Sabtu, 17 Mei 2014

wisanggeni 20

Tidak bisa menahan sabar lagi, Prawesti menegur dengan
suara tegas. "Di sini ada aturan, siapa pun tetamu yang
bertamu harus menjelaskan asal-usul dan keperluannya, harap
kalian berdua mengikuti aturan."
Ekadasa naik darah. Di keraton Tumapel dia ditakuti dan
dihormati para bawahan. Dia biasa dimanja dan dipuji para
atasan karena kecantikannya. Tidak biasa dia menerima
perlakuan kasar, Ekadasa menyahut ketus, "Kau siapa kok
lagakmu macam nyonya besar, kulihat-lihat kau masih remaja
bau kencur."

"Tamu kurangajar!" Prawesti bergerak cepat, mendadak dia
sudah berada di depan Ekadasa. Tangannya bergerak
menampar mulut Ekadasa.
Ekadasa tidak berdiam diri. Dia berkelit sambil menendang
selangkangan dan meninju wajah Prawesti. Dalam sekejap
dua perempuan ini terlibat pertarungan sengit. Trini dan
Raditin diam di tempat. Salah tingkah, ingin memisah namun
khawatir dikira melakukan pengeroyokan. Keduanya saling
pandang, siap siaga. Berjaga-jaga jika rekannya terancam
bahaya.
Raditin terheran-heran melihat sepak terjang Prawesti. Dia
tak mengira ilmu silat gadis itu setinggi itu. Tetapi begitu
mengingat hubungan Prawesti dengan ketua, dia tidak heran
lagi. "Tentu saja, karena ketua sendiri yang melatihnya
langsung."
Prawesti dengan gesit memainkan jurus-jurus
Garudamukha. Karena kesal maka Prawesti tak segan
memainkan jurus telengas. Serangan gencar ini membuat
Ekadasa terdesak mundur. Meski sudah berupaya keras
meladeni, dua pukulan Prawesti mengena pundak dan lengan
Ekadasa. Ekadasa terpukul mundur dua langkah. Sebelum
serangan Prawesti datang lagi, Ekadasa mencabut pedang dari
pinggangnya. "Aku terbiasa menggunakan pedang, silahkan
kamu ambil senjatamu."
"Menghadapi keledai macam kamu, aku tidak perlu
senjata."
Ekadasa benar-benar marah, disebut keledai. "Kamu cari
mati." Ia menerjang dengan jurus pedang Bianglala. Kilatan
pedang dan suara desir angin membuat Prawesti terkejut.
Gadis Lemah Tulis ini belum punya pengalaman bertempur,
apalagi tangan kosong menghadapi pedang. Pertarungan baru
berlangsung beberapa jurus, Prawesti sudah kedodoran.
Pedang itu seperti punya mata, memburu Prawesti ke mana
dia berkelit.

Suatu saat pedang itu mengincar perut dan dada, Prawesti
nekad menggunakan jurus Manusup (Menyelinap) dan
Gongkrodha (Kemarahan luar biasa). Jurus Prawesti itu akan
menghantam selangkangan dan dada lawan, sementara
pedang lawan akan mengenai perutnya. Prawesti memang
nekad tetapi punya perhitungan, bahwa pada saatnya nanti
dia akan bergerak menyamping sehingga pedang hanya akan
merobek kulitnya. Meskipun demikian, tetap saja resikonya
maut. Kedua perempuan itu terancam maut.
Raditin dan Triniyang berdiri agak jauh, terkesiap.
Keduanya ingin bergerak, tetapi sudah terlambat. Pada saat
kritis itu, mendadak datang angin kencang membuat debu
beterbangan. Terdengar suara jeritan dua perempuan ku.
Seorang lelaki separuh baya muncul, Padeksa. "Jika diteruskan
kalian berdua akan sama terluka, bisa-bisa luka parah."
Padeksa datang tepat pada saat kritis. Ia memukul dengan
tangan kosong menggunakan tenaga dalam yang tinggi. Ia
berhasil mendorong tebasan pedang sekaligus merampas
senjata itu, sedang tangan kirinya mementahkan pukulan
Prawesti. Tentu saja gerakan Padeksa membuat Ekadasa dan
Prawesti terpental beberapa langkah mundur.
Raditin dan Prawesti membungkuk memberi hormat.
Raditin memanggil orangtua itu dengan sebutan guru sedang
Prawesti menyebut kakek. Mendengar itu Trini dan Ekadasa
memastikan orangtua itu pasti tokoh sepuh perdikan.
Keduanya yakin yang datang itu bukanlah Wisang Geni,
karena menurut kabar ketua Lemah Tulis seorang muda
tampan dan berilmu tinggi.
Mau tidak mau Trini dan Ekadasa memberi hormat. Trini
bertutur dengan basa-basi, "Kami tak punya maksud cari
keributan di sini, tetapi salah faham telah terjadi, jadi harap
maafkan adik saya."

Padeksa tertawa. "Nona mau jumpa ketua kami, apakah
nona pernah mengenal ketua kami, dan apa maksud
kedatangan nona?"
"Kami membawa pesan rahasia dari seorang kenalan karib
ketua Lemah Tulis, kami ingin menyampaikan langsung
kepada Ki Wisang Geni, harap bapak bisa membantu
mempertemukan kami dengan beliau."
Padeksa menugaskan Raditin dan Prawesti mengantar dua
tamunya ke bilik penerima tamu Dia sendiri menuju ke bilik
Wisang Geni. Tak lama menunggu, Trini dan Ekadasa melihat
Padeksa datang bersama Geni.
Trini dan Ekadasa hampir tak percaya melihat tampang
Wisang Geni. Lelaki itu tampak muda. Meskipun rambutnya
beruban seluruhnya, tetapi Ekadasa menaksir usia Geni sekitar
tigapuluhan. Padahal menurut permaisuri Waning Hyun, usia
ketua Lemah Tulis sekitar tigapuluh lima. Tubuh Geni yang
tegap dan berotot, wajah yang tampan, kulit tubuh sawo
matang agak gelap membuat jantung Ekadasa berdegup
keras. Perempuan cantik ini berusaha tersenyum semanis
mungkin.
Raditin dan Prawesti masih berada di ruangan itu. Prawesti
memerhatikan gelagat Ekadasa, tanpa sadar gadis ini berbisik
pelan namun bisa didengar Ekadasa. "Huh, tidak punya malu."
Ekadasa merasa wajahnya panas. Marah dan malu. Tetapi
dia tak membalas sindiran itu. Apalagi saat itu Trini memberi
hormat. "Kami berdua utusan keraton Tumapel, aku Trini dan
ini adikku Ekadasa, apakah kami berhadapan dengan Ki
Wisang Geni?"
"Ya, aku Wisang Geni, ada keperluan apa?"
Trini menoleh ke kiri dan kanan, agak ragu-ragu. Geni
merasa geli. "Kau katakan saja apa tujuanmu, semua yang
berada di ruangan ini orang kepercayaanku."

"Kami membawa benda kiriman dari permaisuri keraton
Tumapel, paduka yang mulia Waning Hyun, kata beliau, benda
ini berikan langsung kepada Ki Wisang Geni, nanti tunggu apa
pesan dia untuk aku." Trini merogoh benda dari kantung
bajunya, tetapi mendadak saja benda itu melompat ke tangan
ketua Lemah Tulis.
Trini terkejut. Ekadasa lebih kaget lagi. Dia tahu batas
kepandaian kangmbok-nya, di Tumapel Trini sangat disegani.
Jabatan sebagai orang ketiga di pasukan elit Tumapel tidak
diperoleh begitu saja, tetapi melalui penghargaan atas
kepandaiannya.
Wisang Geni menimang-nimang tusuk konde emas berhias
berlian itu. Dia tertawa. "Aku sudah lupa benda ini, tapi
Waning Hyun belum lupa. Akhirnya datang juga saatnya aku
membayar hutang. Katakan kepada permaisuri junjunganmu,
aku akan datang menemuinya secepat mungkin."
Ekadasa berusaha menarik perhatian Wisang Geni, dia
menyela sebelum Trini. "Kalau boleh bertanya, kapan kira-kira
sampean datang ke istana, supaya kami bisa menjemput di
gerbang, apakah boleh kami meminta benda tadi, akan kami
kembalikan ke istana."
Wisang Geni tertawa. "Tak perlu repot-repot menjemput
aku, aku bisa mengubah diri menjadi burung dan bisa masuk
langsung ke keputren. Dan benda ini akan kusimpan, atau
kalau kalian mau ambil silahkan mengambil dari tanganku."
Trini diam bahkan tegang. Tidak demikian Ekadasa yang
memang berniat berkenalan dan menarik perhatian Wisang
Geni. "Ayo kangmbok, kita ambil."
Ekadasa menyerbu ke depan. Trini yang memang sedikit
penasaran dan agak tidak percaya bahwa Geni yang kelihatan
muda usia itu bisa dijuluki jago nomor satu tanah Jawa ikut
menerjang.

