Sabtu, 17 Mei 2014

Geni 25

Prawesti tak menyangka mendapat perlakuan setegas itu
dari Wisang Geni. Malam itu kepada Dyah Mekar dan
Prastawana, ia mengatakan menyesal mengikuti saran dan
ajakan Ekadasa. "Aku tahu tak seharusnya malam itu aku dan
Ekadasa memukul Gayatri muntah darah. Karena aku melihat
bahwa ketua dan Gayatri tidak tarung, mereka seperti

menikmati musik dan tari. Tak ada sesuatu pun yang
membahayakan jiwa ketua. Aku marah dan cemburu,
sehingga begitu Ekadasa mengajak menyerbu masuk dan
menghantam Gayatri, seperti orang tolol aku ikut saja."
Prawesti menyesal, tetapi nasi sudah menjadi bubur. "Aku
juga masih berlaku tolol ketika Ekadasa bercerita pada Sekar
tentang tipu daya Gayatri memikat ketua, aku ikut-ikutan. Aku
tahu itu cerita tidak jujur dan perbuatan tercela. Mengapa aku
begitu tolol mau diajak Ekadasa berbuat hal-hal yang
sebenarnya bertentangan dengan hati nuraniku. Atas semua
kesalahanku itu, pantas jika ketua kecewa dan marah padaku,
dan aku tak akan mungkin menyalahkan ketua atas
keputusannya itu. Aku tak tahu harus bagaimana, karena aku
hanya mencintai ketua, seluruh hidupku tak ada artinya kini
jika tidak bersama ketua."
Dyah Mekar diam, ia menangis, terharu mendengar
pengakuan Prawesti. Ia berjanji meski menghadapi resiko, ia
akan mohon agar ketua mengampuni Prawesti.
Pada kesempatan itu, Prastawana melapor kepada
ketuanya. "Maaf ketua, tadi tiga pendekar Cina mendatangi
kami, menantang adu ilmu silat di desa Bangsal akhir bulan
Waisaka, tiga puluh hari lagi. Katanya, terserah ketua jika
ingin membawa bantuan. Jumlah mereka sebelas orang.
Tantangan juga telah disampaikan kepada perguruan
Mahameru dan Brantas."
Sepasang mata Wisang Geni berkilat. Tampak dingin dan
kejam "Tidak ada waktu untuk istirahat, ada-ada saja
persoalan, mengenai tantangan para pendekar Cina aku akan
bicara dengan kakek Padeksa dan Gajah Watu pada saatnya
nanti."
Geni kemudian berpesan kepada semua murid, "Aku akan
turun gunung, mencari tempat aman mengobati isteriku.
Kemudian aku ke Lemah Tulis membicarakan segala
sesuatunya. Kalian hati-hati, widali itu ganas dan tak

terkalahkan, mungkin lebih baik pulang saja ke Lemah Tulis.
Hati-hati, sampai jumpa di Lemah Tulis." Geni menuntun
tangan dua isterinya melenggang keluar rumah.
Murid-murid Lemah Tulis saling berdebat, kembali ke
Lemah Tulis atau tetap di gunung. Prawesti ngotot bertahan.
"Aku harus berjuang memperoleh widali, jika mati terbunuh
tak ada bedanya, sekarang pun aku sudah mati setelah
ditinggal pergi lelaki yang kucinta," kata Prawesti lirih pada
Dyah Mekar yang mendampinginya.
Geni bersama Sekar, Gayatri dan dua pembantu turun
gunung, Kumara dan Malini tetap berburu widali. Mereka sejak
awal berencana berburu widali, jika beruntung darah widali
akan membantu tenaga batin dalam upaya mengalahkan
Wisang Geni. Tetapi dengan Wisang Geni sudah menjadi
suami Gayatri, rencana tarung jadi batal, tetapi perburuan
widali tidak berubah.
---ooo0dw0ooo---
Perempuan Hamil
Senja di hari terakhir bulan Caitra, matahari bersinar merah
lembut. Desa Limo di lereng gunung Argowayang biasanya
tenang dan damai. Semua penduduk sudah mengungsi. Tetapi
kehadiran para pendekar membuat suasana ramai. Tidak lama
lagi, saat tengah malam dan gelap menyelimuti gunung, itulah
saat widali sakti keluar dari persembunyiannya, mencari
mangsa atau dimangsa.
Di sana sini tampak para pendekar bersiap dan siaga. Ada
yang mengasah senjata, ada yang semedi menata tenaga
dalam Semua dengan kesibukannya. Sayup-sayup dari jauh

terdengar suara seruling yang merdu. Seorang lelaki usia
empatpuluhan berbaju putih muncul dari kaki gunung. Ia
diikuti sepuluh pria dan wanita yang semuanya berbaju hitam
Mereka mendatangi rumah rombongan Lemah Tulis.
"Aku dari Gunung Lawu, namaku Daraka, aku murid
pendekar Bagaspati dari gunung Lawu Aku datang untuk
menemui Ki Wisang Geni, ketua Lemah Tulis."
Prastawana dan Gajah Lengar memberi hormat. "Tak
disangka kami mendapat kunjungan perguruan Lawu yang
masyhur, selamat datang ke gubuk kami. Sayang sekali ketua
kami sudah turun gunung sejak tadi siang. Apakah ada
keperluan penting atau pesan yang bisa kami sampaikan
nanti."
Daraka tampak kecewa, ia memberi tanda ke temannya,
salah seorang perempuan maju ke depan. Wanita ini,
perutnya besar. "Ini saudaraku, Kemini, ia diperkosa Ki Wisang
Geni beberapa bulan lalu, kini ia hamil. Kami datang
mengantarkan perempuan ini." Tentu saja kabar ini membuat
semua murid Lemah Tulis gigcr. Terkejut. Semula tidak
percaya, tetapi dalam hati mereka percaya mengingat sepak
terjang Wisang Geni yang memang doyan wanita. Lima
perempuan sudah terpikat menjadi kekasihnya, Walang
Wulan, Sekar, Prawesti, Ekadasa dan sekarang Gayatri.
Diam-diam mereka mencela perbuatan ketuanya. Kasakkusuk
tanda gelisah menjalar ke semua murid. Hanya Prawesti
dan Gajah Lengar yang tidak percaya begitu saja berita
mesum itu. Sebelum Prawesti maju, Dyah Mekar yang lebih
pengalaman maju. Ia minta ijin memeriksa Kemini. Memegang
nadi dan meraba perut perempuan itu. "Kamu hamil tua,
sudah hampir melahirkan. Kamu diperkosa di mana?"
"Di desa Papar, waktu itu aku sedang menjalani tugas guru
untuk menolong keluarga yang anaknya diculik perampok di
hutan dekat desa Pagu. Di situlah aku bertemu Wisang Geni,
ia menculik aku, ilmunya sangat tinggi sehingga aku tak

