Sabtu, 17 Mei 2014

Pendekar Tanpa Tanding / Wisanggeni 1

Pendekar Tanpa Tanding / Wisanggeni
Karya : John Halmahera

Sinopsis :

23 tahun yang lalu, Wisang Geni kecil lolos dari
pembunuhan. Pembunuhan yang meminta korban kedua
orang tuanya, dan kehancuran perguruan silat Lemah Tulis.
Setelah dewasa dan cukup tangguh, mulailah Wisang Geni
mencari satu per satu musuh yang menghancurkan perguruan
Lemah Tulis yang membunuh kedua orang tuanya.
Dalam pengelanaannya, Wisang Geni mendapat berbagai
penemuan dan pengalaman aneh, yang membuat dirinya
semakin Sakti, dan bertemu dengan wanita-wanita yang kelak
menjadi istri-istrinya.
Tidak semua petualangannya berjalan mulus, beberapa kali
Wisang Geni hampir kehilangan nyawanya, kisah cintanya pun
berliku, karena salah satu wanita yang dicintainya adalah bibi
gurunya. Bahkan dalam suatu kejadian Wisang Geni
kehilangan nyawa istrinya.

Daftar Isi

1. Peristiwa
Ganter................................................................. 1
2. 25 Tahun
Kemudian............................................................. 28
3. Cinta
Pertama........................................................................ 47
4.
Perpisahan...........................................................................
.... 70
5. Lembah
Cemara................................................................... 97
6. Pendekar
Lalawa................................................................... 121
7. Dendam
Temurun................................................................ 152
8. Persaingan
Asmara................................................................ 181
9. Nyawa Bayar
Nyawa........................................................... 209
10. Pendekar Nomor
Satu......................................................... 236
11. Jurus Penakluk
Raja............................................................... 263
12. Pertarungan
Puncak.............................................................. 291
13. Wulan dan
Sekar.................................................................... 314

Jilid 1
Peristiwa Ganter
Tahun 1222 situasi keamanan di tanah Jawa memanas.
Dua pihak yang bertentangan sama-sama menghimpun
kekuatan. Di satu pihak, kerajaan Kediri yang diperintah raja
Kertajaya nama lain dari raja Dandang Gendhis. Di pihak lain,
Tumapel, daerah bawahan Kediri yang diperintah Ken Arok
Perang besar sudah di depan mata. Tidak hanya melibatkan
ribuan prajurit tapi juga para pendekar yang berilmu tinggi.
Hampir seluruh pendekar ternama di tanah Jawa ikut terlibat
dengan bermacam alasan. Ada yang karena kesetiaan dan
keyakinan. Ada yang terpikat janji dan iming-iming materi.
Waktu itu banyak penduduk dan pemimpin agama dari
Kediri menyeberang dan mengabdi ke Tumapel. Sebagian
mereka tidak puas terhadap kebijakan Dandang Gendhis,
sebagian lain melihat masa depan yang lebih menjanjikan di
Tumapel. Dandang Gendhis marah-marah. Ken Arok tertawa
senang. Amarah Dandang Gendhis makin menjadi mendengar
berita Ken Arok telah menobatkan diri sebagai raja Tumapel
dengan gelar Rajasa Sang Amurwabumi. Itu pembangkangan
atau pemberontakan terhadap kerajaan Kediri.
Dandang Gendhis merencanakan serangan besar
menghancurkan Tumapel. Tapi kemudian membatalkan
rencana tersebut karena mendengar laporan mata-mata
bahwa pasukan Ken Arok sudah siap-siap melurukke Kediri.
Dandang Gendhis memutuskan untuk menanti serangan
lawan. Dia mempersiapkan pasukannya lebih matang dan
rencana untuk menjebak lawan. Keputusan ini tidak banyak
menguras kekayaan kerajaan dan juga tidak menguras tenaga
pasukannya.

Di pihak Tumapel, Ken Arok juga sudah menyusun rencana.
Dia memang akan menyerang Kediri, bahkan sengaja
membocorkan rencana tersebut. Tetapi ada rencana rahasia
yang dipersiapkan dengan matang. Dia mengirim pasukan
khusus yang terdiri dari sekelompok pendekar silat kenamaan
tanah Jawa, dengan tujuan menyerang dan
membumihanguskan Lemah Tulis, perguruan yang merupakan
pemasok hulubalang sakti yang setia pada kerajaan Kediri.
Hancurnya Lemah Tulis secara langsung akan melumpuhkan
separuh kekuatan Kediri. Selain itu juga mendatangkan rasa
takut dan waswas di kalangan prajurit dan hulubalang Kediri.
Dia yakin Lemah Tulis akan mudah diserang dan ditaklukkan
karena saat itu sebagian besar murid utama perguruan itu
berada di keraton dalam persiapan menyambut serangan
Tumapel.
Sore itu seorang pemuda bernama Suta sedang istirahat
bersandar di pangkal pohon ketika ekor matanya melihat
serombongan besar orang mengindap-indap di hutan. Dia
curiga bahkan firasatnya mencium ada bahaya yang
mengancam dirinya. Matanya memandang sekeliling mencaricari
tempat persembunyian. Di dekatnya ada kubangan
lumpur, satu-satunya tempat paling aman.
Dia tiarap di kubangan lumpur. Tidak bergerak, dia
mengatur nafas agar tidak terdengar orang. Dia takut
keberadaannya diketahui rombongan itu, nyawanya pasti
melayang. Rombongan melewati jalan tidak jauh dari
persembunyiannya. Karenanya dia bisa mendengar dengan
jelas sebagian pembicaraan orang-orang itu. Mendengar
pembicaraan itu dia menggigil ketakutan.
Tak lama setelah rombongan menjauh, pelan-pelan dia
bangkit, melangkah hati-hati Rombongan menuju ke
Trowulan. Dia juga menuju perdikan Lemah Tulis yang tak
jauh dari desa Trowulan, satu hari perjalanan dari tempatnya

tadi. Dia memilih jalan lain, menghindari kemungkinan
berpapasan dengan rombongan itu.
Hutan belantara itu gelap dan senyap. Cahaya rembulan
tak mampu menembus kerimbunan pepohonan.
Samar-samar tampak enam buah tenda darurat. Di salah
satu tenda, tujuh pendekar sedang istirahat. Ada yang duduk,
ada yang berbaring. Tetapi semuanya melek, tak ada yang
tidur. Rombongan Tumapel itu dipimpin Bango Samparan,
pendekar kepercayaan Ken Arok. Dia lelaki bertubuh tegap
dan berusia sekitar tigapuluhan.
"Besok pagi kita menuju Trowulan, supaya tidak menyolok,
kita berpencar dalam sepuluh kelompok, kita berjalan kaki
sebagaimana orang awam. Sore hari kita akan tiba di hutan di
luar desa. Kita istirahat. Sekitar tengah malam menjelang fajar
kita akan menyerang. Agar bisa saling mengenal satu sama
lain, kita semua menggunakan ikat kepala warna putih," kata
Bango Samparan kepada kawan-kawannya.
Kalayawana, pendekar sakti yang dijuluki Penguasa
Kegelapan dari Gondomayu, berkata lirih namun jelas.
"Bagaimana dengan rencanamu, apakah murid Lemah Tulis itu
bersedia meracuni air minum perguruannya?" Kalayawana,
berusia di penghujung tiga-puluhan, kurus, wajahnya buruk
dan tampak kejam. Dia bertelanjang dada dengan celana
sebatas lutut dan jubah hitam panjang yang penuh dengan
tambalan.
Bango Samparan tersenyum licik.
"Dia pasti akan melakukan itu, dia telah kubekali racun
pelemas tulang yang reaksinya cepat. Jika dia menabur bubuk
itu di sore hari kemungkinan besar sebagian mereka sudah
mulai keracunan di waktu malam. Biasanya mereka akan
ngantuk dan tidur. Selama mereka tidak berlatih silat, mereka
tidak akan sadar tubuhnya sudah keracunan. Pada dini hari
saat kita menyerang, barulah mereka merasakan tubuhnya

