Sabtu, 17 Mei 2014

Wisanggeni 30

Saat itu di atas panggung, Sekar berkelebat gesit mengelak
dan menyerang balik tiap serangan Kim Mei. Keduanya tidak
menggunakan senjata, tangan kosong lawan tangan kosong.
Sekar dengan 17 jurus Sapwa Tanggwa kontra jurus Cakar
Elang Kim Mei.
Dalam limapuluh jurus tampak Sekar di atas angin. Jurus
yang dimainkan banyak variasi dan seperti gelombang
samudera, saling susul tak pernah putus. Kim Mei kewalahan.
Tadinya ia merasa tak begitu perlu tarung, tetapi dalam
keadaan terdesak egonya sebagai pendekar menuntut ia
untuk menang. Ia mundur empat langkah, mencabut golok
tipis dari punggungnya. "Nona, kita pakai senjata, silahkan
kamu ambil senjatamu!"
Sekar tersenyum Ia menoleh ke arah Prawesti. Saat itu
Prawesti melempar tongkat. Sekar menangkapnya.
"Terimakasih, adik."
Tongkat warna hitam mengkilat, rupanya terbuat dari
logam keras, tidak panjang, tidak juga pendek. Ukuran
sepanjang empat jengkal. Ujungnya melekat logam tajam.
Geni dan Gayatri belum pernah melihat senjata itu. Di mana
Sekar menyimpannya?

Sesaat kemudian dua singa betina ini tarung ketat.
Benturan golok dengan tongkat memercik lelatu api. Tangan
Kim Mei kesemutan, ia menggerutu ternyata tenaga dalam
perempuan muda iiu sangat unggul. Tak bisa lain, Kim Mei
memutar goloknya lebih kencang dalam jurus Golok Patuk
Elang.
Makin lama bertarung Sekar makin perkasa sementara Kim
Mei terdesak. Pada jurus limapuluhan, Sekar menggabung dan
mengulang kembali jurus andalan Manguswapujeng (Mencium
lutut), Kalokikan Kanirmalan (Kesucian), Raganararas (tertarik
pada perempuan), Cumangkrama (Menyetubuhi) dan
Mangaksih (Memutus cinta). Kim Mei terdesak hebat.
Goloknya mental disampok tongkat, ujung tongkat meluncur
ke leher. Semangat Kim Mei terbang. Tanpa sadar Sang
Pamegat berseru, "Jangan!"
Sejak awal memang Sekar tak punya maksud membunuh.
Ia menurunkan ujung tongku dari sasaran leher menurun
menggores pundak. Luka goresan itu merobek baju, kulit
pundak yang putih beset mengeluarkan darah, tetapi tidak
parah Hanya luka luar. Sekar melompat undur. Kim Mei
menjura dengan membungkuk. "Aku kalah, terimakasih atas
kebaikanmu"
Kim Mei turun dari panggung, sambil melirik Sang Pamegat
Tadi ia mendengar seruan lelaki itu, ia berterima kasih.
Mungkin saja seruan itu yang mencegah Sekar sehingga tidak
menurunkan tangan kejam. Meskipun demikian, dalam hati ia
gembira karena itu pertanda laki-laki itu punya perhatian
padanya.
Ketika kembali ke tempatnya, Kim Mei langsung dimaki Ciu
Tan. Tetapi ia balas memaki dengan nada tinggi. Keduanya
bertengkar dalam bahasa Cina. Kim Mei berseru, "Aku tak
punya kepentingan dengan pertarungan ini, kau yang punya
kepentingan. Kamu yang ingin membalas dendam, lalu kenapa
aku harus adu jiwa untuk kepentinganmu?" Berkata demikian

Kim Mei mencari tempat duduk menyendiri. Sian Hwa,
mendekatinya dan menolong membalut lukanya
Geni menyambut isterinya dengan wajah berseri. "Tidak
sia-sia kamu pergi selama duabelas purnama, ilmu silatmu
sekarang sudah masuk kelas utama"
Sambil mengatur pernafasan, Sekar mencubit suaminya
"Bukan duabelas, tetapi limabelas purnama lebih aku
berkorban, untuk mendapatkan ilmu silat ini."
Saat itu di atas panggung, pertarungan Macukunda dan
Mok Kong berlangsung sangat ketat dan imbang. Macukunda
bersenjata dua tasbeh, besar dan kecil. Mok Kong memainkan
jurus goloknya yang hebat. Bertarung dengan senjata belum
ada keputusan siapa pemenangnya meskipun sudah melebihi
seraius jurus. Pertarungan dilanjulkan dengan tangan kosong,
adu tenaga pukulan sampai seratus jurus lebih. Tampak kedua
pendekar ini kelelahan.
Akhirnya Mok Kong mundur, Macukunda pun mundur.
Keduanya tertawa, kemudian sama-sama turun panggung.
Pertarungan Gayatri dengan Dewi Pedang dari Gurun Gobi
juga berakhir sama kuat. Keduanya tak mau saling melukai.
Sesuai peraturan dan perjanjian, jika pertarungan
berkesudahan imbang, artinya tidak ada pemenangnya, maka
kedua petarung sama-sama dinyatakan kehilangan hak
tarung.
Dengan demikian dari kubu tanah Jawa tinggal Wisang
Geni dan Sekar yang boleh tarung, sedang di kubu Cina hanya
Ciu Tan dan Mok Tang.
Gayatri berbisik kepada suaminya, "Hati-hati dengan Ciu
Tan, ketika mengalahkan Jenggot Gunung Lawu, aku melihat
sepertinya ia menyimpan jurus andalan. Selain itu Mok Tang
bertugas menguras tenagamu, sehingga tenagamu sudah
habis saat tarung lawan Ciu Tan." Sekar menyela, "Aku akan
hadapi Mok Tang, biar kamu leluasa menghadapi Ciu Tan."

Di depan umum Geni tidak malu-malu memeluk dan
menciumi leher Sekar. Isterinya merasa geli. Dia berbisik,
"Kamu istirahat saja, sekarang kamu nonton saja hebatnya
ilmu silat suamimu, ini jurus yang belum pernah aku mainkan.
Aku ingin menghadapi dua lawan itu sekaligus, biar cepat
selesai."
Sekar tersenyum, pikirnya Geni hanya bergurau.
Matahari berada di puncak, di atas panggung, Mok Tang
berdiri dengan golok di tangan. Ia siap dengan kuda-kudanya.
Dari tenaga maupun kematangan jurus golok, Mok Tang lebih
tangguh dibanding saudara kembarnya.
Di bawah panggung Wisang Geni sedang memeta diri,
mengingat Eyang Sepuh, mengingat angin dan awan. "Jangan
rasakan bumi lupakan bumi, tengadah memandang langit,
rasakan angin, bebaskan diri macam awan. Rasakan angin di
bawah tapak kakimu. Pusatkan pikiran tenagamu, hasratmu."
Dengan ringan Geni melompat ke panggung, gerakannya
perlahan, kakinya menginjak panggung tanpa suara, namun
panggung terasa bergetar. Menatap sepasang mata Geni yang
macam macam sumur tanpa dasar, Mok Tang merasa gentar.
Ia merasakan panggung bergetar padahal gerak kaki Geni
seperti tidak bertenaga "Tetapi aku sekarang sudah berada di
atas panggung, tak bisa mundur." Berpikir begitu, Mok Tang
bergerak cepat, menyerang dengan jurus andalannya. Cepat,
kencang, bertenaga dan ganas.
Geni mengelak, dan menyentil badan golok. Ia menghindari
tendangan, menangkis pukulan, menyentil tebasan golok.
"Semua manusia diperbudak berbagai macam keinginan. Lihat
gerak awan yang mengikuti gerak angin yang begitu merdeka,
bergerak semaunya, dan hebatnya lagi ia berganti-ganti arah
sesukanya. Di dunia tak ada suatu kekuatan pun yang bisa
menghentikan angin. "Wisang Geni bergerak leluasa di antara
kepungan sinar golok.