Geni tertawa. Ia memang ingin menguji ilmu Prasidha dan
Penakluk Raja yang baru dipelajarinya. Ia memainkan dengan
rasa gembira, karena memang hanya ingin bersenang-senang.
Geni tidak menggunakan tenaga berlebihan, takut melukai dua
perempuan itu. Tangan kirinya menerima tenaga pukulan
Ekadasa, memutar tubuh dan memegang bokong perempuan
itu, kemudian mendorongnya ke arah Trini. Dua perempuan
itu nyaris bertubrukan.
Ekadasa merah wajahnya, malu karena pantarnya ditepuk
dan diremas. Tetapi diam-diam dia girang, paling tidak dia
tahu lelaki itu punya perhatian padanya. Ia tahu dari bagian
tubuhnya yang selalu menarik perhatian lelaki adalah
wajahnya yang cantik, lingkar pinggangnya yang kecil dan
bokongnya yang semok. "Suatu waktu kamu pasti akan
mencari aku," gumamnya dalam hati
Trini juga serba salah. Maju lagi, tak mungkin, ilmu lelaki
itu jauh di atas kemampuannya. Tidak bisa tidak, suka atau
tidak suka, Trini memaksa senyum dan memberi hormat.
"Terimakasih atas pelajaran ketua, kami mohon diri."
---ooo0dw0ooo---
Tebing karang itu tinggi di atas permukaan air laut. Sekar
duduk termenung. Ia menengadah ke langit menatap awan
putih yang berarak menutupi matahari siang. Jauh di bawah
tampak debur ombak Segoro Kidul yang menghantam kaki
tebing. Sekar sering duduk di situ menyaksikan dan
mempelajari gemuruh ombak.
Sifat dan gerak ombak menjadi inti pelajaran tenaga batin.
Ombak datang dari tengah laut, gelombang di belakang
mendorong yang di depan, bergulung-gulung dan bertumpuk
menghasilkan kekuatan dahsyat yang menghantam tebing
karang seakan hendak melumat dan meruntuhkannya.

Limabelas purnama silam, pertama kali menginjak tebing
curam yang tinggi itu, neneknya membeber inti kekuatan
tenaga dalam. "Kamu akan memiliki tenaga dalam mumpuni,
menyerang seperti terjangan ombak dan gelombang Segoro
Kidul, bertahan bagaikan tebing yang tegar. Kamu lihat tebing
itu, dia tidak goyah meski begitu hebatnya terjangan ombak."
Tanpa terasa Sekar sudah menyelesaikan seluruh
pencerahan ilmu silat neneknya. Tenaga inti Segoro membuat
Sekar salin rupa menjadi seorang pendekar wanita yang
kekuatan tenaga dalamnya sangat mumpuni. Ilmu ringan
tubuh dikuasainya setelah mahir bermain-main di atas ombak
ganas Laut Kidul. Entah sudah berapa banyak air laut yang
tanpa sengaja telah diteguknya ketika berlatih bersama
neneknya. Neneknya memberi nama ilmu ringan tubuh
ciptaannya Wimanasara mengibaratkan gerak secepat panah
sakti. Setelah menguasai dua ilmu itu, barulah si nenek
mewariskan ilmu Sapwa Tanggwa yang terdiri tujuhbelas
jurus. Ilmu itu banyak mengandung perubahan sehingga tidak
mudah dipelajari. Satu jurus dikuasai setelah pendalaman
sekitar duapuluh hari. Uniknya jurus itu tidak berurutan.
Nama-nama jurusnya pun aneh dan unik bahkan tidak sesuai
dengan gerakannya.
Waktu itu, ia sempat protes ketika neneknya mengajarkan
jurus Cumangkrama (Menyetubuhi). Jurus itu indah tetapi
dahsyat dan mematikan sebab tujuannya titik kematian lawan,
hanya namanya yang agak gila. "Nek, mengapa jurus itu
dinamai Cumangkrama, itu kotor dan agak gila, lebih baik
diganti saja Nek."
Nenek Sapu Lidi marah. "Tidak boleh. Itu ada artinya, ada
sejarahnya, tak boleh diganti, sampai kapan pun tak boleh
diganti. Awas kamu, nduk. Semua jurus itu kunamai sesuai
suasana hatiku pada saat menciptakan jurus itu."
Ada jurus lain yang namanya unik Manguswapujeng
lantaran lutut dan belakang lutut Murni sering diciumi sang

suami. Atau jurus Sasabsasab karena suaminya telah mencuri
keperawanan miliknya. Atau Raganararas karena sifat
suaminya yang mudah tertarik pada perempuan cantik.
Sekar merasa ada yang aneh dan tragis dalam hidup
neneknya. Sedikit demi sedikit ia mengorek keterangan dari
mulut neneknya sampai akhirnya ia bisa merangkum cerita
kehidupan sang nenek yang nama aslinya Murni.
Murni seorang gadis lugu dan polos pada usia limabelasan,
cantik dengan tubuh yang molek. Ia terpikat bujuk rajai
seorang pendekar yang dijuluki orang Pendekar Matahari. Usia
lelaki itu tigapuluhan, tampan dan sangat piawai ilmu silatnya.
Keduanya jatuh cinta. Bagi Murni itulah cinta pertama yang
berlangsung abadi sampai di hari tuanya. "Aku tak pernah
mengenal lelaki lain selain dia, suamiku itu," tutur neneknya.
Pendekar Matahari malang melintang di dunia
kependekaran, tak ada tandingan. Murni banyak memperoleh
pencerahan ilmu silat dari suaminya, sampai suatu waktu sang
suami menganjurkannya untuk menciptakan jurus sendiri yang
sesuai dengan perasaan dan pikirannya. Waktu itu ia tak
begitu tertarik nasehat sang suami.
Sebagai pendekar terkenal, lihai dan tampan'udak heran
kalau ia punya banyak isteri. Tetapi ia tak pernah bisa
melupakan Murni. Karena Murni selalu memberi kepuasaan
dan kebanggaan sebagai seorang lelaki. Murni tak pernah
cemburu Ia tahu, banyak gadis lain yang cantik, lebih cantik
yang sanggup melarikan suaminya. Itu sebab ia mempelajari
cara bercinta bermacam cara. Pemikiran ini amat membekas
sehingga tigapuluh tahun kemudian ketika menciptakan ilmu
Sapwa Tanggwa salah satu jurusnya ia namai Harwuda
(Seratus ribu juta).
Hubungan cinta itu berlangsung duapuluh lima tahun.
Mereka tak pernah hidup bersama, namun dalam
pengembaraannya si suami tak pernah bisa berlari jauh dan
selalu pulang ke pelukan Murni. Murni melahirkan sepasang

putra putri. Putranya kawin dengan gadis biasa, melahirkan
Sekar. Putrinya masih perawan remaja ketika hari naas itu
tiba. Tragedi besar menimpa Murni, seluruh keluarganya
terbunuh, hanya Sekar yang lolos dari kematian.
Ia dan suaminya mencari si pembunuh, Sekar yang masih
kecil dan menderita penyakit cacar dititipkan padi Kunti,
adiknya yang berjuluk Dewi Obat. Tragisnya, si pembunuh
ternyata salah seorang selir atau kekasih sang suami.
Pendekar Matahari tanpa ampun membunuh selirnya itu.
Tetapi tragedi membawa akibat panjang. Mungkin kecewa
dengan tewasnya sang putra, Pendekar Matahari menghilang,
tak pernah lagi bisa ditemui.
Murni mencari dan mencari, tetapi tak pernah bisa
menemukan lelaki yang dicintainya itu. Murni juga dilanda
kekecewaan berat, dua anaknya mati, suami tercinta
menghilang. Untuk mengatasi kekecewaan itu Murni
menumpahkan semua perhatian pada penciptaan ilmu silat
Duapuluh tahun kemudian ia berhasil, lahirlah tenaga batin
Segoro, ilmu ringan tubuh Wimanasara dan tujuhbelas jurus
Sapwa Tanggwa.
Suatu malam dalam tidur lelapnya, seseorang membelai
rambut dan mencium lututnya. Ia tahu orang itu adalah
suaminya, tetapi ia tak kuasa bangun. Tubuhnya lemas, tak
bertenaga. Pasti perbuatan sang suami. Ia tak kuasa bicara.
Tetapi ia mendengar semua perkataan suaminya.
Laki-laki itu mengaku, sejak perpisahan itu, ia tak pernah
bercinta dengan wanita lagi. Seluruh waktu ia curahkan untuk
ilmu silat. Ia berpesan kepada Murni agar menyempurnakan
ilmu silat Sekar. Ia juga memberitahu bahwa Sekar telah
menjadi isteri seorang pendekar sejati, Wisang Geni. Ia
menegaskan bahwa cucu mereka, Sekar, tidak salah pilih.
Murni berusaha bergerak, duduk atau berdiri tetapi mana
mampu melawan kepandaian si suami. Murni tak bisa
bergerak, hanya bisa menangis. Dan lelaki itu menghapus

