Sabtu, 17 Mei 2014

Geni 12

Wisang Geni memandang ke tenda Kalayawana. Dilihatnya
lelaki itu, kurus kering bertelanjang dada dan bercelana hitam

sebatas lutut. Kalayawana duduk dengan pongah. Tiga
muridnya berdiri di dekatnya. Amarah Geni meluap.
"Kalayawana, keluar kau, hayo kita jajal siapa lebih jago!"
Tantangan Geni itu menggema ke mana-mana. Semua mata
memandang bergantian, dari Wisang Geni ke arah
Kalayawana.
Tapi Kalayawana duduk tenang, ia meludah ke tanah.
"Puuii! Kau pikir dengan mengalahkan Sempani pendekar
goblok itu, kau sudah bisa melawanku? Aku malas
meladenimu!"
Murid Kalayawana yang paling tua, Kalabendana, berseru
lantang. "Hei, dulu aku tendang pantatmu, kau lari terkencingkencing.
Sekarang tak tahu diri menantang guruku."
Murid yang kedua, Kalajudha ikut nimbrung. "Kau belum
pantas melawan guruku. Biar kami bertiga yang
memperkosamu. Atau kau tak punya nyali menghadapi kami
bertiga?"
"Sudah jangan banyak bacot, turunlah kalian bertiga. Hari
ini akan kubayar lunas, darah orangtuaku! Ayah dan Ibu,
saksikan hari ini hutang nyawa ini kutagih sekaligus bersama
bunganya!"
Tiga murid Kalayawana memasuki arena dengan sikap
pongah dan takabur. "Heh, heh, heh, ternyata dia ini anak
Sukesih si bahenol itu. Sayang waktu itu aku tak sempat
mencicipi tubuhnya, dia terlalu cepat mati di Ganter, sungguh
sayang!"
Suara Kalamasura itu mengiang di telinga Wisang Geni.
Kata-kata itu merasuk sampai ke otak dan membangkitkan
kemarahan yang luar biasa. Wisang Geni melesat,
menggunakan Waringin Sungsang dan jurus Manusup (Masuk
nyelinap) dari Garudamukha. Pukulannya mengarah pelipis
dan dada Kalamasura.

Kalabendana dan Kalajudha menyergap dari samping.
Keduanya menggunakan Pangrahata (Cara untuk memperoleh
jasa) satu dari sebelas jurus ilmu Ghandarwapati. Sekejap saja
terjadi pertarungan seru, satu lawan tiga. Pertarungan
berjalan imbang.
Meski menghadapi tiga lawan, tetapi dengan keunggulan
ilmu ringan tubuh dan tenaga dalamnya, Geni memberikan
perlawanan hebat. Dalam duapuluh jurus terlihat tiga murid
Kalayawana itu selalu menghindari bentrokan tangan. Tahu
rupanya kalah dalam tenaga, tiga orang itu secara diam-diam
menguras tenaga Geni. Mereka mengurung rapat dan secara
cerdik bergantian menyerang. Dengan cara ini Geni menjadi
tidak berdaya, setiap ia menyerang lawan, dua lainnya
menyerang secara bebarengan.
Lambat laun Wisang Geni mulai keteter. Ia mulai frustasi.
Ia tak pernah bisa menyerang tuntas. Karena dalam
menyerang sesaat kemudian ia menjadi yang diserang. "Kalau
begini terus, aku akan cepat lelah. Dan ini berbahaya."
Sambil bertarung Geni berpikir. Tapi sampai limapuluh
jurus, ia belum juga menemukan cara bertarung yang terbaik
untuk mengatasi keroyokan tiga lawan. Orang mulai melihat
Geni jatuh di bawah angin Wisang Geni tak lagi bisa
menyerang. Ia hanya bisa menangkis dan bertahan rapat dari
serangan lawan.
Mendadak terlihat perubahan drastis. Geni yang cuma bisa
bertahan semakin kewalahan. Gerakan Geni mendadak kacau.
Tiga pukulan telak mengena tubuhnya, paha, punggung, dan
pundak. Hanya sebab dilapisi tenaga Wiwaha Geni masih bisa
mengatasi pukulan tersebut. Tetapi itu saja sudah pertanda
bahaya lebih besar sedang mengancam murid Lemah Tulis itu.
Wulan dan Sekar, tampaknya paling panik di kubu Lemah
Tulis. Begitu juga Padeksa, Manjangan Puguh, Waning Hyun
dan rombongannya. Geni tampaknya bertarung tidak wajar.
Ada sesuatu yang mengganggu pikiran lelaki itu. Apa itu?

Wulan melihat-lihat ke sekeliling. Matanya menetap di
tenda Kalayawana. Ia melihat iblis tua itu sedang
memejamkan mata dengan duduk bersila. Wulan berbisik
pada Manjangan Puguh yang duduk di sampingnya. "Kakang,
kau lihat Kalayawana! Aku yakin ia sedang mengirim ilmu
jarak jauh untuk mengacau pikiran Geni. Seperti kecurangan
yang ia lakukan kepada Sindu pendekar Ujung Pangkah itu."
Bukan saja Wulan dan Manjangan Puguh, tetapi Padeksa,
Gajah Watu dan rombongan Ranggawuni juga bisa membaca
ketidakberesan yang sedang mengganggu Geni. Tiba-tiba
Waning Hyun berkata kepada tokoh separuh baya yang dari
tadi berdiam diri. "Paman Pamegat, berbuatlah sesuatu,
tarung itu tidak adil!"
Sang Pamegat, tokoh misterius itu menjawab dengan
menggumam. "Tak usah khawatir, aku pikir tak lama lagi
Wisang Geni akan tertawa keras yang pasti akan melenyapkan
pengaruh sihir kuburan Gondomayu."
Suara yang seperti bergumam itu hanya didengar oleh
Wulan dan orang sekitarnya. Orang lain tidak mendengar
karena suaranya cukup lirih. Tetapi anehnya, suara itu mampu
menerobos telinga Wisang Geni. Pemuda ini mendengar
ucapan Sang Pamegat. Ia sadar kini, rupanya Kalayawana
telah main gila.
Iblis Gondomayu itu menggunakan Angampuhan, ilmu
menguasai gelombang aliran udara dalam radius tertentu. Dan
Kalayawana hanya perlu mempengaruhi udara sekitar Wisang
Geni. Hal ini yang menyebabkan Geni tak bisa menguasai
pendengaran dengan baik. Akibatnya ia tak lagi bisa membaca
atau mendengar serangan dari belakang dan samping yang
memang tidak bisa dilihatnya.
Mendadak orang mendengar "Wisang Geni berkata,
"Terimakasih tuan atas petunjukmu!"