Mendadak Geni lompat mundur jauh dari Mok Tang.
"Tunggu, aku sebenarnya ingin menjajal jurus sepasang golok
dari Mok Bersaudara yang terkenal, tetapi kita tak bisa
melanggar peraturan dan perjanjian, saudaramu sudah
kehilangan hak tarung. Pihakmu hanya tinggal kamu berdua,
kupikir mungkin sebaiknya aku menghadapi kalian berdua
sekaligus, biar pertarungan ini cepat selesai."
Semua orang yang mendengar seruan Wisang Geni,
terkejut. Gayatri bahkan menahan napas, saking kagetnya.
Prawesti memegang dadanya, merasakan debar jantung yang
bagai derap kaki kuda. Sekar terkesiap telapak tangannya
berkeringat "Tadi kupikir dia bergurau, tetapi dia benar-benar
gila, bagaimana mungkin bisa mengalahkan dua lawan itu
sekaligus ?" Tanpa pikir panjang Sekar melompat naik
panggung, "Aku ikut, dua lawan dua, itu baru adil."
Macukunda dan para pendekar lain terkesiap. "Apakah aku
tidak salah dengar," kata pendeta Mahameru itu. Namun
seruan itu benar adanya, Geni menantang dua lawan
sekaligus. Tetapi untunglah Sekar juga naik panggung.
Begitu Sekar mendekat, Geni menyambar pinggang
pinggang isterinya, memeluk mesra, menciumi leher dan
berbisik. Lagaknya macam dua kekasih sedang berkasih
mesra, dan yang tidak peduli dengan orang-orang di
sekeliling. "Kau jangan membantah suamimu, kamu turun
sekarang juga, biar aku selesaikan urusan ini." Sekar menatap
mata suaminya. Mata itu berbinar, tajam dan dalam bagai
sumur tak berdasar. Ketika tangan Geni menepok bokongnya,
Sekar tahu dia harus mundur.
Semua aksi Wisang Geni seperti memandang remeh
lawannya. Tak bisa menguasai amarahnya Ciu Tan berteriak,
"Kamu sombong, kamu mencari mati sendiri." Ia melompat ke
atas panggung. Saat inilah yang ditunggunya selama dua
tahun lebih. Membalas dendam kematian adik perguruannya.
Hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa.

Ia langsung menabrak Geni dengan jurus Liong-jiao-ciu
(Cakar naga) yang dicampur dengan Wan-coan Put-toan
(Putar tak habis-habisnya). Mok Tang pun tidak kalah
ganasnya, "Bukan maunya aku, tetapi kamu sendiri yang
mencari mati. Sekarang aku sempurnakan permintaanmu" Ia
menyerang ganas dengan Eng-jiao Kim-na-ciu (Jurus cakar
elang) di tangan kiri dan Liang-gi To-hoat (Jurus golok) di
tangan kanan.
Penonton menahan napas. Wisang Geni diserang dari
segala penjuru Tetapi ia melayang-layang, meliuk, menghindar
dengan gerak tangan macam orang menari. Golok Mok Tang
membentur tembok, Cakar Naga Ciu Tan menabrak ruang
kosong. Geni bersiul, memanggil angin. Ia ingat petuah Eyang
Sepuh. Sekarang saatnya memperlihatkan kekayaan ilmu silat
warisan Lemah Tulis. "Di dunia, tidak ada satu kekuatan pun
yang bisa menghentikan angin. Jadilah seperti angin 'bajra'
yang bisa semilir 'sirir membuat orang ngantuk dan nyaman,
tapi bisa juga hamuk macam 'leysus', 'nilapraconda',
'bajrapati' menghancurkan apa saja yang dilewati. Jadilah
angin yang merdeka, maka kamu bisa bergerak mengikuti
angin, bahkan bisa lebih cepat dan lebih ringan dari angin.
Kosongkan pikiranmu, rasakan angin di sekelilingmu. Angin itu
ada, kamu juga ada."
Tampaknya bergerak lamban namun Geni bisa mengatasi
kecepatan golok dan Cakar Naga lawannya. Terkadang Geni
bergerak cepat sehingga seperti hilang dari pandangan mata.
Perlahan namun pasti dua lawannya mulai merasa gentar,
Geni tak tersentuh. Geni mengelak dan menangkis tergantung
situasi dan serangan lawan. Setiap kali golok Mok Tang nyaris
mencincang tubuh Geni, sekonyong-konyong ada tenaga yang
mendorong golok menebas rekannya sendiri. Begitu Cakar
Naga Ciu Tan sering nyasar mengancam Mok Tang.
"Awas, jangan terpancing, dia menggunakan Si-nio-po-ciankin
(Empat tail menghantam seribu kati), dia ingin mengadu

sesama kita." Peringatan Ciu Tan yang disampaikan dalam
bahasa Cina, benar. Tetapi tidak seluruhnya benar. Geni tidak
menggunakan jurus, dia hanya meniru keperkasaan angin
yang bisa mengadu benda yang satu dengan benda lainnya.
Seratus jurus berlalu, Geni semakin ringan dan leluasa
bergerak. Di lain pihak Ciu Tan dan Mok Tang sudah mandi
keringat, napas pun sudah terengah-engah.
Sekar dan Gayatri terpesona melihat kehebatan suaminya.
"Selama ini dia sengaja menyembunyikan ilmu silatnya yang
tinggi itu, kepandaiannya itu tinggi sekali, sampai kapan pun
aku tidak akan bisa menandinginya," kata Gayatri.
"Dikeroyok kita berdua pun, dia masih lebih unggul,"
tambah Sekar. Ada nada bangga dalam suara dua perempuan
itu, bangga akan suaminya.
Penonton bergembira melihat situasi tarung, mereka
perkirakan dalam sekejap lagi, Wisang Geni akan
mengalahkan dua lawannya itu. Ciu Tan mengerti situasi
buruk ini, ia sudah mengambil keputusan akan adu jiwa.
Tetapi tidak demikian dengan Mok Tang, dia memang dibayar
mahal oleh Ciu Tan untuk membantunya membunuh Geni,
namun situasi dan kondisi sekarang sudah sangat berbeda.
Dia tidak akan mungkin bisa mengalahkan Geni meskipun Ciu
Tan ikut mengeroyok. Jika pertarungan dilanjutkan, itu sama
halnya dengan mengantar nyawa.
Dan terus terang saja Mok Tang masih menyayangi
kehidupannya. Saat itu ia berpikir akan mundur keluar
gelanggang. Tetapi sudah terlambat.
Pada saat yang sama Geni bergerak cepat dan ganas,
hamuk macam Leysus, Nilapraconda, Bajrapati. Mok Tang dan
Ciu Tan merasa panggung bergetar. Geni seperti hilang.
Padahal Geni masih berada di atas panggung, berputar bagai
gasing. Papan dan balok panggung terangkat dan meluruk ke
arah dua lawannya. Ciu Tan dan Mok Tang kaget setengah

