Sabtu, 17 Mei 2014

wisang geni 15

Dia meraih tubuh Wulan, memeluk erat. "Wulan, aku tak akan
pernah galak terhadapmu, sekarang atau pun kelak. Aku akan
batasi diri bergaul dengan perempuan. Tapi ada syaratnya."
Wulan bertanya manja. "Apa?"
"Tidak di sini, mari kuajak kamu ke suatu tempat." Geni
menggandeng tangan kekasihnya. Keduanya melesat ke
kerimbunan hutan. Sekar memandang kepergian dua insan itu
dengan senyum
Di kerimbunan pepohonan, Geni melucuti pakaian Wulan.
Mereka bercinta dan menikmati birahi yang panas membara.
Sambil mengerang, terengah-engah, Wulan berbisik, "Kamu
belum katakan syaratnya tadi."
"Kamu tak boleh menyimpan persoalan, jika ada persoalan,
utarakan saja padaku."
"Cuma itu?"
"Ya cuma itu."
Sembari memeluk suaminya, Wulan berbisik lirih, "Geni,
tadi, saat kita bergandengan menuju hutan, aku melihat
Sekar, artinya ia melihat kita pergi berduaan."
"Tidak ada masalah, Sekar sudah mengerti. Sekar dan
kamu harus mengerti bahwa aku harus melayani dua isteri.
Lain kali, aku akan mengajak Sekar dan kamu yang melihat
kepergianku berdua Sekar."
Wulan berbisik, menggelitik telinga kekasihnya. "Terbalik,
bukan kamu yang melayani dua isteri tetapi kami berdua yang
harus melayani kamu. Bahkan mungkin dalam masa datang,

akan ada perempuan lain lagi yang masuk ke dalam keluarga
ini."
"Kenapa mengatakan adanya perempuan lain lagi?"
Wulan tertawa geli ketika tangan Geni menggelitik
tubuhnya. "Aku tahu, sebab melihat gelagat birahimu, setelah
memahami ilmu Wiwaha tampak perubahan dalam dirimu,
kamu semakin cepat terangsang birahi dan makin perkasa."
Keduanya tertawa lirih sambil tetap. menikmati pelukan
asmara di tengah malam yang remang-remang disinari cahaya
rembulan.
---ooo0dw0ooo---
Jurus Penakluk Raja
Hari ini adalah awal dari hari esok. Pertemuan adalah awal
dari suatu perpisahan. Beberapa hari bersama-sama, ngobrol
bercanda, makan minum dan tidur, tanpa terasa telah
menumbuhkan rasa pertemanan yang akrab. Rombongan
besar itu berpencar. Demung Pragola bersama cucu dan anak
buahnya pulang ke markas partainya. Sebelum pergi Demung
Pragola menjanjikan bantuan kepada Wisang Geni, kapan saja
diperlukan.
Rombongan Sang Pamegat bersama Ranggawuni, Mahisa
Campaka, Waning Hyun dan delapan pendekar Tumapel
melanjutkan tujuan asalnya. Wisang Geni yang dulunya tawar
terhadap tiga pangeran ini, belakangan mulai hangat. Ia
memberi hormat sambil mengucap salam perpisahan.
Sekoyong-koyong Waning Hyun yang berdiri di samping
Ranggawuni memperingatkan Geni.

"Kangmas Wisang Geni, kamu sekarang ketua Lemah Tulis,
kamu juga kakak perguruanku, tetapi kamu tetap masih
hutang satu permintaan padaku. Jangan lupa, suatu waktu
nanti aku akan menagih janji itu, awas kamu tak boleh
ingkar."
Wisang Geni tertawa. "Tanpa berhutang janji pun, kalau di
perintah seorang permaisuri agung, mana berani aku
menolak."
Melihat Waning Hyun tersipu-sipu. Ranggawuni tertawa
terbahak-bahak. "Kangmas Geni, kamu sekarang tak lagi kaku
seperti dulu pertama kali bertemu kami. Sobat, berhati-hatilah
memimpin Lemah Tulis. Makin tinggi kau duduk makin besar
angin yang akan menerpamu, hati-hati dan waspada terhadap
siapa pun!"
Rombongan Lemah Tulis melanjutkan perjalanan. Lima hari
kemudian sampai di Gayu, sebuah desa kecil di kaki gunung
Wclirang. Lima hari itu bagi Manjangan Puguh adalah
pengalaman baru. Selama lima hari itu ia merasa dikejar-kejar
Mei Hwa. Setiap ia sendirian, Mei Hwa selalu menghampiri dan
mengajaknya bicara
Dia seperti melihat wajah Mei Hwa di mana-mana.
Hidungnya yang bangir mungil, matanya yang sipit indah
gemerlap, rambutnya yang halus lurus, bibir yang mungil,
semuanya seperti akrab dengannya. Perawakannya yang
tinggi jangkung, tidak kurus dan tidak gemuk selalu jadi bahan
lamunan.
Manjangan Puguh seorang lelaki berjiwa polos yang tak
pernah menyembunyikan perasaannya. Ia terus memikirkan
Mei Hwa. Sampai suatu saat ia dihadapkan pada pilihan sulit.
Pergi jauh dari perempuan Cina itu, atau menghampiri
perempuan itu dan mengatakan bahwa ia mencintainya.
Tetapi ia bimbang. Ada rasa khawatir, cintanya akan ditolak.
Ia merasa sudah tua, usia separuh abad, apakah Mei Hwa
mau menerima cintanya? Ia makin kesal terhadap dirinya,

mengapa menjadi begitu lemah, tak mampu mengambil
keputusan tegas.
Perpisahan selalu membawa kenangan. Bagi Manjangan
Puguh, yang selalu berpindah tempat dan tak pernah diam
lama di suatu tempat, perpisahan adalah kawannya yang
paling akrab. Hari itu ia sulit memutuskan mengikuti
rombongan Wisang Geni ke Lemah Tulis, pergi mengembara
seorang diri atau mengawani rombongan Mei Hwa ke bukit
Penanggungan. Ia bingung memilih, seperti kebingungan
dirinya yang tidak punya keberanian mengutarakan cintanya
pada Mei Hwa.
Tadi malam, bagi Manjangan Puguh suatu hari yang tak
akan terlupa. Mei Hwa menghampirinya, memegang
tangannya dan menatap lekat-lekat matanya. Ia sepertinya
melihat sinar mata yang mengandung cinta. Apakah benar,
Mei Hwa mencintai dirinya sebagaimana ia mencintainya?
Gadis itu berkata lirih, "Mas Puguh, di dalam rombongan ini
aku adalah pemimpinnya karena aku pandai bahasa Jawa.
Tetapi pengalamanku cetek, apalagi aku sangat asing dengan
negeri ini, aku mohon bantuanmu mengantar kami ke bukit
Penanggungan. Di bukit itu kami akan menanti rombongan
ketua Sam Hong. Kamu mau mengantar kami?"
Entah mengapa Manjangan Puguh justru menjawab yang
tidak sesuai bahkan bertentangan dengan kemauannya. "Aku
tidak bisa, aku masih punya urusan lain." Ia melihat wajah Mei
Hwa yang kecewa, bahkan matanya merah basah. Ia
menyesal, tetapi tak mampu meralat jawabannya tadi.
Siang hari itu, di batas desa Gayu, dua rombongan itu
sampai di persimpangan jalan. Ke kiri menuju Trowulan,
markas perdikan Lemah Tulis. Ke kanan menuju bukit
Penanggungan. Jari Manjangan Puguh menunjuk lurus ke
depan. "Kalau ke utara terus, kalian akan sampai di bukit
Penanggungan."

