Senin, 26 Mei 2014

Ksatria Larangan 8

"Perwira jagabaya melaporkan, dari jejak dan keteranganketerangan
yang dapat dikumpulkan, kemungkinan Jante
melarikan diri ke dalam hutan terlarang di sebelah selatan
Kutabarang. Hutan ini belum pernah dimasuki manusia,
kecuali penjahat-penjahat dan para petapa yang mencari sepi.
Juga jalan ke sana begitu sukarnya, hingga jagabaya-jagabaya
yang ditugaskan umumnya tidak dapat memasuki daerah
hutan sedalam yang diharapkan. Tumbuh-tumbuhan rambat,
binatang-binatang buas, ular-ular raksasa menjadi penghalang
mereka."
"Dapatkah kami mendapatkan bantuan dari para
jagabaya?" tanya Pamanda Rakean.
"Tentu saja, justru penunjuk jalan telah tersedia untuk
mengantarkan Saudara-saudara ke tempat jejak terakhir itu,"
ujar Pangeran Jayapati. Ketika perundingan sedang berjalan,
beberapa orang jagabaya tiba dengan berita yang
mengejutkan.
"Tiga orang bangsawan yang sedang berburu terbunuh.
Dari keterangan kawan-kawannya, yang menyerang mereka
bukanlah binatang buas, tetapi manusia, walaupun lebih
tangkas dari binatang buas."

Para puragabaya saling memandang satu sama lain.
"Di hutan mana peristiwa itu terjadi?"
"Dekat hutan larangan," ujar jagabaya itu. Sekali lagi para
puragabaya saling berpandangan. Dan dalam perundingan
selanjutnya, para puragabaya meminta kepada Pangeran
Jayapati untuk segera dikirim ke tempat di sekitar peristiwa itu
terjadi.
Keberangkatan rombongan pencari ditangguhkan sampai
keesokan hatinya, sedang pada malam harinya para
puragabaya dijamu dahulu oleh Pangeran Jayapati. Malam itu,
Pangeran Muda tidak dapat tidur, begitu banyak perasaan
yang mengharu-biru hatinya.
Pertama keanehan Jante sendiri, yang di samping
kemurungannya yang makin lama makin menonjol, juga sering
aneh dalam pembicaraannya. Menurut pendapat Pangeran
Muda, Jante sering sekali mengatakan hal-hal yang
memperlihatkan bahwa kesadaran Jante tidak berpijak dengan
kukuh di atas kenyataan. Sedang dari pikiran-pikirannya yang
tidak mendasar, pikiran-pikiran jelek tentang orang lainlah
yang menguasai kesadaran Jante.
Pangeran Muda sangat menyesal hal itu tidak sempat
dikabarkannya kepada Eyang Resi dan para pelatih. Kesibukan
Pangeran Muda dan Putri Yuta Inten merebut seluruh
perhatian Pangeran Muda. Dan Jante, walaupun makin hari
makin menjadi aneh, terlupakan olehnya. Pangeran Muda
sungguh-sungguh menyesal karenanya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, tujuh orang
penunggang kuda putih dengan penunjuk jalan dua
orangjagabaya yang berkuda hitam ke luar dari gerbang kota
Kutabarang menuju ke arah hutan yang lebat dan menakutkan
di sebelah selatan.
UNTUK mendapat keterangan yang lebih lengkap,
rombongan tidak langsung memasuki hutan lebat itu, tetapi
berjalan menuju sekelompok kampung untuk bertanya kepada
para petani yang menjadi pengiring bangsawan-bangsawan
pemburu yang malang itu. Setiba di kampung yang dituju,

para puragabaya tidak segera dapat menemukan para petani
itu, karena mereka sudah bekerja di huma mereka masingmasing.
Oleh karena itu, dari kampung beriringlah para
puragabaya dengan penunjuk jalan menuju perhumaan.
Orang pertama yang menjadi saksi kejadian itu ketika
ditanya menjelaskan, ketika para bangsawan berburu di tepi
hutan, salah seorang di antara mereka melihat gerakan di
dalam semak yang dekat sekali dengan hutan. Seorang di
antara bangsawan itu turun dari kudanya, lalu dengan diiringi
oleh beberapa ekor anjing menghambur ke dalam semak itu
dengan tombak di tangan. Akan tetapi, tiba-tiba bangsawan
itu berteriak dan rubuh. Ketika para pengiringnya datang ke
sana, bangsawan itu terbaring dengan dari mulutnya
mengeluarkan darah. Ketika diperiksa tulang selangka dan
beberapa buah rusuknya patah bekas pukulan yang dahsyat.
Sementara itu, para pengiringnya melihat seorang manusia
menyelinap tanpa mengeluarkan bunyi antara semak-semak
itu. Walaupun anjing-anjing mengejarnya, anjing-anjing itu
kemudian kehilangan jejaknya.
Kawan-kawan bangsawan yang malang itu mengejar
bayangan dalam semak-semak yang tinggi ituj tetapi tidak
berapa lama kemudian mereka pun menghadapi nasib yang
sama. Tulang-tulang rusuk, tangan, dan bahkan tulang-tulang
jari mereka remuk. Dan ketika mereka dibawa pulang, di
perjalanan jiwa mereka meninggalkan tubuh mereka yang
menderita itu.
"Kami ditugaskan untuk mencari orangku, Paman," kata
Pamanda Rakean. Sambil berkata demikian Pamanda Rakean
memberi isyarat kepada jagabaya pengantar itu untuk
melanjutkan perjalanan. Maka rombongan pun berjalanlah
beriring di jalan-jalan setapak dalam perhumaan itu.
Beberapa orang petani lagi mereka mintai keterangan,
tetapi jawabnya umumnya tidak menambah keteranganketerangan
yang diberikan oleh kawan-kawannya. Di antara
petani ada yang mengatakan bahwa menurut pendapatnya