lemas. Saat itu sudah terlambat untuk suatu penyembuhan.
Ya, rencana ini membuat kita tak perlu membuang banyak
tenaga."
Semua orang yang mendengar tertawa senang. Mendadak
terdengar suara protes, nadanya ketus. "Itu bukan ksatria, itu
perilaku pengecut, aku tidak setuju rencana itu. Mengapa
harus pakai cara meracuni lawan dengan pelemas tulang, aku
sendiri mampu mengalahkan orang-orang Lemah Tulis,
termasuk ketuanya Ki Bergawa dan adik-adiknya itu."
Lelaki itu berusia separuh abad, dia pendekar asing asal
dari pegunungan Himalaya, negeri India. Namanya Lahagawe.
Tubuhnya tinggi kekar, agak kehitaman, wajahnya tampan
dengan hidung mancung. Dia orang kepercayaan
berkedudukan sebagai penasehat Ken Arok, pendapatnya
selalu didengar sang Rajasa.
Semua orang diam. Bango Samparan meskipun tidak
menyukai protes Lahagawe, ikut diam. Agaknya dia menaruh
hormat bahkan agakkeder terhadap Lahagawe. Namun tidak
demikian dengan lelaki gembrot berkepala botak, Tambapreto.
Pendekar ini merasa cemburu melihat Lahagawe disanjung
dan dihormati semua orang Tumapel. "Huh, orang Himalaya
itu makin lama makin sombong, apakah memang benar cerita
orang bahwa ilmu silatnya itu mumpuni, huh tanganku jadi
gatal aku ingin jajal," gumamnya dalam hati.
Tak bisa bersabar lagi Tambapreto berkala lantang.
"Tuan pendekar Himalaya memang berilmu tinggi, sampai
di mana bebatnya aku sendiri belum melihat, apakah benar
sampean bisa mengalahkan Bergawa dan adik-adiknya, hal itu
masih perlu sampean buktikan. Tetapi sekarang ini kita dalam
situasi perang, rencana meracuni air minum orang Lemah
Tulis sangat bagus. Rencana itu untuk menghemat tenaga kita
semua sehingga masih segar saat berperang lawan pasukan
Kediri. Aku setuju dan mendukung rencana itu!"

Lahagawe tidak menjawab. Dia melonjorkan kaki dan rebah
telentang di tanah. Saat berikut tubuhnya terangkat sejengkal
dari tanah. Lahagawe sengaja pamer tenaga dalamnya yang
tinggi dan hanya pendekar kelas satu yang bisa
melakukannya. Tambapreto dan pendekar lain, diam-diam
merasa kagum dan jeri.
Suta bergegas. Setelah merasa tak ada orang yang
melihatnya, dia lalu berlari menggunakan ilmu ringan tubuh.
Meskipun hari gelap tetapi dia bisa bergerak cepat karena
mengenal benar liku-liku jalan yang dilaluinya. Dia ingin
secepatnya tiba di perguruannya dan melapor pada gurunya.
Dia mencium adanya semacam bahaya maut yang
mengancam Lemah Tulis.
"Aku harus cepat memberitahu guru Rombongan itu pasti
beristirahat di hutan karena tidak mungkin menempuh
perjalanan malam. Jadi aku punya banyak waktu mendahului
mereka," katanya dalam hati.
Keesokan siang dia tiba di Lemah Tulis. Seorang murid di
pintu gerbang menyapanya, tetapi dia nyaris tak bisa bicara
lantaran nafasnya yang sengal-sengaL Di pekarangan dia
bertemu seorang murid lain yang menghadang jalannya. "Hai,
Suta, kamu habis mandi lumpur, ada apa? Kelihatannya kamu
habis berlari jauh, apakah ada kejadian penting?"
"Gawat! Celaka, paman Agra. Aku tadi bertemu
serombongan pendekar, tampaknya mereka punya niatan
menyerang perguruan kita, aku mendengar pembicaraan di
antara mereka."
Lembu Agra, usia tigapuluh tahun, tampan dengan kumis
tipis, berewokan, rambut panjang digelung di atas kepala,
tegap dan kekar. "Jumlahnya banyak? Dimana kamu bertemu
dan apakah kamu mengenal mereka?" Mimik Lembu Agra
sangat serius memberondong keponakan muridnya dengan
pertanyaan beruntun.

”Aku melihat mereka di hutan dekat desa Tumbas, satu hari
jalan kaki dari sini. Jumlahnya lima puluhan, dan semuanya
dan golongan pendekar. Aku mendengar diantara mereka ada
yang dipanggil Kalayawana, Bango Samparan, lambapreto,
hanya itu yang kuingat”
Lembu Agra mengibas tangannya. ”Kamu cepat-cepat
menghadap romo guru, ceritakan semua yang kamu ketahui,
aku akan memeriksa sekitar perguruan.”
Lembu Agra menoleh sekeliling, tak ada orang yang
memerhatikan. Dia berbalik arah menuju gudang tempat
penyimpanan air minum dan bahan makanan. Ada beberapa
guci besar penuh berisi air minum. Hati-hati ia membuka tutup
guci dan menabur bubuk. Semua guci dan kendi sudah
dicampurnya dengan racun pelemas.
”Sekarang masih sore jika diminum saat makan malam
maka racun akan bereaksi tengah malam. Nah, rasakan balas
dendam atas kematian keluargaku”, gumamnya disertai
senyum licik.
Hari masih pagi matahari baru saja terbit. Embun dan kabut
masih bergayut di pekarangan bagian belakang keraton Kediri,
Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh limaan sedang
bermain-main dengan anak laki-laki yang berusia sekitar
delapan tahun. Lelaki itu, Manjangan Puguh pendekar yang
memiliki ilmu ringan tubuh paling hebat di dunia persilatan.
Puguh adalah murid tunggal pendekar gunung Merapi Sagotra
yang di rimba persilatan tidak tertandingi ilmu ringan
tubuhnya.
Manjangan Puguh tidak hanya terkenal ilmu ringan tubuh
Waringin Sungsang tapi juga ketampanannya. Tubuhnya
jangkung, tegap meskipun agak kurus sangat padu dengan
wajahnya yang bulat telur dan rambutnya yang panjang.
Saat itu muncul ibu Wisang Geni, Sukesih, wanita cantik
seksi berusia tigapuluhan. Dia tidak tinggi, dada montok dan

