Sabtu, 17 Mei 2014

Wisang Geni 4

Keesokan pagi, Geni terbangun. Ia tak melihat Sari di
tempatnya. Matanya mencari-cari ketika telinganya
mendengar suara. Di antara gemuruh air terjun, ada suara
lain. Ia mendengar kecipak air dan lantunan kidung wanita.
Suaranya merdu, suara Sari. Diam-diam ia menuju pintu goa.
Di mulut goa, di balik air terjun, terdapat kolam. Air kolam
beriak dan berkecipak. Pagi itu kolam terselimuti kabut dan
uap air. Geni melihat samar-samar tubuh telanjang Sari yang
berenang kian kemari. "Oh, kemarin itu, ia pura-pura tidak
bisa berenang, supaya aku menggendongnya. Nyatanya dia
mahir berenang." Geni mengintip dan melahap sepuasnya
tubuh molek Sari Kulit kuning sawo yang begitu indahnya.
"Ambara, kalau sudah puas ngintip, tolong kamu ambilkan
kain sarung milikmu itu," katanya dengan suara cekikikan.
Geni ikut tertawa. "Sari, kamu cantik dan tubuhmu indah."
Keduanya duduk di mulut goa sambil melahap ikan marong.
Pagi itu matahari bersinar garang. Sinarnya memantul
menembus tirai air terjun menerangi goa. Goa itu terasa
hangat. Sari menyukai goa tersembunyi ini. "Eh Ambara, kalau
kita hendak keluar goa, bagaimana caranya supaya pakaian
tidak basah?"
"Tidak ada jalan lain kecuali berenang. Kamu harus
berenang dengan berpakaian, kemudian mengeringkan
pakaianmu di panas matahari. Bisa juga kau berenang
telanjang, membungkus pakaianmu supaya tidak basah."
Sari termenung. Geni memandang wajah cantik itu. Tibatiba
terlintas dalam pikirannya, pertemuan Mahameru "Sari,
dalam percakapan kita yang lalu, tampaknya kau banyak
mengetahui tentang pertemuan Mahameru Aku tidak tahu
maksud pertemuan itu, tetapi aku mendengar omongan
orang, pertemuan itu akan dihadiri banyak pendekar dengan
ilmu silat yang tinggi. Apa tujuan dan maksud pertemuan itu?"
Belum lama berselang tersiar berita ke semua penjuru
dunia kependekaran tanah Jawa, bahwa akan ada pertemuan

besar di perguruan Mahameru pada hari pertama bulan
Bhadrapada. Undangan sudah disebar ke semua pendekar
kelas utama tanah Jawa. Semua diundang, tidak peduli
apakah dari golongan putih atau golongan hitam Pertemuan
itu untuk menentukan dan memilih lima pendekar paling jago
di tanah Jawa yang akan mewakili tanah Jawa menghadapi
tantangan para pendekar Kuangchou Lima pendekar tanah
Jawa lawan lima jagoan Kuangchou, pada tengah bulan
Aswina, empatpuluh lima hari setelah pertemuan di Mahameru
Asal muasal tantangan itu menurut cerita dari mulut ke
mulut, lantaran orang-orang Kuangchou menuduh para
pendekar tanah Jawa bertanggungjawab membunuh dan
merampok sekelompok pedagang Kuangchou di dekat desa
Bareng sekitar kali Ginting pada bulan Phalguna tahun lalu.
Rombongan pedagang Kuangchou dirampok, tujuhbelas orang
Kuangchou dibunuh, hanya empat orang yang lolos. Mereka
yang lolos pulang membawa berita ke Kuangchou. Di antara
yang mati, salah seorangnya adalah pendekar muda, putra
tunggal pendekar yang paling dihormati dan disegani di
daratan Cina, Sam Hong.
Sampai sekarang ini, para pelaku perampokan dan
pembunuhan itu belum ketahuan, siapa dan dari kelompok
mana. Lantaran tidak tahu kepada siapa harus menuntut
tanggngjawab dan membalas dendam, maka orang-orang
Kuangchou melayangkan surat tantangan. Perjanjian yang
disertakan cukup sederhana, jika para pendekar Kuangchou
kalah, maka urusan selesai sampai di situ. Jika Kuangchou
menang, maka semua pendekar tanah Jawa harus mencari
dan menemukan pelakunya kemudian menyerahkan kepada
pihak Kuangchou untuk diadili.
Selama gadis itu bercerita, Geni tak sesaat pun melepas
pandangan dari kecantikan yang terpampang di depan
matanya. Cara gadis itu bertutur melalui gerak mulutnya yang
indah membuat Geni semakin terpesona.