Mata Mei Hwa berkaca-kaca. Ia dan keempat kawannya
memberi hormat kepada semua orang. Matanya memandang
Manjangan Puguh penuh arti. Sepasang mata sipit itu, basah
tapi masih bening dan berkilat. Manjangan Puguh menyukai
keindahan mata itu. Hatinya tergugah, tapi ia tak bisa
mengambil keputusan. Dalam hatinya ia merasa malu,
mencintai gadis usia duapuluhan, padahal dia sendiri sudah
hampir setengah abad. Ia malu terhadap Geni dan yang
lainnya. Juga terhadap Mei Hwa.
Manjangan Puguh tak sanggup menatap lama-lama mata
Mei Hwa. Cepat ia membalik dan melangkah mendahului
rombongan Lemah Tulis. Ia berjalan menuju Trowulan. Mei
Hwa masih berdiri tak bergerak Mata gadis itu menatap
kekosongan.
Wisang Geni berbisik pada Wulan. Perempuan ini manggut,
lalu berseru, "Paman, tunggu dulu, lebih baik paman
mengawani Mei Hwa dan rombongannya, kalau terjadi apaapa
terhadap mereka, nama kita semua akan cemar. Lagi
pula, paman, kau bukan anggota Lemah Tulis apa gunanya ke
Trowulan?"
Manjangan Puguh berhenti, berpikir sejenak, ia berbalik.
"Kau benar juga. Aku bukan orang Lemah Tulis, buat apa ikut
ke Trowulan. Baik, aku akan mengawani orang-orang Cina ini
sampai desa di depan."
Sambil berkata Manjangan Puguh melesat Sekejap saja ia
sudah berdiri di dekat Mei Hwa. Mata gadis itu berbinar,
wajahnya menjadi cerah. Tanpa merasa malu ia mengucap,
"Terimakasih," sambil menjura kepada Geni dan Wulan. Tidak
disadari baik Manjangan Puguh maupun Mei Hwa bahwa
keputusan itu telah mengubah jalan hidup keduanya.
Tiga hari kemudian rombongan Wisang Geni tiba di desa
Tumbas di tepi Kali Gunting. Dari situ menuju Trowulan hanya
lebih kurang satu hari. Hari sudah senja, Wisang Geni

memutuskan bermalam di batas desa. Dia mengutus Gajah
Nila ke desa, mencari makanan dan keterangan.
Matahari sudah lama masuk peraduan ketika Gajah Nila
kembali.
Bersamanya ikut Kebo Lanang, murid pertama Ranggascta
dan sepasang suami isteri. Mereka membawa banyak
makanan seperti ketela, ubi, ikan asin, ayam dan daging sapi
yang sudah dikeringkan. Tak lama kemudian tempat itu penuh
kesibukan.
Gajah Nila memperkenalkan suami isteri itu kepada Wisang
Geni. Seorang laki-laki tampan berusia sekitar empatpuluhan,
Baruna. Isterinya sedikit lebih muda. Keduanya lama tinggal di
desa dekat Lemah Tulis, karenanya tahu banyak situasi dan
keadaan perdikan.
Selama dua hari di batas desa Tumbas itu, satu persatu
murid Lemah Tulis berdatangan. Ternyata selama ini Lemah
Tulis masih memiliki murid yang bertebar di mana-mana dan
berlatih sendiri secara sembunyi Namun meski pun hidup
berpencar, tetapi secara diam-diam mereka tetap saling
berhubungan. Hanya selama ini belum berani
memperkenalkan diri di depan umum
Ketika semua orang sudah beristirahat, Gajah Nila
membawa Baruna, menghadap Wisang Geni. Di situ duduk
juga Walang Wulan, Padeksa dan Gajah Watu. Tidak
ketinggalan di situ adalah Sekar. Karena Sekar adalah isteri
Wisang Geni, maka boleh saja hadir dalam perbincangan
Lemah Tulis. Baruna menceritakan panjang lebar segala
sesuatu yang diketahuinya tentang tanah perdikan Lemah
Tulis.
Tanah perdikan itu belum lama berselang telah dikuasai
orang-orang dari partai Cundha, ketuanya bernama Tita
Sahaja. Saat ini perdkan itu sedang ramai, karena kedatangan
beberapa tokoh dari kalangan hitam Di antaranya ada

Sepasang Iblis Sapikerep dan ketua partai Bajul Ireng, yakni
Jayawikata.
"Kebetulan sekali, dua iblis Sapikerep dan Jayawikata ada di
sana, aku tak perlu susah-susah mencari mereka. Guru, siapa
itu Tita Sahaja?"
"Kakek itu salah seorang yang ikut dalam penyerbuan ke
Lemah Tulis dan perang Ganter. Ia kawan dekat Ken Arok
semasa muda. Ilmunya cukup tinggi, mungkin oleh Sapikerep
dan Jayawikata, dia diharapkan dapat mengimbangimu! Kita
harus berhati-hati, kupikir mereka sudah tahu kita akan
datang."
Wisang Geni menyuruh Gajah Nila dan Jayasatru
mempersiapkan pertemuan seluruh anak murid Lemah Tulis.
Sebagian murid Lemah Tulis terutama yang tidak hadir di
Mahameru hanya mendengar cerita kehebatan Wisang Geni.
Tetapi ketika mereka melihat wajah ketuanya yang masih
begitu muda, timbul keraguan. Apa mungkin, ketua yang
begini muda usia punya ilmu hebat sampai bisa membunuh
Kalayawana bahkan menjadi salah seorang dari lima pendekar
utama tanah Jawa? Begitu kira-kira keraguan di benak
mereka. Pertemuan berlangsung singkat, Wisang Geni
menggambarkan apa saja yang harus dilakukan untuk
membangun kembali perdikan Lemah Tulis yang sudah
duapuluh lima tahun tenggelam
"Kerja keras, berlatih keras, tidak kenal lelah, tidak kenal
putus asa, dan yang paling penting kita semua harus menjaga
memelihara persatuan dan pertemanan di antara sesama
murid Lemah Tulis. Ingat, mulai sekarang, semua murid kita,
terutama murid baru, harus diketahui asal usulnya. Tak boleh
lagi ada penyusup, tak boleh lagi ada murid pengkhianat yang
meracuni makanan dan air minum kita. Harus ada
kesepakatan bahwa siapa yang membuat kesalahan harus
dihukum, siapa pun dia, bahkan jika aku ketua kalian bersalah
dan melanggar peraturan, silahkan hukum'"

Semua murid memerhatikan seksama penegasan sang
ketua. Lebih lanjut Wisang Geni mengajak semua murid untuk
menyerbu dan merebut kembali tanah perdikan Lemah Tulis
dari tangan partai Cundha. "Pertama yang harus kita lakukan
adalah merebut kembali Lemah Tulis. Malam ini, kalian
waspada dan berjaga-jaga. Aku akan menyelidik keadaan di
perdikan, melihat apakah mereka mempersiapkan jebakan
atau tidak. Selama aku tidak ada, semua urusan disini
kuserahkan pada paman Gajah Watu sebagai
penanggungjawab. Besok pagi, kita akan menyerang. Satu hal
lagi, pastikan di antara kalian tidak ada pengkhianat?"
Semua murid menyambut dengan semangat meluap. Sudah
lama mereka tarmimpi datangnya saat ini. Selama ini mereka
merasa seperti buronan saja. Tak berani memperkenalkan diri
sebagai murid Lemah Tulis karena takut disatroni musuhmusuh
lihai. Ternyata saat yang dinanti-nanti akhirnya tiba
bahkan mereka sudah punya ketua baru yang ilmu silatnya
sangat tinggi.
Wisang Geni melakukan perjalanan cepat. Kalau berjalan
biasa tanah perdikan itu bisa dicapai dalam satu hari. Tetapi
Geni yang menggunakan Waringin Sungsang tiba sebelum
tengah malam Tak sulit menemukan perdikan itu, karena peta
yang digambar Baruna cukup jelas. Bulan ditutup mendung
tebal, Geni melihat perdikan dikelilingi pepohonan sebagai
pagar batas. Ia tersenyum dan menemukan cara paling bagus
dan aman. Menggunakan Waringin Sungsang ia melompat dari
satu pohon ke pohon lain.
Ada beberapa penjaga malam berkeliling. Di antara sekian
banyak rumah, tampak satu bangunan besar mendapat
pengawalan paling ketat. Geni menduga itu mungkin markas
pusarnya. Bagaimanapun juga ia harus mendekati bangunan
itu, mengintai rencana lawan. Ia dengan jurus Warayang dari
Waritigin Sungsang bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Gerakan Wisang Geni terlalu cepat untuk bisa dilihat mata,