mati "Jurus apa ini?" Ciu Tan berseru sambil berusaha
menangkis, karena sudah tak punya waktu mengelak.
Penonton yang berada di sekitar panggung lari pontangpanting
menyelamatkan diri. Kejadiannya memang seperti
angin prahara yang meluruk dan hendak menelan Ciu Tan dan
Mok Tang. Terdengar suara jeritan. Sesaat kemudian prahara
itu berhenti. Ia menghilang seperti datangnya, serba tiba-tiba
dan di luar dugaan.
Di antara debu dan daun kering yang beterbangan, Wisang
Geni berdiri dengan anggun. Panggung itu sudah lenyap,
hanya tersisa bekas-bekasnya. Mok Tang dan Ciu Tan
tergeletak di tanah. Sio Lan berteriak sambil lari memeluk
ayahnya. "Ayah!" Li Moy dan pendekar Cina lainnya datang
membantu menyadarkan dua rekannya.
Terdengar suara Wisang Geni dingin dan kaku, "Mereka
hanya pingsan dan luka ringan. Kalian pulang saja ke Cina,
ilmu dari negeri seberang jangan jual lagak di tanah Jawa ini.
Di negeri ini masih banyak pendekar hebat yang bersembunyi.
Sekarang ini lebih baik kalian pulang ke negerimu, tak ada
dendam tak ada hutang piutang dendam. Hiduplah dengan
damai, ingatlah damai itu indah, karena hidup ini juga sangat
indah."
Tidak berapa lama Ciu Tan dan Mok Tang sadar dari
pingsan. Geni melanjutkan kata-katanya, "Dendam tak pernah
berhenti, dendam akan mengejar seperti bayangan maut.
Dendam akan berhenti jika salah satu di antara pemburu dan
yang diburu, mati. Kenapa harus mati, kenapa harus
membunuh kehidupan orang lain, padahal hidup ini begitu
indah untuk dinikmati."
Wisang Geni menghampiri Gayatri dan Sekar yang langsung
memeluknya. Tiga insan berpelukan mesra. Prawesti
menghampiri, Geni merangkulnya. Keempat insan itu
berpelukan sejenak. Tiga isterinya pada awalnya sangat
tegang begitu Geni menantang dua lawan sekaligus. Sekarang

mereka amat gembira menyaksikan keunggulan sang suami.
Tetapi mereka pun tak bisa menyembunyikan kekagumannya,
mereka hampir tak percaya apa yang dilihat, saat Geni
mengembangkan jurus yang menghancurkan panggung
sekaligus membuat dua lawannya pingsan.
Sambil menggigit perlahan telinga kekasihnya, Sekar
berbisik halus, yang juga didengar Prawesti dan Gayatri. "Itu
tadi ilmu apalagi, kekasihku?"
"Itu tadi jurus jatuh cinta, begitulah jika aku jatuh cinta dan
bernafsu pada kalian, persis seperti angin prahara," bisiknya
sambil tersenyum penuh arti.
Penonton yang tadinya lari menghindari balok dan kayu
yang beterbangan, kembali lagi ke arena tarung. Mereka
bertepuk, memuji kehebatan Wisang Geni, Pendekar Tanah
Jawa. Seorang penyair terkenal, Ki Langlang Jagad
mengumandangkan syair pendek.
Tak ada lawan, tak ada tandingan,
cuma Wisang Geni seorang yang lajak disebut Pendekar
Tanah Jawa.
Para pendekar utama yang ikut menyaksikan kehebatan
Geni menaklukkan Ciu Tan dan Mok Tang sekaligus, semua
merasa kagum "Tenaga dalam seperti itu, belum pernah aku
melihatnya. Ia seperti dewa dalam mimpi kita," kata Manyar
Edan.
"Bagaimana mungkin seorang muda bisa memiliki tenaga
dalam sedahsyat itu," kata Demung Pragola. "Sungguh
beruntung Lemah Tulis memiliki seorang ketua seperti Wisang
Geni. Ayah dan ibunya di dalam kubur pasti gembira
menyaksikan kehebatan putranya."
Pendeta Macukunda tak kurang kagumnya. "Sungguh Ki
Wisang Geni pendekar nomor satu." Pendeta ini kemudian
memberi hormat kepada para pendekar Cina. "Terimalah

hormatku, sebenarya dalam setiap pertarungan pasti ada yang
menang dan ada yang kalah. Tetapi dalam pertarungan
selama dua hari ini, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang
menang, melainkan persahabatan yang ada, aku senang bisa
berteman dengan sampean semua."
Ciu Tan membalas hormat "Maafkan kami, tamu yang tak
tahu diri. Kami mengaku kalah. Sungguh luar biasa ilmu silat
Ki Wisang Geni, sulit menemukan seseorang yang sanggup
menandinginya. Aku setuju dengan perkataan pendeta
Macukunda, mulai sekarang ini yang ada di antara kita adalah
teman sesama kita dan persahabatan."
Memang yang ada hanyalah persahabatan. Sang Pamegat
melirik Kim Mei. Ia berkata menggunakan tenaga dalam Suara
Tanpa Wujud mengirim suara ke perempuan Cina yang cantik
itu. "Kim Mei, jangan lupa tempat pertemuan kita, aku
menunggumu."
---ooo0dw0ooo---
Bunga Talasari
Pertarungan sudah usai. Beberapa hari berkumpul di desa
Bangsal, akhirnya para pendekar Cina mengambil jalan
masing-masing. Kim Mei, janda muda yang cantik itu, pergi
pada hari pertama, tidak lama setelah pertarungan usai.
Tampak seperti tergesa-gesa Kim Mei pamitan kepada semua
rekannya. Dia mampir sejenak di rumah mengambil
bungkusan pakaian dan kudanya, kemudian pergi. Dia tidak
memberitahu tujuannya.
Ciu Tan berusaha mencegah, tetapi Kim Mei menolak. Sio
Lan berusaha membujuk, "Kakak Mei, ayah mencintaimu,