Sari selesai bertutur, ia menegur Geni. "Hei, kenapa kamu
memandangi aku terus-terusan?"
"Kamu cantik Sari, aku menyukaimu, aku, aku
mencintaimu"
Sari terkejut. Tidak menduga kalimat itu keluar dari mulut
Geni. Ia terpana memandang lelaki di hadapannya itu. Ia tidak
bisa berkata-kata, mulurnya seakan terkunci. Ia diam saja,
ketika tangan Geni yang kekar memeluknya. "Sari, kenapa kau
diam?" Geni memegang dagunya, menatap matanya. Sari
memejam mata, malu.
Geni mengecup bibirnya. Gadis itu diam tak bereaksi, saat
berikut Sari bernafsu. Ia memegang kepala dan menjambak
rambut Geni. Mulutnya yang tadinya diam, berubah liar. Nafas
kedua insan itu semakin panas. Keduanya bergumul
bergulingan di lantai goa. Tangan Geni merambah ke seluruh
tubuhnya. Sari terengah-engah, mendadak ia mendorong
tubuh Geni, melepaskan diri dari pelukan.
Geni terengah-engah menahan birahi, bertanya, "Kenapa,
kamu tidak suka ?"
Masih terengah-engah, Sari tertawa. "Kamu bodoh, apakah
barusan tadi itu tandanya aku tidak suka atau tandanya aku
suka?"
Geni memeluk Sari, menciumnya lagi. Sari merapatkan
tubuhnya, balas mencium dengan bernafsu. Sesaat kemudian
ia melepaskan din. "Ambara, jangan sekarang, lukaku masih
sakit. Terutama luka di bagian dada. Lukanya belum kering."
Ia tertawa sambil mendorong tubuh Geni. Lelaki ini
memegang tangannya, sekali lagi ia menggumuli tubuh si
gadis. "Jangan sekarang," kata Sari. Ia berbisik di telinga Geni.
"Tunggu tiga malam lagi, saat itu lukaku pasti sudah kering,
tidak perih lagi."
Melewati dua hari Geni berlatih silat di air terjun. Seperti
biasa, ia tidak berlatih jurus Garudamurkha, ia memperlancar

jurus Bang Bang Alam Alam dan Waringin Sungsang. Ia
menyembunyikan asal-usulnya. Sementara Sari lebih sering
menghabiskan waktu di dalam goa, berlatih tenaga dalam.
Sesungguhnya tenaga dalamnya sudah pulih. Namun ia perlu
waktu memikirkan hubungannya dengan lelaki bernama
Ambara itu. "Ini hubungan yang aneh dan unik. Baru satu hari
berkenalan dia sudah menyatakan mencintaiku, apakah
bukannya nafsu birahi, mungkin juga dia mengatur siasat dan
tipuan. Dia hanya mengincar tubuhku, setelah menikmati
tubuhku, dia akan pergi meninggalkan aku. Ia akan
menertawakan aku. Tetapi mungkinkah dia selicik itu?"
Dua hari dilalui Geni dan Sari hanya dalam batas
percakapan. Geni sudah tergila-gila akan pesona wajah dan
tubuh Sari. Tiap saat memandang Sari, nafsu birahinya
bergejolak. Tetapi hasratnya tak pernah terpenuhi. Beberapa
kali keduanya berciuman, berpelukan dan bergumul Hanya
sebatas itu. Pada akhirnya Sari mendorong dan menolak
secara halus.
Malam ku, ketika Sari sudah lelap dalam tidur, ia
terbangun. Ia merasa seseorang menciumi kakinya. "Ambara,
apa yang kau lakukan, mengapa menciumi kakiku?"
Geni tetap menciumi betis dan dengkul si gadis. Sari
merasa geli tetapi tidak berniat menarik kakinya, tidak juga
menertawakan karena khawatir lelaki itu tersinggung. Geni
berkata lirih. "Sari, aku mohon maaf. Aku sudah kasmaran,
tidak ada obatnya kecuali mendapatkan kau sebagai isteriku."
Malam itu setelah selama tiga hari tinggal bersama Geni
dalam goa, Sari telah memantapkan keputusannya. "Malam ini
saatnya aku berterus-terang, agar semuanya tidak menjadi
kacau," katanya dalam hati Ia lalu mengumpulkan
keberaniannya "Ambara, aku mengerti perasaanmu. Tetapi
kita baru tiga hari berkenalan, aku belum mengenal kamu dan
kamu juga belum mengenal aku secara keseluruhan. Aku pikir

mungkin kamu hanya terpengaruh nafsu. Kita perlu waktu
untuk lebih mengenal diri masing-masing."
Lelaki itu tersentak. "Apakah memang aku terpengaruh
nafsu birahi seperti yang ia katakan?" Geni membantah
pikirannya. "Sari aku tidak terpengaruh nafsu, aku benarbenar
mencintaimu, aku tidak main-main."
"Ambara, kamu tidak mengenal aku, kamu tidak tahu
bahwa aku sebenarnya lebih tua usia dari kamu Aku juga
bukan gadis perawan seperti bayanganmu, aku sudah tua."
Geni tertawa lirih, agak tersinggung. "Tak mungkin. Usiaku
tigapuluh lima tahun, kamu kutaksir sekitar duapuluh, bahkan
mungkin delapanbelas atau sembilanbelas. Kau jangan
mencari-cari alasan. Aku tahu kamu juga mencintaiku, aku
melihat itu di matamu Kau tak bisa menipu dirimu sendiri."
"Kamu harus percaya! Apa yang kukatakan adalah
sesungguhnya, usiaku empatpuluh dua tahun. Memang aku
tampak muda, awet muda karena aku berlatih ilmu Karma
Amamadang dari pendekar tua asal desa Panawijen. Aku juga
sudah tidak perawan lagi, sudah dua lelaki yang pernah
meniduriku."
Geni tertawa geli.
"Kenapa tertawa? Kamu menertawakan aku?" Sari
cemberut.
"Tidak, aku tidak menertawakan kamu Aku geli mendengar
alasan itu. Bagiku, semua itu tidak ada artinya. Aku tetap
mencintaimu, apakah kamu berusia empatpuluh dua tahun,
apakah kamu lebih tua dari aku, apakah kamu sudah tidak
perawan lagi, apakah kamu sudah pernah bercinta dengan
dua orang lelaki sebelumnya, semua itu aku tidak peduli. Aku
mencintaimu karena keadaanmu sekarang ini dan tak ada
hubungannya dengan masa lalumu"
"Kamu gila!"