Orang-orang tak tahu kepada siapa ucapan terimakasih itu
ditujukan. Orang juga tak tahu bagaimana caranya, mendadak
terjadi perubahan di gelanggang tarung. Wisang Geni tiba-tiba
berteriak keras. Teriakan seperti kera sedang marah. Lalu
tampak pemandangan unik Geni memainkan jurus sambil
berteriak, terkadang ia tertawa di lain saat dia marah.
Pertarungan berubah. Kali ini Geni kembali mengimbangi
lawan-lawannya.
Sambil teriak dan tertawa menirukan kera, pikiran Geni
mencari jalan keluar. Keadaaan seperti ini tak boleh tanpa
perubahan. Ia harus menemukan cara secepatnya sebelum
keletihan membelit tubuhnya "Kalau saja aku bisa mainkan
Garudamukha Prasidha pasti lain keadaannya"
Tiba-tiba seberkas cahaya melintas dibenaknya belakangan
ini, setiap ia memikirkan Prasidha selalu cahaya itu seperti
berkelebat dibenaknya. Apa itu?
Dalam benak Geni saat itu terlintas ucapan penari Kinanti
bahwa ia mengucapkan kalimat Parahwanta Angentasana
Dukharnawa selalu pada saat tubuhnya seperti terdorong ke
samping atau ke depan atau ke belakang.
Geni seperti menemukan jalan keluarnya, ia menemukan
cahaya itu kembali, tetapi mendadak lenyap. Geni merasa
frustasi. Tanpa sadar ia berhenti tertawa dan berteriak.
Akibatnya ilmu Angampuhan Kalayawana kembali
mengganggu indera pendengarannya
Saat itu pertarungan memasuki jurus keseratus dan detikdetik
paling genting. Kalabendana menerjang dengan
hantaman keras ke pinggang kiri. Pada saatyang sama
Kalajudha menyerang dari depan ke bagian bawah Geni, dua
kakinya menggunting sambil tangannya memukul perut dan
selangkangan. Kalamasura menghajar pelipis dan pinggang
dari samping kanan.

Tak ada jalan keluar lagi, Geni harus menghadapi tiga
pasang kaki dan tiga pasang tangan dalam satu serangan
yang serentak. Juga gangguan Ilmu Angampuhan yang
mengacau keseimbangannya Geni dalam bahaya besar!
Mendadak, cahaya itu datang kembali. Pikirannya menjadi
terang. Kalimat itu cuma menjelaskan bagaimana sikap jiwa
yang pasrah pada saat kematian akan datang. Kalimat itu
terpecahkan sudah! Terpecahkan justru pada saat Geni dalam
keadaan kritis! "Hendaknya aku menjadi perahumu untuk
menyeberangi lautan kesusahan ". Kalimat itu artinya
sederhana sekali. Geni sadar, "menyeberangi kesusahan'
artinya Menyeberangi dunia Menjalani Kematian. Dan ’Aku
menjadi perahumu’ artinya sesuatu yang kosong. Sesuatu
yang hampa! Ternyata kalimat itu hanya satu sikap jiwa, kunci
lain yang tak kalah penting adalah gerak yang diperlihatkan
penari Kinanti.
Tadi malam, penari itu menuturkan bahwa ia bergerak ke
kanan karena ia sepertinya menerima tenaga dorong dari kiri.
Ia bergerak ke depan juga lantaran karena adanya tenaga
dorong dari belakang atau dari arah berlawanan.
Geni berlaku nekad. Ia yakin ampuhnya tenaga Wiwaha. Ia
pernah merasakan bobot pukulan Kalajudha sebelumnya dan
ia yakin bisa menahannya lagi apabila rencananya gagal.
Tetapi kalau ia berhasil maka itulah penemuannya yang paling
penting. Geni nekad menggunakan jurus Prasidha, ia tak lagi
takut tenaganya tak akan tersalur. Karena kini ia mainkan
jurus Kacakrawartyan tanpa memaksakan penyaluran tenaga
dalam. Satu kakinya diangkat melindungi selangkangan.
Tangan kirinya membuat lingkaran kecil ke samping
menyambut pukulan Kalabendana. Tangan kanannya
mendorong ke kanan. Jurus Kacakrawatyan (Menguasai dunia)
digelar Geni tanpa tenaga sedikit pun!
Tanpa tenaga! Geni bersikap pasrah, tak ada paksaan
untuk menggunakan tenaga melindungi tubuh atau menerima

pukulan lawan. Tubuhnya kosong! Geni pasrah! Ia rela mati!
Ia tahu kematian akan mengantarnya menemui ayah
bundanya!
Mata Wulan membelalak. Ia melihat kekasihnya menggelar
ilmu Prasidha dan ia tahu persis Geni belum mampu
memainkan ilmu itu. Geni bunuh diri! Tubuh Wulan kejang, dia
tahu dia tak lagi akan melihat Geni. Wulan menutup mata dan
menghela napas. Habis sudah segala-galanya. Tamat!
Manjangan Puguh, Gajah Watu, Waning Hyun, dan semua
orang di kubu Wisang Geni menghela napas membayangkan
matinya seorang murid Lemah Tulis yang begitu penuh bakat.
Tubuh mereka membeku! Perasaan mereka semua mati!
Hanya dua orang di situ yang menatap dengan harap-harap
cemas, Padeksa dan Sang Pamegat!
Terdengar pekik mengerikan dari gelanggang tarung.
Kalamasura terlempar dua tombak. Darah menyembur dari
mulurnya. Ia mati sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Apa
yang terjadi?
Itulah saat di mana misteri Garudamukha Prasidha terkuak
oleh Wisang Geni. Pada akhirnya terlihatlah betapa
sederhananya ilmu Prasidha itu. Intinya hanya "meminjam
tenaga lawan" dan mengeluarkannya kembali dengan sama
besar. Bahkan bisa lebih besar lagi apabila ditambah tenaga
sendiri.
Pada saat Geni dalam keadaan kritis. Tiga serangan
berbarengan itu tidak datang pada saat bersamaan. Pukulan
Kalabendana datang lebih dulu masuk ke dalam putaran
tangan kiri Geni. Disusul serangan Kalajudha yang
menghantam perut dan kaki Geni. Yang terakhir adalah
pukulan Kalamasura
Jurus Kacakrawartyan telah memakan korban Kalamasura,
sebab pukulan dialah yang paling terakhir mengena tubuh
Geni. Ternyata jurus Garudamukha Prasidhaitu telah

