Sabtu, 17 Mei 2014

wisanggeni 31

"Ilmu apa itu," kata seorang rekannya.
"Ilmu siluman," kata rekannya yang lain.
Dari rombongan, hanya Arjun dan Susmita yang meladeni
lawan, Satyawati dan yang lain sibuk mengurusi rumah, kereta
kuda dan semua barang-barangnya. Dua penunjuk jalan,
terpesona dan kagum melihat sepak terjang Susmita. Wanita
cantik itu kelihatan lemah gemulai, tak disangka geraknya
begitu cepat dan kejam
Lelaki tua berbadan kekar dan kepala botak tahu gelagat, ia
sedang berhadapan dengan orang-orang yang sangat lihai.
"Siapa kalian, aku adalah Lawungwesi julukanku Tengkorak
Putih."
Arjun menjawab ramah dan sopan, "Kami orang asing di
negeri ini, kami pedagang, kami tidak mencari musuh, tetapi
kami tidak suka orang-orang jahat, kami adalah pengusir
kejahatan. Kami tidak kenal tuan, tetapi kami tahu bahwa tuan
orang jahat"
"Eh kamu tidak kenal Ki Lawungwesi, tetapi kamu pasti
kenal muridnya yang kenamaan julukannya si Bayangan
Hantu. Cepat berlutut minta ampun dan semua salahmu akan
diampuni," kata lelaki lainnya.
Si Bayangan Hantu adalah pendekar yang mati di tangan
Wisang Geni dalam pertarungan di Argowayang. Rupanya
Lawungwesi turun gunung mencari Wisang Geni untuk
menuntut balas. Ia mendengar muridnya itu mati oleh Wisang
Geni.
"Aku tak perlu minta maaf, karena tak lama lagi Tengkorak
Putih benar-benar akan menjadi tengkorak di dalam
kuburnya," kata Arjun melangkah mendekati Lawungwesi.
Berbarengan, Susmita menghampiri enam begundalnya. Saat
berikut terjadi tarung, Arjun lawan Lawungwesi yang
bersenjata tombak pendek, Susmita menerjang enam
begundalnya.

Arjun menyerang dengan tangankosong, Lawungwesi
membalas dengan tombak pendek. Pada saat sama isteri
Arjun dikeroyok enam begundal, termasuk si lelaki yang
mulutnya sudah nyonyor nyaris hancur. Susmita dengan
leluasa bergerakke sana kemari, gerakannya cepat tangkas
dan tak kenal ampun.
Dalam sepuluh jurus ia sudah melumpuhkan seorang
lawan, tangan dan kakinya patah. Berturutan satu per satu
lawannya terpental dengan anggota tubuh yang patah.
Empatpuluh jurus, pekerjaan Susmita selesai.
Saat yang sama jurus empatpuluh, Arjun menampar
Lawungwesi, pundaknya terluka. Lima jurus berikut, paha dan
lengannya kena tamparan keras, Lawungwesi tersungkur. Ia
berupaya bangkit tetapi gagal. Enam begundalnya dengan
tertatih bangkit berusaha menolong ketuanya. Mereka pergi
dengan sumpah serapah.
Pada saat itu beberapa perempuan dan lelaki yang ditawan
berhamburan keluar dari rumah, begitu juga penduduk
lainnya. Semua mereka datang dan mengucap terimakasih
sambil berlutut. Satyawati dan anggota rombongan menolong
mereka. Beberapa perempuan bekas tawanan menangis
berpelukan dengan orangtua atau suaminya. Suasana haru
namun semua penduduk gembira. Malam itu para penduduk
menyediakan makanan untuk tetamunya.
Dua hari menetap di desa itu. Susmita, Ayeksha dan ibu
mertua sibuk membantu orang-orang itu, memberi mereka
barang dagangan yang masih tersisa, bahkan sebagian
pakaian dan perhiasan juga dibagi-bagikan kepada penduduk
miskin itu. Para penduduk mengiringi kepergian mereka
dengan tangis terimakasih.
Hari itu, tepat pada tengah hari, rombongan tiba di desa
Bangsal. Penunjuk jalan itu bergerak gesit, dalam waktu
singkat ia sudah mendapatkan rumah kosong untuk disewa
dan warung makan. Malam hari di dalam bilik tidur, sambil

memijit tubuh suaminya, Satyawati berkata lirih, "Suamiku,
entah mengapa sejak tiba di Karangplosos, aku selalu
bermimpi Gayatri, aku khawatir sesuatu menimpa dirinya.
Sungguh baru sekarang ini selelah berpisah dengannya baru
aku tahu betapa aku sangat menyintainya."
"Itu perasaan seorang ibu, tak ada apa-apa yang menimpa
dirinya, ia memiliki ilmu silat tinggi, juga ada Urmila dan
Shamita yang mengawalnya."
"Suamiku, hukuman apa yang akan kau berikan kepada
putriku?"
"Aku belum tahu, nanti saja kita lihat apa saja
kesalahannya."
"Suamiku, selama hidup aku tidak pernah membantah dan
selalu patuh padamu. Kali ini aku mohon padamu, ampuni
Gayatri. Dia belahan jiwaku. Jika dia mati, aku juga akan mati.
Aku sangat menyintainya, aku mohon ampuni dia. Lagipula
Wasudeva itu lelaki yang buruk, tidak pantas untuk Gayatriku."
"Tentang Gayatri, aku akan pertimbangkan kesalahannya,
aku juga sangat menyintainya, setelah kehilangan Manisha
aku tidak mau kehilangan Gayatri. Kamu tenang saja, aku mau
tidur."
"Wasudeva itu...."
Yudistira memotong ucapan isterinya, "Aku tak mau bicara
tentang Wasudeva, aku mau tidur."
---ooo0dw0ooo---
Pertarungan bergengsi di desa Bangsal itu ramai
dibincangkan orang, kaum awam dan para pendekar memuji
kehebatan Wisang Geni. Bahkan Macukunda pun mengaku
seumur hidup ia belum pernah menyaksikan sepak-terjang

dan ilmu silat sedahsyat yang diperlihatkan Wisang Geni ketika
mengalahkan Ciu Tan dan Mok Tang. Jurus apa itu, macam
angin puyuh yang bisa menghancurkan apa saja. Tak seorang
juga yang mengetahui persis jurus yang digunakan Wisang
Geni.
Manjangan Puguh, yang pernah menjadi guru Wisang Geni
juga tak tahu apa-apa tentang perkembangan muridnya itu.
"Jelas dia muridku, tetapi kepandaiannya sekarang sudah jauh
di atas aku," kata Manjangan Puguh kepada isterinya Mei
Hwa.
Bahkan para murid Lemah Tulis pun semakin takjub akan
kehebatan ketuanya. "Sayang sekali, ketua sudah tak mau lagi
memimpin kita," kata salah seorang murid Lemah Tulis. "Aku
yakin, ketua masih mau memimpin Lemah Tulis, mungkin dia
hanya marah sesaat," kata seorang lainnya.
Hari itu usai pertarungan yang mencekam, Wisang Geni
sungkem pada Manjangan Puguh. "Guru, aku tak pernah
melupakanmu, kau menyelamatkan aku dari perang Ganter,
kau mendidik aku sejak kecil, menyuapi obat sehingga
tubuhku kuat. Aku tak bisa membalas budimu, guru"
"Kamu tidak perlu membalas apa-apa, aku sudah sangat
bahagia jika kamu tetap menjalankan kewajiban sebagai
pendekar sejati yang berjalan di jalan benar, selalu melindungi
kaum lemah dan yang memusuhi kesewenang-wenangan,"
kata Manjangan Puguh yang memeluk erat muridnya itu.
Geni tak lupa memberi hormat kepada Mei Hwa yang
sedang terlibat pembicaraan dengan Sekar dan Gayatri.
Mereka sudah berkenalan ketika sama-sama hadir di gunung
Argowayang.
Wisang Geni dan rombongannya tidak tinggal lama di desa
Bangsal. Dua hari setelah pertarungan, mereka pulang ke
gunung Welirang. Gajah Nila dan Gajah Lengar beserta isteri
memisahkan diri menuju Lemah Tulis. Mereka mau pamitan

