang cantik ini."
Mendengar itu, tangis Gayatri semakin menjadi-jadi.
Satyawati memeluk putrinya, mengelus-elus kepalanya.
Hatinya terguncang menyaksikan kesedihan putri belahan
jiwanya.
Saat itu perahu layar sudah bergerak melaut. "Tak ada
harapan lagi, suamiku sudah melupakan aku" Gayatri merasa
tubuhnya lemas. Airmata sudah memenuhi sepasang mata
coklatnya membual pandangannya kabur.
Samar-samar, karena terhalang butiran airmata, sepertinya
ia melihat sepasang kuda sedang berlari kencang menuju ke
arah perahu. Gayatri masih seperti orang linglung, tanpa sadar
dia menggumam, suaranya lirih dan memelas, "Itu kudaku si
Putih, dan di depannya itu si Hitam, siapa penunggangnya,
apakah dia suamiku Wisang Geni?"
Rupanya suara batinnya itu mendapat jawaban. Saat itu
terdengar suara siulan khas Wisang Geni. Nyaring,
memekakkan telinga. Suara siul itu panjang.
Bagai tersentak dari alam khayal Gayatri kembali berpijak di
alam nyata. Gayatri berseru, "Itu suamiku, Geni oh akhirnya
kamu datang juga, kekasihku." Suaranya lirih tetapi padat
nada gembira dan bahagia.
Mendadak saja siulan panjang itu terhenti, sesaat laut sunyi
senyap. Lalu terdengar suara mengumandang, "Gayatri,
isteriku, kekasihku, aku datang."
Gayatri mengucak matanya, menghapus airmatanya, kini ia
bisa melihat nyata. Ia melihat Geni melompat turun dari
punggung si Hitam yang sedang berlari kencang. Lelaki itu
berlari pesat di samping kudanya. Ia bahkan melewati
kecepatan kuda. Debu dan dedaunan tersibak diterjang angin

puyuh kecepatan Geni. Tidak hanya sendirian, di belakang
Geni, seorang wanita berlari kencang. Dia Sekar.
Begitu sampai di ujung dermaga, Geni melompat dan
melayang ke laut sambil meneriakkan tertawa khas dari
lembah kera. Ia tak lagi bersiul. Suara tawanya
mengumandang di laut lepas, menimbulkan suasana magis
yang seram. Dia berlari di atas permukaan laut, di antara
kecipak ombak. Mendekati perahu, ia melempar sepotong
papan ke permukaan laut. Kakinya menjejak papan dan saat
berikut ia melayang turun di geladak perahu. Selang beberapa
saat kemudian Sekar juga melayang turun berpijak di geladak.
"Suamiku, akhirnya kamu datang juga," kata Gayatri di
tengah kekaguman semua orang yang menyaksikan sepak
terjang Geni termasuk para pedagang dan awak kapal.
Nakhoda itu sempat berkomentar, "Rupanya dialah orang
yang ditunggu-tunggu si nona Gayatri, inikah Wisang Geni
yang berjuluk Pendekar Tanah Jawa itu, wuah hebat sekali
ilmu silatnya."
Geni menyahut seruan Gayatri dengan gairah. "Ke mana
pun kamu pergi Gayatri, aku akan mengejarmu, ke Himalaya
pun aku akan mengejarmu" Lelaki itu berdiri tidak jauh dari
Gayatri. Ia melihat isterinya dikelilingi orang-orang yang
wajahnya hampir mirip satu sama lain. Geni membungkuk
memberi hormat tetapi tidak bergerak mendekat. Dia berhatihati.
Gayatri hendak berlari ke arah Geni tetapi tangan ibunya
menggenggam erat. "Jangan, jangan begitu, sabar dulu
anakku," bisiknya perlahan. Dia membatalkan niatnya, dia
memandang suaminya dengan pandangan penuh cinta dan
bahagia. Gundah, gelisah dan ketakutan sudah sirna dari
wajah cantiknya. "Suamiku akan membereskan semua
persoalanku," katanya dalam hati.