menyerap tenaga Kalabendana dan Kalajudha kemudian
diteruskan ke Kalamasura
Kalabendana dan Kalajudha memekik dahsyat. Kalayawana
yang sedang memusatkan perhatian terkejut setengah
mampus. Mana mungkin di dalam keadaan di atas angin,
mendadak saja Kalamasura bisa mati?
Kejadian itu begitu cepat. Semua orang terkejut. Lagi-lagi
Wisang Geni memperlihatkan hasil di luar dugaan. Dalam
keadaan terdesak hebat dan terancam jiwanya, bukannya dia
yang mati malahan lawan yang mati. Mati secara mengerikan!
Ketika mendengar jeritan mengerikan, tanpa kontrol lagi
Wulan membuka matanya Ia tahu, itu bukan suara Wisang
Geni. Tapi toh matanya membelalak melihat Wisang Geni
segar bugar, malahan salah satu lawannya mati.
Tanpa sadar mata Wulan basah. Ia menangis melihat
keberhasilan kekasihnya "Oh Jagad Dewa Batara, akhirnya ia
berhasil menembus misteri itu!"
Sekar tak mengerti perkataan Wulan. "Apa, kenapa
mhakyu?"
"Dia berhasil memecahkan misteri ilmu silatnya, bahkan
jurusnya menjadi dahsyat!" tutur Wulan sambil tersenyum
Di gelanggang tarung, Kalabendana dan Kalajudha tak
sempat berpikir kenapa keadaan bisa berbalik seperti itu. Dari
posisi unggul mendadak menjadi terpuruk bahkan saudaranya
mati mengenaskan. Amarah telah menggerakkan tangan dan
kaki mereka dalam serangan paling dahsyat Kalabendana
menggelar jurus Bhayattaka (Hebat menakutkan) yang
mengerikan. Kalajudha dengan Durghanda yang menguarkan
bau busuk.
Wisang Geni masih terpesona dengan hasil yang
diperolehnya. Ia melihat serangan datang. Sekali lagi ia
mencoba Prasidha seakan ia tak mau membiarkan

penemuannya lenyap lagi Sekarang ia mainkan jurus
Ahwamatyana (Biarlah aku yang membunuh).
Sebagian dari serangan lawan itu sempat terangkis,
sebagian lagi menerpa tubuh Geni. Pada saat yang hampir
bersamaan, hanya terpatu sepersekian detik, tangan Geni
bergerak seperti mengusir ayam. Dari tangannya keluar
tenaga maha dahsyat, satu maha dingin dan satunya lagi
maha panas.
Sekali lagi terlihat pemandangan mengerikan. Kalabendana
dan Kalajudha terpental dua tombak. Tubuh Kalabendana
menggigil hebat, dari mulut keluar darah hitam, matanya
melotot. Dua tangannya rusak hebat, hampir tak ada tulang
yang utuh. Tapi ia masih hidup. Jika ia masih hidup,
saudaranya justru tewas. Kalajudha mati sebelum menyentuh
tanah. Darah membusa dari mulurnya. Tubuhnya seperti
hangus. Ia mati mengerikan!
Semua kejadian itu berlangsung cepat. Orang belum
sempat berpikir jernih, ketika terdengar jeritan berbarengan.
Wulan menjerit melihat Wisang Geni jatuh terduduk seperti
orang kehabisan tenaga Satu jeritan lagi keluar dari mulut
Kalayawana yang seperti terbang melesat memasuki arena.
Belum pernah dalam hidupnya, ia kalap seperti saat itu
ketika menyaksikan tiga murid kesayangannya mati dihajar
Wisang Geni. Kalayawana kalap. Ia tak mampu membendung
keinginan menghancurleburkan tubuh dan jasad Wisang Geni.
Ia menerjang dengan ilmu paling telengas. Jeritan
Akashawakya (Suara di mana-mana) seperti menguasai
delapan penjuru angin serta jurus Daitya Naraka (Raksasa dari
neraka). Amuknya Kalayawana saat itu seperti sosok raksasa
yang menerjang keluar dari neraka
Pada saat bersamaan tiga bayangan berkelebat Manjangan
Puguh melesat dengan Waringin Sungsangyang paling handal.
Macukunda dan Gajah Watu seperti terbang menggunakan

Kilat Tatit, ilmu ringan tubuh yang mungkin bisa disejajarkan
dengan Waringin Sungsang.
Manjangan Puguh sampai lebih dulu di samping Wisang
Geni. Tak ada orang yang boleh mengganggu selembar pun
rambut Wisang Geni, putra dari perempuan yang pernah
dicintainya Kalau saja muridnya ini sampai mati, Manjangan
Puguh tak akan sanggup menemui Sukesih kelak di alam baka.
Apa kata Sukesih kepadanya nanti.
Hampir bersamaan Macukunda pun tiba di sisi Wisang Geni.
Mau tak mau pendeta Mahameru ini memuji ilmu ringan tubuh
Manjangan Puguh. Sungguh benar kata orang Waringin
Sungsang ilmu ringan tubuh dari perguruan Merapi tak ada
tandingannya. Bagaimana lagi kalau dimainkan oleh Ki
Sagotra, pendekar Merapi yang menjadi guru Manjangan
Puguh?
Gajah Watu sengaja memotong jalannya Kalayawana
Pertemuan antara dua jago di tengah udara ini cukup
menggemparkan. Terdengar beberapa kak bentrokan tangan
dan kaki, sebelum dua jago itu memisahkan diri. Keduanya
saling tatap!
"Kalayawana, kau berilmu tinggi. Anak muda itu sudah
kehabisan tenaga menghadapi empat lawan!" Sambil bicara
pendeta Macukunda memasang kuda-kuda
Kalayawana terdiam Matanya melotot. Ia memandang tak
percaya kepada tiga muridnya. Dua sudah mati Kalabendana
masih hidup tapi seperti sudah mati. Kalayawana menghampiri
Kalabendana. Airmatanya berlinang melihat penderitaan
muridnya. "Guru, sempurnakanlah aku. Maafkan aku, guru.
Aku belum sanggup membalas budimu. Sempurnakan aku,
guru!"
Kalayawana dengan berlinang airmata menekan dada
muridnya Kalabendana mati sudah!

Orangtua kurus itu menatap Wisang Geni dengan sinar
mata yang sulit dibaca artinya Tatapan mata itu punya arti
tunggal, kematian mengerikan. Kebetulan Wisang Geni pun
sedang menatapnya. Tak terhindarkan lagi bentrokan mata
dua pendekar yang saling dendam!
"Kalayawana, separuh dari hutangmu pada ayah bundaku
sudah terbayar! Tinggal separuh lagi, yaitu jiwamu yang
kotor!" kata Geni dengan datar dan dingin.
Kalayawana sudah berhasil mengendalikan diri. Mendadak
ia melepaskan tawanya yang mengerikan yang dilapisi ilmu
Angampuhan. Pekiknya terdengar dahsyat dan bergelombang
serta memantulkan gema ke mana-mana. Sambil
mengumandangkan teriakannya ia melangkah terus menuju
tendanya. Beberapa pelayan perempuan dan beberapa murid
angkatan keduanya tak berani bergerak melihat paras
mengerikan sang guru.
Wisang Geni bangun berdiri. Ia terduduk tadi bukannya
kehabisan tenaga tetapi disebabkan terlalu gembira akan
keberhasilannya
Ia merunduk menyentuh kaki Manjangan Puguh. Gurunya
menyuruhnya berdiri. Geni kemudian membungkuk ke arah
Gajah Watu. Ia juga menoleh ke tenda di mana Sang Pamegat
berdiri, ia tahu pendekar itulah yang memberitahu cara
mengatasi pengaruh sihir Kalayawana tadi, Geni memberi
hormat.
”Terimakasih atas peringatanmu tadi."
Wisang Geni kemudian menoleh dan membungkuk hormat
kepada pendeta Macukunda. "Terimakasih, paman pendeta
sudah bersusah payah melindungiku"
Macukunda mengelusus-elus jenggotnya. Ia heran melihat
Wisang Geni sudah dalam keadaan segar seperti tak
mengalami pertarungan melelahkan. Ia senang dan simpati
melihat kelakuan anak muda ini yang sopan dan begitu tahu

