Senin, 26 Mei 2014

Cerita Satria Hutan Larangan 4

Setelah termenung
sebentar, kembalilah ia ke arah dari mana ia datang. Setelah

memanjat dinding benteng dan melewati penjagaan gulanggulang,
tibalah ia .kembali di kamarnya.
Ternyata setelah pengintipan itu kegelisahan tidak
berkurang, tetapi malah bertambah. Pangeran Muda terusmenerus
bertanya, siapakah yang dipercakapkan oleh Yuta
Inten dengan embannya? Apakah yang dipercakapkannya itu
Pangeran Muda atau kesatria lain? Pertanyaan ini
mengganggunya, dan walaupun berbagai jawaban
diberikannya, tak satu jawaban pun meyakinkannya.
Bagaimanapun juga ia harus mencari jawaban itu. Akan tetapi,
waktu sudah tidak ada lagi. Keesokan paginya Pangeran Muda
harus meninggalkan Medang, menuju ke Puri Anggadipati
untuk kemudian berangkat ke Pakuan Pajajaran. Di sana tugas
sudah menunggu.
KEESOKAN harinya subuh-subuh setelah minta diri pada
seluruh keluarga Banyak Citra, Pangeran Muda meninggalkan
Medang. Atas usul Jante, Pangeran Muda membiarkan dirinya
dikawal oleh empat orang gulang-gulang yang akan
mengantarnya hingga perbatasan wilayah Medang dengan
wilayah Kutabarang. Setelah untuk terakhir sekali Pangeran
Muda mengucapkan terima kasih kepada Raden Banyak Citra
serta istrinya, serta setelah berjanji dengan Jante untuk
bertemu di dalam waktu dekat di Pakuan Pajajaran, kuda-kuda
pun dipaculah.
Pangeran Muda merasa menyesal telah berangkat terlalu
pagi. Karena itu, yang melepasnya hanya Pamanda Banyak
Citra dengan Bibinda, di samping Jante. Yang sangat
diharapkannya untuk hadir, yaitu Yuta Inten, tidak tampak
saat itu. Dengan hati yang kosong seperti itu, Pangeran Muda
melarikan kudanya diiringkan oleh empat gulang-gulang yang
bersenjata lengkap serta berbaju zirah.
Ketika mereka sudah melewati gerbang kota dan
menghadap padang yang luas di depan mereka, Pangeran
Muda mengekang kendali kudanya, lalu berpaling ke arah kota
yang membayang dalam kabut subuh. Pangeran Muda
menatap dinding-dinding benteng yang menjulang, atap-atap

bangunan yang tinggi, yang muncul di sela-sela daun pohonpohon
besar. Sementara Pangeran Muda menarik kendali dan
hendak memecut si Gambir, tiba-tiba pandangannya
menangkap dua bayangan sosok manusia di atas dinding
benteng, di suatu tempat tidak jauh dari Gerbang Kota. Kedua
sosok bayangan yang samar-samar dalam kabut itu tampak
memerhatikan rombongannya. Jelas pula oleh Pangeran Muda
bahwa mereka itu adalah wanita. Dan bagaikan kilat firasatnya
mengatakan bahwa kedua orang itu adalah Yuta Inten dengan
embannya. Pangeran Muda tidak jadi memecut kudanya.
Setelah memandang dengan tajam ke arah kedua
bayangan itu untuk meyakinkan dugaannya, Pangeran Muda
berseru pada gulang-gulang pengawalnya, "Tunggu dulu!"
Setelah berkata demikian dibalikkannya arah kudanya, lalu
menderu di bawah dinding benteng di muka kedua bayangan
itu berdiri. Makin dekat makin jelas pada Pangeran Muda
bahwa dugaannya benar. Dengan degup jantung yang
menjadi cepat, Pangeran Muda memacu kudanya, dan dalam
sekejap sudah tengadah ke arah kedua wanita itu.
Melihat kedatangan Pangeran Muda, tampak Yuta Inten
hendak menghindarkan diri dan pergi, tetapi embannya
dengan cepat memegang pundaknya lalu menariknya,
menyuruhnya menghadap kepada Pangeran Muda yang
tengadah dari bawah dinding benteng itu.
Untuk beberapa lama, tidak ada yang berkata-kata.
Pangeran Muda mencari kata-kata di ujung lidahnya, tetapi
tidak ada yang ditemukannya. Hanya setelah beberapa lama ia
dapat berkata dengan gugup, "Selamat tinggal, dan terima
kasih atas segala keramahan Adinda."
Yuta Inten tidak menjawab, tampak ia berdiri dengan kaku.
Embannya yang tua kemudian membantunya dengan berkata,
"Kami datang kemari untuk melepas Pangeran, tetapi karena
tidak baik bagi kaum wanita untuk menonjolkan dirinya, kami
memutuskan untuk melepas Pangeran dari tempat ini."
Mendengar perkataan emban itu, bagai digerakkan oleh
tenaga rahasia Pangeran Muda melompat dari kudanya,