rambut panjang ikal terurai di bahunya yang kuning sawo.
Kecantikannya sungguh menggoda hasrat lelaki. Dia
mengenakan celana longgar sebatas lutut memperlihatkan
betisnya yang memadi bunting dan kebaya ketat tanpa lengan
menonjolkan kemontokan lengan dan buah dadanya.
Sambil tertawa kecil Sukesih ikut bermain dan mengejar
putranya yang berlompatan dari satu pohon ke pohon lain.
Puguh pun ikut mengejar. Geni berlari sambil tertawa. Setelah
merasa cukup bermain ketiganya berhenti.
"Geni, ayahmu sudah menunggumu uniuk latihan tenaga
dalam, pergilah."
Berkata demikian dia melirik dan tersenyum pada
Manjangan Puguh.
Sepeninggal putranya, Sukesih melangkah genit
menghampiri lelaki itu. Perempuan itu mengulum senyum
menggoda. Dia menatap lelaki itu. Keduanya bertatapan.
Manjangan Puguh melihat keliling, sepi tak ada orang. Ia
memegang tangan wanita. "Kesih, hari-hari belakangan ini aku
melihat kamu semakin cantik."
Sukesih menengadah menatap lelaki itu yang lebih
jangkung. Sepasang mata wanita itu berkedip-kedip dan
berbinar macam kemilau bintang di malam purnama.
"Benarkah aku cantik, Mas?"
Laki-laki itu tak menjawab, dia gugup. Sekali lagi dia
melihat sekeliling. Mendadak dia menggenggam tangan wanita
itu. Keduanya berkelebat melompati pagar keraton. Mereka
menuju hutan yang berada tidak jauh di arah timur keraton.
Mereka tiba di goa tersembunyi yang berada di balik pohon
besar. Setelah menyingkirkan batu dan ranting pohon yang
menutup pintu, mereka masuk. Goa itu bersih, tampaknya
sering dibersihkan karena selama ini menjadi tempat
pertemuan kedua kekasih itu memadu cinta. Keduanya tak
kuasa menahan birahi lagi, mereka bergumul dengan liar,

panas dan bernafsu. Cinta terlarang memang penuh nafsu
yang panasnya selalu membara dan menimbulkan rasa
ketagihan.
Pada saat bersamaan di halaman belakang dekat pendopo,
Gajah Kuning sedang melatih Wisang Geni. Dia berusia
empatpuluhan. Tetapi kesannya tampak lebih tua.
Cambangnya hitam lebat, rambutnya yang panjang dikonde di
atas kepala. Ia mengenakan celana sebatas lutut, tubuh
bagian atas telanjang. "Anakku, jurus Garudamukha itu
semakin dahsyat jika kamu menguasai tenaga dalam yang
sangat mumpuni. Itu sebab kamu harus melatih tenaga
batinmu lebih rajin lagi."
Mereka berlatih semedi dari pagi hari sampai matahari
berada di titik palingtinggi. Udara panas. Keringat membasahi
tubuh keduanya. Gajah Kuning membuka matanya ketika
merasa tangan yang lembut mengusap keringat di dahinya.
Dia melihat isterinya. Sukesih duduk di sampingnya.
Gajah Kuning berkata pada putranya, "Geni, sudah cukup
latihan hari ini, pergilah istirahat ke kamarmu"
Dia kemudian merangkul pundak isterinya. "Tubuhmu
panas dan keringatan, kamu dari mana, sejak pagi aku tidak
melihatmu?"
Isterinya mengangguk, memeluk dan mencium leher
suaminya yang masih berkeringat. "Aku tadi berlatih kejarkejaran
sejenak dengan Geni kemudian pergi berkeliling ke
desa, mencari-cari udara segar."
Gajah Kuning melonjorkan kaki. Dia menarik nafas panjang.
"Kesih, hari-hari belakangan ini hatiku tidak tenteram, aku
memikirkan Geni. Aku kawatir mimpiku itu menjadi nyata." Dia
memandang isterinya dengan penuh rasa cinta. Keduanya
berpelukan. "Aku kawatir akan nasib Geni, jika sampai kita
kalah atau kita mati terbunuh dalam perang."

"Kangmas, kita tidak mungkin kalah. Sehebat apa pun
pasukan Tumapel, kita tetap akan memenangkan perang,"
tukas wanita itu dengan semangat berapi-api.
Dia mengerutkan kening dan menatap isterinya. "Dalam
perang apa saja bisa terjadi. Sulit meramalkan siapa lebih kuat
dan siapa bakal menang. Terkadang pasukan yang menang
pun banyak kehilangan prajurit dan punggawa. Jika kita kalah
perang, kamu harus pergi meninggalkan medan perang,
selamatkan dirimu dan kembalilah ke keraton menyelamatkan
Geni. Jangan biarkan dia terluka atau menjadi tawanan
musuh."
Sukesih merenggangkan tubuhnya, memandang mesra
suaminya. Matanya bersinar cinta. "Aku sudah bersumpah
setia. Hidup dan mati selalu bersamamu. Mas, jika aku mati
dalam perang, maka kau yang harus selamatkan dirimu, pergi
ke keraton dan selamatkan anak kita. Tetapi jika kamu yang
mati maka aku ikut mati bersamamu, membela suami adalah
darma kesetiaan dan kehormatanku sebagai isteri."
"Kesih kekasihku, aku tidak mungkin melarikan diri dari
medan perang," tegas laki-laki itu.
Mendadak Sukesih ingat seseorang, ia tersenyum "Kenapa
kamu tidak meminta kangmas Puguh menolong Geni. Di
antara semua pendekar yang berkumpul di sini, dialah yang
paling tinggi ilmu ringan tubuhnya. Amat mudah baginya
meloloskan diri untuk kembali ke keraton menyelamatkan
Geni."
"Dia laki-laki sejati, dia tidak akan mau lari dari medan
perang." Mendadak laki-laki itu tersenyum, dia teringat
sesuatu. Sambil memeluk isterinya dia berbisik. "Tetapi Puguh
pasti mau melakukan itu jika kamu yang membujuknya. Aku
rasa tak akan ada seorang laki-laki pun yang bisa menolak
permintaanmu apalagi jika kau membujuk dan merayunya."
Dia mencubit suaminya.

"Termasuk kamu, Mas?"
Gajah Kuning mengangguk.
"Aku pun selalu tak berdaya jika dihadapkan pada
kecantikanmu" Dia berbisik sambil lidahnya menggelitik telinga
isterinya. "Kesih, lakukan itu, kau bujuk dia, lakukan sebelum
perang ini terjadi, lebih cepat lebih baik. Jika Puguh sudah
berjanji, dia pasti akan menepatinya dan itu artinya
keselamatan anak kita sudah terjamin."
"Apa maksudmu, kangmas?" Dalam hati Sukesih menebaknebak
apakah suaminya sudah mengetahui perselingkuhannya
selama ini dengan Manjangan Puguh.
"Demi kepentingan anak kita, lakukan itu Kesih, bujuk dan
rayu dia supaya mau berjanji menolong Wisang Geni
seandainya kita kalah perang atau jika kita berdua mati di
medan perang. Pada saat itu dia harus kembali ke keraton dan
menyelamatkan Geni meskipun untuk itu dia harus lari dari
medan perang." Dia masih mendekap isterinya,
menyembunyikan wajahnya di leher wanita itu.
Sukesih terkesiap. Hatinya berbunga memperoleh
kesempatan itu, tapi ia berpura-pura. "Tetapi aku hanya
membujuk, bicara dengannya, tidak lebih dari itu, Mas.
Meskipun begitu aku butuh waktu satu atau dua hari
membujuknya. Dan belum tentu aku akan berhasil."
"Ini demi keselamatan anak kita, demi anakmu Lagipula
Puguh adalah kekasihmu yang pertama, aku melihat bahwa
dia masih mencintaimu bahkan sangat kasmaran. Makanya
aku yakin Puguh akan mengabulkan permohonanmu, apa saja
yang kau minta."
"Mas, kamu suamiku, hanya padamu aku mengabdi dan
jiwa ragaku kepunyaanmu semata. Manjangan Puguh itu milik
masa lalu, tapi Gajah Kuning dan Wisang Geni adalah masa
depanku. Aku sangat mencintaimu, Gajah Kuning," bisiknya
separuh mendesis. Sukesih merasa dia benar-benar mencintai