berdaya, kemudian aku dibawa ke desa Papar, ia bersama tiga
muridnya. Kemudian malam harinya aku diperkosa. Berulang
kali sepanjang malam."
Prawesti memotong bicara, nadanya agak marah. "Jika
kamu benar diperkosa, tentu kamu mengenal wajah dan
tubuhnya, coba kamu ceritakan bagaimana bentuk wajah dan
tampang Ki Wisang Geni."
"Ia memerkosa aku beberapa kali sampai pagi, setelah
memerkosa, ia pergi dan berpesan supaya aku mencarinya ke
Lemah Tulis, ia mengaku ketua Lemah Tulis, namanya Wisang
Geni."
"Kamu kenal bentuk tubuh dan wajahnya?" Tanya ulang
Prawesti.
Agak malu-malu Kemini menjelaskan sambil ia menatap
ujung kakinya. "Ia tampan, kurus, langsing, rambutnya
panjang dikuncir dan digelung di atas kepala."
"Usianya kira-kira berapa, sudah tua atau masih muda?"
"Mungkin sekitar limapuluhan."
Terdengar suara kasak-kusuk lagi di rombongan Lemah
Tulis. Gajah Lengar semakin tidak percaya itu perbuatan
Wisang Geni. "Rambutnya hitam?"
"Ya sudah tentu rambutnya hitam!"
"Sebelum itu, apakah kamu pernah jumpa dengan lelaki
tersebut?" Kemini menggeleng kepala. "Dadanya dirajah
dengan lukisan seekor kuda."
Dyah Meka rberbisik pada Prawesti. Tampak Prawesti
menggeleng kepala. Dyah Mekar kemudian berkata lirih
kepada Kemini dan Daraka. "Ketua kami memang benar
bernama Wisang Geni, tetapi laki-laki itu bukan ketua kami,
dia orang lain."

Suara Daraka agak tinggi, "Orang itu mengaku Wisang Geni
ketua Lemah Tulis, mana bisa dia oranglain." Kemini
menambahkan, "Lagi pula tiga muridnya itu memanggil dia
guru, terkadang memanggil guru Geni."
Prastawana menyela. "Kami semua murid Lemah Tulis,
memanggil Wisang Geni dengan panggilan ketua, kami tak
pernah memanggilnya guru, sebab dia melarang, itu
dianggapnya sebagai pantangan besar. Lagipula ketua kami
belum punya murid dan belum mengangkat murid."
Semua murid Lemah Tulis yang tadinya dalam hati sempat
mengutuk perbuatan ketuanya, diam-diam menyesal.
Prastawana melanjutkan penjelasan kepada Daraka. "Maaf
pendekar, ketua kami memang benar bernama Wisang Geni,
rambutnya gondrong tetapi tidak panjang dan tidak digelung,
rambutnya penuh uban putih keperakan, yang di malam hari
tampak jelas."
Kemudian ia melanjutkan dengan suara yang lebih tegas
lagi. "Ketua kami juga tidak jangkung dan tidak kurus, ia
bertubuh gempal dan tidak terlalu tinggi, mungkin sama tinggi
dengan aku. Di dadanya tak ada rajah gambar kuda. Dan yang
paling penting, sembilan bulan atau satu tahun lalu, ketua
kami selalu berada bersama kami di perdikan Lemah Tulis, ia
sibuk melatih kami, dan selama itu ia didampingi isterinya,
kami berani memastikan lelaki yang memerkosa saudara
perempuan ini bukan ketua kami yang bernama Wisang Geni,
mungkin lelaki lain yang sengaja mencemarkan nama ketua
kami."
Daraka terkejut. "Gila. Jika benar demikian siapa lelaki itu
Apakah kami bisa berjumpa dengan ketua Ki Wisang Geni?"
"Maaf tuan pendekar yang kami hormati, sudah kami
katakan, ketua kami sudah turun gunung, ia tak mau ikutikutan
berburu widali, begini saja, jika sampean masih belum
percaya boleh saja datang berkunjung ke perdikan Lemah
Tulis, mungkin sekitar sepuluh hari lagi ketua sudah pulang."

Setelah mengucapkan maaf, Daraka dan rombongan
pendekar gunung Lawu berlalu. Mereka tidak langsung turun
gunung, barangkah mau ikut berburu widali. Sementara murid
Lemah Tulis masuk kembali ke ruang dalam. Prawesti masuk
ke bilik tempatnya bersama Dyah Mekar. Murid lainnya
berkumpul di ruang tengah. Dalam hati merasa bersalah
sempat menyalahkan ketuanya.
Prastawana dan Gajah Lengar membincangkan kejadian
aneh itu.
Setelah berpikir sejenak, Prastawana mengatakan
kemungkinan besar lelaki pemerkosa itu adalah Lembu Agra.
"Dia amat dendam terhadap ketua, ciri tubuhnya persis seperti
penuturan Kemini. Sembilan purnama lalu ia masih hidup, ia
sengaja melakukan pemerkosaan untuk merusak nama ketua
dan perdikan Lemah Tulis."
Gajah Lengar dan rekan lainnya setuju. "Tetapi bagaimana
pun Lembu Agra sudah mati sehingga tak ada saksi kecuali
perempuan bernama Kemini itu sendiri. Apakah tak mungkin
itu adalah bagian rencana musuh tersembunyi yang ingin
merusak nama ketua kita."
Di dalam bilik Prawesti bersemedi. Ia memusatkan pikiran
menata tenaga dalamnya. Tetapi berulangkali gagal. Wajah
Wisang Geni membayang terus. Ia marah kepada diri sendiri.
"Mengapa aku begitu tolol mengikuti ajakan Ekadasa?
Padahal aku ingin hidup bersama ketua. Tetapi mengapa dia
tidak memaafkan aku, apakah dia tak tahu betapa aku
mencintainya, dia harus tahu bahwa aku terperosok, mengapa
mendapat hukuman begini berat? Dia tidak memaafkan,
berarti dia tidak butuh aku. Mungkin ia tak mau diganggu,
hanya ingin bercinta dengan dua isterinya yang memang lebih
cantik dari aku. Aku memang melakukan hal yang bodoh. Aku
memang pantas mati, tak ada harganya aku untuk hidup.
Semua orang Lemah Tulis akan melecehkan bahwa aku sudah

