Sabtu, 17 Mei 2014

wisanggeni 29

Gayatri berbisik, "Geni, kamu harus waspada dan hati-hati
sebab dalam tarung nanti, lawan-lawan pasti berlaku curang,
membokong kamu, senjata beracun, senjata rahasia dan
tipuan apa saja."
Dia mendengar dengan penuh perhatian. Gayatri
melanjutkan pembicaraan, "Jika satu lawan satu, aku yakin
mereka tidak akan mampu mengalahkan kamu Kupikir mereka
tahu kelebihanmu, itu sebab mereka akan berlaku curang. Jika
aku berada pada posisi mereka, aku juga akan berpikir
demikian, main curang."
"Kau harus waspada jika menghadapi lawan yang
mengenakan baju lengan panjang, aku yakin dia pasti
menyembunyikan senjata rahasia, di pergelangan tangan,
jarumatau paku. Mereka sudah mahir dengan permainan
curang itu, dengan sekali sentakan saja, jarum-jarum itu akan
melesat keluar. Jika jarakmu hanya terpaut satu tombak, sulit
bagimu untuk menghindar sebab begitu kau terkejut,
gerakanmu akan terlambat sesaat Lain hal jika kau sudah
waspada, dan sudah siap menerima serangan bokongan itu,
kau bisa mengelak."

Mendadak timbul pemikiran Geni. "Mungkin aku akan
bermain mainan anak-anak, main gasing, berputar-putar
dengan angin."
"Apa itu mainan gasing, Geni, ilmu apa itu?" tanya Sekar.
"Itu jurus yang kugunakan menghindar dari dua belas pisau
terbang Lembu Ampai!" katanya tertawa.
Sekar yang sejak awal mendengar dengan teliti, memuji
Gayatri,. "Kamu hebat adik, katamu tak punya pengalaman
tarung tapi kamu bisa merinci seluk beluk kecurangan. Pasti
ayahmu pendekar pengalaman."
"Tidak seluruhnya benar. Aku banyak belajar dari kakek
dan juga dari pengalaman orang lain, pengalaman ayah, ibu,
kakek, kakak," tukas Gayatri.
---ooo0dw0ooo---
Damai Itu Indah
Malam itu bulan dipayungi mendung, kabut mulai bergayut.
Di gubuk besar yang ditempati perguruan Mahameru tampak
cahaya obor. Pekarangan gubuk mulai dipadati para pendekar.
Pendeta Macukunda menyambut satu per satu tetamunya.
Wisang Geni, Sekar dan Gayatri tiba bersamaan waktu dengan
Demung Pragola yang dikawal beberapa murid. Demung
Pragola dan Macukunda memperlihatkan perasaan gembira
menyambut Geni dan dua isterinya. Semua pendekar juga
menyatakan rasa senangnya dan menyapa Wisang Geni
dengan hangat. Kehadiran Pendekar Tanah Jawa berambut
uban ini membangkitkan semangat mereka. Di balik itu semua
pendekar tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya melihat
kecantikan Gayatri dan Sekar.

Macukunda memimpin rapat membicarakan siapa saja
pendekar yang tampil dalam tarung esok pagi. Suasana rapat
damai, diwarnai canda. Ada pendekar yang menarik diri
setelah melihat ada nama lain yang lebih mumpuni. Rapat
yang penuh rasa persahabatan akhirnya memastikan delapan
nama pendekar, Wisang Geni, Macukunda, Demung Pragola,
Panji Patipati SangPamegat, Sagotra, Warok Brantas dan
Grajagan. Ketika nama Pranaraja disebut, ternyata penasehat
raja Kediri itu berhalangan hadir maka Macukunda
memutuskan senopati Samba yang mewakili. Masih ada tiga
nama yang diperlukan.
Tidak membuang-buang kesempatan, Gayatri bangkit dari
duduk, berkata perlahan namun bisa didengar semua orang.
Suatu pertunjukan tenaga dalam yang mumpuni. "Maafkan
aku, pendeta mulia Macukunda dan juga para pendekar yang
hadir di sini, sekali lagi mohon maaf. Aku juga minta maaf
pada suamiku," sambil perempuan cantik ini memandang ke
arah Geni yang duduk di sampingnya. Geni diam, ia sudah
tahu apa maunya si isteri cantik itu.
Perempuan itu melanjutkan, "Aku adalah Gayatri, isteri
Wisang Geni. Kebetulan aku punya bekal sedikit ilmu silat. Aku
seperti Sawitri yang sangat menyinta Salyawan dan yang
bersedia bertarung nyawa membela suaminya. Aku dengan
rendah hati mohon kepada para pendekar untuk diberi
kesempatan ikut tarung membela gengsi tanah Jawa."
Hadirin tercengang. Belum hilang kagetnya, Macukunda
dikejutkan tampilnya perempuan cantik di samping Geni. "Aku
juga mau ikut tarung, aku Sekar, isteri Wisang Geni. Aku juga
punya ilmu silat yang mumpuni dan siap membela tanah Jawa
bersama Gayatri dan suamiku."
Masih dalam keadaan bingung, namun Macukunda, cepat
memberi hormat kepada dua pendekar wanita itu. "Terimalah
hormatku, pendekar Sekar dan Gayatri, sampean memang
isteri setia seperti Sawitri, aku setuju masukkan nama

sampean berdua sebagai pendekar kesembilan dan kesepuluh
namun keputusan aku serahkan kepada suamimu apakah dia
memberi ijin atau tidak, karena dia seorang yang paling tahu
tingkat ilmu silat yang kalian miliki, tanggungjawab ada pada
Ki Wisang Geni. Apakah semua pendekar setuju keputusan
ini?"
Hampir semua pendekar menyatakan setuju. Mereka
memandang Wisang Geni, menanti apakah lelaki ini memberi
ijin isterinya yang cantik jelita untuk ikut tarung. Geni berbisik
kepada isterinya, "Kamu benar-benar gila, aku tidak memberi
ijin, tidak bisa."
Gayatri menjawab dengan berbisik, "Geni, kamu tidak boleh
melarang aku sebagai isterimu yang hendak berbakti kepada
suamiku, ini darma baktiku sebagai seorang isteri yang
menyinta suaminya. Geni, kamu harus memberi ijin."
Sekar memperkuat permohonan Gayatri. Ia berbisik pelan,
"Suamiku, kamu tak boleh menolak darma bakti dari isterimu,
lagipula kami berdua punya ilmu silat mumpuni, yang mampu
mengalahkan kami hanya kamu seorang, itu kalau urusan ilmu
silat, kalau urusan bercinta belum tentu."
Mendengar alasan dan perkataan Sekar, apalagi kalimat
yang terakhir, Geni tersenyum geli. "Kalian memang gila,
tarung ini bukan main-main, urusannya bisa mati!" Dua
isterinya manggut, menandakan kemauan yang pasti.
Diam sesaat akhirnya Wisang Geni mengangguk, lalu
berkata kepada pendeta Macukunda, "Baik, aku mengijinkan
dua isteriku ini ikut bertarung. Mereka dibekali ilmu silat
mumpuni, tak usah ragu, tetapi kalah menang atau hidup mati
dalam pertarungan ini tetap merupakan rahasia dewa."
Macukunda menjawab dengan berseru kepada para
pendekar. "Pendekar berikutnya kupastikan adalah Nyi Gayatri
dan Nyi Sekar, isteri Ki Wisang Geni."