yang menyerang dan membunuh tiga orang bangsawan itu
bukan manusia, akan tetapi siluman.
"Mengapa Paman berpendapat demikian?"
"Saya sempat melihat mata makhluk itu, dan dari nyalanya
saya berpendapat, walaupun bertubuh manusia, ia bukanlah
manusia, tapi siluman yang lolos dari Buana Larang dan
merajalela di hutan terlarang itu."
Dengan sedih, Pangeran Muda menyadari, anggapan petani
itu dapat diterima. Pangeran Muda barulah menyadari
sekarang, pandangan mata Jante belakangan ini memang
memberikan kesan yang sangat aneh. Pandangan mata Jante
kadang-kadang sangat mengerikan. Pandangan itu
menyinarkan ketakutan serta kebencian yang luar biasa
terhadap sekelilingnya. Pangeran Muda mulai bertanya di
dalam hati, mungkinkah siluman-siluman telah merebut jiwa
Jante dan menjadikan Jante budaknya untuk melaksanakan
rencana-rencana jahat di Buana Pancatengah ini?
Sementara Pangeran Muda termenung-menung, Pamanda
Rakean memerintahkan agar rombongan bergerak kembali.
Setelah bertanya kepada beberapa petani lagi, mereka pun
bergerak meninggalkan perkampungan-perkampungan itu.
Mereka menuju ke hutan lebat yang membentang di hadapan
mereka. Karena jalan-jalan sempit ke arah hutan itu, mereka
berjalan beriringan, denganjagabayapenunjukjalan berjalan di
muka. Setelah bergerak terus-menerus hingga matahari
berada di puncaknya, mereka pun tibalah di bagian ladang
yang bersemak-semak. Jagabaya pengantar menunjukkan
tempat-tempat di mana peristiwa yang menyedihkan itu
terjadi.
Di samping dari luka-luka yang sempat mereka periksa
pada tubuh bangsawan-bangsawan yang menjadi korban,
jejak-jejak yang tampak dalam semak-semak itu menjelaskan
bahwa yang melakukan perbuatan yang mengerikan itu benarbenar
seorang puragabaya.
SORE itu para puragabaya menitipkan kuda mereka dalam
sebuah kampung kecil di tepi hutan yang mata pencarian

penduduknya mencari madu di dekat hutan. Setelah itu
mereka tidak terus beristirahat, tetapi langsung memasuki
hutan, mengikuti jejak Jante. Akan tetapi, karena jejak itu
telah lama dan telah banyak manusia lain serta binatang yang
memijaknya kembali, pencarian mereka tidak membawa
mereka ke mana-mana. Dan ketika matahari hampir terbenam
Pamanda Rakean berseru memanggil anak-anak buahnya.
"Kita tidak akan menemukannya hari ini. Kita lebih baik
bermalam dahulu sambil merencanakan pencarian yang lebih
saksama esok pagi."
Para puragabaya yang sudah lelah menyetujui pendapat
itu, dan mereka pun berjalanlah ke arah kampung pencari
madu itu. Keesokan harinya pencarian dilakukan dengan lebih
saksama. Mereka lebih dalam lagi memasuki hutan yang
belum dibuka oleh orang-orang Kutabarang maupun orangorang
Kuta Kiara. Akan tetapi, tidak ditemukan jejak yang
segar, sementara jejak lama makin samar-samar. Karena
banyaknya jurang kecil yang dapat dilompati oleh seorang
puragabaya, jejak itu hampir tidak akan dapat membimbing
mereka menemukan orang yang meninggalkannya.
Pada hari ketiga datanglah berita dari Kutabarang, dibawa
oleh tiga orang jagabaya utusan Pangeran Jayapati. Berita itu
menyatakan bahwa kampung yang berada di tepi barat hutan
larangan pernah kedatangan seorang asing. Orang itu dengan
mudah menaiki pagar kampung yang tinggi, kemudian setelah
masuk dan mengambil makanan, menghilang kembali ke
dalam hutan. Gambaran penduduk kampung tentang orang
yang datang dari hutan itu cocok dengan gambaran Jante.
Oleh karena itu, rombongan puragabaya pun bergeraklah ke
arah kampung itu. Keesokan harinya dengan diantar oleh
beberapa orangjagabaya dan penduduk kampung, mereka
bergerak ke timur, memasuki sebuah hutan yang angker.
Berbeda dengan hutan di bagian-bagian lain yang bertanah
hitam dan subur, hutan yang baru ini bercadas-cadas di
berbagai bagiannya. Tebing-tebing yang curam umumnya
telanjang karena kerasnya cadas. Hanya rumput-rumput palias