dibuang ketua, ibarat habis manis sepah dibuang. Aku malu.
Ke mana aku harus pergi?"
Prawesti termenung. "Sekarang apa yang harus kulakukan?
Aku pikir aku harus adu jiwa dengan widali sakti, biar aku
mati, aku tak peduli, namun bila beruntung dan berhasil
menghirup darahnya, aku akan menjadi tangguh, aku akan
melatih semua ilmu silat yang diajarkan ketua, siapa tahu
suatu waktu nanti aku berkesempatan menolong ketua,
menolong Lemah Tulis."
Ia membayangkan saat ini Wisang Geni, Sekar dan Gayatri
sedang bercumbu. Ia menangis dalam hari. "Aku tidak
dendam, aku tidak sakit hati kepada ketua, karena cintaku
kepadanya tak pernah mati Aku pernah mendengar bibi Wulan
mengatakan, seorang wanita adalah sungguh-sungguh
perempuan jika ia hanya mengenal satu lelaki saja, hanya
mencintai satu lelaki saja dan tak ada lelaki kedua yang
dicintainya. Apa pun yang terjadi cintaku kepada ketua itu
akan kubawa sampai akhir hayatku"
Tak disangka Ekadasa berkunjung. Prawesti masih di kamar
sedang semedi. Keduanya sama-sama mencintai Geni tetapi
yang kemudian ditinggal pergi begitu saja. Ekadasa
mencurahkan isi hatinya kepada Prawesti. Ia mencintai Geni
sejak awal jumpa di Lemah Tulis ketika bokongnya diremas
Geni. Ia tak pernah lupa kejadian itu. Bagi orang lain mungkin
seperti pelecehan, baginya pertanda Geni punya perhatian
padanya. Lagipula ia merasa bokongnya semok dan punya
daya tarik tersendiri.
Ketika Wisang Geni berkunjung ke istana Tumapel, ia
sempat menggoda lelaki itu dengan kerling matanya. Malam
itu tercapai keinginannya, Geni mendatangi ia di kamarnya.
Mereka bercinta dua hari, tak pernah puas. Tak habishabisnya
Geni mencumbu Lelaki itu sangat perkasa. "Aku
pernah tidur dengan lelaki lain, tetapi Geni luar biasa. Aku
harus mendapatkan dia. Prawesti aku tahu kamu juga

mencintainya, aku pikir kita harus kerjasama, mengatur siasat
memisahkan Gayatri dari Wisang Geni," katanya kepada
Prawesti.
Ekadasa perempuan yang matang pada usianya yang
duapuluhan, kulit kuning kecoklatan, cantik jelita, hidung
sedikit bangir dengan mulut yang menarik, potongan tubuh
montok dengan payudara menonjol, lingkar pinggangnya kecil,
rambut panjang digelung. Ia cantik dan tahu persis bagaimana
memanfaatkan kecantikannya itu.
Dia percaya kecantikan dirinya, ia tahu banyak lelaki
mendambakannya. Tetapi ia hanya menginginkan Wisang Geni
seorang. Ia marah melihat Geni mencium Gayatri malam itu,
tetapi lebih marah lagi mengetahui keduanya telah menikah
dan Geni telah menceraikan dia berdua Prawesti. Tanpa sadar
ia berkata lirih, "Apa hebatnya Sekar dan perempuan India itu,
keduanya memang cantik, tetapi malam itu di keraton aku
telah perlihatkan kepada Geni bahwa akulah yang layak
menjadi isterinya."
"Maksudmu tadi bekerjasama, apa dan bagaimana?" tanya
Prawesti bingung.
"Kita pisahkan Gayatri dari Wisang Geni. Perempuan itu
sekarang luka parah, aku akan kirim orang membunuhnya.
Tetapi yang kita perlukan adalah saat perempuan itu berada
sendirian, karenanya kiia harus pancing agar Geni pergi
meskipun setengah hari saja."
Mata Prawesti terbelalak. "Tidak,
akutakmaumengkhianatiketua, aku tak mau membunuh orang
tak berdosa, kamu pergi saja Ekadasa, aku tidak tertarik."
Ekadasa marah. "Kamu perempuan lemah, apakah kamu
mami saja dicampakkan begitu saja oleh lelaki setelah dia
puas meniduri kamu, benar-benar kamu lemah dan tak
bermartabat"

Prawesti naik darah, setengah berteriak ia mengusir
Ekadasa. "Iya, memang aku lemah, kamu pergi saja, aku tak
mau berkawan dengan orang yang akan memusuhi ketua,
pergilah kamu."
Mendengar suara bernada tinggi Prawesti itu, Dyah Mekar
dan Gajah Lengar masuk kamar, "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," tukas Prawesti. Saat bersamaan
Ekadasa melangkah keluar kamar. "Aku pergi," katanya.
Malam di lereng Argowayang. Gelap gulita karena sinar
rembulan terhalang mendung tebal. Hanya ada kelap-kelip
lampu damar di rumah. Suasana seram dan mencekam Para
pendekar berada di luar rumah, berjalan ke sana kemari,
mencari kesempatan berjumpa widali, memangsa atau
dimangsa.
Widali keluar dari persembunyian Sepasang matanyay ang
bersinar gemerlap mengintai dari balik semak. Manjangan
Puguh dan Mei Hwa saat itu berada di dekat semak,
sekonyong-konyong Manjangan Puguh merasa udara bergetar
di dekatnya. Kontan ia bereaksi cepat, memutar tubuh,
merunduk dan melayang pergi. Pada zaman itu, selain
gurunya sendiri pendekar Merapi, Ki Sagotra, tidak ada lagi
pendekar yang mampu menandingi ilmu ringan tubuh
Manjangan Puguh.
Mungkin pertama kali selama puluhan tahun, serangan
widali gagal. Sergapan dan terjangan binatang itu sangat
cepat dan sulit diikuti mata. Puguh hanya melihat ada benda
terbang melesat di sisi tubuhnya, tetapi tidak jelas bentuknya.
Puguh tidak berhenti sesaat pun, ia bergerak sambil berteriak
memanggil Mei Hwa isterinya. Tangannya meraih tangan Mei
dan keduanya melesat menjauh dari semak. "Gila. Jikalau saja
aku tak curiga adanya getaran udara di sekitar tubuhku, dan
jika terlambat sesaat, dan jika aku tak mengunakan Waringin
Sungsang tingkat paling tinggi dengan pukulan Bang Bang

Alum Alum, mungkin saat ini aku sudah mati. Binatang itu
menghilang begitu saja, ke mana dia?"
Manjangan Puguh merasa tangan Mei Hwa dingin dan
basah. ”Koko, aku merasa ngeri dan seram, binatang itu tak
mungkin bisa dikalahkan, kurasa lebih baik kita turun gunung
saja."
Puguh memikirkan hal yang sama. 'Lebih baik begitu, kita
pergi saja, aku sudah kangen pada anak kita. Ayo Mei,
sekalian kita ajak ibumu, widali itu sangat berbahaya."
Tetapi Sian Hwa memilih menetap bersama kawankawannya.
"Aku sudah jumpa dengan kamu, aku sudah
senang. Melihat kamu hidup bahagia, aku pun senang.
Pergilah kalian, rawat cucuku baik-baik, di sini memang sangat
berbahaya seperti katamu itu."
Malam kelam makin mencekam ketika turun hujan deras.
Suara guruh dan kilat menambah seram suasana. Air hujan
mengalir deras menuruni lereng. Tanah menjadi licin. Para
pendekar makin kalang kabut dicekam rasa gentar, di sana
sini terdengar jeritan orang, lolong serigala dan suara widali
yang mirip jerit kucing. Widali bergerak cepat seperti kilat
halilintar dan terkamannya tak pernah meleset. Satu persatu
para pendekar tewas dengan luka menganga di bagian leher.
Hampir tengah malam, suasana masih mencekam. Tiba-tiba
suasana senyap. Hujan, guruh dan kilat halilintar perlahanlahan
reda kemudian menghilang. Semua senyap. Hanya
terdengar desir angin malam. Widali itu menghilang setelah
memangsa korban. Tujuhbelas nyawa melayang, semuanya
dengan luka menganga di leher. Widali itu menggigit dan
mengisap darah, ia merobek leher korban sehingga hampir
putus. Melihat bekas luka bisa dipastikan mulut widali itu
cukup lebar, itu artinya binatang sakti itu lebih besar dari
kucing atau musang biasa.