apalagi di malam hari yang rembulannya tertutup mendung
tebaL Sampai di bangunan besar, ia sembunyi di bawah
wuwungan.
Dari situ ia bisa mengintai ke ruangan tengah. Tampaknya
ada pesta. Empat perempuan separuh bugil menari diiringi
musik tabuh. Beberapa lelaki duduk menyaksikan sambil
makan-minum Meja hidangan penuh makanan dan minuman,
seseorang masuk ruangan. Ia melapor adanya rombongan
besar bermalam di hutan di batas desa Tumbas. "Tidak tahu
siapa rombongan itu tapi jumlahnya sekitar limapuluh orang.
Mereka semua orang-orang yang mengerti silat."
Lelaki yang dikenal sebagai Jayawikata berseru. "Itu sudah
pasti mereka, orang-orang Lemah Tulis yang dipimpin Wisang
Geni. Kita harus bersiap-siap sekarang ini, jangan sampai kita
diserang saat kita semuanya sedang tidur."
Seorang lelaki yang tidak dikenal Geni, berusia sekitar
tujuhpuluh tahun, mengusir pergi si pelapor tadi. "Aku sudah
siapkan semuanya. Di mana-mana ada jebakan, kalau malam
ini mereka berani menyerbu, itu sama saja dengan bunuh diri!
Aku yakin mereka akan datang besok siang. Alasannya,
mereka menganggap dirinya golongan pendekar jadi mau
tarung secara terang-terangan. Justru kesombongan mereka
itu yang akan kita manfaatkan. Sekali lagi sejarah akan
mencatat kehancuran Lemah Tulis!"
Wisang Geni terkesiap. Rupanya benar yang dikatakan
Padeksa, mereka sudah mempersiapkan diri. Apa jebakan itu,
Geni tak tahu. Tiba-tiba Geni merasa telapak kakinya gatal. Ia
hendak menggaruk, tapi ditahannya. Merasa tak ada lagi yang
perlu diketahui, Geni melesat pergi. Rasa gatal di kakinya
menjadi-jadi waktu ia tiba di luar batas perdikan. Ketika
tangannya menyentuh telapak kaki, ia terkejut. Kakinya itu
panas, bengkak dan berair. Racun ganas!
Tak ayal lagi Geni duduk bersila. Ia mengerahkan tenaga
Wiwaha di kedua kakinya. Hampir sepenanakan nasi kemudian

kakinya mulai membaik. Kakinya masih bengkak, namun
sudah kurang gatal. Sebenarnya ia bisa menyembuhkan
kakinya dengan ramuan, tetapi di malam hari tak mungkin
bisa menemukan daun obat Satu-satunya jalan, cepat kembali
ke rombongan.
Tapi bagaimana caranya? Berlari, tidak mungkin sebab
racun itu akan menjalar lebih ganas lagi Berjalan, juga tidak
mungkin, sebab akan makan waktu lama. Menanti pagi hari,
kemudian baru mencari daun obat, juga tak mungkin, orangorang
Lemah Tulis akan gelisah menanti. Satu-satunya jalan ia
harus mencari kuda.
Terpaksa ia mencuri kuda dari salah satu rumah penduduk.
Ia melecut kuda secepatnya dan tiba di desa Tumbas saat
fajar menyingsing. Kedatangannya disambut beberapa murid.
Ia minta Sekar menyiapkan air hangat di tempayan. Sambil
merendam kaki, ia mengerahkan tenaga dalamnya. Air di
dalam ember mendidih, selang sesaat menjadi dingin. Wulan
dan Sekar duduk di dekat kekasihnya, bergantian melayani
kebutuhan Geni.
Wulan, Sekar, Padeksa dan Gajah Watu serta beberapa
murid lain memerhatikan wajah ketuanya. Tak ada tandatanda
yang mengkhawatirkan, apalagi tadi Geni mengatakan
bahwa ia cuma kena racun ringan. Racun itu tidak bisa
menembus ke dalam tubuh tetapi bisa merusak telapak
kakinya.
Wisang Geni selesai dengan pengobatannya ketika
matahari pagi sudah memperlihatkan diri sepenuhnya. Geni
masih belum mau menceritakan pengalamannya. Ia semedi.
Selang beberapa lama, kakinya sudah tidak gatal lagi,
meskipun masih bengkak. Masih ada bekas racun di kaki,
warnanya agak biru kehitaman.
Setelah merasa agak baikan, Geni memaksa diri berkeliling
di hutan, mencari ramuan daun dan rumput. Sebagian ramuan
ditumbuk kemudian dilabur ke kaki, sebagian lagi direbus dan

diminum Lalu ia semedi sambil melonjorkan kaki. Ketika siang
hari, tampak kakinya sudah pulih seperti sediakala.
Wisang Geni memanggil Padeksa, Gajah Watu dan
beberapa murid utama. Ia menceritakan pengalamannya
ketika mengintai Lemah Tulis. "Jebakannya itu garam beracun
yang disebar di tanah sekeliling sehingga penyerang akan
keracunan kakinya. Racun ini akan mengganas apabila yang
keracunan menggunakan tenaga."
Setelah semua murid mengutarakan pendapat, akhirnya
Geni menjelaskan siasat. "Kita berangkat siang ini. Tapi
sebelum itu kita sebar isu akan menyerang besok siang. Kita
akan sampai sekitar tengah malam. Istirahat, lalu menjelang
fajar, kita serang. Gunakan karung berisi pasir dan batu-batu
besar yang akan kita tebar di pekarangan. Itu tempat pijakan
kaki. Selain itu, kalian lumuri kaki dengan ramuan obat yang
sudah kusediakan lalu bungkus dengan kain yang agak tebal,
menjaga jangan sampai kena racun."
Geni mengumpulkan semua anggota, membagi tugas.
Sekelompok menyediakan karung. Sesampai di tepi
perdikan, baru diisi pasir. Sekelompok lain, membuat busur
dan anak panah. Ujung panah dibungkus kain, nanti berfungsi
sebagai panah api.
Perjalanan ke Lemah Tulis telah membangkitkan semangat
semua murid Mereka melangkah tegap. Tepat tengah malam
mereka sampai di hutan dekat perdikan. Semua kelompok siap
dengan tugasnya. Siap mengubah sejarah. Inilah saat-saat
kebangkitan Lemah Tulis!
Beberapa saat menjelang fajar, ketika orang masih enggan
membuka mata, Wisang Geni memberi aba-aba menyerang.
Dari segala penjuru, mereka melepas anak panah berapi. Tak
lama berselang semua bangunan di perdikan itu menyala!
Musuh berlarian keluar. Suasana hiruk pikuk dan kacau. Tepat

dugaan Geni, ternyata banyak anggota partai Cundha yang tak
mengetahui kalau tanah di sekitarnya sudah ditabur racun.
Mereka hanya diberitahu agar melangkah di atas batu-batu
yang telah diatur rapi. Tetapi di malam hari dan dalam
suasana hiruk pikuk diserang musuh, tak ada lagi yang
mengingat aturan itu. Akibatnya mereka memijak tanah yang
bertabur garam beracun, satu demi satu korban di pihak
Cundha berjatuhan.
Tidak lama kemudian Wisang Geni memberi aba-aba
menyerang. Karung pasir dan batu besar dilempar ke dalam
pekarangan, berbarengan murid-murid Lemah Tulis menyerbu
masuk. Geni, Gajah Watu, Wulan berada paling depan.
Gajah Watu tarung lawan Sepasang Iblis Sapikerep. Wulan
lawan Jayawikata. Sekar dan murid lainnya tarung lawan
orang-orang Cundha. Geni menghadapi si orang tua yang
ternyata adalah ketua partai Cundha, Tita Sahaja!
Di mana-mana pertarungan sengit. Murid-murid Lemah
Tulis dengan ganas membabat kian kemari. Anggota partai
Cundha lari tercerai berai. Luput dari hamuk anak murid
Lemah Tulis mereka mati disengat garam beracun.
Pertarungan tidak lama, tanah perdikan itu resmi jatuh ke
tangan pemiliknya.
Pertarungan antara tiga pemimpin sudah mendekati akhir.
Tak percuma selama ini Wulan memperdalam ilmu Prasidba
dari Wisang Geni. Pada mulanya Wulan agak terdesak. Suatu
ketika ia terancam pukulan yang mengarah ke dada. Melihat
tak ada jalan keluar, Wulan memasrahkan diri sambil
menggelar jurus Akwamatyana dari ilmu Prasidba. Jayawikata
hanya sempat memekik sebelum terjengkang dua tombak ke
belakang. Tulang dadanya remuk, ia mati sebelum menyentuh
tanah.
Gajah Watu sebetulnya kewalahan dikeroyok Sepasang Iblis
Sapikerep. Namun, karena Lembusana belum pulih dari luka