yang tumbuh di permukaan tebing jurang yang curam itu.
Akan tetapi, lembah-lembah ditumbuhi oleh hutan yang lebat,
yang selain terdiri dari tumbuhan-tumbuhan rambat yang
sukar ditembus, terdiri pula dari tumbuh-tumbuhan berduri.
Sungguh tepat kalau ada orang yang bertapa atau
menyembunyikan diri di tempat seperti itu. Dan dalam hutan
itu pulalah para puragabaya bergerak.
Dengan saksama mereka meneliti jejak-jejak yang ada di
sana, melihat celah-celah cadas dan gua-gua, sementara
mereka mendengus-dengus dengan udara, mencoba membaui
udara dengan hidung yang daya penciumannya telah menjadi
kuat karena latihan di Padepokan Tajimalela. Pada suatu saat
raung harimau kumbang terdengar, dan Ginggi tampak berkelebat-
kelebat di antara semak-semak untuk beberapa saat.
Ia muncul sambil menggerutu-gerutu sambil menyeret
binatang yang telah mati sambil menyusut titik-titik darah dari
tangannya yang kena cakar binatang buas itu.
"Tidak apa-apa?" tanya Pamanda Rakean serata meraba
kantong obat-obatan yang disandangnya.
"Berilah saya sedikit penawar racun," ujar Ginggi sambil
menyodorkan tangannya yang menderita luka-luka yang
panjang tapi dangkal. Pamanda Rakean mengeluarkan obat
penawar racun, lalu menaburkannya di atas luka itu. Ketika
mereka berkumpul melihat-lihat harimau kumbang yang
terbaring di atas cadas, Girang datang dan berbisik, "Saya
telah membauinya."
"Di mana?"
Girang memalingkan mukanya ke arah sebuah tebing cadas
yang menjulang. Pada tebing cadas mereka melihat celah
besar dan kelam. Pamanda Rakean memberi isyarat agar
anak-anak buahnya duduk. Mereka pun duduklah berkeliling
menurut kebiasaan puragabaya. Setelah mereka hening,
berkatalah Pamanda Rakean, "Tugas kita adalah membawa
Jante ke padepokan. Hal itu perlu kita lakukan dengan cara
yang lembut, cara biasa. Dan kalau dia dapat kita bawa,
hendaknya dia mengikuti kita dengan kesadarannya, dan tidak

dengan paksaan atau tipu daya. Untuk tidak merasa bahwa
dia dikepung atau diburu, sebaiknya kita tidak datang
bersama-sama. Seorang atau dua orang datang kepadanya,
lalu menjelaskan maksud kedatangan kita. Kalau dia lunak
hatinya, langsunglah bawa dia pulang. Tinggalkanlah yang lain
seolah-olah yang lain tidak ada di sini. Seandainya, dia
berkeras dan membangkang, kita serahkan segalanya pada
Sang Hiang Tunggal yang akan memberi petunjuk kepada kita
bagaimana kita harus mengabdi kepada kerajaan dalam
menghadapi masalah yang menyedihkan ini."
"Pamanda Rakean, sayalah kawannya yang paling dekat, di
samping itu ... saya adalah calon iparnya," kata Pangeran
Muda kepada Pamanda Rakean. Mendengar itu, tak ada yang
berbicara.
Kemudian Pamanda Rakeanpun berkatalah, "Kalau begitu,
baiklah. Anom, kau tahu watak dan isi hati Jante. Berusahalah
agar dia sadar akan keadaannya."
Sambil berkata demikian Pamanda Rakean melepaskan
tambang puragabaya yang tersembunyi di balik sarungnya,
lalu memberi isyarat kepada yang lain agar juga melonggarkan
ikatan-ikatan tambang itu, agar kalau diperlukan dapat
dipergunakan. Melihat tambang-tambang itu berdukacitalah
Pangeran Muda. Tiba-tiba ia menyadari, bagaimana seorang
manusia yang telah bertahun-tahun dididik untuk
kebudimanan, keluhuran, dan keagungan, tiba-tiba berubah
dan terpaksa harus diperlakukan oleh sesamanya seperti
binatang buas. Dalam saat-saat itu tiba-tiba Pangeran Muda
benci kepada tubuhnya sendiri. Setiap anggota, setiap otot,
setiap jari-jarinya telah menjadi senjata yang sangat
berbahaya dan dapat mengakibatkan kerusakan dan dukacita
di dunia ini. Akan tetapi, kesedihan dan kebenciannya itu
dengan segera bergulat dengan kesadaran, bahwa segalanya
tidak dapat dihindarkan. Ia seorang bangsawan, seorang
kesatria Pajajaran yang jiwa-raga-nya tidak menjadi miliknya,
tetapi milik kerajaan.