Rombongan Kediri kehilangan lima punggawa dan seorang
anggota Sinelir. Rombongan Tumapel kehilangan dua
pendekar utamanya, Catur dan Sapta, rombongan Lemah Tulis
kehilangan Kebo Lanang, rombongan Mahameru kehilangan
Matangga, salah seorang murid utamanya, rombongan
Berantas juga kehilangan dua muridnya. Masih banyak korban
pendekar dari perguruan lain, jumlah seluruhnya tujuh belas
nyawa. Semuanya dimangsa widali hanya dalam setengah
malam. Dunia persilatan seakan berduka memperingati petaka
hebat itu, betapa tinggi pun ilmu silat dan jumlah pendekar
yang begitu banyak ternyata tidak cukup untuk menahan
amuk dan sepak terjang widali sakti.
Ekadasa meratapi mayat Sapta, lelaki yang sebenarnya
sangat mencintainya. Jikalau saja ia tidak terpikat oleh
kejantanan Wisang Geni, ia pasti menerima lamaran Sapta.
Semua sudah jadi bubui. Wisang Geni pergi dari pelukannya,
Sapta tewas di gunung Argowayang. Tadinya ia memimpikan
memperoleh darah widali yang akan membuat ia sakti
mandraguna. Setelah itu ia akan mencari Wisang Geni,
membunuh Gayatri dan menanyakan pada lelaki itu apakah ia
masih mencintainya atau tidak. Ia yakin Geni pasti masih
menginginkan tubuhnya yang penuh daya tarik itu. Ternyata
mimpi itu hanya tinggal mimpi. Namun ia tetap bertekad akan
mencari Wisang Geni.
---ooo0dw0ooo---
Setelah perjalanan santai dari lereng Argowayang, senja
hari Geni dan empat perempuan itu tiba di desa Kipang, desa
terpencil agak jauh dari gunung Argowayang. Tak ada warung
makan, tak ada penginapan. Geni menyewa rumah penduduk,
sekaligus membayar makanan untuk makan malam.
Selesai santap malam, Geni dan dua isterinya masuk
kamar. Ia berpesan kepada Urmila dan Shamita agar berjagajaga
sementara pengobatan dengan tenaga dalam

berlangsung. Tangan Geni menempel di punggung halus
isterinya, tenaga dalam menerobos bergantian panas dan
dingin. Tubuh Gayatri menggigil kedinginan, saat berikut
berkeringat kepanasan.
Geni menjelaskan akan lebih cepat sembuh jika bisa
mengurut di tempat yang kena pukulan. Gayatri mengangguk.
Ia merasa tak perlu malu, meskipun di kamar itu ada Sekar. Ia
membuka kebaya, membiarkan tubuh atas telanjang.
Keduanya berhadapan. Gayatri melihat Geni memejam mata,
satu tangan Geni menempel di pundak, satu lainnya di celah
antara buah dada. Hampir separuh malam Geni mengobati
isterinya. Tanda merah kebiruan di dua tempat itu mulai
berkurang. "Cukup Geni, aku sudah baikan," sambil berkata
Gayatri menata kembali letak bajunya.
Ia melihat Sekar tidur pulas. Sedangkan Geni masih bersila
menata tenaga dalam. Keringat membasahi sekujur tubuh
Geni menebar aroma kelaki-lakian. Gayatri berbaring di dipan
berdampingan dengan Sekar. Sambil menatap punggung lelaki
itu, Gayatri berpikir, " Dipan ini kecil dan sempit, tapi kalau
dipaksakan cukup untuk tiga orang."
Geni membuka mata. Ia melihat Gayatri dan Sekar
berbaring. Perempuan India itu menatap kekasihnya. "Tadi,
mengapa kamu pejamkan mata, tak mau memandang buah
dadaku padahal di kamar ini suasana gelap, tak ada
penerangan?"
"Aku tak mau terganggu pemusatan pikiranku. Paling tidak
kamu harus istirahat dua malam lagi, baru bisa sembuh."
Gayatri tertawa. "Apakah kau bisa tahan tidur bersamaku
dan Sekar dua malam tanpa kamu berbuat apa-apa?"
"Supaya kamu cepat sembuh, aku harus berusaha
menahan diri."
Pada saat itu Sekar sudah terjaga. Ia memeluk punggung
Geni. Kakinya melingkar di paha Geni. "Kenapa harus

menahan diri, apa yang ada mari kita nikmati Gayatri ayo kita
keroyok suami ini." Ketiganya tenggelam dalam lautan birahi
yang panas membara
Menjelang pagi tiga kekasih itu masih berpelukan. Geni di
tengah di impit tubuh dua isterinya. Sambil mengelus dada
Geni yang berbulu lebat, Gayatri berbisik, "Geni, kamu tahu
apa yang membuat aku mencintaimu?" Geni menggeleng
kepala. Gayatri melanjutkan, "Aku jatuh cinta lantaran kamu
dengan cara yang licik dan kurangajar berhasil menciumku.
Selama hidup aku belum pernah dicium laki-laki, sehingga
ciuman itu menjadi candu yang membuat aku memikirkan
kamu terus. Aku marah dan kesal tetapi rindu. Kamu telah
memberiku sesuatu yang indah yang bahkan belum pernah
ada dalam mimpiku."
"Lantas malam ini bagaimana?"
Gayatri tertawa. "Seluruh tubuhku sakit, sakit tetapi nikmat.
Aku bahagia karena tidak salah memutuskan hal penting
dalam hidup, mendapatkan kau sebagai suami sekaligus
kenikmatan tubuh, meskipun untuk semua itu aku harus
menukar dengan nyawaku."
Geni menciumi wajah isterinya. "Kamu tak akan mati, aku
tak akan membiarkan kamu mati, dalam waktu dua bulan ini
aku akan mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalanmu"
Sekar ikut bicara, ingin tahu lebih banyak tentang Gayatri.
"Kamu tak akan mati, apa sulitnya masalahmu itu? Di dunia ini
terjadi banyak kecelakaan yang tidak bisa kita hindari. Tetapi
juga ada kecelakaan yang bisa ditolong. Lihat contoh, suami
kita ini, ia luka parah kena pukulan dingin Kalayawana dan
telan pil racun Kumara dan Malini, usianya hanya bisa sampai
tiga purnama, tetapi buktinya, ia sembuh bahkan mendapat
ilmu dahsyat membuat ilmu silam ya sulit ditandingi dan
menjadi suami yang perkasa seperti sekarang ini. Jadi aku
pikir, masalahmu pasti akan teratasi, percayalah Gayatri."