kemudian seperti seekor bajing menaiki dinding benteng yang
hampir tegak itu. Para gulang-gulang maupun kedua wanita
itu keheranan melihatnya. Dan ketika Pangeran Muda sudah
berdiri di hadapannya., Yuta Inten mundur selangkah sambil
menundukkan diri.
"Diam, anak!" kata emban tua itu kepadanya sambil
memegang baju Yuta Inten.
Untuk beberapa lama, mereka berhadap-hadapan.
Pangeran Muda memandang berganti-ganti pada emban dan
pada Yuta Inten yang menundukkan kepalanya. Mereka
membisu. Hanya setelah beberapa lama emban tua itu
tersenyum lalu berkata, "Hamba tahu, Pangeran dan anak ini
saling menaruh hati. Satu hal yang ingin hamba tanyakan
kepada Pangeran. Atas nama segala yang suci dan atas nama
orangtua anak ini yang belum tahu apa-apa tentang soal ini,
apakah Pangeran mencintai gadis ini secara sungguh-sungguh
dan membawa maksud-maksud yang terhormat? Kalau
demikian, kami mengucapkan terima kasih. Sebaliknya, kalau
hanya bermain-main, kami memperingatkan, agar Pangeran
mengurungkan niat Pangeran itu. Ayah dan kakak anak ini
adalah laki-laki yang keras, punya harga diri yang tinggi, yang
tidak akan segan-segan membunuh kalau mereka merasa
dihina."
"Saya menghormati seluruh keluarga Banyak Citra, dan
saya ... bersungguh-sungguh, Emak," kata Pangeran Muda
yang belum bersiap-siap untuk menjawab pertanyaan yang
tidak disangka-sangka itu.
"Kalau begitu bagus, dan sekarang kau," lanjutnya sambil
berpaling kepada Yuta Inten, "Yuta Inten, kau telah
mendengar perkataan Pangeran kepada Emak tadi, itu berarti
bahwa engkau pun harus bersungguh-sungguh. Sekarang
bersalamanlah, karena Pangeran harus segera meninggalkan
Medang, supaya tidak kemalaman di tengah-tengah hutan."
Untuk beberapa lama Pangeran Muda tidak beranjak dari
tempatnya berdiri. Emban itu tersenyum sambil menarik

tangan Yuta Inten. Pangeran Muda maju dan memegang
kedua tangan gadis yang terus menundukkan kepalanya.
"Selamat berpisah, Kakanda akan berusaha supaya dapat
segera kembali ke Medang."
"Selamat jalan, para Bujangga dan Pohaci melindungi
Kakanda." Sambil berkata demikian, gadis itu menekan
tangannya ke tangan Pangeran Muda. Untuk beberapa lama,
mereka berpegangan tangan. Kemudian si Gambir meringkik
di bawah benteng, dan sadarlah Pangeran Muda bahwa hari
sudah maju ke siang. Sementara langit memerah di sebelah
Timur.
"Selamat tinggal, kita akan segera bertemu," kata Pangeran
Muda, lalu dengan perlahan-lahan melepaskan tangan Yuta
Inten. Dan seperti ketika memanjat dinding benteng itu,
dengan tangkas Pangeran Muda menuruninya. Beberapa saat
kemudian, setelah berulang-ulang berpaling ke atas dinding
benteng tempat kedua wanita itu melambai-lambaikan
tangannya, Pangeran Muda sudah berada di tengah-tengah
padang.
Kejadian yang baru dialaminya sekarang seperti sebuah
impian. Berulang-ulang Pangeran Muda bertanya, apakah
peristiwa itu benar-benar terjadi, ataukah hanya impian
seorang yang risau? Akan tetapi, berulang-ulang pula ia yakin,
peristiwa itu benar-benar terjadi karena para gulang-gulang
yang mengantarnya masih berada di belakangnya, sementara
itu tangan Pangeran Muda masih terdapat debu yang pindah
ke tangannya dari dinding benteng yang tua itu.
Seraya melarikan kudanya, Pangeran Muda termenungmenung.
Kalau saja tidak ada gulang-gulang yang mengantar,
mungkin pertemuan dengan Yuta Inten dapat lebih lama lagi.
Akan tetapi, apa hendak dikata, Pamanda Banyak Citra telah
memberinya kawal kehormatan yang gemerlap dengan senjata
dan baju logam mereka.
Pangeran Muda pun bertanya kepada mereka, "Tentu
sangat tidak menyenangkan berada dalam pakaian perang itu.

Apakah juragan kalian memerintahkan agar kalian
mengawalku dengan pakaian kebesaran itu?"
"Ya, Pangeran Muda. Mula-mula lima belas orang yang
ditugaskan, tetapi menurut Juragan Jaluwuyung, Pangeran
Muda tidak suka akan pengawal yang terlalu banyak, jadi
kamilah yang diberi tugas."
"Sebenarnya kalian dapat menolak memakai pakaian
perang itu kalau juragan kalian tahu bahwa saya tidak mau
menyusahkan kalian dengan pakaian-pakaian serta senjatasenjata
yang berat itu."
"Tuan kami sangat keras dalam memelihara kehormatan
keluarganya, juga kehormatan tamunya, Pangeran Muda.
Sukar bagi kami untuk menyampaikan usul. Perintah adalah
perintah."
"Saya dengar juragan kalian keras sekali."
"Ya, Pangeran Muda, mereka keras, maksud kami kaum
pria keluarga Banyak Citra berwatak keras. Sedang kaum
wanitanya sangat lembut dan ramah. Saya sering
membandingkan kaum wanitanya dengan bunga-bunga yang
indah tumbuh di atas cadas. Ya, keluarga Banyak Citra adalah
cadas-cadas yang berbunga."
"Tepat benar perbandinganmu itu, Paman," ujar Pangeran
Muda sementara kenangannya kembali kepada Yuta Inten.
00dw0kz00
Bab 15
Di Ibu Kota
Walaupun kesempatan bertemu dengan Ibunda dan
Ayunda jarang sekali, Pangeran Muda tidak dapat lama tinggal
di Puri Anggadipati. Pertama, karena tugas menunggu di ibu
kota; kedua, karena Ayahanda sudah berada di sana. Setelah
tiga hari berada di kampung kelahirannya, Pangeran Muda