Yudistira dan semua keluarga memerhatikan lelaki itu.
Dilihatnya Wisang Geni sosok lelaki biasa, cukup tampan tetapi
aura kelaki-lakiannya lebih menonjol. Rambutnya beruban,
panjang, putih keperakan, tubuhnya sawo matang dan kekar.
Dari sepak terjangnya, terlihat jelas tingkat ilmu silatnya yang
tinggi. Satu tombak di belakang Geni, seorang perempuan
cantik jelita berdiri dengan siaga dan kuda-kuda mantap.
Menyaksikan ilmu ringan tubuh ketika Wisang Geni lari
membelah ombak dan siulannya yang bertenaga, diam-diam
Yudistira merasa kagum. Itulah kepandaian pendekar kelas
utama. Ketika Geni menginjak kakinya di geladak perahu, tak
ada bunyi suara. Ia mendarat seringan kupu-kupu tetapi
geladak kapal seperti bergetar.
Pada saat berbarengan, Geni merasa ada orang menyerang
dirinya.
Ia ingat janjinya pada Gayatri. Sesaat dia diam, tidak
melawan. Saat berikutnya dia merasa hawa pukulan itu ganas
dan bisa menewaskannya. Dia tak bisa diam begitu saja
menanti maut. Dia bereaksi melapisi seluruh tubuhnya dengan
tenaga Wiwaha dan dua tangannya menangkis sekaligus
menolak pukulan yang mengarah dada dan kepalanya.
"Dessss! Dessss!" Tangan dua pendekar itu beradu di
udara.
Wisang Geni tidak menduga, ilmu silat lawan cukup aneh.
Jurus pukulan lawan itu bergelombang, saat tangan bentrok
saat berikut pukulan lawan menerobos masuk dan
menghantam pundak Geni. Karena pukulan lawan itu adalah
pukulan susulan maka tenaganya tidak lagi penuh. Namun
tetap saja Wisang Geni terdorong tiga tindak ke belakang,
jatuh dan terduduk di geladak.
Gayatri berteriak, "Geni, kenapa kamu diam."

Pada saat yang sama, Sekar berkelebat dan menghadang di
depan Geni, sambil teriak keras, "Kamu curang, pengecut,
kamu membokong!"
Orang itu, ternyata Wasudeva Tanpa merasa malu dia
melanjutkan serangan, dia ingin menghabisi Wisang Geni.
Tetapi Sekar menghadapinya dengan gesit dan terampil. Dia
heran melihat gadis cantik jelita tetapi punya ilmu silat yang
tinggi. Dalam beberapa jurus Sekar berhasil menghalau semua
serangan Wasudeva
Masih dalam posisi duduk bersila di geladak, Geni
mengerahkan pernapasan Wiwaha. Tenaga dinginnya berganti
panas, dalam porsi paling maksimal berputar-putar dan
menyembuhkan luka di pundaknya
Gayatri berseru, suaranya serak tanpa gelisah. "Geni,
mengapa kamu tidak melawan?"
"Aku sudah berjanji padamu aku tidak akan tarung
melawan keluargamu, ayah atau kakakmu." Geni batuk-batuk,
darah meleleh dari sudut mulutnya. Tampaknya memang agak
parah, namun sebenarnya luka Geni sudah lebih membaik
setelah pengerahan tenaga Wiwaha itu.
Gayatri berteriak, suaranya keras bercampur kemarahan.
"Geni kamu terluka. Dia bukan keluargaku, dia Wasudeva, dia
akan membunuhmu"
Mendengar itu Geni sadar dan mengerti mengapa serangan
orang itu demikian ganas dan keji. Jika tidak memiliki tenaga
Wiwaha dipastikan dia sekarang sudah tewas tergeletak di
geladak kapal "Aku tak boleh diam dan manda dipukul,"
pikirnya Dia melejit dan berdiri tegar di atas geladak. Dia
berkata pada isterinya, "Sekar, kamu mundur, aku akan
bereskan binatang ini."
Sekar mundur ke belakang Geni. Dia mendengar Gayatri
memanggilnya, "Mbakyu, kemari dekat aku."