hanya ayah malu mengakuinya. Tadi dia minta aku
menyampaikan lamaran. Ia melamar kamu untuk menjadi
isterinya."
Kim Mei memeluk Sio Lan. "Aku hanya kagum saja pada
ayahmu, perasaanku padanya tidak lebih dari itu, sampaikan
maaf padanya aku tidak bisa menerima lamarannya. Sekarang
ini aku harus pergi mencari jalan hidupku sendiri."
"Apakah kamu pergi bertemu dengan pendekar bernama
Pamegat itu?"
Kim Mei tidak menjawab langsung. Ia bercerita, beberapa
waktu lalu ketika terjadi pertarungan Wisang Geni dengan
Kalandara dan tiga muridnya di hutan tepi desa Bangsal. "Saat
itu aku bertemu dengan dia. Pertemuan kedua terjadi satu
pekan kemudian di desa Dayu, itu semua kebetulan. Aku
dikeroyok penjahat lalu ia muncul menolongku. Kupikir
semuanya kebetulan tetapi bisa saja itu menjadi awal
perjodohanku. Aku ingin membereskan ini, aku ingin kepastian
baik diriku maupun lelaki itu. Perkawinan ineinei lukau
kejujuran pada awal dan harus dipertahankan ke depan dan
hari ke hari. Aku mencari cinta yang jujur."
Tetapi Kim Mei tidak menceritakan secara rinci kejadian di
desa Dayu Pertemuan itu, merupakan awal dari babak baru
kehidupan Kim Mei. Kematangan dan perlindungan, yang
diperlihatkan Sang Pamegat berhasil menguak pintu hatinya
yang sudah lama tertutup.
Kim Mei memeluk Sio Lan mengucap selamat tinggal. Ia
melecut kudanya menuju desa Ngoro, satu hari perjalanan
dari Bangsal. Ia baru memasuki gerbang desa, lelaki itu sudah
menjemputnya.
Pertemuan itu mulanya agak kaku, lantas mencair saat
keduanya menceritakan pengalaman diri masing-masing.
Pamegat mengakui ia masih punya isteri dan anak,
keluarganya menetap di lingkungan istana Tumapel. Lelaki

berusia separuh baya itu menjelaskan bahwa di tanah Jawa
merupakan hal biasa seorang lelaki memiliki lebih dari seorang
isteri. Ia bahkan punya dua isteri dan lima selir.
Pada mulanya Kim Mei terkejut namun bisa menerimanya.
Di Cina pun seorang lelaki bisa punya isteri dan selir. Hal yang
tak bisa diterimanya adalah ketidakjujuran. Suaminya
terdahulu sering mengumbar janji dan kata cinta, namun
kemudian mengkhianatinya dengan perbuatan yang tak bisa
dia maafkan.
Menggenggam tangan Kim Mei, dengan suara lirih namun
tegas, lelaki itu berkata, "Hari ini aku melamarmu menjadi
isteriku, isteri utama, mungkin terlalu cepat, tetapi keputusan
ini sudah kupikir matang dan tak perlu lagi menanti waktu
untuk mengutarakannya. Tetapi kalau kamu sendiri belum siap
untuk menjawab, aku akan menanti jawabanmu sambil
sementara ini kita berteman dulu, aku akan menemanimu
pesiar dan melihat-lihat keramaian di pusat kerajaan
Tumapel."
Kim Mei punya kesan baik terhadap Sang Pamegat.
Perasaannya mengatakan itu. Tidak urung ia mengaku dirinya
seorang janda muda tetapi belum punya anak. Ia pergi
meninggalkan suaminya setelah tiga bulan kawin Dia
menceritakan pengalaman pahitnya lima tahun lalu ketika
suaminya berlaku serong, memerkosa adiknya. Lantaran
sayang dan takut terhadap kakaknya, adik Kim Mei itu
menyimpan rahasia.
Tetapi suatu malam, Kim Mei memergoki cinta rahasia itu.
Sang adik memohon ampun, bercerita terus terang bahwa
pertama kalinya dia diperkosa. Kemudian kejadian itu berulang
dan berulang. Lambat laun, hal itu menjadi hubungan suka
sama suka. Adiknya mengakui telah jatuh cinta dan bersedia
melakukan hubungan itu berulangkah sampai hamil. Pada
mulanya Kim Mei sangat marah, tetapi rasa sayangnya kepada
adiknya membuat dia tak berdaya. Dia tidak membunuh dua

sejoli itu melainkan pergi meninggalkan suaminya dan
adiknya. Sejak itu dia tak pernah percaya pada lelaki.
Sudah banyak lelaki melamar dirinya, tetapi sampai saat ini
ia belum tertarik seorang pun. Akan halnya Sang Pamegat,
Kim Mei menerima lamarannya dan kawin satu tahun
kemudian. Ia hidup bahagia, dimanjakan sang suami. Sesuai
janji Sang Pamegat, dia memang menjadi isteri utama dan
tinggal di lingkungan keraton. Sang Pamegat semakin
menyintainya apalagi setelah Kim Mei melahirkan dua putra
dan seorang putri.
Para pendekar Cina lainnya juga menjalani hidup masingmasing.
Dua bersaudara Mok Kong dan Mok Tang setelah
mengantongi bayaran beberapa potong emas dari Ciu Tan,
pulang ke Cina. Keduanya membeli barang-barang berharga
dari tanah Jawa dan menjualnya di Cina. Mereka mendirikan
perusahaan dagang dan ekspedisi mengantar barang dan
manusia.
Ciu Tan mengambil pelajaran dari kekalahannya. Dia tidak
lagi merasa ilmu silatnya paling hebat, dia melihat bahwa ilmu
silat dan manusia tak punya batasan. Pepatah Cina, di atas
langit masih ada langit, benar-benar ckyakininya sekarang. Ciu
Tan benar-benar berubah, dia telah membuang sikap
sombong dan takabur. Dia pulang ke Cina, melangsungkan
pernikahan Sio Lan dengan Siauw Tong, kemudian hidup
menyepi di gunung Wu Tang memperdalam ilmu silat
Terkadang dia turun gunung menengok anak dan cucunya
sambil menolong orang yang membutuhkan pertolongan.
Pendekar Pedang dari Gurun Gobi, Sian Hwa, memilih
menetap di tanah Jawa. Ia menyepi di rumah kecil di samping
kediaman sang menantu Manjangan Puguh dan putrinya. Ia
bahagia, setiap hari ia bermain dan mengurus tiga orang cucu,
memberinya pelajaran dasar ilmu silat. Sian Hwa tidak berniat
kembali ke Cina. Ia telah menemukan ketenteraman dan
kebahagiaan di hari tua. Dia selalu ingat kata-kata Wisang