aturan dan tak memperlihatkan rasa sombong meski memiliki
ilmu begitu tinggi. "Ho... ho... anak muda, kau boleh istirahat
sekarang. Nanti akan datang giliranmu lagi!"
Dalam sekejap saja, gelanggang sudah kosong. Tiga mayat
murid Kalayawana itu sudah digotong keluar. Pertarungan
masih berlanjut dua partai lagi ketika matahari masuk ke
peraduan. Macukunda mengumumkan pertarungan
diistirahatkan, akan dilanjutkan esok pagi.
Malam itu, satu malam paling bahagia bagi orang-orang
Lemah Tulis, Padeksa dan Gajah Watu sebagai yang paling tua
dikunjungi banyak orang. Tigapuluh orang lebih mengaku
murid Lemah Tulis yang lolos dari pembantaian duapuluh lima
tahun silam. Selama ini mereka terpencar cerai berai, tak tahu
harus ke mana. Mereka bersembunyi dan menyamar sebagai
petani atau pedagang biasa yang tidak mengerti silat.
Pertemuan itu sangat menggembirakan Usia mereka masih
muda ketika meloloskan diri duapuluh lima tahun lalu, kini
rata-rata usianya sudah di atas empatpuluhan bahkan tidak
sedikit yang berusia lebih dari separuh abad. Padeksa, Gajah
Watu, Geni dan Wulan sibuk memeriksa dan melakukan tanya
jawab.
Tidak sulit menentukan benar tidaknya mereka sebagai
murid Lemah Tulis sebab satu sama lain di antara mereka
sendiri sudah saling kenal. Bahkan semua mereka berpelukpelukan
kangen sambil menutur pengalaman. Sangat
mengharukan memang.
Mereka benar-benar murid Lemah Tulis. Empat di
antaranya adalah murid Gubar Baleman, murid tertua Bergawa
yang mati di medan perang Ganter. Tiga orang murid
Ranggaseta, murid kedua Bergawayang gugur di Lemah Tulis.
Dua orang murid Gajah Kuning, murid ketiga Bergawayang
mati di Ganter. Dua orang murid Kebo Jawa, murid keempat
Bergawayang gugur di Ganter.

Tiga murid Bergawa lainnya, Lembu Agra, Sukesih dan
Walang Wulan tidak punya murid karena waktu itu masih
terlalu muda. Dua murid Gajah Kuning memeluk hangat
Wisang Geni. Keduanya sudah berusia lebih dari
empatpuluhan dengan perawakan sedang. Yang bercambang
lebat, orangnya agak hitam, Gajah Nila. Yang seorang lag;,
rambutnya jarang, bernama Gajah Lengar. Keduanya gembira
bahwa putra guru mereka, sudah berangkat dewasa dengan
ilmu silat yang begitu menakjubkan. Wisang Geni pun sangat
senang menjumpai Gajah Nila dan Gajah Lengar yang
bagaikan keluarga mendiang orangtuanya.
Ia memaksa Gajah Nila dan Gajah Lengar bercerita perihal
orangtuanya. Malam itu Wisang Geni mengumpulkan kembali
serpihan kenangan yang telah hilang belasan tahun silam.
Dalam hati ia bangga. Ayahnya adalah pendekar yang
menjunjung kebenaran, tak mengenal takut selama hidupnya.
Ibunya seorang pendekar wanita berhati singa. Mereka gugur
secara jantan di Ganter. Orangtuanya itu sering menjadi
penolong rakyat dalam setiap pengembaraan. Mereka tidak
menyukai penindasan dan kejahatan yang dilakukan si kuat
terhadap si lemah.
Di malam dingin itu, Padeksa dan Gajah Watu
mengumpulkan semua murid Lemah Tulis. Sementara itu
sejak tadi, rombongan Sang Pamegat, Ranggawuni, Mahisa
Campaka dan delapan pendekar Tumapel sudah memisahkan
diri, tak mau mencampuri urusan Lemah Tulis. Sekar juga
memisahkan diri, kepada Geni ia berpesan agar
menjemputnya nanti di tenda Dewi Obat.
"Sudah suratan dewa, malam ini kita bertemu di sini.
Setelah kangmas Branjangan dan ketua Bergawa meninggal,
kini tinggal aku dan dimas Gajah Watu sebagai yang paling
tua di Lemah Tulis. Muridku cuma seorang yaitu Wisang Geni.
Dimas pun cuma punya satu murid, yakni Waning Hyun. Ada
dua murid kakang Branjangan yang masih hidup, Dipta dan

Prastawana. Sedang murid kakang Bergawa yang masih
hidup, hanya Lembu Agra dan Walang Wulan. Kalian perlu
tahu, Lembu Agra itu murid pengkhianat, dia seorang
penyusup yang puluhan tahun tidak kita ketahui, malam itu
dialah yang meracuni air minum kita dengan racun pelemas
tulang, itu sebab kita tak berdaya ketika diserbu pasukan Arok
dan para begundalnya."
"Kalau tak diracun pelemas tulang itu kangmas Bergawa
dan Branjangan sulit dikalahkan. Jelas kini bahwa Lembu Agra
bukan lagi orang Lemah Tulis. Nama aslinya, Ki Jaranan, dia
adalah keturunan ketua partai Turangga dan kini ia ketua
partai itu. Ilmunya tinggi, karenanya kalian jangan coba
membenturnya."
Di tengah-tengah pertemuan itu, Prastawana melontarkan
suatu gagasan yang ternyata disambut baik semua orang.
"Paman guru sudah lama kita semua, murid-murid Lemah
Tulis kehilangan arah. Selama ini kita bagaikan anak ayam
kehilangan induk. Kenapa paman Padeksa sebagai yang tertua
tidak tampil sebagai ketua Lemah Tulis dan memimpin kami "
Padeksa menolak. "Tak bisa! Aku sudah tua lagi pula yang
kalian butuhkan adalah seorang ketua yang masih punya
harapan hidup lebih lama. Kakang Bergawa ketika ditunjuk
sebagai ketua, pada saat itu usianya baru duapuluh delapan
tahun. Aturan tak tertulis di perguruan kita menegaskan
perihal ketua yang harus dipilih secara bulat adalah seorang
murid setia yang masih muda dan dari generasi berikut.
Kangmas Bergawa adalah ketua lama, maka ketua baru harus
murid dari angkatan di bawah kangmas Bergawa. Karenanya
aku tidak layak untuk dipilih."
"Tapi paman, Lemah Tulis sekarang ini sangat butuh
seorang ketua. Kita harus bisa memanfaatkan pertemuan ini
yang jarang bisa terselenggara Ini jelas restu dewa semata
Bagaimana kalau saat ini kita manfaatkan untuk memilih
seorang ketua?"