Masih ada satu tempat yang setelah melalui pembicaraan
cukup ketat akhirnya disetujui pendekar Matangkis, adik
seperguruan Macukunda. Semua setuju dan sepakat atas
keputusan bersama itu. Pertemuan berlangsung singkat, rapat
usai sebelum tengah malam. Para pendekar dipersilahkan
kembali ke tempatnya masing-masing. "Kita semua perlu
istrahat agar besok bisa lebih segar," kata Macukunda.
Malam itu di gubuknya Wisang Geni berbaring di lantai
beralaskan tikar bambu Tiga isterinya duduk mengelilinginya.
Gayatri dan Sekar mengapit sambil memijit lengan dan
tangan, Prawesti memijit paha dan betis. Ia memecah
kesunyian, "Aku tak tahu apa yang terjadi besok, tetapi aku
mohon kamu berdua, Sekar dan Gayatri, jangan terlalu berani
ambil resiko, aku tidak mau kamu terluka. Setelah
pertarungan besok, kita masih punya urusan menghadapi
orangtua Gayatri, aku harus bisa mencairkan kekerasan ayah
mertua supaya bisa memberi ampun kepadamu, Gayatri."
Sambil terus memijit bahu dan lengan suaminya, Gayatri
berkata, "Besok aku akan berhati-hati, kamu juga harus hatihati
Setelah itu memang sebaiknya kita menghadapi ayah, jika
ia datang bersama Wasudeva, aku pikir hasilnya akan lebih
baik, aku akan ceritakan semua perbuatan Wasudeva
terhadap Manisha dan juga niat tersembunyi lelaki itu.
Selanjutnya terserah ayah."
"Apakah Wasudeva punya niat jahat terhadapmu?" tanya
Sekar.
"Cerita harus dimulai dari kakekku. Setelah dikalahkan
Eyang Sepuh di perang Ganter, kakek banyak berubah. Pulang
ke Himalaya, ia lebih sering menyendiri. Hanya ibukuyang
paling dekat dengannya, ia berkata pada ibuku bahwa ia tak
pernah menyangka bisa dikalahkan orang, benar kata orang
bahwa di atas langit masih ada langit yang lebih tinggi lagi.
Geni, aku percaya kepandaianmu sangat tinggi, tetapi tetap

saja aku merasa takut besok kamu kalah, atau kau mati. Itu
sebab aku ngotot ikut tarung, kalau perlu aku saja yang mati."
Geni memandang tiga isterinya bergantian, "Semua orang
harus mati, kita sering melihat kematian, aku melihat Lembu
Agra mati, kamu juga melihat Lembu Ampai mati Tetapi tiap
manusia punya pikiran hampir sama, mereka tidak mau mati,
mereka ingin hidup lebih lama lagi, apalagi jika manusia itu
sudah menikmati kekayaan dan kekuasaan, ia semakin ingin
hidup selama-lamanya. Mereka enggan melepas kekuasaan
atau kekayaannya, mereka ingin membawa kekayaan dan
kekuasaannya ke lubang kubur."
"Makanya kupikir kamu itu aneh, kamu malah melepas
kekuasaanmu sebagai ketua Lemah Tulis," kata Sekar.
Geni mengalihkan pembicaraan, menanyakan sesuatu yang
sudah lama mengganggu pikirannya. "Gayatri, kamu belum
menjawab pertanyaanku tentang niat jahat Wasudeva itu. Aku
juga heran kenapa kamu begitu yakin ayahmu akan
menghukum kamu, membunuhmu atau memaksa kamu bunuh
diri. Aku juga tidak mengerti, mengapa seorang ayah bisa tega
berlaku sekeras itu terhadap putrinya sendiri, sungguh aneh."
Memegang dan memijit tangan Geni, kemudian Gayatri
menciuminya. Ia menjelaskan bahwa dalam adat istiadat
keluarga, juga adat dan tradisi di kampungnya di lereng
Himalaya, anak perempuan harus patuh dan taat terhadap apa
pun keputusan ayahnya menyangkut perjodohan. Anak
perempuan tak punya hak memilih jodoh. Hak tersebut ada di
tangan ayah. Sang ayah telah menerima lamaran Wasudeva,
maka Gayatri harus menerima, suka atau tidak suka. "Ayah,
ibu dan dua kakakku pasti datang menjemputku, mungkin
juga Wasudeva ikut dalam rombongan. Tetapi Geni, aku tidak
menyesal sedikit pun telah menjadi isterimu Kepada ayah, aku
akan mengaku sudah menikah dan telah menjadi isterimu.
Dua kesalahan telah kulakukan. Yang pertama, aku
membangkang dan menolak perjodohan yang menjadi hak

ayah. Yang kedua, aku telah menikah dengan orang luar
tanpa ijin ayah. Maksud orang luar adalah lelaki yang bukan
asal Himalaya. Dalam adat istiadat kami, dua kesalahan besar
ini tak bisa diampuni. Hukumannya mati, karena telah
memberi aib besar kepada keluarga."
Sejak tadi diam dan hanya mendengar, Prawesti mendadak
bicara, "Kakak Gayatri, kita pergi saja menyendiri di suatu
tempat yang sepi, ayahmu pasti tak akan bisa menemukan
kita."
Gayatri menghela napas, "Percuma sembunyi, ayah akan
mencari dan tidak akan berhenti mencari bahkan membuat
ayah makin murka. Aku pikir aku akan hadapi ayah,
membeberkan persitiwa sebenarnya. Wasudeva menghamili
kakak Manisha dan mengingkari janjinya untuk menikahi
kakak. Aku akan ceritakan alasan mengapa Wasudeva
berusaha keras menjadi menantu ayah, tak lain karena ingin
mencuri ilmu andalan kakek Atehai Zaminpar Kabhiyeb
Chande Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi).
Setelah menjadi menantu ayah akan mudah baginya mencuri
ilmu itu. Dan ayah terlalu jujur, ia tak tahu kelicikan
Wasudeva"
"Dari mana kamu tahu niat licik Wasudeva itu?" tanya
Sekar.
"Sebelum kakek meninggal, ia bercerita padaku, bahwa
perguruan Arjapura ingin menguasai jurus andalan perguruan
Yudistira dengan demikian Arjapura menjadi yang terkuat
diantara semua perguruan sekitar Himalaya. Kakek tahu watak
ayah itu keras dan jujur, ayah tak akan percaya. Maka kakek
menugaskan aku untuk menjaga jangan sampai murid
Arjapura bisa menipu ayah. Ternyata dugaan kakek benar
adanya, Wasudeva, putra dari ketua Arjapura berhasil
memperoleh kepercayaan ayah. Sebenarnya jika ia mau
mengawini Manisha, maksudnya akan tercapai, ayah akan
mengajarkan jurus itu kepadanya. Karenanya aku tidak

mengerti mengapa ia menolak Manisha dan berpaling
menyukai aku."
"Katamu, Manisha lebih cantik dari kamu, tetapi mungkin
saja Wasudeva lebih menyukaimu, aku pikir masuk akal.
Gayatri, kamu perempuan yang punya daya tarik yang bisa
membetot semangat dan merangsang nafsu birahi lelaki."
Geni juga menepuk pinggul isterinya.
"Itu yang kamu rasakan pertama memandangku?"
"Yang kulihat waktu itu, perempuan tercantik yang bahkan
belum pernah muncul dalam mimpiku. Aku terpikat tubuhmu,
buah dada, rambut, mulut dan kemarahanmu yang memancar
dari matamu yang indah, aku terangsang bahkan ingin
memerkosamu"
"Kenapa tidak kau lakukan?"
"Aku merasa bersalah, jika harus merusak makhluk secantik
kamu, aku juga punya moral dan belum pernah memerkosa
perempuan."
"Waktu itu, aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu, aku
takut."
Sekar tertawa cekikikan. Ia menggoda, "Tetapi akhirnya
kamu diperkosa juga, sama seperti ia memerkosa aku di
tengah hutan. Dan kamu Westi, kamu diperkosa di mana? Di
Lemah Tulis?"
Prawesti terbawa suasana humor, menjawab dengan
tertawa lirih, "Ia memang suka memerkosa perempuan.
Isterinya, bibi Wulan, baru lima hari mati, ia sudah memerkosa
aku."
"Ilmu Wiwaha sering membakar birahi setiap melihat
perempuan cantik apalagi yang tubuhnya indah macam kalian
bertiga." Geni membela diri sambil tawa. "Lagipula kalian suka
menggoda dan memancing birahiku seperti sekarang ini.
Kalian juga ketagihan."