"Ya memang aku gila, sudah kukatakan padamu, aku
kasmaran dan mencintaimu, tak ada obatnya kecuali
menjadikan kamu isteriku, aku bersungguh-sungguh."
Sari menatap lelaki itu dengan pandangan penuh arti cinta.
"Sini Ambara, kekasihku, peluk aku."
Geni mendekap tubuh molek itu, menciumi wajahnya.
"Kamu mau menjadi isteriku? Apakah kamu juga
mencintaiku?"
Sari mengangguk, membalas ciuman dengan bernafsu.
Namun saat Geni sudah tak mampu mengendalikan diri,
seperti biasa Sari menolak tubuhnya.
Geni bertanya, "Kenapa?"
Sari mencium dada lelaki itu, merasakan keringat dan bau
khas lelaki bernama Ambara. "Aku pernah dikecewakan lelaki,
mereka hanya menginginkan tubuhku, setelah puas mereka
pergi dan tak pernah kembali. Ambara, kuharap kamu
mengerti keadaanku, aku percaya kamu mencintaiku, aku pun
mencintaimu, tetapi aku masih bingung apakah ini yang
disebut cinta ataukah hanya nafsu birahi belaka."
Geni mengecup mulurnya. "Aku akan sabar menunggu
sampai kau siap menerimaku. Aku sangat mencintaimu Sari."
Sari memeluk lelaki itu "Aku juga mencintaimu Ambara,
apakah sudah ada wanita lain dalam hidupmu ?"
”Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang membuat aku
jatuh cinta dan kasmaran seperti kepadamu sekarang ini.
Memang ada beberapa perempuan yang singgah dalam
hidupku, tetapi mereka hanya melintas, tidak ada yang
istimewa. Hanya kamu yang istimewa, Sari ”
Setelah lima hari berdiam di goa, tenaga Sari sudah pulih
seperti sediakala. Pagi itu, kedua insan yang sedang jatuh
cinta itu sepakat bepergian bersama. Mereka menuju Selatan
menyusur kali Bangu. Di jaman itu, sungai merupakan lalu

lintas paling mudah dan murah bagi para pelancong dan
pedagang. Di sekitar kak Porong dan kak Brantas, perairan
sungai sangat aman. Orang hanya perlu menyewa perahu
milik perguruan Brantas dan keamanan mereka pasti terjamin.
Sepasang kekasih itu menyewa perahu berukuran sedang
yang cukup untuk tujuh delapan orang penumpang. Di bagian
tengah ada gubuk beratap daun nyiur, tempat penumpang
berlindung dari panas mentari. Tukang perahu seorang lelaki
kurus berusia separuh baya dibantu seorang anak remaja.
"Kami hanya sampai di batas desa Gadang saja, anak muda,"
kata pemilik perahu ketika Geni minta diantar sampai daerah
yang terdekat dengan desa Wajak.
"Kenapa Pak, kami akan membayar lebih," kata Sari.
Orangtua itu menggeleng. "Itu daerah perbatasan
kekuasaan perguruan Brantas. Di daerah itu jika seseorang
mau naik perahu harus menyewa milik perguruan Brantas. Itu
sebab kami hanya mengantar sampean sampai batas daerah
itu saja."
Perjalanan air ke desa Gadang biasanya tiga hari. Malam
hari, istirahat. Memang berbahaya di malam gelap pekat
mengarungi sungai yang penuh buaya pemakan manusia.
Pemilik perahu berdua cucunya nginap di daratan di rumah
kerabatnya. Wisang Geni berdua Sari tetap di perahu yang
ditambat di tepi sungai.
Berada hanya dua-duaan dalam gubuk perahu yang sempit
dibuai ayunan kendaraan air, mendatangkan perasaan yang
sulit dilukiskan bagi pasangan kekasih itu. Mereka berpelukan.
Ada rasa bahagia dan rasa enggan berpisah. Tak bisa
dilukiskan dengan kata-kata. Geni semakin terperosok ke
jurang cinta, kasmaran.
Begitu juga Sari yang merasa tak mungkin bisa hidup tanpa
Geni di sampingnya. "Aku sudah mencintai Ambara, ia telah
merebut seluruh hatiku, Ambara tidak cuma telah