pedang Ki Antaboga ketika tarung di Mahameru, maka Gajah
Watu tinggal memerhatikan si iblis perempuan, Lembani. Dan
saat Wulan mengalahkan Jayawikata, saat yang sama Gajah
Watu menghantam leher Lembani. Iblis ini terlempar dengan
leher patah, mati seketika!
Lembusana kalap melihat isterinya mati. Ia menyerang
tanpa peduli pada lukanya yang belum sembuh. Gajah Watu
menyambut dengan jurus Dekungpulir dan Sikepdehak.
Tangan dan kaki Gajah Watu berputar dengan mendorong.
Bentrokan tenaga tak terhindar. Gajah Watu undur dua
langkah. Lembusana tetap di tempat, wajahnya pucat. Dari
mulurnya keluar darah, tubuhnya bergoyang, saat berikutnya
ia jatuh tertelungkup, mati! Selesai sudah perjalanan hidup
yang kelam tiga pendekar kalangan hitam, Jayawikata dan
pasangan suami isteri Sapikerep. Duapuluh lima tahun silam
mereka ikut andil dalam pembantaian berdarah murid-murid
Lemah Tulis, sekarang nyawa dan hidup mereka dihentikan
oleh orang-orang Lemah Tulis. Hutang nyawa bayar nyawa!
Pertarungan antara Wisang Geni dengan Tita Sahaja
berlangsung seru sejak awal. Murid-murid Lemah Tulis
menonton takjub. Ketua mereka ternyata seorang berilmu
tinggi meski usianya masih muda. Sepanjang pertarungan itu,
terdengar bentrokan tenagayang bersuara keras. Tita Sahaja
memainkan jurus andalannya Gelap Ngampar dan Gelap Sewu
Geni berganti-ganti menggunakan Garudamukha dan Bang
Bang Alum Alum.
Sengaja Geni tak mau menggunakan Prasidha karena ingin
menguji tenaganya sendiri. Ia ingin adu tenaga habis-habisan,
ingin tahu sampai di mana kekuatan Wiwaha menghadapi
lawan istimewa ini. Baru kali ini Geni menemukan lawan
dengan tenaga luar dan tenaga batin yang begitu tinggi
Namun sekuat apa pun tenaga Tita Sahaja, tampaknya
Wimkm jauh lebih sempurna. Makin bertarung, tenaga Geni
makin besar. Panas yang membara dan dingin yang membeku

silih berganti menyiksa Tita Sahaja. Melampaui jurus
limapuluh, Tita Sahaja yang sudah terdesak hebat terpaksa
menggunakan pukulan paling dahsyat yang dimilikinya.
Amarahnya meluap, ia membentak keras dan mengerahkan
segenap tenaga. Mati atau hidup!
Geni melihat ini, ia juga mengerahkan segenap tenaga
dinginnya. Terjadi adu tenaga dalam yang dahsyat. Angin
dingin dan tangan Geni menyambar ke segala penjuru dan
terasa oleh sebagian murid Lemah Tulis. Mereka yang belum
pernah melihat sepak terjang Geni, kini takjub akan kehebatan
ketuanya.
Yang paling celaka, Tita Sahaja. Bentrokan tenaga itu telah
membuatnya nyaris beku. Ia menggigil hebat. Dari mata,
hidung, mulut dan telinga merembes darah. "Ilmu apa itu?" Ia
bertanya, tapi tak sempat mendengar jawabannya. Nyawanya
melayang!
Pertarungan selesai lebih cepat dari perkiraan. Di pihak
Lemah Tulis tidak ada korban jiwa, hanya beberapa murid
yang luka. Tetapi di pihak lawan, sebagian besar mati di
pekarangan, sebagian lagi di luar perdikan.
Pagi itu, Lemah Tulis memulai hari yang baru. Semua murid
membersihkan pekarangan, membuang garam beracun.
Mereka bekerja dengan riang. Mayat-mayat orang partai
Cundha dikubur dalam satu liang besar di luar perdikan.
Semua bangunan dibongkar kemudian membangun yang baru
sesuai kebutuhan dan rencana.
Selama beberapa hari, Wisang Geni sibuk menjalankan
tugas sebagai ketua. Waktunya yang senggang digunakan
untuk melatih para murid atau berkeliling membantu
pembangunan. Malam hari ia istirahat bersama Wulan dan
Sekar. Dua isteri itu sekarang sudah makin rukun, mau
bercanda dan bekerjasama. Bahkan tidak jarang mereka
bercinta, dua isteri menggumuli Geni.

Hampir setiap pagi dan malam Geni membantu
penyembuhan tenaga Padeksa. Tubuh Padeksa semakin
membaik, ia sudah sembuh namun tenaga dalamnya belum
pulih sepenuhnya.
Pada saat-saat tertentu Geni melatih beberapa murid
utama secara bersamaan. Kemudian beberapa murid utama ini
melatih beberapa murid di bawahnya. Tampaknya roda
kehidupan Lemah Tulis mulai berputar kembali setelah
duapuluh lima tahun lamanya terbenam dalam lumpur
kehinaan.
Hanya dalam waktu duapuluh hari, keadaan perdikan
Lemah Tulis langsung berubah. Secara fisik terlihat bangunan
dan saluran pengairan mulai berfungsi. Di sisi lain mulai timbul
kepercayaan diri pada setiap anak murid.
Sepak terjang Wisang Geni menjadi pembicaraan para
murid. Sebagai ketua ia tegas, berani dan bijaksana. Sebagai
manusia biasa, ia mau duduk sama rendah dengan para
murid, makan bersama bahkan ikut menebang kayu dan
menggali sumur. Terkadang ia larut dalam canda bersama
mereka. Makin hari para murid makin segan, hormat dan
sayang pada ketua mereka yang masih berusia muda ini.
Tiba saatnya Wisang Goni berangkat ke Tajinan, memenuhi
janji tarung pada Malini dan Kumara. Malam menjelang
berangkat, Wulan membujuk Geni untuk mengajaknya. Geni
keberatan mengingat Lemah Tulis kekurangan tenaga.
"Wulan, kamu harus membantu perguruan. Guru Padeksa
belum pulih seluruhnya. Hanya seorang yang bisa diandalkan,
paman Gajah Watu selain beberapa murid utama. Itu sebab
tenagamu diperlukan di sini. Aku akan cepat kembali." Geni
melihat air muka Wulan yang murung.
"Kamu mengajak Sekar?" tukasnya dengan suara bergetar.
Geni mengangguk, mengiyakan.

Seperti anak kecil, ia merengek. "Aku mau ikut, Geni!" Geni
belum sempat menyahut, terdengar suara Sekar mengusulkan
agar Wulan ikut serta. Mau tak mau Geni akhirnya bertanya
pada Padeksa. Orang tua ini tertawa geli. Dalam hati ia
merasa lucu melihat dua isteri itu tidak mau berpisah dari
suaminya. "Sekarang ini Lemah Tulis tak akan kekurangan
tenaga. Lagipula siapa yang akan menyerang kita? Justru
kamu yang perlu ditemani, maka ajak saja dua isterimu itu.
Ingat Geni, yang kamu hadapi itu dua orang yang ilmu
silatnya tergolong kelas atas. Kamu harus waspada dan
berhati-hati!"
Dalam perjalanan menuju Tajinan, Wisang Geni, Wulan dan
Sekar lebih sering berbincang mengenai ilmu silat. Berkat
latihan dan bimbingan Geni, sekarang Wulan sudah menguasai
Prasidha dan bisa menggunakan saat dibutuhkan. Selain itu
Wulan pun mulai menguasai warisan ayahnya, ilmu Nagapasa.
Geni tak lupa menyediakan waktu membimbing Sekar
khususnya dalam peningkatan tenaga dalam.
Pada saat tertentu Wisang Geni menghabiskan waktu
memikirkan pertarungan nanti. Ia pernah bertempur dengan
Malini selama tigapuluh jurus di Mahameru. Waktu itu ia
terkejut sebab dalam setiap bentrokan tangan, ia merasa
tenaganya seperti amblas ke tempat kosong. Malini seperti
sebuah sumur yang dalam, yang menyedot seluruh tenaga
pukulannya. Ketika ia tanyakan, Padeksa menegaskan itulah
ilmu yang meminjam tenaga bumi. Inti ilmu tersebut, adalah
daya tarik bumi. Setiap benda kalau dilempar akan jatuh ke
tanah. Makin tinggi keberadaan benda dan makin berat bobot
benda itu maka kejatuhannya akan bertambah keras.
Prinsip ilmu itu hampir sama dengan Prasidha. Bedanya
Prasidha meminjam tenaga musuh untuk memukul kembali
musuh. Sedang ilmu Tenaga Bumi menyalurkan tenaga
pukulan musuh lenyap ke bumi, makin lama musuh akan
kehabisan tenaga. Selelah itu barulah musuh dihajar. Wisang