Seraya termenung demikian Pangeran Muda mengurai
tambang dari ikatannya, lalu menyerahkannya kepada salah
seorang kawannya, "Lebih baik saya menyimpan.tambang ini,
supaya Jante tidak curiga," katanya. Pamanda Rakean tampak
setuju, dan Pangeran Muda pun bangkitlah.
"Pamanda, lebih baik Anom tidak seorang diri," ujar Rangga
yang selama ini diam.
Pamanda Rakean termenung sejenak, kemudian berkata,
"Anomlah yang memutuskan."
"Mungkin kalau seorang diri lebih mencurigakan, oleh
karena itu kalau Rangga mau, saya bersedia ditemani."
"Baiklah," ujar Pamanda Rakean, maka Rangga pun
bangkitlah, setelah memberikan tambang dan senjata
pendeknya pada Elang. Kedua puragabaya muda itu pun
meninggalkan kawan-kawannya yang terlindung di balik
semak-semak. Mereka berjalan menuju ke arah tebing yang
sangat curam yang bercelah di salah satu tempatnya.
Pangeran Muda berjalan di depan, diikuti oleh Rangga yang
terdengar membaca mantra-mantra mengusir siluman. Mereka
melangkah tanpa menimbulkan suara, makin lama mereka
makin dekat ke muka celah itu. Mereka berusaha agar
berjalan biasa dan dengan demikian tidak menimbulkan
sangkaan pada Jante bahwa mereka datang untuk
mengepung dan menangkapnya. Makin lama mereka makin
dekat, dan jantung
Pangeran Muda mulai berdegup dengan keras. Ketika
mereka masih cukup jauh dari mulut celah itu, tiba-tiba
terdengarlah suara Jante, "Rangga! Anom! Berhenti, jangan
mendekat, atau kalian mati!"
Pangeran Muda dan Rangga terpukau bagai dua patung,
berdiri tidak bergerak-gerak. Kemudian Pangeran Muda
menarik napas panjang dan berbisik pada Rangga untuk
melangkah terus. Setelah itu berserulah Pangeran Muda,
"Jante, kami datang untuk menjemputmu. Pulanglah bersama
kami, janganlah takut, dalam pengadilan kami akan

membelamu. Saya pun tahu siapa Raden Bagus Wiratanu.
Saya yakin, mereka pantas terbunuh dalam perkelahian itu."
"Anom!" seru Jante dari dalam gua itu. "Saya ragu-ragu
mengenai apa yang ada dalam pikiranmu," katanya,
sementara itu ia tidak tampak.
"Saya tidak pernah bercabang lidah kepadamu, kau adalah
sahabat dan calon iparku. Saya sayang kepadamu."
"Bohong!" seru Jante.
Pangeran Muda terhenyak. 'Jante, kau tidak adil," kata
Pangeran Muda pula.
"Kalian semua hendak membunuhku dari dulu. Dalam
latihan, Anapaken selalu hendak membunuhku. Dalam ujian,
Geger Malela akan membunuhku dan bajuku terbakar. Lalu
bangsawan-bangsawan itu dengan badik mereka hendak
membunuhku. Lalu aku diburu seperti binatang buas di pinggir
hutan! Anom, jangan percaya kepada manusia!"
Seandainya Jante sebelumnya tidak pernah berbicara aneh,
tentu saja perkataannya yang baru saja akan mengejutkan
Pangeran Muda. Akan tetapi, sekarang Pangeran Muda tidak
terkejut lagi. Apa yang diucapkan Jante tidaklah benar, tetapi
hal itu sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan jalan
pikiran Jante yang sebelumnya didengar oleh Pangeran Muda.
Pangeran Muda tidak terkejut lagi, ia berdukacita sedalamdalamnya.
Jelas sekarang baginya bahwa siluman telah
menguasai seluruh kesadaran Jante.
Tanpa mengajak Rangga, Pangeran Muda melangkah.
Rangga mengikuti. Mereka berjalan menuju mulut gua itu.
Setelah mereka tiba di depannya, mereka berhenti, dan
memandang ke dalam.
'Jante!Jante!" seru Pangeran Muda yang terdengar hanya
gema suaranya, sedang Jante tidak menjawab. Setelah
beberapa kali memanggil-manggil kembali, akhirnya Pangeran
Muda memberi isyarat kepada Rangga agar memasuki mulut
gua itu. Mereka pun melangkah dengan hati-hati dan
waspada.

Walaupun mulutnya kecil, ternyata terowongan gua itu
sangat besar. Di lantainya berserakan tulang-tulang binatang
dan bahkan ada tulang-tulang yang tampak seperti tulang
manusia. Pangeran Muda beranggapan, mungkin sebelum
didiami oleh Jante gua itu menjadi tempat tinggal harimau
lodaya atau binatang pemakan daging lainnya. Sementara
melihat ke sekeliling, Pangeran Muda dengan waspada terus
melangkah mengikuti lorong gua yang makin lama makin
dalam masuk ke dalam perut gunung batu itu. Suasana makin
lama makin hening, dan udara makin lama makin kelam dalam
gua itu. Akan tetapi, berkat mata yang terlatih dan diberi obatobatan
di Padepokan Tajimalela, tidak sukar bagi kedua
puragabaya muda itu untuk dapat melihat dengan jelas.
'Jante! Jante! Janteeeeeeeeee!" seru Rangga.
Hanya gema yang menjawab, sahut-menyahut dari tebing
ke tebing jurang. Sementara itu mereka makin dalam
memasuki perut gunung batu itu. Tiba-tiba mereka melihat
cahaya. Mereka menghentikan langkah masing-masing dan
mengawasi ke sekeliling ke arah lekuk-lekuk cadas di dalam
ruangan gua yang melebar. Di salah satu sudut gua itu
berdirilah Jante, dengan matanya yang bersinar liar
memandang kepada mereka.
Melihat Jante ketika itu, seram bercampur dukacita meliputi
hati Pangeran Muda. Pakaian Jante sudah tidak menentu lagi,
tinggal kain-kain yang kotor dan cabik penuh bekas-bekas
darah. Sementara itu, rambut Jante yang tidak kalah kotor
tampak kusut masai dan lengket. Jambang dan kumis Jante
yang tumbuh panjang hampir menyebabkan Pangeran Muda
tidak mengenalinya lagi.
"Kalian datang untuk membunuhku!" tiba-tiba Jante
berkata.
'Jante!" seru Pangeran Muda dan Rangga bersama-sama.
"Kalian jangan coba-coba mendekat, kalian tidak akan
sanggup! Orang yang akan mampu membunuhku sudah mati.
Hanya si Janur yang akan dapat membunuhku, tapi ia telah
mati di dalam jeram siluman itu!"