Gayatri memeluk Geni. "Ciumanmu itu telah menaklukkan
aku, pada saat itu aku sudah menjadi milikmu, aku
menyintaimu hari itu, hari sekarang dan hari besok, Geni aku
tak bisa hidup tanpa kamu, Geni apakah sekarang kamu
terangsang," Gayatri mencium suaminya. Ciuman yang
menumpahkan segala birahi dan cinta seorang kekasih.
Berturutan Sekar dan Prawesti menggeluti dan menciumi sang
suami.
Lelaki itu terangsang, ketika hendak mengajak bercinta,
Gayatri dan Sekar menolak halus beralasan besok akan
tarung. Prawesti tanpa membuang waktu menggeluti Geni
penuh nafsu. "Aku mendapat tugas melayanimu, ketua."
Sekar dan Gayatri keluar meninggalkan dua insan itu yang
langsung bergumul dalam birahi.
Fajar menyingsing. Gayatri dan Sekar sudah pulas dalam
semedi. Prawesti tergeletak lelap, kelelahan, bugil dan
berkeringat. Geni semedi mengatur pernafasan, tubuhnya
melayang di atas tanah. Nafasnya lembut nyaris tak
terdengar. Uap tipis membias keluar dari tubuhnya yang basah
kuyup oleh keringat. Ia mengerahkan tenaga panas berganti
dingin.
---ooo0dw0ooo---
Pagi itu di sekitar panggung kayu yang luas, berkumpul
semua pendekar yang akan tarung, disaksikan penonton yang
cukup banyak. Siauw Tong memperkenalkan satu per satu dari
sebelas pendekar termasuk dirinya. Mereka duduk di sisi
panggung sebelah utara. Di sisi sebelah selatan, Macukunda
memperkenalkan satu per satu pendekar yang mewakili tanah
Jawa. Orang yang terakhir diperkenalkan adalah Wisang Geni,
Sekar dan Gayatri.

Ketika nama Gayatri disebut, Siauw Tong menyela, "Apakah
tanah Jawa sudah kekurangan pendekar sehingga harus
diperkuat oleh seorang pendekar dari pegunungan Himalaya?"
Wisang Geni berdiri. Tetapi sebelum suaminya menjawab,
Gayatri berkata lantang dengan suarayang ditekan tenaga
dalam "Aku isteri Wisang Geni sehingga punya hak membela
gengsi negeri kelahiran suamiku. Kebetulan kamu masih
punya hutang piutang dengan aku, mungkin sebaiknya nanti
kita selesaikan di atas panggung, itu pun kalau kamu punya
nyali." Gayatri teringat bentrokan tenaga dalam dengan lelaki
itu di pelabuhan Jedung.
Wajah Siauw Tong merah padam. Saat itu Sio Lan berdiri
dan menuding Gayatri. "Tidak perlu Siauw Tong yang turun,
aku yang akan melawan kamu, sama-sama perempuan."
Rupanya selama perjalanan Sio Lan dan Siauw Tong sudah
saling menyinta dan berjanji akan menikah sepulang ke Cina.
Ciu Tan, ayah Sio Lan merestuinya. Sio Lan melompat ke
panggung Gayatri memandang Geni yang mengangguk setuju.
Dua perempuan itu berhadapan. Sekonyong-konyong
bayangan berkelebat ke atas panggung. "Tunggu dulu aku
harus ikut tarung, mana boleh kalian tidak mengajak aku,"
kata seorang lelaki berusia enampuluhan yang tubuhnya
masih kekar.
Macukunda berteriak dari bawah panggung. "Hei Manyar
Edan, kamu turun, kalau mau tarung nanti saja kita
rundingkan."
"Tidak bisa, aku tak mau turun jika belum dapat kepastian."
Dia memandang Gayatri penuh kagum "Eh, perempuan ini
cantik, sampean mau jadi isteriku? Nanti aku kasih hadiah satu
perahu besar, kamu tahu, semua perahu di kali Brantas dan
kali Porong, semua punyaku"
Kontan Wisang Geni naik darah melihat isterinya diganggu.
Dia berteriak, "Manyar kamu cari mati berani ganggu isteriku!"

Tetapi sebelum ia bertindak, Gayatri mendahului memaki, "Eh
tua bangka, jaga mulutmu, apa mau aku tampar."
Macukunda gelisah melihat gelagat buruk. "Manyar Edan
jangan ngawur, pendekar itu isteri Ki Wisang Geni!"
"Oh isteri orang?" Manyar Edan melihat sekeliling,
mengenali Wisang Geni. "Ayo kita tukar-tukaran, aku punya
cucu masih muda, umur empatbelas dan cantik. Kamu ambil
cucuku, aku ambil isterimu"
Terdengar bentakan perempuan, "Kakek tua tidak tahu diri,
kurang ajar," disusul suara mencicit menyerang Manyar Edan.
Pendekar kali Brantas terkejut, desir angin tajam
menyerangnya. Seutas tali tipis dengan bor di ujungnya
memburu ke mana Manyar Edan mengelak. "Hei siapa kamu,
jangan main bokong!"
Serangan itu berhenti begitu saja. Terdengar suara Gayatri
berteriak, "Urmila, Shamita, kalian datang."
Dua pembantu itu membungkuk dari pinggiran panggung.
"Kami siap membantumu, putri." Orang-orang menatap dua
gadis cantik yang tampak jelas berasal dari India. Semua
orang di situ mendengar dua pendekar wanila itu memanggil
Gayatri dengan sebutan putri. Jika pembantunya sudah begitu
lihai tentu Gayatri lebih piawai lagi.
Pada saat itu, Siauw Tong berteriak, "Hei, Macukunda,
kalian ini mau tanding atau main dagelan. Cepat siapkan anak
buahmu atau kalau takut cepat-cepat mengaku kalah dan
meminta maaf."
Saat itu Manyar Edan salah tingkah, mendadak putranya,
Warok Brantas berdiri, "Bapak, kamu ambil alih saja tempat
aku ini."
"Wuah begitu juga bagus, kamu minggir saja, kamu urus
bini dan gundikmu saja, kalau urusan tarung biar aku saja,
aku sudah lama kepingin ketemu lawan yang jago," katanya

sambil tertawa. Ketika Manyar Edan hendak turun panggung,
mendadak berkelebat tiga sosok bayangan.
"Aku Si Jenggot dari Gunung Lawu terlambat daftar, tapi
aku mau ikut tarung, kapan lagi tarung lawan pendekar Cina,"
kata lelaki berusia enampuluhan dengan tongkat di tangan. Ia
menoleh ke kiri dan kanan, lalu tertawa. "Rupanya bukan aku
sendiri yang ingin tarung, ini datang juga pacarku Dewi Ayu
dari Segoro Kidul dan teman lama Nyi Pancasona, nah
pendeta budiman Macukunda siapa tiga orang yang akan kita
ganti, tadi Manyar Edan sudah dapat jatah, kita bertiga juga
harus dapat jatah, biar adil," kata pendekar Gunung Lawu
Mendadak Pak Beng berteriak, "Hei, kalian kalau mau
berkelahi, tarung saja di bawah sana, jangan mengganggu
pertarungan di atas panggung, kita tak peduli siapa dari kamu
yang naik panggung, yang penting jumlahnya hanya sebelas
orang."
Macukunda menoleh kepada para pendekar di sekitarnya.
Senopati Samba dan Matangkis undur diri, memberikan
tempatnya kepada pendekar Jenggot dan Gunung Lawu dan
Dewi Ayu dari Segoro Kidul. Adapun NyiPancasona, dia
berseru kepada Sagotra, pendekar gunung Merapi. "Hei
Sagotra, dulu kamu tarung di bukit Penanggungan, sebaiknya
sekarang kamu mengalah dan memberi giliran orang lain."
Sagotra berseru, "Silahkan ambil tempatku, Nyi, aku lebih
suka mengalah daripada setiap hari kau mengomeli aku. Biar
kali ini kau dengan Grajagan yang ikut tarung. Aku nonton
saja, tapi kau harus hati-hati"
Di atas panggung Gayatri dan Sio Lan bersiap. Mendadak
Pak Beng melompat ke panggung. "Tunggu, kita bacakan
aturannya." Pak Beng menegaskan peraturan. Sebelas
pendekar dari setiap kubu boleh naik panggung, satu lawan
satu, yang menang boleh istirahat daii uaik pada ke.sempalan
l.un. Siapa yang kalali, tak boleh larung lagi. Jika pertarungan
berakhir imbang, keduanya dinyatakan kalah dan tak boleh