Geni berpikir, apakah Prasidha bisa mengatasi ilmu pendekar
India itu?
Pertanyaan ini menghantui Geni sepanjang jalan.
Bagaimana kalau Prasidha ternyata tak mampu mengatasi
ilmu lawan itu? Memang ia berhasil meyakinkan Padeksa dan
Gajah Watu bahwa ia bisa mengatasi dua pendekar
Jambudwipa itu. Tapi dalam hatinya ia tak yakin bisa menang.
Sejak masih di Trowulan ia sudah memikirkan cara
menghadapi ilmu Tenaga Bumi itu? Namun sampai saat ini
pun, ia belum menemukan jawaban yang tepat. Ia tahu, ia tak
punya pegangan untuk menang.
Malam itu ketika nginap di hutan dekat perbatasan desa
Wajak. Wisang Geni temukan pengalaman aneh. Setelah
bercinta dengan dua isterinya sepanjang malam, Geni
terbangun saat ambang fajar. Ia merasa ada orang yang
mengusik tidurnya. Ia menengok kedua isterinya, mereka tidur
lelap.
Ia seperti mimpi mendengar suara kidung Penakluk Raja
sayup-sayup mengelus pendengarannya. Suara itu seperti
bisikan lembut dan merdu yang mengiang di telinganya. Ia
menengok keliling, tapi tak melihat ada orang. Merasa
penasaran ia membangunkan Wulan dan Sekar. "Kau
mendengar orang menyanyikan kidung Penakluk Raja?"
Sekar mengerutkan kening, mencoba mendengar dengan
penuh perhatian, lalu menggeleng kepala. Wulan tak
mendengarnya. Wisang Geni memukul kepala, ternyata ia
tidak bermimpi, suara kidung itu masih saja terdengar di
telinga berulang-ulang. Mulanya ia mengira itu perbuatan si
Kidung Maut. Tapi ia teringat Kidung Maut tak pernah
menyanyikan syair kepala kidung. Sedangkan kidung yang
mengiang di telinganya justru lengkap. Suara itu juga bukan
suara si Kidung Maut, yang didengarnya kali ini lembut, sejuk
dan nikmat.

Sekar dan Wulan melanjutkan tidurnya. Wisang Geni tetap
terjaga. Ia masih mendengar kidung. Sekonyong-konyong
kidung berhenti dan lenyap begitu saja. Kemudian suara itu
datang lagi. Tapi tidak berkidung. Suara yang sama kini
bersyair.
Tidak sedih, tidak gembira,
tidak berani, tidak kuasa,
tidak birahi, tidak cinta,
tidak selamat, tidak mati.
Delapan jalan, satu tujuan.
Tidak sedih atau sedih sama saja!
Ada atau tidak ada, sama sajal
Delapan jalan menuju satu tujuan,
delapan dan satu, sama saja!
Geni tidak bingung lagi. Ia tahu ada orang sakti yang mainmain
dengannya. Itu ilmu mengirim suara paling dahsyat yang
cuma ada dalam dongeng. Orangnya tak terlihat tapi suaranya
ada. Tak ada suara, namun ia bisa menangkap kata demi kata
yang diucapkan orang itu. Ucapan itu berulang sampai dua
kali.
Wisang Geni berbicara sendiri. "Ini petunjuk, tapi petunjuk
tentang apa. Orang sakti, tolong jawab pertanyaanku."
Suaraku terdengar lagi. "Pertanyaan atau jawaban, sama
saja! Bisa bertanya, harus bisa menjawab! Selamat tinggal,
cucuku!"
Wisang Geni hampir pingsan. Benar-benar dia orang sakti
yang memberi petunjuk. Tapi petunjuk tentang apa, ilmu silat?
Kalau ilmu silat, ilmu apa? Tiba-tiba Geni melompat saking
terkejutnya. Apakah mungkin itu petunjuk tentang Jurus
Penakluk Raja? Kemungkinan besar, iya, sebab bukankah

semua tadi diawali dengan kidung Penakluk Raja? Orang itu
pasti Eyang Sepuh Suryajagad, tidak bisa tidak!
Berpikir demikian Geni berlari sambil berseru memanggil,
"Eyang! Eyang, jangan pergi!"
Suara Geni membangunkan seluruh penghuni hutan,
bergema di mana-mana. Wulan dan Sekar melompat dari tidur
saking terkejutnya. Wulan mengejar menangkap Geni,
"Kenapa? Ada apa, Geni?"
Tiba-tiba Wisang Geni menelungkup di tanah. Ia menangis
sambil memukul tanah. "Bodoh! Tolol! Aku pantas mampus!
Kenapa tidak dan awal aku tahu bahwa dia adalah Eyang
Sepuh Suryajagad!"
Wulan dan Sekar bingung melihat tingkah laku Geni.
Apakah benar Eyang Sepuh tadi hadir di sini? Wulan melihat
berkeliling. Tak ada siapa pun. Hutan itu sepi, tak ada seorang
manusia pun Hanya kicau burung dan kokok ayam di ambang
fajar.
Wisang Geni duduk semedi, memusatkan pikiran, mencari
tahu apa sebenarnya kejadian yang ia alami tadi? Wulan dan
Sekar lak bisa berbuat apa-apa, duduk bersandar di pohon
mengawasi sang suami. Sekar bergumam dalam hati, ia
bertanya-tanya, apa mungkin Geni kena samber dedemit,
semacam kerasukan setan.
Dua hari Geni berusaha memecahkan petunjuk Eyang
Sepuh.
Tidak sedih, tidak gembira,
tidak berani, tidak kuasa,
tidak birahi, tidak cinta,
tidak selamat, tidak mati.
Delapan jalan, satu tujuan.

Tidak sedih atau sedih sama saja!
ada atau tidak ada, sama saja!
Delapan jalan menuju satu tujuan,
delapan dan satu, sama saja!
Apa maksudnya, 'Delapan jalan menuju satu tujuan,
delapan dan satu sama saja!" Bahkan ketika tiba di desa
Tajinan, Geni tetap belum temukan pegangan untuk
menghadapi dua pendekar Jambudwipa itu. Siang itu Geni
bertiga tiba di warung makan di mana pertama kali ia jumpa
Sekar. Tampak banyak orang menanti di sana. Ia gembira
melihat Manjangan Puguh. Di samping gurunya, ia melihat Mei
Hwa dan empat pengawalnya. Di situ juga hadir beberapa
murid Mahameru, juga murid perguruan lain.
Tak lama kemudian dua pendekar Jambudwipa itu tiba.
Malini mengenakan celana hitam dan sutra merah yang
berlapis-lapis dililitkan di tubuhnya. Kumara mengenakan
celana dan baju hitam. Malini berseru, "Rupanya sudah
banyak orang di sini. Wisang Geni, apakah mereka datang
untuk menonton atau membantumu?"
"Jangan sombong, kita akan bertempur satu lawan satu
tanpa ada yang ikut campur. Atau mungkin kau mau maju
berdua?"
"Tak perlu berdua, aku sendiri saja sudah bisa
membunuhmu. Geni. Karenanya masih ada kesempatan kamu
mundur jika kamu beritahu di mana persembunyian kakek
gurumu yang pengecut itu. Terus terang kau bukan lawanku."
"Kau mimpi di siang bolong, sudah kukatakan hutang
piutang Eyang Sepuh dengan kalian, sudah kuambil alih!"
Pertarungan tak terhindarkan lagi. Geni dan Malini saling
gempur. Tanpa ayal, Geni menggelar semua ilmu andalannya.
Bergantian ia menyerang dengan mengerahkan tenaga

