Sabtu, 17 Mei 2014

wisang geni 23

Lelaki itu menggeleng. "Aku bisa hadapi orang ini, kamu
hati-hati dan waspada, di sekitarmu banyak orang licik dan
jahat"

Sambil menghentakkan kakinya Gayatri berkata kesal.
"Kamu lebih jahat dan lebih licik!" Ia menepi, berdiri bersama
dua pembantunya.
Lembu Agra berseru keras, "Wisang Geni, nyawa sudah di
ujung hidung, masih juga mesra-mesraan, hari ini kuantar
kamu ke neraka menemui isterimu."
Geni mengangkat tangannya. "Tunggu dulu Jaranan, aku
ketua Lemah Tulis, kamu ketua Turangga, kita tarung sampai
mati. Tak boleh ada yang lari, semua orang menjadi saksi,
sampean berani?"
"Aku memang mencari kesempatan seperti hari ini, bagus,
tidak boleh ada yang lari. Terimalah kematianmu, anak
sundal."
Agra mengerahkan tenaga Pitu Sopakara tingkat tujuh,
suara otot dan tulangnya terdengar gemeretak, wajahnya
merah berganti hijau. Dia menyerang dengan pukulan kiri,
disusul cengkeraman tangan kanan. Hebatnya justru
cengkeraman kanan yang sampai duluan ke sasaran. Pukulan
itu membawa bau anyir dan bacin.
Tadi sebelum Agra menyerang, Geni sudah membebaskan
diri dari semua ikatan, tubuhnya jadi ringan, serasa terbang di
atas angin. Pikirannya bebas, tak ada rasa marah, tak ada
rasa takut. Ia merasa merdeka. Ia tidak perlu menggunakan
jurus untuk menghindari serangan lawan. Dia hanya mengelak
begitu saja sehingga pukulan Agra menerpa ruang kosong.
Geni menandingi serbuan ganas Lembu Agra. Geni
bergerak seperti angin yang merdeka, bergerak berganti-ganti
arah. "Lupakan bumi, tengadah memandang langit, rasakan
angin, bebaskan diri bagaikan awan. Pusatkan pikiran, tenaga
dan hasrat. Pikiran harus kuat, sinambungan, tak boleh
putus."
Prastawana, Prawesti dan murid Lemah Tulis lainnya
bingung melihat cara Wisang Geni bersilat. Geni tidak bersilat

dengan Garudamukha atau Prasidha atau Bang Bang Alum
Alum, jurus yang dikenal sebagai jurus andalan sang ketua.
Prastawana tanpa sadar berkata lirih, "Ketua memainkan
jurus aneh, jurus apa itu? Itu mirip jurus Kacakrawartyan dari
Prasidha, tapi mengapa gerakannya terbalik, itu mirip
Agniwisa tetapi mengapa bergerak mundur, ah aku tak
mengerti"
Memang Geni tidak lagi bersilat dengan jurus yang dikenal.
Dia memainkan silat yang aneh. "Jurus apa ini," gumam
Lembu Agra.
Tak seorang pun mengerti silat yang dimainkan Geni.
Gerakannya indah, gemulai seperti tidak bertenaga. Namun
ketika menangkis, tangkisannya membuat pukulan Agra
terpental. Geni seperti bergerak lamban, tetapi tangkisannya
tepat waktu padahal serangan Agra sudah mendahului.
Suatu saat kepala Geni nyaris dikemplang. Pukulan hanya
terpaut satu jengkal. Tetapi dengan menggeleng kepalanya
Geni bisa menghindar.
Gayatri terpesona melihat silat Geni. Ia melihat betapa kaki
Geni tidak lagi berpijak di bumi. Lelaki itu seperti melayang.
Sungguh ilmu ringan tubuh yang sulit dicari bandingnya.
"Pantas saja jika Kumara dan Malini kalah dari orang ini, aku
pun belum tentu bisa mengimbanginya." Kepada dua
pembantunya Gayatri berkata dalam bahasa India, "Lelaki itu
ilmunya sangat tinggi."
Shamita menggoda majikannya. "Maksudmu lelaki yang
namanya Wisang Geni? Ia tak cuma hebat dalam bercinta juga
dalam tarung ia sangat tangguh."
Urmila menyambung, "Ilmu ringan tubuhnya seperti ahli
yoga kelas utama, tetapi ahli yoga hanya bisa melayang,
belum tentu bisa melayang sambil tarung. Putri, kamu juga
tak mungkin bisa mengalahkan dia, bisa-bisa kamu
ditaklukkan luar dan dalam."

Pipinya memerah saking malu perasaannya bisa ditebak
dua pengawalnya. "Kamu bicara ngaco. Apa maksudmu?"
Shamita tertawa menggoda, "Dalam silat kamu kalah,
dalam cinta kamu juga kalah."
Wajah Gayatri merengut. "Siapa bilang aku jatuh cinta,
kupikir kamu berdua ini sudah gila. Dia telah menipu aku,
akan kubunuh dia, kalian lihat saja nanti!"
Urmila berbisik, "Malam itu, apa yang terjadi di kamarmu?
Dia datang dan mengambil sesuatu milikmu, barang
milikmuyang paling berharga, benar?"
Gayatri memukul bokong Urmila. "Awas kamu buka
rahasia!"
Limapuluh jurus berlalu. Lembu Agra sudah memainkan
Pitu Sopakara tingkat tujuh sampai selesai, namun jangankan
memukul, menyentuh kulit Geni pun tidak. "Kamu cuma main
kucing-kucingan dengan ilmu siluman, kalau jantan hayo
layani pukulanku, layani Pitu Sopakara ini," sambil berkata
Agra mempersiapkan jurus Wangwang Kamayan (Silaunya
siluman) dan Cumangkrama Wisa (Main-main dengan racun).
Inilah jurus Pitu Sopakara tingkat tujuh yang paling
diandalkan, dalam gerakannya ada kandungan sihir dan racun
ganas. Lawan akan kena sihir, dan begitu kena hantaman
maka racun ganas itu langsung bereaksi merusak tubuh
bagian dalam. Lawan pasti mati.
Geni sudah menguasai ilmu barunya itu dengan sempurna.
Tak ada lagi hambatan dalam pikiran dan gerak. "Kamu hanya
perlu menyerang jika memang ingin menyerang tergantung
pandanganmu saat melihat gerak lawan. Jika dia mengelak ke
kiri, ke arah itu kamu menyerang. Jika dia menyerangmu,
kamu mengelak atau menangkis sesuai apa yang kamu
pikirkan."
Ketika serangan Lembu Agra datang, sihir jurusnya ikut
bekerja. Geni terpengaruh. Sesaat Geni melihat Sekar,

isterinya, merentang tangan ingin memeluk. Geni merasa
ragu, khawatir melukai isterinya. Pada saat dia ragu,
pemusatan pikiran terputus, saat itu juga tubuhnya merosot
turun, kakinya memijak bumi
Gayatri yang tak pernah melepaskan matanya dari
pertarungan, tanpa sadar berteriak, "Awas!" Sebab begitu
melihat kaki Geni membumi kembali, dia tahu pemikiran Geni
terganggu pertanda lelaki itu dalam bahaya. Dia tak tahu apa
sebab yang mengganggu pikiran Geni. Tanpa sadar Gayatri
menggenggam erat senjatanya. Sekali lagi tanpa sadar dia
berseru, "Hati-hati!"
Sementara itu Geni masih dalam keraguan, benarkah orang
itu Sekar isterinya. Saat itu, pukulan Agra terpaut sejengkal
dari dada Geni. Jika kena pukulan itu, dada Geni pasti remuk
Pada saat kritis tadi, peringatan "awas" dari Gayatri
menabrak alam bawah sadar Geni. Sebagian pengaruh sihir
lenyap. Teriakan berikutnya "hati-hati" telah mengembalikan
pikiran normal Geni, sekaligus memancing keluar tenaga
Wiwaha.
Saat itu juga pikiran Geni mengatakan itu bukan Sekar. Dia
itu musuh yang memukulnya, pukulan yang akan
membunuhnya. Pikirannya mengatakan dia harus mengelak
dengan menjadi awan. "jadilah awan, biarkan dirimu digiring
angin ke mana pun." Apa yang dipikirkan langsung diikuti
gerakan karena pikiran dan gerakan Wisang Geni sudah
menyatu.
Saat berikut Gayatri merasa lega, melihat kaki Geni tidak
lagi memijak bumi Semuanya berlangsung dalam sesaat.
Dalam sekejap mata terjadi perubahan. Pukulan Agra nyaris
menyentuh dada Geni, sepersekian jengkal dari kulit dada.
Saat itu juga Geni memutar tubuh ke kiri, membiarkan
pukulan Agra lewat di sisi. Sambil tangan kirinya membuat
lingkaran besar dari atas ke bawah, memukul tangan lawan.