tarung lagi. Kubu yang sebelas wakilnya kalah semua, kubu itu
yang dinyatakan kalah. Sebagai hukuman kubu itu harus
dengan ksatria menyatakan kalah dan minta maaf. Jika ada
pendekar yang mati, itu adalah resiko, tak boleh ada dendam
atau main keroyokan.
Di atas panggung dua singa betina sedang beradu
pandang. Sio Lan usia duapuluh, cantik dengan tubuh
langsing. Ia mengenakan pakaian khas Cina warna kuning
dengan hiasan benang emas, rambut dikuncir diikat di
belakang leher jenjangnya. Ia meloloskan pedang tipis dari
punggungnya.
Penonton memerhatikan Gayatri. Hari itu Gayatri
berdandan ala pendekar Jawa. Ia tampak cantik jelita, kulitnya
yang putih tampak mencolok dibungkus pakaian warna hitam,
baju lengan pendek dan celana longgar sebatas betis.
Rambutnya panjang digelung diikat pita warna putih.
Hidungnya bangir, bibir yang tebal dengan mulut lebar
membentuk busur serta dua bola mata warna coklat di balik
bulu mata lentik, menegaskan kecantikan seorang perempuan
India.
Tadi pagi sebelum berangkat, Gayatri minta bantuan
Prawesti membungkus ketat-perutnya dengan stagen, setelah
sebelumnya perut dilapisi semacam kulit tipis. Lilitan stagen
itu tidak terlalu ketat sehingga masih bisa bernafas dengan
leluasa.
Gayatri membawa sebilah pedang. Tidak panjang seperti
pedang umumnya, tidak juga pendek. Ukurannya sedang,
ujungnya sedikit melengkung. Itu pedang pusaka pemberian
kakeknya. Gayatri bisa menduga kemahiran lawan dari cara
Sio Lan naik panggung. Namun ia tak mau memandang
enteng, bisa saja lawan sengaja memperlihatkan kekurangan.
Saat berikut dua macan betina itu terlibat tarung hebat.
Sio Lan pernah melihat Gayatri di pelabuhan Jedung ketika
Siauw Tong mengujinya dengan tenaga dalam. Perempuan

India ini memiliki tenaga dalam mumpuni, maka ia langsung
mengeluarkan segenap kepandaian. Kiamboat (Ilmu pedang)
Wu Tang yang sederhana namun banyak mengandung arus
putar lingkaran kecil dan lingkaran besar menerbitkan tenaga
pusaran yang menyedot lawan. Sekali lawan masuk ke dalam
pusaran itu, maka tak ada jalan keluar lagi. Tubuh lawan bisa
berlubang di banyak tempat.
Tarung beberapa jurus Gayatri mulai merasakan hebatnya
ilmu pedang lawan. Ia juga tak mau main-main, ia menggelar
jurus pedang warisan sang kakek Hothon Se Maine Kuchna
Kuba (Tak ada yang kukatakan melalui bibirku) dan Kitna
Bechain Kiya Tumne Tu Kalke Door Naa Rehpan (Kamu
membuat aku gelisah, aku tidak bisa pisah dari kamu).
Pertarungan sangat seru, pedang Sio Lan mengurung tubuh
Gayatri yang tampak terdesak. Jurus Sio Lan ganas dan
telengas sedang gerakan Gayatri sangat indah seperti dewi
menari.
Limapuluh jurus berlalu, Sio Lan mulai gelisah, kiamboatnya
seperti membentur tembok yang mengandung pegas.
Tembok itu memukul balik pedangnya. Setiap bentrok pedang,
tangannya kesemutan. Memasuki jurus kelimapuluh sembilan,
pedang Gayatri berhasil menusuk lengan lawan, dengan gerak
menyentak pedang lengkung itu membuat daging lengan Sio
Lan tercabik.
Perempuan Cina itu berteriak kesakitan, ia melepas pedang
sambil tangannya bergerak, lima pisau terbang mengarah
Gayatri. Perempuan India itu sudah mewaspadai perbuatan
curang lawan, ia tidak gugup. Ia memutar tubuh seperti
gasing, jurus yang ia pelajari dari Geni, pedangnya memukul
balik semua pisau. Dua pisau nancap di pundak Sio Lan. Tiga
lainnya terbang ke Sin Thong yang sigap menangkap. Siauw
Tong melompat memeriksa luka tunangannya dan
membopong turun dari atas panggung.

Penonton bersorak. Para pendekar seperti Macukunda,
yang tak menyangka Gayatri begitu lihai ikut tepuk tangan.
Gayatri kembali duduk di samping Geni yang langsung
memegang tangannya. Geni menyalurkan tenaga dalam.
Gayatri merasa tubuh segar kembali.
Waktu itu di atas panggung. Nyi Pancasona dengan jurus
pedang Dala-dala dari perguruan Gorang-gareng terdesak
hebat oleh Li Moi. Pertarungan berlangsung seratus jurus. Li
Moy, wanita usia empatpuluh, gesit dan ringan memainkan
jurus Belalang. Tadinya tarung imbang, mendadak Pancasona
berteriak, "Kau curang!"
Penonton tidak mengerti karena tidak melihat betapa jarum
halus Li Moy telah melukai pundak Pancasona. Sedikit demi
sedikit Li Moi mulai menguasai pertarungan. Pada jurus
keseratus sepuluh, tendangan Li Moy menerpa pundak
Pancasona yang tersungkur ke bawah panggung. "Aku kena
jarum beracun, aduh lukaku rasanya panas," katanya kepada
Sagotra, kawannya. Saat pendekar Merapi hendak mencacimaki
kecurangan lawan, Pancasona mencegah. "Aku yang
salah karena tidak waspada. Tak perlu berkoar malah
mempermalukan aku." Sagotra cepat mengobati luka
Pancasona.
Pertarungan berikutnya, Sin Thong bersenjatakan sepasang
golok dihadapi Manyar Edan. Pendekar pendiri perguruan
Brantas ini terkenal dengan senjata keris luk tujuh yang konon
sangat ampuh dan berhawa panas. Wisang Geni
memerhatikan permainan Sin Thong. Dua tahun lalu di bukit
Penanggungan, ia menghantam dada Sin Thong sampai
muntah darah dan mematahkan dua goloknya. Tampak
permainan Sin Thong semakin matang, tetap ganas dan
kejam. Sebaliknya Manyar Edan yang rada ugal-ugalan kini
ketemu batu, ia terdesak hebat. Kerisnya tak berdaya
menghadapi sepasang golok yang cepat, ganas dan bertenaga

Sampai jurus sembilanpuluh serangan Sin Thong melukai
pundak dan paha Manyar yang terdesak mundur ke bibir
panggung. Tendangan Sin Thong mengarah ulu hati, Manyar
Edan tak punya pilihan selain lompat mundur. Ia terdesak
keluar panggung, kalah.
Saking malunya pendekar ini ngamuk mau naik tarung lagi,
namun pendeta Macukunda melerainya. "Kamu sudah kalah Ki
Manyar, ini pertandingan resmi, kamu tak boleh melanjutkan
tarung, jika kamu naik juga hal itu akan memalukan kita
semua."
Pendekar tua ini ngeloyor pergi duduk di samping cucunya.
Ia masih mengumbar amarah, "Seharusnya tarung begini tidak
perlu pakai panggung, aku belum kalah dan juga belum mati,
kenapa berhenti dan dinyatakan kalah."
Dalam tarung berikut pendekar Ujung Kulon, Grajagan,
kewalahan menghadapi Mok Kong. Tarung tangan kosong
sebenarnya bukan andalan Mok Kong yang berdua saudara
kembarnya terkenal dengan jurus golok bersatupadu. Tetapi
melihat lawannya menyukai pertarungan tanpa senjata, maka
ia pun meladeni.
Jurus Mok Kong, mirip Cakar Elang yang cepat dan ganas,
tampak lebih tangguh dibanding Sewubraja. Dua ilmu ini
sangat beda dan kontras. Sewubraja mengutamakan "gerak
lamban mengatasi cepat" jadi sebenarnya tepat untuk
menjinakkan cakar elang. Sayang dalam hal tenaga dalam,
Grajagan masih kalah dibanding tenaga Mok Kong. Itu
sebabnya kelambanan Sewubraja tak mampu mengimbangi
Cakar Elang yang cepat dan ganas. Setelah lewat seratus
jurus, Mok Kong akhirnya melukai pundak dan punggung
lawannya. Grajagan tersingkir ke bawah panggung. Pundak
dan punggungnya berdarah.
Merapatkan tubuh ke tubuh suaminya Gayatri menggamit
lengan Geni dan berbisik, "Tampaknya semua jago kita akan
kalah, akhirnya tinggal kamu seorang dan mereka akan