Wiwaha-nya. Malini tak mau kalah, ia mainkan jurus-jurus
aneh.
Malini berkata sinis, "Cuma begini saja ilmu Lemah Tulis,
tak ada yang hebat. Kau bukan tandinganku, Geni. Aku heran,
kenapa kau mau membuang jiwa untuk orang tua pengecut
itu?"
Tigapuluh jurus berlalu. Geni tahu lawan mulai memainkan
ilmu Tenaga Bumi. Semua pukulan Geni seperti nyemplung di
sumur, tak berbekas. Melihat itu Geni berlaku cerdik
memancing lawan untuk menyerang. "Ia pasti menyerang
hebat kalau tahu aku tak menggunakan tenaga".
Benar perhitungannya. Malini memukul dengan tenaga
bagai air bah. Tanpa ragu Geni menyambut dengan jurus
Kacakrawartyan yakni "Penguasaan dunia" dari Garudamukha
Prasidha.
Kembali Geni kalah tenaga. Ia terlempar dua tombak.
Begitu kakinya mendarat Geni merasa dadanya sesak, darah
merembes di ujung mulurnya. Malini tersenyum dingin.
"Sudah kubilang kamu tidak akan bisa melawanku, bagaimana
rasanya jurusku tadi namanya Mandi Bersih di Sungai
Gangga!"
Namun diam-diam dia mengakui kehebatan tenaga dalam
Geni. Kena hantaman sehebat itu ia masih bisa berdiri tegar.
Tangannya menyapu bekas darah di mulurnya. "Belum, aku
belum kalah!"
Malini bangkit marahnya. Ia menyerbu ganas. Geni melesat
dengan Antarlina. Pertarungan jadi menarik, Malini menyerang
dan Geni mengelak dengan berlari. Geni berhasil menemukan
cara mengatasi Tenaga Bumi lawan. "Harus kupancing dia
tarung di udara. Jika tidak memijak bumi, aku rasa Tenaga
Bumi itu tidak bisa ia gunakan."
Berlarian dengan Waringin Sungsang Geni punya dua
maksud. Memancing Malini bertarung di udara dan mencuri

waktu memulihkan tenaganya. Karena betapa pun hebat
tenaga Wiwaha, kena hajaran sehebat itu tetap membutuhkan
waktu untuk memulihkan luka dalam itu.
Suatu ketika Geni menggunakan jurus Sumujugtundaghata
dari Prasidha menyambut hantaman keras Malini. Rencana
Geni berjalan mulus, bentrokan tenaga terjadi di udara.
Keduanya dalam keadaan melayang, tidak memijak bumi Tapi
bukannya berhasil, Geni justru merasakan tenaga dinginnya
membalik menghantam dirinya. Cepat ia mengerahkan tenaga
panas untuk bertahan.
Pertarungan berlanjut, Geni semakin kewalahan, ternyata di
udara pun ilmu Prasidha tak bisa melumpuhkan perlawanan
Malini.
Limapuluh jurus berlalu. Malini tertawa, ia berbisik dengan
memendam suara sehingga hanya Geni yang mendengarnya.
'Pulang dari Mahameru, temanku Kumara cemburu, ia
kemudian melamar aku menjadi isterinya. Geni, aku
menyukaimu, aku akan menolak lamaran itu, jika kamu mau
menjadikan aku isterimu Dan semua urusan ini akan
kulupakan. Bagaimanapun kamu tak bisa mengalah kau aku,
percuma kau memancing pertarungan sambil melayang di
udara. Tak ada gunanya. Di udara atau pun di bumi sama
saja, jurusku sama hebatnya. Kamu tetap akan mati."
Kata-kata Malini "di udara atau pun di bumi, sama saja"
dan pernyataan cintanya itu mengingatkan Geni akan petunjuk
dari Eyang Sepuh. "Katanya ia cinta padaku, mungkinkah itu?
Benar atau tidak benar, cinta dan tidak cinta, sama saja. Di
udara dan di bumi, sama saja. Tidak sedih, tidak gembira,
tidak berani, tidak kuasa, tidak birahi, tidak cinta, tidak
selamat, tidak mati. Delapan jalan satu tujuan. Tidak sedih
atau sedih, sama saja! Ada atau tiada, sama saja! Delapan
jalan menuju satu tujuan, delapan dan satu, sama saja!"
Geni bicara sendiri namun bisa didengar Malini. "Cinta atau
tidak cinta, sama saja. Ya, tarung di udara atau pun di bumi,

sama saja, aku tetap kalah. Menang atau kalah, sama saja.
Dua sifat yang berlawanan namun tetap sama. Kenapa?
Dipukul atau memukul, sama saja. Kenapa? Delapan dan satu,
sama saja. Delapan jalan menuju satu tujuan, apa itu? Kenapa
menyebut delapan, bukannya sembilan atau sepuluh. Tetapi
delapan dengan sepuluh, sama saja. Kalau delapan sama
dengan satu, empat juga sama dengan delapan, sama juga
dengan satu."
Malini kesal mendengar jawaban Geni. "Jadi kamu menolak
cinta dan uluran tangan berteman denganku, kamu kurang
ajar Geni, kuhajar kamu, biar tahu rasa!" Ia menyerang
gencar.
Geni berpikir. Dia berpikir terus sementara tubuhnya tak
henti bergerak menghindar dan menangkis gempuran Malini
yang makin gencar dan ganas. Dua pukulan Malini
menghantam tubuh Geni. Ia terhempas ke kanan dan ke kiri,
dua kali ia muntah darah.
Manjangan Puguh mencekal tangan Mei Hwa erat,
meremas keras. Berulang kali ia hendak bangkit menolong
Geni, Mei Hwa menahannya. "Muridmu itu sedang berlatih
dalam bertarung. Ia tak apa-apa."
Sekar marah mendengar komentar Mei Hwa. "Kau bicara
apa, dia muntah darah, masih kamu bilang dia tak apa-apa?"
"Sekar dan Wulan, tenanglah. Biasanya orang yang sudah
muntah darah itu sudah tak mampu lagi bertarung. Kalau
Geni, ia muntah darah tetapi masih saja bisa adu tenaga Itu
kan aneh?"
Memang aneh, Geni merasa terombang-ambing di tengah
lautan luas. Tak ada daya menentang ganasnya ombak.
Kenapa dua hal yang berlawanan dikatakan sama saja
Delapan dan satu sama saja.
Satu dan empat, .sama saja. Apa maksudnya?

Geni merasa makin dekat dengan tujuan. Apa tujuannya, ia
tak tahu. Ia tak ambil pusing dibulan-bulani pukulan dahsyat
Malini. Dipukul atau tidak dipukul, memukul atau dipukul,
sama saja. Mati sekarang, hari ini dengan mati besok atau
mati lima tahun lagi, sama saja. Tidak ada bedanya. Sama
saja, yaitu mati! Tetapi waktunya bisa beda, hari ini, besok,
dua hari, satu tahun, lima tahun. Sama saja, mati adalah satu.
Waktu bisa banyak, lima atau delapan. Delapan sama dengan
satu, satu sama dengan lima. Lantas tiba-tiba ia berteriak,
"Memang sama, intinya kan mati?
Bagaimana dengan sedih dan tidak sedih, sama saja.
Memang sama, karena intinya adalah rasa atau sringara.
Gembira dan tidak gembira, sama saja, itu juga rasa. Kalau
ada rasa, tentu lanjutannya harus ada aksi atau bhava. Hidup
dan mati. Hidup bisa merasa dan bisa beraksi. Tetapi mati,
tidak bisa merasa dan tidak bisa beraksi. Inti dari Prasidha
adalah merasakan pukulan lawan, menerima pukulan lawan,
itu yang namanya rasa atau sringara kemudian melontarkan
apa yang dirasakan itu menjadi aksi atau bhava. Makin cepat
dan makin bertenaga pukulan lawan itu maka bhava yang
dilontarkan juga sama cepat dan sama besarnya.
Geni merasa gembira luar biasa. Melompat seperti anak
kecil mendapat mainan. Teka teki itu sudah terjawab. Misteri
bagaimana cara memainkan Prasidha telah terungkap. Saat itu
pukulan Malini kembali menggoncang tubuhnya. Kalau tadinya
menerima pukulan Geni merasa darahnya meluap, ingin
muntah. Sekarang, tidak lagi, pukulan itu seperti pukulan
biasa yang tidak bertenaga. Geni menerima pukulan itu
dengan menggerak rasa tidak sakit, kemudian aksi membuang
tenaga lawan. Geni memainkan tiga jurus gabungan
Mangapeksa (Menanti), Kumawashaken (Menguasai) dan
Sikepdehak (Tangkap dorong). Ada rasa gembira dalam diri
Geni, menguak misteri sringara dan bhava, tetapi ia juga kesal
dan marah. "Kau sudah memukul aku berulang kali, kini
rasakan tamparanku, anak nakal!"