Padeksa dan Gajah Watu saling pandang kemudian
menyetujuinya "Kami berdua sudah tua, kami hanya
mengarahkan pemilihan ini agar berlaku adil dan bebas tanpa
tekanan seseorang. Biarlah waktu saja yang menentukan!"
Terdengar kasak-kusuk. Orang membicarakan figur ketua
Tapi tak ada yang lebih cocok dari Wisang Geni. Kehebatan
ilmu silatnya sudah terbukti Apalagi ia sudah menguasai
Garudamukha Prasidha pusaka perguruan yang paling tinggi.
Sebagai putra dua pendekar Lemah Tulis tak perlu diragukan,
apalagi ia dibesarkan bahkan menjadi murid tunggal Padeksa.
Keberanian Wisang Geni pun sukar dicari duanya, seperti
saat ia menantang Kalayawana. Pekertinya patut jadi teladan,
ia tidak sombong meski berilmu tinggi Lima syarat utama itu,
berasal dari keturunan baik-baik, memiliki sifat berani,
berkepandaian tinggi, muda usia dan baik budi pekertinya
membuat Wisang Geni tak tersaingi. Semua murid Lemah
Tulis, tanpa kecuali, sepakat memilih Wisang Geni sebagai
ketua perguruan
Padeksa dan Gajah Watu gembira mengetahui semua
murid memilih Wisang Geni sebagai calon tunggal Kedua tetua
Lemah Tulis pun sama pendapatnya Suara bulat telah memilih
Wisang Geni sebagai ketua Lemah Tulis membuat anak muda
itu merasa kikuk dan malu.
Makin banyak orang mendesak, Wisang Geni makin tak
mau menerima jabatan itu. "Tidak mungkin aku bisa! Kalian
pilih orang lain saja! Masih banyak yang lebih pantas dari aku!
Masih banyak orang yang lebih tua dan lebih pandai daripada
aku!"
Namun begitu Walang Wulan, Waning Hyun, Padeksa,
Gajah Watu dan Manjangan Puguh memaksanya, Wisang Geni
tak bisa lagi mengelak. Malam itu Wisang Geni dengan
upacara sederhana diangkat jadi ketua Lemah Tulis yang
ketujuh.

Wisang Geni kemudian mengucap pidato singkat "Kawankawan,
di antara kalian ada yang lebih tua daripadaku. Hal ini
membuat aku agak kikuk memimpin. Tetapi kepercayaan
kalian kepadaku dan tanggungjawabku sebagai murid Lemah
Tulis, aku akan berusaha mengembalikan kejayaan perguruan
kita. Kawan-kawan, bantulah aku, tanpa, bantuan kalian aku
tak mungkin berhasil."
Malam itu suasana meriah di kubu Lemah Tulis. Hampir tak
ada seorang murid pun bisa memejamkan mata. Mereka
ngobrol satu sama lain, menceritakan masa lalu dan
pengalaman masing-masing. Ketika cerita bergeser kepada
ketuanyayang baru, mereka menyebut nama Wisang Geni
dengan rasa kagum.
Saat itu Wisang Geni duduk ngobrol dengan gurunya
Manjangan Puguh. Lelaki ini tak kuasa menahan harunya, ia
memeluk Geni dengan penuh perasaan. "Aku bangga padamu,
Geni!"
Mendengar cerita perjalanan dan pengalaman pahit Geni
sampai ia memperoleh dan mempelajari jurus Wiwaha ilmu
kelas tinggi itu, Manjangan Puguh makin mengagumi
keberuntungan muridnya. "Aku rasanya pernah mendengar
cerita guru Sagotra, bahwa pendekar Lalawa itu sangat tinggi
ilmu silatnya dan hampir tak punya tandingan, ia adalah
pendekar pembela kebenaran. Banyak musuh dari golongan
hitam mati di tangannya, yang masih hidup akan segera kabur
bersembunyi ke mana pendekar hebat itu lewat. Kamu
beruntung mewarisi ilmunya, Geni."
Malam semakin larut, Padeksa menyuruh Wisang Geni
istirahat "Kau perlu mengumpulkan tenaga, besok kau akan
menghadapi pertarungan yang lebih berat"
Saat itu seorang gadis cantik menghampiri Wisang Geni
yang duduk bersama Padeksa, Gajah Watu dan Manjangan
Puguh. Gadis itu membawa nampan berisi makanan yang
masih hangat Ketika gadis itu meletakkan nampan di dekat

kakinya, ia harus merunduk. Saat itu Geni sempat melihat
belahan buah dada si gadis. Anak itu masih remaja namun
dadanya penuh dan montok. "Kamu siapa?"
Gadis itu terkejut mendengar sapaan ketuanya. Ia gugup
dan tak berani menengadah memandang wajah tampan sang
ketua. "Aku, namaku Prawesti."
Padeksa tertawa. "Ketua menanyakan siapa kamu, murid
siapa?"
Saat itulah, Prastawana mendekal. "Dia cucu kangmas
Gubar Baleman, sejak kecil dia tinggal bersama suami isteri
Jayasatru, murid Ranggaseta. Hei, Westi, beri hormat pada
ketua."
Di tenda juga berkumpul murid angkatan dua, seperti Dyah
Mekar putri Ranggaseta, Kebo Lanang dan Jayasatru murid
pertama dan kedua Ranggaseta, kemudian Daraka dan
Margana murid Gubar Baleman. Mereka adalah murid-murid
yang kebetulan keracunan sehingga dipaksa Bergawa untuk
meninggalkan perguruan. Wisang Geni memerhatikan gerakan
bokong Prawesti ketika gadis itu beringsut mundur kemudian
melangkah menjauh keluar tenda. "Gadis itu tak hanya cantik
juga montok dan subur," kata Geni dalam hati.
Mendadak saja ia teringat Walang Wulan dan Sekar. Ia
ingat Sekar sedang pulang ke tenda neneknya, tetapi ke mana
Wulan? Ia memandang sekeliling tetapi Wulan tak terlihat. Ia
keluar mencari keliling tenda. Ia melihat seorang perempuan
duduk di bawah pohon. Tak salah lagi itu Wulan!
Malamku cahaya rembulan cukup terang. Wisang Geni
mendekat, ia terkejut melihat air mata mengalir dari sepasang
mata indah itu. "Kenapa menangis, Wulan?"
Wulan menoleh memandang Geni. Wajahnya yang cantik
berbinar ditimpa cahaya rembulan. Wulan menggeleng kepala,
rambutnya menyibak ke sana kemari. "Tak apa-apa. Aku
hanya memikirkan kebahagiaanmu. Kau kini jadi ketua Lemah