suaminya. Tetapi di dalam hati, dia tak bisa memungkiri
bahwa dia juga mencintai Manjangan Puguh.
Mereka masih berangkulan. Lantas Gajah Kuning
meregangkan tubuh, memandang wajah jelita isterinya. Dia
mencium mulut Sukesih. Dia tak pernah tahu, pagi tadi mulut
itu sudah dilumat habis-habisan oleh Puguh.
Di salah satu kamar di bagian keraton, Wisang Geni sedang
menekuni lembaran kulit tipis yang bertuliskan aksara Jawa
kuno dan Sansekerta. Kamar itu diterangi obor dinding.
Seorang lelaki berusia tiga puluhan sedang mengawasi. Dialah
Ki Waragang, tokoh muda yang terkenal sebagai tabib sakti
dan juga ahli racun. Dia merupakan tabib istana yang menjadi
orang kepercayaan Mahisa Walutigan, adik kandung baginda
raja Dandang Gendhis.
Mahisa Walungan menyukai Wisang Geni karena
menganggap anak itu punya bakat luar biasa bagusnya untuk
menjadi pendekar besar. Itu sebabnya, dia ikut melatih Geni.
Bahkan dia minta Ki Waragang melatih dan mempersiapkan
Geni menjadi pendekar yang menguasai sastra, obat-obatan,
bahkan juga racun. Sedang untuk ilmu silat, dia berempat
Gajah Kuning, Gubar Baleman dan Manjangan Puguh akan
mendidiknya serius.
"Geni, ini aksara kuno yang digunakan orang di jaman dulu,
sekitar seratusan tahun lebih pada saat raja Erlangga masih
memerintah. Kamu perlu mengetahui ini semua, pasti suatu
waktu ilmu sastra ini akan berguna bagimu." Waragang tak
bosan-bosan memberi petunjuk. Lelaki itu mengelus-elus
kepala Geni. "Dua tahun sudah aku mendidikmu, sebenarnya
kamu sudah lulus. Besok mungkin aku tak perlu lagi
menemanimu Kamu sudah pandai membaca menulis,
mengerti sastra, menguasai ilmuketabiban serta yang paling
penting, darahmu kini punya daya tolak terhadap segala
macam racun. Kamu sudah kebal terhadap racun. Mungkin

ada beberapa jenis racun yang bisa menerobos daya tahan
tubuhmu, tetapi tidak banyak."
Lemah Tulis suatu perdikan besar. Sudah menjadi tradisi
turun temurun sejak cikal bakal Mpu Baradha mendirikan
perguruan itu di jaman raja Erlangga, Lemah Tulis selalu
mengirim anak muridnya untuk mengabdi keraton. Dalam
beberapa kejadian, murid-murid Lemah Tulis ini menjadi
punggawa kerajaan tidak resmi yang setiap saat siap membela
keraton dari ancaman luar.
Tanah perdikan Lemah Tulis cukup luas. Di rimba
kependekaran tanah Jawa, Lemah Tulis tergolong perguruan
paling berpengaruh dan disegani orang. Murid yang berguru di
perguruan itu mencapai seratus limapuluhan. Sebagian di
antaranya mengabdi di keraton Kediri. Dalam situasi panas
membara dan perang sudah bergayut di depan mata, sekitar
lima puluh murid Lemah Tulis berada di keraton. Siap
membela keraton. Sebagian lainnya masih tinggal di
perguruan namun sudah siap-siap berangkat membela
kerajaan.
Sore menjelang malam Ketua Lemah Tulis, Bergawa, duduk
bersama adik seperguruannya, Branjangan. Dua tokoh itu
hampir sebaya, sekitar empat puluhan. Duduk di hadapan
keduanya, seorang cucu murid, Suta yang adalah murid Gubar
Baleman. Suta sejak tiba siang tadi belum istirahat. Dia
membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya yang penuh
lumpur, kemudian menghadap dua kakek gurunya itu.
Suta menceritakan kejadian yang dialaminya di hutan
kemarin sore. Bergawa berpikir sejenak, keningnya berkerut.
Dia kemudian memerintah Suta memanggil enambelas murid
lain yang namanya disebut satu-satu. Mereka semua adalah
murid paling tangguh yang berada di perguruan saat itu.
Selang sesaat sepeninggal Suta, seorang murid perempuan
masuk dengan nampan berisi makanan dan beberapa kendi air
minum Dua tokoh itu makan dan minum sambil membincang

kekuatan lawan. "Jumlahnya sekitar limapuluh pendekar di
antaranya Kalayawana, Tambapreto, Bango Samparan.
Mereka semua pendekar kenamaan yang memiliki ilmu silat
kelas satu. Pasti ini bagian dari strategi perang Tumapel.
Pertama, lumpuhkan Lemah Tulis, setelah itu baru menyerang
keraton Kediri," kata Bergawa.
Tak lama kemudian tujuhbelas murid termasuk Suta duduk
menghadap. Ada beberapa murid yang meskipun masih muda
usia namun sudah memiliki ilmu silat mumpuni. Di antaranya
tiga murid Bergawa yakni Ranggaseta murid kedua, Lembu
Agra murid kelima dan Walang Wulan murid ketujuh. Empat
murid Bergawa lainnya saat itu sedang berada di keraton.
Gubar Baleman yang tertua dan sudah mewarisi semua ilmu
silat gurunya. Gajah Kuning murid ketiga, Kebo Jawa murid
keempat dan Sukesih murid keenam
Bergawa menceritakan adanya bahaya yang sudah di
depan mata. Musuh dengan kekuatan besar akan menyerang
dan menghancurkan Lemah Tulis.
"Keadaan ini sangat menentukan mati hidupnya Lemah
Tulis. Kita di sini akan diserang dan yang menyerang adalah
pendekar berilmu tinggi yang menjadi bagian kekuatan
pasukan Tumapel. Di Kediri, saudara kalian akan berperang
membela keraton, dan kita tidak tahu bagaimana nasib
mereka dalam perang nanti. Tetapi satu hal penting harus
kalian ingat, ilmu Lemah Tulis ini tak boleh lenyap dari muka
bumi. Jika keadaan terdesak dan kita tak mungkin bertahan
lebih lama, kalian harus lari, selamatkan diri masing-masing,
berlatihlah dengan rajin, pelihara dan lestarikan jurus-jurus
Garudamukha, aku yakin suatu hari nanti akan muncul
seorang ketua baru dari angkatan muda untuk memimpin
Lemah Tulis. Camkan ini”
Selanjutnya Bergawa dan Branjangau mengatur semua
muridnya untuk bersiap menanti serangan lawan. Tujuhbelas