pun berangkatlah ke Pakuan Pajajaran, diiringi oleh empat
orang gulang-gulang. Keempat gulang-gulang ini diberi tugas
oleh Ibunda untuk mengawal Pangeran Muda hingga Pakuan
Pajajaran, berhubung kekhawatiran Ibunda akan keselamatan
putranya seandainya Pangeran Muda seorang diri melakukan
perjalanan yang sangat jauh itu. Pangeran Muda sendiri
sebenarnya tidak memerlukan gulang-gulang itu, tetapi untuk
menyenangkan hati Ibunda, diterimanya juga pengawalpengawal
itu. Di samping itu, tidak ada salahnya kalau ada
teman seperjalanan, apalagi gulang-gulang yang empat itu
adalah kenalan-kenalan lamanya, kawan-kawan sepermainan
di waktu
Pangeran Muda masih kanak-kanak. Maka pada hari yang
ditetapkan, rombongan pun berangkatlah.
Sepanjangjalan antara Kutabarang dengan dataran tinggi,
rombongan memacu kuda. Karena lari kuda cepat, dan karena
suasana hati Pangeran Muda sedang risau, tak banyak yang
dipercakapkan dalam perjalanan itu. Pangeran Muda lebih
banyak membisu, sementara hatinya melayangjauh, melintasi
gunung-gunung yang sayup-sayup, ke arah suatu kaputren di
kota Medang tempat Putri Yuta Inten berada.
Semenjak pertemuannya dengan gadis itu, Pangeran Muda
pun menyadari segi lain dari dirinya. Ia adalah seorang
bangsawan dan puragabaya, berarti seluruh hidupnya harus
diserahkan pada kerajaan, pada tugas-tugas pengabdian
untuk seluruh warga kerajaan. Sebelum menjadi calon
puragabaya, hanya pengabdian itulah yang menjadi
masalahnya. Sekarang, setelah Pangeran Muda bertemu
dengan Putri Yuta Inten, terasa oleh Pangeran Muda, apa
artinya menjadi seorang kesatria, seorang pria yang muda
remaja.
Sadar akan kedudukannya sebagai pria dan kesatria ini
merupakan suatu hal yang baru bagi Pangeran Muda. Ia
seolah-olah memasuki dunia baru yang penuh dengan janji
keindahan. Akan tetapi, karena barunya, dunia itu penuh
dengan keasingan yang menimbulkan keragu-raguan dan

kecemasan. Pergulatan antara harapan dan kecemasan,
sukacita dan kerinduan, menyebabkan Pangeran Muda seolaholah
hidup dalam impian. Ia sering termenung-menung, sering
sekali seperti terbangun dari tidur kalau tiba-tiba ada orang
yang mengajaknya bercakap-cakap.
Bagi Pangeran Muda, khayalan dan kenyataan bergulat,
memperebutkan kesadarannya. Kesadarannya kadang-kadang
berpijak pada kenyataan, yaitu bahwa ia sedang berada di
atas pelana kuda, memacunya menuju ibu kota Pajajaran.
Tetapi lamunan selalu menariknya ke arah Medang. Kalau
lamunannya menjadi lebih kuat, lupalah Pangeran Muda pada
alam sekelilingnya. Yang terbayang olehnya hanyalah jalanjalan
dan Kaputren Medang, dengan wajah, gerak-gerik Yuta
Inten yang lemah gemulai, .suaranya yang merdu memenuhi
pancaindranya.
Mata Pangeran Muda memandang ke depan, sementara
tangannya erat memegang kendali. Akan tetapi, mata hatinya
memandang ke arah lain, ke tempat yang jauh. Seorang gadis
muda-remaja tersenyum, berjalan, duduk sambil menyulam,
bernyanyi kecil menidurkan adiknya, gemetar menerima
tangannya ketika bersalaman.
'Anom!" tiba-tiba terdengar seorang gulang-gulang berseru
dari belakang. Pangeran Muda terbangun dari lamunannya.
Dengan segera ia mengekang kendali.
"Ada apa?"
"Ini bukan jalan ke Pakuan Pajajaran, tapi ke Muarabe-res.
Sebetulnya sejak tadi saya merasa ragu-ragu dan bertanyatanya,
mengapa Anom mengambil jalan ini. Baru sekarang
saya yakin, kita telah tersesat."
Pangeran Muda termenung sejenak, kemudian tersenyum
sayu.
"Terima kasih, Gita," katanya. "Mari kita kembali, saya
sungguh-sungguh jadi pelupa sekarang," lanjutnya.
"Pangeran Muda," kata gulang-gulang yang bernama Jatun
ketika mereka sudah berada kembali dijalan yang benar,
"kalau seorang tua pelupa,.hal itu disebabkan oleh

kesadarannya sudah tidak betah lagi berada di dunia ini.
Sebaliknya, kalau seorang pemuda pelupa, hal itu disebabkan
oleh karena kesadarannya terlalu lincah melompat-lompat dari
kenyataan yang satu ke kenyataan yang lain, hingga sering
terpeleset dan terjungkir."
Pangeran Muda tidak mengemukakan pendapatnya tentang
hal itu, hingga Gita bertanya sambil tertawa,'Jatun
membandingkan kesadaran manusia dengan seekor bajing.
Kalau kesadaran orang tua suka melompat ke api
pembakaran, apakah kesadaran Pangeran Muda melompat ke
arah setangkai bunga hingga tersesat dijalan?"
Pangeran Muda tersenyum, lalu berkata, "Engkau
melompat ke dahan yang tepat, Gita."
"Kalau begitu saya menang taruhan, Anom," katajatun.
Kemudian ia menerangkan bahwa ketika Pangeran Muda tiba,
mereka melihat Pangeran Muda sering termenung-menung.
Jatun dan Gita bertaruh, Jatun menebak bahwa Pangeran
Muda sedang dimabuk asmara, sedang Gita sebagai orang
yang lebih sungguh-sungguh wataknya menduga Pangeran
Muda sedang menghadapi tugas yang berat.
"Kalau begitu, tidak ada di antara kalian yang menang,
Tun," ujar Pangeran Muda. "Saya sedang menghadapi keduaduanya."
Maka Pangeran Muda pun menyuruh gulang-gulangnya
agar melarikan kudanya lebih dekat dan ia pun membukakan
rencananya kepada mereka.
"Begini, Gita, Jatun. Sebenarnya, saya tidak memerlukan
pengawalan kalian. Sejelek-jeleknya saya adalah seorang
calon puragabaya. Tidak ada yang saya takuti."
"Tidak benar, Anom," seru Jatun sambil tertawa, "yang
saya takuti Anom tersesat kalau tidak dikawal," dan mereka
pun tertawalah.
"Baiklah, tapi marilah dengarkan persoalanku. Kalau kalian
kuizinkan mengawalku, hal itu menyenangkan Ibunda dan
barangkali memang saya sudah punya firasat akan tersesat,"
kata Pangeran Muda sambil tersenyum, kemudian ia