pada Padeksa dan Gajah Watu, karena akan tinggal menetap
bersama Geni. Putra putri mereka sudah diangkat murid oleh
Geni. Murid lain ikut Geni pulang ke Welirang, berlatih silat
dan melanjutkan pembangunan beberapa rumah yang belum
selesai.
Bulan Iyestha sudah berlalu Wisang Geni hidup berempat
dengan Sekar, Gayatri dan Prawesti. Mereka bahagia. Hari itu
tengah bulan Asadha, rumah yang dibangun sudah rampung.
Rumah yang agak besar untuk Wisang Geni dan tiga isterinya.
Dua rumah agak mungil, untuk Gajah Lengar dan Gajah
Nila masing-masing bersama isteri dan anak-anaknya. Gajah
Nila punya seorang putra bernama Sasro berusia sekitar
delapan tahun. Gajah Lengar punya sepasang, putra bernama
Saty aki usia tujuh tahun dan putri bernama Sundari usia 4
tahun.
Selain itu ada beberapa rumah untuk tetamu dan murid
yang datang berlatih.
Senja itu Gayatri menyendiri di biliknya. Sudah tiga hari dia
gelisah. Pikirannya bimbang, apakah dia tetap merahasiakan
kehamilannya atau memberitahu Geni. Dia juga merindukan
ibunya yang lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Ia tak pernah tahu, bahwa senja itu ibu dan keluarganya
tiba di desa Karangplosos. Ia tak tahu bahwa dalam beberapa
hari ini ibunya juga merindukan dia. Gayatri menangis.
Prawesti menghampiri, berbaring di samping, memeluk
mengelus kepalanya. Saat itu Geni berdua Sekar sedang
berlatih silat di dekat danau.
"Kakak, kenapa kamu kak?" tanya Prawesti dengan lirih.
Gayatri semakin terisak. "Kenapa Kak, ada apa, ceritakan, aku
pasti akan membantumu, apa saja akan kukorbankan
untukmu"

"Aku bingung, aku tidak tahu harus mengambil jalan yang
mana, di depanku terbentang banyak jalan bercabang, aku
bingung." Suara Gayatri lirih dan sendu.
"Katakan saja pada Geni."
"Katakan apa?"
"Katakan bahwa kamu hamil!"
"Kamu... kamu tahu?"
"Kakak Gayatri, aku tahu, aku melihat perubahan tubuhmu,
kamu makin montok, makin cantik dan mulai muntah-muntah.
Itu gejala orang hamil. Aku mulai curiga ketika harus
membalut perutmu dengan stagen khusus waktu kamu mau
tarung."
"Tetapi kamu tidak cerita pada Geni, kan?"
Prawesti menggeleng, ia duduk dan memijit-mijit paha
Gayatri. "Tidak. Geni tidak tahu apa-apa, malah dia tidak
curiga. Aku baha gia melihat kamu hamil, seharusnya kamu
bahagia, kakak. Karena sesungguhnya Geni sangat ingin
punya keturunan. Ceritakan saja padanya, kak."
"Resikonya besar. Geni pernah melihat isterinya mati dalam
keadaan hamil, anaknya ikut mati Jika aku juga mati bersama
anaknya yang kukandung, hatinya pasti hancur. Ia bisa kalap,
ia akan ngamuk melawan siapa saj a. Dan orang yang akan
dia lawan adalah ayah dan keluargaku, aku bingung dan tak
berdaya."
Prawesti terharu Ia memeluk Gayatri. Keduanya
bertangisan. "Tidak Kakak, kamu tak akan mati, selalu akan
ada jalan keluar, kita harus percaya itu." Dalam hati Prawesti
bertekad. "Aku akan korbankan diriku di depan ayahnya.
Gayatri telah memberi aku kehidupan terindah. Hidup bersama
dia, Sekar dan Geni membuat aku bahagia. Kini giliranku
membalas budinya, memberi dia kehidupan dan kebahagiaan."

Mendadak saja Prawesti bangkit dan menepuk bokong
Gayatri. "Kakak, kita tidak boleh lemah dan menyerah, kita
harus berusaha. Pada saatnya nanti aku akan bongkar semua
kebusukan Wasudeva di depan ayah dan ibumu, aku tidak
takut meski misalnya aku dihantam mati" Prawesti memang
sudah mengetahui seluruh kisah Gayatri, Manisha dan
Wasudeva.
Saat itu terdengar suara Geni memanggil Gayatri dan
Prawesti. Tak lama kemudian ia berdua Sekar muncul di dekat
isterinya. Heran melihat mata dua perempuan itu basah
dengan airmata. "Kenapa? Kenapa kalian berdua menangis?"
Prawesti menepuk pantat Gayatri. "Katakan Kak Gayatri,
katakan sekarang ini, katakan, ayo ini saatnya."
Geni bingung, "Katakan apa, ada apa?"
Gayatri berkata lirih, "Aku hamil."
Wisang Geni terpaku di tempat berdirinya. "Apa?"
Dia mengulanginya, malu-malu, "Aku hamil, Geni."
"Hamil, kamu hamil. Sekar juga hamil." Geni melompat
sambil teriak. "Dua isteriku hamil, aku akan segera punya
anak, Gayatri hamil, Sekar hamil," Ia lari keluar rumah,
melompat-lompat dan bersiul keras.
Ia lari menuju hutan, mengelilingi danau, menanjak tebing.
Siulannya memantul tebing menjadi gema bergaung ke manamana.
Para murid yang sedang berlatih bingung melihat
kelakuan Geni. Tetapi kemudian ikut gembira mendengar
kabar Sekar dan Gayatri hamil. "Ya tentu saja ia merasa
sangat gembira."
Tadi waktu berlatih silat berdua Sekar, di hutan jauh dari
rumah. Tiba-tiba saja Sekar merasa lemas, ia merunduk dan
muntah-muntah. Geni bingung. "Kenapa? Ada apa? Kamu
sakit?"

Perempuan itu memeluk Geni. "Suamiku, aku semakin
mencintai kamu Aku bahagia menjadi isterimu Rasanya aku
akan segera memberimu seorang anak."
"Apa? Kamu hamil?"
Sekar mengangguk, "Ya kekasihku, aku hamil!"
Geni memeluk dan menciumi isterinya. Tangannya meraba,
mengelus dan menciumi perut sang isteri. Ia merasakan
rangsangan birahi. Sekar melayani dengan bernafsu.
Keduanya berlari mendaki tebing. Di dalam goa, terengahengah
Sekar berbisik, "Geni, suamiku. Pelan-pelan."
Itu sebab mengetahui Gayatri juga hamil, Geni gembira
seperti orang kesetanan. Setelah melampiaskan rasa
senangnya dengan teriak-teriak di hutan, Geni menerobos
masuk bilik. Sekar dan Gayatri berangkulan. Prawesti ikut
bergembira.
Wisang Geni menghampiri Gayatri dan Sekar. Ia meraba,
mengelus dan menciumi perut dua isterinya, bergantian. "Ini
dia anakku, kapan kamu keluar jumpa dengan bapakmu?"
kata Geni sambil tertawa. Dua perempuan itu tertawa geli
melihat tingkah laku Geni yang macam orang kesurupan.
"Gayatri dan Sekar, sesungguhnya kapan kalian mengetahui
diri hamil?"
Gayatri memegang lengan Prawesti yang hendak beranjak
dari duduknya. "Kamu jangan pergi, kamu harus temani aku."
Ia tertawa kepada Geni. "Waktu pertarungan di desa Bangsal,
aku mulai mual dan muntah-muntah Aku curiga mungkin aku
hamil."
Prawesti ikut nimbrung. "Aku pun curiga, ketua, ketika
kakak minta bantuanku membalut perutnya dengan stagen
berlapis-lapis."
Dahi Geni berkerut, "Kamu sudah tahu dirimu hamil,
kenapa nekad mau bertarung, bisa-bisa kamu celaka. Kamu

juga Sekar, mau saja tarung Benar-benar gila." Ia teringat
sesuatu, "Pantas hari-hari belakangan ini kalian berdua cepat
lelah, aku lihat pinggul kalian dan juga buah dada makin
montok."
Gayam tertawa. "Kamu cuma ingatyang montok-montok
saja."
"Tetapi kalian terlalu nekad, mulai sekarang kalian berdua
tak boleh tarung atau melakukan pekerjaan yang berat-berat."
"Waktu itu aku nekad, karena ingin membantu suamiku, itu
kan kewajiban isteri. Tetapi aku tidak tahu ilmu silatmu
setinggi itu, jika tahu buat apa aku berlaku nekad ikut tarung.
Sekarang jawab pertanyaanku, mengapa kamu merahasiakan
kepandaianmu itu?" tanya Gayatri.
"Kamu tidak bertanya padaku, lagipula sudah beberapa kali
kamu bertarung denganku, kamu pasti sudah tahu
kepandaianku."
"Kamu bohong, kamu tak pernah sungguh-sungguh tarung
dengan aku, kamu tidak mengeluarkan seluruh
kepandaianmu"
"Kau bukan musuh, kau kekasihku, mana bisa aku
bertarung sungguh-sungguh dan melukai kamu," Geni
memeluk Gayatri. Isterinya itu menggelinjang.
Gayatri menarik tangan Sekar dan Prawesti. "Ayo, kita
keroyok dia" Ia menciumi leher suaminya. "Geni, sekarang ini
setelah aku dan Sekar hamil, kamu harus pelan-pelan jangan
sampai mengusik anakmu yang sedang tidur ini."
Seperti biasa kalau sedang gembira, Sekar tertawa
cekikikan. "Mulai hari ini Prawesti akan lebih sering diperkosa.
Oh ya Westi, kamu jangan hamil dulu, giliranmu hamil nanti
setelah kami berdua melahirkan, setuju Westi?"
Sambil memeluk menciumi punggung Sekar, Prawesti
menggoda, "Aku siap ikuti semua perintah mbakyu. Jadi