"Plakkk!"
Malini terpelanting ke belakang. Ia jatuh berdiri di atas dua
kaki. Ia heran, ia tak melihat gerakan Geni, tahu-tahu saja
pipinya kena tampar. Ilmu siluman! Bagaimana Geni
menamparnya tadi, ia tak tahu. Ia merasa ada cairan kental di
mulurnya, ia meludah. Ia marah luar biasa melihat dua giginya
copot.
Malini marah, menyerang ganas. Geni mengelak dan
menampar bokong Malini. Ia tak cuma menampar namun
meremas bokong perempuan itu. Malini makin marah. Geni
mencengkeram leher, lalu tiba-tiba tangannya ke bawah,
meremas buah dada perempuan itu.
Kontan Malini melompat mundur. Ia tak habis pikir
bagaimana mungkin Geni bisa meremas bokongnya, meremas
buah dadanya tanpa ia sanggup menangkis. "Kurangajar, ia
telah menghina aku habis-habisan, tetapi ilmu apa itu?
Bagaimana jika ia menurunkan tangan jahat. Aku bisa mati
atau paling tidak terluka parah!" gumamnya dalam hati.
Pada saat itu, Kumara sudah masuk ke medan tarung,
berdiri di sisi Malini. Ia bercakap-cakap dengan Malini dalam
bahasa India. Tampak Malini sekali-sekali manggut kemudian
menggeleng kepala. Sedang Kumara kelihatan berang,
wajahnya yang agak hitam semakin seram karena marah dan
malu.
Tanpa basa-basi, Kumara menyerang. Pukulan berantai
disertai tenaga dalam dahsyat sepertinya akan melumat habis
tubuh Geni. Menggunakan Waringin Sungsang Geni
meloloskan diri Namun tak hanya mengelak, Geni kini
membalas dengan dua jurus Bang Bang Alum Alum yakni
Nanawidha (Beraneka warna) dan Nyakra Manggilingan
(Selalu berputar-putar), pukulannya cepat, ringkas dan
bertenaga Kumara terpental mundur sambil memegang
pundaknya Ia menyerang sekali lagi, kini Geni membalas
kontan dengan jurus lain dari Bang Bang Alum Alum yaitu

Bahni Aempuh Toya (Api menyerang air) dengan tenaga
panas. Kumara kena gampar di pungungnya Punggungnya
merah kehitaman, bajunya koyak seperti hangus.
Melihat rekannya kesakitan, Malini maju mendampingi
Kumara Keduanya berbincang lirih. Lalu Malini berseru,
"Wisang Geni kamu menggunakan ilmu siluman, karena itu
kami akan maju berdua, apakah kamu takut? Jika takut kamu
cepat mundur menyerah dan mengaku di mana Ki Suryajagad
bersembunyi"
Sekar berteriak dari pinggiran, "Hei, wanita goblok, tak
punya malu, sudah keok masih tak tahu malu, sekarang mau
main curang dua mengeroyok satu"
"Kamu mau bela kekasihmu, maju saja sekalian biar
kucabik-cabik wajahmu yang burik." Malini seperti kelepasan
omong. Ia heran tanpa sadar ia berseru, "Hei kamu sudah
tidak burik lagi, waktu di Mahameru aku tidak begitu
perhatikan. Kamu cantik, pantas saja Wisang Geni tergila-gila
padamu!"
Geni tertawa "Kamu ini tak tahu diri, kenapa masih mau
tarung lawan kakek guruku, menghadapi aku cucu muridnya
saja, kalian tak ungkulan apalagi melawan Eyang Suryajagad.
Kalian mau maju berdua, ya mau saja, dari dulu aku sudah
tahu persis kalian ini tak punya malu."
Tidak menanti lebih lama lagi, dua pendekar India itu
langsung menyerbu mengeroyok Wisang Geni. Hebat! Duadua,
Malini dan Kumara, menyerang dengan jurus mematikan.
Semua di situ terperanjat tapi tak kuasa menolong Geni.
Apalagi tahu, dua pendekar asing itu memiliki ilmu silat yang
tak terukur tingginya.
Sekar membanting kakinya, "Tadi kan mas Geni sudah
menang, kenapa mau meladeni keroyokan mereka, wah bisa
runyam ini, mbak Wulan bagaimana ini?"

Wulan yang sedang melotot nonton tarung hebat itu,
menggeleng kepala, "Aku tak tahu, Sekar."
Pertarungan jadi lain. Tadi seorang diri Malini menghajar
Wisang Geni sampai babak belur. Kemudian setelah
memperoleh pencerahan dan menemukan inti Prasidha Geni
menghajar balik Malini. Kini berdua, Kumara dan Malini
bahkan tampak terdesak. Geni memainkan Garudamukha dan
Bang Bang Alum Alum dengan leluasa. Duapuluh jurus berlalu,
dua pendekar asing itu terdesak, bernapas pun sulit! Dalam
keadaan bingung dan frustasi, Kumara dan Malini berlaku
nekad Adu jiwa!
Mereka menggelar jurus yang paling diandalkan perguruan
mereka Atehai Zaminpar Kabhiyeh Chand Sitare (Kadang
bulan dan bintang pun turun ke bumi), jurus yang bisa
digunakan dua atau tiga orang secara bersatupadu. Dua
pasang tangan saling bantu, mencakar dan memukul dengan
seluruh kekuatan yang ada.
Geni melihat datangnya serangan, bukannya mengelak
malah maju menerjang. Dua tangan melakukan gerak
memutar kemudian mendorong. Ia menggabung dua jurus
Garudamukha Prasidha yaitu Agniwisa (Bisa api, pijar) dan
Sanakanilamatra (Sebesar angin yang terkecil). Itu jurus
sederhana, tetapi sulit dimainkan secara gabung karena
mengandung unsur berlawanan yakni gerak putar dan gerak
dorong dengan tenaga yang dikeluarkan luar biasa besarnya.
Tetapi Geni memainkan dua jurus gabungan itu dalam satu
gerak yang mulus dan bertenaga. Satu lagi bukti kehebatan
Wiwaha, hasilnya luar biasa! Terjadi bentrok tenaga, dua
tangan Geni mampu menahan empat tangan lawannya. Tetapi
pada saat-saat terakhir Geni mengurangi tenaganya. Dan
inilah yang menyelamatkan nyawa dua pendekar India itu
sehingga tidak tewas atau terluka parah.
Kumara dan Malini terpental mundur. Dari mulut Kumara
merembes darah. Malini merasa dadanya sesak. Dua pendekar

asing itu jatuh terduduk, luka dalam! Keduanya heran!
Tadinya terdesak hebat bahkan nyaris mati, mendadak Geni
bisa menjadi begitu perkasa. "Ilmu apa ini? Apakah ilmu ini
yang digunakan Ki Suryajagad ketika mengalahkan paman
guru Lahagawe?" gumam Kumara dalam bahasa India. Malini
mendengar keluhan kekasihnya itu, tetapi tak mau menjawab.
Geni tertawa. "Kau memukul aku begitu banyak, tapi aku
cuma membalas sedikit. Kau untung banyak. Tapi sama saja,
untung atau rugi, sama saja. Kalian pulanglah ke negerimu,
tanah Jawa ini terlalu angker buat kalian orang-orang asing."
Sekonyong-konyong pusaran angin mendatangi arena
tarung, tetapi sebelum memasuki arena tarung, pusaran angin
itu menjauh sambil membawa serta debu, ranting dan
dedaunan. Terdengar suara lembut dan mesra, "Kalian
pulanglah, sampaikan salam dan maafku pada Lahagawe,
katakan salam hormat dari pemilik Jurus Penakluk Raja." Saat
berikut terdengar kidung Penakluk Raja ditembang, suaranya
lembut, dingin namun ada ketegasan seorang penguasa.
Ilmu dari seberang
Tak boleh tepuk dada
Di Tanah Jawa ini
Dari gunung Lejar
Jurus penakluk Raja
Ilmu dari segala ilmu
Melenggang ke Barat
Meluruk ke Timur
Merangsak ke Utara
Merantau ke Selatan
Tak ada lawan Tak ada Tandingan

Ilmu dari segala ilmu
Wisang Geni melihat di kejauhan bayangan putih
melenggang santai. Hanya sekejap kemudian suara kidung
dan bayangan itu lenyap dari pandangan. Ia menatap
bayangan itu dengan mata mendelong. Geni berkata perlahan.
"Kenapa Eyang tak memberi kesempatan aku sungkem?"
Dia melangkah berat, seperti kehilangan sesuatu. Dia
menengadah langit, menggumam "Kenapa, eyang pergi begitu
saja? Kenapa tidak mau kutemui? Tapi kenapa aku bertanya,
orang bertanya harus tahu jawabannya!"
Kumara dan Malini menyaksikan sepak terjang kakek
berjubah putih itu, merasakan angin Lesus bawaan si kakek
serta kidung yang dinyanyikan dengan tenaga dahsyat serta
mengandung wibawa kekuasaan. Dalam hati mereka
mengakui takkan mungkin bisa menandingi ilmu silat tokoh
sakti itu. Keduanya duduk bersila di tanah, mengerahkan
tenaga mengobati luka dalamnya. Sia-sia. Tenaga mereka
belum bisa digunakan. Perlu waktu satu bulan untuk
memulihkan tenaga
Geni menghampiri dua musuhnya itu. "Aku tahu rahasiamu
Kalian adalah si Kidung Maut itu. Kalian membunuh banyak
orang. Sekarang kalian luka dan mungkin satu bulan lagi baru
bisa sembuh. Kalau aku buka rahasiamu sekarang ini, banyak
orang akan mengejar kalian, membalas dendam kematian
keluarganya, kalian akan dikejar ratusan orang."
Kumara dan Malini memandang ketakutan. Butir keringat
dingin muncul di wajahnya Selama ini dengan ilmu yang
begitu tinggi, mereka tidak pernah membayangkan akan
dikalahkan seseorang apalagi sampai terluka, mereka tak
sekali pun ketakutan. Tapi kini di saat luka parah dan
membayangkan diri dikeroyok orang banyak, mereka bergidik
ketakutan. Keduanya menatap Geni seperti meminta belas
kasihan.