Terdengar suara tulang patah. Geni bergerak terus. Ia
memutar tubuh sehingga posisinya berada di samping Agra.
Tangan kanannya menghantam punggung Agra. Terdengar
jeritan seram, Lembu Agra terlempar. Tangan dan
punggungnya remuk. Dia sekarat. "Hutang nyawa bayar
nyawa," kata Geni.
Semua penonton terdiam Sepasang mata Agra melotot,
meregang nyawa, kemudian tubuh mengejang. Dia mati
penasaran.
Tadi saat tangan Geni mengancam punggung Agra, saat itu
juga empat bayangan berkelebat, tiga orang menyerang Geni.
Jaran Dawuk, Cakarwa dan Taskara. Seorang lainnya, Salaba
menolong Lembu Agra. Tetapi keempat orang ini terlambat
Mereka tak pernah berpikir, bahwa dalam keadaan Lembu
Agra unggul, hanya dalam sekejap mata keadaan bisa
berubah. Dari menang, bisa kalah bahkan Lembu Agra kena
hantam begitu telak. Teman-teman Agra lainnya, ikut bereaksi
macam-macam. Lembu Ampai tidak bergerak, dia memegang
erat tangan Senopati Samba, ketua Sinelir. "Jangan! Kita
bersabar dulu, lihat situasi."
Tidak demikian dengan semua rekannya, tujuh pendekar
langsung meluruk menyerang Wisang Geni bersamaan dengan
empat murid Turangga. Jumlahnya sebelas orang. Pendekar
Ujung Kulon bersama dua adiknya menyerang dengan senjata
cambuk berujung logam tajam. Si Belut Putih dengan tangan
kosong. Nenek kembar Prameswari dan Kameswari, dengan
ilmu tampar dan jurus keris bersatu-padu. Bayangan Hantu,
bersenjata pedang.
Mereka merencanakan sejak awal. Tujuh pendekar
bersama Lembu Ampai dan berserta empat murid Turangga
bertugas menyerang Wisang Geni. Jika pendukung Wisang
Geni membantu, akan diladeni oleh Samba dan Hanggada
serta Sinelir dan punggawa Kediri lain. Dengan rencana ini,
mereka yakin bisa mengalahkan Wisang Geni.

Gayatri melihat semua. Dia bergerak pesat ke arena
pertarungan. Prastawana ikut bergerak Manjangan Puguh
melesat memotong serangan si nenek kembar. Manjangan
Puguh sangat pesat, dia sampai lebih awal, menyambut
serangan sepasang nenek kembar.
Terdengar suara desah Wisang Geni, pelan tetapi jelas di
telinga semua orang. "Terimakasih, tetapi biar aku sendiri
menyelesaikan urusan ini, mereka pantas mati karena punya
niatan buruk terhadap Lemah Tulis."
Gayatri, Manjangan Puguh, Prastawana kembali ke tempat
berdiri. Permintaan Wisang Geni menjelaskan bahwa dia
sendiri sanggup mengatasi keroyokan lawan. Saat itu Geni
sedang berada di puncak pagelaran ilmu silat, pikiran dan
tubuh menyatu secara utuh.
Tidak semua serangan datang bersamaan. Tiga murid
Turangga Jaran Dawuk, Cakarwa dan Taskara paling depan,
serangan kilat menggunakan jurus Pitu Sopakara tingkat
empat. Geni sedang merasakan kemerdekaan tubuh dan
pikiran. Matanya tajam bagai mata elang, menangkap semua
gerak lawan. Sulit dipercaya, Geni mengelak dan menangkis
sambil menyerang balik. Apabila tadi ia bergerak lamban
tetapi justru lebih cepat dari gerak lawan, kini gerakannya
sangat cepat. Bersikap seperti awan yang mengikuti angin,
kemudian menyerang balik bagai hamuk Leysus, Nilapracoda
dan Bajrapati, angin topan yang menghancurkan apa saja
yang dilewati.
Hampir semua penonton tidak melihat jelas cara Wisang
Geni menghantam lawan. Yang terlihat, tiga tubuh terhuyunghuyung
Jaran Dawuk, Cakarwa dan Taskara muntah darah.
Ketiganya tewas dengan darah merembes dari hidung, telinga
dan mulut. Seorang lainnya, Salaba, selamat karena tidak ikut
menyerang. Pada saat kritis dia balik arah, kabur turun
gunung.

Setelah menghantam tiga murid Turangga, Geni masih
bergerak terus, tubuhnya seperti menyongsong serangan
tujuh lawannya. Si Belut Putih berteriak, "Kena kamu!"
Pukulannya hanya menyisir baju Geni tanpa menggores kulit
dada. Geni mengibas. Pukulan dahsyat menerpa dada Si Belut
Putih. Lelaki ini terpental dan tewas sebelum tubuhnya
menyentuh tanah.
Geni masih bergerak terus, menghindar, mengelak dan
menangkis, kemudian menyerang sambil melompat. Pukulan
Bayangan Hantu ditepis sambil jari tangan Geni mementil
pelipis lawan. Pendekar itu terpental sambil memegang
kepalanya. Tewas seketika.
Gerakan Geni masih berlanjut. Dia melayang memapak
serangan Parma dan Sakerah. Dua keris lawan mengancam
dada dan perutnya, Geni tidak menghiraukan ancaman keris,
dua tangannya memukul dada lawan. Keduanya terpental,
mundur sempoyongan sebelum kerisnya mengena tubuh Geni.
Bersamaan saat itu serangan si Gila Ujung Kulon
mengancam kepala Geni. Setelah memukul Parma dan
Sakerah, tubuh Geni doyong ke depan, pukulan lawan
meleset. Geni meneruskan gerak, memutar tubuh. Dua
kakinya membuat putaran besar di udara, mengunci pukulan
susulan Si Gila Ujung Kulon, terdengar jeritan. Pendekar Ujung
Kulon menjerit sambil memegang kepalanya, tubuhnya
terjerembab, tewas seketika menyusul dua saudaranya.
Semua gerakan tadi bersinambungan, tak terputus, bagai
angin prahara yang sangat cepat dan ganas. Dari sebelas
penyerang, delapan tewas berturutan. Seorang kabur. Tinggal
nenek kembar yang batal menyerang sehingga luput dari
terjangan Geni.
Semua orang terpesona. Tak ada suara, hening. Semua
murid Lemah Tulis heran dan takjub. Hanya satu bulan
berpisah, sejak peragaan di air terjun, sekarang ilmu silat sang
ketua maju sangat pesat. Mereka heran berbareng bangga.