airmata di pipi isterinya, lalu mencium kedua matanya. Ia
berbisik pada isterinya, "Aku bercinta dengan banyak
perempuan, tetapi aku cuma mencintai satu perempuan di
dunia ini, kamu Murni."
Ia pergi begitu saja. Murni tak bisa menahan kepergiannya
karena tak bisa menggerakkan tubuh bahkan jari pun. Murni
kesal dan hampir gila memikirkannya. Tapi malam itu Murni
mengerti, duapuluh lima tahun bercinta dan saling mencinta,
sudah lebih dari cukup. Suaminya sudah memilih hidup untuk
membantu orang lain. Murni harus legowo.
Ia memutuskan melaksanakan pesan si suami. Ia mencari
Sekar di Lembah Cemara, tetapi Sekar dan Dewi Obat sudah
pergi entah ke mana. Ia mendengar adanya pertarungan para
pendekar tanah Jawa lawan jago-jago daratan Cina di bukit
Penanggungan. Ia tiba di bukit pada hari pertarungan. Ia
mengenali Dewi Obat, adiknya. Dari jauh ia memerhatikan
gadis cantik yang berjalan bersama Dewi Obat Ia terperanjat
ketika Dewi Obat memanggil nama gadis itu, Sekar. Dia itu
Sekar, cucunya.
Sepuluh tahun lalu saat ia mengantar cucunya ke Lembah
Cemara, Sekar masih gadis usia delapan tahun dengan wajah
penuh totol hitam, burik. Kini ia melihat seorang gadis dewasa
dengan paras cantik bersih. Tak ada lagi totol dan bercak
hitam. Ia takjub dan kagum menyaksikan sepak terjang
Wisang Geni. Ia gembira dan bahagia melihat besarnya cinta
Wisang Geni terhadap cucunya. Ia membuntuti dari jauh dan
tepat pada saatnya menolong Sekar yang akan diperkosa
Lembu Agra.
Sekar terenyuh mendengar kisah neneknya. Dan ia sangat
terkejut, mengetahui Pendekar Matahari itu adalah Ki
Suryajagad, tokoh misterius yang menjadi legenda hidup
perdikan Lemah Tulis yang ternyata adalah kakeknya. Waktu
itu si nenek senyum menggoda. "Sudah suratan dewata,
bahwa kamu menjadi isteri Wisang Geni, murid Lemah Tulis.

Tetapi lucu juga, suamimu itu suka mencium lututmu, sama
seperti Suryajagad yang selalu terangsang setiap mencium
lututku, aneh ya nduk?"
Sekar terdiam, lalu mendadak ia berteriak dan melompat
memeluk neneknya. Ia malu tetapi merasa geli. Neneknya ini
memang aneh. "Kamu ngawur Nek, kamu ngintip ya Nek?"
Neneknya tertawa geli. Sekar menyembunyikan wajahnya
di leher sang nenek. Ia berbisik. "Kamu ngintip yang di mana,
Nek?"
"Aku lupa, banyak yang kuintip," katanya sambil tawa
cekikan.
Kejadian itu sudah lama berselang, tetapi Sekar masih ingat
akan kenakalan sang nenek. Sekar tertawa sendiri. "Kalau aku
ceritakan pada Geni, bahwa nenek sering ngintip, tidak bisa
kubayangkan bagaimana air mukanya," gumamnya sendiri.
Dalam kesendirian di atas tebing Sekar terbayang wajah
Wisang Geni. Rasa rindu itu datang menyerbu seperti tikaman
sembilu. Sekar mengeluh, betapa ia mencintai lelaki itu. Ia
sungguh rindu. Tetapi ia merasa heran dirinya bisa melalui
perasaan rindu itu selama limabelas purnama lebih.
Pada awalnya, perpisahan dengan suaminya membuat ia
tak bisa tidur. Bayangan Geni tak pernah tanggal dari
ingatannya. Hari-hari berikutnya, rasa rindu itu mulai
berkurang karena neneknya mulai menderanya dengan latihan
silatyang sangat berat, setiap pagi, siang bahkan malam hari.
Tak pernah berhenti. Istirahat bagi Sekar hanya pada waktu
tidur.
Siang itu di tebing Sekar menanti neneknya. Hari ini latihan
dan pembelajaran silat selesai. Tamat! Neneknya menjanjikan
ia boleh turun gunung. Dan ia akan menuju Lembah Cemara
bertemu nenek Kunti. Setelah itu ia akan mencari Geni.
Muncul rasa rindu dan kasmaran akan suaminya. Rindu yang
menggerogoti benaknya, membuatnya hampir gila. Tiba-tiba

terdengar siulan panjang, melengking tajam mengatasi suara
debur ombak dan desir angin laut. Tak lama kemudian, nenek
muncul dari arah laut. Ia memanjat tebing menggunakan sapu
lidi. Gerakannya cepat dan bertenaga, sekejap ia sudah berdiri
di samping Sekar.
Sekar melompat menghambur ke pelukan neneknya.
"Nenekku yang cantik, akhirnya kau datang juga. Aku sudah
hampir mati menunggumu, ke mana kamu pergi selama dua
hari."
"Aku mencari perbekalan untuk satu minggu lagi," sambil
memperlihatkan bungkusan kain di tangannya. "Nduk, aku
tahu akal bulusmu, kalau kamu sudah menyebutku nenek
cantik, itu pasti ada permintaannya."
"Nek, kau membawa bekal untuk satu minggu, buat apa?
Jangan, jangan Nek, aku tak mau lagi tinggal di sini, aku mau
pulang hari ini. Kamu sudah janji. Bahkan seharusnya
duapuluh hari lalu aku sudah boleh pulang, aku sudah tamat
belajar."
Si nenek tidak menjawab malah tawa cekikikan. Sekar
cemberut, mencubit lengan neneknya. "Kamu janji pada
suamiku hanya duabelas purnama, tetapi lihat sekarang ini
sudah limabelas purnama. Lagi pula aku sudah tamat belajar
seluruh ilmu silatmu"
"Belum, belum semua!"
"Nenek, kamu sendiri mengatakan, semua ilmu sudah kamu
wariskan padaku, jangan ingkar janji Nek!"
"Ada satu yang belum kuajarkan padamu, nduk. Dan ini
yang paling penting dari semua ilmu silatku"
"Apa lagi, Nek? Semua kan sudah kauajarkan."
"Sekar, jawab yang jujur, kau rindu suamimu?"

"Tentu saja, aku rindu dan kasmaran memikirkan dia. Aku
takut, dia lupa padaku, khawatir dia tak menginginkan aku
lagi."
Nenek tua itu memandang dengan mimik serius. "Kalau itu
yang terjadi, dia lupa padamu, apa yang kamu lakukan?"
Sekar tertegun. Saat berikutnya ia merunduk. "Aku tak
tahu, lantas menurutmu apa yang harus kulakukan?"
"Justru ini yang akan kuajarkan padamu Pengalamanku
selama duapuluh lima tahun bercinta dengan hanya satu
lelaki, patut kau pelajari. Hal itu akan bermanfaat untukmu,
nduk."
Sekar masih harus menunda keberangkatan satu hari.
Wejangan nenek menyangkut hubungan asmara dan seni
bercinta menjadi bahan pelajaran penting bagi Sekar. Ia
semakin mengerti bahwa seorang perempuan ataukah dia itu
isteri atau kekasih, akan membuat kesalahan besar jika
berusaha menguasai dan menjajah kekasihnya. "Bukan begitu
caranya! Kamu harus bisa melayani suamimu kapan saja dan
di mana saja, tanpa batas. Kamu membuat kekasihmu selalu
membutuhkan kamu, selalu bergantung padamu karena kamu
setiap saat siap membantu dan melayani dia. Kamu ingat
Sekar, jika merebut dan mendapatkan cinta kekasihmu itu
sesuatu yang gampang, maka mempertahankan cinta yang
sudah kamu rebut itu adalah pekerjaan yang teramat tidak
gampang. Tetapi itu bisa dilaksanakan jika kamu berlaku
cerdas, memberii padanya semua apa yang ia sukai, dan yang
ia inginkan."
---ooo0dw0ooo---
Pendekar Tanah Seberang