Dua lelaki itu berhadapan.
Wajah Wasudeva tampak beringas. Mana mau dia melepas
korbannya. Dia mengetahui lawannya terluka, karena
pukulannya tadi mengena telak. Meskipun ada semacam
tenaga tolakan dari tubuh Geni, tetapi dia yakin lawannya itu
sudah terluka Dia melihat Wisang Geni ibarat ikan sudah
masuk jaringnya. Dia tak mau menyia-siakan kesempatan
yang ada. Dia bahkan tak peduli apakah perbuatannya
membokong itu mendatangkan cela dan aib, dia tak bisa
berpikir lain kecuali rasa cemburu dan kebenciannya harus dia
lampiaskan. Dia harus membunuh Wisang Geni, karena lakilaki
itu telah merebut Gayatri dari tangannya dan telah
menikmati keindahan dan kecantikan Gayatri.
Peluang sudah di depan mata, sekarang atau tidak sama
sekali, berpikir demikian Wasudeva merancang serangan
berantai yang dahsyat Jurus Arjapura ini belum pernah ia
peragakan karena selama ini semua lawannya rontok lewat
jurus-jurus ringan.
Melihat jurus itu Yudistira terkesiap, ia mengenal jurus
maut Sapno Tasafar Haimeri Dilka Yeh Bhawarhai (Inilah
perjalanan impian, inilah pusaran tujuan hatiku). Jurus ini
pernah dipakai sahabatnya, Arjapura, tarung dan membunuh
belasan perampok gurun yang tangguh.
Wisang Geni terkesiap. Jurus lawan itu aneh, pukulan yang
mengarah ke kiri mendadak bisa berubah ke kanan, atas
menjadi bawah dan sebaliknya. Saat itu Geni masih dalam
pemulihan tenaga Wirvaha. Ia bergerak pesat, mengelak jika
tahu diri terancam, merunduk dan melompat untuk
menghindar, geraknya tidak leluasa karena tenaganya belum
pulih. Tendangan Wasudeva menerpa pahanya dan jiwanya
kini terancam jurus lawan yang mengarah titik kematian. Dia
teringat pesan Eyang Sepuh, "jika terdesak, tangkis dan balas
menyerang. Jangan bertahan, karena menyerang adalah lebih
menguntungkan."

Dan Geni tak lagi mengelak, ia balas menyerang. Serangan
lawan dibalas serangan. Geni bergerak bagai pusaran, tangan
membuat lingkaran, tubuhnya ikut berputar seperti gaya
menari.
Tujuh kali terdengar bentrokan tangan. Wasudeva merasa
pukulannya membentur tembok yang bersifat membal. Dia
heran bagaimana mungkin seorang yang sudah terluka tenaga
dalamnya masih punya tenaga sehebat itu. Hal ini membuat
dia penasaran, dia memukul sambil menambah kekuatan
tenaga pukulannya.
Dalam beberapa gebrakan tadi Wisang Geni telah peroleh
keuntungan, tenaga pukulan lawan memancing tenaga
Wiwaha bereaksi. Proses penyembuhan luka bahkan lebih
cepat dari perkiraan. Inilah kelebihan tenaga dalam Wiwaha
yang bagaikan mukjizat.
Bentrokan tangan yang kedelapan membuat Wasudeva
mundur beberapa langkah, Wisang Geni pun mundur
beberapa langkah. Keduanya kini terpisah jauh. Wisang Geni
memberi hormat pada Wasudeva. "Kamukah yang bernama
Wasudeva, kukira tadi kamu salah seorang anggota keluarga
isteriku, itu sebabnya aku tidak melawan sehingga kamu bisa
memukulku. Sebab aku sudah berjanji tidak akan bertarung
dengan keluarga isteriku, apa pun alasannya."
Semua orang mendengar ucapan lelaki bernama Wisang
Geni itu. Sebelum Gayatri menyahut. Yudistira berkata dengan
suaranya yang serak berwibawa, "Aku ayah Gayatri, namaku
Yudistira. Dia ini ibunya. Dan dua lelaki itu kakaknya, Arjun
dan Shankar. Orang yang bertarung denganmu itu, Wasudeva,
lelaki yang merasa jodohnya telah kamu rampas!"
Wisang Geni membungkuk memberi hormat pada Yudistira,
Arjun, Shankar dan tiga wanita yang berdiri di samping
Gayatri. "Aku yang rendah ini, Wisang Geni, menghatur salam
hormat kepada keluarga isteriku." Dia kemudian menoleh
kepada Wasudeva. "Mengapa kamu memukul dan