melanjutkan, "Kalian anak-anak muda, dan saya yakin kalian
akan dapat merasakan apa yang kurasakan. Putri itu, atau
kami, menyatakan hati masing-masing tepat sebelum
berpisah. Bayangkan, begitu kami menyatakan isi hati kami
masing-masing, kami berpisah. Kami belum puas
mengungkapkan apa-apa yang terpendam dalam hati kami.
Oleh karena itu, saya ada rencana. Kalian tidak usah terus
mengawalku ke Pakuan Pajajaran, untuk sementara. Nanti di
tempat kita menginap, saya akan menulis surat kepadanya
dan esok hari kalian berbelok ke arah Medang untuk
menyampaikan suratku itu. Kemudian kalian mengikutiku
kembali ke Pakuan Pajajaran, sambil membawa surat darinya
kalau ia menyerahkannya kepada kalian."
"Akan tetapi, bagaimana kalau Ibunda Putri bertanya
kepada kami?"
"Beliau tidak akan mengetahui tentang apa yang kita
lakukan," kata Pangeran Muda.
"Kalau begitu, baiklah," ujar Gita. Mereka pun melanjutkan
perjalanan dengan tidak banyak bercakap-cakap. Tepat ketika
hari mulai gelap, tibalah mereka di sebuah kampung.
Malam itu Pangeran Muda menulis surat, menceritakan
tentang perasaan-perasaan, harapan-harapannya yang timbul
semenjak mereka berkenalan. Diceritakannya pula kepada
Putri Yuta Inten, bagaimana Pangeran Muda sering mengintip
dari jendela tempatnya menginap di Medang, mendengarkan
suaranya yang merdu, memerhatikannya dengan penuh gairah
bagaimana jari-jari Yuta Inten yang tirus dengan lincah
menyulamkan bunga-bungaan pada kain yang terbentang di
pang-widangan. Pada penutup surat itu diceritakannya pula,
karena tidak dapat menahan dorongan hatinya, pada malam
terakhir berada di Medang, Pangeran Muda telah menyelinap
dan mengintip, ketika Putri Yuta Inten sedang menjalin
rambutnya yang lebat dan indah itu. Dikatakannya,
percakapan Putri Yuta Inten dengan emban didengarnya pula.
Untuk segala kelakuannya itu, Pangeran Muda minta maaf
karena segalanya itu dilakukannya tidak didorong oleh iktikadTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
iktikad yang rendah, tetapi karena perasaan-perasaan yang
luhur dan mulia juga.
Setelah surat itu beberapa kali dibaca kembali, Pangeran
Muda meletakkan pisau pangotnya, lalu mengambil kotak
lontar yang terbuat dari kayu cendana yang wangi. Surat itu
disusunnya, lalu dimasukkan ke dalam kotak lontar itu.
Keesokan harinya, setelah kuda-kuda diurus dan diberi
makan, Pangeran Muda dengan keempat pengawalnya
meninggalkan kampung itu. Sekira matahari mulai hangat,
tibalah mereka di suatu persimpangan. Pangeran Muda
mengacungkan tangannya, memberi isyarat agar para
pengawalnya berhenti.
"Kita berpisah di sini, Gita."
"Baik, Pangeran Muda."
Pangeran Muda turun dari kudanya, demikian juga para
gulang-gulang. Pangeran Muda mengambil kantong kulit yang
indah dari kantong besar yang tergantung di pelana si Gambir,
lalu menyodorkannya kepada Gita sambil berkata, "Gita,
kantong ini berisi dua kotak, yang satu berisi beberapa helai
lontar, yang lain berisi perhiasan. Pergilah kalian ke kota
Medang, dan setiba di sana, pergilah kalian ke pasar, tunggu
rombongan bangsawan datang berbelanja. Engkau akan
mudah mengenal Putri Yuta Inten
"Karena Putri itu yang paling cantik di antara yang lain-lain,
Pangeran Muda," kata Jatun menyela.
Pangeran Muda tidak marah akan kelancangan gulanggulang
itu. Ia hanya tersenyum, lalu melanjutkan bicaranya,
"Gadis itu selalu didampingi oleh seorang emban tua yang
berbadan besar. Dekatilah emban tua itu, dan katakanlah,
bahwa kau utusanku. Berikanlah kantong itu kepada emban
tua itu, lalu susullah saya ke Pakuan Pajajaran."
"Baiklah, Anom. Tadi Anom mengatakan, salah satu kotak
berisi perhiasan," kata Gita.
"Ya, Gita, kalian tidak usah takut karena jalan antara
tempat ini dengan Medang cukup aman. Di samping itu,