Manjangan Puguh heran. Dia pernah menyaksikan Eyang
Sepuh Suryajagad tarung lawan Resi Lahagawe di perang
Ganter duapuluh lima tahun silam. Ia melihat gerak silat Geni
sama persis dengan yang dimainkan Eyang Sepuh Suryajagad.
Mungkin Geni sudah mewarisi ilmu Eyang Sepuh? Apakah
Eyang Sepuh masih hidup?
Gayatri pun heran. Dalam pertemuan pertama di hutan, dia
masih bisa mengimbangi dan mempersulit Geni Namun hari ini
dia melihat ilmu Geni sudah tak mungkin ditandingi. Apakah
waktu itu Geni hanya pura-pura merendah. Pikiran itu
membuat sepasang matanya berbinar. Ia mendengar
senandung lirih Urmila kuchebi hoyaar mainto karungga
tumsehi pyar, binbole sache kuche boldiya (kasihku
bagaimanapun juga hanya engkau yang kucinta, simpanlah
rahasia ini di hatimu).
"Kalian berdua ngaco, siapa bilang aku jatuh cinta," Gayatri
tersenyum malu. Dalam hati ia sangat bimbang. Ia tahu ia
sudah kasmaran akan kejantanan Geni. Apalagi setelah malam
itu, ia pasrah memberikan tubuhnya. Bercinta, berulang kali.
Saat itu di gelanggang pertarungan, nenek kembar
Prameswari dan Kameswari berdiri mematung. Keduanya
serba salah, menyerang sama artinya dengan mengantar
nyawa. Mundur, berarti nama besar mereka hancur. Wajah
keduanya pucat.
Wisang Geni menatap keliling. "Jaranan pantas mati,
hutang jiwa isteriku sudah terbalas. Mereka lainnya mampus
karena punya rencana jahat menghancurkan Lemah Tulis.
Siapa pun yang membunuh murid Lemah Tulis, akan kucari
sampai ke liang kubur." Geni menatap dua nenek kembar.
"Kalian lebih baik pulang kampung, jangan memusuhi Lemah
Tulis supaya kalian selamat, pergilah."
Tanpa mempertimbangkan rasa malu dan nama besarnya
lagi, nenek kembar itu melesat ke luar gelanggang, langsung
turun gunung. Di kemudian hari dua nenek itu lebih banyak

diam di perkampungan, mengasingkan diri, tidak mau lagi
bertualang dan melanglang dunia kependekaran.
Sekonyong-konyong Geni mendengar suara lirih memanggil
namanya. Suara itu seperti dikenalnya. Dia menoleh ke arah
suara. Seorang perempuan cantik memandang kepadanya.
Sepasang mata itu tidak berkedip. Geni mengenali. "Sekar!"
Geni melihat seorang lelaki jangkung usia limapuluhan
berdiri di sisi Sekar, menggenggam tangan si gadis. Sekar
menoleh berkata kepada lelaki itu, "Aku hanya mau mengucap
kata perpisahan. Biarkan aku, kamu tahu aku tidak akan
melarikan diri."
Geni mendengar apa yang dikatakan Sekar. Kenapa? Apa
yang terjadi? Mengapa sikap Sekar begitu tawar padanya? Ia
menatap lekat lelaki itu tetapi belum pernah mengenalnya.
Lelaki itu tampan, berdandan mewah. Dari bentuk dan warna
pakaiannya, orang itu pasti dari keraton Kediri. Lelaki itu
melepas genggaman membiarkan Sekar maju beberapa
langkah. Sekar berhenti dalam jarak beberapa tombak dari
Geni.
"Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Aneh, limabelas bulan
berpisah, dan kamu tidak lari memeluk aku sebagaimana
biasanya," berpikir demikian Geni diam tidak bergerak Ia
menatap Sekar. Diam sesaat, dia menyapa kekasihnya.
"Sudah lama kita tidak berjumpa, kamu masih cantik dan
semakin cantik. Apa yang terjadi, isteriku Sekar?"
"Aku berduka mendengar kematian kangmbok Wulan.
Tetapi nasibku juga tidak beruntung. Nenek Dewi Obat dalam
tawanan mereka. Aku tak bisa lari, aku harus bersedia menjadi
isterinya dan dia akan membebaskan Dewi Obat." Dia berkata
lirih yang hanya bisa didengar suaminya.
Geni terkejut. "Siapa orang itu? Siapa mereka?"

"Dia Pranaraja, dia mahamenteri orang kepercayaan
Baginda Raja Tohjaya, ia paling berkuasa, melawan dia sama
dengan melawan seantero kerajaan Kediri."
"Aku tak akan melepas kau pergi, aku mencintaimu Sekar,
apa pun yang terjadi aku akan menghadapi bahkan seluruh
kerajaan Kediri sekali pun."
Dia memandang mesra kekasihnya. "Aku mencintaimu
Geni, tetapi nasibku memang buruk Aku harus pergi, sampai
jumpa." Dia membalik tubuh. Pada saat itulah dia melihat
seorang nenek tua sedang melangkah terseok-seok dengan
memanggul tongkat sapu lidi. Langkah nenek itu menuju
rombongan punggawa Kediri. Siapa lagi kalau bukan nenek
dan gurunya, Si Nenek Sapu Lidi.
Sekar mencium sesuatu bakal terjadi Neneknya pasti akan
berbuat sesuatu untuk menolongnya. Dia membalik tubuh,
memandang Geni dan bibirnya bergetar. Sekar mengirim
suara. "Geni bersiaplah untuk tarung, nenekku sudah datang,
ia pasti berbuat sesuatu!"
Saat berikut Sekar berbalik. Ia melangkah ke Pranaraja.
Neneknya sudah sangat dekat dengan rombongan Kediri.
Melihat nenek tua renta yang jalannya saja sudah terseokseok,
tak seorang pun curiga sehingga membiarkan si nenek
mendekati rombongan. Mendadak Nenek Sapu Lidi bergerak
cepat Ia menyerang dengan sapu lidi Sekar ikut menerjang.
Pada saat bersamaan Geni sudah melayang.
Pranaraja dan rombongan tak menyangka. Gebrakan nenek
tua itu dahsyat, beberapa punggawa terdorong mundur.
Pranaraja yang ternyata seorang sakti berusaha mencegah,
namun Geni sudah sampai di dekatnya. Geni marah, mengibas
dua tangan bagai menyibak air di kolam Kesiuran angin dingin
menerpa Pranaraja dan orang di sekitarnya. Pada saat yang
sama Sekar menerobos ke dalam rombongan. Ia bersama
neneknya bertarung keras, banyak korban berjatuhan.

Keributan yang terjadi memancing orang lain. Gayatri
mengajak dua pembantunya membantu Geni. Meski tidak
mengenal orang, namun mudah mengenali lawan, karena
semua punggawa Kediri mengenakan seragam keraton.
Prastawana dan lima murid Lemah Tulis ikut meluruk, ini
pertarungan sang ketua artinya juga pertarungan mereka.
Hanya dalam sekejap nenek tua dan Sekar berhasil
menolong Dewi Obat yang tertawan. Dua pendekar itu
melindungi Dewi Obat. Gayatri dan pembantunya bertarung
lawan Lembu Ampai, Samba dan Hanggada. Murid Lemah
Tulis dipimpin Prastawana tarung lawan anggota Sinelir Kediri.
Di sisi lain Wisang Geni terlibat tarung hebat dengan
Pranaraja. Bentrokan tangan menimbulkan suara keras dan
kesiuran angin. Geni mulai menggelar ilmu silat Menunggang
Angin, ia melayang sambil mencecar serangan beruntun ke
Pranaraja. Orang sakti ini kewalahan dan terdesak mundur.
Beberapa anggota Sinelir meninggalkan lawan mereka untuk
membantu Pranaraja. Tiba-tiba Pranaraja berseru, "Berhenti!"
Suaranya keras dan terdengar wibawa. Semua orang
berhenti tarung. Nenek Sapu Lidi dan Sekar menuntun Dewi
Obat mendekati Wisang Geni, begitu pun Gayatri dan dua
pembantunya serta murid Lemah Tulis. Dua rombongan ini
saling berhadapan.
Pranaraja membusungkan dada. Ia memang terkenal
cerdas dan sakti. Dua hal itu membuatnya menjadi penasehat
dan orang kepercayaan Raja Tohjaya. Ia tadi melihat,
pihaknya sulit menang meskipun belum tentu akan kalah.
Lawan sangat tangguh. Saat itu rombongan Tumapel dipimpin
Panji Patipati belum ikut campur. Keadaan jelas tidak
menguntungkan pihaknya.
"Tidak ada gunanya tarung dilanjutkan, akan jatuh banyak
korban. Ini hanya salah faham Kami menawan Dewi Obat dan
cucunya, karena perbuatan mereka yang menentang kerajaan.
Tetapi meneliti lebih lanjut, aku melihat perbuatan mereka

