Sabtu, 17 Mei 2014

Wisanggeni 17

Wulan memotong, "Geni, jangan bicara terus. Kau perlu
merawat lukamu!"
Saat itu matahari senja tenggelam Semua orang sudah
bubar turun gunung. Pendeta Macukunda dan para pendekar
lain, memberi selamat dan terimakasih kepada Geni yang telah
menyelamatkan gengsi tanah Jawa "Ki Wisang Geni, kamu
sekarang sudah pantas disebut Pendekar Tanah Jawa.
Memang masih banyak pendekar lain yang barangkali berilmu
lebih tinggi dari kamu, tetapi gebrakanmu tadi telah
menyelamatkan kita semua, aku beri kamu gelar Pendekar
Tanah Jawa, dan siapa orang yang tak setuju usulku ini boleh
berhadapan dengan Mahameru!"
Geni membalas hormat para pendekar. "Jangan paman
pendeta memberi aku gelar itu, aku belurn pantas
menerimanya!"
Semua pendekar menyatakan setuju. Pendekar Merapi
Sagotra, Nyi Pancasona, Grajagan, Manjangan Puguh, Gajah
Watu, Dewi Obat, Sang Pamegat menyambut baik gelar yang
memang pantas diberikan kepada Geni mengingat jasanya
yang besar. Kemudian satu per satu mereka bubar turun
gunung.
Wisang Geni dipapah dua isterinya. Ia memegang tangan
Wulan dan Sekar. "Kalian berdua takut aku mati kenapa?"
Mendadak tubuh Wisang Geni menggigil. Luka dalam
membuat ia lemah, karenanya ia tak tahan angin dingin yang
tiba-tiba berhembus dengan kerasnya. Ia memaksa duduk sila,
semedi dengan memejamkan mata. Tetapi tak ada gunanya,
ia tetap menggigil kedinginan. Wulan dan Sekar menggandeng
lengan Geni memasuki desa dekat lereng gunung.
Mereka menemukan sebuah rumah penduduk yang
bersedia disewa. Wulan dan Sekar memeluk untuk
menghangatkan tubuh kekasihnya. Geni berbisik, "Aku
memang luka dalam, tetapi aku masih kuat memberi kalian

berdua kepuasan seperti biasa." Tiga insan itu tertawa geli.
Saat berikut Geni tak lagi merasa dingin.
Esok paginya seharian, Wisang Geni semedi mengatur
kembali tenaga Wiwaha yang sudah semrawut berkeliaran tak
teratur di seluruh tubuhnya. Ia tahu, kalau saja tak pernah
berlatih Wiwaha nama Wisang Geni saat ini sudah terkubur.
"Terimakasih guru Lalawa. Kamu sudah lama mati, tapi kamu
telah memberi kehidupan pada muridmu yang paling
beruntung ini!"
Tujuh hari mereka tinggal di desa. Malam hari mereka
bercinta, siang hari Geni semedi menyembuhkan luka
dalamnya. Di hari pertama Geni mengajari dua kekasihnya
mencari rumput dan akar pohon untuk ramuan. Mendadak
saja di hari kedelapan muncul Lembu Agra di depan rumah. Ia
didampingi empat orang anak buahnya dari perguruan
Turangga.
Lembu Agra tertawa keras, "Ha, ha, ha, mau lari ke mana
kamu Wisang Geni, kamu tak pernah menyangka aku bisa
menemukan kamu di sini. Kamu hebat bisa mengalahkan
orang-orang Cina itu, tetapi kamu sekarang luka parah, kamu
tak berdaya."
Geni tak pernah menyangka bakal ada kejadian seperti ini.
Dia menyesal meminta Manjangan Puguh dan teman-teman
lain pergi.
Pikirnya wakiu itu dia ingin menyendiri bertiga isterinya.
Sekarang Jia lak berdaya, jangankan Lembu Agra,
menghadapi penjahat kelas teri pun sekarang ini ia tak
sanggup. "Kau memang tak punya malu!"
Wulan dan Sekar pasang kuda-kuda di samping suaminya.
Wulan memaki, "Kamu mau apa ke sini?"
"Sudah tentu membunuh Wisang Geni. Tetapi sebelum itu
aku ingin melihat penderitaannya. Aku akan memperkosa

kamu berdua di depan matanya. Nah, bagaimana
pendapatmu?"
"Kamu memang bejat, pengkhianat busuk, aku akan adu
jiwa denganmu!" Wulan hendak menyerang, tetapi tangan
Sekar memegang erat lengannya. "Tahan dulu, mbak. Dia
sengaja memancing amarah kita."
Seorang nenek tua, tubuhnya agak bungkuk, rambut putih
seluruhnya, dengan tongkat sapu lidi di tangan, mendekat.
"Jangan, jangan berkelahi di sini, rumah ini nanti roboh!"
Tetapi mana mau Lembu Agra menuruti omongan si nenek.
Ia membentak si nenek, "Diam kamu tua bangkotan, cepat
kamu minggir!"
Nenek tua itu ketakutan dan melangkah terseok-seok
keluar ke pekarangan.
Lembu Agra berkata kepada anak buahnya, "Jangan bunuh
Wisang Geni, biarkan dia hidup beberapa saat lagi sampai aku
selesai bercinta dengan dua isterinya yang montok"
Empat murid Turangga menyerang Sekar dan Wulan.
Sedang Lembu Agra menyerang Wisang Geni. Saking
terkejutnya Sekar dan Wulan berseru, "Bangsat pengecut!"
Tetapi dua perempuan ini tak mampu melepaskan diri dari
keroyokan empat lawannya yang juga memiliki ilmu silat kelas
atas. Wulan mengandalkan Garudamukha Prasidha menyerang
gencar dengan jurus Agniwisa (Bisa api) dan
Silmujugtundaghata (Menukik ke bawah) berhasil
menghantam salah seorang lawan. Ia membuka jalan menuju
Geni, tetapi tiga lawan lainnya menghalangi dengan serangan
serentak. Apalagi saat itu Sekar sedang dalam bahaya,
membuat Wulan terpaksa menolongnya.
Pada saat berbarengan, hanya dengan satu gebrakan
Lembu Agra berhasil menghajar Wisang Geni yang tenaga
dalamnya belum pulih. Geni terjengkang dengan muntah
darah. Dadanya sakit. Dua isterinya, menggeram marah, ingin

membantu suarninya, namun tiga lawannya tidak memberi
kesempatan.
Setelah menaklukkan Wisang Geni dengan tawa puas
Lembu Agra menghampiri pertarungan. Tiba-tiba ia
menerobos masuk dan menyerang Sekar, sementara tiga anak
buahnya tetap mengeroyok Wulan. "Jangan kalian lukai dia,"
seru Agra.
Beberapa jurus berlangsung, Lembu Agra berhasil menotok
titik lemah Sekar yang langsung jatuh terduduk. Setelah itu ia
menyerang Wulan dengan jurus dari Pitu Sopakara. Dikeroyok
banyak orang, Wulan akhirnya tak berdaya ketika pukulan
Agra membuat dia terjungkal. Tubuhnya lemas tak bertenaga
karena urat besarnya ditotok, ia lumpuh untuk sementara.
"Kau bunuh saja kami, jangan melakukan penghinaan ini."
Lembu Agra tertawa sinis. "Aku senang melakukan ini,
pertama aku akan memerkosa Sekar, berikutnya nanti
giliranmu, dan semua ini disaksikan kekasihmu Wisang Geni
yang tak berdaya itu!"
Berkata demikian, Lembu Agra menghampiri Sekar yang
ketakutan. Sekar tak berdaya, membayangkan yang akan dia
alami membuatnya pucat pasi ketakutan. Dia gemetar
ketakutan ketika tangan Lembu Agra meraba pinggul dan
bokongnya, merobek baju di dadanya. Melihat payudarayang
montok, dia mengelusnya. "Kamu sungguh montok, pantas
Geni tergila-gila padamu!"
Sekar menangis, "Jangan lakukan itu, lebih baik kamu
bunuh aku saja!"
Wisang Geni berseru, "Lembu Agra, ini urusan kamu
dengan aku, selesaikan sekarang, bunuh aku, tetapi sebagai
pendekar kamu tak pantas memperlakukan perempuan
dengan caramu yang hina."
"Aku gembira dan menikmati permainan ini, kamu saksikan
kehebatanku." Lembu Agra memegang lengan Sekar yang