mungkin kau dapat menggabungkan diri dengan rombonganrombongan
lain," kata Pangeran Muda.
"Bukan begitu, Anom. Kalau perlu kami berkelahi dengan
perampok-perampok karena kewajiban kami adalah mengabdi
kepada Anom. Akan tetapi, tentang perhiasan itu."
"Mengapa?"
"Menurut orang tua-tua tidaklah baik memberi pakaian atau
perhiasan kepada seorang kekasih karena pemberianpemberian
semacam itu sering menyebabkan gagalnya
pelaksanaan perkawinan," ujar Gita.
Pangeran Muda tersenyum.
"Takhayul, Gita," katanya. "Sekarang, selamat berpisah,
dan susullah saya secepat-cepatnya ke Pakuan Pajajaran agar
kalian dapat melaporkan kepada Ibunda dan Ayunda bahwa
saya tiba di sana dengan selamat."
"Baiklah, Anom."
"Anom, kami takut Anom tersesat," seru Jatun sambil
tertawa.
"Tidak mungkin, Jatun. Sebagian dari hatiku yang akan
membawa sesat sudah kumasukkan ke dalam kotak surat itu,"
sambut Pangeran Muda sambil tersenyum. Kemudian, seraya
mengacungkan tangannya sebagai tanda ucapan selamat
berpisah, ia pun memacu kudanya ke arah Pakuan Pajajaran.
Sementara itu, pengawal-pengawal berbelok ke arah timur.
SETELAH dua hari di perjalanan, pada suatu siang
tampaklah dari jauh dinding benteng Pakuan Pajajaran. Begitu
besarnya kota Pakuan Pajajaran, hingga dari jauh dinding
bentengnya tampak seperti sebuah bukit yang panjang
dengan puncaknya yang rata. Di atas benteng itu
berjulanganlah menara-menara pengawas. Sepanjang
benteng, panji-panji dan umbul-umbul berkibar dan melambailambai
ditiup angin. Ketika itu, jalan yang dilalui Pangeran
Muda mulai ramai. Bukan saja penung-gang-penunggang kuda
lain yang hilir-mudik, datang dari depan atau belakang, tetapi
para pejalan kaki pun sangat banyak. Di samping itu, pedatipedati
yang ditarik kerbau atau kuda hilir mudik, dengan

berbagai macam muatan yang dibawanya ke arah ibu kota
atau dari ibu kota ke kampung-kampung di sekitarnya atau
bagian kerajaan yang jauh-jauh.
Betapapun banyaknya orang yang lalu-lalang, jalan besar
itu tidaklah rusak. Berbeda dengan jalan-jalan antara ibu kota
atau kampung di tengah-tengah padang di wilayah Pajajaran
lainnya, jalan-jalan yang dekat dengan ibu kota ini dibuat dari
batu yang disusun dengan rapi. Di kiri kanan jalan ditanam
pula pohon-pohon tanjung agar para pejalan kaki terlindung
dari panas matahari di musim kemarau. Sementara itu,
padang-padang di sekitar ibu kota tidaklah seperti padang-padang
yang terbuka di sekitar kota-kota lain di Pajajaran. Padang-
padang di sekitar ibu kota Pakuan Pajajaran tampak
diurus dan dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Di tengahtengah
padang-padang itu kelompok-kelompok rumah
didirikan orang. Semuanya itu memperlihatkan bahwa di
sekitar ibu kota keamanan sangat terjamin, hingga orangorang
berani mendirikan rumah-rumah mereka di tengahtengah
padang tanpa melingkungi rumah-rumah itu dengan
pagar-pagar tinggi seperti di tempat-tempat lain.
Makin dekat ibu kota, makin ramai juga jalan. Di salah satu
tempat tukang besi menjual ladam kuda, di tempat lain tukang
kulit menjajakan pakaian kuda. Di sepanjang jalan, setiap lima
ratus langkah terletak tempayan air yang besar, sengaja
disediakan oleh penduduk untuk para pejalan yang kehausan.
Di tempat lain lagi disediakan kolam, tempat para pejalan
memberi minum kuda mereka.
Selagi Pangeran Muda memerhatikan tamasya sekitar ibu
kota, tiba-tiba terdengar trompet tiram ditiup orang. Pangeran
Muda berpaling ke suatu jalan bersilang dengan jalan yang
sedang dilaluinya. Dari arah itu datanglah sebuah kereta besar
dan indah yang ditarik oleh empat ekor kuda yang tampantampan
pula.
"Pangeran Linggawastu," bisik seorang pejalan.
Pangeran Muda teringat akan nama itu. Pangeran itu
adalah keponakan sang Prabu. Setelah kereta bangsawan itu

lewat, Pangeran Muda menarik kendali si Gambir, memberi
isyarat padanya agar melanjutkan perjalanan. Tak lama
kemudian tibalah Pangeran Muda di gerbang kota yang besar
dan megah itu.
Gerbang itu demikian besarnya, hingga kalau delapan buah
pedati berjalan berdampingan, kendaraan-kendaraan itu tidak
usah takut bersinggungan. Di atas gerbang itu dibangun
kandang jaga yang sangat besar, hingga kalau ada seratus
orang prajurit berdiri di sana tak usah ada di antara mereka
yang takut jatuh ke bawah benteng. Dinding benteng itu
sendiri demikian tebalnya, hingga prajurit-prajurit yang
berbaris berempat dapat berjalan dengan leluasa.
Sementara mengagumi gerbang dan benteng itu si Gambir
telah berjalan memasuki kota Pakuan Pajajaran yang
termasyhur di seluruh Buana Panca Tengah itu. Sesuai dengan
pesan yang diterimanya dari para puragabaya ketika berada di
Padepokan Tajimalela, Pangeran Muda turun dari punggung
kuda, lalu berjalan ke arah sebuah bangunan kecil di dekat
gerbang tempat seorang perwira duduk didampingi oleh
pengawal-pengawalnya. Pangeran Muda memberi salam
kepada perwira yang menyambutnya dengan ramah.
"Saya dari Padepokan Tajimalela, ini tanda pribadi saya,"
kata Pangeran Muda sambil mengambil sehelai lontar dari
dalam kotak pelana kuda, lalu menyerahkannya kepada
perwira itu.
Dengan segera, perwira itu melihat tanda tangan
puragabaya Rangga Sena dan dengan segera ia berdiri
memberi hormat kepada Pangeran Muda yang berdiri di
depannya. Pangeran Muda sungguh-sungguh kikuk menerima
penghormatan seperti itu. Ia memberi hormat kembali lalu
mempersilakan perwira itu duduk kembali.
"Maaf, saya tidak segera mengenal Pangeran Muda," kata
perwira itu.
"Tidak apa, saya sendiri sangat bergembira bahwa
kehadiran saya di sini sudah diberitahukan sebelumnya."