hanya suatu kesalahan kecil. Melihat bahwa mereka punya
hubungan kerabat dengan Ki Wisang Geni dan Lemah Tulis,
maka aku mewakili Baginda Raja membebaskan kalian semua
dari tuduhan makar terhadap keraton Kediri."
Ia menatap Wisang Geni bergantian Sekar. Sambil
menghela napas panjang, Geni mengangguk setuju.
"Terimakasih atas kemurahan hati paduka mahamenteri
bahwa pertarungan ini dihentikan dan kami bebas dari
tuduhan makar. Tetapi kalau diperkenankan, boleh aku
menanyakan suatu masalah di luar urusan ini?"
Pranaraja mengangguk. Geni berkata lirih tetapi suaranya
didengar semua orang. "Paduka mahamenteri, suatu waktu
sepasang suami isteri dikeroyok sepuluh orang yang ilmunya
mumpuni. Si isteri mati bersama bayi dalam kandungannya.
Jika sang suami membalas dendam, apakah itu bertentangan
dengan peraturan umum atau peraturan kerajaan?"
Pranaraja tercenung. Dia tak tahu cerita apa di balik
pertanyaan Wisang Geni. "Khusus kasus yang sampean sebut
itu, maka balas dendam sang suami dianggap wajar dan tidak
menyalahi peraturan."
"Terimakasih, tuan. Perkenankan aku menantang Lembu
Ampai tanpa melibatkan kerajaan Kediri. Dia
bertanggungjawab atas pembunuhan terhadap isteriku yang
waktu itu sedang mengandung anak pertamaku." Geni
menatap mata Pranaraja. Ada sinar mata memohon dalam
mata Geni yang tidak luput dari pengamatan Pranaraja. "Dia
memohon padaku, tetapi dia juga bisa bersikap tegas, lagi
pula ini kesalahan Ampai pribadi," pikirnya.
Ia memanggil Senopati Samba. "Kamu perintahkan semua
anak buahmu, tidak boleh ikut campur urusan itu. Lembu
Ampai yang berbuat, maka dia harus bertanggungjawab, biar
tarung ini berlangsung adil. Aku suka nonton tarung yang
adil."

Suasana hening. Sebagian orang mengira pertarungan
sudah selesai. Mendadak Geni berseru lantang, "Lembu Ampai
kamu bersama pasukanmu dan Lembu Agra mengeroyok dan
membunuh isteriku, aku sudah bersumpah akan menagih
hutang nyawa ini. Lembu Agra sudah mati. Kini aku menagih
tanggungjawabmu."
Lembu Ampai terkesiap. Nyalinya ciut melihat keperkasaan
Geni. Tetapi di depan anak buah dan atasannya Pranaraja, dia
tak mau hilang muka "Aku laki-laki sejati, bertanggungjawab
atas semua perbuatanku. Tetapi bagaimanapun juga sebagai
hamba kerajaan aku punya orang bawahan dan juga punya
atasan. Pertarunganku dengan sampean pasti akan melibatkan
banyak orang kerajaan."
"Sampean pintar dan licik, tetapi pengecut. Kamu mau
melibatkan banyak orang, bahkan kalau perlu kamu mengajak
seluruh otang keraton Kediri, kamu berlindung di balik pangkat
kerajaan, tetapi kamu sendiri tidak berani bertanggungjawab
atas perbuatan membunuh isteriku, kau mengaku sebagai
lelaki sejati tetapi kamu sebenarnya seorang pengecut kerdil,
kamu memalukan citra punggawa kerajaan Kediri."
Lembu Ampai naik darah. Dia mencabut senjatanya. "Itu
sudah hukum alam, kalau kamu memusuhi aku itu sama saja
kamu melawan kerajaan, itu artinya kamu memberontak dan
hukuman bagi pemberontak adalah mati! Tangkap dia!"
Mendadak Senopati Samba berseru, "Maafkan saya,
kangmas Ampai. Atas perintah Paduka Yang Mulia
Mahamenteri Pranaraja, semua punggawa Kediri tak boleh ikut
campur. Urusan ini adalah tanggungjawab kangmas Lembu
Ampai seorang, biarkan tarung ini berlangsung adil, satu
lawan satu. Aku sendiri yakin kamu akan bisa mengatasi
lawanmu itu."
Para punggawa Kediri terkesima. Apa yang dikatakan
Pranaraja adalah perintah atas nama Raja Kediri. Tidak

seorang pun berani membangkang. Kepala Patlikur Sinelir
senopati Samba telah mengumumkan perintah Pranaraja.
Semua punggawa mengambil posisi istirahat, begitu juga
para punggawa Tumapel dan murid Lemah Tulis. Kejadian ini
di luar perhitungan Lembu Ampai. Semua berantakan, Lembu
Agra dan para pendekar sewaan mati di tangan Geni. Bahkan
sekarang ini Pranaraja dan punggawa Sinelir lepas tangan, tak
mau terlibat. Dia harus menghadapi Wisang Geni satu lawan
satu.
Bagaimanapun juga Lembu Ampai seorang pendekar yang
punya karakter dan ilmu silat mumpuni. Dalam situasi sulit dan
terdesak, dia meyakinkan diri sendiri akan melawan Wisang
Geni sampai titik darah penghabisan. Seorang pendekar,
kalaupun harus mati, dia mati bersama kehormatan dan harga
diri. "Sehebat apa pun ilmu silat Wisang Geni, ia toh belum
merasakan hebatnya pukulan Gelap Ngampar, jurus Keris
Tujuh Kembang dan duabelas Pisau Terbang Formasi Bunga
Mawar."
Lembu Ampai melangkah ke tengah gelanggang.
Langkahnya pasti. Ada keyakinan dalam pikirannya, ilmu ilmu
silat tidak berdiri sendiri tapi didukung pengalaman,
kematangan, strategi licik dan licin. Semua aspek itu
dibutuhkan seseorang untuk memenangkan pertarungan mati
hidup.
Wisang Geni menatap Lembu Ampai yang sangat percaya
diri. Matanya tajam, dalam dan dingin. "Orang ini kejam dan
licik. Aku tak boleh meremehkan orang ini. Dia pernah
menyerangku dengan pisau terbang, senjata itu sangat
ampuh, aku harus waspada." Berpikir demikian, Geni
mengembangkan dua tangannya, mengangkat sana kakinya
dalam sikap menanti. "Hutang nyawa bayar nyawa, beberapa
waktu lalu kamu menghalangi aku menolong isteriku. Kamu
sepuluh orang mengeroyok aku dan isteriku, padahal kita tak