Wisang Geni tertawa "Kamu tak pernah menyangka,
beberapa bulan lalu, kalian memaksa aku menelan racun,
sekarang justru nyawa kalian berada di tanganku Sekali balik
tangan, kamu mati Semua tergantung kalian, masih mau
menyimpan dendam, masih mau berhitung dendam dengan
Lemah Tulis? Cerita dendam ini tak akan pernah habis. Tapi
buat apa? Dendam atau tidak dendam sama saja Pergilah,
pulanglah ke negerimu, senangkan hatimu di sana. Jangan
memikirkan dendam."
Dua pendekar asing itu melenggang pergi dengan sejuta
kesal dan kagum. Kesal tak mampu mengalahkan Geni Kagum
akan ilmu silat Geni yang begitu dahsyat.
Semua yang hadir di situ, sekali lagi melihat kehebatan
Wisang Geni. Seperti di Mahameru ia selalu mengawali dari
posisi kalah dan terdesak untuk kemudian merebut
kemenangan dengan begitu fantastis. Tetapi hanya
Manjangan Puguh dan Walang Wulan saja yang tahu bahwa
Wisang Geni menang lantaran menemukan keajaiban,
memecahkan rahasia jurus silat di tengah pertarungan
merupakan hal yang mustahil dan yang hanya bisa dilakukan
orang yang cerdas dan beruntung.
Wulan tak mengerti ilmu apa yang diperoleh kekasihnya.
Sebulan yang lalu di Mahameru, Geni menang karena secara
ajaib berhasil memecahkan rahasia ilmu Prasidha. Tadi itu,
ilmu apalagi yang di peroleh kekasihnya itu. Wulan yakin
keajaiban itu ada hubungannya dengan keanehan yang terjadi
beberapa malam lalu di hutan dekat desa Wajak. Ketika
seperti orang kesurupan. Geni berteriak-teriak memanggil
Eyang Sepuh Suryajagad.
Wulan dan Sekar menghampiri kekasihnya. Mereka
terkejut, seperti disambar halilintar. Mata membelalak
menatap rambut di kepala Geni. Rambut yang tadinya
berwarna hitam legam, kini hampir semua dipenuhi uban.
Rambut yang tadinya agak keriting, sekarang menjadi lurus.

Dan wajah kekasihnya itu seperti menunjukkan keletihan dari
perjalanan jauh. Geni tampak lebih tua dan lebih dewasa
namun di balik itu tersimpan wibawa dan ketegasan.
Geni memang seperti orang yang letih fisik dan mental.
Rambutnya yang penuh uban menunjukkan perjalanan fisik
yang jauh. Ia tampak lebih tua beberapa tahun. Kelakuan dan
tabiatnya pun ikut berubah. Ketika Sekar menunjukkan
perubahan rambutnya yang uban, Geni cuma tertawa. "Hitam,
putih, abu-abu sama saja, tak perlu dipusingkan."
Banyak orang yang pernah atau belum pernah ia kenal
datang mengucapkan selamat dan memuji kehebatannya.
Tetapi Wisang Geni menyambut tawar, seperti tak mengalami
sesuatu yang hebat. Wulan dan Sekar, dua perempuan yang
sangat mengenal Geni, mulai menangkap perubahan sikap
pembawaan kekasihnya.
Hari itu setelah makan dan istirahat, Geni bertiga Sekar dan
Wulan pamitan kepada semua orang. Manjangan Puguh
memeluk murid dan putra sahabatnya itu. "Ilmu silatmu
sekarang sudah maju pesat, kamu sudah menjadi pendekar
kelas utama, hati-hati dan waspada, jangan terbuai sanjungan
dan nafsu kekuasaan. Geni jika kamu butuh sesuatu, kamu
cari aku di bukit Penanggungan, sementara aku menetap di
sana." Manjangan Puguh berkata sambil melirik Mei Hwa yang
berdiri di sampingnya.
Keintiman Manjangan Puguh dengan Mei Hwa tak luput dari
mata Wisang Geni. Ia berbisik, "Guru, apakah kamu dengan
Mei Hwa, sudah berkawan akrab ?"
Mei Hwa tersenyum agak malu-malu. "Kami sudah kawin,
beberapa hari lalu."
Karuan saja Geni, Wulan dan Sekar memberi hormat dan
ucapan selamat. Wulan bahkan memeluk Mei Hwa. "Syukur,
akhirnya kamu bisa mencairkan hati pamanku itu."

Mei Hwa menarik Wulan menjauh. "Dia sudah cerita
semuanya padaku, tentang perasaan cintanya pada ibunya
Geni, pendekar Sukesih. Sejak itu ia berkelana dan bercinta
dengan banyak perempuan cantik, tetapi tak ada yang hebat
secantik Sukesih. Katanya, ia telah menemukan Sukesih dalam
diriku. Kini ia sudah bisa menerima kejadian itu sebagai masa
lalu yang bisa ia lupakan dan tinggalkan, sekarang ia memiliki
aku, dan ia merasa bahagia karena aku mencintainya,
sesungguhnya ia lelaki yang romantis meskipun agak kaku dan
tegas."
"Tetapi bagaimana dengan kedudukanmu sebagai utusan
para pendekar Cina dalam tarung mendatang?"
"Aku kan hanya sebagai utusan, sebagai juru bahasa, jadi
tidak ada pengaruh apa-apa"
"Setelah pertarungan, apa kamu pulang ke negerimu?"
"Aku sudah memutuskan tetap tinggal di negeri ini sejak
aku menjadi isteri pamanmu. Di negeri Cina ada pepatah yang
khusus bagi kaum wanita, jika kamu kawin dengan penjahat,
maka kamu juga menjadi penjahat. Itu ungkapan yang
artinya, perempuan Cina itu akan setia mengikuti ke mana
suaminya pergi." Mei Hwa menoleh ke arah Sekar yang
mendampingi Geni. "Wulan, apakah Sekar sudah jadi isteri
Geni?"
Wulan tersenyum Ia berbisik ke telinga Mei Hwa "Untung
ada Sekar, jadi kami berdua bisa bergantian melayani Geni."
Mei Hwa memandang Wulan, kemudian tertawa geli. Ia
sepertinya mengerti apa maksud ucapan Wulan. Dua
perempuan itu semakin akrab satu sama lain. Keduanya
berpelukan ketika harus berpisah.
Dalam perjalanan pulang ke Lemah Tulis, Wulan dan Sekar
makin bingung melihat suaminya. Mereka semakin banyak
menemukan perubahan dalam diri kekasihnya Wisang Geni
kini lebih peka terhadap lingkungan. Dalam sekejap mata, ia

bisa berubah sedih, gembira, marah ataupun berdiam diri.
Dalam waktu sehari-hari ia kini banyak berdiam diri,
menyendiri dan berpikir. Sekar dan Wulan merasa harus
menanyakan kepada Geni.
Wulan memberanikan diri menanyakan kepada Geni kenapa
ia lebih suka menyendiri dan berdiam diri. "Tak ada apa-apa,
aku biasa-biasa saja. Aku hanya perlu waktu untuk berpikir,
ada sesuatu dalam diriku yang menuntut, aku sendiri tak tahu
apa itu?"
Beberapa hari kemudian mereka sampai di Lemah Tulis.
Semua murid menyambut dengan suka cita. Rupanya kabar
kemenangan Geni lebih cepat datang. Wisang Geni kembali
sibuk sebagai seorang ketua.
Kepada Padeksa dan Gajah Watu, Geni hanya bercerita
singkat tentang pertarungannya. Dua sepuh perguruan itu
heran. Keduanya melihat perubahan Geni yang bingung,
seperti seseorang yang sedang dilanda persoalan yang

membutuhkan pemikiran keras.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;