Dengan dukacita yang sangat dalam, Pangeran Muda
menyadari bahwa siluman sudah menguasai seluruh pikiran
dan perasaan Jante. Orang yang dihadapinya bukanlah Jante,
tapi siluman yang meminjam tubuh Jante yang menyebabkan
malapetaka dan dukacita. Cahaya mata Jante sudah terlalu
berubah untuk dapat dikenal lagi, demikian juga seluruh
jiwanya. Akan tetapi, harapan Pangeran Muda tidaklah putus.
Seraya berdoa di dalam hati, Pangeran Muda mendekat dan
berkata, 'Jante, segala yang kaukatakan itu hanyalah
khayalanmu, tak ada orang yang akan membunuhmu."
"Anom, engkau orang baik, tapi aku tidak percaya
kepadamu," sambil berkata demikian Jante berjalan mendekat,
memandang ke dalam mata Pangeran Muda seolah-olah
hendak melihat sesuatu di dalamnya.
"Dan kau Rangga, kau badut, di balik leluconmu kau
rancang pembunuhan-pembunuhan yang paling pengecut!
Kau tidak akan mampu membunuhku, badut!" teriaknya pula,
parau. Teriakannya itu bergema dalam gua dan di tebingtebing
jurang. Sementara udara masih bergetar oleh suara
teriakkan Jante dan tertawanya yang menyeramkan, Pangeran
Muda mendengar Rangga berbisik.
"Ia gila, siluman telah merebut seluruh jiwanya dan
menjadikan dia budaknya!" katanya dengan keheranan dan
terpukau.
Tiba-tiba dari luar gua terdengar pula orang-orang datang.
Para puragabaya yang cemas di bawah pimpinan Pamanda
Rakean mengikuti Pangeran Muda dan Rangga. Tiba-tiba mata
Jante menjadi liar dan buas. Ia memandang ke arah
puragabaya-puragabaya lalu berkata, "Kalian akan menangkap
dan membunuhku seperti binatang, coba!"
Sambil berkata demikian, tiba-tiba ia menyerang ke arah
Pangeran Muda dan Rangga dengan loncatan ke depan dan
dua serangan yang berbahaya. Pangeran Muda dan Rangga
mengelak pada waktunya. Dan ketika mereka bersiap untuk
menerima serangan baru, tiba-tiba Jante melompat dan
menghilang ke dalam salah sebuah lubang dalam gua itu.

Pangeran Muda segera menyusulnya, demikian juga Rangga.
Sementara itu, para puragabaya yang lain pun bergerak.
Tetapi mereka mencari jalan-jalan lain, dengan harapan dapat
menghadang Jante.
Pangeran Muda diikuti oleh Rangga berlari-lari dalam lorong
yang gelap dan panjang, yang tiba-tiba saja keluar di puncak
gunung cadas itu. Begitu Pangeran Muda melangkahi ambang
gua itu, Jante menyerangnya bagai kilat. Pukulan tangannya
yang kuat itu mendesing. Untung Pangeran Muda sudah
bersiap, dan begitu serangan tiba, Pangeran Muda sempat
meloncat ke tempat lain, lalu berdiri dengan jurang menganga
di belakangnya.
Begitu serangannya meleset Jante tidak berhenti, tetapi
segera menyerbu Rangga. Rangga tidak dapat menghindarkan
dan terpaksa melayani serangan itu dengan sebaik-baiknya.
Suatu rentetan pertukaran pukulan terjadi dengan cepat, dan
tiba-tiba Rangga melepaskan diri dari pergulatan itu. Ia
melompat, kemudian mundur perlahan-lahan menjauhi Jante.
Jante tertawa dengan keras, dan dengan secepat kilat
menyerang ke arah Pangeran Muda. Pangeran Muda
mengibaskan serangan itu, dan dalam pada itu sadar bahwa
dengan demikian Jante akan terjatuh ke dalam jurang.
Ingatan yang datang secepat kilat itu menyebabkan Pangeran
Muda mencoba menangkap pinggang jante. Ia hanya dapat
menangkap cabikan baju Jante, dan karena tarikan yang
keras, kuda-kuda Pangeran Muda tercabut, dan Pangeran
Muda pun berguling ke arah tepi jurang. Sementara itu, Jante
yang terlempar oleh serangannya sendiri melayang sambil
mengeluarkan teriakan yang dahsyat. Kemudian suara
tubuhnya terdengar menghantam dasar jurang yang terdiri
dari cadas itu.
Ketika Pangeran Muda bangkit dari sela-sela cadas tempat
ia terguling, para puragabaya datang ke dekatnya. Ada yang
langsung membantu membangunkannya, ada pula yang
melihat ke dalam jurang tempat Jante terjatuh. Sementara itu,
Rangga tiba-tiba terjatuh.