Gayatri memeluk erat, menyembunyikan wajahnya di dada
Geni. "Terimakasih, Sekar, kamu sangat baik. Sesungguhnya
aku tidak menyesal, setetes penyesalan pun tak ada dalam
dadaku, aku bahagia hidup bertiga seperti ini. Untuk itu,
tidaklah rugi jika aku harus menebus dengan nyawaku Aku
anak bontot ketua perguruan Yudistira di Himalaya, ayahku
berpegang keras pada tradisi kuno, anak perempuan harus
patuh pada jodoh yang diatur ayah."
Gayatri berbaring terlentang, pikirannya menerawang jauh.
Ia seperti melihat ayah dan kakaknya yang galak serta wajah
ibunya yang lembut tetapi tak berdaya. "Dua bulan lagi, pada
akhir bulan Iyestha atau awal bulan Asadha, di situlah jadwal
kematianku sudah tertulis. Tak ada yang bisa menolongku."
Sekar penasaran. "Siapa bilang tidak ada yang bisa
menolong, aku dan Geni dan juga kamu akan berupaya keras
menyelamatkan kamu, jangan khawatir, kita pasti bisa."
"Aku punya seorang kakak perempuan, namanya Manisha
dan dua kakak laki-laki, Arjun dan Shankar. Ada seorang lakilaki
bernama Wasudeva, putra tunggal ketua perguruan
Arjapura Suatu hari, satu tahun lalu, Wasudeva datang
bertamu untuk diskusi ilmu silat. Manisha jatuh cinta padanya,
ia menjanjikan cinta yang tulus, ia meniduri kakak.
Berulangkali. Kemudian ia pergi, berjanji kembali dua bulan
lagi, melamar dan mengawini Manisha.
"Tiga bulan kemudian Manisha hamil. Ayah dan dua
kakakku tidak tahu. Manisha hanya menceritakan pada ibu
dan aku, ibu menyuruh aku bersumpah tak boleh
menceritakan pada ayah dan kakak. Sebab bisa terjadi
pertumpahan darah antara dua perguruan. Ibu lalu mengutus
aku bertiga Urmila dan Shamita menemui Wasudeva,
memberitahu Manisha hamil. Ia tertawa sinis, malah menuduh
Manisha tak punya kehormatan, yang bisa ditiduri lelaki siapa
pun. Aku tak berdaya, aku pulang membawa kabar buruk

"Tapi Manisha masih setia menanti. Hamil lima bulan,
Wasudeva tetap tak muncul Saat itulah datang lamaran
Mahesh, pendekar dari Himalaya Timur. Ayah menjodohkan
kakak dengan Mahesh. Tak mungkin kakak menerima
perkawinan itu, sebab aib hamil itu pasti akan terbongkar, tak
ada jalan lain, setelah berpesan kepadaku, kakak diam-diam
pergi dan bunuh diri terjun dari tebing."
"Kakakmu Manisha itu cantik?"
"Ia sangat cantik, lebih cantik dari aku, ia tidak bisa silat
tetapi ia mahir sastra dan sangat cerdas. Ia mengajari kami
semua, berbahasa Jawa. Saat itu kami sadar suatu waktu
nanti mungkin kami akan melancong ke tanah Jawa mencari
Ki Suryajagad menebus kekalahan kakek Lahagawe."
"Nasib kakakmu amat tragis, apakah sampai sekarang tak
seorang pun dari keluargamu yang mengetahui kelakuan
Wasudeva itu?" tanya Sekar sambil menciumi dada suaminya.
"Ceritanya panjang. Setelah kematian kakak, Wasudeva
datang berkunjung. Ia merayuku, aku benci dan muak
melihatnya. Ia melamar aku pada ayah Ayah setuju. Aku tak
bisa menceritakan perlakuan buruknya terhadap Manisha
kepada ayah. Tetapi tak mungkin aku menerima perjodohan
ini, mustahil aku kawin dengan Wasudeva, dia bejat dan aku
tidak suka tampangnya, tidak ada jalan lain, terpaksa aku
kabur ke negeri Jawa."
"Kenapa ke negeri Jawa?"
"Aku ingin lari dari Wasudeva, makin jauh makin baik,
mungkin dia tak akan berani kemari, semoga saja demikian."
"Lantas penyakitmu itu?" tanya Sekar.
"Aku sehat, tak ada penyakit. Tetapi yang pasti, ayah, ibu
dan dua kakakku akan datang ke negeri ini, mereka akan
menjemput aku, menghukumku. Mereka akan muncul pada
akhir bulan Iyestha atau awal bulan Asadha, di situlah hari

kematianku. Ayah membunuhku atau aku harus bunuh diri. Itu
sebab aku cepat minta kau menikahi aku, agar bisa menikmati
cinta yang indah selama dua bulan, aku ingin bersenangsenang
sampai puncak kenikmatan, setelah itu jika harus mati
bunuh diri, aku rela."
"Tidak Gayatri, kita akan hidup lama. Aku senang kamu
sehat, tak punya penyakit, kalau hanya itu kesulitanmu, aku
yakin bisa kita atasi bersama. Kita tinggalkan keramaian dunia
ini, kita pergi ke suatu desa terpencil, tak akan ada orang bisa
menemukan kita, kita bertiga menetap sampai hari tua," kata
Geni.
"Kamu mau pergi meninggalkan perguruanmu Lemah Tulis,
apakah kamu tidak takut dituduh sebagai ketua yang tidak
bertanggungjawab, apa tanggung jawabmukepada leluhurmu,
kepada guru-gurumu?"
"Aku akan meletakkan jabatan ketua ini dengan baik-baik,
memberikan jabatan ini kepada orang lain, begitu kan?"
Gayatri menatap dalam-dalam mata suaminya. "Kamu mau
melakukan itu semua untuk aku?"
"Sekar dan Gayatri, kalian dengar, sebenarnya aku bosan
dan jenuh dengan pertarungan di dunia persilatan ini. Jika
kalah, mati. Jika menang, pasti akan ada orang lain yang
mencari untuk balas dendam. Begini terus, tak pernah
berhenti. Satu bulan lagi aku harus berhadapan dengan para
pendekar negeri Cina, ini juga urusan balas dendam karena
aku pernah mengalahkan tiga pendekar utama Cina, satu di
antaranya Sam Hong bahkan mati di tanganku. Semua itu
tarung resmi di bukit Penanggungan. Sekarang para pendekar
Cina datang menantang aku, balas dendam. Aku bosan.
Akhirnya aku berpikir untuk mengundurkan diri dari
keramaian. Aku senang jika bisa hidup bersama kalian di suatu
tempat terpencil."