sekarang aku harus lebih sering melayani mas Geni, ya
mbak?"
Semalaman mereka berempat bercanda ria, bercinta dan
bergurau Ketika fajar tiba, keempatnya tertidur pulas.
Siang hari itu setelah makan siang. Geni duduk bersama
Gayatri, Sekar dan Prawesti di tepi danau. Gayatri memegang
tangan suaminya. "Geni kamu harus berjanji padaku, Sekar
dan Westi yang menjadi saksi, kamu berjanji bahwa kamu
tidak bertarung melawan ayah, ibu dan kakakku."
"Kamu ini aneh, mana mungkin aku bertarung melawan
mereka, tetapi aku mengerti kekhawatiranmu Kamu khawatir
jika tiba saatnya ayah menghukummu, aku pasti membelamu,
kamu khawatir aku menantang berkelahi melawan
keluargamu"
Geni menepuk pipi isterinya. "Tidak Gayatri, aku hanya
akan menjelaskan perihal cinta kita berdua, tentang Wasudeva
yang tidak layak jadi suamimu, aku hanya akan menjelaskan.
Dan aku berjanji tidak akan bertarung lawan mereka."
"Aku punya firasat, ayah dan ibu serta dua kakakku sudah
tiba di negeri ini. Tak lama lagi mereka akan menemukan
aku!"
"Itu cuma firasat dan rasa takutmu saja, aku tidak yakin
keluargamu akan datang ke tanah Jawa, aku juga tidak yakin
ayahmu lega menghukum kamu Percayalah padaku, semua
persoalanmu akan selesai dengan baik."
Prawesti ikut nimbrung. "Aku punya firasat sama dengan
Mas ( rt-ni, ayahmu pasti tak tega menghukum kamu, Kak." Ia
berhenti sejenak kemudian melanjutkan. "Kakak, aku pikir
sebaiknya jangan mengikat Mas Geni dengan janji semacam
itu, bagaimana jika ayah ?i bu kakakmu memaksa dan
menyerang Mas Geni, apakah dia harus diam juga dan tnanda
digebuk?"

Gayatri terdiam, kemudian menangis. 'Tidak, aku tidak mau
suamiku dilukai, tetapi aku juga tak mau dia melukai
keluargaku."
"Aku janji padamu Kakak, ilmu silatku memang cetek
namun aku akan membantu dengan caraku sendiri." Prawesti
menoleh ke Sekar yang menggamit lengannya. "Westi, tolong
kamu pijit aku," kata Sekar sambil menggandeng Prawesti.
Belakangan ini Sekar bersama Prawesti dan Gayatri sering
pijit-memijit bergantian. Keduanya berlari menuju rumah.
Tinggal Geni berdua Gayatri.
Geni mengelus-elus kepala isterinya. "Kamu tak perlu
ketakutan dengan apa yang belum tentu terjadi, jika ayah dan
keluargamu datang biar aku yang menyelesaikan, jangan
khawatir, aku tahu apa yang harus aku perbuat."
Gayatri memeluk erat suaminya. "Aku percaya dan yakin,
kamu tidak akan melukai keluargaku, tetapi aku tidak yakin
apakah ayah dan kakak mau untuk tidak melukai kamu Oh aku
takut, Geni."
Geni tidak menjawab. Ia balas memeluk serta mengelus
perut isterinya. Gayatri merasakan jari dan tapak tangan yang
hangat penuh cinta dan sayang, ia berbisik, "Suamiku, kamu
tahu betapa aku menyintaimu Jangan tinggalkan aku, bawalah
aku bersamamu, jika kamu mati bawalah aku, aku
mengikutimu ke mana kamu pergi, itu adalah kewajibanku
namun lebih dari itu adalah karena aku menyintaimu"
"Aku juga sangat menyintaimu, Gayatri. Aku hampir tak
punya keinginan lain kecuali hidup bersamamu. Tahukah kau
bahwa saat-saat seperti ini, aku ingin memeluk dan bercinta
denganmu tanpa pernah berhenti. Tetapi sekarang ini kamu
sedang hamil, jadi aku harus membatasi diri."
"Geni jangan berhenti menyintaiku, karena pada saat kau
berhenti menyintaiku pada saat itulah aku mati" Gayatri

menangis dalam pelukan suaminya. Keduanya kembali ke
rumah.
Dua hari bermalam di desa Bangsal, rombongan Yudistira
sudah mengumpulkan keterangan lengkap mengenai
pertarungan para pendekar itu. Di pihak negeri Jawa ada
seorang wanita asing, cantik berasal dari India. Ia bisa
bertarung karena ia adalah isteri dari pendekar utama negeri
ini, Wisang Geni. Nama wanita itu Gayatri dan ilmunya sangat
tinggi. Selama tarung Gayatri tidak terkalahkan oleh para
pendekar Cina. Tetapi ilmu silat yang dimiliki Wisang Geni,
yang belakangan dijuluki Pendekar Tanah Jawa dari Lemah
Tulis, sangat luar biasa. Pada akhir pertarungan Wisang Geni
seorang diri mengalahkan dua jago utama kubu Cina, Ciu Tan
dan Mok Tang. Dan ilmu silat yang digunakan sangat luar
biasa dan aneh. Cerita tentang kehebatan Wisang Geni
berkembang dari mulut ke mulut ditambah bumbu penyedap
apalagi julukannya sebagai Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa.
Berita itu bagai halilintar di siang bolong, sangat
mengejutkan sehingga reaksi pun bermacam-macam. Yudistira
diam, tidak mau memberi keterangan sepotong pun mengenai
putrinya. Wasudeva yang marah sempat berkata kasar kepada
Yudistira, "Lihat putrimu, ia berani melangkahi adat istiadat
Himalaya dan kawin diam-diam dengan orang luar. Dia harus
dihukum berat Khusus buat lelaki yang bernama Wisang Geni
itu, dia harus dibunuh."
Yudistira menggebrak meja sehingga hancur lebur.
"Wasudeva, jangan sekali-kali berani menista dan menjelekkan
keluargaku, urusan putriku adalah urusanku. Jika kamu masih
mau menjadi menantuku, silahkan. Jika kamu tidak mau, aku
juga tak peduli. Sekarang kamu pergi dari hadapanku." Itulah
pertama kali dia berkata kasar dan tegas kepada Wasudeva.
Satyawati menangis semalaman. Keesokan hari, wajah
cantiknya tampak sayu, matanya sembab. "Airmataku sudah
habis. Tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membelanya,

oh Gayatri mengapa kaulakukan kesalahan besar itu, kamu tak
mungkin lolos dari hukuman ayahmu" Perkataan Satyawati
didengar putra dan menantu. Yudistira mendengar namun
tetap diam
Sekonyong-konyong Susmita menyela dengan lirih,
"Maafkan aku ibu, seandainya aku pada posisi Gayatri, aku
akan melakukan hal yang sama asalkan lelaki itu cocok
dengan kata hatiku"
Arjun terkejut mendengar ucapan isterinya. "Susmita, kamu
bicara sembarangan."
Susmita merangkap dua tangannya. "Maaf ayah dan ibu,
maaf suamiku, jangan menganggap aku bicara begini karena
sayangku pada Gayatri atau lantaran hubunganku sangat
dekat dengan adik ipar itu. Tidak. Bukan sebab itu. Tetapi
cobalah ayah, ibu, suamiku dan iparku, cobalah berpikir
sederhana."
Ia mengumpulkan segenap keberanian, kemudian
melanjutkan, "Gayatri, seorang gadis berilmu tinggi dan
sangat cerdas. Aku tahu persis bahwa aku tergolong cerdas,
tetapi Gayatri lebih cerdas, banyak akal dan sangat waspada,
ia bahkan bisa menghitung sesuatu yang orang lain belum
memikirkannya. Aku yakin, Gayatri punya alasan kuat, aku
hanya mohon pada ayah, ibu dan kalian semua, dengarkan
alasannya lebih dahulu, baru memutuskan apa kesalahannya."
Semua terdiam Yudistira memecah kesunyian, "Dengarkan,
besok kita ke Lemah Tulis, kita berkunjung dengan baik-baik,
karena menurut kabar, Lemah Tulis perguruan besar, banyak
murid dan unggul ilmu silatnya. Lagipula kita datang ke tanah
Jawa tidak untuk mencari permusuhan."
Wasudeva masuk ruangan. Ia heran melihat seluruh
keluarga kumpul bersama. Ia memberi hormat kepada
Yudistira. "Maaf ayah mertua. Aku sudah pikir matang.
Pertama, aku akan tarung dan membunuh Wisang Geni.