terbaring di tanah. Ia berupaya mencium leher dan mulut
Sekar namun gadis ini menggeleng kepalanya menghindar.
Agra memegang kepala Sekar. Geni menutup mata, darahnya
bergolak, tetapi ia tak berdaya. Tenaga Wiwaha masih tak
beraturan, tak bisa dihimpun.
Sekar menangis. Pada saat Lembu Agra hampir mencium
Sekar, tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat. Lembu Agra
terlempar. Ia bereaksi cepat, tubuhnya melenting bangkit.
Namun bayangan itu yang ternyata nenek tua bungkuk sudah
berada di dekatnya. Tanpa bisa dikelit, tangan si nenek
menampar pipi Lembu Agra, enam kali. Pipi itu bengkak,
beberapa giginya rontok.
Semua di ruangan itu terperanjat. Siapa nenek tua yang
memegang tongkat sapu lidi itu? Betapa hebat ilmu silatnya, ia
bisa menampar Lembu Agra berulang kali, tanpa lelaki itu bisa
menangkis atau mengelak. Empat orang begundal Lembu Agra
maju menyerang, tetapi nenek itu memutar tongkat sapu
lidinya, dalam tiga gebrakan cmpat lawan itu tci jengkang.
Baju ili bagian dada robek, kulit dada ikut tersayat, darah
mengucur.
Nenek itu mengambil tabung kecil dari saku kebayanya, ia
bergerak cepat, sangat pesat. Ia menuang beberapa tetes
cairan dari tabung, mengoles ke luka di dada lawan. Empat
lelaki menjerit lengking mengerikan. Luka itu perih dan
bertambah menganga lebar. Mereka melompat-lompat untuk
mengurangi rasa perih.
Lembu Agra mencabut keris panjang, berseru, "Siapa
kamu?"
Nenek tua itu tertawa terkekeh. "Kamu goblok!" Ia
bergerak lebih cepat dari serangan Agra. Tangannya
menampar pipi, telinga lalu menggaruk dada Lembu Agra
dengan tongkat sapu lidi. Setelah itu ia mengolesnya dengan
cairan. Semua dilakukan dengan cepat tanpa Lembu Agra
mampu menghindar atau menyerang balik. Saat berikut

Lembu Agra menjerit kesakitan. Melihat mudahnya ia
menghajar Lembu Agra dan empat anak buahnya, jelas nenek
tua itu memiliki ilmu silat tingkat tinggi yang sulit diukur.
"Kamu laki-laki binatang! Gadis itu cucuku! Beraninya kamu
mau memperkosa dia, seharusnya kubunuh kamu Beruntung
kamu, hari ini aku pantang membunuh. Tetapi luka di dada
kalian tak mungkin akan sembuh, cacat itu tanda-mata atas
kejahatan kalian yang mau memperkosa cucuku. Camkan
bangsat-bangsat busuk, suatu waktu jika kalian berani
mengganggu cucuku ini, ke mana kamu pergi akan kukejar.
Dan tak ada orang yang bisa menolong kalian dari hajaranku!
Sekarang pergi, sebelum aku berubah pikiran." Lembu Agra
dan begundalnya pergi dengan menanggung malu.
Nenek itu menghampiri Sekar. Menepuk pundak dan
punggung, membebaskan Sekar dari totokan. "Terimakasih
nenek, tetapi tadi nenek katakan aku cucumu, kamu salah,
sebenarnya aku sudah punya nenek sendiri, namanya Dewi
Obat, aku tak punya nenek lain."
"Dengar nduk, kamu memang cucuku, waktu berusia
empat tahun, kamu kena penyakit cacar, aku titipkan kamu
pada Kunti? Hebat dia bisa menyembuhkan burik di tubuhmu,
kamu kini cantik luar biasa. Tetapi dia patut kuhajar karena
bersalah membiarkan kamu jalan sendirian padahal ilmu
silatmu masih sangat cetek!"
"Nenekku tak bersalah, aku saja yang malas berlatih. Hai
Nek, kamu tahu persis nama kecil nenekku padahal tidak
banyak orang mengetahui nama itu."
Nenek tua itu menolong Walang Wulan dan Wisang Geni.
"Sekar bocah goblok kamu itu cucuku, Dewi Obat atau si Kunti
itu adik perguruanku. Tetapi dia lebih suka mempelajari
pengobatan. Itu sebab ilmu silatnya rendah, maka ilmu
silatmu juga rendah. Kamu memang cucuku, kamu anak
putraku, orangtuamu mati muda, itu sebab kamu dipelihara si
Kunti. Mana dia si Kunti?"

"Jadi aku harus bagaimana, memanggilmu apa?"
"Bocah goblok, ya panggil aku nenek. Jadi kamu punya dua
nenek sekarang," ia tertawa geli, membuat Sekar ikut ketawa.
"Tetapi kamu harus ikut aku, belajar ilmu silat dari aku. Sini
kamu bocah bodoh!"
Sekar menghampiri neneknya. Wajah neneknya tampak
tua, tetapi tidak banyak keriput, masih tampak bekas
kecantikan masa muda. Rambutnya putih semua, persis
kapas. Tubuhnya bungkuk namun masih tampak segar.
Kulitnya kuning. Mereka saling rangkul. "Kamu harus ikut aku,
akan aku ajari ilmu silat paling dahsyat, supaya tak ada orang
lagi yang berani menghinamu"
"Nek, tidak bisa, aku sudah punya suami, aku harus tinggal
bersama suamiku."
Nenek tua terkejut. Ia menoleh memandang Wisang Geni.
"Diakah suamimu?" Ia bertanya pada Geni. "Kamu murid
siapa?"
"Aku murid Padeksa dari Lemah Tulis."
"Hah? Lemah Tulis? Eh kamu tahu di mana Suryajagad
sembunyi, aku sudah belasan tahun mengejar kakek genit itu.
Lantas perempuan ini siapa?" sambil ia menunjuk Wulan.
Wulan menjawab, "Aku juga isterinya."
Nenek tua itu tertawa. "Kurang ajar memang Suryajagad.
Bukan cuma ilmu silat saja yang ia wariskan pada muridmuridnya,
sampai pada cara memelet perempuan pun
diwariskan. Sekarang ini kamu luka parah, benar?"
Nenek tua itu kemudian membantu Wisang Geni. Ia
menotok, mengurut dan menepuk beberapa titik di punggung,
dada dan perut kemudian menyalurkan tenaga dalam. Geni
merasa suatu tenaga besar menerobos dan merambah ke
seputar tubuhnya. Ia takjub, nenek tua ini memiliki tenaga
dalam sangat tinggi Sepenanakan nasi kemudian si nenek

menyudahi pertolongannya. Wisang Geni merasa segar, ia
berusaha mengerahkan tenaga dalam. Ternyata tenaga
Wiwaha langsung bereaksi. Ia gembira dan cepat
mengucapkan terimakasih.
"Kau tahu di mana kakek gurumu Suryajagad sembunyi?"
Geni menggeleng kepala. "Nenek kenal Eyang Sepuh?"
Nenek itu tersenyum, seperti seorang gadis yang senang
dipuji kekasihnya. "Kami saling kasmaran, bercinta sampai
tahunan. Kami kawin. Ketika putra kami mati, ia putus asa
lantas menghilang bagai ditelan bumi, puluhan tahun ia
lenyap. Aku ditinggalkan begitu saja, kurang ajar dia tapi
meskipun demikian aku tak bisa melupakan dia."
Ia menoleh menatap Geni dengan tajam, ia mengepal
tangannya dan mengacungkan di depan wajah Geni. "Awas
kamu Geni, jangan perlakukan cucuku seperti itu, awas, akan
kuhajar babak belur kamu! Eh apa kamu sungguh-sungguh
mencintai Sekar?"
Geni mengangguk. Nenek tua memegang lengan Sekar.
"Kamu harus ikut nenekmu, aku akan melatihmu jadi
pendekar wanita nomor satu seperti aku, sudah puluhan tahun
aku tak punya tandingan. Hanya suamiku seorang yang
mampu mengalahkanku. Dan ilmu silatku ini harus ada yang
mewarisi sebelum aku mati!"
"Nek, tunggu dulu, biar aku pamit pada suamiku!"
Sekar berlari ke dalam pelukan kekasihnya. Ia tak merasa
sungkan, mencium mulut Geni dengan bernafsu. Tiba-tiba ia
menggigit pundak dekat leher Geni. Keras. Geni terkejut, ingin
berteriak saking sakitnya namun ditahannya. Sekar menjilati
darah di bibirnya, berbisik, "Mas, aku sudah mengisap
darahmu, darahmu manis, darahmu sudah campur dalam
darahku, itu tanda aku tak akan lupa padamu, tak akan ada
laki-laki lain dalam hidupku. Dan luka bekas gigitanku itu