Tulis dan aku bawahanmu. Kau akan banyak disanjung orang,
perempuan yang cantik-cantik dan muda-muda akan
mengelilingi engkau. Aku tak tahu di mana nanti aku berdiri."
Wisang Geni memegang dagu kekasihnya. "Kau tetap
berdiri di sampingku. Dengan kau di sisi, aku akan lebih kuat
dan lebih tegar menantang kesulitan. Wulan, jangan berpikir
yang bukan-bukan. Sekali aku mencintaimu, sampai mati pun
tak akan luntur."
Terdengar suara mendehem. Manjangan Puguh tiba-tiba
saja sudah berada di situ. Dua sejoli itu sama sekak tak
mendengar langkah orang. Keduanya tersipu-sipu malu. "Geni
dan Wulan, aku sudah tahu hubungan kalian. Ada yang perlu
kusampaikan, suatu rahasia tentang dirimu, Wulan. Tak
mungkin aku menyimpannya lebih lama. Wulan, kau bukan
adikku!"
Perkataan itu membuat ledakan di telinga Geni dan Wulan.
Dua sejoli itu kaget luar biasa. Manjangan Puguh melanjutkan.
"Wulan, ayahmu seorang pendekar paling banyak musuhnya.
Ia tak mau orang tahu bahwa ia punya anak, ia khawatir
dendam musuh-musuhnya akan ditimpakan kepada putrinya.
Itu sebabnya kau dititipkan kepadaku, ia memaksaku untuk
mengakuimu sebagai adik kandung. Rahasia ini hanya aku
yang tahu, kini rahasia itu menjadi milik kita bertiga!"
Wajah Wulan pucat. Ia ingin tahu siapa orang tuanya.
Tetapi ia takut bertanya. Ia takut jawabannya akan tidak
menggembirakan. Wisang Geni tidak bisa menahan diri. "Siapa
orangtua Wulan, guru?"
Manjangan Puguh menengadah menatap bulan. "Ayahmu
adalah seorang yang paling kuhormati dan kusegani. Dia, adik
baginda raja Kertajaya."
Mulut Wulan terkunci. Wisang Geni bagai disambar
geledek. "Maksud guru, pendekar Mahisa Walungan?"
"Ya, Wulan masih berdarah biru, darah keraton!"

Wulan makin tenggelam dalam kebingungan. Selama ini
Manjangan Puguh mengatakan orang tuanya telah mati sejak
ia kecil. Dia ingat usianya sepuluh tahun ketika dua pendekar
datang menjemput dari tangan kakeknya. Sang kakek
memperkenalkan Manjangan Puguh sebagai kakak
kandungnya. Pendekar yang satunya, tidak dikenal, meski
tampak akrab dengan sang kakek. Sejak itu dia dipelihara oleh
guru Sagotra dan Manjangan Puguh sampai kemudian
diserahkan kepada pendekar Bergawa, ketua Lemah Tulis.
Dan sejak itu Wulan hanya tahu ia adalah murid Ki Bergawa
dari Lemah Tulis. Wulan tak pernah tahu siapa orangtuanya,
dimana ia di lahirkan. Suatu waktu ia bertanya kepada
Manjangan Puguh, "Kangmas kamu kan kakakku, tentu kamu
tahu siapa orangtua kita, ayo ceritakan padaku." Manjangan
Puguh tidak menjawab, hanya mengatakan, "Belum saatnya
kamu tahu!"
Kini sudah saatnya, begitu pikir Wulan. Namun ia tetap
bingung dihadapkan pada cerita baru, cerita yang sebenarnya,
tentang orangtuanya. Ia hampir tidak percaya, bahwa ia masih
berdarah keraton. Ayahnya adalah Mahisa Walungan yang
terkenal. Tetapi apa hebatnya, toh tak ada perubahan dalam
dirinya. Ia masih saja Wulan yang kemarin. "Siapa ibuku,
kakang, oh, aku harus memanggilmu apa?"
"Apa artinya panggilan, panggil aku sesuka hatimu. Wulan,
ayahmu adalah sahabatku. Kami bersahabat sejak masih
muda. Kamu masih ingat ketika aku dan seorang pendekar
datang menjemputmu, kakekmu tampak akrab dengannya
tetapi mereka tak mau memperkenalkan diri. Dialah ayahmu,
kakang Mahisa Walungan."
Mahisa Walungan, adik kesayangan baginda raja Kertajaya.
Ia gemar merantau, sambil menambah kepandaian ilmu
silatnya. Dia sering bertarung membela kebenaran. Ia tak suka
melihat penindasan dari yang kuat terhadap si lemah, atau si
kaya terhadap si miskin Tak jarang ia menghukum pejabat

desa yang ketahuan menggui uk.m kekuasaan semena-mena.
Ia seorang yang menyukai kebebasan dan tak suka diikat
dalam adat istiadat keraton yang kaku.
Suatu saat Walungan memergoki sekelompok perampok
yang menjarah desa. Desa kacau, hiruk pikuk penduduk yang
hei larian dikejar penjahat. Mereka merampok binatang
ternak, sapi, ayam, bebek, kambing, sapi, kerbau, babi.
Mereka menjarah harta benda Mereka juga memerkosa para
wanita. Mahisa Walungan datangtepat pada saat para
penjahat belum lama beraksi.
Hari itu Walungan ngamuk, hampir seluruh perampok itu
tewas ditebas pedang hitamnya yang tajam luar biasa.
Perampok yang masih hidup lari serabutan ke hutan. Ia
mendengar suara tangis di mana mana. Banyak perempuan
menangisi suaminya yang luka sebagian bahkan tewas.
Mendadak seorang perempuan tua berlumuran darah
menghampiri Walungan. "Tuan pendekar, kamu tolong
putriku, ia dibawa lari penjahat, ke arah sana."
Tidak ayal lagi, Walungan berkelebat mengejar ke arah
hutan yang ditunjuk perempuan tua itu. Tak berapa lama ia
mendengar jeritan perempuan. Ia belum terlambat. Setelah
menghajar penjahat itu sampai tewas, ia menghampiri
perempuan. Ia terpesona melihat kecantikan gadis itu yang
hampir telanjang lantaran pakaiannya sudah dicabik-cabik si
penjahat Walungan membuka sarung yang melingkat di
pinggangnya, kemudian menutupi tubuh gadis itu. Dua pasang
mata saling menatap.
Pendekar penolong jatuh cinta pada gadis yang ditolong. Si
gadis jatuh cinta pada sang pendekar. Walungan menetap di
desa itu, kawin dan bercinta dengan gadis cantik itu.
"Ayahmu tak pernah berpisah dari ibumu, sampai ketika
ibumu meninggal satu hari setelah melahirkan kamu. Sesaat
sebelum maut merenggut nyawanya, ibumu memeluk kamu