pernah bermusuhan bahkan kita tak pernah bertemu
sebelumnya."
"Wisang Geni, sampean tak perlu bicara ngalor ngidul,
mencari simpati orang. Waktu itu kita belum tarung tuntas,
sekarang keadaan sangat berbeda, ini tarung mati atau hidup.
Terimalah tamparan dari neraka." Belum habis ucapannya,
Lembu Ampai sudah menerjang dengan tamparan berantai.
Dua tangannya bagaikan saling mendahului. Angin panas
terasa oleh sebagian orang dalam radius beberapa tombak.
Itu jurus Gelap Ngampar.
Geni mengelak dan menangkis sambil balas menyerang
dengan pukulan keras. Dalam sepuluh jurus, keduanya saling
serang. Dalam pertarungan pertama beberapa bulan silam,
keduanya saling pukul dan menguji tenaga dalam. Waktu itu
Geni unggul tipis.
Sekarang, Lembu Ampai tarung beda strategi. Ia
menyerang ganas tetapi selalu menghindari adu tenaga
Lembu Ampai mengetahui nyawanya kini tergantung pada
kemampuannya sendiri, tidak lagi mengharap bantuan orang
lain.
Geni meladeni gempuran Gelap Ngampar lawan dengan
lamban. Bergerak dan melayang seperti awan yang digiring
angin, semua berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada
ketergesaan. Geni melihat pertahanan Lembu Ampai sangat
rapat. Ternyata Ampai tangguh melebihi Agra. Ada bedanya,
jika Agra sangat bernafsu dan kelewat percaya diri dengan
Pitu Sopakara.
Lembu Ampai lebih hati-hati karena mengetahui ilmu silat
Geni sangat tinggi "Dia sudah bertarung menghadapi banyak
lawan, sudah melewati seratus jurus lebih, tenaganya pasti
terkuras. Aku hanya menunggu dia letih, saat itulah aku
meyerang dengan pisau terbang," katanya dalam hati. Berpikir
demikian, Lembu Ampai bertarung waspada, sabar dan tidak
bergegas. Dia lebih banyak bertahan dan mengulur-ulur

waktu. Jurus Keris Tujuh Kembang dan tamparan Gelap
Ngampariidak mudah ditembus Geni.
Manusia punya keterbatasan, tenaga manusia terbatas.
Wisang Geni bukan manusia dewa. Letih mulai mengganggu
geraknya. Sejak dari Gondang, melakukan perjalanan ke
Lemah Tulis ia tidur semalam. Esok harinya ke Argowayang,
empat hari perjalanan. Tadi siang begitu tiba dia langsung
terlibat tarung lawan Lembu Agra dan begundalnya. Sejak
siang sampai saat ini ketika matahari senja mulai redup, ia
sudah tarung ratusan jurus.
Pertarungan memasuki jurus tujuhpuluhan. Geni mengeluh,
sadar tenaganya mulai berkurang digerogoti keletihan. Pikiran
dan geraknya tidak lagi menyatu. Namun Geni masih bisa
berpikir jernih. Bahwa ia harus selesaikan pertarungan
secepatnya, sebab makin lama ia semakin letih. Ia harus
berani mengambil resiko meski pun sangat berbahaya.
Letihnya Geni tidak luput dari pengamatan Lembu Ampai.
Gerak Wisang Geni tidak sehebat sebelumnya. Namun Lembu
Ampai masih ragu, apakah menyerang sekarang juga atau
menanti beberapa saat lagi sampai lawannya benar-benar
letih.
Maka Lembu Ampai terkejut ketika Geni menerjang maju.
Geni memukul dada Lembu Ampai. Diam-diam senopati Kediri
ini girang. 'Tucuk dicinta ulam tiba, kesempatan akhirnya
datang juga, kini saatnya aku menyerang dengan dua belas
Pisau Terbang Formasi Bunga Mawar," pikir Lembu Ampai
Lembu Ampai memapas tangan Geni dengan keris, tangan
lainnya memukul pelipis. Geni mengelak sambil mengibas
kepala lawan. Lembu Ampai merunduk menghindari pukulan
Geni sambil melepas keris, merogoh pisau di balik baju dan
menghentak dua tangannya. Duabelas pisau terbang
menerkam Geni. Kemudian ia menyambar kerisnya sebelum
jatuh ke tanah. Lima gerakan itu dilakukan Lembu Ampai
dalam sekejap mata. Sempurna.

Duabelas pisau melejit dalam Formasi Bunga Mawar
mengarah dua belas titik penting tubuh Geni. Terdengar jerit
penonton, serangan pisau terbang itu di luar dugaan. Dalam
jarak sangat dekat, terpaut hanya satu tombak, Lembu Ampai
dan penonton menduga pisau akan menghunjam tubuh
Wisang Geni. Serangan itu mengejutkan Geni, yang tidak
mengira lawan menyerang sekaligus dengan duabelas pisau
terbang. Tetapi Geni tidak panik.
Tak ada kesempatan mengelak atau pun menangkis. Geni
membuat gerakan aneh, dua tangannya ditekuk di depan
dada, kemudian memutar tubuh Tubuhnya berputar di atas
satu kaki sebagai sumbu, gerak putarnya sangat cepat, bagai
gasing. Bersikap seperti angin, bagaikan hamuk Lesyus,
Nilapracoda dan Bajrapgti, angin topan yang dahsyat.
Penonton tidak bisa menyaksikan apa yang terjadi, kepulan
debu dan dedaunan kering yang terbawa dalam pusaran angin
dahsyat telah menutup pemandangan. Wisang Geni dan
Lembu Ampai seperti lenyap dalam pusaran angin. Sesaat
kemudian, sebelas pisau melejit keluar dari kepulan debu
dengan tenaga sambaran yang sangat kuat. Untung pisau
terbang itu tidak mengenai seorang pun dari kalangan
penonton.
Saat berikutnya terdengar jeritan. Perlahan-lahan pusaran
angin menghilang, debu menipis. Lembu Ampai terhuyunghuyung,
dua tangannya tergantung tanpa tenaga, dua
kakunya lemas, kepalanya menengadah sambil mengerang
kesakitan. Dia rubuh di tanah. Tubuhnya tak bergerak, tewas.
Kemudian orang melihat Wisang Geni duduk bersila, sebilah
pisau nancap di pundaknya.
Apa yang terjadi merupakan keajaiban, dalam keadaan
tersudut dan mustahil bisa lolos dari sergapan pisau terbang,
sekilas Geni menemukan jalan keluar. Putaran tubuhnya yang
begitu cepat bagaikan gasing telah menyedot semua pisau
ikut terbawa putaran. Hanya sebab datangnya pisau terlalu

cepat, maka satu di antaranya yakni yang terdepan sempat
menghunjam ke pundak Geni. Namun putaran tubuh itu telah
memunahkan sebagian tenaga pisau sehingga hanya sepertiga
badan pisau yang menusuk ke dalam daging pundaknya.
Lembu Ampai tidak hanya menyerang dengan duabelas
pisau terbang, tetapi membarengi tusukan keris dan hantaman
Gelap Ngampar ke kepala Geni. Lembu Ampai yakin,
serangannya pasti menewaskan lawan. Sama sekali di luar
perhitungannya, jika tubuhnya bisa ikut terbawa pusaran
angin dahsyat. Bahkan ia merasa tenaga pukulan lawan
menghantam pundaknya membuat kerisnya terpental dan
tangan Geni menampar kepalanya. Lembu Ampai merasakan
kesakitan luar biasa sebelum tubuhnya doyong lalu terhempas
ke tanah.
Semua orang takjub. Lembu Ampai tewas. Padahal tadinya
mereka mengira Wisang Geni yang bakal tewas. Di tengah
gelanggang Geni masih bersila. Prastawana dan murid Lemah
Tulis maju mengelilingi dan melindungi ketuanya. Tampaknya
pertarungan Argowayang usai sudah. Sebagian besar
penonton kembali ke rumah masing-masing seiring matahari
senja mulai tenggelam.
Prawesti dengan wajah bingung memandang Geni. Mata
lelaki itu tertutup, tetapi nafasnya seperti biasa. Prawesti
mengulur tangan, hendak mencabut pisau di pundak
ketuanya. Tetapi dicegah Sekar.
Gayatri juga mencegah, berseru, "Jangan, jangan kamu
cabut pisaunya!"
Prawesti yang sejak bertemu sudah cemburu dan kesal
terhadap Gayatri, tak mau peduli. Ia meneruskan maksudnya.
Tetapi Sekar dan Manjangan Puguh yang entah kapan
bergerak, sudah berada di dekat Geni, menghalangi maksud
gadis itu. "Jangan dicabut, pisau itu beracun, jika dicabut
racun akan lebih cepat menjalar."