jangan kamu obati, supaya kamu tidak lupa padaku. Geni,
suamiku, aku tak mau kehilangan kamu."
Memeluk erat isterinya, Geni merasa berat untuk berpisah.
Ia sadar sekarang, ternyata ia sangat mencintai Sekar. "Aku
tak akan lupa padamu, aku akan mencarimu." Geni menoleh
pada nenek tua, "Nek, berapa lama kau bawa isteriku? Dan di
mana tempatmu, biar nanti aku menyusul ke sana."
"Duabelas purnama, tidak lama anak muda! Sekarang ini
aku ke Lembah Cemara setelah itu aku pergi ke suatu tempat,
lalu kembali lagi ke Lembah Cemara. Duabelas purnama, aku
sempurnakan ilmu silat isterimu. Setelah duabelas purnama,
kamu jemput isterimu di Lembah Cemara, awas jika kamu
ingkar janji!"
Sekar pamitan pada Wulan. Mereka berpelukan. "Mbakyu,
kamu jaga suami kita, awasi dia. Sedikit alpa saja, dia akan
lari dengan gadis lain."
Wulan mencium pipi Sekar. "Ilmu silat nenekmu itu tidak
terukur tingginya, Sekar kamu berlatih yang rajin supaya
menjadi pendekar wanita nomor satu. Aku akan menjaga
Wisang Geni, dan mengingatkan dia selalu bahwa isterinya
yang bernama Sekar adalah perempuan cantik yang setia. Aku
jamin dia tak akan lupa padamu, dan setelah duabelas
purnama aku bersama suami kita akan menjemputmu di
Lembah Cemara. Dan hari itu kamu akan berduaan dengan dia
sehari semalam, bahkan jika perlu dua hari dua malam, asal
kamu tahan, adikku."
Sekar tertawa cekikikan. "Gila, mbak. Bisa mati aku.
Mbakyu Wulan, kamu salah seorang yang paling kusayang di
dunia, jangan lupa padaku, mbak. Sekarang aku pergi." Sekar
memeluk erat Wulan, menciumi pipi dan lehernya. Dia
menangis.
Wulan memeluk dan memandangi wajah Sekar yang cantik.
"Aku juga sangat menyayangimu, adikku. Jangan menangis,

Sekar adikku, pergilah." Sekar memandang Wulan, dia
mencoba senyum. Kemudian tanpa menoleh lagi dia berlari
pergi sambil menangis.
---ooo0dw0ooo---
Wulan dan Sekar
Hari itu, pertengahan bulan Kartika tahun 1248, tiga belas
purnama setelah kepergian Sekar mengikuti nenek Tongkat
Sapu Lidi. Wisang Geni dan Wulan sesuai janji menjemput
Sekar di Lembah Cemara. Tetapi mereka hanya menemukan
Dewi Obat sendiri. Tidak ada Sekar. Bahkan Dewi Obat pun
tidak tahu mengapa Sekar belum juga datang. Geni masih
ingat janji nenek Tongkat Sapu Lidi saat membawa pergi
Sekar. "Nanti duabelas purnama kamu jemput isterimu di
Lembah Cemara." Sekarang sudah lewat duabelas purnama,
bahkan sudah lebih dari tigabelas bulan Sekar belum juga
pulang ke Lembah Cemara Apa yang terjadi?
Geni penasaran. Ia menanyakan di mana kediaman nenek
tua sakti itu. Dewi Obat menggeleng kepala "Kakak
perguruanku itu tak punya kediaman tetap, ia selalu berpindah
tempat. Bertahun-tahun ia memburu suaminya Ia tak pernah
berhenti mencari suaminya"
Pada kesempatan itu Dewi Obat memeriksa Wulan yang
hamil memasuki masa tiga bulan. Pertumbuhan janin tidak
sehat. Dewi Obat memberi ramuan khusus. Namun ia
berpesan agar Geni cepat mencari bunga talasari guna
memperkuat kandungan dan juga perkembangan si bayi
Bunga itu hanya ada di Lembah Bunga di kaki gunung Bromo.

"Jangan sampai melewati batas tiga bulan masa hamil,"
pesannya
Dalam perjalanan pulang keduanya tiba di desa Gadang
yang letaknya di tepi kali Bangu. Seperti biasa desa itu selalu
ramai. Para pedagang singgah bermalam lalu melanjutkan
perjalanan esok harinya. Di desa terdapat banyak warung
makan dan rumah penginapan. Dan warung makan yang
paling laris adalah warung Mbok Lemu. Siang itu warung
dipenuhi pengunjung. Di pojokan dekat jendela, Wisang Geni
dan isterinya sedang menikmati makanan. Tampak sekali
wajah dua insan itu kecewa terutama Wisang Geni yang
tampak murung.
"Kau ingat Geni, dulu kita sedang makan di meja ini lalu
muncul Waning Hyun yang dikejar Tambapreto."
Melihat suaminya diam, Wulan melanjutkan upaya
menghibur. "Waktu itu kita masih bersembunyi di balik nama
Ambara dan Sari. Kita juga tidak mengenal gadis itu,
belakangan baru tahu dia Waning Hyun putri keraton, bahkan
dia murid paman Gajah Watu."
Dia menatap suaminya yang tetap diam "Suamiku, aku tahu
kamu gelisah memikirkan Sekar, aku prihatin. Dari sini ke
Lemah Tulis hanya dua hari perjalanan, kamu antar aku
pulang, kemudian kau pergi mencari Sekar. Sebenarnya aku
bisa pulang sendiri, tetapi entah mengapa tiba-tiba saja aku
merasa takut."
"Tidak, kamu tak boleh pulang sendirian, aku akan
mengantar kamu pulang, setelah itu baru aku pergi mencari
Sekar. Aku pikir itu jalan terbaik."
"Geni, aku tahu kamu sangat mencintai Sekar, aku bahkan
merasa kamu lebih mencintai Sekar ketimbang mencintai aku,
benar kan?"
Wisang Geni tak pernah menyangka akan datang
pertanyaan seperti itu. Sesaat dia gugup dan terdiam.

"Aku tidak cemburu, aku berupaya jujur pada diriku. Aku
tahu tidak ada laki-laki yang bisa mencintai dua wanita
sekaligus dengan sama besarnya, harus ada yang lebih. Dan
kamu pantas memberi Sekar cinta yang lebih besar. Sungguh
aku belum ketemu perempuan secantik Sekar selama ini. Dia
punya segala persyaratan untuk mendapatkan cintamu, aku
legowo Geni."
Wulan menatap Geni dengan pandangan penuh cinta.
"Kamu memperlakukan aku dengan baik, kamu mencintai aku
meski cintamu lebih besar kepada Sekar, itu sudah cukup
bagiku, aku bahagia menjadi isterimu."
Terdengar suara gaduh. Beberapa orang bergegas
meninggalkan warung dengan bersungut-sungut. Wulan yang
duduk menghadap ke bagian dalam, melihat dengan jelas.
Serombongan orang datang. Bangku yang tersedia tidak
cukup, karenanya mereka mengusir beberapa tamu. Sikap dan
tingkah laku mereka kasar.
Wajah Wulan berubah ketika dia bertatap mata dengan
salah seorang di antaranya. Wulan berbisik. "Geni, rombongan
yang baru datang itu duduk dekat jendela di pojok. Aku
melihat Lembu Agra di antara mereka."
Wisang Geni tidak menoleh ke arah yang dimaksud
isterinya. Dia memerhatikan wajah Wulan yang agak pucat.
"Oh si pengkhianat, apakah dia melihat kita? Kau jangan
khawatir, berapa orang jumlahnya?"
"Aku yakin Lembu Agra telah mengenal kita." Wulan
menghitung. "Semuanya sepuluh orang." Dia memandang
suaminya dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Ada sedih,
bahagia dan cinta yang sangat dalam. "Entah mengapa, saat
ini perasaanku agak lain, aku merasa takut kehilangan kamu"
"Kamu benar, aku memang sangat menyintai Sekar, tetapi
aku juga menyintaimu Dulu ketika kau lari meninggalkan aku,

rasanya aku hampir gila, aku tak tahu apa yang harus
kuperbuat tanpa engkau di sisiku."
"Hidup tidak selamanya nyaman, orang tidak selalu
memperoleh mimpinya. Dalam hidup ada pertemuan ada juga
perpisahan, suatu waktu jika terjadi perpisahan di antara kita,
kamu harus terus hidup. Tanpa aku di sisimu kamu tetap
harus hidup."
"Wulan, kita tak akan pernah berpisah, kecuali dipisahkan
ajal."
"Ya kecuali ajal memisahkan kita."
"Tapi buat apa bicara hal yang tak masuk akal, kau masih
akan hidup panjang ilmur, kita hidup bersama, berkumpul
dengan anak-anak kita." Geni berpikir mungkin isterinya takut
melahirkan, dia menghibur." Kau tak perlu takut berlebihan,
banyak perempuan yang berhasil melahirkan dengan baikbaik."
"Kau benar, tetapi mendadak saja aku punya firasat buruk
saat ketemu Lembu Agra tadi. Dia jahat, sangat jahat dan
orang-orang yang bersamanya pasti jahat semuanya."
"Selama aku di sampingmu tidak akan ada seorang pun
yang bisa mencelakaimu."
"Memang dengan ilmu silat yang kau miliki sekarang ini,
rasanya tak ada orang bisa menandingimu. Tetapi Geni di atas
langit masih ada langit yang lebih tinggi, lagipula kini aku tak
sekuat biasanya, hamil ini membuat sebagian tenagaku hilang,
bahkan rasa-rasanya aku makin malas dan selalu ingin tidur."
Geni memegang tangan isterinya. "Aku akan
melindungimu" "Sebaiknya kita pergi dari sini, bukannya takut,
tetapi saat ini lebih baik menghindari perkelahian, ayo pergi"
Geni diam sesaat, kemudian merogoh saku, mengeluarkan
sekeping uang, meletakkan di meja, lalu memegang tangan
isterinya. "Baiklah, kita pergi."