Setelah itu aku menikahi Gayatri. Ini keputusanku, aku mohon
restumu, ayah mertua." Ia berlutut di hadapan Yudistira.
"Aku merestuimu, Wasudeva," kata Yudistira.
Semua terkejut, heran akan keputusan Wasudeva. Mereka
tidak tahu niat dalam hati lelaki itu "Gayatri telah menghina
aku, tetapi demi kepentingan ayah yang menginginkan jurus
silat andalan Yudistira, aku rela berkorban. Tetapi aku akan
ciptakan neraka untuknya, memperlakukan dia seperti
binatang, meniduri ia tiap malam dan memukulinya setiap
siang."
Malam harinya di bilik tidur, Satyawati berkata dengan isak
tangis, "Suamiku, apa yang kaupikirkan tentang Gayatri? Dan
kenapa kamu memberi restu kepada Wasudeva?"
Yudistira berkata lirih, "Istriku, biarkan persoalan ini
berjalan seperti bola salju. Saat bola berhenti menggelinding,
akan terungkap kejadian sebenarnya, saat itulah aku akan
tetapkan keputusan yang paling bijaksana. Sekarang ini aku
mau tidur."
Malam itu di bilik tidur, Wisang Geni membangunkan tiga
isterinya. "Besok pagi aku akan pergi ke gunung Bromo, kalau
kuhitung hitung mungkin aku akan kembali setelah enam
hari."
Tiga perempuan itu heran. Geni menjelaskan, kemarin ia
teringat pesan Dewi Obat beberapa waktu lalu ketika ia
mengantar Wulan yang sedang hamil. Namun pesan itu
kemudian menjadi tidak penting dan dilupakan, karena Wulan
mati, begitu juga anak yang dikandungnya.
"Supaya kandunganmu kuat dan tidak mudah keguguran,
juga memberi si bayi daya tahan tubuh yang kuat, carilah
bunga talasari yang hanya terdapat di Lembah Bunga di kaki
gunung Bromo. Bunga itu tidak terdapat di tempat lain," tutur
Dewi Obat waktu itu.

Gayatri memaksa suaminya mengajak mereka bertiga.
Tetapi Wisang Geni tetap pada pendiriannya. "Dewi Obat
berpesan obat itu hanya bisa dipakai jika kandungan belum
mencapai tiga bulan, aku khawatir masa tiga bulan segera
tiba. Karenanya aku perlu cepat. Perjalanan akan sulit dan
berat sebab aku belum tahu letak Lembah Bunga dan
bagaimana bentuk bunga talasari. Kalian bertiga tinggal di
rumah. Sebab jika aku sendiri, aku bisa bergerak cepat Dalam
waktu enam hari aku sudah kembali. Aku harus pergi karena
obat ini sangat perlu untuk kalian berdua dan bayinya."
Keesokan hari setelah berpesan kepada Gajah Lengar dan
Gajah Nila, ia berangkat. Ia melecut kuda jantan hitam yang
tangguh itu ke arah tenggara menuju gunung Bromo. Geni tak
pernah menduga bahwa pada saat yang sama, jauh sana di
desa Bangsal, rombongan Yudistira bersiap-siap melakukan
perjalanan menuju Lemah Tulis. Jikalau saja Geni tahu,
mungkin dia tak akan berani beresiko meninggalkan Gayatri di
rumah.
Rombongan Yudistira tiba di Lemah Tulis. Susmita dan
Arjun mengaku sebagai saudara Gayatri ingin jumpa dengan
Wisang Geni dan Gayatri. Melihat tamu datang dan bicara
dengan sopan, para murid menerima dengan baik.
Prastawana, Dyah Mekar dan murid utama lainnya sama
sepakat, para tamu benar-benar keluarga dari Gayatri. Apalagi
melihat wajah Satyawati yang mengaku sebagai ibu, seperti
pinang dibelah dua dengan Gayatri.
Itu sebab mereka tidak ragu memberitahu bahwa Geni dan
isterinya sudah satu bulan lebih pindah ke hutan di lereng
gunung Welirang. "Maaf, kami tidak bisa mengantar, karena
kami masih punya kesibukan, aku yakin penunjuk jalan itu
bisa membawa anda semuanya ke gunung Welirang," tutur
Prastawana.
Tanpa istirahat lagi, rombongan melanjutkan perjalanan
menuju gunung Welirang.

Pada saat yang sama, Wisang Geni tiba di desa kecil di
batas hutan di kaki gunung Bromo. Desa kecil itu hanya dihuni
beberapa keluarga. Hari masih siang, Geni bertanya kepada
seorang penduduk, di mana Lembah Bunga Orang itu
menunjuk ke arah hutan. "Lewat hutan itu. Tetapi lebih baik
batalkan saja niat sampean, tempat itu sangat angker dan
jarang didatangi manusia karena banyak dedemit."
Geni menitip kuda hitamnya di rumah penduduk yang
memiliki kandang kuda. Kemudian dengan ilmu ringan tubuh,
ia menerobos hutan lebat. Saking lebarnya hutan, hanya
sebagian kecil sinar matahari yang bisa menerangi. Tidak sulit
untuk menetapkan arah, Geni memilih jalan yang menanjak.
Beberapa saat kemudian ia sampai di suatu tempat yang
luas. Sebatas mata memandang tampak hamparan ilalang
setinggi tubuh manusia membentang di depan matanya Geni
dengan ilmu ringan tubuhnya berjalan di atas pucuk ilalang.
Tetapi ia temukan keanehan. Tadinya ia yakin menuju ke
depan, ke arah Selatan. Tetapi herannya ia bahkan tak pernah
bisa sampai di tepian padang ilalang yang luas itu. Ia
berputar-putar di padang itu. Matahari sudah hampir
tenggelam tetapi Geni belum juga bisa lolos dari padang
ilalang. Mendadak saja sesosok bayangan berkelebat jauh di
depan. Bayangan itu berhenti dan menggapai memanggilnya
Geni mengejar. Begitu mendekat, ia terkejut, mengenal
perempuan itu adalah Manohara, murid paling buncit dari
Kalandara, si ketua Lembah Bunga "Mengapa si Manohara
berada di sini?"
Pertanyaan itu tak sampai tercetus karena Geni teringat
bahwa Kalandara dijuluki Dewi Lembah Bunga, artinya dia
memang tinggal dan menetap di lembah ini. "Selamat jumpa
Manohara, kebetulan kamu datang, mungkin kamu bisa
membantu aku keluar dari padang ilalang ini."
Manohara berdiri agak jauh Tampaknya ia tidak merasa
takut. "Wah, hebat sekali, Wisang Geni Pendekar Nomor Satu

Tanah Jawa datang secara diam-diam ke Lembah Bunga, ia
kesasar dan minta tolong padaku. Hei Geni, kamu tentu masih
ingat, dulu kamu mempermalukan aku di depan orang banyak,
meremas bokongku merobek celanaku sehingga sepanjang
jalan aku terpaksa menutupi bokongku agar tidak terlihat
orang. Kamu kurang ajar. Kenapa kamu lakukan itu?"
Wisang Geni menjawab sekenanya, "Aku gemas, melihat
bokongmu yang semok?
Wajah Manohara memerah, malu, tetapi dalam hatinya ada
rasa senang. "Kalau memang gemas, kamu tak perlu lakukan
itu."
"Seharusnya bagaimana?"
Sekali lagi wajah pendekar cantik itu memerah "Kamu kan
bisa memintanya dengan baik-baik."
Geni berpikir satu-satunya jalan, menawan Manohara,
memaksa dia menjadi penunjuk jalan. Geni tersenyum "Baik,
kalau begitu, sekarang aku minta ijin."
Manohara tertawa. "Kamu pura-pura merayu, mau
menawan aku? Ini daerah milik perguruanku, kamu tak bisa
keluar dari sini, kamu juga tak bisa menawan aku, kalau tak
percaya cobalah."
Geni tidak menunggu lagi. Ia bergerak cepat, sangat cepat,
melompat ke depan menjambret tangan Manohara.
Perempuan itu bergerak, namun terlambat. Geni berhasil
menangkapnya Takut ia lepas, Geni memeluk erat-erat
Tubuhnya terasa lunak dan menebar bau harum yang segar.
Geni menekan titik jalan darah di punggung membuat
perempuan itu lemas. "Sekarang tunjukkan jalan menuju
Lembah Bunga."
Tubuh Manohara lemas, tak bertenaga. Tetapi lidahnya
masih tajam. "Geni, kamu bodoh, daerah ini namanya Lembah