murid itu menjadi pemimpin kelompok yang
bertanggungjawab di pos-pos tertentu.
Ketika semua murid sudah keluar ruangan, Branjangan
dengan wajah muram berkata kepada kakak perguruannya,
"Tumapel rupanya sangat siap berperang. Aku kawatir dengan
apa yang bakal terjadi. Kangmas, sebaiknya kita bertarung di
dekat kamar rahasia. Sebagai ketua kamu bertanggungjawab
menjaga dan meneruskan ilmu silat kita, karenanya kamu
harus selamat, begitu kita kalah, kamu harus masuk kamar
rahasia, aku yakin Dimas Padeksa dan Gajah Watu akan
datang, kamu harus bertahan hidup dan menunggu mereka,
kamu harus berjanji padaku, Mas"
Dua tokoh itu kemudian bersemedi mengatur tenaga
dalam. Keduanya terkejut karena tenaga dalam tak bisa
disalurkan. Ada sesuatu dalam tubuh yang menghalangi
mengalirnya tenaga batin. Semakin dilawan semakin tubuh
merasa lemas. Tanpa sadar Branjangan berkata sambil
menatap kakaknya, "Ada apa dengan tenagaku?"
Sesaat Bergawa sadar, ia berseru, "Dimas, jangan kerahkan
tenaga, ini racun pelemas tulang, makin kita lawan makin kita
keracunan."
Ranggaseta, laki-laki muda bertubuh kekar masuk
menghadap dengan tergesa-gesa. Dia melapor beberapa
murid tak bisa melakukan semedi. Ada gangguan dalam tubuh
yang menghambat pengerahan tenaga dalam Tapi dia sendiri
tidak keracunan.
Bergawa memanggil semua murid berkumpul. Dia
menanyakan siapa saja yang kena racun. Sebagian murid
melangkah ke depan Hampir separuh dari mereka, keracunan.
"Racun itu dicampur dalam makanan dan minuman, bagi
murid yang belum keracunan, sekarang ini jangan makan dan
minum," tegas Bergawa.

Tadi dia dan Branjangan telah memeriksa murid pembawa
nampan. Dari pengakuannya, seperti biasanya dia masuk
gudang bersama empat murid lain, tak ada sesuatu yang
mencurigakan. Bergawa memastikan bahwa lima murid
tersebut tidak bersalah. Dia berkata pada Branjangan. "Orang
itu tak mungkin dari luar sebab tak mungkin dia bisa
menyusup masuk. Pasti dia orang dalam, seorang murid
pengkhianat. Tetapi sebaiknya hal ini tak perlu kita
bincangkan dengan para murid, aku khawatir akan timbul
perpecahan karena saling curiga mencurigai padahal saat ini
semua harus bersatupadu."
Situasi kritis itu harus disikapi dengan bijak Bergawa
memutuskan murid yang keracunan harus pergi meninggalkan
perguruan. Mereka tak mungkin bisa bertarung karena hanya
membuang nyawa percuma. Murid yang tidak keracunan,
boleh tetap di sini dan bertarung mati hidup. "Aku, Branjangan
dan Ranggaseta tetap di sini, kami masih sanggup bertarung,"
tegasnya.
Walang Wulan, murid Bergawa paling bontot, usia
tujuhbelas tahun, jangkung, cantik keibuan dengan kulit
kuning sawo. Dia menangis ketika kepalanya dielus sang guru
"Kamu tak boleh di sini, kamu harus hidup dan ikut menjaga
ilmu silat kita. Kamu cari pamanmu Padeksa, berlatihlah
bersama dia. Adapun pamanmu, Gajah Watu, terserah
padamu apakah kau maafkan dia atau tidak. Dia tidak pantas
menjadi paman gurumu Wulan, bawalah pesanku, muridku
yang paling layak menggantikan aku sebagai ketua, adalah
kakakmu Gubar Baleman, urutan berikutnya Gajah Kuning.
Semoga para dewa melindungi dua kakakmu itu. Ingat ini, jika
dua kakakmu itu gugur dalam perang, maka kamu lebih layak
menjadi ketua dibanding Lembu Agra, camkan itu! Karena itu
Wulan, berlatihlah lebih rajin. Sekarang pergilah, Wulan,
sebelum terlambat," katanya sambil menghapus airmata di
wajah cantik muridnya.

Malam itu menjadi malam perpisahan yang tak mungkin
dilupakan para murid, baik mereka yang pergi maupun yang
menetap. Jumlah yang memilih bertarung sampai mati, hanya
empatpuluhan murid. Dipimpin Ranggaseta, mereka bersiapsiap
di beberapa tempat Para murid yang harus pergi
meninggalkan perguruan, pergi dengan isak tangis. Tidak
pernah terpikirkan bahwa situasi perguruan bisa seburuk itu.
Mereka pergi dengan isak tangis bercampur dendam
membara, tetapi masa depan yang gelap menanti sekelam
malam yang gulita. Apakah Lemah Tulis akan sirna dari tanah
Jawa?
Bergawa teringat pesan gurunya, Rama Balawan, cara unik
mengembalikan tenaga yang hilang akibat racun pelemas
tulang. Cara itu hanya bisa dilakukan jika yang kena racun
adalah dua orang yang tidak terpaut jauh tenaga dalamnya.
Kenyataannya dua tokoh murid Rama Balawan itu, tenaga
dalamnya sama imbang.
Tidak ayal lagi Bergawa dan Branjangan lantas memainkan
jurus Gongkrodha (Kemarahan Luar Biasa) dari ilmu
Garudamukha yang merupakan ilmu silat andalan Lemah Tulis.
Selama dua gurunya berlatih, Ranggseta setia berjaga-jaga
Benturan tapak tangan dua tokoh itu mulanya perlahan,
makin lama semakin keras, dan tiada henti. Lama kemudian,
keduanya berhenti sejenak. Branjangan tampak gembira.
"Kangmas, sebagian besar tenagaku sudah pulih." Dia
melanjutkan dengan lirih. "Romo Guru Balawan, meski sudah
lama mati namun masih bisa juga menolong dua muridnya
yang goblok ini."
Malam makin larut, bulan sembunyi di balik awan
mendung. Guruh dan kilat bersambung mengiringi hujan
gerimis. Bergawa dan Branjangan tekun bersemedi. Keduanya
bersama semua murid mengenakan pakaian warna putih dan
ikat kepala warna hitam.
Gerimis masih menyiram bumi. Malam makin larut.

Dingin mencekam. Mendadak langit terang benderang,
panah api dan obor menyala melayang di udara masuk ke
dalam pekarangan perguruan. Lalu terdengar suara gedubrak
keras ketika pendekar Himalaya, Lahagawe memukul pintu
gerbang. Beberapa kali terdengar bunyi keras, saat berikut
pintu hancur. Terdengar suara hiruk pikuk, puluhan orang
menyerbu masuk, mereka menggunakan ikat kepala warna
putih. Pertarungan satu lawan satu atau keroyokan terjadi di
mana-mana. Banyak korban berjatuhan. Ada yang mati, ada
yang luka parah. Suara jerit kematian dan kesakitan
bercampur dengan makian dan sumpah serapah mewarnai
gelapnya malam yang masih disiram gerimis kecil. Kalah
dalam jumlah, satu demi satu murid Lemah Tulis mulai gugur.
Di pihak lawan juga banyak yang mati Murid-murid Lemah
Tulis makin terdesak dan tidak punya peluang untuk
mempertahankan tanah perdikannya.
Di suatu sisi pertarungan tampak Bergawa sedang melawan
Lahagawe, Branjangan dikeroyok Bango Samparan dan
Tambapreto, dan Ranggaseta bertarung mati hidup dengan
Kalayawana. Tiga pendekar Lemah Tulis terdesak mundur
sampai ke dekat kamar rahasia.
Lahagawe mendesak, menggunakan jurus-jurus Himalaya
yang aneh tapi mumpuni.
"Huh hanya sebegini saja jurus Lemah Tulis, tak ada apaapanya
yang bisa dibanggakan!"
Bergawa tertawa keras. "Jurus silatmu biasa tapi racun
pelemas tulangmu hebat. Tak kusangka pendekar berilmu
tinggi macam kamu hanya pengecut yang mahir meracuni
lawan dengan diam-diam. Dasar licik, pengecut tidak tahu
malu!"
Lahagawe murka. Ia menggeram Tarung makin dahsyat.
Pukulan Lahagawe mengena pundak dan perut Bergawa yang
kontan terlempar. Lahagawe mengejar. Ranggaseta
meninggalkan lawannya, dia mengejar Lahagawe. Dia