Geni, usai pertarungan dahsyat itu. "Damai itu indah, dan
kehidupan itu memang indah karenanya harus dinikmati.''
Li Moy dan Sin Thong saling jatuh cinta, mereka kawin
dalam upacara sederhana disaksikan teman-teman dekat.
Pasangan ini pada mulanya hanya niat bertualang mencari
benda-benda berharga untuk dibawa pulang dan dijual di
Cina. Namun lama kelamaan, keduanya semakin betah. Pada
akhirnya mereka menetap di negeri Jawa, apalagi setelah Li
Moy melahirkan seorang putri.
Liong Kam memilih menetap di desa Bangsal, berdagang
dan membuka warung makan. Ia seringkali bertualang
berupaya menemukan jejak keris Gandring. Pada akhirnya ia
memperoleh kabar, keris sakti itu masih disimpan di keraton.
Namun tidak ada seorang pun yang bisa memastikan di istana
Tumapel ataukah istana Kediri. Dan menyaksikan penjagaan
dan pengawalan istana yang begitu angker, niatnya mencuri
keris Gandring memudar dan akhirnya lenyap. Ia mendengar
cerita banyaknya pendekar yang mengantar nyawa karena
ingin menerobos istana mencuri keris. Setelah bertualang
selama dua tahun, akhirnya Liong Kam pulang ke tanah Cina.
---ooo0dw0ooo---
Besok adalah hari pertama dari bulan Asadha. Hari itu, hari
terakhir bulan Iyestha, tigapuluh hari setelah pertarungan di
desa Bangsal. Sebuah perahu layar besar merapat di
pelabuhan Jedung. Kebanyakan penumpang adalah pedagang
yang membawa barang dagangan dari Gujarat, Malaka, Cina
dan India. Kesibukan merambah seputar pelabuhan. Kuli
pengangkut barang, para pedagang kuda dan kereta, tukang
jaja makanan, semua sibuk menawarkan jasa.
Di antara banyak manusia yang lalu lalang, serombongan
orang asing menuruni tangga. Di depan sekali, seorang lelaki
bertubuh kekar, tinggi jangkung dengan raut wajah keras, ia

ketua perguruan Yudistira dari lereng Himalaya. Lelaki separuh
baya itu dijuluki Tangan Besi, nama aslinya Yudistira. Dalam
kisah Mahabrata, Yudistira adalah tokoh welas asih, bijaksana
serta pemimpin dan kakak tertua dari Pandawa Lima
bersaudara.
Tidak demikian dengan Yudistira dari lereng Himalaya ini.
Dia lelaki yang terlalu keras kepala dan selalu ngotot dalam
hal prinsip dan harga diri. Ia tampak kasar dan kejam Air
mukanyakeras, jarang senyum bahkan mungkin sudah lupa
bagaimana cara tersenyum Kumisnya tebal, rambut panjang
digelung di atas kepala, kulitnya sawo matang kemerahan
dibakar matahari. Ia mengenakan baju luar panjang warna
hitam, dengan baju dalam lengan pendek warna hijau. Ikat
pinggangnya lebar dari kulit rusa.
Berjalan di belakangnya, isterinya, Satyawati yang dijuluki
Bunga Salju. Dalam sastra Mahabrata, nama Satyawati adalah
isteri setia raja Santanuyang menjadi nenek para Kurawa dan
Pandawa. Tinggi langsing, tubuhnya berisi, kulitnya putih.
Meskipun ada kesan tua pada wajahnya namun harus diakui ia
sangat cantik. Ia mengenakan busana jubah panjang warna
hijau yang menutup hampir seluruh tubuhnya.
Di belakangnya, seorang lelaki muda, tinggi besar, kulit
sawo matang dengan kumis dan brewok, rambut panjang
dibiarkan terurai. Wajahnya tampak tegang dan kejam, dia
Wasudeva, putra tunggal ketua perguruan Arjapura. Di
belakangnya putra tertua Yudistira, Arjun dan isterinya
Susmita. Diikuti putra kedua, Shankar bersama Ayeshak,
isterinya. Arjun dan Shankar, lelaki muda, tubuh mirip ayah
dengan wajah tampan mirip sang ibu Keduanya mirip satu
sama lain dengan kulit sawo matang. Dua isteri itu, baik
Ayeshak maupun Susmita, memiliki kecantikan perempuan
Himalaya. Ayeshak sedikit lebih gemuk sedang Susmita
tampak lebih langsing.

Di belakang mereka, sepasang suami isteri yang adalah
murid utama Yudistira. Urutan paling akhir adalah suami isteri
yang merupakan pembantu dan juru masak keluarga. Tampak
dari gerak langkah dan keseimbangan tubuh, sebelas orang itu
semuanya pendekar kelas atas. Jembatan papan itu bergerak
berayun-ayun, tetapi kaki mereka seperti melekat pada
pijakannya. Kecuali Yudistira dan isterinya, mereka yang lain
semuanya membawa bungkusan yang gemblok di
punggungnya. Selain itu beberapa peti kayu ukuran cukup
besar, yang semuanya berisi barang dagangan.
Mereka masuki warung makan yang tidak banyak
pengunjungnya. Dua pembantu itu ikut nimbrung ke dapur,
sehingga pesanan ayam dan ikan bakar serta minuman tersaji
dengan cepat Selain khawatir makanan diracun, dua
pembantu itu mencampur masakan dengan bumbu masak
khas Himalaya yang dibawanya. Mereka menyantap hidangan
dengan lahap.
Empat murid perguruan Brantas menawarkan diri menjadi
penunjuk jalan sekaligus menyewakan kereta kuda untuk
barang-barang dagangan itu, dengan imbalan jasa.
Sebenarnya semua anggota rombongan mengerti bahasa
Jawa, tetapi karena Susmita yang paling mahir maka
peremuan ini bertindak sebagai juru bahasa. "Baik, kalian
berempat menjadi penunjuk jalan kami"
Dalam perjalanan Susmita menanyakan pada murid Brantas
itu, pernahkah melihat tiga gadis India yang tiba dengan
perahu layar sekitar tiga atau empat bulan lalu. "Aku tahu,
memang sudah cukup lama, sudah tiga bulan berlalu, mungkin
kalian lupa tetapi coba tolong diingat-ingat," kata Susmita.
"Akhir akhir ini banyak orang asing yang dalang ke negeri
ini, jadinya aku tak bisa mengenal dan mengingat semua
orang yang sudah datang. Lagipula aku tidak selalu berada di
sini. Tetapi kalau yang kamu cari itu pendekar silat, aku tahu