Bunga, cuma sekarang ini kita berada di padang ilalang. Kamu
mau ke dalam atau mau keluar?"
Geni terpaksa membopong perempuan cantik itu. "Antarkan
aku ke tempat yang banyak bunganya."
"Baik, kalau itu maumu, kau tak boleh berjalan cepat,
sebab harus mengikuti hitungan langkah. Tujuh langkah ke
depan, kiri empat, tujuh ke depan, kanan duapuluh, tunggu
dulu, aku peringatkan kamu Geni, percuma kamu menghafal
hitungan langkah ini, sebab selalu berubah, jalan masuk dan
jalan keluar juga berbeda, semuanya berpatokan pada posisi
matahari. Dan kamu harus ingat, sekali kamu masuk, kamu
tak bisa keluar jika tidak diantar. Apa yang kamu cari?"
"Kau sama sekali tidak takut, padahal sudah menjadi
tawananku."
"Aku tak perlu takut, aku aman dalam pelukan lelaki
perkasa yang pernah meremas bokongku. Lagipula hanya aku
yang bisa menjadi penunjuk jalanmu Hei, kamu belum
menjawab, apa yang kau cari di Lembah Bunga ini?"
"Ya, kamu antarkan aku mendapatkan bunga talasari."
"Setahuku talasari itu bagus untuk perempuan hamil,
apakah dua isterimu hamil sampai kamu jauh-jauh datang
kemari untuk bunga obat itu. Geni, lepaskan totokanmu biar
aku bisa bergerak."
Manohara berusaha berontak dari pelukan Geni. Tetapi
usahanya sia-sia, tubuhnya lemas tak bertenaga.
Saat itu, mereka sudah keluar dari padang ilalang, tiba di
daerah luas yang terdiri dari pepohonan kamboja. Geni
memencet jalan darah di punggung Manohara, perempuan itu
bisa berdiri. Geni menatap wajah gadis cantik itu. "Bagaimana
kau tahu, aku sudah kawin dan punya dua isteri?"
"Aku menyaksikan pertarungan di desa Bangsal, kamu
hebat, perkasa dan tampan. Gayatri dan Sekar, keduanya

cantik dan ilmu silatnya tinggi. Kamu memang penakluk
perempuan, aku pikir semua wanita yang mengenalmu pasti
jatuh cinta padamu"
Gadis itu mengeluarkan sekuntum bunga dan
mengunyahnya.
"Termasuk kau?" Geni memerhatikan mulut indah yang
sedang mengunyah bunga itu.
"Ya termasuk aku. Sejak kau meremas bokongku, aku
sudah jatuh cinta padamu Kebetulan sekarang ini kamu
datang ke rumahku, dan kebetulan guru serta dua kakakku
sedang turun gunung. Semuanya serba kebetulan. Sekarang
ini kau menjadi milikku."
Berkata demikian, Manohara yang berdiri di dekatnya,
bergerak cepat, merangkul leher Geni dan mencium lelaki itu.
Geni terkesiap tetapi hanya sesaat, ia kemudian menikmati
bibir basah dan lembut itu Keduanya larut dalam nikmat
ciuman.
Mendadak Geni merasa tubuhnya lemas, kepalanya agak
pusing. Ia kaget. Manohara melepas ciuman, berontak dari
pelukan. Geni limbung dan jatuh terkapar di tanah. Kepalanya
terasa pusing dan berdenyut sakit. "Racun apa ini?"
Manohara tersenyum puas melihat Wisang Geni terkulai
lemas. "Aku tahu, kamu memiliki tenaga dalam yang tinggi,
kamu bisa mengusir pengaruh bunga ini, jika orang lain bisa
lemas sepanjang hari, tetapi kamu pasti bisa pulih jauh lebih
cepat. Aku beri kamu racun tambahan, tak usah takut, racun
ini hanya membuat kamu tidak bisa mengerahkan tenaga
dalam saja, kamu tidak akan mati."
Gadis itu mengambil tiga kuntum bungayang ia simpan di
belahan dadanya. Ia mengunyah bunga itu, membuka paksa
mulut Geni. Ia membungkuk dan mencium mulut Geni. Ia
menekan hidung Geni sehingga ampas dan cairan bunga itu
tertelan oleh Geni. Baunya harum, rasanya manis.

Manohara tersenyum "Geni, apakah pernah terpikirkan
olehmu, suatu waktu nyawamu berada di tanganku, sekarang
ini kalau aku mau, aku bisa membunuhmu"
Geni berkata lirih, "Lakukan saja, kenapa harus banyak
omong."
"Kamu pernah mengancamku, akan melucuti pakaianku di
depan umum, mempermalukan aku. Itu kan sudah kelewatan,
mengapa kamu membenciku sedemikian rupa?"
"Aku tidak membencimu, aku hanya menakut-nakuti kamu,
supaya kamu jangan lagi membunuh murid Lemah Tulis yang
tidak berdosa. Aku tidak punya permusuhan denganmu, lantas
kenapa harus membencimu?"
"Kamu tidak membenciku? Benarkah?"
Wisang Geni menatap gadis cantik itu, menggeleng kepala.
'Tidak, aku tidak membencimu Ayo Manohara, bunuhlah aku,
jika memang itu maumu, mumpung aku lagi tak berdaya."
"Aku tak pernah berpikir akan membunuhmu Apakah kau
tuh, tadi aku sudah mengaku menyintaimu, bagaimana
mungkin aku tega membunuhmu "
"Jika demikian bebaskan aku."
Manohara menggeleng kepalanya. "Tidak bisa, jika
kubebaskan kamu akan pergi, kabur."
"Tadi katamu, sekali masuk orang tidak bisa keluar dari
lembah ini jika tidak diantar, bagaimana aku bisa kabur?
Lagipula aku masih membutuhkan bunga talasari."
Manohara diam sejenak. Tampak ia berpikir. Sesaat
wajahnya memerah. Ia membungkuk hendak membopong
tubuh Geni, membawanya ke tempat tersembunyi. Tetapi
mendadak saja, tangan Geni merangkulnya. Ia terjerembab di
atas tubuh Geni yang lalu menjambak rambutnya sehingga
wajah Manohara tengadah. Geni mencium mulurnya. Gadis

cantik itu terperanjat. Namun ia tak perlu berpikir lagi. Ia
balas memeluk erat tubuh Geni Keduanya larut dalam birahi,
bercinta di bawah pohon kamboja.
Manohara terengah-engah, ia menutupi tubuhnya yang
telanjang. "Kamu memang lihai, bisa begitu cepat mengusir
racun bunga cinta," Ia menatap Geni dengan penuh cinta dan
birahi. Geni bertanya saking herannya mendapatkan wanita itu
masih perawan. "Aku memang masih perawan, kenapa
heran?"
Geni menjawab penuh penyesalan, "Aku salah sangka, aku
pikir kamu wanita sembarangan, penggoda lelaki dan mau
saja ditiduri laki-laki, maafkan aku, Manohara."
"Aku mau kau tiduri karena aku menyukaimu Sekarang apa
lagi maumu?" Manohara bangkit, lari sambil memegang
bajunya. Ia setengah bugil.
Geni mengejar, "Kamu jangan lari!"
Manohara lari dan berhenti di sebuah batu besar. Di balik
batu itu, ada sebuah goa kecil, bagian dalamnya bersih, di
pojokan ada bale untuk tidur. Manohara berbaring di bale.
"Goa ini tempat aku bermain-main waktu masih kecil."
Keduanya bergelut lagi dengan bernafsu. Manohara
menceritakan asal-usulnya. Ia ditemukan gurunya sejak bayi
dididik, disayang seperti anak sendiri. Untuk Manohara,
gurunya memelihara sapi. "Sejak bayi aku minum susu, waktu
dewasa seminggu sekali aku mandi susu dicampur bunga
warna-warni."
Baru sekarang Geni mengerti mengapa Manohara masih
perawan dan bau keringatnya harum macam bunga.
Malamnya Geni menggeluti si gadis. Esok harinya, mereka
mencari bunga talasari. Ternyata tak mudah, baru senja hari
mereka temukan.