dan memohon pada suaminya agar memberi nama Walang
Wulan," tutur Manjangan Puguh.
"Siapa nama ibu?"
"Namanya indah, Wulan Sari, nama indah seperti
kecantikannya. Ayahmu memperkenalkan aku dengan ibumu,
sungguh aku belum pernah melihat wanita secantik ibumu.
Dia juga wanita dan isteri yang sangat setia dan telaten
melayani suaminya. Tidak heran ayahmu tak mau berpisah
dengan ibumu
"Ibumu setia dan sangat mencintai suaminya. Ia tak pernah
bertanya asal-usul suaminya. Ia tidak tahu bahwa lelaki yang
mengawini dirinya adalah seorang pangeran, adik dari raja
yang paling berkuasa pada jamannya. Pada saat hendak
melahirkan ia bertanya pada suaminya dan ia tidak heran
ketika mengetahui suaminya seorang pangeran. Selama itu
ibumu dan penduduk desa mengenal ayahmu sebagai
pendekar Nagapasa yang kesohor membela kebenaran dan
pembasmi penjahat"
Wulan terpesona akan cerita itu. Ia menangis. Tapi ia tak
tahu kenapa ia menangis. Ia tak pernah mengenal siapa
orangtuanya.
"Wulan, ada titipan penting dari ayahmu untukmu. Ia
menitipkan ilmu Nagapasa ciptaannya sendiri. Ia meramu
jurus hebat itu dan seluruh pendalamannya atas semua jurus
silat yang ia pelajari selama pengembaraan. Kini hanya kamu
pemilik tunggal ilmu dahsyat itu, bersiaplah aku akan
mengajarimu"
Pada saat itu Geni pamit diri. Dalam adat istiadat
kependekaran, tabu bagi Geni ikut mendengar latihan ilmu
Nagapasa.
"Ayahmu mengajarkannya kepadaku setelah aku
membawamu ke Lemah Tulis. Ia memaksaku berjanji."

"Apa janjimu, kangmas?"
Manjangan Puguh tersenyum "Iya, kau mau tahu apa
janjiku? Aku tak boleh mati dalam perang, aku harus
melindungimu sampai kau dewasa dan kawin kelak."
Walang Wulan berdiam diri. Manjangan Puguh menghela
nafas. Tak sanggup membendung kenangan lamanya, ia
menceritakan juga tentang cintanya kepada Sukesih, istri
sahabatnya. Dan Sukesih juga meminta hal yang sama,
menyuruh ia melarikan diri dari perang untuk menyelamatkan
Wisang Geni
Wulan menatap lelaki itu dengan pandangan iba. "Itu
sebabnya kau begitu memerhatikan Wisang Geni?"
"Kalian berdua adalah putra dan putri dari sahabatku. Aku
senang mengetahui hubunganmu dengan Geni. Sekarang
kamu bersiaplah, Wulan, menerima ilmu warisan dari
ayahmu."
Manjangan Puguh kemudian mengajarkan ilmu Nagapasa
yang seluruhnya terdiri dari 18 jurus. Inilah ilmu yang
menggunakan telapak tangan sebagai senjata. Pada tingkat
yang tinggi, tamparan Nagapasa bisa mematahkan pedang
atau golok. Tenaga yang digunakan adalah tenaga panas.
Semalaman Wulan berlath ilmu silat dibimbing Manjangan
Puguh. Pada saat yang sama, Geni berlari ke tenda Dewi Obat
dan mengajak Sekar ke hutan. Semalaman Geni bercinta
meluapkan birahi dan cintanya pada Sekar. Bagi Wisang Geni,
Sekar adalah seorang dewi yang nyaris sempurna. Perempuan
yang tubuhnya indah dan molek, membuat dia tergila-gila. Di
dalam tubuh indah itu, terkumpul kesetiaan dan kepasrahan
yang membuat Geni kasmaran hampir setiap saat. Sekar
ibarat danau yang membuat Wisang Geni ingin berenang,
menyelam dan meminum air sebanyak-banyaknya. Dan
semakin banyak dia menenggak air danau itu, semakin dia
ketagihan. Sekar ibarat candu bagi Geni.

---ooo0dw0ooo---
Pendekar Nomor Satu
Matahari pagi masih malu-malu, embun dan kabut belum
sepenuhnya pergi. Udara masih sangat dingin, tetapi di sekitar
arena tarung tampak kesibukan orang. Murid Mahameru lalu
lalang di sana sini, melayani semua tamu. Meskipun di hari
kemarin sudah jatuh banyak korban, baik yang mati atau pun
yang luka, tetapi tampaknya tamu tidak berkurang.
Setelah pertarungan kemarin, hari kedua ini tidak banyak
pendekar yang tersisa. Hanya penonton yang banyak. Semua
orang tahu, pertarungan hari ini akan melibatkan para
pendekar kelas wahid Akan ada tontonan jurus-jurus tanah
Jawa yang paling hebat yang selama ini hanya didengar orang
tetapi jarang terlihat
Saat pendeta Macukunda mengucap kata-kata pembukaan
dimulainya pertarungan, seorang lelaki melompat masuk
arena. Lelaki itu sudah tua, seluruh rambut dan kumisnya
putih. Usianya lebih separuh abad. Wajah lelaki itu ada bekas
bacokan memanjang dari dahi sampai ke dagu. "Aku jauh-jauh
datang dari Ujung Kulon. Aku masih punya hutang piutang
dengan Nyi Pancasona. Mana dia, kemarin aku melihatnya ada
di sini?"
Sebuah bayangan melesat masuk arena. Ia mendarat
seperti daun kering. "Mau apa kau, Grajagan? Kita sudah tuatua
begini, masih saja kau tak mau melupakan peristiwa
dulu?"
"Ha... ha... siapa bilang kau sudah tua? Sona aku cuma
ingin memperlihatkan jurus baruku ini. Limabelas tahun kulatih

ilmu Sewubraja ini dan belum sekalipun aku menggunakan
jurus ini. Aku liati ya ingin kamu sendiri yang menjajalnya, ayo
mari kita main-main!"
Nyi Pancasona mencabut pedangnya. Lelaki yang bernama
Grajagan itu memasang kuda-kuda kosong. Saat berikutnya
terjadi pertarungan sengit. Jurus pedang Dala-dala perguruan
Goranggareng cukup terkenal di dunia persilatan. Banyak
pendekar di situ yang sangat ingin melihat sendiri jurus
pedang dahsyat yang dimainkan langsung oleh ketua
perguruannya sendiri.
Bisa dibayangkan kehebatannya. Sinar pedang berkelebat
menyilaukan, mengurung tubuh Grajagan. Jurus demi jurus
berlalu tampak Nyi Pancasona menguasai pertandingan.
Pedangnya mengurung, tidak memberi peluang Grajagan
meloloskan diri. Tetapi bagi mata para ahli, justru pendekar
bernama Grajagan itu yang unggul.
Itulah pertarungan antara dua sifat yang bertentangan.
Ilmu pedang Dala-dala mengutamakan kecepatan dan
ketajaman pedang. Sedang jurus tangan kosong Sewubraja
menggunakan telapak tangan sebagai senjata lebih
memanfaatkan kelambatan untuk mengatasi kecepatan.
Ilmu Sewubraja itu dimainkan dengan tenaga dalam yang
hebat sehingga terlihat lambat Telapak tangan yang dilatih
hebat itu bahkan tak perlu takut ketebas pedang. Telapak
tangan itu kebal senjata dan bisa digunakan menyabet atau
menangkis pedang.
Manjangan Puguh mencolek pundak Wulan, "Jurus si lelaki
itu agak mirip jurus Nagapasa tapi ada bedanya. Telapak
tangan sama punya kekebalan, hanya ilmu ayahmu
mengutamakan gerak yang cepat dan tepat Sedang ilmu
orang itu mendasari gerak dari sifat lambat dan kaku."
Wulan mendengar petuah dan pelajaran Manjangan Puguh
sambil tetap memerhatikan arena pertarungan. Sinar pedang