"Rangga!" seru Ginggi sambil mendekat.
Rangga memegang tulang selangkanya. Paman Rakean
segera menolong. Ternyata tulang selangka itu remuk, dan
Pamanda Rakean segera mengeluarkan bebat dan penawar
sakit. Sementara Rangga diurus, Pangeran Muda dengan dua
orang puragabaya menuruni jurang yang bercadas-cadas itu.
Setiba mereka di bawah segera mereka memburu ke arah
tempat tubuh Jante terbaring. Sambil terbaring matanya yang
liar dan buas memandang ke arah mereka. Ketika Pangeran
Muda mendekat, ia tiba-tiba bangkit dan mengambil sikap
seperti akan menyerang. Akan tetapi, kemudian tubuhnya
gemetar.
'Jahanam!" serunya keras sekali, disahuti oleh tebingtebing.
Ketika ia memaki itu keluarlah darah dari mulutnya.
Lalu ia rubuh kembali ke sela-sela cadas, dan tidak lama
kemudian matanya yang liar itu menjadi suram, lalu
kelopaknya gemetar, tapi tidak menutup.
Ketika Girang memegang pergelangan tangannya, ia
mengangguk kepada yang lain. Yang lain mengerti, dan air
mata tidak dapat ditahan, keluar dari mata Pangeran Muda.
Untuk beberapa lama Pangeran Muda melihat Jante yang
sudah tidak bernyawa lagi. Aneh, setelah pemuda itu
meninggal, segala keliaran dan kebuasan dengan
mengherankan meninggalkan seluruh dirinya. Jante berbaring
dengan tenang, seperti seorang anak yang sedang tidur
nyenyak.
Tak lama kemudian rombongan pun menuruni hutan
bercadas-cadas itu dengan dua usungan. Rangga diusung
karena tulang selangkanya yang remuk menyebabkan dia
sangat lemah. Jante sendiri, setelah pakaiannya diganti dan
tubuhnya dibersihkan, terbaring dalam usungan kedua, tenang
dan megah, seperti seorang pahlawan yang gugur dan dibawa
dari suatu medan perang.
000dw000kz000

Bab 19
Seorang Qalon Baru
Beberapa hari setelah peristiwa yang sangat menyedihkan
itu, dari Padepokan Tajimalela Pangeran Muda memacu si
Bulan ke arah kota Medang. Ia berangkat seorang diri, dan
sepanjang hari tidak berhenti memacu kudanya, didorong oleh
hatinya yang gelisah dan berdukacita.
Pada hari kedua, ketika hari menuju senja, tampaklah di
depannya menara-menara benteng kota Medang. Pangeran
Muda makin cepat memacu kudanya dan ketika gerbang kota
itu sudah tampak, tiba-tiba dari arah depan datanglah
penunggang kuda lain yang dikenalnya, yaitu Mang Ogel.
Ketika mereka bertemu di tengah-tengah jalan itu, Mang Ogel
segera turun.
"Anom, tenanglah, marilah kita segera kembali ke
Padepokan. Setelah segalanya menjadi tenang, kita dapat
merencanakan untuk berkunjung ke kota Medang!"
Segala firasat jelek dan kegelisahan seperti menjelmakan
dirinya dengan tingkah laku Mang Ogel yang kelihatan
bingung dan bersedih hati itu. Pangeran Muda turun dari
kudanya, lalu bertanya, "Mang Ogel, katakanlah kepada saya
apa yang terjadi."
Mang Ogel kelihatan sangat bersedih hati dan juga tidak
mau memulai pembicaraan.
"Mang Ogel, katakanlah."
"Anom, seluruh kota seperti hendak mengamuk mendengar
berita kematian putra sulung penguasanya. Semua kaum lakilaki,
hingga kepada anak-anak dipersenjatai, dan engkau
dicaci maki dengan kata-kata yang hanya boleh didengar oleh
siluman. Sedang malam ini, mereka akan melakukan upacara
sumpah pembalasan dendam terhadapmu. Karena itu, tenangkanlah
dan tabahkanlah hatimu. Marilah kita pulang ke
padepokan, dan kalau suasana sudah sedikit berubah, kita
akan kembali dan menjelaskan segala-galanya."
"Mang Ogel, tapi saya tidak bersalah."