Gayatri mendekat, namun dihalangi Prawesti dan Gajah
Lengar.
"Ketuamu kena racun ganas, aku mau memberi obat
pemunah, kalian minggir," kata Gayatri.
Prawesti berkata ketus, "Obat? Obat apa? Pasti racun!"
Gadis India itu tidak marah. "Terserah kamu, tetapi buat
apa aku meracuni dia, aku ingin menolong karena dia masih
punya hutang padaku, supaya dia bisa cepat membayar
hutangnya. Tanyakan pada ketuamu itu, mau kutolong atau
tidak?"
Geni membuka mata. "Kamu selalu suka memaksa, mana
obatnya. Cepat berikan, lukaku sudah mulai gatal," sambil ia
membuka mulut lebar-lebar.
Gayatri tersenyum, menghampiri Geni. Prawesti
menyingkir, wajahnya cemberut. Sekar berjaga jaga, takut
gadis India itu menurunkan tangan jahat. Sekar ingat Gayatri
pernah berkata akan menantang Geni untuk membalas
dendam Lahagawe.
Sekar berkata ketus, "Jangan coba-coba membokong
suamiku, akan kugorok lehermu!"
Gayatri mendengus. Ia memeriksa luka. Kulit di sekitar
pundak berwarna biru kehitaman. "Ini racun ganas. Aku tidak
tahu racun apa ini, tetapi jelas sangat berbahaya dan sanggup
mematikan dalam waktu singkat. Darah yang keluar tidak
banyak karena sudah banyak yang membeku kena racun. Jika
makin banyak darah beku dan jika sudah tak ada lagi darah
yang merembes keluar, maka pengobatan akan lebih sulit.
Darah beku itu harus dikeluarkan, diisap," kata Gayatri kepada
Geni.
Saat itu juga Prawesti berkata, "Biar aku yang mengisap."
Gadis ini mendekat sambil tangannya mendorong pergi

Gayatri. Maksudnya hendak menyingkirkan Gayatri dari
hadapan Geni.
Gayatri tidak meladeni. Ia hanya berkata lirih, "Itu racun
ganas, mulutmu akan merasa gatal, kemudian rasa baal, lalu
kesemutan, kau pasti akan keracunan. Akan lebih sulit
mengobatimu dibanding luka Wisang Geni, karena mulut
berhubungan langsung dengan pernafasan, racun akan cepat
menjalar ke jantung."
Prawesti bersikeras dengan nada tinggi "Aku tidak takut."
Ia kemudian merunduk, namun tangan Geni mencegahnya.
"Tunggu Prawesti! Katakan Gayatri, bagaimana baiknya."
Saat itu Sekar mencari-cari seseorang, mana nenek Dewi
Obat dan Nenek Sapu Lidi. Ia melihat neneknya sedang
mengurut punggung Dewi Obat.
"Terserah padamu, aku punya obat yang bisa membasmi
segala macam racun ganas. Tetapi darah beku harus
dikeluarkan, setelah itu baru bisa diobati. Hanya orang yang
mengisap akan terkena racun dan kalau pun bisa diobati mulut
orang itu akan cacat."
Geni mengambil keputusan. "Kalau begitu biarlah, tak
seorang pun yang perlu mengisap darahku ini. Apakah ada
jalan lain?"
Terdengar suara lirih tetapi bisa didengar semua orang.
Suara Dewi Obat agak gemetar, "Sekar, ambil bambu yang
lubangnya kecil, kamu sedot darah beracun itu dengan
menggunakan bambu itu, cepat lakukan!"
Sekar melesat ke pohon bambu. Sekejap ia sudah jongkok
di sisi Geni. Tadinya Prawesti dan Gayatri tak mau memberi
jalan. Sekar mendorong mereka. "Kalian minggir, dia suamiku,
aku berhak mendampinginya."
Geni menatap kekasihnya itu. "Sekar aku rindu padamu,"
bisiknya.

Sekar tersenyum, tanpa menunda waktu ia tempelkan
bambu kecil ke luka Geni, lalu mencabut pisau yang nancap di
pundak Geni.
Tiba-tiba Gayatri menyodorkan pil warna putih. "Sekar, ini
pil anti racun, supaya mulutmu aman." Sekar menatap mata
Gayatri.
Gadis India itu mengangguk dan tersenyum. Sekar
membuka mulurnya, Gayatri menyuapi
Sekar mulai mengisap, darah beku itu tersedot tetapi
sebelum masuk mulut, ia menyembur ke tanah. Ia lakukan
berulang kali sampai yang keluar adalah darah merah.
"Selesai," sambil berkata, Sekar membalik tubuh. Ia muntahmuntah.
Tanpa sadar Prawesti berseru, "Kamu keracunan?"
Sekar menjawab lirih, "Aku tak apa-apa, aku cuma tak
tahan bau racun itu."
Gayatri merogoh sakunya, memberi Sekar sebutir pil warna
biru.
"Apa ini?" tanya Sekar.
Gadis India berbisik di telinganya. "Supaya mulutmu wangi,
suami kita itu suka mencium mulut, kamu tahu kan?"
Sekar memandang heran. Gayatri tertawa lirih. Ia berbisik
lagi. "Perawanku sudah dia ambil, dua malam berturutan,
sungguh liar dan kuat. Apa kamu marah padaku?"
Sekar menggeleng. Ia berbisik lirih di telinga Gayatri.
"Dasar mata keranjang, bajingan. Mungkin Geni harus punya
isteri lebih, kalau hanya seorang, isterinya bisa cepat tua dan
cepat mati."
"Eh Sekar, kenapa kau percaya padaku, mau menelan pil
obatku, padahal kita pernah tarung? Kamu tak takut pil itu
beracun?"

"Matamu jujur dan polos, tak ada sinar dendam dan
amarah. Lagipula buat apa kamu meracuniku?"
Gayatri berbisik, "Kamu cerdas dan berani. Semoga kita
berkawan, sebab terus terang aku tak pernah mau bermusuh
denganmu."
Saat itu Prawesti sedang bingung. Tak tahu bagaimana
menolong Geni. Darah merembes dari luka yang menganga.
Berdua Sekar, Gayatri menghampiri Geni. Ia memberi pil
putih. "Ini peluru salju dari Himalaya pembasmi semua racun
ganas," ia menyuapi Geni, kemudian melanjutkan, "Sekarang,
pada saat aku menekan lukamu kau harus mendorong dengan
tenaga dalam, kau siap?"
Gayatri menotok beberapa titik di sekitar pundak lalu
menekan daerah sekitarnya, pada saat berbarengan Geni
mendorong dengan tenaga. Darah kental muncrat dari lubang
luka, warnanya merah agak hitam dan bau busuk. Ketika
warna darah mulai merah dan semakin merah, Gayatri
berhenti.
Gayatri meremas pil salju dan melabur ke luka kemudian
merogoh sesuatu di pinggangnya. Bentuknya seperti jarum
dengan benang halus. "Lukamu lebar dan dalam, harus dijahit,
mau kujahit?"
Geni mengangguk. Gayatri dengan cekatan menjahit luka.
Sekejap saja luka sudah rapat. Hanya tampak bekas seperti
goresan. Ia menatap Geni. "Racun itu racun ganas, tetapi
obatku lebih hebat, kamu akan sembuh dalam sekejap. Kini
tinggal urusan kita, nanti malam kamu harus temui aku,
hutangmu harus kamu bayar, tak ada alasan untuk tidak
datang, awas kamu"
"Terimakasih, tak kusangka kau mahir mengobati orang.
Nanti malam aku pasti menemuimu" Geni memegang tangan
Gayatri.