itu makin lama makin memudar. Tiba-tiba sinar pedang itu
terhenti. Nyi Pancasona melihat kutungan pedang di
tangannya. Grajagan melihat wajah perempuan itu yang
tampak kecewa. "Hei, Sona, kamu tidak kalah, kita sama-sama
menang. Pedangmu patah, tetapi telapak tanganku luka. Kau
lihat tanganku!"
Nyi Pancasona tertawa hambar. "Grajagan, kau sengaja
melukai dirimu, aku akui kau sekarang sudah hebat!"
"Sungguhkah jurusku hebat? Bagaimana kalau dipadu
dengan Sagotra? Hai, ke mana Sagotra sembunyi?"
Nyi Pancasona memutar tubuh sambil melempar kutungan
pedang yang amblas ke dalam tanah. "Aku tidak tahu, kau cari
sendiri".
Tahu-tahu sesosok bayangan melesat ke dalam arena.
Gerakannya sulit diikuti mata. Mirip gerakan Manjangan Puguh
ketika masuk arena. Bedanya, ketika menginjak tanah
Manjangan Puguh masih membuat debu sedikit mengepul.
Tetapi kaki orang tua itu sama sekali tidak mengusik debu.
Bayangan yang baru masuk itu memandang Nyi Pancasona
dan Grajagan bergantian. Mendadak ketiganya tertawakeras.
"He... he... tak terasa kita sudah sama-sama tua," kata orang
itu.
Pancasona memandang lelaki tua itu dengan mata
berbinar. "Kemana kau sembunyi selama duapuluh tahun? Kau
sengaja sembunyi dariku, Sagotra! Aku tidak terima baik!"
Kecuali Manjangan Puguh, semua orang di situ terkejut.
Ternyata orang tua itu, Ki Sagotra, yang terkenal dengan
julukan pendekar Merapi. Ditegur Nyi Pancasona, Sagotra
gugup. "Aku... ketagihan mancing... main dengan ombak.
Oh... hebat, mancing di pulau Sempu? Kalian pasti suka di
sana."

"Hei, Sagotra, begini saja. Kita bertarung, kalau kau
menang kau ajak aku dan Sona ke pulailmu. Tapi kalau aku
menang maka kalian berdua jadi tamuku di Ujung Kulon.
Tempatku juga di tepi pantai, bisa mancing dan ombaknya
setinggi Mahameru ini. Hayo, apa kau berani jajal jurus
Semibraja ini?"
"Baik, hayo, kita tarung. Orang-orang ini perlu juga melihat
Bang Bang Alum Alum yang asli. Kemarin, murid si Manjangan
Puguh yang dari Lemah Tulis memainkan jurusku itu, buruk
sekali!"
Sesaat kemudian dua jago tua itu bertarung sengit.
Terdengar suara tangan beradu tangan, kaki beradu kaki.
Mereka bertarung sengit, tapi kaki mereka tidak membuat
debu naik dari permukaan tanah. Pertanda keduanya punya
ilmu ringan tubuh yang mumpuni. Namun orang bisa
membedakan bahwa ilmu ringan tubuh Ki Sagotra masih jauh
di atas lawannya. Gerak kakinya tak mengusik debu,
sementara gerak kaki Grajagan membuat sebagian debu
mengepul. Mata Wisang Geni dan Manjangan Puguh tak
berkedip. Tampaknya Ki Sagotra memperlihatkan cara yang
paling benar memainkan ilmu Bang Bang Alum Alum. Diamdiam
Geni dan Manjangan Puguh berterimakasih.
Suatu ketika Grajagan menampar dada Sagotra. Tangan
yang satu lagi mendorong ke arah pinggang. Pendekar Merapi
ini menangkis dengan jurus Lokamandhala (Muka permukaan
bumi) dari Bang Bang Alum Alum. Dua tangan beradu keras.
Sagotra terlempar dua tombak ke belakang. Tubuhnya
melayang ringan kena dorongan tenaga lawan.
Tapi, tubuh itu terhenti di udara, dan anehnya tanpa
kakinya memijak tanah, Sagotra melayang balik ke arah
Grajagan. Sungguh ilmu ringan tubuh yang tak mungkin bisa
digelar manusia.
Aneh tapi nyata ilmu Waringin Sungsang yang tadi
diperlihatkan Sagotra itu tak pernah dilihat orang sebelumnya.

Kontan saja Grajagan berteriak marah, "Bangsat kau Sagotra,
kau menipuku, sampai mampus pun aku tak akan bisa
menyamai kepandaianmu."
Pada saat itu pendeta Macukunda melesat masuk arena. "Ki
Sagotra, kau harus ikut bertarung lawan orang-orang negeri
Cina. Kau tak boleh lari bersembunyi lagi."
"Aku tak mau..."
"Kau harus mau, Ki Sagotra. Ini menyangkut gengsi tanah
Jawa, bukan persoalan pribadi kita. Kalau kau menolak, berarti
kau bukan pendekar tanah Jawa!"
Nyi Pancasona melesat masuk gelanggang, ia
menggenggam tangan dua lelaki sahabatnya itu, Sagotra dan
Grajagan. Tiga orang itu bergendengan tangan meninggalkan
gelanggang tarung. Sambil melesat pergi, Nyi Pancasona
berkata, "Hai Pendeta Macukunda kamu tak usah khawatir,
pada saatnya nanti kamu hanya perlu kirim kabar ke pulau
Sempu dan pendekar Merapi pasti akan datang membantu."
Di gelanggang tarung tinggal pendeta Macukunda seorang.
Merasa tak pantas keluar gelanggang sebelum bertarung,
Macukunda memberi hormat ke sekeliling. "Aku pendeta buruk
terpaksa menyediakan tulangku yang tua ini untuk dijajal
orang, hanya sebab ingin membela gengsi tanah Jawa. Tak
ada ambisiku untuk memperlihatkan ilmu. Silahkan siapa yang
ingin menjajal tulang tua ini."
Tak ada orang bersuara. Sunyi senyap. Macukunda kembali
mengulang tantangannya. Sesosok bayangan melesat masuk
arena. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;