menghadapi kamu dengan bergilir, mereka akan menguras
tenagamu Itu strategi perang mereka, sungguh cerdik.
Kebetulan secara perorangan banyak dari mereka yang lebih
tangguh dari pihak kita."
"Tetapi kamu lebih cerdik karena bisa menebak jitu strategi
mereka. Sekarang apa strategi kita untuk mengalahkan
mereka?" Nada suara Geni tenang.
Belum Gayatri menjawab, Sekar memotong bicara,
"Agaknya tarung akan berlanjut besok, sekarang sudah mulai
senja. Kamu harus siap tarung selama dua hari. Sebaiknya
kamu naik panggung hari ini dan mengalahkan satu atau dua
orang untuk mengurangi kerjamu besok."
Saat ketiganya bercakap-cakap, pertarungan kelima
memasuki saat-saat kritis. Sang Pamegat terdesak hebat oleh
Mok Tang. Dari penampilan jurus goloknya, Mok Tang tampak
lebih tangguh dari saudara kembarnya Mok Kong. Jurus
andalan Sang Pamegat tetap tak berdaya, ia seperti
terbungkus gulungan sinar golok. Meski benteng pertahanan
cukup rapat, tidak urung pendekar Pamegat terdesak mundur.
Ia berada di bibir panggung, selangkah mundur ia akan keluar
panggung dan kalah.
Melihat keuntungan di depan mata, Mok Tang menyerang
gencar. Dalam peraturan tarung, seseorang tidak perlu harus
melukai atau membunuh lawan, cukup jika lawan terdesak
keluar panggung, itu artinya ia menang Sang Pamegat tak
mungkin lolos dari serangan ganas yang mengarah empat titik
mati di tubuhnya. Ia terpaksa mundur dan melayang turun
panggung. Mok Tang menang. Ia menjura memberi hormat
kepada Sang Pamegat.
Sudah empat pendekar negeri yang kalah, Nyi Pancasona,
Manyar Edan, Grajagan dan Sang Pamegat. Sedang di kubu
lawan, baru seorang yang kalah, Sio Lan. Saat Macukunda
berpikir siapa yang akan maju, mendadak Wisang Geni
melompat ke atas panggung.

Terdengar sorak sorai penonton. Semua orang sudah tahu
siapa Wisang Geni yang secara tidak langsung sudah diakui
sebagai Pendekar Tanah Jawa. Namun dalam hati, orang juga
merasa khawatir, jika pendekar berambut uban ini kalah,
sama artinya tanah Jawa yang kalah.
Begitu Wisang Geni menginjak lantai panggung, sesosok
bayangan berkelebat. Pak Beng berdiri di hadapan Geni.
Pendekar Cina ini mengenakan baju longgar berlengan
panjang yang justru tampak ketat di pergelangan tangannya.
Geni ingat bisik Gayatri sebelum naik panggung. "Perhatikan
pergelangan tangan lawan, di situ mereka menyimpan senjata
rahasia." Tidak sengaja, Geni menoleh ke Gayatri. Isterinya
memberi isyarat, membenarkan lawan menyembunyikan
senjata rahasia.
Pak Beng tertawa keras. "Dua tahun aku mengingat
kekalahan di bukit Penanggungan. Sekarang aku ingin
menjajal lagi kehebatan pendekar Wisang Geni." Ia
menyalurkan tenaga ke seluruh tubuh. Wajahnya berubah
kemerahan, tubuhnya bergetar.
Tidak mau memandang ringan lawannya, Geni waspada
terhadap senjata rahasia yang disembunyikan di pergelangan
tangan lawan. Geni menyalurkan pikiran dan tenaga ke satu
titik. Ia diam menanti. Pak Beng menyerang, angin
pukulannya terasa dingin menusuk tulang. Geni bergerak ke
samping, langkahnya lebar dan ringan.
Dia tahu Pak Beng sedang menanti saat adu pukulan, saat
itulah senjata rahasia di pergelangannya akan dilepas. Pak
Beng sengaja melancarkan serangan tangan kosong dengan
pukulan racun dingin yang sudah dilatihnya di puncak gunung
bersalju. Pukulannya jauh lebih matang, lebih dahsyat
dibanding dua tahun lalu.
Diam-diam Geni mengagumi lawannya. Pak Beng terus
mendesak dengan perhitungan Geni terpaksa bentrok tangan.
Gerakan Geni tampaknya lamban namun sebenarnya

mengandung kecepatan tinggi, langkahnya tak lagi memijak
panggung, melayang satu inci di atas lantai. Namun saking
cepatnya orang tak bisa melihat ini.
Dalam pandangan penonton Pak Beng lebih unggul dan
mendesak. Wisang Geni tampak hanya mengelak dengan
sekali-sekali balas menyerang. Pak Beng berteriak, "Wisang
Geni, jangan mengelak terus, apakah kamu jeri adu pukulan
dengan pukulan salju, hayo sambut ini."
Saat itu jurus tigapuluhan, Geni sengaja adu pukulan. Ia
gunakan tenaga dingin, yang mengalir deras dari dua
tangannya secara beruntun dan bergantian. Desss. Desss.
Desss. Desss. Empat kali bentrokan. Hawa dingin menyebar ke
mana-mana. Adu pukulan berlanjut, Geni waspada. Ia
memukul dengan kanan disusul tangan kiri dalam kecepatan
sama. Terus dan beruntun. Pak Beng terpaksa meladeni, kini
tidak lagi menyerang namun untuk bertahan. Sebab jika
berhenti memukul maka pukulan dingin Geni akan menimpa
tubuhnya. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi sebab makin
lama tenaganya makin terkuras.
Pak Beng pun menggentak dua tangannya, puluhan jarum
halus melesat dari tabung kecil di pergelangan tangannya
menyerbu Geni. Berbarengan saat itu Geni memukul dengan
tangan kanan, tangan kirinya menyusul ketika jarum Pak Beng
menyerbunya. Geni menambah kekuatan dan kecepatan
pukulan tangan kirinya, tangan yang terkepal dilepas menjadi
jari-jari terbuka yang membuat lingkaran kecil. Saat itu jarum
dari sebelah tangan lain Pak Beng menerjang leher Geni.
Sekarang kepalan kanan Geni berubah menjadi jari
terkembang yang berputar membuat lingkaran kecil. Geni
berteriak, "Maaf, aku kembalikan jarum milikmu," sambil
mendorong dua tangan secara beruntun kembali ke arah Pak
Beng.
Puluhan jarum yang terkumpul dalam pusaran dua tangan
Geni, menerjang Pak Beng dengan kecepatan tinggi. JarumTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
jarum menghunjam amblas ke tubuh Pak Beng. Bola mata Pak
Beng melotot. Tubuhnya menggigil hebat, selanjutnya ia
ambruk Tewas.
Hanya sedikit pendekar, termasuk Gayatri yang
menyaksikan detil kejadian itu. Mereka mengagumi kehebatan
Geni bisa lolos dari kedudukan yang begitu sulit. Namun Geni
sendiri merasa bulu romanya berdiri. Ia tahu persis, jika tak
ada kecurigaan Gayatri, jika tak ada peringatan isterinya itu,
mungkin saat ini dia yang tewas tergeletak di lantai panggung.
"Aku tak berniat membunuh, tetapi jarum-jarum itu bisa
membinasakan aku. Ia menyerang dengan membokong, aku
cuma mengembalikan jarum yang menjadi miliknya."
Siauw Tong berteriak, "Kamu yang membokong, bukan Pak
Beng, rupanya selama ini namamu terkenal karena kamu
mengandalkan main bokong saja."
Wisang Geni balik ke tempat duduknya, ia diam. Gayatri
marah "Hei Siauw Tong, periksa dulu mayat kawanmu itu, aku
rasa tabung kecil yang diikat di pergelangan tangannya adalah
bukti kuat bahwa sejak awal dia sudah merencanakan main
curang."
Siauw Tong sebenarnya tidak tertarik adu jiwa dalam
pertarungan. Tetapi sejak menyinta Sio Lan, ia kini berjuang
keras membantu calon mertuanya, Ciu Tan. Karena ia tahu Ciu
Tan adalah orang yang paling menginginkan kematian Wisang
Geni. Melihat kepandaian Gayatri yang tidak terlalu istimewa,
Siauw Tong yakin bisa mengalahkan Gayatri. Pikiran Geni akan
kalut melihat isterinya mati. Di situ peluang Ciu Tan
menantangnya.
Berpikir demikian, Siauw Tong melompat ke atas panggung
sambil menantang Gayatri. "Hei perempuan India, mari
bereskan persoalan kita yang belum selesai."
Gayatri berbisik pada suaminya. "Ia menyimpan senjata
rahasia, tetapi aku tak tahu ada di mana, tidak mungkin di