memotong jalan dan menghadang di depan langkah pendekar
Himalaya itu. Ranggaseta berteriakk, "Guru, cepat masuk!"
Bergawa ragu-ragu. Lahagawe menggerakkan kaki dan
tangan, menyerang Ranggaseta. Tetapi murid Bergawa ini tak
mau menghindar dari jalan. Saking kesalnya, Lahagawe
menggelar jurus-jurus mematikan. Dalam beberapa jurus
berikut pukulannya menerpa kepala Ranggaseta. Murid setia
ini terpelanting dan mati sebelum tubuhnya menyentuh tanah!
Tetapi tidak sia-sia pengorbanannya. Dia telah memberikan
waktu yang cukup bagi gurunya untuk berpikir dan mengambil
sikap. Kejadian berlangsung cepat. Branjangan menyaksikan
kematian Rmggaseta. Dia berteriak, "Kangmas, cepat masuk!
Jika terlambat masuk, kamu jadi orang paling berdosa bagi
perguruan kita, cepat!"
Bergawa sempat memandang berkeliling. Hampir tak ada
lagi murid Lemah Tulis yang bertarung. Semua mati! Terakhir
yang mati, adalah muridnya yang setia, Ranggaseta. Dia
melihat Branjangan bertarung dengan gagah berani. Adiknya
itu sudah luka parah tapi tetap berdiri dan bertarung
menghadang siapa saja yang ingin mendekati Bergawa.
Tahu dirinya tak lagi bisa berbuat, Bergawa cepat
menerobos masuk kamar. Pintu serta merta tertutup. Bergawa
muntah darah dan jatuh tertelungkup. Gelap. Semua gelap. Di
luar kamar, Bango Samparan beserta teman-temannya
berupaya membuka pintu, tetapi tak berhasil. Pintu itu tak
akan bisa dibuka siapa pun dari luar. Hanya ketua Lemah Tulis
seorang yang tahu rahasia membuka pintu kamar rahasia itu.
Kabar buruk itu berjalan cepat, bahkan sangat cepat. Pada
dini hari, Lemah Tulis porakporanda. Sore harinya, kabar
buruk itu sudah sampai di keraton Kediri. Semua murid Lemah
Tulis yang berada di keraton, menangis mendengar berita
semua rekan seperguruan mati termasuk ketua Bergawa dan
Branjangan. Hanya sedikit murid yang lolos. Batin mereka
terpukul. Apalagi mereka yang masih memiliki hubungan

saudara, bahkan isteri atau suami. Mereka tak tahu apakah
sanak kerabatnya itu mati atau berhasil meloloskan diri.
Sore itu di pendopo, tampak Gubar Baleman, Gajah Kuning,
Kebo Jawa, Sukesih, Manjangan Puguh dan Mahisa Walungan
duduk bersama. Wajah-wajah itu tampak murung dan lesu.
Mereka terpukul oleh kabar buruk dari Lemah Tulis.
Tiga dayang silih berganti masuk pendopo sambil
membungkuk hormat membawa nampan penuh berisi
hidangan. Mahisa Walungan mempersilahkan makan.
"Itu berita buruk, suatu pukulan berat buat kita semua.
Tetapi pukulan itu semakin merusak semangat tarung jika kita
membiarkan diri larut dalam kesedihan. Ingat tak lama lagi
kita sudah masuk ke medan perang. Ayo, makan, biar
semangat dan tenaga pulih, kita akan membalas kekalahan di
Lemah Tulis!"
Sambil menyantap ayam bakar, Mahisa Walungan bertanya
pada Sukesih. "Mana Wisang Geni?"
Wajah Sukesih masih murung. "Kangmas Walung, Geni
sudah tidur mungkin letih karena seharian berlatih."
Mahisa Walungan menoleh ke Gajah Kuning. "Dimas, aku
yakin suatu hari nanti, anakmu itu akan jadi pendekar
tangguh. Sayang sampai hari ini aku belum sempat
mewariskan jurus Nagapasa padanya."
"Terimakasih kangmas, dia pasti akan lebih digjaya sebab
jurus Nagapasa ciptaanmu itu hebat dan ampuh."
Selesai bersantap, Mahisa Walungan agak gugup berkata,
"Maaf, aku ingin bicara dengan dimas Puguh, tidak lama,
kalian tunggu di sini"
Keduanya melompat dan menghilang di kegelapan malam.
Di suatu tempat di sudut keraton mereka jalan berendeng.

"Dimas ceritakan tentang puteriku itu, apakah dia ikut
terbunuh di Lemah Tulis?"
Manjangan Puguh menggeleng kepala. "Tidak! Itu yang
pertama-tama kuselidiki, aku bertemu seorang murid yang
lolos yang kukenal. Ternyata Ki Bergawa telah memerintahkan
beberapa murid yang sudah terkena racun untuk pergi
meninggalkan perguruan mencari selamat agar ilmu Lemah
Tulis tetap bisa diajarkan. Dan Walang Wulan berada di antara
mereka yang lolos."
"Bagaimana keadaannya, ilmu silatnya? Apakah dia cantik?
Kapan terakhir kamu ketemu dengannya?"
"Belum lama, sekitar dua purnama lalu. Walang Wulan itu
hebat, dia muda, cantik jelita persis seperti ibunya, Ki Bergawa
sangat menyayanginya."
"Apakah sudah kamu ajarkan jurus Nagapasa?"
"Belum!"
"Kalau begitu kamu tak boleh ikut ke medan perang, kamu
tak boleh mati, sebab kamu masih punya hutang padaku,
kamu harus mengajarkan Nagapasa pada Walang Wulan."
Manjangan Puguh membelalak. Dalam hatinya ia tertawa.
Dia mau menyabung nyawa di medan perang karena cintanya
pada Sukesih. Dia akan membela dan melindungi wanita itu,
meskipun harus berkorban nyawa.
"Tidak, kangmas. Aku tak bisa memenuhi permintaanmu,
aku sudah ikrar akan tarung di medan perang, tak bisa kamu
mengubah pendirianku itu"
Mahisa Walungan menatap mata kawannya. Dia melihat
sinar mata yang mantap. Dia menghela napas, keputusan
Puguh tak bisa berubah. Mendadak dia ingat sesuatu. "Puguh,
aku pernah menawarkan padamu untuk menyunting Wulan
jadi isterimu, kau belum menjawab."