Gayatri terharu. Ia memeluk dan mencium kekasihnya.
Geni membalas dengan nafsu menggebu. Tiga insan itu larut
lagi dalam nafsu birahi. Bercinta dalam suasana hati saling
membutuhkan.
Pada saat itu, di pagi hari yang sejuk, Urmila dan Shamita
telah memutuskan langkah. Keduanya berunding lama untuk
sampai pada keputusan itu. Ketika Gayatri keluar dari kamar,
ia melihat dua pembantunya sedang duduk menghadapi
sarapan pagi yang baru saja diantar pemilik rumah. Lima
orang itu melahap sarapan singkong dan ayam bakar.
Pada kesempatan itu Urmila dan Shamita menyampaikan
maksud mereka hasil pemikiran semalam. Keduanya merasa
tidak lagi layak mendampingi Gayatri. "Putri, kamu adik
perguruan kami, tetapi ilmu silatmu lebih tinggi, kau juga putri
guru kami, tugas kami selama ini adalah mengawalmu. Tetapi
sekarang keadaan sudah lain, kamu sudah bersuami."
Gayatri memotong bicara Urmila yang mulai tersendatsendat
saking terharu. "Kamu ingin meninggalkan aku, begitu?
Katakan saja kalau memang benar, aku tak akan marah."
Shamita memegang tangan Gayatri. "Suamimu akan
melindungi dan dengan ilmu silat yang diniilikinya aku kira
kamu cukup aman. Apalagi kamu juga punya ilmu silat
mumpuni. Kami pikir tak enak mengganggu kalian yang
sedang mabuk cinta, biarkan kami pergi, siapa tahu kami
ketemu jodoh di negeri indah ini."
Selesai sarapan, dua pembantu itu memeluk Gayatri.
Perpisahan yang mengharukan. Tiga perempuan itu menangis.
Urmila berkata di tengah tangisnya, "Putri, kami belum
berencana pulang ke India, kami akan melancong di negeri ini,
tapi kami tetap akan memantau dirimu, jika kamu dalam
kesulitan kami rela berkorban jiwa untukmu, urusan dengan
Wasudeva kami akan ikut membelamu meski untuk itu kami
akan dihukum guru."

Dua pembantunya pergi, Gayatri menangis dan berlari
masuk bilik kamarnya. Sekar memburu, menghibur hatinya.
"Selama ini kami selalu bersama-sama, sejak masih kecil, kami
bermain bersama, setiap ada kesulitan, keduanya selalu
membantu. Mereka sudah seperti kakak bagiku Kini mereka
pergi, aku merasa kehilangan. Tetapi mereka punya hak untuk
mencari masa depan sendiri, usianya masih duapuluh lima,
semoga bisa mendapat kebahagiaan seperti yang aku cicipi
sekarang ini."
Tiga hari di desa Kipang, Gayatri sudah hampir sembuh. Ia
kini sudah bisa menggunakan tenaga dalam meski belum
seluruhnya pulih. Rasa ngilu dan sakit di dada serta
pundaknya sudah lenyap. Pagi hari itu Geni membawa dua
isterinya menuju Lemah Tulis. Mereka menunggang kuda, dua
hari kemudian tiba di perguruan. Hari sudah senja.
Wisang Geni dan dua isterinya langsung menghadap
Padeksa dan Gajah Watu. Waktu itu Geni sudah mendandani
Gayatri dengan pakaian pendekai Jawa. Ia tampak cantik
gemerlap, kulitnya yang putih tampak mencolok di bawah baju
dan celana warna hitam. Rambutnya yang panjang digelung
dengan ikat kepala warna putih. Hidungnya bangir, bibir tebal,
mulut lebar bagai busur serta dua bola mata berwarna coklat
yang berlindung di balik bulu mata lentik, menegaskan
kecantikan seorang perempuan India.
Padeksa dan Gajah Watu terperanjat ketika Wisang Geni
memperkenakan Gayatri dan Sekar sebagai isterinya. Sesaat
dua orang tua itu terdiam, keduanya mengamati Sekar dan
Gayatri, mencoba membandingkan cantiknya dua isteri Geni
itu. Mereka pernah mengagumi kecantikan Sekar. Gayatri tak
kalah cantik. Dua wanita itu memang cantik dan jelita.
Kecantikan Gayatri adalah kecantikan wanita asing, cantik
India. Kecantikan Sekar, cantiknya perempuan Jawa.
Dua kakek itu membatin mungkin Geni terpikat kecantikan
yang luar biasa itu tetapi tidak tahu kelakuan dan isi hati si

perempuan. Padeksa membatin, "Apa yang kutakutkan
akhirnya terjadi, Wisang Geni kawin dengan orang luar, ah
kasihan si Prawesti, bagaimana perasaannya."
Keduanya lebih kaget lagi mendengar penjelasan Geni
bahwa Gayatri adalah cucu pendekar Lahagawe yang pernah
dikalahkan Eyang Sepuh Suryajagad di perang Ganter.
Sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup
keduanya tidak memperlihatkan rasa curiga. Namun Geni dan
Gayatri tahu bahwa dua kakek itu curiga perkawinan hanya
alasan Gayatri membalas dendam. Dua kakek lebih heran
mendengar Geni meninggalkan Argowayang saat di mana
widali sakti keluar dari persembunyian. "Mengapa kau pergi
meninggalkan anak buahmu?" tanya Padeksa kecewa.
Geni merasa aneh. "Kenapa kakek bertanya itu, aku
memilih pergi dan mereka memilih berburu widali, itu pilihan
masing-masing. Mereka juga bukan anak kecil yang harus
kutemani dan kulindungi terus."
Padeksa terdiam Gajah Watu memecah kesunyian. "Geni,
sejak dua hari lalu, perdikan kita kedatangan tamu, sampai
hari ini sudah tujuh perempuan yang diantar keluarganya
masing-masing. Mereka hamil dan menuduh seorang bernama
Wisang Geni yang ketua Lemah Tulis telah memerkosa
mereka."
Geni terkejut. Gayatri ikut terkejut. "Aku tak pernah
melakukan perbuatan terkutuk itu, aku belum sekali pun
pernah memerkosa perempuan, aku pantang melakukan
perbuatan terkutuk itu, pasti fitnah, pasti suatu kekeliruan."
Gajah Watu berkata dengan nada datar, "Perempuanperempuan
itu menantimu di pendopo, silahkan keluar temui
mereka."
Geni seperti linglung, berdiri dan hendak melangkah.
Tangan Gayatri memegangnya. "Jangan sekarang, jangan
temui mereka sekarang. Nanti saja, kau istirahat dulu."