pergelangan tangannya. Pasti di tempat lain, biar nanti kucari
tahu."
Geni memegang tangan isterinya. "Hati-hati"
Gayatri melompat ke atas panggung. Ia melihat lawannya
menggunakan senjata sepasang pit panjang yang terbuat dari
baja pulih. Tiba-tiba Gayatri teringat nasehat kakeknya.
"Banyak orang curang, menyimpan senjata di dalam senjata."
"Aku tahu, jika melihat pit yang panjang tetapi tipis,
kemungkinan besar berisi jarum atau serbuk beracun,"
gumam Gayatri. Ia kemudian meloloskan senjata andalannya,
tali tipis dengan bor kecil di ujungnya. Pedang disisipkan di
pinggang.
Tanpa basa-basi lagi Siauw Tong menyerang dengan
sepasang pit, namun sebelum ia mendekat Gayatri
menjangkaunya dengan bor maut. Tentu saja Siauw Tong
berada pada posisi terdesak, ia tak bisa mendekat lantaran
jangkauan senjata Gayatri lebih panjang. Terpaksa ia
membela diri dengan rapat sambil memikirkan siasat.
Bor maut Gayatri itu seperti ular hidup bergerak dan
mematuk ke mana saja Siauw Tong bergerak. Saking
cepatnya, gerak bor maut itu tak bisa diikuti mata. Hanya
suara mencicit menandakan senjata itu masih mencari
mangsa. Siauw Tong hanya mampu bertahan dengan
memutar pit melindungi seluruh tubuhnya. Bentrokan pit
menangkis bor terdengar bercampur suara bor yang mencicit.
Pada jurus keduapuluh, Siauw Tong dengan cerdik menangkis
dan memutar, membuat tali lawan terikat pada pit-nya. Ia
menarik dan mengerahkan tenaga dalam, maksudnya ingin
mendekati lawan namun Gayatri mendahuluinya dengan
serangan senjata bor dari ujung tali yang lain.
Siauw Tong terkejut, tak pernah menyangka bahwa bormaut
itu memiliki dua ujung. Pundaknya terluka parah, darah
muncrat ketika Gayatri menarik pulang senjatanya. Dalam

situasi terluka, Siauw Tong berlaku nekad, ia menerobos maju
dan menyerang lima titik mati tubuh lawan. Gayatri sudah
menghitung ia membiarkan lawan mendekat, saat bersamaan
ia menghunus pedangnya dan menebas tangan lawan. Siauw
Tong kaget, untuk menolong diri ia melepas senjata pit-nya.
Gayatri menarik ujung bor lainnya berikut pit yang
mengikatnya.
Kedua senjata Siauw Tong terampas, pundaknya luka
parah. Ia sudah kalah, tetapi gengsinya besar sehingga ia
nekad menyerbu dengan pukulan tenaga dalam Gayatri
mengelak, sambil berseru, "Kamu sudah kalah, aku juga tak
mau membunuhmu Pergilah sebagai seorang jantan yang
berani mengaku kalah."
Siauw Tong tertegun. Ia menoleh ke bawah panggung Ia
melihat sinar mata Sio Lan yang khawatir, pandangan Ciu Tan
yang memberi isyarat agar dia mundur. Siauw Tong melompat
turun.
Gayatri menggulung senjata bornya. Ia membiarkan
senjata Siauw Tong tergeletak begitu saja di panggung. Lalu
dengan gerakan anggun ia melayang kembali ke tempat
duduknya di samping Geni. "Kau cerdik dan tangkas, pendekar
Cina itu bahkan tak sempat menggunakan senjata rahasianya.
Tetapi apakah kau yakin ia menyimpan senjata rahasia?"
tanya Geni.
"Ia menyimpannya di dalam senjata pit. Ada rongga di
dalam alat tulis tersebut, aku pikir mungkin bubuk beracun
atau jarum halus. Itu sebabnya ia menginginkan bertarung
dalam jarak dekat, tetapi aku justru menghindari pertarungan
jarak dekat. Sebab dalam tarung jarak jauh, senjata
rahasianya masih bisa kupatahkan, jika dari dekat aku tidak
yakin bisa mengelak, aku bisa mati konyol."
Pertarungan berlanjut terus. Tiga perkelahian diselesaikan
sebelum matahari terbenam. Dua partai dimenangkan
pendekar Cina. Pendekar Pedang dari Gurun Gobi, Sian Hwa,

dengan limapuluh lima jurus Topan Gurun bertarung ketat
lawan pendekar wanita Dewi Ayu dari Segoro Kidul. Dalam
seratus jurus lebih, akhirnya Sian Hwa berhasil menoreh
goresan di bahu dan lengan Dewi Ayu Pertarungan usai, Sian
Hwa menang. Namun ia memberi hormat dan menyatakan
kekaguman pada lawannya yang bersikap jujur dan berani
mengaku kalah.
Pada pertarungan berikut, Demung Pragola dengan tongkat
besinya menghadapi pedang Liong Kam berakhir sama kuat.
Liong Kam seorang ahli pedang yang telah menciptakan
jurusnya sendiri hasil merangkum beberapa ilmu pedang dari
pelbagai perguruan di daratan Cina. Namun Demung Pragola
dengan tongkat yang dimainkan tenaga dalam yang besar, tak
mungkin bisa ditaklukkan. Pada akhirnya dua pendekar itu
saling mengakui kehebatan lawan. Keduanya yakin bahwa
kendati tarung sampai malam, tetap saja hasilnya akan
imbang. Perjanjian menyatakan bahwa hasil imbang maka
keduanya dinyatakan kalah dan tak boleh bertarung lagi
Jenggot dari Gunung Lawu, pendekar yang sudah lama tak
didengar namanya, berhadapan dengan pemimpin
rombongan, Ciu Tan. Pertarungan berlangsung ketat. Tongkat
sakti Gunung Lawu berhadapan dengan jurus Cengkeraman
Naga Ciu Tan.
Seratus jurus lebih baru tampak Ciu Tan mengungguli
lawannya, Cakar Naga-nya merobek lengan pendekar gunung
Lawu itu Lengan nyaris patah jika dia tidak mengerahkan ilmu
Belut Putih membuat lengannya licin. Tetapi tetap saja darah
mengucur dari luka yang menganga cukup lebar itu.
Keduanya melompat mundur,kemudian saling memberi
hormat. Kakek Jenggot dari Gunung Lawu ngeloyor turun
panggung. Saat itu senja sudah tiba. Matahari turun ke
peraduannya di ufuk Barat. Macukunda berkata kepada
rombongan Cina, "Pertandingan akan dilanjutkan besok pagi
saat matahari mulai bersinar."