"Pangeran Muda akan segera dijemput karena menurut
pemberitahuan yang kami terima, sekira tengah hari Pangeran
Muda akan tiba. Ternyata Pangeran Muda datang lebih cepat.
Jadi, penjemputan itu belum tiba."
Sementara menanti penjemput itu Pangeran Muda
memeriksa si Gambir. Melihat hal itu para penjaga segera
mendekati, ada yang membawa keranjang yang berisi irisan
ubi, ketela, dan rumput, yang lain membawa kantong yang
berisi dedak. Yang lain lagi membawa air dalam tempayan
besar khusus untuk kuda.
"Kuda ini sangat tampan dan kuat, Pangeran Muda," kata
salah satu penjaga sambil mengusap-usap surai si Gambir.
"Tapi kuda ini sudah tua. Ia dihadiahkan oleh Ayahanda
ketika saya mencapai umur sepuluh tahun. Ia berperangai lemah-
lembut dan mudah mengerti, di samping sangat kuat
seperti yang Saudara katakan," ujar Pangeran Muda sambil
mengusap-usap si Gambir.
"Tapi kelihatannya masih muda sekali, Pangeran Muda. Ia
masih gagah perkasa," ujar pengawal itu.
"Ya, akan tetapi saya tidak bermaksud mempekerjakannya
hingga ia terlalu tua. Saya akan segera melepaskannya di
padang sekitar Puri Anggadipati. Kasihan kalau saya harus
melelahkannya terus-menerus," sambung Pangeran Muda.
"Oh. Di samping itu, Pangeran Muda sebentar lagi akan.
diberi kuda putih."
"Ya?" kata Pangeran Muda keheranan.
"Ya, Pangeran Muda. Kawan saya ini seorang ahli kuda. Ia
petugas khusus yang mengurus kuda-kuda puragabaya.
Belakangan ini telah dikumpulkan dua belas kuda putih,
menurut keterangan, persediaan untuk dua belas calon
puragabaya yang akan lulus dalam waktu dekat."
"Tapi angkatan saya mungkin baru lulus dalam tiga tahun
lagi, Paman," ujar Pangeran Muda.
"Oh, tidak jadi soal karena kuda-kuda yang dikumpulkan itu
masih muda-muda sekali. Sebaiknya, Pangeran Muda
menyediakan nama untuk kuda putih itu," kata pengawal, itu.

"Ah, sungguh nasihat yang baik. Saya dapat
menetapkannya sejak sekarang dan memilih nama yang
sebaik-baiknya."
"Pangeran Muda dapat memilih nama Bulan, Awan, Perak,
nama-nama yang cocok untuk kuda putih," kata pengawal itu.
"Saya akan memikirkannya, Paman," ujarnya.
Sementara itu, seorang pemuda datang menunggang kuda
ke arah bangunan yang ditempati oleh pimpinan pengawalpengawal
itu. Pangeran Muda segera berjalan ke arah
bangunan itu, dan sesuai dengan sangkaan semula, ternyata
pemuda itu adalah orang yang diberi tugas untuk
menjemputnya.
"Pangeran Muda, hamba Ardalepa, ditetapkan sebagai
panakawan Pangeran Muda selama berada di Pakuan
Pajajaran."
"Oh, senang sekali saya bertemu dengan engkau,
Ardalepa," kata Pangeran Muda seraya memandang ke arah
pemuda yang bermata cerah dan berumur kira-kira satu atau
dua tahun lebih muda darinya.
"Hamba diperintahkan agar segera membawa Pangeran
Muda menghadap kepada puragabaya Geger Malela di
kepuragabayaan. Kemudian hamba pun diperintahkan untuk
menemani Pangeran Muda menghadap Pangeran Anggadipad
di sayap barat istana."
Setelah mengucapkan terima kasih kepada para pengawal,
Pangeran Muda pun segera menunggangi si Gambir, dan
bersama Ardalepa berjalan ke arah bagian tengah kota yang
sibuk dan ramai itu.
Sambil berjalan berdampingan Pangeran Muda tak putusputusnya
mengagumi kemegahan ibu kota. Di kiri kanan jalan
batu yang lebar berdiri bangunan-bangunan yang terbuat dari
batu dan kayu jati, kadang-kadang dihias dan diwangikan
dengan kayu cendana. Guci-guci yang besar, keramik-keramik
yang indah diletakkan di pendapa tempat orang menanam
bunga-bunga yang indah. Sedang taman kota yang sempat
mereka lewati tak luput jadi sumber kekaguman.