Bunga talasari besarnya setengah tapak tangan, bersusun
aneka warna. Sangat indah. Geni memilih sepuluh kuntum
yang segar. Ia menghunus pisau, mengeluarkan tabung
bambu kecil. Ia melumat sepuluh kuntum berbarengan
menoreh tangannya. Darahnya menetes di atas bubuk bunga,
ia menghitung sampai sebelas tetes. Aneh, darah dan bunga
menggumpal menjadi satu Geni cepat memasukkan ke dalam
tabung sebelum gumpalan mengeras. Selesai sudah.
Menurut Dewi Obat, gumpalan itu akan menjadi keras.
Nantinya dikunyah dan ditelan Sekar dan Gayatri selama
sepuluh hari. Anehnya, jika darah yang menjadi campuran itu
bukan darah ayah kandung si bayi, maka obat itu tak akan
bermanfaat.
Geni menatap Manohara, mengucap terimakasih. Gadis itu
diam. Geni berkata ia harus pergi secepatnya sebelum waktu
tiga bulan itu terlewati. "Kalau terlambat, obat ini tak
bermanfaat."
Manohara memegang ujung bajunya sendiri. Ia menatap
Geni. "Kamu mau pergi begitu saja? Tidak lama lagi matahari
terbenam, kalau tak ada matahari aku tak punya pedoman
untuk jalan keluar, tetapi apakah kau tak ingin nginap
semalam lagi, berdua bersamaku Geni?" Suaranya memelas.
Geni diam, ia menghitung hari. Ia berjanji kepada Gayatri,
enam hari. Sekarang baru hari keempat, jika esok pagi pulang,
bisa tiba tepat di hari keenam Masih ada waktu. Geni
memutuskan nginap lagi semalam di goa kecil itu.
Semalaman keduanya bercinta dan bergurau. Namun Geni
tak pernah menyangka, pada malam hari saat ia menggumuli
tubuh molek Manohara, pada saat yang sama di rumahnya di
kaki gunung Welirang, Gayatri sedang menangis dalam
dekapan sang ibu Gayatri menumpahkan segala kerinduan dan
ketakutan, ia menelungkup di pangkuan ibunya. Satyawati ikut
menangis. Saat-saat mengerikan yang ditakuti Gayatri, sudah
tiba.

---oo0dw0ooo---
Memburu Cinta
Hari itu akhir dari bulan Asadha. Senja yang sejuk di lereng
gunung Welirang. Prawesti masuk bilik tidur memberitahu
Sekar dan Gayatri adanya serombongan orang datang. Bertiga
mereka menuju beranda rumah, berdiri memandang ke kaki
gunung. Seketika itu juga Gayatri tahu "Itu rombongan
orangtuaku," katanya lirih. Jantungnya berdebar-debar.
Dua pendekar Lemah Tulis, Gajah Nila dan Gajah Lengar
mendengar ucapan Gayatri. Keduanya merasakan kejanggalan
melihat air muka perempuan itu muram padahal seharusnya
gembira bertemu dengan orangtua dan keluarganya. Gayatri
menoleh kepada dua lelaki itu, "Kangmas, mbakyu Sekar dan
adik Westi, ada beberapa permohonanku kepada kalian." Dia
menghirup udara dengan tarikan panjang, melepasnya
perlahan, kemudian melanjutkan bicaranya, suaranya
bergetar.
"Satu, apa pun yang terjadi kalian jangan bentrok dengan
siapa pun dari rombongan itu. Mereka adalah keluargaku,
kalian juga keluargaku, aku tak mau terjadi tarung.
"Dua, tujuan orangtuaku kemari adalah membawa aku
pulang ke Himalaya dan aku tidak berani menentang
keinginan mereka, aku harap kalian tidak ikut campur.
"Tiga, apa pun yang terjadi pada diriku, sampaikan pesan
pada suamiku bahwa aku menyintainya sampai ajalku.
Katakan pada Geni cepat susul aku ke pelabuhan Jedung,
jangan sampai terlambat, karena sesungguhnya aku tidak rela

pulang ke Himalaya." Begitu teringat suaminya, Gayatri tak
sanggup lagi membendung tangis.
"Aku sangat menyintainya"
Setelah mengutarakan permintaan dan pesannya, Gayatri
tampak lemas bagaikan baru saja menyelesaikan pekerjaan
yang sangat berat. Air mata masih membasahi pipinya, Gayatri
berpegang pada pagar beranda. Sekar dan Prawesti memeluk,
mengelus punggung dan bahu Gayatri. Mereka ikut menangis.
Rombongan tamu makin mendekat.
Gayatri melepas diri dari pelukan dua sahabatnya. Dia
menghapus dan membersihkan airmata di pipinya, memaksa
senyum gembira Dia menoleh pada Sekar dan Prawesti.
"Jangan perlihatkan bahwa kita baru saja menangis." Lalu
kepada Gajah Lengar, "Kangmasberdua ingat pesanku tadi,
jikalau kangmas menyayangi aku, kangmas tak akan
melupakan atau melanggar pesanku tadi." Ia tersenyum puas
ketika Gajah Lengar dan Gajah Nila mengangguk mengiyakan.
Rombongan itu berhenti di depan rumah. Dua kereta kuda
dan sembilan kuda tunggang. Gayatri setengah berlari
menghampiri ayahnya Ia merunduk menyentuh kaki ayahnya
Sang ayah memeluk sambil mengelus punggung dan mencium
kepalanya Kemudian berkata dengan nada penuh kasih
sayang dan rindu. "Pergilah kepada ibumu, dia sangat
merindukan kamu"
Dia menghampiri dan melakukan yang sama pada ibunya,
menyentuh ujung kaki kemudian menghambur ke dalam
pelukan ibunya. Dia memeluk erat ibunya. Tidak tertahankan
lagi, dia menangis tersedu-sedu.
Sekar dan Prawesti masih berdiri terkesima menatap wajah
Satyawati, tidak ada bedanya dengan Gayatri, sama cantik,
kulit sama putih, seperti pinang dibelah dua. Bahkan tubuhnya
pun sama tinggi dan sama langsing. Perbedaan mencolok
hanya pada pengaruh usia. Satyawati merenggangkan

pelukan, menatap wajah putrinya. "Gayatri, kamu tampak
sehat, malah agak gemuk, kau bahagia?" Dia menghapus
airmata putrinya
"Iya ibu, aku bahagia, sangat bahagia." Gayatri menciumi
wajah ibunya, dan berusaha tersenyum
"Eh pakaianmu itu, pakaian pendekar Jawa, iya?" Satyawati
tersenyum Gayatri juga senyum malu-malu. "Kamu pergilah
jumpai kakak-kakakmu, mereka juga merindukan adiknya, si
bontot yang kabur," kata ibunya
Dia beranjak menyalami semua keluarganya, kakak dan
iparnya Tapi dia tidak mau memandang Wasudeva yang
berdiri kaku memerhatikannya Dia menggandeng Susmita dan
Ayeshak, dua kakak iparnya. Mereka bisik-bisik, "Kakak,
apakah ayah sudah memberitahu apa yang akan dia lakukan
padaku?"
Susmita menjawab, "Belum."
Lantas Ayeshak berbisik agak keras, "Kami berdua pasti
akan membelamu, jangan khawatir adik ipar."
Berdiri di depan rumah Yudistira memandang sekeliling.
Pemandangan yang luar biasa. Dia takjub dan terpesona
melihat keindahan danau dan air terjun. Mendadak saja, dia
berlari-lari sambil bersiul. Siulannya keras melengking,
gaungnya menggema di mana-mana. Ia berlarian ke danau,
air terjun, mendaki tebing. Tanpa dia sadari, dia telah
memperlihatkan kepandaiannya yang tinggi. Kakinya kelihatan
tidak menyentuh tanah. Dia berlari di atas permukaan danau,
langkahnya cepat dan ringan. Melihat tingkah laku ayahnya,
Gayatri tertawa kecil, tanpa sadar ia menggumam, "Aneh,
kelakuan ayah itu mirip yang dilakukan Wisang Geni."
Ibunya mendengar. "Mirip? Apanya yang mirip?"
"Iya Bu, mirip sekali, ketika Wisang Geni sangat bergembira
akan sesuatu kejadian, dia akan bersiul keras dan berlarian