Desa Bangsal letaknya di tepi kali Brantas. Waktu itu
pertengahan musim hujan. Sejak pagi, desa kecil itu tak
hentinya diguyur hujan gerimis. Siang hari gerimis berhenti.
Mentari mulai terik. Dari arah Timur desa datang
serombongan orang, sebagian menunggang kuda, lainnya di
atas kereta kuda. Seluruhnya limabelas orang. Sebelas di
antaranya para pendatang dari Cina. Empat penunjuk jalan
adalah murid-murid perguruan Brantas yang menguasai
daerah di sepanjang kali Brantas. Di kawasan itu semua
pedagang akan terpeliharakeamanannya jika menyewa murid
Brantas sebagai pengawal dan penunjuk jalan.
Seorang di antara penunjuk jalan memasuki warung makan
yang tidak banyak pengunjung. Tak lama kemudian, dia keluar
dan mengundang makan seluruh rombongan. Salah seorang
yang usianya paling tua berkata dalam bahasa Cina, "Kita
harus hati-hati di sini. Kita sudah mendengar cerita kehebatan
Wisang Geni, tak perlu ragu tentang Wisang Geni tetapi aku
yakin masih banyak lagi pendekar berilmu tinggi di daerah ini."
Pemimpin rombongan itu, Ciu Tan, kakak perguruan dari
Sam Hong, ketua Wuthan yang mati dalam tarung lawan
Wisang Geni di bukit Penanggungan dua tahun silam Usianya
60 tahun, tubuhnya yang jangkung masih tampak segar dan
gempal. Tujuannya ke tanah Jawa ini untuk membalas
dendam kematian Sam Hong. Dia mendengar berita kematian
Sam Hong dari mulut Sin Thong, Pak Beng dan Liong Kam,
waktu itu darahnya bergolak karena marah. Ia kemudian
merencanakan berangkat ke tanah Jawa. Dua tahun ia
melakukan persiapan. Mencari teman, memperdalam ilmu silat
serta mencari ongkos perjalanan.
Tiga pendekar yang pernah terlibat pertarungan lawan
Wisang Geni di hutan Penanggungan, yaitu Sin Thong, Pak
Beng dan Liong Kam serta merta mendaftar diri. Sin Thong
terkenal dengan sepasang golok, Pak Beng dengan jurus

tangan salju, keduanya babak belur dihajar Wisang Geni dua
tahun lalu dalam pertarungan bergengsi di bukit
Penanggungan. Liong Kam bersenjata pedang.
Bersamanya ikut dua pendekar kembar Mok Tang dan Mok
Kong yang berusia limapuluh tahun dan terkenal dengan ilmu
golok bersatupadu. Karuan saja hadirnya dua saudara kembar
ini menambah rasa percaya diri Ciu Tan karena selama ini di
Tiongkck dua pendekar yang dijuluki si Kembar Aneh belum
menemukan tandingan setimpal. Pria yang satunya lagi, Siauw
Tong, sastrawan muda berusia tigapuluh tahun, senjatanya
sepasang pit panjang. Mungkin tidak sehebat enam lelaki
lainnya, namun Siauw Tong tak bisa dianggap remeh karena
otaknya yang cerdas. Dia juga mahir berbahasa Jawa dan
paham budaya Jawa, salah satu sebab mengapa ia diajak ikut
serta.
Ciu Tan mengajak empat pendekar wanita, seorang di
antaranya Sio Lan berusia 20 tahun, putrinya sendiri,
senjatanya pedang tipis. Kim Mei, berusia 30 tahun janda
cantik yang patah hati, julukan Pendekar Wanita Baju Merah,
senjatanya golok dan ilmu tangan kosong Cakar Elang. Li Moy
berusia empatpuluhan, terkenal sebagai Belalang Beracun
mahir ilmu ringan tubuh dan duapuluh Jurus Belalang serta
senjata jarum beracun. Sian Hwa, usia limapuluh tahun,
dijuluki Dewi Pedang Gurun Gobi, jurus pedang Topan Gurun
Gobi-nya sulit dicari tandingan.
Sebelas pendekar Cina ini tidak sama tujuan. Siauw Tong
dan Kim Mei menyukai petualangan. Kedua saudara kembar
Mok Tang, Mok Kong dan Li Moy tujuannya mencari keris sakti
Gandring yang konon bisa membelah batu besar selain
mencari harta kekayaan yang bisa dibawa pulang ke Cina.
Sian Hwa, sudah lama menyembunyikan diri, turun gunung
untuk mencari putrinya yang hilang di tanah Jawa. Pak Beng,
Sin Thong, Liong Kam dan Ciu Tan ingin membalas dendam
kepada Wisang Geni. Tetapi sebenarnya mereka semua diamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
diam memendam niat merebut keris sakti itu. Apa pun
resikonya, bahkan jika harus membentur kawan sendiri.
Karena keris itu terlampau bernilai. Kesaktian keris Gandring
sudah sampai ke daratan Cina, diberitakan para pedagang.
Setelah selesai makan dan menerima bayaran, empat murid
Brantas itu pamit. Tinggallah sebelas pendekar Cina itu
dengan pikiran masing-masing. Ciu Tan memecah kesunyian,
"Dari sini ke Lemah Tulis, arahnya ke Timur, perjalanan
normal memakan waktu sekitar satu hari perjalanan."
Si Kembar Aneh Mok Tang menggeleng kepala. "Aku pikir
kita tidak perlu cepat-cepat menuju Lemah Tulis. Itu
perguruan besar dengan murid yang ratusan jumlahnya, di
sana juga banyak orang pandai, aku rasa itu bukan rencana
yang bagus."
Pak Beng yang pernah dihantam sampai muntah darah oleh
Geni, tidak senang dengan penolakan Mok Tang. "Hei kenapa
kamu berubah pikiran, dari Kuangchou kita semua sepakat
dan satu tujuan mendatangi Lemah Tulis menantang Wisang
Geni dan menaklukkan semua jagoan di negeri ini, kenapa
sekarang kau menolak, apa kau takut?"
Mok Kong naik darah mendengar saudaranya dimaki
penakut. "Kurangajar, kalau kamu si kura-kura saja tidak
takut, tentu saja kami lebih tidak takut lagi"
Ciu Tan menengahi Selain berilmu tinggi, mungkin paling
lihai di antara mereka, Ciu Tan juga disegani karena usianya
yang tua. Dia juga kakak seperguruan dari ketua partai
Wuthang yang kesohor di daratan Cina. "Coba kita dengar apa
kata adik Siauw," katanya sambil menunjuk Siauw Tong.
"Aku pikir lebih baik kita bersabar dulu. Jika kita ke Lemah
Tulis sekarang, maka kita berada di tempat terang. Wisang
Geni dan semua orang Lemah Tulis akan tahu maksud kita.
Padahal sekarang ini kita berada di tempat gelap, tidak ada
yang tahu siapa kita dan apa maksud kedatangan kita. Jadi

aku pikir lebih bagus jika kita tetap mempertahankan posisi di
tempat gelap saja."
Ciu Tan menghela napas. "Aku setuju, baiklah sementara
kita menunggu kesempatan dan mencari berita, kita sepakat
untuk menetap di desa ini, pura-pura sebagai pedagang. Kita
sewa rumah yang besar, mulai berjualan pakaian dan alat
rumah-tangga. Kita bergaul dengan masyarakat setempat,
bagi kalian yang hendak bepergian, boleh-boleh saja, tapi
harap diingat markas tempat kumpul kita adalah di desa ini."
Siang itu hujan deras membasahi hutan di batas desa
Bangsal. Tiga penunggang kuda melewati hutan. Mereka
murid Lemah Tulis, Gajah Lengar disertai suami isteri
Prastawana dan Dyah Mekar.
Tampak mereka bergegas ingin cepat sampai di desa.
Tetapi setiba di batas desa mereka dihadang tiga perempuan.
Tiga perempuan itu berdiri di bawah siraman hujan,
pakaian mereka basah kuyup menempel ketat di tubuhnya.
Mereka murid lembah Bunga yaitu Kemara, Dumilah dan
Manohara "Kalian pasti orang orang Lemah Tulis!" Suara
Kemara ketus.
Prastawana sebagai yang paling tua menjawab sopan tetapi
tak memperlihatkan rasa takut. "Benar, kami dari Lemah Tulis,
apa sebab kalian menghadang perjalanan kami, dan siapa
kalian?"
Kemara dan dua temannya langsung menerjang. "Kalau
begitu kalian harus mati."
Prastawana dan dua rekannya melompat dari kuda. Dyah
Mekar mencabut kerisnya. Sejak awal dia sudah curiga.
Sekarang melihat tiga perempuan binal itu menerjang dengan
ganas, ia yakin tiga perempuan inilah orang yang mereka cari.
"Apakah kalian bertiga yang kemarin membunuh empat murid
Lemah Tulis?"