menyelamatkan aku dari aib besar, tetapi telah memberiku
kehangatan cinta."
Banyak lelaki menyatakan cinta, tetapi ia tak pernah tei
gila-gila seperti saat Geni berbisik di telinganya. "Sari aku
mencintaimu, aku sudah jatuh di bawah pesona
kecantikanmu. Cintailah aku, jika tidak aku pasti mati
memelas."
Waktu itu Sari membalas dengan bernafsu. "Ambara, aku
juga mencintaimu"
Dia mengenal beberapa lelaki tapi belum seorang pun
membuatnya merasa enggan berpisah. Tetapi entah mengapa
ia merasa enggan berpisah dengan Geni. Bukan cuma enggan
berpisah. Lebih dari itu Geni telah mendatangkan perasaan
yang membingungkan. Ia dibuatnya lupa alam sekeliling.
"Tidak salah orang bilang cinta itu nikmat. Aku tak perlu
menyesal mencintai Ambara Aku tahu, ia tergila-gila dan
sangat mencintaiku. Bisa kulihat dan kurasakan."
Bagi Geni, Sari ibarat rembulan di tengah gelapnya malam.
Selama ini ia tak pernah dicintai dan mencintai perempuan. Ia
pernah meniduri beberapa perempuan tetapi hanya sebatas
kebutuhan jasmani. Inilah pertama kali ia kasmaran pada
perempuan.
Cinta memang aneh. Cinta bisa datang dengan tiba-tiba.
Pada saat lain, cinta bisa berubah menjadi kebencian, juga
secara mendadak. Kalau cinta sudah datang, mekar dan
tumbuh subur maka manusia sulit mengendalikannya dan sulit
menghentikannya.
Segala sesuatu tak pernah tidak mengikuti hukum alam,
selalu bila seseorang mengalami saat-saat paling getir dalam
hidupnya, waktu berjalan serasa lama dan panjang.
Sebaliknya jika mengalami saat yang paling menggembirakan
dan membahagiakan, rasanya waktu berjalan begitu cepat dan
singkat.

Bahagia, itulah yang dirasakan dua insan yang mabuk
cinta, Sari dan Ambara. Hari itu, hari pertama dalam
perjalanan. Sejak siang hari, dua insan itu sudah dirangsang
nafsu birahi. Namun ada rasa malu terhadap pemilik perahu
dan cucunya.
Tetapi malam harinya, ketika kakek dan cucunya itu nginap
di desa, dua kekasih itu tak mampu lagi mengekang diri.
Keduanya berbaring berdempetan. Sari menatap Geni dengan
sinar mata cinta dan nafsu. Nafasnya terasa panas. Ia
mengelus dada Geni, pahanya melingkar di atas paha Geni.
"Ambara, aku sangat mencintaimu, berjanjilah kamu tidak
mempermainkan aku, kamu tidak akan pergi meninggalkan
aku."
Geni mengelus buah dadanya. Nafasnya memburu "Aku
akan mati dan mayatku dimakan binatang, jika aku
membohongimu, Sari aku sangat mencintaimu" Geni melucuti
pakaian Sari, menciumi sekujur tubuhnya membuat gadis itu
menggelinjang.
"Ambara, aku tidak perawan lagi. Sudah dua lelaki
sebelumnya."
Geni memeluk erat, seakan hendak melumat dan menelan
tubuh molek itu. "Sudah kukatakan beberapa kali bahwa aku
tak peduli soal itu, aku hanya butuh cintamu"
Sari berbisik dengan bernafsu, "Kau butuh cintaku dan
tubuhku. Malam ini, kamu boleh mengambil semuanya, tetapi
berjanjilah akan memberikan cintamu hanya untuk aku."
Tanpa terasa tiga hari perjalanan sungai. Setiap malam,
pemilik perahu dan cucunya tidur di daratan. Setiap malam
dua kekasih itu bercinta di atas perahu, memadu cinta dan
merenangi nafsu birahi. Dari malam sampai pagi hari. Cinta
dan nafsu sepertinya menyatu dalam nafas dua kekasih itu.
---ooo0dw0ooo---

Perpisahan
Desa Gadang cukup ramai. Kebanyakan pendatang adalah
para pedagang yang singgah bermalam sebelum melanjutkan
perjalanan esok harinya. Siang hari itu di warung makan Mbok
Lemu dipenuhi pengunjung. Semua bangku dan kursi sudah
terisi. Bahkan sebagian orang rela berdiri menunggu giliran
tempat kosong. Masakan Mbok Lemu memang terkenal enak
dan murah.
Wisang Geni dan Sari beruntung. Datang lebih pagi
sehingga mendapat tempat di dekat jendela menghadap
sungai. Warung itu tidak jauh dari sungai di mana banyak
perahu ditambat. Sudah tiga hari mereka menyantap makanan
seadanya, kini ada masakan lezat, tak heran mereka makan
dengan lahap. Mendadak Geni menunda makannya. Ia
menatap lama ke sungai. Melihat lagak kekasihnya, Sari ikut
memandang ke arah sungai.
Terlihat pemandangan ganjil. Seorang lelaki tinggi besar
dengan tongkat panjang melompat-lompat dari satu perahu ke
perahu lain. Ia memburu seorang gadis. Lucu. Setiap hampir
kena hantaman tongkat, gadis itu melompat dengan pesat.
Tongkat menghantam angin Saat itu si gadis kurus berlari
pesat ke arah warung makan. Ia menerobos dan menyelinap
di antara kursi dan meja. Geraknya sangat pesat. Pengejarnya
seorang lelaki tinggi besar. Tampaknya si pengejar itu sangat
marah, dia mendorong dan menabrak pengunjung sambil
berteriak-teriak murka.
Geni memuji akal cerdik si gadis. Pasti sulit menangkap
gadis itu di antara begitu banyak orang, kursi dan meja.
Pengejar itu pasti kewalahan. Benar! Seorang lelaki