'Anom, kemarahan tidak pernah memberi kesempatan
kepada siapa pun untuk mencari kebenaran, yang dicarinya
hanyalah kesalahan."
"Tidak, Mang Ogel, saya harus menjelaskan semuanya,"
kata Pangeran Muda.
'Anom!" seru Mang Ogel ketakutan, seraya menangkap
tangan Pangeran Muda yang memegang pelana si Bulan.
Kedua tangan yang besar itu, seperti dua sepitan dari besi
menjepit pergelangan tangan Pangeran Muda. Pangeran Muda
tidak dapat bergerak karena tenaga Pangeran Muda telah
dibekukan oleh Mang Ogel yang sangat hafal akan ilmu tenaga
itu.
"Mang Ogel, berilah kesempatan pada saya untuk pergi ke
kota Medang, untuk bertemu dengan Yuta Inten dan
menjelaskan segalanya. Sekurang-kurangnya kepadanya."
Mang Ogel termenung, lalu berkala, "Ingat Anoin,
pertemuanmu dengan putri itu belum tentu memperbaiki
keadaan. Bahkan siapa tahu malah memperjeleknya. Di
samping iiu, Mang Ogel tidak menjamin keselamatanmu serta
keselamatan orang lain. Segala perbuatanmu adalah tanggung
jawabmu. Mang Ogel sudah memberimu peringatan, dan
engkau adalah seorang dewasa yang sudah pantas memiliki
pikiran waras. Di samping itu, engkau adalah seorang
puragabaya yang berkewajiban selalu berpikiran waras."
Sambil berkata demikian, Mang Ogel melepaskan
tangannya. Mendengar perkataan Mang Ogel itu, lemahlah
seluruh sendi Pangeran Muda. Kakinya hampir tidak sanggup
menahan berat tubuhnya. Ia pun bersandar pada pelana si
Bulan, air mata panas di kelopak matanya.
Mang Ogel berjalan ke arahnya, dan sambil memegang
pundaknya berkata, "Pergilah nanti ke sana, tetapi setelah
malam gelap. Masuklah ke kamar putri itu, dan jelaskanlah
segalanya, kemudian kita pulang ke padepokan. Mintalah
petunjuk Eyang Resi untuk tindakan-tindakan yang bijaksana
selanjutnya. Bertapalah di padepokan, atau bertapalah dalam

kesibukan baktimu pada kerajaan, mudah-mudahan Sang
Hiang Tunggal mendengar doa-doamu."
Mendengar itu, agak ringanlah penderitaan Pangeran Muda.
Ia memandang kepada Mang Ogel yang tersenyum sayu
kepadanya. Kemudian ia berpaling ke arah menara-menara
kota Medang yang samar-samar di langit yang kelam. Tak
lama kemudian, kedua orang penunggang kuda itu pun telah
bergerak beriringan menuju kota Medang yang gerbangnya
sudah ditutup rapat.
SAMBIL menunggu malam bertambah gelap, Pangeran
Muda dengan Mang Ogel melepaskan kuda mereka di dekat
mata air. Selagi mereka menunggu kuda-kuda mereka minum,
langkah derap kuda terdengar dari arah barat menuju mereka.
Seorang gulang-gulang begitu tiba melompat .dari kuda, lalu
berkata, "Apakah ini Pangeran Anggadipati Muda?"
"Ya," ujar Pangeran Muda.
"Hamba membawa surat dari Pakuan Pajajaran untuk
Pangeran Muda."
"Dari siapa? Oh!" Pangeran Muda melihat kotak lontar yang
dikenalnya dari Ayahanda Pangeran Muda bertanya,
"Bagaimana kau dapat menyusul saya? Dari mana pula kau
datang?"
"Saya dari Kutabarang, Pangeran Muda. Pangeran Jayapati
menerima surat ini, lalu memerintah empat orang gulanggulang
menuju ke suatu tempat. Di sana kami mendapat
kabar bahwa Pangeran Muda tidak berada di padepokan dan
orang yang harus menerima surat menyarankan kepada kami
agar menyusul ke kota Medang. Kami menuruti saran itu dan
ketika kami beristirahat, seseorang memberikan keterangan
bahwa siang tadi seorang penunggang kuda putih lewat. Kami
berbeda pendapat, yang tiga orang berpendapat belum tentu
penunggang kuda putih itu Pangeran Muda. Saya sendiri
punya firasat bahwa itu Pangeran Muda, lalu saya
memutuskan untuk menyusul seorang diri, sementara yang
lain menunggu di kampung yang letaknya tidak jauh dari sini.
Sepanjang jalan saya bertanya kepada orang-orang kampung,

apakah mereka melihat penunggang kuda putih, seorang
kesatria. Mereka menunjuk ke arah sini."
"Kecerdikanmu patut dihargai. Terima kasih, dan
sampaikan pula terima kasih kepada Pangeran Jayapati. Kau
tak akan kulupakan," lanjut Pangeran Muda.
"Terima kasih kembali, Pangeran Muda, tugas hamba
selesai, dan hamba mengundurkan diri."
Setelah gulang-gulang itu hilang dalam kelam malam
Pangeran Muda dengan bantuan cahaya bintang dapal
membaca tulisan di atas lontar itu.
Anakku,
Ayahanda sedang sangat sibuk, tetapi kegembiraan dan
kebanggaan mendorong Ayahanda mengucapkan selamat
kepadamu. Sang Prabu dan Putra Mahkota sangat berkenan
dengan perbuatan-perbuatanmu untuk kerajaan selama ini.
Penangkapan pemimpin pengacau dan penyerangan ke
seberang Cipamali masih segar di dalam ingatan penghuni
istana, dan sekarang kau telah pula berhasil membunuh
puragabaya yang gila dan membahayakan itu (siapakah nama
puragabaya itu?). Sang Prabu sungguh-sungguh sangat
berkenan, dan engkau telah mengangkat kehormatan keluarga
kita di mata beliau. Berulang-ulang beliau berkunjung
kepadaku, hanya untuk memperbincangkan engkau. Terakhir
beliau menawarkan apakah kau bersedia menjadi pengawal
pribadi beliau. Anakku, ini suatu kehormatan dan kemuliaan
bagimu dan bagi seluruh keluarga kita. Kukirimkan pula surat
kepada Ibunda dan Ayunda di rumah. Mereka pasti akan
berbahagia mendengar beritayang menggembirakan itu.
Anakku, pikirkanlah baik-baik tawaran sang Prabu yang
sangat jarang terjadi bagipuragabaya-puragabayayang masih
muda dan masih belum banyak pengalaman seperti engkau.
Sekian dulu, ayahmu sangat sibuk tapi sangat bergembira,
Anggadipati.