Pada saat itu Pranaraja menegur Wisang Geni. "Kamu cepat
pulih, bagus. Racun pisau Lembu Ampai memang ganas. Tapi
ilmu silat sampean mumpuni bahkan aku pun kewalahan."
Wisang Geni memaksa berdiri. "Tidak benar itu, paduka
sakti mandraguna, paduka sengaja telah mengalah dan
memberi aku kesempatan hidup, terimakasih."
"Sampean berilmu tinggi, tetapi sampean sangat rendah
hati, aku ingin mengikat tali persahabatan dengan sampean,
aku mewakili diri pribadi dan juga keraton, mengundangmu ke
keraton Kediri."
Panji Patipati dan punggawa Tumapel terkejut dengan
undangan itu. Dalam hati mereka khawatir Geni menerima
undangan itu. Setelah berpikir sejenak, Geni menyahut,
"Terimakasih undangan paduka, aku sulit menolak, sulit
menerima, maafkan aku, selama ini aku membatasi diri dalam
urusan kerajaan, maaf paduka."
Pranaraja senang. "Kata-kata sampean ibarat emas,
sampean tidak ke keraton Kediri dan juga tidak ke Tumapel,
itu sangat bijaksana."
Rombongan Kediri kembali ke rumahnya. Begitu juga
orang-orang lain. Mereka butuh istirahat untuk menghadapi
malam perburuan widali.
Wisang Geni melangkah. Tiga perempuan itu, Sekar,
Gayatri dan Prawesti berebut menggandeng lengannya. Geni
tersenyum kecut. "Masalah baru, tiga perempuan, tanganku
cuma dua," katanya.
Tiga perempuan tertegun. Sekar membuka mulut. "Geni,
suamiku, kamu harus tegas. Aku tadinya nomor dua, setelah
kangmbok Wulan mati, aku harus menjadi nomor satu.
Tentang Gayatri dan Prawesti, aku tak ikut campur, kamu
yang putuskan."

Saat itu muncul Ekadasa. "Aku juga isterinya, kami bercinta
di keraton Tumapel, dua malam tak pernah berhenti."
Prawesti menyela, "Tetapi kamu kan punggawa keraton."
Ekadasa tersenyum genit. "Aku akan mundur dari keraton
Tumapel, aku lebih suka mengikuti petualangan mas Geni."
Wisang Geni mengeluh. "Ini masalah besar. Lebih berat
dibanding pertarunganku tadi. Sebenarnya kalian semua sama
saja, semua isteriku, tak ada bedanya."
Sekar membantah, "Tidak bisa begitu, aku tetap harus
nomor satu, Geni kamu harus tegas, kamu sudah janji
padaku!"
Geni menoleh keliling. Tak ada orang. Semua orang sudah
bubar. Hari mulai gelap. Ia berkata dengan wibawa yang
dibuat-buat "Baik, ini keputusanku, adil. Tak boleh dibantah.
Sekar nomor satu, dia lebih dahulu dari kalian bertiga. Gayatri
nomor dua, karena aku berjanji mengawininya. Sebenarnya
Prawesti lebih duluan, tetapi aku tidak berjanji padanya.
Ekadasa juga aku tidak berjanji. Jadi Prawesti nomor tiga,
Ekadasa nomor empat, semua sudah beres, tak boleh ada
yang protes!"
Gayatri memotong, "Aku tidak protes, tetapi kamu sudah
janji tadi akan datang ke rumahku, menyelesaikan urusan
kita."
Sekar memotong, "Urusan Gayatri itu bisa ditunda. Geni
harus bersamaku, aku sudah enambelas purnama berpisah."
Geni merangkul erat pinggang Sekar. "Aku rindu isteriku
yang ini. Aku pergi dengannya, kalian kembali ke rumah,
tengah malam nanti aku ke rumah Gayatri"
Sekar memotong, 'Tidak, jangan tengah malam, besok
siang saja." Sambil ia memandang Gayatri dengan penuh arti.
Gadis India itu mengangguk dengan senyum melirik Geni.

"Aku tunggu kamu besok siang, Geni, tetapi kamu harus
datang seorang diri."
Tak mau lama-lama lagi, Sekar mengajak Geni ke rumah
terpencil dalam hutan di kaki gunung. "Sekar, kamu tahu dari
mana ada gubuk tua ini." Gadis itu tak menjawab, ia
menerkam Geni, rindu belasan purnama ia tumpahkan dengan
tangis dan rintihan. "Kau bercinta dengan Gayatri, dengan
Prawesti, dengan Ekadasa, kamu lupa daratan, lupa padaku,
kamu jahat"
Geni menciumi sekujur tubuh molek itu, Sekar merintih,
membisik nama Geni berulang-ulang. Geni mendapatkan
Sekar yang liar, kuat dan sangat bernafsu. Keduanya bercinta
seakan tak ada lagi hari esok. Semalaman. Apa yang
dikatakan Sekar benar adanya, satu malam saja tidak cukup
untuk membayar rindu birahinya.
Ketika fajar menyingsing, Geni lelap. Sekar bangun. Ia
menatap sepuasnya kekasih pujaannya. Ia menciumi tubuh
Geni. Lelaki itu terjaga. "Aku rindu padamu Geni. Enambelas
purnama aku tersiksa memikirkan kamu, padahal kamu enakenakan
bercinta dengan Wulan, Prawesti, Gayatri bahkan
Ekadasa juga."
"Kamu marah, cemburu?"
Sekar menggeleng. "Aku cemburu, tetapi aku mengerti apa
maumu dan aku memberi kamu kebebasan. Aku senang,
karena kamu lebih mementingkan aku dari yang lain.
Menurutmu siapa paling cantik, paling indah tubuhnya dan
paling panas dalam bercinta?"
'Tentu saja kamu, Sekar, kekasihku."
"Kamu bohong, semua perempuan kamu puji. Di depan
Gayatri kamu memuji Gayatri."
Geni mencium lehernya. "Aku sungguh-sungguh, kamu
paling cantik. Matamu, mulutmu, semuanya. Kamu cantik

jelita, segar dan ceria. Tubuhmu paling indah, pinggang kecil,
perut rata, buah dada tegak sintal, bokong dan pinggulmu tak
ada lawan, paha dan betismu indah. Tetapi jujur saja, kalau
paha dan betis, mbakyu-mu Wulan lebih indah. Sekarang
Wulan sudah pergi, tentu saja paha dan betis kamu yang
paling indah. Dalam bercinta, kamu liar dan panas, hampir
sama dengan Gayatri. Ada satu lagi yang membuat aku harus
mendahulukan kamu dibanding semua perempuan lain di
kolong langit ini, kamu mau tahu?"
Sekar merasa tersanjung, ia mencium mulut Geni. "Katakan
kekasihku."
"Karena kakekmu, Eyang Suryajagad, sudah titip pesan
padaku, jangan sia-siakan Sekar. Tanpa pesan itu saja aku
sudah kasmaran dan jatuh bangun mencintai kamu, apalagi
ditambah adanya pesan dari orangtua yang paling aku
muliakan di muka bumi"
"Kamu ketemu kakek Suryajagad, kamu ketemu di mana?
Di mana kakek sekarang?"
"Dia sudah pergi, mungkin beliau akan moksa."
Sekar terdiam. Matanya berair. "Aku ingin ketemu kakek."
"Sekar, kamu harus legowo. Kakekmu sudah menyelesaikan
tugasnya di tanah Jawa ini"
"Aku sudah rela dan pasrah. Tetapi kamu harus ingat pesan
kakekku, jangan sia-siakan aku." Sekar merangkul suaminya,
pahanya melingkar di paha suaminya. "Geni, katakan lagi,
kamu mencintai aku, jatuh bangun mencintai aku, apakah
begitu hebat kamu kasmaran padaku?"
Geni menggumam sambil menggumuli tubuh isterinya. "Aku
bercinta dengan banyak perempuan, tetapi aku hanya
mencintai seorang perempuan, namanya Sekar. Aku juga
tersiksa memendam rindu. Aku sering mengingat percintaan
kita di Lembah Cemara, itu percintaan dahsyat, aku tak