"Benar. Kami yang membunuh mereka. Dan kami akan
membunuh kalian bertiga dan juga semua murid Lemah Tulis.
Bersiaplah untuk pergi ke neraka." Dumilah menerjang maju
yang langsung disambut Gajah Lengar.
Prastawana menyambut serangan Kemara. Dia yakin
Kemara adalah pemimpin dari tiga perempuan itu. Dyah Mekar
dengan keris terhunus menyambut serangan Manohara.
Dalam sekejap terjadi pertarungan sengit, tiga lawan tiga.
Jurus Garudamukha adu kebolehan lawan jurus dari Lembah
Bunga.
Prastawana, murid mendiang Ki Branjangan yang kini
dilatih langsung oleh Wisang Geni sudah menguasai
Garudamukha Prasidha. Dalam tiga gebrakan tenaga dalam,
dia mendesak Kemara "Kalian siapa, mengapa memusuhi
Lemah Tulis?"
"Jangan banyak omong, rasakan jurus Lembah Bunga ini,"
teriak Kemara sambil menggelontorkan serangan jurus
mautnya Grahaprawesa (Buaya menyerang), Pangrahata (Cara
mendapat jasa) dari ilmu Ghandarwapati. Serangan ini
mendatangkan angin keras. Namun yang lebih mengagetkan
Prastawana, angin itu berbau busuk.
Prastawana melihat dua temannya juga diserang dengan
jurus serupa dari Ghandarwapati. Dia berseru kepada dua
temannya "Awas, bau busuk itu beracun, gunakan
Sanakanilamatra dan Prasadha Atishasha."
Meskipun belum menguasai seratus persen, namun dua
jurus Sanakanilamatra (Sebesar angin terkecil) dan Prasadha
Atishasha (Menara sangat tinggi) sangat ampuh. Dua jurus
dari Prasidha itu membelah angin berbau busuk dan
mengembalikan hawa beracun itu kepada pemiliknya.
Pertarungan berlanjut. Prastawana di atas angin. Gajah Lengar
dan Dyah Mekar juga bisa mengatasi dua lawannya meskipun
tidak terlalu unggul.

Setelah berlangsung hampir limapuluh jurus Prastawana
berhasil melukai Kemara di bagian pundak dan lengan. Dyah
Mekar menusuk lengan Manohara dan tendangan Gajah
Lengar melukai paha Dumila. Perlahan tetapi pasti tiga murid
Lembah Bunga itu makin terdesak dan terancam. Mendadak
saja terdengar tertawa nyaring dan bergelombang. Suara
perempuan. Situasi segera berubah. Dumila yang kakinya
terluka, Manohara yang sebelah tangan terluka dan Kemara
yang luka dalam, mendadak menjadi bersemangat, berseru,
"Guru!"
Yang datang memang guruketiga perempuan itu,
Kalandara, ketua Lembah Bunga. Tertawa yang disertai
pengerahan tenaga dalam dahsyat Tawa Sembilan Bunga
sangat ampuh, langsung membuat Prastawana dan dua
adiknya terdesak hebat.
Saat itu pertarungan sudah masuk ke batas desa, banyak
orang datang nonton. Di antaranya adalah Ciu Tan, Pak Beng
dan si kembar aneh Mok bersaudara. Hebatnya tawa
Kalandara tidak mempengaruhi penonton, karena memang
hanya ditujukan kepada tiga murid Lemah Tulis. Sesaat
setelah terdengarnya tawa khas, Kalandara muncul di
belakang tiga muridnya. Suara tawa berhenti, pendekar wanita
itu mengenakan pakaian merah, kontras dengan kulit
tubuhnya yang putih. Gaya dan lagaknya yang genit membuat
penampilannya tampak semakin sej^.
"Kamu tiga bekicot Lemah Tulis, main curang. Itu sebab
tiga muridku terdesak. Sekarang kalian harus menerima
hukuman dari aku si Penguasa Kegelapan Lembah Bunga.
Bersiaplah."
Prastawana bersikap jantan, dia berada di depan. Istri dan
adiknya berjajar setengah meter di belakangnya. Ketiganya
merobek ujung baju, membasahi dengan ludah dan
menyumpal telinga.

Prastawana menjawab tegas. Tidak ada rasa takut dalam
getar suaranya. "Ilmu Lemah Tulis datang dari aliran bersih,
tidak ada yang main curang. Jika kamu tidak datang, aku
pastikan tiga muridmu ini bakal mati."
"Kalian yang akan mati," berkata demikian Kalandara
menyerang sengit. Gerakannya lincah bagai pegas.
Serangannya ganas. Cengkraman dan cakarnya menebarkan
bau busuk. Lebih busuk ketimbang yang dimainkan tiga
muridnya.
Keadaan sekarang berubah. Tiga muridnya mengundurkan
diri, ganti Kalandara yang menghadapi tiga murid Lemah Tulis.
Sepak terjang ketua Lembah Bunga lincah dan ganas. Semua
jurusnya mengandung hawa kematian. Setelah duapuluh jurus
tampak Prastawana dan dua adiknya terdesak hebat.
Kalandara sendiri tak menyangka ketangguhan Prastawana.
Dia belum juga bisa melukai tiga lawannya itu. Saking
marahnya perempuan ini mengeluarkan Tawa Sembilan Bunga
dengan kekuatan tenaga penuh. Dia ingin secepatnya
membunuh tiga lawannya.
Pertarungan semakin sengit. Tawa khas Sembilan Bunga
semakin keras, membuat Gajah Lengar dan Dyah Mekar yang
tenaga dalamnya tidak setangguh Prastawana, menjadi
limbung. Meski sudah menyumpal telinga, tetap saja daya
magis Tawa Sembilan Bunga Kalandara merasuk ke dalam
pikiran dan mengguncang tenaga batin Gajah Lengar dan
Dyah Mekar.
Tawa itu disalurkan dengan tenaga dalam tingkat tinggi,
mendayu dan merangsang birahi lawan. Sampai saat di mana
lawan sudah terpengaruh, tahap berikutnya darah
merangsang otak, kemudian darah merembes keluar dari
tujuh lubang di tubuh manusia, tubuh kejang dan akhirnya
mati..
Melihat istri dan adiknya limbung dan kacau, Prastawana
berlaku nekad. Dia bertekad menjadi tumbal, biar dia mati

asalkan istri dan adiknya bisa lolos. Dia memusatkan pikiran
dan tenaga batin lalu menggelar jurus Agniwisa (Bisa api) dan
Sikhwiriya (Cintaku adanya) dari Prasidha digabung dengan
Shuhdrawa (Hancur luluh) dari Garudamukha. Bentrokan itu
akan makan korban. Kalandara bisa terluka, sebaliknya
Prastawana bisa mati
Pada saat kritis bagi murid Lemah Tulis itu, terdengar suara
lengking seperti teriakan seekor kera yang marah. Lengking
itu begitu keras dan berbobot sehingga menggentarkan semua
orang yang mendengarnya. Suara lengking itu belum juga
reda, terasa angin topan melanda arena pertarungan.
Kalandara berteriak marah, "Binatang dari mana berani ikut
campur, sampean mau cari mati!"
Tiga murid Lemah Tulis bangkit semangatnya. Pengaruh
Tawa Sembilan Bunga lenyap begitu saja. Terusir oleh tawa
kera marah Prastawana terdesak angin keras dan mundur lima
langkah. Gajah Lengar dan Dyah Mekar berlindung di balik
tubuh Prastawana. "Ketua datang, syukurlah."
Tiga murid Lembah Bunga tadinya berniat menyerang
Prastawana, tetapi menjadi batal. Mereka melihat Kalandara
diserang bayangan seseorang yang bergerak pesat, sangat
pesat. Bayangan itu, tak lain Wisang Geni.
"Ya, akulah binatang itu, tapi binatang raksasa yang akan
memangsa kamu, nenek tua genit." Wisang Geni melanjutkan
lengking kera dan merangsek Kalandara dengan jurus-jurus
dahsyat dari Penakluk Raja. Perempuan itu terdesak hebat.
Melihat gurunya terdesak, tiga muridnya turun tangan
membantu.
Geni dikeroyok empat, malah timbul rasa gembira.
Bermrutan dia memainkan jurus Harta (Gembira), Syura
(Berani), Prabhawa (Kekuasaan) dan Raga (Nafsu berahi).
Kalandara kelabakan menangkis, dia seperti menangkis
angin. Tenaganya seperti lenyap begitu saja ditelan Geni. Dia