pengunjung yang didorong dengan kasar, memaki maki.
"Kamu pendekar macam apa, tingkahmu kasar dan biadab."
Belum sempat orang itu melanjutkan makiannya, tongkat
lelaki itu menghantam kepalanya. Batok kepalanya pecah.
Orang-orang geger, serabutan lari menghindar. Seketika saja
warung makan itu sunyi sepi. Gadis kurus ikut menghilang.
Di warung hanya tinggal beberapa orang termasuk Geni
dan Sari. Lelaki itu memandang berkliling. Ia tinggi besar
dengan perut gendut, tampangnya buruk. Sorot matanya
tajam menatap dua sejoli itu. Sari merasa rikuh ditatap.
Tatapan yang kurang ajar. "Ini pasti pendekar gadungan,"
pikir Sari.
Lelaki berwajah buruk itu menghampiri meja Geni. Ia
tersenyum kepada Sari. Tampak giginya yang hitam dan
jarang. "Eh wong ayu, kamu lihat gadis kurus yang tadi masuk
warung ini?"
Sari enggan menjawab. Geni menjawab. "Dia lari ke
sungai!"
Lelaki itu menggebrak tongkat ke tanah. "Aku tidak tanya
kamu, aku tanya wong ayu itu."
Belum sempat Geni atau Sari menjawab, dari arah sungai si
gadis kurus datang berlari. "Hei Tambapreto, pendekar cabul,
pemerkosa perempuan, aku ada di sini, dasar orang jelek,
goblok, ayo kejar aku, Tambapreto jelek, gendut, bangkotan."
Lelaki yang bernama Tambapreto sangat murka Ia
berteriak keras saking murkanya. "Aku bunuh kamu, bangsat
kurus." Sambil menyumpah serapah ia melompati jendela dan
mengejar si gadis kurus. Tubuhnya besar tetapi gerakannya
gesit. Ilmu ringan tubuhnya tinggi Jelas dia bukan orang
sembarangan.

Sepasang mata Geni bersinar. Sari sempat menangkap
sorot mata kekasihnya. "Sari kamu tunggu di sini, aku ada
urusan dengan bajingan Tambapreto itu."
Wisang Geni melompat jendela mengejar Tambapreto. Sari
tidak membuang waktu, ikut mengejar setelah sebelumnya
melempar uang logam ke meja Mbok Lemu Terjadi kejarkejaran,
menuju ke hutan. Gadis kurus itu paling depan, di
belakangnya berurutan Tambapreto, disusul Wisang Geni dan
Sari.
Tiba di hutan pinggir desa. Gadis kurus berhenti.
Tambapreto menyerbu langsung mengemplang dengan
tongkat. Tidak mirip tongkat, karena ukurannya lebih besar
dari tongkat biasa. Di ujungnya ada ukiran kepala ular, terbuat
dari logam Gadis itu mengelak gesit sambil memaki,
"Tambapreto, hari ini ajalmu tiba, bersiaplah untuk mati"
"Kamu bangsat mulut lancang, siapa kamu sebenarnya? Aju
urusanmu dengan aku? Katakan sebelum kuhancurkan
kepalamu!"
"Kamu pendekar cabul. Sudah banyak anak gadis dan isteri
orang yang kamu perkosa dan kamu hancurkan hidup mereka.
Kamu juga ikut dalam rombongan yang menghancurkan
Lemah Tulis. Dosamu sudah bertumpuk, cuma bisa dicuci
dalam neraka jahanam!"
"Ha... ha... ha... jadi kamu sisa-sisa orang Lemah Tulis.
Kebetulan aku memang sudah bersumpah membasmi semua
orang Lemah Tulis. Tetapi aku tak perlu cepat-cepat
membunuhmu, aku memang lagi mencari gadis kurus untuk
jadi selirku"
"Bangsat mulut busuk!" Keduanya langsung tarung.
Tambapreto menyerang ganas dengan tongkat kepala ularnya.
Si gadis dengan gesit melompat mundur sambil menghunus
kerisnya. Keris itu mengeluarkan cahaya warna warni dan
mengkilat dijilat sinar matahari. Itu keris pusaka!

Wisang Geni terkesiap mendengar dialog keras dua seteru
itu. Tak disangkanya si gadis berasal dari Lemah Tulis. "Siapa
dia, murid siapa? Tak peduli siapa dia, aku harus
membantunya. Tanpa alasan itu pun, aku harus membunuh
Tambapreto, hutang nyawa bayar nyawa. Dia telah
membunuh paman Gubar Baleman," gumamnya.
Hanya sejenak Tambapreto tertegun. Agak gentar ia
melihat keris pusaka itu. "Tetapi apa hebatnya keris itu di
tangan anak ingusan, tak lama lagi keris itu akan menjadi
milikku." Berpikir demikian ia maju menggebrak dengan
tongkat mautnya.
Pertarungan berlangsung seru Tambapreto menyerang
ganas, memanfaatkan tongkatnya yang panjang, berat serta
dikendalikan tenaga dalam yang sudah dilatih puluhan tahun.
Gadis kurus mengandalkan ringan tubuh dan keris pusakanya.
Tambapreto tidak leluasa memainkan jurus tongkatnya karena
dia harus menghindari benturan senjata. Tahu gelagat, gadis
itu menyerang makin gencar mengandalkan kehebatan
kerisnya. Tetapi lambat laun kelihatan Tambapreto masih lebih
lihai. Seandainya tak ada keris pusaka itu sudah dari tadi gadis
kurus itu kena hajar.
Wisang Geni melompat masuk arena. "Tambapreto kamu
hutang darah orang-orang Lemah Tulis, hari ini kamu harus
mati!"
Tambapreto dan juga gadis itu terkejut. Dari tadi mereka
sudah melihat adanya dua pendatang, Wisang Geni dan Sari.
Kalau Tambapreto menyumpah serapah, si gadis justru girang
dengan datangnya bantuan. Pertarungan kian seru.
Tambapreto bukan pendekar sembarangan. Ia memang segan
akan keampuhan keris pusaka di tangan si gadis. Tetapi
terhadap Geni yang bertangan kosong, ia tak segan segan
menyerang dengan jurus maut andalannya Saraslamba
(Tangkai Panah). Tongkat bergerat ibarat ular hidup. Kadang
mematuk dan menyodok kemudian menyabet dan