Siauw Tong dengan pundak yang dibalut kain putih berdiri
dan berseru lantang kepada Macukunda. "Pendekar
Macukunda, perlu diumumkan bahwa pihak kalian sudah
kehilangan Nyi Pancasona, Ki Manyar Edan, Ki Grajagan, Ki
Pamegat, Nyi Dewi Segoro Kidul, Ki Demung Pragola dan Ki
Jenggot Gunung Lawu, tujuh pendekar yang kehilangan hak
tarung. Sisa empat pendekar yang boleh tarung besok yakni Ki
Wisang Geni, Nyi Gayatri, Nyi Sekar dan Ki Macukunda. Di
pihak kami, sudah kehilangan Sio Lan, aku sendiri Siauw Tong,
Pak Beng dan Liong Kam Kami masih punya tujuh pendekar
yang akan bertarung besok, Li Moy, Sin Thong, Mok Kong,
Mok Tang, Dewi Gurun Gobi, Kim Mei dan Ciu Tan. Sampai
jumpa besok."
Seruan Siauw Tong memancing reaksi macam-macam dari
para pendekar, ada yang marah, ada yang diam dan ada yang
mengomel bahwa tanah Jawa sudah kalah. Macukunda dan
beberapa pendekar berjalan beriring. "Malam nanti kita
kumpul di tenda Perguruan Mahameru, kita perlu berunding,"
kata Sang Pamegat.
Sejak awal Macukunda telah ditunjuk sebagai juru bicara
kubu tanah Jawa. Waktu itu ia menolak sambil menunjuk
Wisang Geni, karena Wisang Geni dinilai paling lihai ilmu
silatnya. Tetapi Geni menolak keras. "Aku tidak pantas, masih
muda dan tak punya pengalaman. Pendeta Macukunda adalah
orang yang paling layak, aku sangat mendukungnya."
Malam itu di tenda Mahameru berkumpul pendekar utama
tanah Jawa. Wajah Macukunda dan semua yang hadir,
kelihatan muram dan berduka. "Hari ini kita kalah total. Sesuai
peraturan kita hanya boleh menampilkan empat wakil, Nyi
Gayatri, Ki Wisang Geni, Nyi Sekar dan aku sendiri. Kubu
lawan masih tersisa tujuh pendekar. Aku tidak tahu apa yang
harus kita lakukan untuk menyelamatkan gengsi tanah Jawa
ini," kata Macukunda.

Semua orang diam Wisang Geni berbisik kepada isterinya,
"Kamu punya rencana untuk pertarungan besok?" Gayatri
menggeleng. Wisang Geni diam. "Jika Gayatri saja tak punya
rencana, artinya keadaan sudah gawat," gumam Geni dalam
hati
Sang Pamegat memecah kesunyian. "Maaf para pendekar,
coba kita bersama-sama memeta kekuatan dan kelemahan
lawan, mungkin kita bisa menemukan jalan keluar."
Satu per satu pendekar menyumbang saran. Peta kekuatan
lawan tampaknya sangat tangguh. Li Moy, Sin Thong, Mok
bersaudara, Dewi Gurun Gobi dan Ciu Tan sudah diketahui
kekuatannya. Hanya Kim Mei yang belum memperlihatkan
kebolehannya. Di antara enam lawan yang sudah diketahui
kepandaiannya mungkin hanya Li Moy yang mudah diatasi.
"Sekarang, siapa di antara kita yang akan menghadapi Li
Moy?" tegas Sang Pamegat.
Baik Macukunda maupun Geni merasa enggan melawan Li
Moy Bukan hanya ia perempuan, tetapi juga dinilai yang paling
lemah sehingga memilih Li Moy sebagai lawan, sama artinya
dengan mengakui kelemahan diri sendiri. Macukunda dan
Wisang Geni saling pandang. Gayatri bisa memahami, ia
mengajukan diri melawan Li Moy Macukunda memilih Sin
Thong. Sekar memilih pendekar Gurun Gobi. Wisang Geni
akan menghadapi Mok Tang atau Mok Kong.
Macukunda menyambut rencana ini. "Cara ini cukup baik
semoga kita berempat bisa menang, sehingga bisa tarung
lagi." Ia melihat Sekar bisik-bisik dengan Wisang Geni.
"Mungkin Nyi Sekar punya rencana lain. Silahkan bicara, tidak
perlu sungkan."
Sekar meminta maaf karena berani lancang bicara. "Melihat
Kim Mei belum tarung, mungkin ilmunya cukup hebat, bisa
sama lihai dengan Ciu Tan atau Mok bersaudara Aku yakin
Kim Mei akan menantang suamiku. Jika benar maka aku akan
meladeninya. Dia belum tahu ilmu silatku, aku juga belum

melihat cara tarungnya. Ada lagi rencana lawan yang sangat
berbahaya. Aku pikir Mok bersaudara akan maju berdua, ilmu
pedang bersatupadunya sangat lihai, di daratan Cina selama
ini mereka belum pernah kalah."
"Tidak bisa, mana bisa dua orang maju mengeroyok satu
pendekar dari kubu kita, itu tak boleh terjadi," tukas Manyar
Edan marak
Sekar menjawab dengan tangkas, "Mereka akan
menantang suamiku untuk menjajal ilmu golok bersatupadu,
itu jelas. Setelah itu Ciu Tan maju dengan pemikiran suamiku
sudah letih, maka akan mudah mengalahkannya."
Semua terdiam Rencana itu sangat pintar dan licik. Namun
semua sepakat Gayatri dan Sekar juga tak kalah cerdas,
karena bisa menebak rencana lawan. "Nyi Sekar, bagaimana
kamu bisa memikirkan jebakan lawan im," tanya Nyi
Pancasona penasaran.
Sekar belum menjawab, Grajagan memotong. "Nyi Sona,
untuk bisa menebak, Nyi Sekar hanya perlu menempatkan diri
semisal dia sebagai lawan, apa yang akan dia perbuat."
"Kenapa kamu sendiri tak bisa menebak," balas Nyi
Pancasona dengan nada tinggi. Grajagan menggeleng, "Aku
tak bisa, pikiranku lambat."
Macukunda memandang Sekar dan Gayatri. "Nyi, kamu
sungguh pintar, kamu cantik dan pintar sungguh pasangan
yang cocok untuk Ki Wisang Geni, sekarang apa rencana kita
yang paling baik?"
Sekar dan Gayatri menggeleng. Gayatri menjawab, "Aku
tak tahu, mungkin besok kita bisa atur strategi tergantung
situasi. Aku usul besok sebaiknya Ki Macukunda tegaskan
kepada mereka bahwa sebagai penantang wakil mereka harus
naik panggung lebih awal. Dengan demikian kita bisa
mengatur siasat siapa dari kubu kita yang maju
menghadapinya."

Macukunda tersenyum dan berkata kepada para pendekar,
"Besok, aku akan duduk berdampingan dengan Nyi Gayatri
dan Nyi Sekar, keduanya kuangkat sebagai penasehat
perang." Macukunda tertawa puas. Saat yang sama di tempat
lain, Ciu Tan tertawa puas mendengar rencana yang
dibentangkan Siauw Tong.
Pagi itu seperti hari sebelumnya, Prawesti membalut perut
Gayatri dengan stagen berlapis-lapis. Di balik stagen,
menempel di perut, ada semacam kulit tipis berwarna hitam
keabu-abuan. Gayatri tidak mau menjelaskan benda apa itu.
Ada tempat duduk kosong di samping Macukunda. Pendekar
tua ini menggapai ke arah Geni, Sekar dan Gayatri, mengajak
mereka duduk di sampingnya.
Saat itu muncul para pendekar Cina yang datang dengan
rasa percaya diri. Wajah mereka tampak cerah. Sebaliknya
pendekar Macukunda dan rombongannya kelihatan tegang.
Siauw Tong mengumumkan empat nama kubu tanah Jawa
dan tujuh wakil Cina yang boleh tarung. Ia setuju syarat
Macukunda bahwa sebagai penantang kubu Cina naik
panggung lebih awal. Selang sesaat Li Moy naik panggung, ia
memberi hormat kepada penonton. Gayatri tak sungkan lagi,
ia memperlihatkan kebolehan dengan melentingkan tubuh dan
hinggap di panggung tanpa menimbulkan suara Keduanya
saling berhadapan.
Li Moy mengacungkan dua tangannya, pertanda ia
bertarung dengan tangan kosong. Gayatri tahu bahwa ini akalakalan
Li Moy yang memang lihai dengan jurus Belalang serta
memiliki jarum beracun. Dari bawah panggung Nyi Pancasona
berteriak, "Awas, perempuann itu licik, menggunakan senjata
rahasia jarum beracun."
Li Moy memandang nenek tua itu dan tertawa sinis.
"Bagaimana rasanya jarumku, enak?"