"Sejak Wulan masih kecil dia sudah mempercayai aku
adalah kakak kandungnya. Aku menganggapnya sebagai adik
sendiri. Ketika aku titipkan Wulan ke Lemah Tulis, aku
berbohong pada Bergawa bahwa aku adalah kakak
kandungnya. Kangmas, putrimu itu cantik jelita, tetapi aku
tidak mungkin memperisterinya."
"Dimas Puguh, siapa saja yang mengetahui rahasia bahwa
Wulan adalah putriku?"
"Hanya dua orang, guruku dan Nyi Pancasona. Tidak ada
lain orang lagi"
Tengah malam di kebun bagian belakang keraton,
Manjangan Puguh sedang berlatih, ia duduk semedi di atas
pohon. Ia berbaring di dahan kecil, tubuhnya berayun kian
kemari dalam kerimbunan daun. Mendadak seorang bertopeng
melesat ke atas pohon, menyerang Puguh. Keduanya tarung
keras. Manjangan Puguh membentak, "Siapa kamu, berani
menyatroni keraton!"
Dalam beberapa jurus Manjangan Puguh bisa membaca
siapa lawannya itu. Jurus Garudamukba cuma bisa dimainkan
oleh murid Lemah Tulis. Dan melihat potongan tubuhnya yang
langsing, dia mengenali Sukesih. "Kesih berhenti, mau apa
kamu?"
Tiba-tiba Sukesih limbung, tubuhnya doyong ke samping.
Manjangan Puguh cepat meraih pinggangnya. Sukesih
membuka topengnya, ia mengibas rambutnya yang tadinya
diikat. Puguh hendak melepas pelukannya, tetapi Sukesih
justru memeluknya. Lelaki itu tak bisa menguasai diri, ia
memeluk, menciumi leher dan mulut wanita yang dia cintai itu.
Terengah-engah, Sukesih mendesah. "Lemah Tulis porak
poranda, semua hancur, banyak yang mati, guruku mati,
malam ini aku sangat sedih, Gajah Kuning tak bisa
menghiburku, ia juga sedang berduka. Puguh, hibur aku,
cintai aku, Mas"

Suara Sukesih sendu, ada isak di dalamnya. Puguh merasa
iba, tetapi suara memelas dan tubuh montok itu telah
merangsang nafsu birahinya. "Aku mencintaimu, Kesih, kamu
wanita satu-satunya yang kucintai, tak ada wanita lain." Dia
melihat sekeliling kemudian membopong perempuan itu ke
goa di hutan.
Sukesih, pada usia limabelas, berkenalan dengan
Manjangan Puguh. Pertama kali dia mengenal lelaki dan
kehilangan perawan. Percintaan yang penuh nafsu birahi
Mereka bercinta dari satu tempat ke tempat lain. Mereka
kasmaran satu sama lain. Dua tahun bercinta, Puguh lupa
amanat gurunya, Sagotra. Suatu waktu sang guru
mendampratnya, karena tidak serius berlatih. Sagotra
membawa muridnya kembali ke gunung Merapi Puguh pergi
tanpa sempat memberitahu kekasihnya. Dia seperti lenyap
ditelan bumi.
Sepeninggal Manjangan Puguh, Sukesih patah hati. Kakak
seperguruannya, Gajah Kuning yang sudah lama
mencintainya, merayunya. Satu tahun tanpa kabar berita dari
Manjangan Puguh, dia yakin kekasihnya itu mati Dia tak punya
pilihan lain, gurunya mendesak agar menerima lamaran Gajah
Kuning. Dia berusaha mencintai Gajah Kuning, tetapi
bayangan Puguh tetap melekat di hatinya.
Sepuluh tahun berguru di Merapi, Manjangan Puguh turun
gunung mencari kekasihnya namun Sukesih sudah menjadi
isteri Gajah Kuning dan telah melahirkan Wisang Geni. Tapi
Puguh tak bisa melupakan kekasihnya. Begitu juga Sukesih.
Setelah mengetahui latar belakang menghilangnya Puguh
sepuluh tahun lalu, cinta Sukesih bersemi lagi Dia tak bisa
melupakan kenangan manis masa lalu. Terlebih-lebih Puguh
punya banyak kelebihan dibanding suaminya. Maka terjadilah
perselingkuhan itu. Puguh sangat kasmaran pada kekasihnya.
Sukesih masih mencintai Puguh dan selalu merindukan belaian
dan cintanya yang panas. Kepada dirinya, Sukesih sering

berkata pada dirinya, "Drupadi mencintai lima suaminya,
Pandawa Lima, dan tak pernah bisa menjawab siapa yang
paling dia cintai, apakah Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula atau
Sadewa? Tetapi aku hanya mencintai dua laki-laki."
Goa itu gelap, keduanya berdiri saling pandang. Sukesih
mengangkat dua tangannya merapikan tatanan rambutnya.
Gerakan itu memperlihatkan tonjolan buah dadanya yang
montok dan indah. Tangan lelaki itu meraba pinggangnya
yang ramping, menarik wanita itu merapat. Laki-laki itu
merunduk dan mencium bibirnya.
Bulan purnama keluar dari balik awan.Malam semakin larut,
dua kekasih itu masih bergumul penuh nafsu. Saat mentari
mulai ngiinip dari ufuk Timur, dua anak manusia itu masih
berenang di lautan birahi cinta terlarang yang indah dan
mempesona.
" Kangmas Puguh, mengapa kamu tidak mencari
perempuan yang bisa mendampingimu sepanjang hari, dari
pagi sampai malam, sampai pagi lagi. Aku tidak bisa
mendampingimu seperti itu. Aku harus mengikuti, Gajah
Kuning. Dia suamiku yang resmi."
"Tidak Kesih, aku tidak bisa melupakanmu. Hanya ajal saja
yang bisa membuat aku lupa padamu"
"Puguh tadi malam kamu sudah berjanji padaku, apa pun
yang kuminta akan kamu kabulkan, seandainya aku meminta
kamu mati, kamu bersedia?"
"Aku rela mati untukmu, asalkan mati dalam pelukanmu,
mati dengan mulutmu menempel di mulutku, mati pada saat
kamu mencintaiku."
"Kalau aku minta kamu tidak boleh mati, kamu bersedia
juga kan?"
"Tentu saja! Selama hidupku aku akan selalu mencintaimu"

"Mas, jika suamiku gugur dalam perang nanti, aku ikut mati
bersamanya, itulah puncak darma dan pengabdian seorang
isteri. Jika kami berdua mati dalam perang, kamu harus pergi
meninggalkan medan perang, kembali ke keraton dan
menolong Geni. Jadi kamu tak boleh mati Kamu harus
membesarkan dan mendidik Geni, jangan biarkan dia
terbunuh atau menjadi tawanan pasukan Arok. Janji,
berjanjilah padaku, kekasihku. Sekarang ini aku akan
lucnernanimu sampai siang hari, aku akan memberimu
kepuasan sehingga kamu tak akan pernah melupakan saatsaat
ini."
"Kesih, aku sungguh tak berdaya dalam perangkap
pesonamu, aku mencintai, kasmaran padamu, mencium
kakimu pun aku rela. Aku ingin mati bersamamu, tapi aku
tahu itu tak mungkin, Gajah Kuning ada di sampingmu Aku
janji akan menolong Geni, tak akan kubiarkan selembar
rambutnya diusik orang. Kesih, aku ingin memelukmu seharian
penuh bahkan kalau bisa sepanjang hidupku, betapa aku
mencintamu"
"Aku juga mencintaimu, Puguh. Kamu jantan, kamu
memberiku kepuasan yang tak bisa diberikan Gajah Kuning.
Aku merasa berdosa pada suamiku, tapi aku tak berdaya
karena aku tak bisa melupakanmu Puguh, ingat janjimu, kamu
tak boleh mati di medan perang, kamu harus menyelamatkan
Geni, didik dan besarkan anakku itu. Aku ingin jika nanti
dilahirkan kembali, aku menjadi isterimu dan melahirkan
banyak anak untukmu sesuatu yang tak bisa kuberikan
padamu sekarang ini."
Malam itu, Mahisa Walungan meneruskan perintah
kakaknya, baginda raja Kertajaya. Seluruh pasukan siap untuk
berangkat esok pagi, menuju desa Ganter. Mereka akan
mencegat pasukan Tumapel di hutan dekat Ganter. Mereka
akan menyusun jebakan dan siasat yang akan melumpuhkan
dan menghancurkan pasukan Tumapel.