pernah bisa lupa. Tetapi, tadi malam caramu bercinta lebih
dahsyat lagi. Sekar, aku tadinya cemburu melihat Pranaraja
memegang lenganmu, tangannya hampir nyenggol buah
dadamu."
Sekar tertawa menggoda. "Ia kasmaran padaku, tetapi ia
sopan, selama tiga hari bersamanya, ia tidak berani
menyentuhku. Ia tahu aku akan melawan meskipun harus
korban jiwa."
Sekar sebenarnya baru empatbelas hari turun gunung.
Tujuannya hanya satu yang paling penting, ia ingin menemui
Wisang Geni. Ia menuju Lemah Tulis. Di tengah jalan di desa
Gondang ia berjumpa bahkan tarung dengan Gayatri. Di desa
itu ia mendengar berita perburuan widali di gunung
Argowayang membuat ia mengubah perjalanan.
"Aku merasa pasti, kamu akan ke Argowayang. Aku lantas
menuju Lembah Cemara mengajak nenek Kunti ke
Argowayang. Di tengah jalan ketemu rombongan Kediri.
Mereka menggoda, terjadi tarung, senopati Hanggada
kutempeleng sampai pipinya bengap. Muncul si Pranaraja, aku
mampu mengimbangnya puluhan jurus. Itu sebab mungkin ia
kasmaran padaku. Entah bagaimana caranya, nenek Kunti
sudah ditawan. Mereka mengancam aku. Kebetulan mereka
menuju Argowayang, jadi aku manda saja menjadi tawanan
sambil mencari kesempatan menolong nenek Kunti.
Selanjutnya kamu sudah tahu ceritanya."
"Ilmu silatmu sekarang maju pesat, mungkin sudah lebih
tinggi dari aku, repot, sebagai suami aku akan sulit
memerintah kamu. Bisa-bisa kamu menjajah aku."
"Kamu ngaco, ilmu silat yang kau perlihatkan ketika
membunuh Lembu Agra dan Lembu Ampai, mana bisa
kulawan. Aku hanya bisa mengalahkan kamu di sini, dalam
bercinta, membuat kamu kasmaran dan jatuh bangun
mencintaiku."

"Kamu benar Sekar, aku kasmaran dan setiap berada di
dekatmu, aku terangsang. Tadi waktu pertama melihat kamu,
memandang wajah dan tubuhmu, aku sudah hendak
menerkam, memeluk dan bercinta denganmu." Geni mencium
mulut kekasihnya. Dan Sekar menggelinjang, ketika tangan
dan mulut Geni sibuk menelusuri sekujur tubuhnya. Keduanya
bercinta lagi untuk kesekian kalinya.
---ooo0dw0ooo---
Perkawinan
Matahari sudah lama tenggelam. Sinar bulan malu-malu
sembunyi di balik awan. Tampak rumah yang ditempati
rombongan Lemah Tulis. Wisang Geni sejak sore semedi
memulihkan tenaganya yang banyak terkuras beberapa hari
belakangan. Prawesti bersila di depannya. Wajah gadis cantik
ini kelihatan gundah, gelisah dan cemberut. Seharian ia
cemburu mengetahui hubungan Geni dengan gadis India
begitu akrab. Apalagi kecantikan Gayatri begitu menonjol.
Kemudian tadi malam sampai keesokan sore Geni berduaan
bersama Sekar. "Pasti mereka bercinta," gumamnya. Dia
bahkan cemburui Sekar yang dia tahu adalah isteri Wisang
Geni.
Semua murid selesai santap malam. Mereka istirahat
ngobrol di ruang tengah. Topik paling menarik tentulah
pertarungan kemarin siang. Sepak terjang sang ketua yang
luar biasa. Mereka takjub dan makin mengagumi Geni. Juga
lega karena Lembu Agra dan Lembu Ampai sudah tewas.
Dengan demikian dendam berdarah matinya Walang Wulan
sudah lunas.

Mereka menebak-nebak ilmu silat yang dimainkan ketua
waktu tarung lawan Lembu Ampai. Hebatnya ketua bisa
mengelak dari serangan licik duabelas pisau terbang yang
diolesi racun ganas. Dan siapa lagi si gadis India cantik yang
menolong ketua. Tampaknya ketua punya hubungan intim
dengan si gadis. Lalu muncul Sekar, isteri ketua yang sudah
satu tahun menghilang.
Dyah Mekar tertawa geli. "Ada empat perempuan yang jadi
isteri ketua, Sekar, Gayatri, Prawesti dan tiba-tiba saja
Ekadasa muncul mengaku sudah bercinta dengan ketua. Ketua
kita tak cuma hebat ilmu silatnya juga punya jurus penakluk
perempuan yang ampuh."
Mereka mengakui Gayatri muda dan sangat cantik. "Kupikir
ia cantik tak ada bandingan," komentar Dyah Mekar.
"Menurutku, Sekar lebih cantik," kata Prastawana suami
Dyah. Tetapi dalam hati mereka prihatin akan nasib Prawesti.
Bukankah Prawesti cukup lama berkorban mencintai ketua.
Bahkan keintiman ketua dengan Prawesti sudah seperti suami
isteri. Bagaimana teganya sang ketua melupakan jasa baik
Prawesti.
Prawesti sedang gundah. Sebagai wanita, perasaannya
mengatakan ketuanya sudah jatuh cinta pada Gayatri.
Tampaknya Gayatri juga mencintai ketua, bahkan terangterangan
memperlihatkan perhatian dan cintanya pada ketua.
Prawesti dibakar cemburu. Ia memandang lelaki yang
dicintainya itu. "Tahukah dia aku sangat mencintainya, kenapa
dia lebih mencintai Gayatri, apakah ia akan melupakan aku
begitu saja, apa yang harus kuperbuat, aku bingung."
Selesai semedi, Wisang Geni berkata pada Prawesti. "Aku
harus pergi menemui Gayatri." Ia melangkah ke jendela.
Prawesti berdiri, sambil berkata lirih dan agak sendu. "Ketua,
aku mohon jangan tinggalkan aku, biarkan aku tetap
melayanimu. Kau sudah berjanji padaku."

Laki-laki itu memandang Prawesti. Ia menghampiri,
memeluknya lembut. "Tidak, aku tak akan meninggalkan
kamu, aku tak akan melupakan kamu Westi."
Lelaki itu melompat lewat jendela dan menghilang di
kegelapan malam Prawesti menatap keluar jendela. Di luar
gelap gulita, segelap hatinya yang gundah. Prawesti
berbaring, mendadak ia bangkit, melompati jendela. Ia nekad
membuntuti Geni. "Aku akan ngintip dari jauh, aku tak
percaya gadis India itu, mungkin dia memasang perangkap."
Begitu Geni menginjak kaki di beranda rumah, tiba-tiba
serangan bor maut mengancamnya. "Tahan seranganmu, ini
aku." Urmila dan Shamita keluar dari ruangan dalam "Oh
maaf, kami hanya berjaga-jaga, silahkan masuk, putri
menunggumu di dalam."
Geni masuk. Ia melihat Gayatri duduk. Gadis itu tersenyum,
ia senang melihat Geni. Di hadapannya sebuah meja dan
sebuah kursi kosong. Di atas meja tersaji hidangan. "Kamu
datang terlambat, tetapi tak apa, duduklah. Mari kita makan."
Keduanya duduk berhadapan. Malam itu Gayatri tampak
cantik luar biasa. Penerangan obor damar yang remangremang
makin mempertegas kecantikannya. Ia mengenakan
celana hitam dengan baju lengan pendek warna hitam,
kontras dengan kulit tubuhnya yang putih. Rambutnya
dikonde memperlihatkan lehernya yang jenjang dan putih
bersih. Geni tak sadar memuji. "Kamu cantik sekali."
Gayatri tersenyum "Terimakasih atas pujianmu. Dan kamu
laki-laki tampan paling licik dan paling kurangajar yang pernah
kutemui dalam hidupku. Bagaimana, kamu bercinta
semalaman bersama Sekar, sudah puas?"
Wisang Geni tertawa, mengalihkan pembicaraan. "Gayatri,
makanan ini baunya harum, tetapi tampak asing bagiku,

makanan apa dan siapa yang masak?"

0 komentar:

Posting Komentar

 
;