Ketika melangkah keluar warung, Geni sempat
memerhatikan rombongan yang diceritakan Wulan. Dia
melihat Lembu Agra. Tetapi lelaki itu, barangkah sengaja
berpura-pura tidak melihat Geni. Persis yang dikatakan Wulan,
mereka berjumlah sepuluh orang.
Geni memegang tangan isterinya. Dingin dan basah. "Tidak
biasanya dia gentar, mungkin lantaran hamil," pikir Geni.
Esok harinya Geni dan Wulan tiba di desa Tumbas. Dari
desa itu menuju ke perdikan Lemah Tulis hanya satu hari
perjalanan. Keduanya istirahat di sebuah warung makan.
Selepas makan siang, pasangan pendekar itu melanjutkan
perjalanan.
Keduanya tiba di hutan yang sepi dan lengang. Terik
cahaya mentari tak seluruhnya bisa menerobos kerimbunan
pepohonan. Di antara pepohonan, Wulan melihat samar-samar
bayangan beberapa orang bergerak mendekat. Dia
menggenggam erat tangan suaminya. Geni merasa tapak
tangan isterinya, dingin dan basah.
Bayangan itu ternyata Lembu Agra bersama sembilan orang
temannya. Mereka menghadang di depan pasangan suami
isteri itu. Lembu Agra tertawa sinis sambil merentang dua
tangan seperti menyambut sahabat lama.
"Ha... ha., kita jumpa lagi. Ini dia, ketua Lemah Tulis yang
kesohor Wisang Geni pendekar nomor satu tanah Jawa, dan
perempuan itu isterinya, Walang Wulan, dulu pernah menjadi
kekasihku dan calon isteriku tetapi dia mengkhianatiku. Kalian
berdua hari ini aku perkenalkan dengan seorang terhormat
dari keraton Kediri, Ki Lembu Ampai pembantu utama Sri
Baginda Raja Tohjaya"
Wisang Geni menatap lelaki separuh baya yang
diperkenalkan sebagai Lembu Ampai Tinggi kurus, kumisnya
tipis, pelipisnya menonjol dan mengkilat, mulurnya lebar, mata

agak sipit. Yang luar biasa dari orang ini adalah sinar matanya
yang tajam, berkilat dengan tatapan yang dingin.
Wajah Lembu Ampai tak memperlihatkan ekspresi ketika ia
merangkap tangan memberi hormat. "Sudah lama aku
mendengar nama besar Wisang Geni, ilmu silat sampean saat
mengalahkan jago-jago daratan Cina telah menggegerkan
tanah Jawa Tanganku ini gatal, aku ingin menguji
kepandaianmu."
Memerhatikan Wisang Geni dengan seksama, Lembu Ampai
hampir tak percaya bahwa orang muda berusia sekitar
tigapuluh lima yang berdiri di depannya adalah pendekat
nomor satu tanah Jawa, yang namanya telah mengguncang
dunia persilatan dua tahun belakangan ini.
Wisang Geni memang tidak istimewa, tingginya sedang,
tubuhnya ramping berotot. Wajahnya tampan dengan mulut
lebar dan bibir tipis. Yang mencolok dari sosoknya adalah
rambutnya putih beruban. Gondrong dan beruban. Sinar
matanya bening dan sangat tajam, pertanda memiliki tenaga
dalam cukup tinggi.
"Ki Geni, sampean masih muda tapi rambut sampean
seluruhnya beruban, konon cerita orang hanya dalam satu hari
uban itu tumbuh disebabkan sampean menciptakan jurus silat
tingkat tinggi, boleh aku tahu benarkah itu?" kata pendekar
keraton Kediri itu. Wisang Geni balas memberi hormat "Cerita
tentang diriku terlalu dilebih-lebihkan orang, tentang uban ini
memang sudah maunya tumbuh sendiri, tak ada hubungan
dengan jurus silat" Ia lalu menyambung dengan tegas. "Tetapi
kalau boleh aku bertanya, sampean sebagai pendekar
terhormat keraton Kediri mengapa menghadang
perjalananku...?"
Dia menjawab dengan jumawa, "Aku punya dua maksud.
Pertama ingin menjajal kepandaian pendekar utama tanah
Jawa. Kedua mengajak sampean bergabung dengan keraton

Kediri karena Paduka Raja Tohjaya sedang mencari pendekar
handal untuk dijadikan punggawa pembantunya."
Meraih dan menggenggam tangan isterinya, Wisang Geni
berbisik dengan ilmu pendam suara. Ilmu itu hanya bisa
didengar Wulan seorang. "Wulan, jangan jauh-jauh dariku." Ia
menatap kesepuluh orang itu. Ia melihat Lembu Ampai
menggerak-gerakan otot tubuh
"Ki Lembu Ampai, aku sedang tak punya waktu untuk
mengadu jurus silat, lain kali saja. Tentang maksud kedua,
aku merasa mendapat kehormatan tetapi aku butuh waktu
untuk berpikir."
Mendadak punggawa di samping Lembu Ampai
membentak. "Tidak bisa! Apa yang diminta Paduka Patih
adalah sabda raja, tidak boleh ditolak!"
"Maaf aku bukan orang keraton, jadi aku tidak terikat
aturan keraton, sampean pasti orang penting maaf kalau aku
tidak kenal."
Lembu Ampai tertawa. "Ki Wisang Geni, orang seperti
sampan tidak perlu mengenal orang karena semua orang
mengenal siapa sampean si Pendekar Tanah Jawa. Baik, aku
perkenalkan tujuh orang ini adalah punggawa Patlikur Sinelir
keraton Kediri dan dua lainnya pasti sampean sudah kenal, Ki
Lembu Agra dan murid keponakannya Ki Wirotama."
Sambil menggandeng isterinya, Geni melangkah. Tetapi dia
dihadang serangan. Punggawa itu menyerang dengan dua
tangan mencengkram, jurus Cakar Elang. Serangan itu
menguarkan bau bacin. Geni melihat jari-jari tangan lawan,
kukunya berwarna hitam. Pasti racun ganas. Geni tidak
menghentikan langkahnya. Tangan kirinya menggenggam
tangan Wulan, tangan kanannya mengibas ke arah lawan.
Pukulan Geni membawa angin keras berhawa dingin. Itulah
jurus Bahni Anempuh Toya dari ilmu Bang Bang Alum Alum.

Punggawa Sinelir itu terkejut, tak menyangka kalau tenaga
dalam Geni sebesar itu. Sesaat dia menggigil. Apa lacur,
kejadian sudah sampai di situ, dia tak boleh mundur. Dia
mengelak dengan mendekam dilanjutkan serangan mengarah
selangkangan Geni.
Wisang Geni memainkan jurusnya yang paling handal. Dia
bergerak sambil tetap menggandeng isterinya. Geni dan
Wulan sama menggunakan Waringin Sungsang ilmu ringan
tubuh yang paling handal. Gerakan Geni bagaikan siluman,
sesaat dia seperti menghilang, pindah tempat.
Punggawa Sinelir kehilangan lawan. Sebelum sadar apa
yang terjadi, mendadak ia diterjang angin keras yang panas.
Ia memutar tubuh sambil memukul dengan tenaga panas.
Tampaknya dia terpaksa adu tenaga dalam Pada saat-saat
akhir, tenaga panas Geni berubah dingin, sangat dingin.
Punggawa itu terkejut, tak pernah menyangka ada orang yang
sanggup menukar tenaga panas dan dingin dalam sekejap dan
di tengah-tengah suatu gerak serangan.
Geni tak mau berlama-lama, ingin pertarungan cepat
selesai agar segera bisa meloloskan diri. Itu sebab dia
menyerang dengan menggunakan tenaga Wiwaha dalam jurus
Sanakanilamatra (Sebesar angin yang terkecil) jurus kedua
dari tujuh jurus Garudamukha Prasidha.
Pada saat bersamaan tiga bayangan berkelebat ke arah
Geni. Tiga punggawa Sinelir bermaksud menolong rekannya.
Terlambat. Tenaga Wiwaha Geni mengena dan menerobos
tubuh punggawa itu yang terlempar ke belakang. Ia menggigil
hebat Darahnya beku, sesaat kemudian tubuhnya kejang,
mati.
Suara Geni perlahan namun tajam dan dingin. "Hmmm,
main keroyok, begini rupanya tata cara orang-orang keraton
Kediri...."