Mengenai penduduk kota, Pangeran Muda belum pernah
melihat orang sebanyak itu. Menurut keterangan yang
diterima dari Ayahanda Anggadipati, ibu kota Pakuan
Pajajaran berpenghuni lebih dari lima puluh ribu orang.
Mereka ini terdiri berbagai golongan dan tingkat masyarakat,
dari para bangsawan hingga ke para panakawan, di samping
saudagar-saudagar dan orang-orang asing, dari Negeri Katai,
Negeri Atas Angin, dan dari Pulau Emas. Umumnya penduduk
ibu kota berpakaian indah, wanita-wanitanya sangat tahu akan
kebersihan dan cara menghias diri. Sementara itu, para
jagabaya yang bertugas, amat sopan terhadap warga
kerajaan. Jelas bagi Pangeran Muda bahwa asas-asas
kesatriaan sangat dipatuhi di ibu kota Pakuan Pajajaran ini.
Sementara Pangeran Muda melihat-lilhat tamasya kota
yang megah dan agung itu, tibalah di hadapan sebuah
bangunan yang hampir menyerupai tempat pemujaan.
"Kita tiba, Pangeran Muda," kata Ardalepa sambil turun dari
kudanya.
Pangeran Muda mengikuti, dan berjalan di samping
Ardalepa. Begitu mereka melewati gerbang, seorang penjaga
segera menjemput dan menerima kendali kuda mereka untuk
dibawa ke tempatnya. Pangeran Muda langsung menuju
ruangan. Di sana terdapat beberapa orang puragabaya, semua
berpakaian resmi yang berwarna putih dengan ikat pinggang
keemasan. Setelah memberi salam kepada mereka, Ardalepa
membawa Pangeran Muda ke suatu ruangan, tempat
puragabaya Geger Malela berada.
"Oh, Anggadipati, baik-baik saja?"
"Baik, Kakanda, terima kasih."
"Syukur, Anggadipati, engkau akan ditugaskan di wilayah
Galuh, di daerah yang dahulu menjadi pusat kerajaan. Engkau
akan menjadi pengawal pribadi Pangeran Rangga Wisesa di
sana. Daerah ini bukanlah daerah yang menyenangkan. Di
sebelah selatan terdapat terdapat samudra raya yang menjadi
wilayah Nyai Putri Kidul. Samudra yang berpenghuni berbagai
macam naga ini, dan yang ombaknya besar bagaikan gunungTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gunung, adalah batas kerajaan di sebelah selatan. Akan tetapi,
sebelum samudra terdapat wilayah rawa yang penuh dengan
siluman. Orang-orang jahat yang bersekutu dengan siluman
biasa melarikan diri dan bersembunyi di rawa-rawa ini setelah
mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk di
daerah Galuh. Saya kira itu sudah cukup menjadi masalah.
Akan tetapi, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu bahwa
Galuh ini dekat sekali ke perbatasan kerajaan tetangga di
sebelah timur. Arti pertahanan kota ini sangat penting lagi,
oleh karena itu penguasa di tempat itu harus seorang
panglima yang cerdik dan licin agar selalu waspada. Itulah
sebabnya dipilih Pangeran Rangga Wisesa. Tentu saja orang
penting ini harus dijaga dengan saksama. Untuk itu, engkau
dipilih karena menurut Eyang Resi, engkau seorang yang
saksama dalam segala hal. Saya menganggap penugasanmu
ini sebagai kehormatan bagimu."
"Setiap tugas hamba menganggap kehormatan, Kakanda,"
ujar Pangeran Muda, sementara hatinya mulai mengembara
ke kota Medang. Penugasannya ke kota Galuh berarti
penempatan dirinya di ujung timur kerajaan, sedang kota
Medang berada di sebelah barat, walaupun tidak berada di
ujung barat. Dari kota Galuh ke kota Medang hampir dua
minggu perjalanan berkuda. Pikirannya mengenai hal-hal itu
menggugah kerinduan Pangeran Muda akan Putri Yuta Inten
serta segala hal yang ada di sebelah barat kerajaan, padangpadang
yang luas, matahari yang cerah, hutan-hutan yang
hangat dan hijau. Akan tetapi, tugas adalah tugas, dan
seorang calon puragabaya adalah calon puragabaya, yang
tidak lagi memiliki dirinya. Oleh karena itu, Pangeran Muda
tidak berkata apa-apa lagi, dan hanya bertanya, apa saja yang
harus dikerjakannya di Pakuan Pajajaran sebelum berangkat
ke Galuh.
"Tidak ada, selain menunggu pemberitahuan tentang kapan
kau harus berangkat dan itu akan disampaikan oleh istana,"
kata puragabaya Geger Malela.
"Baiklah, Kakanda."

"Dan selama menunggu, kau disediakan penginapan di
kepuragabayaan. Ayahmu pernah meminta agar kau
dibolehkan menginap di istana, tetapi saya menerima perintah
lain, jadi tidak dapat diperkenankan."
"Tidak apa, Kakanda. Ayahanda tidak akan berkecil hati,"
ujar Pangeran Muda.
"Baiklah, sekarang, beristirahatlah sebelum Ardalepa
membawamu kepada Pangeran Anggadipati dan melihat-lihat
kota."
KARENA ingin segera bertemu dengan Ayahanda, Pangeran
Muda menangguhkan waktu istirahatnya. Di samping itu,
perjalanan pagi itu tidaklah terlalu berat. Dengan bersiram air
jernih dan sejuk, kesegaran pun segera kembali. Setelah
mengenakan pakaian yang terbaik, Pangeran Muda segera ke
ruangan tengah kepuragabayaan, tempat Ardalepa siap untuk
menjadi panakawannya.
'Ardalepa, apakah saya dapat berkunjung kepada Ayahanda
sekarang?" tanya Pangeran Muda kepada anak muda itu.
"Pangeran Muda, beliau masih akan sibuk untuk beberapa
saat lagi, jadi lebih baik kita menunggu sebentar. Di samping
itu, saya mendapat pesan dari para calon lain yang sudah
lebih dahulu datang agar Pangeran Muda bertemu dengan
mereka."
"Oh, siapakah yang sudah datang kepuragabayaan?"
"Raden Jaluwuyung, Raden Pamuk Wulung, Raden Elang
Ngapak, dan yang lain yang hamba lupa lagi namanya," ujar
Ardalepa.
Dengan gembira, Pangeran Muda pergi ke bagian
bangunan kepuragabayaan tempat teman-temannya berada.
Betapa rindu Pangeran Muda kepada mereka yang sudah
hampir tiga minggu berpisah dengannya. Mereka berunding
untuk pergi melihat-lihat kota bersama-sama, kemudian
setelah waktu yang baik tiba, yaitu ketika matahari mulai
teduh, berangkatlah tujuh orang calon puragabaya yang
sudah berada di Pakuan Pajajaran dengan tujuh orang
panakawan mereka. *