Di dalam kamar, Gajah Kuning menggumuli tubuh isterinya.
Dia tergila-gila akan kecantikan wajah dan tubuh isterinya. Dia
sudah tahu, istrinya selingkuh dan memadu cinta terlarang
dengan Manjangan Puguh. Tapi dia tak sanggup mencegah.
Dia takut, isterinya akan memilih. Dia yakin isterinya pasti
akan memilih Puguh. Dia tak sanggup berpisah dari Sukesih.
Sukesih mengelus kepala suaminya. Dia sering merasa iba
pada suaminya. Laki-laki itu sangat kasmaran padanya. Dia
tahu, suaminya itu lebih tergila-gila pada tubuhnya ketimbang
mencintainya. Laki-laki itu menyukai bagian tubuhnya,
mengelus dan menjilati buah dada, ketiak, paha dan betis
bahkan sering menciumi telapak dan tumit kakinya.
Sulit dipercaya bahwa Gajah Kuning yang terkenal sebagai
pendekar berilmu tinggi dan jago tarung yang amat tega
membunuh lawan serta ditakuti lawan dan disegani kawan,
ternyata tidak berdaya menghadapi pesona tubuh dan
kecantikan liar seorang perempuan bernama Sukesih.
"Kesih aku mencintaimu, jangan tinggalkan aku," suara
Gajah Kuning memelas sambil dia menciumi ketiak isterinya.
Laki-laki itu sudah tak berdaya lagi. Tiga kali dia mencapai
orgasme. Sedangkan Sukesih tak sekalipun, namun seperti
biasa, perempuan cantik ini berpura-pura merasakan
kenikmatan orgasme.
Perempuan itu mengumpulkan segenap kekuatan batinnya.
Suaranya agak parau. "Mas, besok kita tarung di medan
perang, mungkin kita akan mati, itu sebab aku harus berterus
terang padamu tentang aku dan Puguh."
"Kesih, aku sudah tahu semuanya, kalian berdua saling
menyinta dan kalian sering bercinta," sambil mengelus
payudara dan mencium leher isterinya, Gajah Kuning
melanjutkan. "Aku tahu semuanya. Tidak perlu kamu ceritakan
padaku."

"Mas, kamu sudah tahu aku selingkuh dan bercinta dengan
Puguh tetapi kamu diam saja, mengapa?"
"Sebab aku yakin kamu akan memilih Puguh jika aku
mendesakmu, dan itu aku tak mau, aku tak mau berpisah
denganmu Kesih, jangan tinggalkan aku!"
Mendadak rasa iba dan kasihan mendorong dirinya untuk
memeluk dan menciumi wajah suaminya. "Tidak mas, aku tak
akan meninggalkanmu Besok, kita berdua akan berdampingan
melawan musuh. Mati hidup kita bersama-sama. Aku tak akan
berpisah darimu, walau sejengkal pun."
Perang Ganter melibatkan ribuan serdadu di kedua pihak,
Kediri dan Tumapel. Adu strategi dan siasat. Pihak Kediri
mempersiapkan jebakan yang jika terlaksana akan
menghancurkan pasukan Tumapel. Sayang ada pengkhianat
yang membocorkan rahasia ini. Jebakan Kediri itu akhirnya
menjadi kuburan bagi pasukan Kediri.
Semula diperkirakan jumlah pasukan Kediri lebih banyak
dan menggentarkan lawan. Kenyataan sebaliknya jumlah
pasukan Tumapel lebih banyak karena pada saat-saat terakhir
sebagian pasukan keraton membelot dan bergabung dengan
Tumapel. Tak heran dalam perang bubat itu, satu per satu
prajurit dan hulubalang Kediri gugur bersimbah darah. Tapi
mereka pantang menyerah terutama orang-orang Lemah
Tulis. Para pendekar Lemah Tulis itu merasa kematian sudah
di ujung rambut, namun tak seorang pun yang melarikan diri.
Lebih baik mati ketimbang lari dari medan perang.
"Kami boleh mati tapi tidak boleh terhina. Jika harus mati,
kami akan menyeret banyak korban dari pihak lawan."
Di tengah arena perang Mahisa Walungan dan para
pendekar kepercayaan keraton, bertarung mendampingi
baginda raja Dandang Gendhis. Seratus lebih prajurit dan
hulubalang Tumapel mengepung raja Kediri itu. Di antara
kelompok pengepung itu, beberapa pendekar berilmu tinggi

seperti Bango Samparan, Mpu Palot, Sempani, Jayawikata,
dan Bajul Ijo telah menutup ruang bagi Dandang Gendhis
untuk lolos.
Tidak jauh dari tempat itu, Gajah Kuning berdua isterinya
bahu membahu bersama Kebo Jawa adu jiwa menghadapi
Kalayawana, Penguasa Kegelapan dari Gondomayu, yang
dibantu Sepasang Iblis Sapikerep dan belasan pendekar
tangguh lainnya.
Di satu sudut medan Manjangan Puguh dan Gubar Baleman
terdesak oleh Lahagawe, pendekar Himalaya yang kosen itu.
Jurus-jurus silat Lahagawe sangat aneh. Ditambah lagi dengan
tenaga dalamnya yang begitu besar, tak heran jika Manjangan
Puguh dan Gubar Baleman terdesak hebat. Padahal dua
pendekar itu tergolong pendekar kelas utama tanah Jawa.
Manjangan Puguh, murid tunggal Ki Sagotra, dari gunung
Merapi. Ia memiliki ilmu ringan tubuh Waringin Sungsang yang
kesohor kehebatannya serta jurus Bang Bang Alum Alum.
Sedangkan Gubar Baleman, murid pertama Bergawa yang
sudah mewarisi seluruh ilmu gurunya, ketua Lemah Tulis,
mumpuni dalam jurus-jurus Garudamukha yang kondang.
Namun dua jago kerajaan ini terdesak hebat bahkan nyawa
mereka sudah di ujung rambut. Saat itu Baleman berteriak
keras mengerahkan segenap tenaga lewat dua jurus
Garudamukha yang saling susul Gongkrodha (Kemarahan Luar
Biasa) dan Shubdrawa (Hancur Luluh). Sehebat-hebatnya
Lahagawe gebrakannya tertahan juga. Dua jurus
Garudamukha itu diumbar pada saat yang tepat. Saat di mana
nyawa terancam. Keampuhannya menjadi berlipat ganda.
Sementara Manjangan Puguh memanfaatkan kesempatan
dengan menggelar dua jurus dahsyat dari Bang Bang Alum
Alum (Semua Merah, Semua Hidup atau Semua Mari) yaitu
Bhaskarogra (Panas Matahari yang Memuncak) disusul
Nanawidha (Beraneka Warna). "Mas Gubar, ayo kita adu jiwa
dengan dedemit ini," teriak Puguh.

Gubar Baleman menggeram, Manjangan Puguh tak kalah
bengisnya. Tetapi Lahagawe bukan pendekar biasa, dia sudah
terbiasa dalam pertarungan tingkat tinggi Karenanya dia
bukannya gentar malah merangsek maju. Dua tangannya
berputar dalam lingkaran yang berbeda. Tangan kanan
membuat lingkaran besar ke kanan, tangan kiri membuat

lingkaran kecil ke kiri.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;