Tak cuma bicara. Geni bergerak terus, melepas tangan
isterinya, memutar dua tangan menerapkan jurus Makanjaran
(Menari dengan lengan terkembang) dari Garudamukha.
Gerakan itu bersinambung dengan Prasada Atishasha (Menara
tinggi bukan main) dari jurus Garudamukha disalurkan dengan
tenaga Wiwaha dan perasaan Prabhawa (Kekuasaan). Itulah
Jurus Penakluk Raja.
Gerakan itu sangat indah dalam rangkaian Asi yang mulus.
Namun tenaga yang keluar sangat menakjubkan. Lembu
Ampai yang berdiri di luar gelanggang merasakan desir angin
dingin berganti panas. Ia terkejut, tak pernah menyangka ada
orang yang memiliki tenaga istimewa seperti yang
diperlihatkan Geni. Tidak menanti lagi, Lembu Ampai ikut
menerjang. Dia berniat menolong anak buahnya. Tubuhnya
seperti terbang. Dia juga memiliki ilmu ringan tubuh yang
sangat unggul. "Kalian mundur semua...!"
Tetapi peringatan itu terlambat Tiga punggawa itu meski
telah mengerahkan tenaga penuh, tetap tak mampu
menandingi tenaga Geni. Terjadi benturan tenaga di udara.
Geni tetap tegar, dia tertawa sinis. Tiga punggawa itu
terpental, jatuh di tanah dengan kuda-kuda limbung.
Ketiganya berusaha menenangkan diri, tetapi tenaganya
seperti terkuras, ada tenaga dingin yang menerobos membuat
mereka menggigil. Untuk mengatasi luka dalam ketiganya
duduk bersila mengerahkan tenaga inti mengusir rasa dingin.
Saat itu Lembu Ampai menerjang dengan dua tangan
berputar macam kitiran menebar angin keras dan panas. Geni
mendorong isterinya dengan bahu agar menjauh. Ia tahu
tenaga Lembu Ampai sangat ampuh. "Orang ini memiliki
kepandaian tinggi, aku tak boleh memandang enteng...."
Berpikir demikian, Geni mengerahkan tenaga Wiwaha
dalam sikap empat Pethuk A/i Golong Pikir (Bersatunya hati,
pikiran dan tekad) menggunakan jurus berturutan
Warayangungas (Anak panah tembus) dan Sbuhdrawa

(Hancur luluh) yakni jurus ke-sepuluh dan keempat dari ilmu
Gantdamukba.
Lembu Ampai mengerahkan seantero tenaganya, angin
panas menerjang Geni. Tak terhindarkan angin pukulan itu
bentrok di udara. Suara keras membahana. Dua pendekar itu
sepertinya hendak menguji tenaga dalam masing-masing.
Keduanya melanjutkan adu pukulan, beruntun. Pukulan Geni
makin lama makin keras, tenaga Wiwaha semakin dibentur
semakin bertenaga. Adu pukulan berlangsung cepat, tak ada
selang istirahat meski sesaat pun. Pada pukulan kesepuluh,
wajah Lembu Ampai merah macam kepiting direbus. Geni
biasa-biasa saja bahkan masih bisa memerhatikan isterinya
yang berdiri tak jauh dari arena. Pada benturan kesebelas Iembu
Ampai semakin terdesak, dia mundur sampai lima
langkah. Jika adu pukulan diteruskan dia pasti akan luka
parah.
Pada saat itu lima bayangan bergerak serentak ke dalam
arena. Lembu Agra, Witotarna dan tiga pendekar Sinelir.
Kelimanya bergerak serentak menolong Lembu Ampai. Mereka
menyerang dengan jurus ganas andalan masing-masing.
Berganti Geni yang terancam. Saat itu ia sedang
konsentrasi pada pukulan keduabelas. Lembu Ampai juga
sudah siap melanjutkan adu pukulan, meski agak terpaksa.
Ternyata datangnya serangan lima orang itu membuat
pertarungan menjadi ricuh. Saat bersamaan terdengar
teriakan Walang Wulan. "Curang, kalian bajingan kotor!"
Serangan Wulan diarahkan kepada Lembu Agra, yang
menurutnya adalah lawan paling berbahaya, ganas dan licik.
Wulan bergerak dengan ringan tubuh Waringin Sungsang
dan melancarkan dua pukulan dari dua aliran berbeda,
Garudamukha Prasidha dari Lemah Tulis dan Na^/wjw
warisan ayahnya, pendekar Nagapasa. Dua pukulan telengas
yang tak kenal ampun.

Lembu Agra melihat datangnya serangan Wulan. Batal
menerjang Geni, dia membalik tubuh menangkis serangan
Wulan. Keduanya terlibat pertarungan cepat Dalam beberapa
jurus terlihat Lembu Agra masih lebih unggul dari Walang
Wulan.
Pada saat yang sama Wisang Geni batal memukul Lembu
Ampai. Ia menggeser kuda-kuda dan mengalihkan serangan
dahsyat itu ke lima lawan baru. Namun takut pukulannya
tampias mengena isterinya, maka dia menujukan serangannya
kepada dua lawan yang paling jauh dari posisi Wulan.
Lembu Ampai melihat peluang. Pertahanan Geni terbuka
lebar. Sesaat ia bimbang. Menyerang Geni saat itu sama
dengan laku seorang pengecut rendah. Namun hanya dengan
cara ini dia bisa memenangkan tarung. Dia menerjang dengan
pukulan paling dahsyat, jurus ampuh dari Gelap Ngampar.
Geni sudah memperhitungkan kemungkinan ini, bahwa
lawan akan menyerang dengan curang, itu sebab dia telah
mempersiapkan diri dengan menggeser kuda-kuda. Dua
punggawa Sinelir lainnya merasa gembira mengira
serangannya akan mengena sasaran. Demikian juga pikiran
Lembu Ampai, pukulan Gelap Ngampar]ika mengena pasti
Geni akan luka parah.
Dalam posisi terdesak Geni memperlihatkan kehebatannya.
Sekali lagi dia menggeser kuda-kuda. Tangan kanannya tetap
meneruskan memukul dua lawan sekaligus, Wirotama dan
seorang punggawa. Ia menggunakan tenaga dingin. Tangan
kirinya memainkan jurus Sikepdehak (Tangkap, dorong) dan
Dekungpulir (Bengkok, putar) dengan mengerahkan tenaga
panas Wiwaha sepenuhnya. Iangau kanan dengan tenaga
dingin, tangan kiri dengan tenaga panas.
Akibatnya luar biasa. Dua lawan yang diserang Geni,
menggigil diterpa angin dingin. Keduanya terdorong mundur
empat langkah. Sementara dua punggawa Sinelir lainn ya
merasa tenaganya memasuki pusaran kekuatan panas yang

misterius. Keduanya tersedot dan terpental ke arah datangnya
pukulan Lembu Ampai. Dua orang itu berteriak. "Celaka...."
Wisang Geni memainkan Jurus Penakluk Raja, memukul
melukai Wirotama dan seorang punggawa Sinelir, menyedot
dan menghimpun tenaga dua lawan lain kemudian
mendorongnya ke arah Lembu, Ampai.
Lembu Ampai terkesiap. Tak pernah menyangka akan
menemukan kejadian seperti itu. Kedua pihak tak bisa
menghindar. Terjadi bentrok pukulan Tenaga Lembu Ampai
membentur tenaga dua anak buahnya. Dia merasa dadanya
sesak. Tenaganya sudah terkuras setelah sebelas kali adu
pukul dengan Geni. Benturan dengan tenaga pukulan dua
anak buahnya ini membuat tenaga dalamnya kacau dan tidak
terkendalikan. Keadaan dua punggawa Sinelir lebih parah.
Tenaga dalam mereka satu tingkat di bawah tenaga Lembu
Ampai. Keduanya terdorong mundur empat langkah, dan
mulutnya muntah darah segar.
Wisang Geni tahu pertarungan ini antara hidup atau mati
Dia hanya berdua Wulan, di pihak lawan jumlahnya sepuluh.
Seorang sudah mati, sisa sembilan. Dia harus secepat
mungkin mengurangi jumlah musuh. Tak boleh ada rasa
kasihan. Berpikir demikian, Geni memburu Wirotama dan
punggawa yang seorang, dengan pukulan keras, dingin dan
panas lewat jurus Agniwisa dan Prasidha. Dua orang itu yang
sudah terluka sebelumnya, tidak punya cukup tenaga untuk
menangkis. Keduanya kena telak, terlempar dan mati sebelum
tubuhnya menyentuh tanah.
Pertarungan itu sangat singkat. Pada awalnya seorang
punggawa Sinelir mati Lalu Wirotama dan satu punggawa
lainnya mati Lima punggawa lainnya semedi memulihkan
tenaga. Juga Lembu Ampai sedang menata kembali tenaga
dalamnya.