"Kenapa kamu menghalangi, dia harus berani
bertanggungjawab atas perbuatannya," suara Padeksa ketus.
Gayatri beringsut mendekati Sekar, keduanya bisik-bisik,
kemudian Gayatri kembali dan berkata lirih, "Maaf, aku tak
percaya suamiku melakukan perbuatan itu, aku punya alasan
kuat, kakek mau dengar?"
Geni memandang isterinya. Ia berharap Gayatri dan Sekar
bisa menolongnya. Ini aib besar. Terdengar suara Gayatri,
"Tadi ketika masuk pintu gerbang dan melewati pendopo aku
melihat banyak orang, aku melihat beberapa perempuan.
Tetapi saat kita lewat tak seorang pun yang berteriak
menyebut nama suamiku, tidak seorang pun. Ini bukti, mereka
melihat suamiku, tetapi mereka tidak mengenal suamiku,
padahal hari masih senja, matahari masih terang. Ini bukti
jelas. Itu sebabnya aku mencegah suamiku menemui mereka
sekarang."
Dua orangtua itu mengagumi kecerdasan Gayatri. Tetapi
sebelum mereka bicara, gadis India ini sudah melanjutkan
bicara, "Aku katakan tadi, aku sangat yakin suamiku tidak
melakukan perbuatan itu, mengapa aku yakin?" Ia menatap
dua kakek itu yang menahan nafas ingin tahu penjelasannya.
Ia kemudian menceritakan pertemuannya dengan Geni. Ketika
ia nyaris diperkosa penjahat, "Aku tahu aku cantik, tubuh
atasku telanjang, tetapi Geni bisa mengendalikan diri, jika saja
moralnya rendah pasti dia sudah memerkosaku. Jika aku saja
yang lebih cantik dengan kesempatan sebesar itu tidak ia
perkosa, maka aku tidak percaya mengapa ia memerkosa
perempuan di luar sana yang sama sekali tidak cantik dan
entah berasal dari mana. Ini sebabnya aku yakin suamiku
tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Pasti ada orang lain
yang sengaja merusak nama Wisang Geni."
Sekali lagi Gajah Watu dan Padeksa mengakui kecerdasan
Gayatri. Sekar ikut mendukung alasan Gayatri. "Aku juga tidak

percaya suamiku memperkosa perempuan. Itu jelas fitnah dan
omong kosong besar!"
Geni gembira bahwa Gayatri dan Sekar percaya kepadanya.
"Jadi bagaimana aku harus hadapi mereka?" katanya pada
Gayatri. Gayatri tertawa geli. "Kamu semakin banyak
berhutang padaku. Hutang yang lalu belum kamu bayar
sekarang sudah berhutang baru lagi.”
"Sudahlah Gayatri, aku sudah katakan bahwa sampai mati
pun aku tetap masih berhutang padamu. Katakan sekarang
jalan keluarnya."
Gayatri berkata kepada dua kakek, "Ketika kami datang,
perguruan ini sunyi. Aku sempat melihat beberapa murid yang
menghindari kami, mereka sembunyi. Kakek bisa bantu
memecahkan persoalan ini dengan mencari tiga murid,
perawakan harus beda satu sama lain. Seorang harus mirip
suamiku termasuk rambutnya dicat mirip uban. Dua lainnya,
satu tinggi, satu pendek, dengan rambut hitam. Usianya
tigapuluhan dan limapuluhan. Ajak perempuan-perempuan itu,
satu per satu, menemui ketiga murid, katakan, ada tiga
Wisang Geni, yang mana yang kalian cari. Lantas kita lihat
sampai di mana kebenaran sandiwaranya?"
Gajah Watu mempersiapkan rencana Gayatri. Tiga murid
mengaku Wisang Geni. Tujuh perempuan itu bingung. Empat
perempuan mengaku ketiga murid itu bukan Wisang Geni.
Tiga lainnya menuding murid dengan rambut beruban sebagai
Wisang Geni. Semua disaksikan Gayatri. Sementara Geni
menanti di kamarnya.
Dibantu beberapa murid, Gayatri memisahkan dua
kelompok. "Jelas, empat wanita itu tidak mengenal Wisang
Geni, berarti bukan suamiku yang melakukan perbuatan itu
tetapi orang lain yang mengaku sebagai Wisang Geni. Tiga
lainnya juga tidak mengenal Wisang Geni, hanya mengetahui
ciri rambut ubanan saja. Nah tugasku membersihkan nama
suamiku sudah selesai, aku pamit menemui suamiku."

Gayatri berdua Sekar meninggalkan pendopo, menemui
Geni di biliknya. Sementara Padeksa dan Gajah Watu serta
beberapa murid melakukan pemeriksaan. Kesimpulannya, ada
orang yang sengaja memerkosa wanita-wanita itu sambil
memperkenalkan diri sebagai Wisang Geni ketua Lemah Tulis.
Pemerkosaan terhadap empat perempuan dilakukan lelaki
berusia limapuluhan, di dadanya ada tanda rajah bergambar
kuda. Kejadiannya sekitar sembilan bulan lalu. Lelaki itu
berpesan agar pergi ke Lemah Tulis. Siapa lelaki itu tidak ada
yang tahu. Tiga perempuan lain punya kisah berbeda. Mereka
punya suami dan sedang hamil besar, berasal dari desa
Gadang. Seorang wanita cantik berpakaian mewah membayar
ketiganya untuk mengaku diperkosa dan dihamili Wisang Geni.
Dia menggambarkan ciri Wisang Geni, rambutnya penuh uban.
Itu sebabnya tiga wanita ini menuding murid yang rambutnya
dicat uban sebagai Wisang Geni. Siapa perempuan cantik ini,
tak seorang pun yang tahu.
Wisang Geni sedang duduk termenung ketika Gayatri dan
Sekar masuk. Ia menyongsong isterinya. "Bagaimana
hasilnya?"
"Beres, semua ketahuan bohong, ada orang yang merusak
namamu Tetapi mengapa wajahmu kusut, apakah kau takut
mereka mengenal wajahmu?" Gayatri menggoda. Sekar
tertawa mendengar godaan nakal itu.
"Tidak. Bukan itu. Aku kecewa karena ternyata semua
murid termasuk kakek percaya aku melakukan perbuatan
terkutuk itu. Mengapa bisa begitu? Itu sebab begitu melihat
aku datang, semua murid menghindar, rupanya mereka
percaya aku seburuk itu. Anehnya kakek juga tidak percaya
padaku. Kalau begini, kalau tak ada kepercayaan yang tulus
kepada seorang ketua, maka ketua itu tidak akan bisa
memimpin anak buahnya dengan baik," kata Geni dengan
nada kecewa.

Gayatri memegang tangan suaminya. "Jangan berpikir
demikian, mereka bukannya tidak percaya padamu, tetapi
mungkin berita itu sangat mengejutkan, aku yakin mereka
masih percaya padamu"
"Gayatri, Sekar, kalian berdua lebih suka aku sebagai ketua
Lemah Tulis atau aku meninggalkan jabatan ketua ini?"
Sekar terkejut mendengar pertanyaan ini. "Aku senang
dengan apa saja keputusanmu Kamu sebagai ketua Lemah
Tulis atau bukan ketua, bagiku sama saja. Yang penting
bagiku, aku tetap di sisimu Ke mana kamu pergi, ke situ aku
mendampingimu." Gayatri mengangguk sependapat.
Saat itu Wisang Geni telah mengambil keputusan penting
dalam hidupnya. "Aku tak mau lagi menjadi ketua Lemah
Tulis, dalam beberapa hari ini aku akan menyerahkan jabatan
ketua ini kepada kakek, biar mereka mencari ketua yang baru
Aku akan bereskan hutang dendam dengan pendekar Cina
sebagai Wisang Geni pendekar biasa bukan sebagai ketua
Lemah Tulis. Aku lebih suka berkelana seperti Eyang Sepuh,
tetapi berbeda dengan Eyang Sepuh yang sendirian, aku akan
ditemani dua isteriku yang cantik dan cerdas, Sekar dan
Gayatri." Pikiran ini tidak ia utarakan.
Malam itu Geni merasa ada yang kurang. Biasanya Prawesti
yang menyediakan santap malam, terkadang mengambilnya
dari dapur, pada kesempatan lain gadis itu sendiri yang
masak.
Kali ini ia bingung. Sementara Geni bingung, Sekar
mengajak Gayatri ke dapur. Keduanya menolak ketika Geni
menawarkan diri mengantar. "Tidak perlu, kamu tunggu di sini
saja, ini urusan perempuan."
Dua isteri itu gembira melihat suaminya makan dengan
lahap. Keduanya tidak menceritakan sikap murid-murid wanita
sewaktu bertemu di dapur. Mereka tidak menegur sapa,
bahkan satu per satu meninggalkan dapur sambil mencibir