terkesiap, "Ilmu apa ini?" bisiknya dalam hati. Dia lebih heran
lagi, ketika tiga muridnya saling serang, bahkan pukulan
Kemara nyaris menghantam dirinya.
Kalandara berteriak, "Ilmu iblis!"
Ciu Tian bergumam kepada Mok Bersaudara dan Pak Beng,
"Itu jurus memindahkan tenaga lawan, mirip-mirip Si-nio-pocian-
kin (Empat tail menghantam seribu kati) tetapi tenaga
dalam yang digunakan sangat lihai. Siapa orang ini, jelas dia
pendekar kosen."
Geni menghentikan lengking kera, namun tetap menyerang
dan mengacaukan pikiran lawan dengan Jurus Penakluk Raja
yang digelar dengan tenaga dahsyat Wiwaha. Empat lawan itu
seperti terkurung dalam lingkaran tenaga yang tak berwujud.
Tetapi Kalandara dan tiga muridnya tak mudah ditaklukkan.
Pertarungan sudah berlangsung limapuluh jurus. Geni tetap
berada di atas angin. Namun belum juga bisa merobohkan
lawan.
Suatu ketika Geni melihat kesempatan, serangan Kemara
dia alihkan ke Dumilah dan serangan Kalandara diteruskan ke
Manohara. Keempat perempuan itu berseru kaget. Tenaga
pukulan Kemara dan Dumilah saling benturan. Pukulan
Kalandara yang disertai hawa amarah dan tenaga
berlipatganda tertuju ke Manohara. Kalandara kaget, muridnya
bisa luka parah balikan bisa mati. Ketua Lembah Bunga
mengubah jurusnya, melakukan putaran dan memukul
selangkangan Geni. Jurus Mahhairawa (Mengerikan) ini indah
tapi sangat ganas apalagi dikerahkan dengan pengaruh sihir
dan hawa beracun.
Geni teramani. Geni dengan berani dan gembira
melancarkan jurus Sumujugtundagatha (Menukik ke bawah)
dari Prasidha. Tangan kiri menarik Manohara, memutar tubuh
lawannya, tangan kanan memegang bokong lawan, merobek
pakaian di bagian itu sambil mendorong ke arah Kalandara.
Sang guru kaget, tak mau mencelakai muridnya, Kalandara

merunduk dan merangkul tubuh Manohara. Luar biasa.
Pertarungan terhenti
Muka Manohara yang cantik merah padam saking malu dan
marah. Pakaiannya robek, bokongnya dielus dan diremas
Geni, ini hinaan luar biasa. Tidak seperti saudara
perguruannya yang tampak genit, Manohara kelihatan masih
lugu. Ia menangis, namun melotot menatap Geni. Kemara dan
Dumilah terseok-seok menghampiri gurunya, keduanya luka
dalam. Kalandara terdiam. Dia kalah total. Belum pernah
seumur hidup dia mengalami hari naas seperti ini. "Kamu
siapa, apa hubunganmu dengan Lemah Tulis?"
Geni tertawa, dia puas mempermainkan empat lawannya ini
Dari ilmu silatnya dia tahu nenek genit itu adik perguruan
Kalayawana. "Ya, aku Wisang Geni, ketua Lemah Tulis,
kenapa kamu mau mencelakai murid perguruanku?"
Manohara terkesiap, 'Diakah Wisang Geni? Tampan, jantan
dan lihai." Tiba-tiba wajahnya memerah saking malu, dia takut
pikirannya dibaca orang, tangannya tetap di belakang
menutupi bokongnya.
Kalandara, Kemara dan Dumilah pun tak pernah
menyangka Wisang Geni begitu lihai. Tadinya mereka pikir
sanggup menandingi bahkan menaklukkan ketua Lemah Tulis.
Tetapi kenyataan yang ditemuinya hari ini, sangat di luar
dugaan.
Dyah Mekar menyela, "Ketua, mereka sudah membunuh
empat murid perguruan kita." Geni memandang Mekar
kemudian beralih ke Kalandara. "Seharusnya aku bertindak
lebih kejam."
Kalandara bersiap. "Hutang nyawa kakakku harus dibalas,
akan kutagih dan membunuh setiap murid Lemah Tulis."
"Kematian Kalayawana di tanganku terjadi dalam
pertarungan kependekaran yang resmi. Tapi kalau kau mau
perang, aku bersedia, mulai sekarang untuk setiap murid

Lemah Tulis yang kau bunuh, aku akan menagihnya langsung
kepada kalian berempat." Geni menuding Manohara. "Kalau
tadi aku hanya meremas bokongmu, lain kali aku akan
menelanjangi kamu dan saudaramu, aku akan
mempermalukan kalian di depan umum"
Kalandara diam Tiga muridnya pucat. Mereka yakin lelaki ini
sanggup dan tega berbuat apa yang dia katakan. Jikalau
kejadian seperti itu maka lebih baik bunuh diri daripada
menanggung malu.
Mereka berempat bingung, tak tahu harus berbuat apa.
Mau melanjutkan tarung, jelas ilmu Geni lebih unggul. Kabur,
akan menjadi cemooh orang. Kalandara akhirnya memutuskan
pergi, kembali ke Lembah Bunga. "Suatu saat aku akan tebus
kekalahan ini, tunggulah." Tetapi dalam hati dia tidak yakin
bisa mengalahkan Geni meskipun berlatih lima tahun lagi.
Wisang Geni menoleh dan menggamit Prastawana dan dua
adiknya. "Kalian kembali ke perdikan, katakan kepada kakek
Padeksa dan Gajah Watu agar selalu bersiap-siap, musuh
sudah semakin mendekat."
Prastawana dan dua adiknya masih takjub dan terpesona
menyaksikan sepak terjang sang ketua. Mereka takjub
bercampur geli. Takjub akan ilmu silat ketuanya yang dahsyat
tak terukur tingginya. Tadi ketuanya bisa saja membunuh
Manohara, namun hanya meremas bokong dan merobek
pakaian di bagian bokong.
Mekar, istri Prastawana tertawa geli. "Ketua, aku jamin,
empat perempuan itu tak akan berani membunuh saudarasaudara
kita lagi, iya kalau cuma diremas bokongnya, tetapi
kalau ditelanjangi, wuah bisa bunuh diri saking malunya."
Prastawana dan Gajah Lengar menahan tertawa. Cara
ketuanya mengalahkan empat perempuan itu menimbulkan
rasa geli. Prastawana memberi hormat. "Ketua, terimakasih

telah datang menyelamatkan kami tetapi bagaimana ketua
bisa sampai di sini?"
"Aku kebetulan sedang keluar jalan-jalan." Geni membalik
tubuh, Kalandara dan tiga muridnya sudah pergi tanpa pamit.
Prastawana dan dua adiknya langsung menuju Lemah Tulis.
Geni berjalan menjauhi desa. Tadi dia secara kebetulan
melewati desa Bangsal dalam perjalanan rahasia menuju
istana Tumapel menjumpai permaisuri Waning Hyun.
Di tengah kerumunan penonton, Ciu Tan, Pak Beng dan
saudara kembar Mok memandang Wisang Geni. "Dia Wisang
Geni," kata Pak Beng. "Tapi heran, ilmunya maju pesat, dia
makin lihai."
---ooo0dw0ooo---
Dari desa Bangsal menuju keraton Tumapel bisa enam hari
perjalanan biasa. Pada hari keempat, Geni tiba di hutan di
batas desa Dayu Hari mulai senja. Geni melihat sebuah rumah
tua. Mendadak saja telinganya yang sangat peka mendengar
suara perempuan memaki-maki. Datangnya dari rumah reyot
itu.
Geni mendekat. Terdengar suara lelaki. "Dimas, aku sudah
nggak sabar, aku milih si baju hitam, kulitnya putih singkong,
tubuhnya montok. Kamu yang lain saja!"
Temannya menjawab dengan tertawa kecil. "Kangmas, aku
juga mau yang baju hitam. Sebaiknya kita undi saja,
pemenangnya boleh menikmati si baju hitam, setuju atau
tidak?"
Geni mengintip dari sela-sela dinding bambu. Dua lelaki
berewokan dan berambut gondrong. Di lantai tergeletak dua
perempuan berbaju hijau, di kursi reyot perempuan baju
hitam terduduk lemas. Tiga perempuan itu seperti tak
bertenaga, Geni yakin dua lelaki itu bekerja menggunakan