Saat itu tiga punggawa Sinelir lainnya telah pulih. Dua
lainnya yang berbentur tenaga dengan Lembu Ampai juga
mulai pulih. Kelimanya berdiri siaga di samping Lembu Ampai.
Pertarungan Wulan dan Lembu Agra berlangsung berat
sebelah. Dari perbendaharaan ilmu Lemah Tulis, Lembu Agra
sebagai kakak sc|xi guru.m jelas lebih menguasai. Tapi Wulan
dengan menggunakan jurus-jurus Garudamukha Prasidha,
ilmu Lemah Tulis yang belum sempat dipelajari Agra dan
jurus-jurus Nagapasa masih bisa bertahan meskipun dalam
keadaan terdesak. Lembu Agra tanpa rasa kasihan menggelar
jurus andalannya Pitu Sopakara dengan tujuan membunuh.
Sambil bertempur Lembu Agra memerhatikan sepak-terjang
Geni. Dia melihat kehebatan Geni dan menyadari keadaan tak
menguntungkan pihaknya. Ia cepat menetapkan keputusan. Ia
harus cepat menyelesaikan tarung dengan Wulan agar bisa
membantu mengeroyok Wisang Geni. Ia juga tak peduli
apakah jurusnya nanti akan membunuh Wulan, adik
seperguruan yang dicintainya. Tak kenal kasihan ia menggelar
Sambartaka (Rusak, kiamat) dan Sarwakrura (Perbuatan yang
buas) dua jurus ganas Pitu Sopakara.
Pada saat itu Geni baru menyelesaikan serangan yang
membunuh Wirotama dan satu punggawa. Dia berada agak
jauh dari isterinya dan melihat ancaman terhadap isterinya.
Geni bergerak pesat menolong. Namun di tengah jalan dia
mendengar suara mendesis. Beberapa pisau terbang menuju
dirinya.
Lembu Ampai menyambit dengan lima pisau terbang. Geni
tak berani menangkis, khawatir pisau melejit ke arah isterinya.
Ia berkelit yang menyebabkan gerakan menolong Wulan, jadi
terhambat Tidak cuma itu Lembu Ampai juga menerjang
dengan keris terhunus. Ia merasa tak mampu mengimbangi
Geni dengan tangan kosong, tanpa malu lagi ia menyerang
dengan senjata keris, menggunakan jurus Keris Tujuh
Kembang.

Lima punggawa Sinelir juga menggunakan senjata, dua
orang menerjang dengan pedang, seorang lainnya dengan
golok panjang dan dua lainnya dengan keris. Serangan lawan
ini membuat Geni tak bisa mendekati dan menolong isterinya.
Terpisah dari Wisang Geni sekitar sepuluh tombak, Lembu
Agra menyerang gencar Walang Wulan sambil berseru, "Kau
membuat keputusan keliru, mencampakkan aku dan memilih
Wisang Geni, kau membuat aku hampir gila memikirkan
dirimu, kau perempuan jalang, pengkhianat cinta." Lembu
Agra menyerang sambil memaki. Wulan tak bisa membuka
mulut. Setiap hendak mencaci maki lawannya, dadanya sesak
ditekan tenaga Lembu Agra sehingga tak bisa bersuara.
Geni sibuk menghadapi serangan gencar Lembu Ampai
bersama lima punggawa Sinelir. Ia tak bisa menolong
isterinya, hanya bisa menyaksikan dari jauh. Geni khawatir
keselamatan isterinya.
Lembu Agra menyerang gencar. "Aku tadinya hendak
menculik membawa lari dan memerkosamu. Tetapi daya
tarikmu sudah hilang. Kamu harus tahu bahwa apa yang
sudah menjadi milikku tak boleh direbut orang. Aku
mencintaimu, itu artinya kau sudah menjadi milikku, karena itu
kau tak boleh menjadi milik orang lain. Kau benar-benar
perempuan jalang."
Geni tahu isterinya dalam keadaan terancam, kritis. Tetapi
dia tak bisa menolong, serangan enam lawannya makin
gencar, tak ada ruang sedikit pun untuk lolos. Geni cuma bisa
menyaksikan ketika dua pukulan beruntun menerpa pundak
dan lambung isterinya.
Wulan menjerit lirih. Semangat Geni terbang.
Mendadak Geni merasa tenaga Wiwaha membakar
tubuhnya. Kecintaannya terhadap Wulan, melihat isterinya
dilukai tanpa dia sanggup menolong telah membangkitkan
tenaga dalam Wiwaha merambah ke seluruh tubuhnya, utuh

dan sempurna. Tenaga Geni menjadi berlipat ganda dari
sebelumnya. Munculnya tenaga istimewa Whvaha ini tanpa
melalui suatu proses lagi, muncul secara mendadak,
menghasilkan tenaga Wiwaha yang dahsyat.
Reaksi spontan Geni yang paling awal adalah teriakan keras
disertai bentakan. Itulah pelampiasan dari kemarahan yang
amat sangat. Amarah membakar dirinya dilampiaskan lewat
bentakan dengan tenaga Wiwaha yang dahsyat membuat
Lembu Ampai dan lima punggawa terperanjat. Mereka merasa
otot-otot dalam tubuh serasa kejang, gendang telinga seakan
pecah. Berbarengan Geni mainkan jurus Prasada Atishasha
(Menara sangat tinggi) dari Prasidha dengan rasa Hayu
(Keselamatan). Dia memikirkan keselamatan isterinya. Inilah
Jurus Penakluk Raja, ilmu dari segala ilmu.
Gebrakan Geni kali ini tidak memerlukan jurus yang khusus.
Jurus apa pun yang digunakan Geni akan menjadi dahsyat.
Jurus paling sederhana pun menjadi jurus serangan ampuh.
Apalagi Geni menggelar jurus dari Garudamukha Prasidha,
sehingga kibasan tangan dan gerak kaki Geni yang tegar dan
pegas, membuat enam lawannya terpental.
Lembu Ampai meski seorang pendekar kelas satu tetap saja
merasa tangannya tergetar. Keris di tangannya terlempar.
Sadar jiwanya dalam bahaya, Lembu Ampai melompat ke
belakang. Dia selamat, lolos dari bahaya maut. "Gila... ilmu
apa ini?" gerutunya.
Dua punggawa Sinelir melepas senjata di tangan, mengikuti
dorongan gelombang tenaga Geni, melempar diri ke belakang.
Keduanya selamat. Tiga punggawa lainnya yang menghadang
di depan Geni menerima akibat paling parah. Geni yang
menerjang membuka jalan ke arah isterinya menerkam tiga
lawannya itu.
Geni tidak mengelak dari tebasan senjata lawan. Dia yakin
tubuhnya tak mungkin dilukai senjata. Geni menghantam

sekerasnya disertai bentakan keras. Tanpa ampun tiga
punggawa itu terlempar, mati dengan dada remuk
Lembu Agra melihat sepak terjang Geni yang kesurupan,
bersiap. Geni tiba secepat angin, pukulannya melanda. Lembu
Agra menangkis dengan jurus Panahuraninghulun
(Pembalasan) dan Pitu Sopakara tingkat lima. Dua tenaga
bentrok hebat, debu mengepul. Laju gerak Geni tak terhenti
oleh benturan itu. Lembu Agra terpental sambil mendesah. Dia
limbung, pijakannya goyah. Lembu Agra sempoyongan diikuti
dengan muntah darah. Ia terluka. Ia melompat mundur,
berdiri di samping Lembu Ampai.
Geni tertawa sinis. "Huh cuma sebegini saja hebatnya jurus
Pitu Sopakara, bangsat pengkhianat hari ini kau kuantar
bertemu nenek moyangmu di neraka."
Pada saat hendak menyerang Lembu Agra, saat bersamaan
Geni mendengar Wulan mengeluh kesakitan. Ia sadar Wulan
terluka. Ia melihat isterinya limbung sempoyongan. Sesaat ia
bimbang, hendak menyerang Lembu Agra atau menolong
isterinya.
Lembu Agra dan Lembu Ampai berdiri agak jauh bersama
dua punggawa Sinelir yang masih hidup. Keempatnya
memasang kuda-kuda mengerahkan tenaga dalam, bersiap
untuk pertarungan akhir dengan taruhan hidup atau mati
Dia memutuskan menolong isterinya. Saat itu Wulan jatuh,
tapi sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Geni dengan
Waringin Sungsang seperti terbang berhasil memeluk tubuh
isterinya.
Lembu Agra tertawa sinis. "Kau membuat keputusan bagus,
kau masih punya sedikit waktu untuk bicara dengan
perempuan jalang itu, karena tak lama lagi dia akan mati dan
kau akan merasakan bagaimana pedihnya ditinggal mati oleh
kerabat dekatmu Kau jangan mimpi bisa menolong perempuan