ke mana harus mencarinya," jawab salah seorang murid
Brantas.
Dia menyebut desa Bangsal, karena tigapuluh hari lalu di
desa itu berlangsung pertarungan pendekar negeri Jawa lawan
pendekar Cina. "Mungkin temanmu ikut tarung atau sebagai
penonton, maka lebih baik kita ke sana mencari keterangan
dari penduduk setempat"
Tetapi Yudistira memutuskan terlebih dahulu pergi ke pusat
kerajaan Tumapel menjual barang dagangan yang dibawanya.
"Di sepanjang jalan kita bisa mencari berita tentang Gayatri.
Nanti, selesai urusan dagang, baru kita mencari putriku,"
tukasnya.
Perjalanan dari pelabuhan Jedung menuju desa
Karangplosos, pusat kerajaan Tumapel, diperkirakan memakan
waktu enam hari. Perjalanan memang tak bisa cepat lantaran
barang-barang harus diangkut dengan kereta kuda. Mereka
menunggang kuda termasuk empat penunjuk jalan dari
perguruan Brantas. Di tengah jalan dua kali mereka dicegat
perampok namun dengan ilmu silatnya yang tinggi rombongan
pendekar asing itu dengan mudah bisa mengatasi.
Dari luar tampaknya anggota rombongan akur satu sama
lainnya tetapi sebenarnya ada masalah ibarat api dalam
sekam, sewaktu-waktu bisa meletup. Persoalan tak lain
disebabkan ulah Wasudeva yang urakan. Lelaki itu terbiasa
selalu memperoleh keinginannya karena sejak masa kecil
semua permintaannya selalu dikabulkan ayahnya.
Selama duapuluh hari perjalanan darat sejak dari lereng
Himalaya sampai ke pelabuhan Puchet, dia minta diperlakukan
istimewa. Tingkah lakunya kasar. Dia sering memaki. Dia
memerintah kedua pembantu itu bahkan juga terhadap Arjun
dan Shankar, seperti perintah seorang majikan kepada budak.
Ucapannya kasar, sering membentak dan memaki.

Ketika Arjun melapor kepada ayahnya, Yudistira tak
menjawab langsung, hanya menjelaskan Wasudeva itu tamu
kehormatan dan titipan sahabatnya, Arjapura. Ketika isterinya,
Satyawati bicara tentang perilaku buruk Wasudeva, jawaban
Yudistira sama, ia tamu kehormatan dan putra seorang
sahabat
Selama perjalanan dari Himalaya menuju Puchet, saat
rombongan bermalam di desa, sering kali Wasudeva
menyelinap keluar rumah di malam hari. Suatu malam,
Shankar dan Arjun membuntutinya.
Ternyata Wasudeva memerkosa wanita dan membunuh
suaminya.
Dua bersaudara itu melapor ke ibunya. Kini mereka
mengerti alasan Gayatri menolak perjodohan dan lari ke tanah
Jawa. "Mungkin Gayatri mengetahui kelakuan Wasudeva, atau
barangkah dia pernah digoda atau diganggu. Jika memang
Wasudeva pernah mengganggu Gayatri, sunguh aku akan
membunuhnya," kata Shankar kepada ibunya.
"Kamu jangan ngaco, jangan gegabah, semua harus pakai
pikiran jernih. Kamu harus tahu, dia selalu benar dan
terhormat di mata ayahmu Jadi sementara waktu ini kalian
sama sekali tidak boleh bentrok dengan Wasudeva Tunggu
sampai ayahmu sadar," katanya.
Tiga orang itu, ibu dan dua putranya, kesal dan kecewa
mengapa Yudistira mengajak Wasudeva ikut dalam
rombongan. Waktu itu ayah mereka beralasan. "Ia harus ikut
untuk memperjelas status perjodohan, jika Gayatri setuju
maka persoalan selesai, segera kita kawinkan mereka. Jika
Gayatri menolak maka dia harus dihukum, aku sendiri yang
menghukum," kata Yudistira pada isterinya saat hendak
berangkat.
Satyawati, tidak cuma setia namun patuh dan taat kepada
suami sebagaimana perempuan Himalaya umumnya. Tetapi

khusus soal Wasudeva, ia punya sikap tersendiri. Ia membenci
Wasudeva karena secara tidak langsung Manisha, putrinya,
mati disebabkan perbuatan Wasudeva. Dia mengetahui
semuanya dari cerita Manisha sebelum putrinya itu bunuh diri.
Wasudeva menghamili Manisha. Laki-laki itu kemudian pergi
dengan janji akan kembali melamar dan mengawini Manisha.
Tetapi dia ingkar janji, dia tak pernah muncul lagi di
perguruan Yudistira, lari dari tanggung jawab.
Waktu itu Satyawati mengutus Gayatri ditemani dua murid
Urmila dan Shamita menemui Wasudeva di Arjapura. Laki-laki
itu ingkar janji bahkan menuduh Manisha dihamili lelaki lain.
Mendengar itu Satyawati dan putrinya sangat marah tetapi
tidak berani menceritakan semuanya kepada Yudistira. Tragedi
terjadi sewaktu Yudistira menerima lamaran Mahesh,
pendekar dari Himalaya Timur untuk Manisha. Dalam keadaan
hamil, Manisha tak mungkin bersedia menjadi isteri Mahesh.
Agar aib tidak terbongkar, dia harus menolak lamaran. Tetapi
tradisi kuno Himalaya melarang ini. Tradisi turun temurun itu
mengajarkan seorang anak perempuan harus bersedia kawin
dengan siapa saja lelaki yang ditentukan sang ayah. Manisha
tidak punya pilihan lain, dia bunuh diri, terjun dari tebingyang
curam
Bagi Satyawati dan anak-anaknya, Wasudeva adalah mimpi
buruk.
Celakanya lagi, Yudistira sangat menyukai Wasudeva. Di
mata Yudistira, Wasudeva tak mungkin bersalah. Perlakuan
terhadap lelaki itu begitu istimewanya sehingga seringkah
menimbulkan iri hati dua putranya. Satyawati pernah
menanyakan pada suaminya, jawabannya hanya itu-itu saja,
bahwa Wasudeva putra sahabatnya.
Persahabatan Yudistira dengan Arjapura terbina sejak masa
muda. Keduanya sangat tergila-gila menuntut ilmu silat
Yudistira yang usianya dua tahun lebih muda, lebih cerdas dan
berbakat sehingga lama kelamaan Yudistira lebih menonjol