Sambil tertawa Gayatri bicara pada Nyi Pancasona, tapi
sebenarnya ditujukan kepada lawannya. "Dia pakai senjata
rahasia, aku juga punya, malah racunku adalah racun ular
yang hanya hidup di daerah salju, racunnya ganas mampu
membuat wajah perempuan cantik menjadi keriput dan tua
dalam sekejap mata. Lihat saja nanti."
Gayatri bersiap. Mendadak Li Moy mundur dengan wajah
pucat. "Tunggu, kita atur perjanjian, tidak boleh
menggunakan jarum atau senjata rahasia, siapa ketahuan
memakai senjata rahasia dia dianggap kalah meskipun
misalnya dia menang. Bagaimana kau setuju?" Rupanya Li
Moy merasa ngeri mendengar racun yang bisa merusak wajah.
Ia selama ini selalu rajin merawat wajahnya yang cantik.
Gayatri pura-pura memperlihatkan rnimik menyesal,
"Sayang sekali tetapi baiklah aku ikuti apa maumu"
Keduanya langsung berhantam. Li Moy langsung
menyerang dengan jurus Belalang, langkahnya ringan, gerak
tangannya lincah, jari tangan mencengkeram Gayatri
memeragakan jurus andalan Banjao Kisi Ke Kisi Ko Aapna
Banalo (Jadilah milik seseorang dan milikilah seseorang), yang
mengutamakan tarung jarak dekat. Semakin dekat jarak
tarung, makin ampuh jurus ini. Dalam tarung Li Moy agak
kikuk, ada rasa tak percaya terhadap lawan, khawatir lawan
menggunakan racun ganasnya.
Hal itu membuat gerakannya tidak bebas. Ia terdesak
serangan gencar Gayatri. Di jurus limapuluhan, Gayatri
menampar pundak dan mendupak bokong Li Moy Tubuh Li
Moy melayang keluar gelanggang. Ia kesakitan, Gayatri
menang.
Sin Thong melompat ke atas panggung. Ia menantang
Macukunda, tetapi Wisang Geni yang melompat naik. Ini taktik
strategi Gayatri. Bahwa Geni harus memenangkan partai
kedua, untuk mengurangi jumlah lawan, juga agar Geni punya
waktu istirahat yang cukup.

Saat itu Sin Thong agak bingung. Ia memandang Siauw
Tong. Melihat rekannya diam, ia menoleh ke Macukunda dan
setengah berteriak, "Hei, aku menantang Macukunda, kenapa
yang datang orang lain, Macukunda apakah kamu takut
padaku?"
Wisang Geni tertawa keras. "Ki Macukunda adalah
pimpinan kami dan belum saatnya bertarung, aku saja yang
tarung. Tetapi kalau kamu takut melawan aku, pergi pulang
saja ke Cina. Aku janji tidak akan membunuhmu, hanya
memukul kamu biar kapok dan jangan datang-datang lagi ke
negeri ini."
Dalam benaknya Sin Thong merasa gentar. Dua tahun lalu
ia dikalahkan Geni, sepasang goloknya direbut dan ditekuk
patah, juga kena hantam hingga muntah darah. Meskipun
selama dua tahun ia memperdalam ilmu silatnya di Cina dan
yakin bisa mengatasi Geni, tetapi sekarang di atas panggung
dengan Geni sebagai lawan nyata, ia tak bisa
menyembunyikan rasa gentarnya.
Sin Thong tak punya jalan lain. Suka atau tidak suka ia
harus hadapi pertarungan ini. Ia memusatkan pikiran dan
tenaganya, menghunus sepasang goloknya, golok pusaka
yang sangat tajam Tanpa memberi hormat lagi, ia menyerang
Geni dengan jurus mematikan yang telah ia sempurnakan
selama dua tahun menyepi di balik Tembok Cina.
Sepasang golok bagai kitiran mengurung Geni. Lelaki ini
mengelak dengan gerak sederhana. Dua tahun lalu, ia
menghantam telak Sin Thong, sehingga jika dalam dua tahun
lawannya maju pesat, ia juga maju pesat setelah pertemuan
dengan Eyang Sepuh Suryajagad. Jadi bagaimanapun juga Sin
Thong bukan lawan yang perlu ditakuti. Ia hanya perlu
waspada terhadap kecurangan lawan.
Selama limapuluh jurus Geni berkelit dan menghindar
dalam kurungan sinar golok Pada dasarnya Geni belum mau
menggelar ilmu sejatinya, tetapi ia merasa perlu cepat

menyelesaikan tarung ini. Ia menggunakan kecepatan
melebihi angin, dan ketepatan pada saat-saat genting. Tidak
heran Sin Thong selalu kecele, pada saat ia merasa golok akan
mengena, ternyata jatuh di tempat kosong atau melenceng
karena didorong angin pukulan. Sin Thong tak pernah tahu
bagaimana gerak lawan ketika sepasang goloknya saling
beradu, keras, membuat dua tangannya kesemutan.
Saat itu Geni membuat gerak lingkar, seperti pusar angin
kencang dan menyedot golok berikut tubuh Sin Thong.
Sepasang golok pendekar Cina itu terlempar ke udara. Kaki
Geni menghantam pundak lawan. Sin Thong terjengkang ke
bawah panggung. Terdengar sorak penonton Geni segera
turun panggung.
Di tengah sorak penonton, Kim Mei, wanita cantik dalam
usia di penghujung duapuluhan, melenting ke atas panggung.
Ia menjura memberi hormat penonton. Matanya melirik tajam
Sang Pamegat. Sudah sejak tarung hari pertama, Kim Mei
selalu tersenyum kepada Sang Pamegat. Rupanya dua
pendekar ini sudah saling mengenal sebelumnya. Tadi pagi,
keduanya saling tegur dengan senyum dari lemparnya masingmasing.
Ketika Sekar siap-siap hendak maju, Geni memegang
lengan isterinya. "Kamu jangan terlalu berani ambil resiko, aku
tak mau kamu terluka, jadi kalau keadaan sulit, lompat
mundur saja."
"Kamu tenang saja suamiku. Kamu belum lihat semua jurus
yang aku pelajari di Laut Selatan. Percayalah, aku tak akan
terluka!"
Dari atas panggung Kim Mei menatap Sang Pamegat, ia
mengharap lelaki itu menepati janji, menantinya di suatu
tempat usai tarung ini. Kim Mei merasa tak punya kepentingan
dengan tarung ini, menang kalah, tak ada untungnya bagi
dirinya pribadi.

Sekar melompat ke atas panggung, menggunakan ringan
tubuh paling andal Wimanasara. Gerakannya cepat bagai
melesatnya panah sakti, mendarat di panggung tanpa suara.
Begitu ringan seperti kapas.
Selama ini Geni belum melihat seluruh ilmu silat isterinya ini
sejak keluar dari pertapaan Nenek Sapu Lidi. Ia terkejut dan
kagum melihat ringan tubuh isterinya itu. Gayatri berbisik,
"Aku pernah tarung dengan Sekar, waktu itu aku tak bisa
menang dan aku tahu ia belum mainkan seluruh ilmu silatnya.
Aku yakin ilmu silatnya tidak berada di bawah kepandaianku.
Malahan ilmu ringan tubuhnya jelas lebih unggul dari aku."

Geni manggut setuju.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;