itu, dia tak tertolong, itu ilmu Pitu Sopakara tingkat lima,
orang yang kena pukulan itu sudah pasti akan mati"
Geni tak mempedulikan ocehan lawan. Ia menahan marah
dan berusaha mengendalikan tenaga serta pikirannya. Telapak
tangan menempel di punggung isterinya, ia menyalurkan
tenaga dalam
Lembu Agra tertawa. "Isterimu akan mati, dan kau akan
terbakar rasa dendam, kau pasti ingin membunuhku, tapi
kuberitahu kau Geni, bahwa kau tak perlu mencari aku, sebab
aku juga akan mencarimuu, hutang Lemah Tulis yang
membabat habis keluargaku masih harus kau bayar. Kau
masih ada waktu untuk hidup sampai aku menyelesaikan Pitu
Sopakara tingkat tujuh, saat itu baru kau bisa merasakan
hebatnya Pitu Sopakara... ha... ha... ha...."
Wisang Geni yang memeluk isterinya, hanya bisa
memandang empat lawannya menghilang di kejauhan. Geni
merasa tubuh isterinya dingin berkeringat. Darah merembes
dari mulut dan kemaluan isterinya. Geni terkesiap. Parah.
Isterinya luka parah. Muntah darah artinya paru-paru dan
jantung terluka. Isterinya juga mengalami keguguran, perut
dan seisinya terluka berat
Nafas Geni seakan terhenti. Terkejut.
Dia mengerti ilmu pengobatan, meraba denyut nadi
isterinya. Kacau tak beraturan. Sinar mata yang biasanya
gemerlap, kini redup. Nafasnya tak teratur, kadang
bunyikeras, kadang tak terdengar. Geni tahu luka isterinya
sangat parah. Peluang hidup isterinya sangat tipis. Tetapi Geni
tak peduli, ia tetap mengirim tenaga dalam ke tubuh Wulan.
Jika masih ada peluang hidup, mungkin tenaga Wiwaha masih
bisa menolong.
Wulan membuka matanya. "Geni, suamiku, tak ada
gunanya. Pukulan Pitu Sopakara sangat ganas, telah merusak
bagian dalam tubuhku, tak ada obatnya Geni, jangan

membuang waktu dan tenagamu... sekarang aku ingin
manfaatkan sisa waktuku, cium aku, peluk aku...."
Geni dengan berlinang air mata menciumi seluruh wajah
dan mulut isterinya. Memeluk erat tubuh isterinya. "Geni, aku
menyintaimu." "Aku juga sangat menyintaimu."
"Geni, aku menyesal anakmu ikut mati, jangan salahkan
dewa. Yang bersalah Lembu Agra. Kau harus balas dendam
tetapi hati-hati dia jahat, telengas dan sangat licik" Wulan
berhenti, nafasnya sesak, tersendat-sendat.
Geni memeluk terus. "Wulan, aku tak tahu harus
bagaimana, selama ini kita tak pernah berpisah meski satu
hari pun."
"Geni, aku sudah puas hidup bersamamu selama ini. Kau
tahu apa kata Dewi Obat, katanya anak kita itu perempuan
cuma sayang dia ikut mati"
"Dia pasti akan secantik ibunya."
'Ya kalau dia hidup, dia memang akan cantik kasihan kamu
Geni, hari ini kamu kehilangan dua orang sekaligus, isterimu
dan anakmu.
Kau harus membalas hutang darah ini."
"Aku pasti akan menagih hutang darah ini, Lembu Agra dan
Lembu Ampai akan menanggung akibatnya. Aku akan mencari
dan memburu mereka ke mana pun, sampai ke neraka pun."
Dia merasakan tubuh Wulan semakin dingin. Dia memeluk
tubuh isterinya, merapatkan dada dengan dada kemudian
menyalurkan tenaga dalam.
Wulan menatap suaminya dengan sinar mata menyinta.
"Geni sepeninggalku kau harus mencari Sekar. Entah berada
di mana si Sekar, dia sangat mencintaimu Kau tak boleh sedih
berlebihan, sudah takdir dewa, aku harus mati. Tapi kau harus
hidup terus, cepat temukan Sekar, kau membutuhkan dia."

"Wulan, aku akan menemukan Sekar, tapi kamu tak boleh
mati."
"Tidak Geni, aku tak tertolong. Dengar Geni, waktuku tak
banyak lagi. Masih ada seorang gadis yang pantas menjadi
isterimu, kau mengenalnya, Prawesti, cucu kakang Gubar
Baleman, ia masih muda, sangat cantik dan dia pasti akan
setia melayanimu"
Geni diam, memandang isterinya dengan sinar mata
menyinta.
"Oh suamiku, pandanganku gelap, tubuhku dingin. Geni
peluk aku lebih erat, ajalku sudah dekat, selamat tinggal
suamiku, cium aku Geni. Peluk dan cium aku."
Dia memeluk isterinya, serasa ingin menyatu dengan tubuh
molek itu. Tapi tubuh itu makin dingin. Geni mencium mulut
isterinya. Tadinya mulut itu hangat. Bibir itu dulunya lembut
dan hangat, penuh birahi. Kini dingin. Makin lama makin
dingin.
Tubuh itu sudah dingin. Geni sadar isterinya mati. Tetapi
perasaannya mengatakan Wulan masih hidup. Dia tak percaya
isterinya sudah mati Dia memandangi wajah yang cantik itu.
Tak ada tanda-tanda hidup. Airmata membasahi pipi Geni.
"Istriku yang malang. Tapi tak mungkin kamu mati, tak
mungkin. Wulan masih hidup."
Tiba-tiba ada suara merdu di telinganya. Geni merasa ada
sentuhan tangan yang lembut di pundaknya. "Kangmas Geni,
relakan dia pergi. Dia sudah mati"
Geni menoleh. Seorang gadis, muda dan cantik berdiri di
sampingnya. Tangannya menepuk pundak Geni.
"Kau siapa, kenapa ada di sini? Apakah kau datang untuk
menolong isteriku, kau bisa menolong isteriku?"
Perempuan itu memandang dengan airmuka yang sedih.
Dia menggeleng kepala. "Maaf Kangmas, namaku Rahayu,

panggil saja Ayu, aku murid Mahameru, aku kebetulan lewat
di sini, maaf Kangmas, isterimu sudah mati, kamu harus rela."
Geni mengawasi perempuan muda itu dengan curiga. "Kau
murid siapa, murid pendeta Macukunda?"
"Bukan. Aku cucu muridnya. Guruku adalah Nyi Minasih,
murid paman sepuh Macukunda."
Geni kembali menatap tubuh isterinya. Meraba wajah
Wulan. "Kenapa isteriku harus mati, kenapa mereka
membunuh isteriku, kenapa, apa salah isteriku?"
Rahayu melihat mayat berserakan. Pasti sudah terjadi
pertarungan hebat. Enam mayat itu pasti mati di tangan
Wisang Geni. Rahayu pernah mengenal Wisang Geni dan
Walang Wulan di Mahameru saat diadakan pertarungan
memilih lima pendekar tanah Jawa. Waktu itu sepak terjang
Geni sangat luar biasa. Dari seorang tak dikenal, dia melejit
menjadi pendekar kelas utama. Ilmu silatnya dikagumi orang
ketika membunuh tokoh hitam Sempani, dan Kalayawana
berserta tiga muridnya.
Sejak saat itu, Rahayu tak pernah melupakan Geni.
Sekarang, tanpa rencana, ia bertemu Wisang Geni di hutan ini
dalam situasi yang sangat berbeda.
Tadi siang Ayu bersama tiga saudara seperguruannya
dalam perjalanan pulang ke Mahameru Di tengah jalan Ayu
terpisah. Ketika ia sedang bingung mencari-cari saudaranya, ia
mendengar suara bentakan orang yang sedang bertarung.
Dia tiba pada saat Wisang Geni baru saja menghantam
mati tiga punggawa Sinelir keraton. Dia menyaksikan ketika
Lembu Agra terpental oleh hantaman Geni. Dia melihat dan
mendengar semua kejadian sejak itu. Dia mendengar katakata
Lembu Agra. Dia menyaksikan kaburnya Lembu Agra dan
tiga rekannya.