mulut. Sekar jengkel, namun Gayatri memegang tangannya.
"Kita tak perlu meladeni mereka. Aku pikir, mereka kecewa
karena Geni meninggalkan Prawesti. Dikiranya kita berdua
yang membuat ulah atau memengaruhi Geni," kata Gayatri.
Sesaat kemudian dia menambahkan, "Itu sangat manusiawi
bagaimanapun juga mereka patut membela saudara
perguruan sendiri, kita berdua kan orang luar, apalagi aku,
orang asing."
Malam itu Gayatri merasa nyaman dan tenteram dalam
pelukan suaminya. Rasanya aman. "Tak ada siapa pun yang
bisa memisahkan lelaki ini dariku," pikirnya.
Sesaat ia teringat ibunya pernah berkata kepadanya, "Jika
ada lelaki mencintaimu, tugasmu yang paling utama adalah
menjaga dan memelihara cinta itu dengan perilaku dan
pelayanan memuaskan. Dengan demikian ia tidak akan bisa
meninggalkan kamu. Yang penting, kau harus pandai dan
cerdas menempatkan diri sehingga lelaki itu merasa selalu
membutuhkan dirimu. Ingat itu Gayatri."
Saat Geni, Sekar dan Gayatri berenang dalam birahi cinta di
biliknya, saat itu rombongan Prastawana tiba. Ia melapor
peristiwa di gunung Argowayang, sepakterjang Wisang Geni
membunuh Lembu Agra, Lembu Ampai dan para pendekar
yang hendak menyerang Lemah Tulis, tujuhbelas pendekar
termasuk Kebo Lanang dimangsa widali, tantangan pendekar
Cina kepada Geni dan semua pendekar tanah Jawa,
pernikahan Geni dengan Gayatri dan Sekar. Kematian Kebo
Lanang sempat membuat Padeksa dan Gajah Watu kecewa
terhadap Geni. "Jika Geni bersama mereka, mungkin Kebo
Lanang tak dimangsa widali," pikir Gajah Watu.
Mereka berpencar menuju bilik masing-masing. Prawesti
tadinya melangkah ke bilik ketua, namun dia teringat bahwa
Geni sudah punya isteri. Ia berbelok menuju dapur. Ia resah
namun memaksa diri makan. Ketika itu tiga murid perempuan

mendekatinya. "Mbak Westi, ketua sedang berdua di biliknya
bersama dua isterinya. Kamu tidur bersama kami saja."
Prawesti tak peduli apakah sindiran atau maksud baik, ia
menatap gadis itu dan mengucap terimakasih. Ia
menyelesaikan makan lalu keluar ruangan tanpa menoleh lagi
kepada tiga gadis itu. Ia berpikir akan nginap di rumah paman
Jayasatru, rumah tempat tinggalnya sebelum ia menjadi
kekasih Wisang Geni.
Di tengah jalan ia mengubah pikiran, ia merasa malu. Apa
yang harus ia katakan kepada bibinya. Dalam perjalanan dari
Argowayang, Jayasatru memperlihatkan perhatian kepadanya,
melayani dan mengajaknya bicara namun tidak bicara soal
pernikahan Geni. Ia merasa semua orang seperti meremehkan
dan mengasihani dirinya. Ia tak sanggup menghadapi
kenyataan ini.
Sekonyong-konyong Prawesti berlari pesat ke gerbang,
menerobos keluar menuju kegelapan malam. Ia tak tahu
menuju ke mana, tetapi langkahnya menuntun ia menuju ke
arah hutan dawuk di lereng gunung Arjuno. Tengah malam
ketika Geni bertiga Sekar dan Gayatri meneguk cinta yang
penuh birahi menuju puncak kenikmatan, saat itu Prawesti
berlari dikejar nestapa cinta dalam pekatnya malam.
Esok hari saat matahari terbit, Lemah Tulis tampak sibuk
Terlihat murid lelaki maupun wanita sedang berlatih. Teriak
dan bentakan mewarnai kesibukan. Wisang Geni
meninggalkan Gayatri dan Sekar yang masih terbaring letih. Ia
menuju rumah Gajah Watu dan Padeksa.
Ia sudah memutuskan mundur dari jabatan ketua Lemah
Tulis. Namun baru saja ia duduk, Padeksa memberitahu kabar
buruk "Geni, sejak tadi malam Prawesti menghilang dari
perguruan. Ada yang melihatnya tengah malam berlari ke luar
gerbang. Sampai sekarang, Jayasatru dan isterinya sudah
mencari ke semua bilik dan rumah, tetapi gadis itu tak
diketemukan."

Wisang Geni terkejut. "Ke mana dia pergi?"
Padeksa berkata dengan nada sendu, "Kasihan gadis itu, ia
patah hati dengan perkawinanmu, hatinya hancur, aku tidak
tahu ke mana dia pergi, ia tak punya keluarga, tak punya
siapa-siapa."
Kata-kata Padeksa itu mengena tepat sanubari Geni. Lelaki
ini bereaksi cepat. "Aku akan cari dia."
Geni balik ke rumahnya, mengajak Sekar dan Gayatri.
Isterinya balik bertanya, "Kamu tahu ke mana dia pergi?"
"Barangkali aku tahu. Perjalanan makan waktu satu atau
dua hari."
Gayatri menolak. "Kau pergi sendiri, aku capek, tadi malam
kamu meniduriku habis-habisan, hampir membunuhku." Sekar
juga menolak, alasannya letih. Mereka menyuruh suaminya
cepat pergi.
Tetapi Geni masih berdiri di situ, tampaknya hendak
mengatakan sesuatu. Gayatri memandang dengan kocak,
"Geni, ajak ia tinggal bersama kita, Prawesti itu tak punya
siapa-siapa lagi, di luar sana dia sendirian tak punya keluarga.
Bagaimana pendapatmu mbakyu Sekar?"
Sekar memandang Gayatri dengan penuh haru. "Gayatri,
kamu wanita istimewa, kamu tidak dendam malahan
mengajak Prawesti bergabung dengan kita, kalau kamu sudah
memaafkan dia, aku tak punya alasan lagi menolak," dia
menoleh ke suaminya. "Geni, ajak dia pulang secepatnya.
Kami tunggu di sini."
---ooo0dw0ooo---

Selamat Tinggal

0 komentar:

Posting Komentar

 
;