obat bius. Mereka jelas akan memerkosanya. Geni tak bisa
membiarkan hal ini.
Geni menerobos masuk. Dua lelaki itu terkejut. "Siapa
kamu, kurangajar, berani mengganggu, aku hajar kamu!"
Si berewokyang bertubuh gemuk, menampar kepala Geni.
Melihat gerakan yang pelan dan tak bertenaga, Geni tak
berani memandang enteng. Dia menyambut dengan Bahni
Anempuh Toya (Api menyerang air) salah satu jurus Bang
Bang Alum Alum. Terdengar suara tulang patah. Tangan si
berewok patah di dua tempat, tulang dadanya patah,
nyawanya melayang. Kawannya terkejut, dia menjatuhkan diri
berlutut. "Ampun tuan pendekar, aku menyerah kalah, ampun,
ampun, kau boleh ambil tiga perempuan ini, tetapi tolong
ampuni aku"
Sesaat kemudian Geni sadar, dua lelaki itu tak
punyakepandaian. Serangan tadi bukan ilmu yang aneh, tetapi
benar-benar tamparan orang biasa yang hanya belajar sedikit
jurus berkelahi. Geni kesal dan menghantam lelaki itu hingga
pingsan. Dia menoleh ke dua perempuan baju hijau. Keduanya
masih muda dan cantik. Tampak dari wajahnya mereka bukan
orang Jawa. Orang asing. Pakaian dua gadis itu robek di
beberapa tempat memperlihatkan kulit tubuh yang kuning
sawo. Ketika menoleh ke perempuan baju hitam, Geni
terkesiap. Dua gadis berbaju hijau itu cantik, tetapi yang baju
hitam ini jauh lebih cantik.
Perempuan itu sangat cantik, rambutnya panjang riapriapan.
Tubuh bagian atas telanjang, ditelanjangi penjahat itu,
tampak buah dadanya yang montok. Kulit tubuhnya putih
macam singkong yang dikupas. Geni sangat terpesona. Belum
pernah ia bertemu perempuan secantik gadis itu. Geni
menatap sepasang mata indah yang melotot memandangnya.
"Hei kurangajar, kamu lihat apa?"

Geni terkejut dengan teguran itu, lalu menjawab
sekenanya. "Aku memandang kecantikan seorang dewi, kamu
sungguh cantik."
"Kurangajar, jangan memandang aku, cepat tutupi
tubuhku."
"Loh kamu kau orang asing, lapi kenapa bisa bahasa Jawa."
"Hei, aku bilang, cepai lutupi tubuhku, jangan kamu
pandang terus, kamu kurangajar, lelaki tak punya malu."
Geni mendekati wanita itu. Dia menatap. Kecantikan itu
lebih jelas lagi. Wajah cantik dan tubuh yang montok. Benarbenar
sangat cantik. Saking terpesona Geni lupa segalanya, ia
memandang wajah dan dada wanita asing itu. "Bagaimana
mungkin ada perempuan secantik kamu di bumi ini." Ia
menatap mata gadis itu.
Sepasang mata gadis itu melotot, marah namun ada rasa
takut. Suaranya gemetar ketakutan, "Kamu mau apa?"
Geni tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. "Kamu
cantik, sangat cantik." Tangan Geni menjulur ke wajahnya,
gadis itu menutup mata. Bibirnya bergerak, "Jangan lakukan
itu, jangan sentuh aku, jangan lakukan perbuatan terkutuk itu,
lebih baik kau bunuh aku."
Geni memegang rambutnya yang panjang, menggerainya
menutup dada si gadis. Wanita itu membuka mata.
Sepasang mata saling menatap. "Apa yang kau lakukan?"
"Aku menutup dadamu, supaya tidak dilihat orang, eh
supaya aku tidak memandang terus-terusan."
Gadis itu berusaha berkata ramah. "Di pojokan itu ada
bungkusan, ambil selembar kain dan tutupi tubuhku. Cepat
ambilkan, kalau kau main-main, kubunuh kamu"
Geni mengikuti isyarat lemah si wanita. Dia melangkah ke
sudut, membuka bungkusan dan menarik selembar kain lebar

semacam selendang panjang. Geni menutup tubuh wanita itu.
Dia kemudian melangkah keluar. Terdengar suara wanita itu.
"Hei kamu jangan pergi, tolong bebaskan aku."
Geni berhenti. "Kamu harus belajar sopan, nona cantik.
Kamu beruntung aku kebetulan lewat di sini dan menolong
kamu Jika tidak, pasti mereka sudah memerkosamu Kamu
juga beruntung, lelaki itu adalah aku, jika orang lain malah dia
akan memerkosa kamu. Kamu cantik dan menggairahkan,
kamu juga tak berdaya, tentu saja dia akan memerkosamu.
Jadi kamu beruntung dua kali, aku datang menolong kamu
mencegah dua perampok memerkosa kamu, dan yang kedua,
aku tidak akan memerkosa kamu, lalu bukannya
berterimakasih malahan kamu memaki-maki aku?"
Perempuan berbaju hijau berusaha bangkit namun sia-sia.
"Tuan pendekar, maafkan nona majikanku, dia panik, maafkan
dia, maukah tuan pendekar menolong kami?"
"Baik aku akan menolong majikanmu." Ketika Geni
memegang lengannya, selendang itu melorot. Mau tak mau
mata Geni menatap payudara indah itu.
"Hei, kau sengaja ya? Jangan lihat saja, tutupi tubuhku."
Geni memperbaki letak selendang. Ia memegang lagi
lengannya, meraba nadinya, terasa kulitnya halus dan kenyal.
Geni tersenyum, hanya obat bius kelas rendah. Korban hanya
kehilangan tenaga untuk sementara waktu. Setelah satu hari,
bius itu akan lenyap dan tenaga korban pulih dengan
sendirinya.
Geni bersandiwara. Wajahnya serius.
Gadis cantik itu bertanya, "Racun apa itu?"
"Kalian semua mahir berbahasa Jawa, belajar di mana?"
Gadis baju hitam tak sabar. "Aku belajar di negeriku, di
daerah Himalaya, aku mau tahu racun apa itu? Apakah kau
bisa menyembuhkan aku?"

"Aku bisa menyembuhkan, tapi sulit."
"Sulit? Bagaimana sulitnya?"
Geni berbisik, mulutnya hampir menempel di telinganya.
Harum rambut menggelitik hidungnya. Timbul humor
nakalnya. "Aku akan menolongmu dengan tenaga dalam,
tetapi satu-satunya jalan harus melalui mulut, artinya dari
mulut ke mulut."
"Gila! Mana ada pengobatan macam itu, kau main-main,
kubunuh kau nanti, kucincang kamu"
Geni melangkah menjauh. "Sudah kukatakan sulit, ya itu
sulitnya, kalau kamu marah-marah bahkan mau membunuhku,
ya lebih baik aku pergi saja, nanti kalau ada lelaki jahat masuk
kemari dan dia memerkosamu, aku tidak tanggungjawab." Ia
sudah hampir sampai di pintu, terdengar suara gadis baju
hitam "Hei, kemari kamu, tolong sembuhkan aku."
Geni mendekat. Dalam hati dia tertawa. Tetapi dia tampak
serius ketika menatap mata si baju hitam. Mata itu indah,
warnanya kecoklatan. "Namamu siapa?"
Dua pasang mata saling tatap. Mata si baju hitam berkedip,
dia tampak gugup dan malu. "Namaku Gayatri. Dua gadis itu,
Urmila dan Shamita."
"Jadi kamu bersedia kutolong, dengan cara lewat mulut?"
Gadis itu diam membisu. Matanya melotot. "Tidak bisa
pakai cara lain, cuma itu caranya, jika kamu tidak mau, ya aku
pergi saja."
Gadis itu berkata perlahan, "Ya aku bersedia, cepat tolong
aku." Dalam hati ia berpikir, ”begitu sembuh akan kubunuh
lelaki kurang ajar ini, enak saja mempermainkan aku."
Geni memegang kepala Gayatri dan menciumnya. Mulut itu
terkatup erat. Geni merenggang. Dia menepuk pipi si gadis.