Pangeran Muda tidak tahu, perasaan apa yang tergerak
dalam hatinya setelah membaca surat itu. Yang disadari
hanyalah, bahwa tangannya yang memegang kotak lontar itu
gemetar, walaupun malam sekali-sekali tidak dingin. Pangeran
Muda memasukkan kotak lontar itu ke dalam kantong pelana,
dan setelah menitipkan kendali si Bulan pada Mang Ogel,
berangkatlah Pangeran Muda seorang diri, berjalan menuju
bayangan benteng kota yang kelam itu.
SETELAH memanjati benteng lapisan luar, Pangeran Muda
melompati beberapa benteng lain, dan setelah meluncur pada
sebatang pohon, tibalah dekat jendela kamar Putri Yuta Inten.
Akan tetapi, seluruh ruangan dalam rumah besar itu gelap
belaka. Pangeran Muda mengendap-endap di lorong.
Semuanya sunyi. Maka Pangeran Muda pun kembali
memanjati benteng, dan setelah melewati beberapa atap
rumah, tibalah di atas benteng yang melingkari lapangan kota.
Ternyata seluruh penduduk kota berkumpul di sana. Di antara
mereka, di suatu tempat yang dimuliakan, tampaklah seluruh
keluarga Banyak Citra. Laki-lakinya berpakaian perang, sedang
wanita-wanitanya berpakaian perkabungan.
Di tengah-tengah lapangan kota dinyalakan api unggun
yang sangat besar. Apinya berkobar-kobar menerangi seluruh
lapangan. Pada suatu saat, majulah seorang bangsawan muda
ke depan, sedang bangsawan-bangsawan muda lain berdiri di
belakangnya. Bangsawan muda itu mengacungkan tangan
kanannya, lalu berseru, "Demi kehormatan keluarga Banyak
Citra dan warga kota Medang, kami bertekad untuk membalas
dendam dan membunuh pembunuh sahabat kami, Jante
Jaluwuyung. Kami akan meminum darahnya, memakan
hatinya, dan menyerahkan bangkainya pada anjing. Semoga
tekad kami direstui Sang Hiang Tunggal, Maha Penghukum,
Maha adil."
Ucapan itu diikuti oleh ucapan bangsawan-bangsawan dan
pemuda-pemuda lain yang berkumpul mengelilingi api unggun
besar itu. Setelah ikrar diucapkan, Banyak Sumba, adik lakilaki
Putri Yuta Inten maju, ia mencabut sebuah senjata dari

pinggangnya, lalu melemparkannya ke dalam api yang
menyala. Pangeran Muda ingat badik kecil bergagang gading
yang pernah dihadiahkan kepada anak itu. Pangeran Muda
merasa tertusuk melihat pemandangan yang menyatakan
kekerasan hati seorang anak yang masih kecil itu. Akan tetapi,
pemandangan yang lebih meremukkan kalbunya segera
menyusul. Setelah ragu-ragu, Yuta Inten, berjalan ke depan,
ayahnya tegak seperti patung, tidak melihat kepadanya, tetapi
kebisuannya seolah-olah memesona seluruh hadirin untuk
melakukan hal-hal yang memperlihatkan bahwa mereka
berdiri di pihak laki-laki yang keras itu untuk membalas
dendam kepada Pangeran Muda. Setelah beberapa lama
berdiri di dekat api yang berkobar-kobar itu, Putri Yuta Inten
melepaskan kedua gelang yang dipakainya, subangnya, dan
kalungnya, lalu tusuk konde, yang kesemuanya merupakan
hadiah dari Pangeran Muda. Benda-benda yang sangat
berharga itu dilemparkan ke dalam api. Kemudian gadis itu
jatuh terduduk, dan dipapah kembali ke tempat keluarga
mereka oleh emban. Melihat pemandangan itu, hampir jatuh
Pangeran Muda dari atas benteng.
Pemandangan-pemandangan yang tidak kurang fasihnya
dalam mengucapkan tekad membalas dendam dan kebencian
diperlihatkan berturut-turut. Pangeran Muda tidak dapat
melihat pemandangan-pemandangan seperti itu lebih lama
lagi. Ia merangkak, lalu terbaring di dalam lekuk benteng yang
gelap. Ketika segalanya sudah sunyi dan dari arah lapangan
itu tidak terdengar lagi teriakan-teriakan, Pangeran Muda
bangkit, lalu merangkak ke arah kaputren, menuju ruangan
Putri Yuta Inten. Setiba di sana dilihatnya jendela tertutup,
walaupun di dalam ruangan tampak cahaya remang-remang.
Pangeran Muda menyelinap, lalu membuka jendela itu dengan
hati-hati, kemudian meloncat ke dalam.
Putri Yuta Inten dengan pakaian berkabung yang belum
ditanggalkannya berdiri, dan dengan jeritan yang tercekik

berseru, "Pembunuh!"

0 komentar:

Posting Komentar

 
;