seperti orang kesurupan, persis seperti apa yang ayah
lakukan. Bahkan sampai menyelam ke dalam danau. Ketika ia
selesai dan masuk rumah, pakaiannya basah kuyup."
Satyawati memandang keliling, mencari-cari. "Gayatri,
mana suamimu, mengapa ia tidak keluar berkenalan?"
Gayatri merunduk. Ia berkata lirih, "Ia pergi ke gunung
Bromo, mencari obat, katanya dalam waktu enam hari ia
sudah akan kembali. Hari ini baru hari keempat."
"Siapa yang sakit, kamu sakit Gayatri?"
"Tidak ibu, aku tidak sakit," Gayatri menggeleng, tetap
merunduk, tak berani menatap mata ibunya.
Didesak akhirnya Gayatri mengaku, bahwa Geni mencari
jamu untuk penguat kandungan dan menambah kekuatan
pada sang bayi Ibunya terkejut, lalu wajahnya gembira "Kamu
hamil? Oh anak bodoh, mengapa tidak dari tadi kau katakan."
Keduanya berpelukan. Mendadak seperti teringat sesuatu,
Satyawati memegang tangan putrinya. "Ibu pikir, sebaiknya
kita rahasiakan dulu, jangan beritahu siapa pun, ayah atau
kakakmu"
Selang beberapa saat kemudian Yudistira masuk ke dalam
rumah. Pakaiannya basah kuyup, masing-masing tangannya
menggenggam ikan yang cukup besar dan yang masih
menggelepar. Satyawati tertawakecil melihat suaminya,
"Benar juga katamu, memang mirip, ayahmu juga basah
kuyup." Gayatri menundukkan kepala, tidak menjawab namun
dalam hatinya ia tertawa.
Tampak Yudistira tertawa senang. Istrinya takjub, sebab
belakangan ini, selama perjalanan ke tanah Jawa, dia jarang
melihat suaminya tertawa. "Pemandangan sangat indah.
Udara sejuk. Air danau dingin dan banyak ikan. Ini dia, aku
tangkap dua ekor yang paling besar, biar Ayeshak yang
memanggang."

Wasudeva berkeliling rumah. Dia tadi melihat Gayatri.
Hatinya terbetot melihat perempuan itu yang begitu cantik,
montok dan menggairahkan. Nafsu birahinya berkobar melihat
lekuk tubuh dan lenggang Gayatri. "Aku bisa gila memikirkan
perempuan itu. Sekarang dia bahkan lebih cantik dan lebih
montok. Aku harus dapatkan dia, suaminya harus kubunuh,
harus!" Suara hatinya itu seperti bara apiyang makin
membakar kebenciannya terhadap suami Gayatri. "Bagaimana
mungkin, lelaki lain bisa mendapatkan Gayatri yang begitu
cantik, sungguh tidak adil. Ini tak boleh terjadi, aku harus
merebutnya kembali."
Dia berkehling mencari-cari lelaki yang bernama Wisang
Geni. Kata orang, rambut lelaki itu semuanya ubanan, putih
keperakan. Dia melihat Gajah Lengar dan Gajah Nila serta
beberapa murid lelaki, tak ada yang cocok. Ia menenangkan
diri, tak perlu tergesa-gesa, pasti nanti akan ketemu lelaki itu.
"Sebaiknya sekarang aku melakukan pendekatan pada
Gayatri," gumamnya.
Memasuki ruangan, dilihatnya Gayatri duduk berempat
Satyawati, Susmita dan Ayeshak. "Ibu mertua, aku ingin
bicara dengan Gayatri di luar ruangan, boleh?" Pertanyaan
Wasudeva itu setengah mendesak dan sangat mendadak
membuat Satyawati gugup.
Sebelum ibunya menjawab, Gayatri mendahului dengan
ketus, "Maaf, aku tidak boleh bicara dengan tuan, sebab aku
sekarang sudah menjadi isteri Wisang Geni. Aku juga tak mau
bicara dengan tuan, lagipula aku tak punya urusan dengan
tuan."
Wajah Wasudeva merah seperu kepiting direbus. Ia marah
dan malu "Aku perlu bicara dengan kamu, sebab tidak lama
lagi kamu akan menjadi janda, dan aku akan menikah dengan
kamu"
"Siapa bilang aku akan menjadi janda?"

"Aku! Aku memastikan kamu akan menjadi janda, karena
aku akan membunuh Wisang Geni. Tidak ada yang bisa
mencegah aku membunuh suamimu itu."
Gayatri menjawab dengan berani. "Kamu tak akan
ungkulan menghadapi suamiku, ilmu silatnya tinggi dan ia
pendekar tanpa tandingan. Lagipula, aku hanya menikah satu
kali dalam hidupku. Ada yang lebih penting lagi yang tuan
harus tahu, aku hanya mencintai seorang lelaki dan dia adalah
suamiku Wisang Geni."
Laki-laki itu menatap tajam, pandangannya penuh dendam
dan amarah. Sesaat kemudian ia berbalik dan melangkah
keluar kamar.
Dari ruangan dalam Yudistira muncul dengan tersenyum Ia
senyum misterius. Rupanya ia mendengar seluruh
pembicaraan. "Gayatri, kamu membuat laki-laki itu marah."
Dia memandang keempat wanita itu, "Malam nanti kita
sekeluarga kumpul semua, istriku, anakku dan menantuku."
Malam itu saat Wisang Geni menggeluti tubuh Manohara di
gunung Bromo, saat yang sama Gayatri gelisah berhadapan
dengan ayahnya.
"Aku sangat menyintai anak-anakku. Barangkah aku terlalu
berlebihan memanjakan kamu, sehingga kamu berani
mencoreng arang di wajahku, berani mengotori nama dan
kehormatanku. Gayatri, kau sudah kujodohkan dengan
Wasudeva Lalu kau kabur ke tanah Jawa, kau kawin sembunyi
tanpa restu orangtua. Kau kawin dengan lelaki dari golongan
luar. Begitu banyak keburukan yang telah kaubuat, coba
berikan alasanmu, ayah ingin tahu," katanya dengan sungguhsungguh.
Gayatri pernah membayangkan suatu waktu nanti ia akan
menghadapi saat-saat mencekam seperti malam ini. Saat di
mana ia diadili dan hukuman ayahnya akan dijatuhkan. Ketika
ia memutuskan kabur dari Himalaya, ia sadar hukumannya

berat. Ketika ia memastikan menikah dengan Wisang Geni, ia
juga tahu hukumannya akan lebih berat. Mungkin saja
hukumannya adalah mati.
Tetapi ia telah menjatuhkan keputusannya, rela mati
ketimbang menikah dengan Wasudeva yang telah menghamili
kakaknya dan yang kemudian tidak mau bertanggungjawab.
Ia tahu pasti dia akan dihukum. Tadinya ia pasrah, bahkan
bertekad mengikuti jejak Manisha, bunuh diri. Tapi keadaan
sudah berbeda dibanding saat tekad ia cetuskan. Sekarang ia
telah merasakan nikmatnya cinta, bahagianya menyinta dan
dicinta Wisang Geni. Bahkan dia kini hamil, ada bayi dalam
kandungannya, buah dari percintaan dan kebahagiaannya.
Sekarang ini keinginan hidup bergejolak dalam dirinya. Ia
ingin hidup lebih lama lagi bersama Geni. Dia ingin mencicipi
kebahagiaan hidup lebih lama lagi, bahkan jika mungkin
selama-lamanya. "Aku tidak mau mati!" Tekadnya dalam hati
Dia mengumpulkan segenap keberaniannya, sesaat
kemudian menjawab tegas, "Aku kabur dari Himalaya, karena
aku tak mau kawin dengan Wasudeva, jikalau aku dipaksa
kawin, lebih baik aku menyusul kakak Manisha, bunuh diri.
Aku senang bisa kabur, jadi aku tak perlu terjun dari tebing
yang tinggi, bunuh diri, karena sebenarnya aku takut
melakukannya."
Selanjutnya dia menceritakan asal muasal kisah
perkenalannya dengan Wisang Geni. Semuanya. Tak ada yang
ia tutup-tutupi. Dan perkenalan di gubuk reyot saat ia hendak
diperkosa penjahat sampai pertemuan di gunung Argowayang
yang berakhir dengan pernikahan. Tetapi dia tidak
menceritakan malam di desa Gondang ketika Wisang Geni
merenggut perawannya. Rahasia percintaan yang begtuu
indah di malam itu disimpannya untuk diri sendiri.
Dia meyakinkan ayahnya bahwa keputusannya itu sangat
tepat untuk dirinya sendiri. "Ayah, dia sangat menyintai aku,
dia rela melakukan apa saja demi aku, dia lelaki yang