Rahayu meski pernah menyaksikan kehebatan Geni, namun
tetap saja kagum. Pertarungan singkat tadi memperlihatkan
tingkat kelihaian Geni yang sulit diukur tingginya.
Dia menyaksikan pemandangan mengharukan saat maut
merenggut nyawa Wulan. Juga mendengar pembicaraan
suami isteri itu yang mesra penuh rasa cinta. Rahayu makin
teng gelam dan larut dalam kesedihan. Tanpa terasa air mata
mengalir di pipinya. Dia bisa memaklumi betapa batin Geni
terpukul dan goncang dan merasa berkewajiban menolong.
"Mas, mari aku bantu kubur."
"Sssssshhhh, jangan, isteriku belum mati Aku masih harus
menolongnya, masih ada harapan."
Rahayu melihat sinar mata Geni yang ngambang.
"Kangmas, isterimu sudah mati, relakan dia pergi, Mas."
Geni menggoyang-goyang tubuh Wulan. "Aku masih bisa
mengobatinya, ayo Wulan bangun, jangan mati Oh Wulan
jangan mati, jangan tinggalkan aku...."
Hutan itu masih sepi. Wisang Geni meratapi kematian
isterinya. Rahayu bingung, tak tahu harus berbuat apa.
Mendadak ia teringat sesuatu. "Kangmas Geni, lebih baik kita
antar Mbakyu Wulan ke Lemah Tulis, di sana mungkin ada
yang bisa menolongmu."
Sepasang mata Geni memandang tajam gadis di depannya.
"Ya kau benar, kita bawa dia ke Lemah Tulis, ayo kamu ikut."
Hanya sesaat Rahayu bimbang. "Baik. Aku ikut."
Perjalanan dilakukan dengan cepat. Wisang Geni sambil
memeluk tubuh isterinya, berlari menggunakan ilmu Waringin
Sungsang yang tentu saja membuat Rahayu kedodoran
mengejarnya.
Geni mengendurkan lari. "Kamu kurang cepat, mari
kubantu."

Tangan kanan Geni menggendong Wulan, tangan kiri
memegang tangan Rahayu. Gadis itu merasa sekujur
tubuhnya dirasuki tenaga hangat yang berasal dari tangan
Geni. Gerak langkah Ayu menjadi lebih bertenaga dan lebih
cepat. Malam tiba. Hutan gelap. Samar-samar sinar rembulan
menerobos pepohonan tapi tidak cukup menerangi jalan,
apalagi untuk menentukan arah. Geni dan Rahayu terpaksa
istirahat. Geni masih memeluk jenazah isterinya. Malam itu
Rahayu berhasil meyakinkan lelaki itu bahwa Wulan sudah
mati dan tak mungkin hidup kembali.
Perlahan namun pasti, Wisang Geni menemukan kembali
kesadarannya. Walang Wulan isterinya sudah mati, tak
mungkin hidup kembali. Kini yang bisa ia lakukan adalah
membawa jenazah Wulan ke perdikan Lemah Tulis dan
menguburnya di sana.
Geni berterimakasih kepada gadis itu. Malam itu Geni tidak
tidur. Dia menjaga jenazah isterinya dan Rahayu yang tidur
pulas. Esok paginyakokok ayam dan kicau burung mewarnai
suasana sejuk hutan. Rahayu terbangun. Dia melihat Geni
yang sedang duduk bersila di dekat jenazah Wulan. Lama
Rahayu menatap wajah pendekar yang dikaguminya itu.
Di Mahameru, dia tak punya kesempatan berkenalan.
Namun meski hanya mengenal dari jauh, Rahayu sangat
terkesan. Geni tidak tergolong lelaki tampan, tetapi punya
daya tarik kelaki-lakian yang membuat Ayu tak pernah bisa
melupakannya.
Tiba-tiba Geni terjaga. Rahayu gugup ketika matanya
bertatapan.
"Kamu sudah bangun Ayu"
"Aku, aku baru saja bangun." Sinar mentari pagi menyinari
wajah Rahayu. Geni melihat seorang gadis yang cantik dan
matang. Rahayu berusia duapuluhan. Kulit sawo matang,
bersih dan mulus. Rambut lurus sebatas pundak. Hidungnya

agak pesek dengan mulut yang indah. Bibirnya tebal
membentuk busur gandewa. Sepasang matanya berbinar,
agak nakal. Mata itu tak menyembunyikan rasa kagum pada
lelaki di hadapannya.
Kemarin Geni tidak memerhatikan kehadiran gadis
Mahameru itu. Tetapi setelah semalaman bersemedi dan
menghimpun tenaga Wiwaha, kesadaran Geni sudah kembali
seperti sediakala.
Dia sedih kehilangan isterinyayang sangat dicintainya.
Tetapi dia masih harus menjalani hidup. Dia adalah ketua
Lemah Tulis. Kehormatannya sebagai ketua Lemah Tulis,
sebagai suami Walang Wulan, sebagai pendekar yang disegani
orang di tanah Jawa, telah diinjak-injak oleh Lembu Agra dan
orang-orang keraton Kediri. Isteri dan anaknya, mati Dendam
ini harus diperhitungkan. Hutang darah, bayar darah. Hutang
nyawa bayar nyawa.
Pagi itu Rahayu melihat Geni yang berbeda dengan Geni
yang kemarin. Geni dengan rendah hati mengucap terimakasih
atas bantuan Rahayu yang menyadarkan dirinya dari
kesedihan. Perjalanan dilanjutkan. Geni membopong jenazah
Wulan, Rahayu berjalan di sampingnya. Siang hari keduanya
tiba di Lemah Tulis.
Kontan saja, suasana perdikan diliputi duka yang amat
sangat, di sana sini terdengar isak tangis para wanita. Hampir
semua murid Lemah Tulis mengenal dan menyayangi Walang
Wulan. Mereka tak pernah menyangka Walang Wulan yang
cantik dan ramah itu akan mengalami kematian mengenaskan.
Padeksa dan Gajah Watu, dua tokoh sepuh dari Lemah
Tulis menghibur dan menenangkan Geni Siang itu Walang
Wulan dikubur di pekuburan Lemah Tulis. Semua orang larut
dalam duka. Semua murid Lemah Tulis mengutuk kejahatan
Lembu Agra, murid pengkhianat itu. Esok harinya Rahayu
pamit dan kembali ke Mahameru.

Semua murid Lemah Tulis sepakat akan membalas
dendam, Lembu Agra harus mati Semua murid menunggu
perintah. Tetapi ketua Lemah Tulis belum mengeluarkan
perintah. Bahkan Geni masih belum mau keluar dari
kamarnya.
Pada hari pertama sepertinya Wisang Geni belum bisa
menerima kenyataan matinya Wulan. Terkadang sadar, sesaal
kemudian ia seperti linglung mencari-cari Wulan. Seharian itu
Padeksa dan Gajah Watu bergantian menjenguk dan
menghiburnya.
Murid-murid wanita bergantian melayani ketuanya,
membujuknya makan minum Di antaranya Prawesti, yang
disebut-sebut kembang perdikan, muda dan cantik. Pada hari
ketiga hanya Prawesti yang melayani, murid lainnya sepakat
menarik diri, memberi kesempatan Prawesti melayani sang
ketua.
Suatu siang, ketika Prawesti sedang berada di sumur,
melamun. Jayasatru, lelaki berusia limapuluhan,
menghampirinya. "Westi, kau belakangan ini gelisah, apakah
keadaan ketua tidak begitu menggembirakan ?"
Gadis itu terkejut, tersentak dari lamunan. "Oh paman
Jayasatru"
"Bagaimana keadaan ketua kita?"
"Oh ketua semakin membaik, hanya kesedihannya masih
belum hilang. Ia sering melamun dan menyebut nama
isterinya, pernah suatu saat ia memanggilku Wulan. Paman
Jaya, aku tidak tahu sampai kapan ia baru bisa melupakan
isterinya."
"Kau amat gelisah, Westi. Kau mencintai ketua?"
Kembang Lemah Tulis itu gugup, tidak menyangka
datangnya pertanyaan itu. "Ah tidak. Mengapa paman
bertanya seperti itu?"

"Beberapa hari ini aku memerhatikanmu, tak perlu malu
Westi, kau tak perlu malu padaku, aku mengenalmu karena
aku yang merawatmu sejak kecil, hubungan kita seperti ayah
dan anak."
"Paman, aku berterimakasih kepadamu dan juga bibi, kalian
berdua sudah seperti orangtua bagiku, tapi aku tak tahu
perasaanku pada ketua, mungkin aku hanya merasa kasihan."
"Westi, menyinta adalah suatu rasa yang sulit ditebak dan
sulit diduga. Sulit mengetahui apakah kita menyinta seseorang
atau hanya merasa kasihan. Tapi aku cuma mau berpesan
padamu, jika kau merasa yakin menyintai ketua, jangan ragu

dan jangan malu."

0 komentar:

Posting Komentar

 
;