mengemplang. Ia tetap saja menghindari benturan dengan
keris si gadis. Setiap diserang si gadis, Tambapreto
menghindar sambil tetap menyerang Geni dengan gencar.
Lambat laun, Geni tampak terdesak dan terancam.
Rupanya si gadis tak mengerti siasat tarung Tambapreto.
Semakin ia menekan Tambapreto, semakin besar serangan
Tambapreto mengarah Geni. Karuan saja Geni kalang kabut.
Geni mengeluh, "Gadis ini tak kenal terimakasih, sudah
kubantu malah ia ikut menekanku."
Tambapreto berseru, "Sebut namamu sebelum kepalamu
pecah berantakan!" Tongkatnya mematuk dan mengemplang
ke arah kepala dan pundak Geni.
Wisang Geni tak menjawab. Ia memusatkan perhatian pada
serangan lawan. Masuk ke dalam pertarungan tanpa
persiapan, itu kesalahannya yang membuatnya terdesak
hebat. Kini ia cuma bisa bertahan sambil menanti kesempatan
memperbaiki posisi. Akhirnya kesempatan itu pun datang.
Tongkat mengemplang dari atas ke bawah. Ia berlaku nekad.
Ia menanti sampai tongkat hanya berjarak satu jengkal dari
kepalanya. Sari terkejut. Tanpa sadar ia menjerit. Tidak cuma
menjerit, ia bergerak cepat menerobos pertarungan.
Pada saat itu Geni merasakan angin tongkat menerpa
kepalanya mendatangkan rasa pedih. Tenaga dalam
Tambapreto ternyata kuat melebihi perkiraannya. Tindakan
nekad itu dilakukan Geni dengan perhitungan matang. Ia tahu
melawan Tambapreto yang ilmunya demikian tinggi, salah
hitung sedikit saja, kepala bisa pecah. Geni membuat gerakan
setengah jungkir ke belakang sambil memutar tubuh, itulah
jurus indah Sumpetitut (Jungkir dan Berputar) dari
Garudamukha.
Gerakan yang cukup berani, salah hitung sedikit kepala bisa
pecah berantakan.

Tongkat itu menerpa angin. Wisang Geni lolos. Gerakan itu
telah memisahkan Geni dari lawannya sekitar satu tombak.
Tak buang waktu lagi, Geni merentang dua tangan ke
samping, mirip burung garuda mengepak sayap, mirip juga
gerak penari. Kaku dan luwes. Dua sifat yang bertentangan
tetapi dirangkum dalam satu gerak, jurus Makanjaran (Menari
dengan Lengan Terkembang) dari Garudamukha.
Saat bersamaan Sari ikut menyerang Tambapreto,
membokong dari belakang. Tambapreto merasa kesiuran
angin keras mengancam punggungnya. Serangan keris si
gadis kurus itu mengincar empat titik mati di tubuh bagian
kirinya. Tambapreto terkesiap. Dua gadis itu menyerang
dengan jurus mematikan. Terpaksa untuk selamat ia harus
menarik tongkatnya yang tadi luput menghantam kepala Geni.
Ia menarik tongkat sambil memutar badan dan menyodok
pangkal tongkat ke arah Sari. Sementara tubuhnya melangkah
ke kanan, melayangkan tendangan ke pergelangan tangan
gadis kurus yang menggenggam keris.
Kini Wisang Geni yang terkejut. Dari mana Sari mempelajari
Warayangungas (Anak Panah Tembus) jurus bersahaja dari
Garudamukha yang unik dan punya banyak perubahan. Jurus
itu ampuh. Sodokan dua tangan bergantian ibarat patokan
paruh garuda, mengeluarkan tenaga yang saling mendukung.
"Ini rame, seru, sungguh rame, ayo mari kita mainkan jurus
Garudamukha bersama-sama," seru gadis kurus itu. Seruan
yang mengejutkan Sari dan Geni, namun keduanya tidak
berpikir lama untuk menyatakan kesepakatan dalam gerak.
Dua tangan Wisang Geni tidak berhenti, ia memainkan
jurus Makanjaran (Menari dengan Lengan Terkembang),
menyerang dengan amarah dan kebencian membuat
tenaganya berlipat ganda.
Gadis kurus tidak tinggal diam, kerisnya menyerang bagai
patok garuda dalam jurus Dekungpulir (Berputar dan Bengkok
Tak Beraturan), mengarah tujuh titik kematian lawan. Saat itu