bertanggungjawab, dia menghargai aku sebagai wanita dan
sebagai isteri, tetapi pada saatnya dia bisa tegas. Ia juga telah
memenuhi syarat sumpahku, ilmu silatnya jauh lebih tinggi di
atas aku, ia seorang suami idaman."
"Mengapa kamu tidak mau menikah dengan Wasudeva?"
Gayatri berpikir, kini saatnya dia berterusterang
menceritakan kisah sedih Manisha, tentang Wasudeva
menghamili kakaknya kemudian meninggalkan Manisha begitu
saja tanpa niat bertanggungjawab. Itu sebabnya Manisha
bunuh diri melompat dari tebing.
Tetapi ia belum sempat membuka mulut, Satyawati
memotong pembicaraan. Putri kepala suku Namcha ini
berbicara dalam bahasa Namcha. Cuma dia dan suaminya saja
yang mengerti bahasa salah satu suku terbesar di gunung
Bharwa di Timur Himalaya. Tak seorangpun di ruangan itu
yang mengerti pembicaraan Satyawati dan suaminya, tidak
juga Wasudeva yang sembunyi-sembunyi nguping di balik
dinding.
Satyawati bicara dengan nada rendah, "Ada seseorang
nguping di balik dinding, lagipula rahasia ini sebaiknya tidak
diketahui oleh kedua putramu Laki-laki itu memang putra
sahabatmu, tetapi...... tidak tahu bahwa putrimu yang tertua,
mati akibat ulah laki laki itu" Dia menatap suaminya yang
mendengar dengan seksama, kemudian melanjutkan. "Dia
memerkosa putrimu, satu kali, dua kali. menjanjikan akan
mengawini anakmu itu, putrimu jatuh cinta dan bersedia
melakukan hubungan intim berulangkali, buntutnya hamil.
Tetapi laki-laki itu ingkar janji, ia tidak datang melamae, dia
bahkan menghilang. Makin hari perut Manisha makin besar,
empat bulan hamil putrimu kemudian menceritakan seluruh
kejadian padaku. Terus terang saja, aku tak berani melapor
padamu, kamu tahu mengapa, sebab setiap aku membuka
percakapan tentang laki-laki itu, kau selalu menjawab bahwa
dia itu putra sahabatmu, dan harus diperlakukan istimewa."

"Tunggu!" Yudistira memotong penuturan isterinya. "Waktu
itu, aku memberitahu Manisha bahwa aku sudah menerima
lamaran Mahesh dan segera merundingkan hari pernikahan.
Aku ingat wajah putriku pucat, tubuhnya gemetar. Itulah
terakhir kali aku melihat wajahnya yang cantik. Esok harinya,
aku menerima kabar buruk dia mati bunuh diri, terjun dari
tebing." Dia berhenti sesaat lantas melanjutkan, "Aku pikir,
ada sesuatu yang ganjil yang tidak aku ketahui. Kamu tahu-,
beberapa hari sebelumMahesh datang melamar, aku
memenuhi undangan Arjapura bertemu di suatu tempat, dia
menjelaskan akan melamar Gayatri menjadi isteri Wasudeva,
dan Manisha akan dijodohkan dengan Mahesh, putra
sahabatnya. Pernikahan akan dirayakan bersama-sama."
Dia berhenti sejenak kemudian melanjutkan dengan mimik
wajah yang keras. "Sekarang ini aku bisa mereka-reka cerita
selengkapnya, kira-kira begini, Wasudeva menghamili
Manisha, setelah itu dia jatuh cinta pada Gayatri, ia batal
mengawini Manisha, dia memaksa ayahnya melamar Gayatri
dan menjodohkan Mahesh dengan Manisha. Putriku Manisha
malu karenanya dia bunuh diri. Gayatri mengetahui keburukan
lelaki itu, kabur ke tanah Jawa."
Melihat isterinya mengangguk tanda membenarkan
ceritanya, Yudistira melanjutkan bicara, "Tetapi kulihat
Wasudeva itu sangat menyintai Gayatri, buktinya dia masih
mau mengawini Gayatri meski putri kita itu sudah menjadi
isteri orang lain."
Isterinya menggelengkan kepala. "Bukan lantaran
menyintai Gayatri, lebih tepatnya dia ingin mewarisi ilmu silat
andalanmu Atehai Zaminepar Kabehiyeh Chande Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi), sekarang
kamu terkejut kan?"
Melihat suaminya terdiam, Satyawati melanjutkan,
"Ayahmu menceritakan ini padaku, dia berpesan agar aku dan
putrimu waspada menjagamu. Katanya, kamu terlalu jujur dan

percaya diri, kamu tak akan pernah percaya siapa pun yang
memperingatkan adanya bahaya yang mengancam, sampai
bahaya itu datang sendiri baru kamu percaya. Tetapi pada
saat itu mungkin sudah terlambat, bahaya itu telah
membunuhmu"
Yudistira berkata lirih, "Sebenarnya aku sudah tahu
sebagian dari penuturanmu, aku tahu Wasudeva tidak layak
menjadi suami Gayatri, terutama setelah aku pelajari sifat dan
kelakuannya selama perjalanan, aku tahu ia memerkosa dan
menganiaya wanita di tengah perjalanan. Tetapi persoalan
Gayatri kabur dan kawin secara diam-diam, itu merupakan
kesalahan tersendiri."
"Tetapi semua berpangkal pada kisah Wasudeva dan
Manisha, itu yang membuat Gayatri terpaksa berbuat
kesalahan. Aku mohon padamu, suamiku, ampunilah Gayatri,
dia adalah belahan jiwaku."
Setelah pembicaraan dengan isterinya yang memakan
waktu cukup lama, Yudistira menatap Gayatri. "Aku bicara
dengan ibumu dalam bahasa yang tidak kalian mengerti,
karena memang tidak perlu kalian tahu. Sekarang ini aku
belum tetapkan hukuman bagi Gayatri yang telah berbuat
kesalahan besar." Dia menoleh pada dua putranya. "Besok kita
berangkat ke Jedung, jika ada perahu tujuan Malaka atau
Puchet, kita langsung pulang. Besok pagi semua sudah harus
siap. Satu hal penting, kalian semua bertanggungjawab jika
Gayatri kabur lagi, aku tak mau hal itu terjadi. Gayatri akan
dihukum setiba kita di perguruan Himalaya. Dan mengenai
laki-laki itu, dia harus membayar semua kesalahannya, aku
tidak akan mengampuni orang yang telah menghina dan
menganiaya anakku."
Tanpa sadar, Gayatri menyahut spontan, "Dia tidak
bersalah, suamiku tidak bersalah. Ayah, kami menikah karena
suka sama suka, dan aku rela menjadi isterinya." Selesai

bicara, Gayatri merasa heran atas keberaniannya. Dari mana
datangnya keberanian tadi?
Yudistira tersenyum misterius. "Kamu tak mengerti apa
yang ayah katakan." Dalam hatinya ia berkata, "Daki-laki yang
kumaksud itu Wasudeva, dia harus membayar kesalahannya."
Sampai tengah malam Yudistira duduk menyendiri di tepi
danau. "Wasudeva harus membayar dosanya terhadap
Manisha, mungkin aku akan bentrok dengan Arjapura, dan
pasti banyak korban berjatuhan. Tetapi apa boleh buat Lakilaki
itu tetap harus dihukum, dia telah melanggar kehormatan
keluarga dan harga diriku. Tetapi, Wisang Geni, apa salahnya?
Ia tak bersalah, ia menyintai Gayatri dan mereka kawin karena
saling menyinta. Hanya sehebat apa ilmu silatnya? Ia cucu
murid Suryajagad, ia Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa, pasti
silatnya sangat unggul. Aku ingin menjajalnya. Apakah
sebaiknya aku menunggu dia kembali dari Bromo?"
Semalaman itu Gayatri berada di bilik bersama ibu dan dua
kakak iparnya. "Ibu katakan kepada ayah, aku akan menyusul
ke Jedung bersama suamiku, aku tak kan ingkar janji. Biarkan
aku tetap di sini menanti suamiku."
Ibunya menggeleng kepala. "Tidak bisa begitu putuku!
Sebenarnya ayahmu sudah melunak, jika didesak lagi dengan
permintaan itu dia bisa berbalik keras dan kaku, sabarlah
Gayatri, jika suamimu itu menyintaimu seperti katamu, dia
pasti akan menyusul."
Sekembali dari danau, Yudistira didatangi Wasudeva yang
mohon keberangkatan ditunda, dan mereka sebaiknya
menanti Wisang Geni pulang. Karena dia ingin tarung
sekaligus membunuh lelaki itu. Yudistira menolak. "Esok, hari
pertama bulan Srawana, ada perahu ke Puchet, berangkat hari
lima bulan Srawana. Kita bisa tepat waktu tiba di Jedung,
langsung pulang ke Himalaya. Kau ikut bersama kita. Tetapi
aku peringatkan kamu, jangan kamu coba mengganggu
wanita-wanita yang ada di rumah ini."

Wasudeva terkejut, bertanya-tanya, apakah Yudistira tahu

selama ini ia sering memerkosa wanita.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;