"Kalau kau tidak membuka mulutmu, aku tak bisa
menolongmu"
Gayatri berbisik, "Awas jika kau main-main."
Geni tak menjawab, tangannya memegang dagu si gadis,
lalu mencium mulutnya. Geni memeluk, tubuh gadis itu
terangkat dari kursi. Tangannya melingkar di punggung
telanjang si gadis. Tanpa diminta lagi Gayatri membuka mulut.
Mulurnya wangi. Geni merasakan bibir yang hangat dan
basah. Lama. Ciuman yang panjang. Gayatri mulai bereaksi,
tubuhnya gemetar. Geni memeluk makin erat, dadanya
menghimpit buah dada si gadis, sebelah tangan melingkar
menahan bobot tubuh, sebelah lain menempel punggungnya.
Sambil terus mencium, Geni menyalurkan tenaga Wiwaha.
Gayatri merasa hawa panas dan dingin menerobos
punggung, berputar di perut dan dadanya. Ia tahu laki-laki itu
memiliki tenaga dalam tinggi. Ia tahu lelaki itu
membohonginya, ciuman itu hanya akal-akalan belaka.
"Kurangajar, ia kan bisa menolong dengan tangan menempel
di punggungku." Katanya dalam hati, namun tak dipungkirinya
adanya kenikmatan yang ia rasakan saat berciuman. Tanpa
sadar ia membalas, ia mulai dirangsang birahi.
Geni merasakan hal yang sama, kenikmatan tersendiri. Ia
merasa rangsangan birahi merambah ke seluruh tubuh. Tapi ia
berhasil mengendalikan diri. Ia melepas rangkulan dan
ciumannya. Gayatri menolak tubuh Geni. Lelaki itu mundur,
menjauh. Dua pasang mata saling tatap. Wajah Gayatri
memerah, malu. Ia duduk semedi. Tenaga dalam yang
disalurkan Geni tadi telah membangkitkan tenaga dalamnya
sendiri. Dalam seminuman teh, tenaga dalam Gayatri telah
pulih sebagaimana sediakala. Dia melompat berdiri. Sambil
membenahi pakaiannya, sepasang matanya yang coklat
melotot menatap Geni. "Sebutkan namamu, sebelum
kurampas nyawamu"

Geni tersenyum nakal. "Kau mau membunuhku, aku tak
bersalah, malah aku sudah menolongmu, kenapa mau
membunuhku?"
Dua nona baju hijau berseru dalam bahasa India. Geni,
meski tidak mengerti namun bisa menebak Urmila dan
Shamita mohon Gayatri menolong mereka lebih dahulu. Tetapi
si majikan menolak.
"Kenapa aku mau membunuhmu? Kau telah membuat dua
dosa, memandangi tubuhku yang paling rahasia, belum
pernah ada lelaki yang melihat dadaku. Dosa nomor dua kamu
menciumku. Aku belum pernah dicum orang, kamu sudah
kelewat batas." Pipinya merah karena malu. Ia berhenti,
matanya yang indah itu berkedip gugup menatap Geni.
"Sebenarnya aku harus berterimakasih kau telah menolongku,
tetapi kamu telah menodai kehormatanku, mempermalukan
aku."
"Baik, kamu benar, aku salah, silahkan ambil nyawaku,
Gayatri."
Gayatri melancarkan pukulan ke dada Geni, ia
menggunakan separuh tenaga. Entah mengapa rasanya ia
enggan melukai lelaki itu. Sesungguhnya ia hanya ingin
memberi pelajaran pahit kepada Geni. Pukulan itu menerpa
dada Geni yang terlempar beberapa langkah. Geni tahu persis
pukulan itu tidak membahayakan dan melihat dari wajahnya
dia yakin Gayatri tidak berniat membunuh. Lagipula dia
percaya tenaga Wiwaha bisa mengatasinya. Itu sebab dia
menerima pukulan si gadis tanpa mengelak atau membalas.
Gayatri terkejut. Ia heran mengapa pukulannya bisa
mengena, mengapa Geni tidak mengelak. Gayatri melihat Geni
bangkit, berdiri dengan senyum menggoda. "Rupanya kamu
tidak sungguh-sungguh hendak mencabut nyawaku,
terimakasih Gayatri."

Sesaat kemudian Gayatri sadar lelaki itu sedang
mempermainkannya. Gayatri marah. "Kau kurangajar, kamu
mempermainkan aku."
Kali ini Gayatri menyerang dengan jurus ganas. Dia tahu,
Geni pendekar berilmu tinggi. Tahu bahwa gadis itu marah,
Geni kini tak berani main-main, dia tak mau celaka.
Pertarungan tangan kosong di dalam rumah tua makin lama
makin seru Dinding dan tiang rumah tua itu patah kena
hantaman tenaga dua pendekar itu. Rumah akan roboh.
Gayatri berteriak, "Tunggu dulu, kamu jangan lari, awas
kalau kamu lari."
Sambil berteriak ke arah Geni, Gayatri melepas ikat
pinggangnya, menyabet ke arah dua anak buahnya. Dia
memegang bagian tengah tali, dua ujung tali itu melilit tubuh
kedua gadis baju hijau, menarik mereka keluar dari
reruntuhan rumah. Saat yang sama rumah itu roboh. Gayatri
kemudian menotok punggung dua anak buahnya itu. Dia mulai
menolong, menyalurkan sebagian tenaga dalam.
Seminuman teh dia menolong anak buahnya. Masingmasing
tangannya menempel di punggung anak buahnya.
Setelah merasa cukup, ia berdiri, matanya mencari-cari Geni.
Tetapi lelaki itu tak kelihatan. "Hei kemana kamu pengecut,
jangan lari kalau memang jantan." Gayatri membanting
kakinya, kesal.
"Aku di sini, kau melarang aku lari, jadi aku tidak lari, aku
menunggumu disini, aku tidak akan lari meninggalkan
perempuan yang cantik macam kamu"
Gayatri menoleh ke arah suara. Dia melihat Geni duduk di
atas dahan pohon.
Geni menggapai dengan tangan. "Hai, sudah kau
sembuhkan mereka?"

Gayatri marah. Dia menyerang dengan senjata tali tipis.
Ujung tali itu terikat sebuah bor dari logam baja. Bor
berbentuk kerucut itukecil, tapi tampaknya tajam sekali,
mengkilap ditimpa cahaya senja. Bor itu berputar
mengeluarkan suara desis. Tali bergerak seperti ular. Tali juga
bersifat pegas, bisa ditarik dan diulur. Geni hampir tidak bisa
melihat tali itu saking tipisnya. Dia hanya merasa getaran
udara mendekati tubuhnja K ali ini tak berani main-main.
Ancaman senjata itu sangat serius. Geni bergerak dengan
ringan tubuh Waringin Sungsang melompat dari pohon.
Gerakannya cukup cepat, tetapi bor itu mengikutinya seperti
bayangan.
Geni teringat perempuan India bernama Malini yang pernah
dia kalahkan dua tahun lalu. Malini juga bersenjatakan bor
yang disebutnya bor maut karena setiap menyerang selalu
mengambil nyawakorban. Tapi ukuran bor Malini lebih besar.
Ia menebak pasti Gayatri ada hubungan dengan Malini dan
Kumara. Geni mengelak, berlari mengelilingi arena. Gayatri
tertawa, suaranya merdu. "Kamu lari macam anak kijang
dikejar harimau. Lebih baik menyerah dan mencium kakiku,
baru boleh kuampuni."
Geni berhenti bergerak, berdiri diam. Dia telah
menyalurkan tenaga Wiwaha ke seluruh tubuhnya. Lalu
memainkan Jurus Penakluk Raja. Tangan kiri terentang seperti
menerima senjata lawan sementara tangan kanannya
bergerak dalam putaran kecil. Daya pegas dan tenaga bor
yang mengancam tubuhnya dipindah ke arah pohon. Bor itu
melesat kencang ke arah pohon.
Gayatri terkejut, senjata bornya seperti membentur
udarakosong. Lalu mendadak bor itu mengarah ke pohon. Dia
menarik talinya dengan kedutan, lalu menggerakkan ujung tali
yang lain. Kini Gayatri mengendalikan tali dari bagian tengah
dan menyerang Geni dengan dua ujung tali. Dua bor itu
bagaikan bayangan hidup yang mengincar seluruh tubuh Geni.

Luar biasa. Geni kagum ilmu gadis ini cukup tinggi. Jurus
bor itu sangat langka, dan tenaga dalam si gadis juga cukup
ungkulan. Geni timbul kegembiraan menguji lebih lanjut Jurus
Penakluk Raja. Dia mengerahkan tenaga Wiwaha sepenuhnya,
mengisap dan menolak, mendorong dan menarik. Gerakan itu
mendatangkan angin keras yang mengombang-ambingkan
dua bor maut itu.
Duapuluh jurus berlalu. Dua gadis berbaju hijau berdiri di
luar arena, tenaga mereka sudah pulih. Mereka terkesima
menyaksikan dua muda mudi itu adu kebolehan. Salah
seorang berseru dalam bahasa India. Gayatri menjawab
dengan suara bernada tinggi, tampaknya dia marah. Geni
menebak bahwa Urmila dan Shamita ingin membantu
mengeroyok, Gayatri menolak dengan marah.
"Gayatri jangan malu, biarkan mereka maju membantumu,
biar kita menjadi imbang." Geni menggoda.
"Huh, kau pikir kau sudah menang, dasar lelaki tak tahu
diri, lihat ini," sambil berkata Gayatri mengubah jurusnya. Kini
dua bor tak lagi berputar-putar, tetapi menusuk macam
tombak panjang. Tali itu bisa lemas, bisa tegang, lunak dan
keras bergantian. Kini Geni terancam. Pada jurus ke duapuluh
sembilan salah satu bor melukai lengan Geni. Kulit dan daging
terkelupas. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;