juga Sari setelah mengelak dari serangan tongkat lawan,
mengulang lagi jurus Warayangungas mengarah dua kaki
lawan.
Tambapreto tak pernah menyangka akan mengalami hari
senaas itu dalam hidupnya. Umu silat tiga anak muda itu jauh
di bawah kepandaiannya. Kalau satu lawan satu tak sampai
limapuluh jurus, ia sudah akan memukul remukkepala mereka.
Itu sebab ia setengah main-main menghadapi si gadis kurus.
Tetapi apa yang dialaminya sekarang sungguh luar biasa.
Tiga anak muda itu pun tak pernah menyangka bahwa
jurus Garudamukha yang dimainkan bersama ternyata sangat
ampuh.
Serangan gabungan itu ternyata telah mengunci semua
jalan keluar Tambapreto.
Tetapi Tambapreto bukan pendekar sembarangan. Ia
sudah malang melintang puluhan tahun di dunia
kependekaran, sering menghadapi ancaman bahaya yang tak
terbilang banyaknya. Ia mengemplang kepala Sari, sambil
memutar tubuh ia melayangkan sapuan tongkat ke gadis
kurus dan tendangan berantai ke dada Geni. Ia memunahkan
serangan dengan serangan.
Dalam satu gebrakan ia sudah melayangkan serangan ke
tiga penjuru Tambapreto hebat. Tetapi Sari tak kurang
lihainya. Ia tak menarik serangan. Agaknya tongkat akan
menghantam kepalanya, ternyata tidak. Sari mengubah
kedudukan jongkok menjadi merata tanah, ketika tongkat
lewat di kepalanya. Ia melenting, memburu dan menghajar
selangkangan lawan. Itu jurus Manusup (Masuk Nyelinap)
digabung Sumpetutit (Jungkir dan Berputar).
Tambapreto terkesiap. "Celaka!" serunya. Memang ia
celaka. Serangan Sari membuatnya terkejut sehingga
serangannya ke gadis kurus tertahan. Si gadis dengan jurus
Mangapeksa (Menanti) berhasil menebas tongkat dan terus

menikam dada. Geni mematahkan tendangan berantainya,
balas menghantam pundaknya.
Tambapreo tak sempat mengelak. Perut dan dadanya robek
di tiga tempat oleh tusukan keris. Pundaknya patah dihajar
Geni. Dia bisa menyelamatkan selangkangannya tetapi
serangan susulan Sari mengena telak tulang punggungnya. Ia
menjerit. Lengkingnya mendirikan bulu roma. Ia melempar
diri, ingin menghindar dari serangan susulan. Tetapi
gerakannya sudah lamban. Tubuhnya tak lagi mau menurut
perintah.
Tiga anak muda itu seperti mengikuti satu perintah,
serempak memburu lawan. Tendangan Geni, pukulan Sari dan
tusukan keris gadis kurus itu susul menyusul menerpa tubuh
Tambapreto. Tubuh lelaki tinggi besar itu jatuh berdebum di
tanah. Darah muncrat dari mulut dan luka-lukanya. Matanya
melotot, memandang tiga anak muda itu dengan penuh sesal.
"Kenapa tidak sejak awal aku berlaku telengas dan
bersungguh-sungguh mungkin tak senaas ini nasibku." Tetapi
sesal kemudian tak berguna. Saat berikut rubuhnya
mengejang, seluruh urat tubuhnya mencuat. Ia mati
penasaran.
Sesaat tiga pendekar itu memandang mayat Tambapreto.
Gadis kurus itu menghela nafas. Seakan baru sadar, Sari
memandang Geni dan gadis kurus itu bergantian. "Kita pasti
satu perguruan, sama-sama dari Lemah Tulis. Siapa guru
kalian?"
Gadis kurus tertawa, suaranya merdu. "Kau yang bertanya,
maka kamu yang harus memperkenalkan diri lebih dahulu."
Sari dengan wajah kemerahan memandang tajam
kekasihnya. "Ambara, siapa gurumu yang sesungguhnya,
kamu tak bisa mengelabui aku sebab setahuku tak ada
pendekar Lemah Tulis yang bernama Waragang."

Wisang Geni tersenyum Ia merasa lucu melihat wajah Sari
tampak serius dan tegang. "Pesan guru, aku harus hati-hati
sebab Lemah Tulis banyak musuhnya, maaf terpaksa aku
menggunakan nama Ambara, itu pun tidak sengaja."
Saat itu lima bayangan berkelebat dan berdiri di depan tiga
anak muda itu. Mereka memberi hormat kepada si gadis.
"Maaf kami terlambat, tuan putri."
Gadis kurus itu tertawa, ia memberi hormat kepada Geni
dan Sari. "Maaf aku tak banyak waktu, lain kali saja kita
berkenalan." Ia melenggang pergi diikuti lima orang itu. Dua
muda mudi itu tak sempat mencegah. Keduanya saling
pandang. Wisang Geni tersenyum senang. "Maafkan aku, Sari,
jika selama ini aku tidak berterusterang. Tetapi Waragang
memang salah seorang guruku, ia mengajari aku ilmu
pengobatan. Namaku Wisang Geni."
Sari memotong penuturan Geni. "Oh jadi kamu putranya
kakang Gajah Kuning dan mbak Sukesih. Kamu yang ditolong
kakakku Manjangan Puguh dari keraton duapuluh lima tahun
lalu itu!"
"Tetapi kamu sendiri murid siapa, Sari?"
Sari tertawa. Tak urung ia malu, wajahnya kemerahan.
"Namaku bukan Sari, namaku Walang Wulan, adik perguruan
ayahmu, jadi aku ini bibi gurumu." Tiba-tiba saja gadis itu
terkejut. Ia mengucapkan kata "bibi" dengan nada biasa.
Tetapi ketika mendengar ucapannya sendiri, ia terkejut. Ada
sesuatu yang terbang dari sanubarinya. "Jika aku bibinya,
berarti ia keponakan muridku, bagaimana mungkin bisa ada
hubungan cinta di antara kita?"
Berpikir demikian, tiba-tiba Wulan memutar tubuh dan
berlari sambil mendekap wajahnya. Geni terkejut. Karuan saja
ia lantas mengejar. "Sari, tunggu, tunggu dulu."