dan lebih terkenal di kawasan Himalaya. Diam-diam Arjapura
memendam rasa iri yang makin lama makin subur menjadi
kebencian terpendam.
Perkawinan Yudistira dengan Satyawati makin menambah
rasa iri dan benci Arjapura karena sebenarnya ia pun menaruh
hati pada Satyawati. Dua lelaki itu sama-sama mengenal
Satyawati saat bersama-sama merantau ke gunung Bharwa,
sebuah desa di Himalaya. Satyawati, adalah putri kepala suku
Namcha, seorang pendekar tangguh di kawasan Timur
Himalaya. Dua pendekar itu sama-sama melamar tetapi
Satyawati yang cantik jelita menjatuhkan pilihan pada
Yudistira.
Belasan tahun kedua sahabat itu tidak berjumpa. Dua
tahun sebelum Gayatri lari ke tanah Jawa, Arjapura mengirim
putranya, Wasudeva, agar dibimbing Yudistira. Secara rahasia,
Arjapura menginginkan putranya mencuri atau mewarisi jurus
hebat Yudistira Atchai Zamin Par Kabhiyeh Chand Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi). Jika bisa
menguasai ilmu andalan itu maka Arjapura yakin sanggup
mengalahkan Yudistira.
Wasudeva, lelaki mata keranjang. Tadinya ia sudah
memiliki Manisha. Sang ayah sangat bersuka-cita ingin cepat
melamar gadis itu. Tapi Wasudeva tergila-gila dan kasmaran
akan kecantikan Gayatri. Dia menginginkan Gayatri. Dia
berhasil membujuk ayahnya, untuk mengubah rencana
melamar Manisha dan sebagai gantinya melamar Gayatri.
Sebenarnya Manisha sangat cantik, malahan lebih cantik
dari adiknya. Tetapi di mata Wasudeva, kecantikan Gayatri
lebih liar dan lebih primitif. Satu saat ketika bertandang ke
perguruan Yudistira, ia pernah memergoki dua bersaudara itu
basah kuyup kehujanan. Ia melihat perbedaan dua gadis itu.
Manisha yang waktu itu sudah ia tiduri, kecantikannya tampak
biasa. Tetapi kecantikan wajah dan tubuh Gayatri, sangat
menggoda. Sejak itu Wasudeva tak pernah bisa melupakan

kecantikan Gayatri. Dia tahu Gayatri menolaknya, bahkan
membencinya selelah matinya Manisha. Dia tahu Gayatri kabur
ke tanah Jawa, untuk menghindarinya. Tapi dia tak peduli, dia
kasmaran. Dia tergila-gila ingin mengawini Gayatri, tak peduli
gadis itu suka atau tidak suka.
Senja itu rombongan tiba di desa Dayu Saat makan,
Shankar dan Arjun memerhatikan Wasudeva yang tak
hentinya menatap tubuh gadis pelayan warung. Gadis itu
adalah putri pemilik warung, cantik dan montok. Shankar
memberi isyarat kepada Arjun. Malamnya, dua dua saudara itu
berjaga, khawatir tingkah laku Wasudeva memancing
keributan di desa. Tetapi malamku tidak terjadi sesuatu.
Esok harinya rombongan melanjutkan perjalanan. Ketika
malam tiba, mereka nginap di tengah hutan. Saat itulah
Wasudeva menyelinap pergi. Arjun dan Shankar terlambat
menyadari lelaki itu sudah tak ada di kemah. Keduanya
bergegas ke warung di desa Dayu Keduanya mengintip,
ternyata Wasudeva tak ada, si gadis juga tak ada. Mereka
menunggu. Menjelang fajar, Wasudeva datang membopong si
gadis. Ia memberi sesuatu, si gadis tertawa senang. Shankar
dan Arjun saling pandang. "Dia benar-benar gila," tukas
Shankar kesal.
Karangplosos desa yang cukup besar, ramai dan menjadi
pusat perdagangan. Hampir semua pedagang asing juga
pedagang lokal menjual barangnya di desa ini. Pembelinya
datang dari desa-desa sekitar. Kebanyakan adalah keluarga
para pejabatkerajaan Tumapel.
Rombongan Yudistira membawa barang dagangan
istimewa, sutera, perhiasan, permadani, kosmetika dan
berbagai macam barang mewah. Mereka menyewa rumah
besar selama beberapa hari, untuk tempat tinggal sementara
juga untuk menjajakan dagangan yang dipajang di serambi
rumah.

Barang dagangan cepat laku, selain harga tidak mahal,
barang yang dijual adalah barang pilihan. Para pejabat dan
isteri serta penduduk yang kaya berdatangan berebut membeli
barang yang diminati. Satyawati yang cantik dan anggun,
memimpin menantu dan murid wanitanya melayani dengan
ramah dan sabar. Namun demikian tidak semua pembeli
berlaku sopan.
Hari itu tiga lelaki yang dari dandanan diduga berasal dari
keluarga kaya, berbuat onar. Melihat Ayeshak cantik dan
montok, seorang di antaranya menggoda, bahkan berupaya
meraba bokong isteri Shankar. Tetapi Ayeshak bergerak cepat,
menepis tangan jahil itu. Lelaki itu marah.
Dia berteriak sambil memegang tangannya yang tampak
memar,
"Hei, kenapa kamu main tampar, kurang ajar kamu wanita
asing, beraninya kamu jual lagak di sini." Suaranya keras dan
didengar banyak orang. Para pembeli, sebagian ingin tahu apa
yang terjadi, sebagian lain tidak peduli.
Ayeshak berkata dengan suara rendah, "Maaf, tuan. Tuan
sengaja hendak meraba bagian tubuh saya. Perbuatan tuan
itu tidak pantas karena saya sudah bersuami, maafkan saya."
Lelaki itu yang usianya sekitar tigapuluhan menuding wajah
Ayeshak. "Kamu orang asing di sini, harus sopan, harus tahu
diri apalagi kamu berdagang di desa Karangplosos, ini wilayah
kerajaan Tumapel, kamu pasti mata-mata, siapa kamu?"
Shankar muncul melihat isterinya kesulitan, "Maaf tuan, dia
isteri saya, kami hanya berdagang, kami mencari nafkah."
Seorang punggawa keraton bersama tiga rekannya
menghampiri lelaki itu. Mereka kebetulan lewat di situ. "Ada
apa?"

Lelaki itu terkejut memandang empat punggawa keraton.
"Dia berlaku tidak sopan, dia orang asing mungkin matamata."
Salah seorang punggawa, ternyata Ekadasa, menghampiri
dan bertanya pada Shankar, "Kamu bisa berbahasa Jawa, ada
apa?"
"Ah mungkin cuma salah f aham antara tuan itu dengan
isteri saya, tetapi sudah beres, kok."
Wasudeva menyela di samping Shankar, sambil menatap
Ekadasa. "Tuan itu mencoba menjamah bokong saudaraku ini,
tetapi saudara perempuanku ini menangkis tangan jahilnya,
lalu tuan itu marah, nah itulah cerita yang sebenarnya," kata
Wasudeva tersenyum
Punggawa yang paling tua, Dwi, menuding hidung lelaki
itu. "Kamu siapa? Mengapa mengganggu tetamu asing?"
Lelaki itu merah mukanya. Suaranya bernada takut. "Aku
putra Ki Kamandang dari desa bagian Timur. Aku tidak
mengganggu mereka. Aku mau belanja."
"Huh anak pejabat, kamu mabuk rupanya," lalu kepada
anak buah di sampingnya, Dwi berkata tegas, "Bawa dia ke
penjara. Panggil bapaknya menghadap aku." Ia menoleh ke
Ayesakh, "Maafkan orang itu, ia mabuk, kalau ada gangguan,
tuan-tuan boleh melapor kepada punggawa desa, selama tuan
berada di desa ini, kamu boleh merasa aman."
Rombongan punggawa itu pergi.
Enam hari menetap di Karangplosos, semua barang
dagangan habis terjual. Yudistira memutuskan istirahat
beberapa hari, setelah itu baru melanjutkan perjalanan ke
desa Bangsal. Dari keterangan yang dikumpulkan selama
beberapa hari, semua sumber berita membenarkan di desa
Bangsal telah terjadi pertarungan pendekar, akhir bulan
Waisaka kemarin.