menyerangku tanpa basa-basi sedikit pun. Itu namanya
serangan gelap."
Wajah Wasudeva merah padam saking marahnya.
"Jahanam busuk, hari ini aku akan mencabut nyawamu,
bersiaplah untuk mati."
Gayatri berteriak, "Curang, kamu pengecut, kamu
membokong orang, kemudian menantang orang yang
terluka." Ia menoleh ke arah Sekar yang berdiri di
sampingnya. "Mbakyu, ayo kita lawan dia."
"Sabar adik, pasti Geni bisa mengatasi dia."
Gayatri masih belum puas. Ia berseru, "Aku sudah katakan
sebelumnya padamu Wasudeva, kamu tak akan bisa menang
lawan suamiku."
Pada detik itu Yudistira berseru kepada nakhoda perahu,
"Putar kembali perahumu ke pelabuhan, kerugian nanti aku
yang tanggung, Arjun dan Shankar, jika ia tidak memutar
kembali perahu layar ini, kamu patahkan kemudi dan
layarnya."
Dua ibu dan anak, Satyawati dan Gayatri seperti
mendengar sesuatu yang datang dari alam mimpi. Hampir
tidak bisa dipercaya, mendengar Yudistira memerintahkan
perahu untuk kembali ke daratan.
Keheranan semakin bertambah ketika Yudistira berkata
kepada Wasudeva, "Ayahmu adalah pendekar ternama, kamu
juga seorang pendekar Himalaya yang punya kehormatan.
Kamu harus memberi lawanmu itu waktu istirahat untuk
memulihkan tenaganya. Dan kamu pendekar Wisang Geni,
berapa lama kamu membutuhkan waktu memulihkan
tenagamu?"
"Terimakasih atas kemurahan hati paduka tuan, hamba
yang rendah hanya butuh sedikit waktu untuk menghilangkan
capek." Dia kemudian memainkan empat posisi semedi

Wiwaha. Dalam sekejap, uap tipis melayang di atas kepalanya.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat Geni sudah siap.
"Pendekar Wasudeva yang terhormat, silahkan tuan memilih
tempat pertarungan."
Tenaga dalam Wisang Geni sudah pulih seperti sediakala.
Ia tidak terluka parah. Hanya kena guncangan yang tidak
terlalu berbahaya. Ketika pukulan menerpa pundaknya, saat
itu juga tenaga Wiwaha yang melapis tubuh Geni telah
memunahkan sebagian besar pukulan lawan. Itu sebab dia
hanya butuh sedikit waktu untuk memulihkan diri.
Tadi ketika darah menetes dari ujung mulut Geni, tangan
Gayatri dingin, basah dan berkeringat. Sekarang wanita cantik
itu tampak tenang, dia percaya kekasihnya akan
menyelesaikan kemelut persoalan keluarganya.
Yudistira merasa heran bercampur kagum, bagaimana
mungkin setelah terluka oleh pukulan telak lawannya, Wisang
Geni bisa secepat itu pulih. "Mungkin saja ia terlalu memaksa
diri, padahal tenaganya belum seluruhnya pulih," gumam
Yudistira dalam batin.
Kala itu, perahu sudah berbalik arah menuju pelabuhan.
Para pekerja siap-siap untuk melempar sauh. Saat yang sama
Wasudeva berteriak marah, "Kamu yang seharusnya memilih
tempat yang layak menjadi kuburan bagimu"
Wasudeva menyerang gencar. Pukulannya tetap saja aneh.
Ia memainkan jurus andalan lainnya Is Mein Doobjana Zarasa
Lamba Chupata Khwab Milgaya (Banyak waktu yang lenyap
kini telah kembali)) dan Hum Samundar Ke Andaarchale
(Menuju kedalaman laut samudera).
Wisang Geni tak mau memandang ringan jurus-jurus aneh
lawan. Ia meladeni dengan pikiran terpusat pada gerak lawan.
Ke mana arah serangan lawan datang, Geni mengelak gesit.
Ia membalas serangan dengan serangan, kakinya tak lagi
memijak lantai perahu. Dia melayang dengan ringan, namun

pukulannya terasa berat berbobot menimbulkan kesiuran
angin panas dan dingin bergantian. Bentrokan tangan
berulang kali, jerit marah Wasudeva mewarnai serangannya
yang mau adu jiwa.
Limapuluh jurus berlalu, Wasudeva unggul di atas angin
karena sepertinya Geni ragu-ragu. Gayatri melihat ini, ia
berseru, "Geni kenapa kamu tidak memainkan jurus Leysus
dan Prahara? Kamu ingatkan cerita penderitaan kakak
Manisha, meskipun kakakku itu sudah mati tetapi dia tetap
kakak iparmu. Serang dia!"
Wisang Geni sibuk menghindar dan menangkis serangan
gencar lawan. Mendadak suara Wasudeva seakan memecah
gendang telinganya. Itu gema suara yang aneh. Geni
mendengarnya sangat keras, hampir memecahkan gendang
telinganya, sedang bagi telinga orang lain terdengar normal.
Teriakan Wasudeva itu mengandung sihir dan magis tingkat

tinggi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;