Walang Wulan berhenti. Ia menoleh dan memandang Geni
dengan wajah bersimbah air mata. "Jangan panggil aku Sari,
aku Wulan, aku bibimu, panggil aku bibi, bibi Wulan."
Geni bingung. Ia tidak tahu mengapa Wulan menangis.
Apakah sebab ia menggunakan nama samaran Ambara. Tetapi
Wulan juga menyamar dengan nama Sari. "Baiklah Sari, aku
memang bersalah menggunakan nama Ambara. Tetapi kamu
juga menyembunyikan nama aslimu, sebenarnya kita impas.
Lantas mengapa kamu menangis, tidak perlu sakit hati, Sari eh
Wulan." Geni tertawa.
Pelan-pelan Wulan berhasil menguasai diri. Ia memandang
Geni. Dilihatnya Geni biasa-biasa saja, artinya lelaki itu tak
terpengaruh adanya fakta hubungan bibi guru dan murid
keponakan. Diam-diam wulan merasa heran. Penasaran dan
aga kkecewa, dia menatap Geni. "Kamu tak tahu ataukah
pura-pura tidak tahu, atau kamu tak peduli karena kamu tidak
sungguh-sungguh mencintaiku. Kamu tidak tahu apa yang
kurasakan sekarang ini."
Kini Wisang Geni sungguh-sungguh bingung. "Ada apa?
Apa salahku. Kenapa kamu marah?" Geni melangkah dan
memegang lengan Wulan
Wulan menarik lengannya. Tetapi Geni memegangnya erat
Wulan berontak tetapi ia tak berdaya ketika Geni menarik
tubuhnya dan memeluknya. Wulan berkata dengan terisak.
"Geni, tak boleh, kamu tak boleh memeluk aku, aku ini bibi
guru, kamu bahkan tak boleh memegang tanganku, kamu tak
boleh meniduriku lagi."
Geni mendesah, "Tidak ada aturan seperti itu." Geni
memegang kepala Wulan dan menciumi wajah kekasihnya itu.
Ia menjilati air mata dan mencium mulurnya. Wulan membalas
ciuman dengan bernafsu. Ia terengah-engah. "Geni, tidak
boleh begini, tidak boleh, aku ini bibimu"

Geni menjawab dengan suara bergetar. Ada sedikit
ketakutan akan kehilangan perempuan yang dicintainya ini.
"Perasaanmu itu tidak benar, aku murid Padeksa, kamu murid
paman Bergawa. Kita setara sesama saudara seperguruan.
Kamu juga bukan bibiku, bukan saudara orangtuaku, kita tak
ada hubungan apa-apa."
"Aku lebih tua!"
"Sudah kukatakan berulangkali, bahwa aku tak peduli
masalah usia, lagi pula kamu lebih cantik dan lebih muda
dibanding gadis remaja. Sudahlah Wulan, ayo kita cari tempat
nginap, hari sudah senja, tak lama lagi malam tiba."
Wulan merasa bangga dan senang. Ia bangga akan
keteguhan cinta Geni. Ia senang Geni sungguh-sungguh
mencintanya. Tetapi bagaimana tanggapan orang terhadap
hubungan ini, percintaan bibi guru dengan keponakan murid?
Wulan berkata dengan nada getir. "Geni, adat melarang kita
untuk bercinta, bibi guru tak boleh menjadi isteri keponakan
muridnya. Ini sudah kodrat dewata."
Sambil melangkah masuk desa dia menggandeng lengan
Wulan "Kenapa kamu keras kepala. Kita saudara seperguruan,
Wulan, kamu kakak seperguruan, aku adik, cuma itu. Tak ada
hubungan apa-apa, tak ada hubungan bibi guru dan
keponakan murid Mengapa kamu masih ngotot soal bibi dan
keponakan." Geni berhenti, memegang dua lengan Wulan,
menatap mata gadis itu. "Apakah kamu tidak mencintaiku
lagi? Coba, katakan kamu tidak mencintaiku lagi."
Wulan menggeleng kepala. "Aku mencintaimu, Geni." Ia
terisak, menangis lagi. "Mengapa kau bukan Ambara, benarbenar
Ambara yang sudah meniduri aku, Ambara yang
mencintaiku dari malam sampai pagi di atas perahu. Mengapa
tiba-tiba kamu beralih menjadi Wisang Geni putra kakang

Gajah Kuning dan mbak Sukesih?"

0 komentar:

Posting Komentar

 
;