Jumlah pendekar yang hadir lebih dari seratus bahkan
terdapat di antaranya para pendekar asing. Tidak jelas siapasiapa
pendekar yang hadir, namun satu nama mencuat
sebagai paling jago, tanpa tandingan. Dia Wisang Geni yang
dijuluki Pendekar Tanah Jawa. "Untuk keterangan lebih
banyak kita memang harus pergi ke desa Bangsal, mungkin
saja Gayatri bertiga Urmila dan Shamita juga hadir di tempat
itu," kata Yudistira
Rombongan kemudian menyewa dua tenaga penunjuk
jalan, karena empat murid Brantas sudah pergi begitu mereka
tiba di Karangplosos. Mereka menuju desa Bangsal. Perjalanan
tidak terburu-buru dan diselingi istirahat di beberapa desa
untuk membeli rempah-rempah dan benda-benda kuno yang
akan dijual di Malaka dan Puchet dalam pelayaran pulang ke
Himalaya nanti.
Suatu hari rombongan tiba di desa Prigen, sekitar satu hari
perjalanan dari gunung Welirang. Senja itu udara dingin,
mendung. Desa itu sepi dan lengang. Sebagian besar rumah
kosong, tampaknya telah ditinggalkan penghuninya. Ada
beberapa rumah yang masih dihuni, namun begitu melihat
rombongan Yudistira, mereka menutup pintu dan jendela.
Rombongan berhenti di sebuah rumah besar yang tak ada
penghuninya.
"Anak mantu Susmita, kamu bawa dua orang, kamu selidiki
mengapa banyak rumah kosong, kupikir ada yang aneh di
kampung ini," kata Yudistira sambil memandang sekeliling.
Lima rumah sudah dikunjungi, Susmita bertanya kepada
penghuni, namun orang-orang itu diam saja, membisu.
Tampak pada wajah mereka mimik ketakutan. Di rumah
keenam, penghuninya kakek dan nenek, ada dua gadis remaja
dan seorang pemuda. Kakek membisu, tetapi nenek tua itu
justru marah. "Kenapa kita takut, ceritakan saja kepada
mereka, bagaimanapun juga kita semua pasti akan dibunuh."

Nenek itu menceritakan kampungnya kedatangan beberapa
lelaki jahat. Mereka datang sekitar sepuluh hari lalu.
Pemimpinnya, Ki Lawungwesi julukannya Tengkorak Putih.
Begundalnya enam orang. Mereka jahat dan bejat Mereka
memerkosa gadis-gadis, merampok harta benda, minum tuak
dan mabuk-mabukan.
Tidak ada penduduk yang bisa meloloskan diri, usaha lolos
selalu ketahuan dan yang lelaki langsung dibunuh atau
disuruh kerja keras membersihkan rumah, memijit dan
menyediakan makanan Yang perempuan harus mau menari,
untuk kemudian ditiduri, jika tidak mau akan dipaksa,
diperkosa.
Sudah tigabelas perempuan diperkosa, sudah tujuh lelaki
yang dibunuh. Penduduk lainnya menanti giliran dengan
tegang dan tak berdaya. "Mereka tinggal di rumah ujung sana
dekat hutan," kata pemuda remaja itu. Salah seorang gadis
berlutut di kaki Susmita, "Nona, tolong aku, aku takut
diperkosa."
Mata Susmita berkaca-kaca, wajahnya merah. Dia
menjawab dengan geram, "Tidak ada orang yang bisa
memerkosamu, tidak ada orang jahat yang boleh mengganggu
kamu, selama aku ada di desa ini." Dia balik dan menceritakan
kepada ayah mertuanya.
Yudistira mengeluh, berkata kepada diriya sendiri. "Di
mana-mana ada manusia kotor, manusia penindas, mereka
pikir tidak ada orang yang sanggup menghentikan perilaku
buruknya. Apa yang mereka inginkan akan mereka ambil
tanpa berpikir apakah itu merugikan atau menghancurkan
hidup orang lain."
Dia menggeleng-geleng kepala. "Ada manusia jahat,
moralnya lebih rendah dari binatang itu pun jika binatang
punya moral. Orang-orang itu tahu tindakan mereka akan
menghancurkan hidup orang lain, tetapi dengan senang

mereka melakukan perbuatan biadab itu. Aku tidak suka
orang-orang seperti itu, orang yang tidak punya moral."
Keluarganya ikut berduka melihat mimik sedih Yudistira.
Orangtua itu menoleh kepada putra tertua, "Arjun kamu
hentikan kejahatan ini." Ia melangkah masuk ke dalam rumah.
Arjun memandang rumah yang ditunjuk Susmita sebagai
markas si Tengkorak Putih dan enam begundalnya. Ia
mengumpulkan batu yang berserak di sekitarnya. Ia meraup
dan melempar ke rumah itu. Batu-batu itu beterbangan saling
susul menimbulkan suara mencicit. Rumah itu bagaikan
hendak runtuh, dihujani begitu banyak batu. Saat berikut
beberapa orang berlarian keluar sambil teriak-teriak. "Hei
bangsat kurangajar, berani kamu mengganggu tuanmu yang
sedang tidur."
Tidak lama kemudian, keluar dari rumah itu, seorang lelaki
tua kepala botak, bersenjata tombak. Tubuhnya masih kekar.
Ia bersama begundalnya menghampiri rombongan Arjun. "Hei
ada wanita cantik, wah hebat, ini namanya mendapat daging
rusa enak tanpa kita perlu berburu dan memasak. Ketua,
setelah kamu memilih, ganti aku yang memilih," kata lelaki
yang berbadan kekar sambil menunjuk Susmita. "Aku mau dia.
Tubuhnya montok."
Sepasang mata indah Susmita merah berkaca-kaca, ia
tertawa sambil melangkah menghampiri lelaki itu. "Kamu mau
aku, mari dekat-dekat sini."
Lelaki itu tertawa. "Wah kamu juga suka sama aku, mari
sini dewi yang cantik." Ia menghampiri Susmita. Gerak tangan
Susmita tak terlihat, tamparannya menerpa pipi kiri kemudian
kanan. Lelaki itu kaget, ia menangkis. Tapi sia-sia. Tamparan
itu berulangkah, membuat pipinya lebamdan berdarah. Ia
menangkis sambil teriak-teriak. Tapi percuma. Tamparan itu
bertubi sampai akhirnya ia tak sanggup membuka mulutnya
yang hancur. Darah meleleh. Ia meludah dan hampir semua

giginya ikut bersama lendir dan darah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;