"Pangeran Muda, di bagian kota Pakuan sebelah utara
terdapat gerombolan-gerombolan putra-putra bangsawan
yang berandal. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak lewat ke
sana," ujar Ardalepa.
'Jangan takut, Ardalepa, para calon tidak akan mendorong
mereka untuk berkelahi. Mereka akan menyangka kami ini
orang-orang dusun dari padepokan yang sedang keliling kota
melihat pemandangan untuk didongengkan nanti di dusun di
atas gunung," ujar Pangeran Muda.
"Pangeran Muda, tetapi mereka kenal dengan kami. Mereka
sering terlibat dalam perkelahian dengan pemuda-pemuda
yang bekerja di kepuragabayaan. Mereka sering mengejek
kami sebagai puragabaya tiruan."
"Kalian bukanlah puragabaya tiruan, jadi mengapa harus
sakit hati? Di samping itu janganlah takut, kalau mereka
menantang berkelahi, kami akan melarikan diri."
Mendengar itu Ardalepa tidak berkata apa-apa lagi dan
rombongan pun terus berjalan melihat-lihat tamasya kota.
Pangeran Muda belum pernah melihat manusia, binatangbinatang,
harta, dan segala-galanya begitu berlimpah-limpah
seperti di Pakuan Pajajaran. Sambil bercakap-cakap mereka
melihat pajangan berbagai barang jualan, hingga akhirnya
sampailah Pangeran Muda di tempat penjual senjata. Demi
terlihat olehnya sebuah gendewa yang terbuat dari kayu dan
gading, teringatlah Pangeran Muda kepada Banyak Sumba,
adik laki-laki Jaluwuyung dan Yuta Inten. Pangeran Muda
berbisik pada Ardalepa, bertanya tentang harga barang itu.
Ardalepa tampaknya ahli dalam soal-soal demikian, dan tak
lama kemudian senjata yang indah itu telah dikepitnya, seraya
ia terus berjalan di belakang Pangeran Muda.
Ketika mereka tiba di suatu tempat kota itu, sekali lagi
Ardalepa memberi peringatan pada Pangeran Muda bahwa di
bagian kota sebelah sana terdapat gerombolan bangsawan
muda yang suka berkelahi. Pangeran Muda mengatakan hal
itu kepada teman-temannya.

'Jangan takut, kita akan mengambil langkah seribu," kata
Rangga yang suka lelucon.
"Sungguh?" tanya Pangeran Muda yang bersiap-siap, kalaukalau
peringatan Ardalepa itu terjadi.
"Sungguh. Saya tidak mau disuruh membersihkan lantai
asrama untuk enam bulan seperti Anom. Daripada jadi tukang
cari kayu, lebih baik lari saja, apa susahnya," jawab Rangga
pula. Umumnya calon-calon puragabaya sependapat dengan
Rangga, kecuali Jante yang tampak ragu-ragu. Akan tetapi,
dalam sekejap mereka pun telah lupa akan masalah itu dan
bercakap-cakap tentang berbagai hal lain.
Kemudian tibalah mereka di tempat yang agak luas, sebuah
lapangan yang di sekelilingnya terdapat gudang-gudang dan
rumah-rumah besar, tempat tinggal para bangsawan atau
saudagar. Di tengah-tengah lapangan itu orang-orang sangat
sibuk memperdagangkan berbagai barang mewah, ada gading
gajah dari Pulau Emas, sutra dari Negeri Katai, rempahrempah
dari Pulau Bunga, senjata-senjata yang indah
bentuknya, dan lain-lain. Para calon segera melihat-lihat ke
tempat itu.
Selagi mereka asyik, tiba-tiba terdengarlah seseorang
berseru, "Ini dia mereka! Mereka membawa balabantuan dan
senjata. Jangan beri hati!"
Pangeran Muda terkejut dan melihat ke arah suara itu.
Tampak kira-kira lima belas orang pemuda yang berpakaian
bagus-bagus berdiri berjajar, menghadap ke arah para
panakawan para calon.
"Rangga, ini bukan lelucon!" bisik Pangeran Muda.
"Hehehe," Rangga yang suka lelucon tertawa, lalu berkata,
"Kita sudah berjanji akan mengambil langkah seribu, dan
menghadapi mereka dengan punggung hehehe."
"Rangga, tapi para panakawan beranggapan kita ini betulbetul
balabantuan. Mungkin mereka mempergunakan
kesempatan ini untuk menghajar lawannya dengan
mempergunakan tinju-tinju kita," kata Pangeran Muda, sambil
menyaksikan bagaimana para panakawan dengan gagah

berani berjalan berdampingan menuju pemuda-pemuda itu.
Para pedagang sudah mulai ribut, mereka mengumpulkan
barang-barang, bersiap-siap menghadapi huru-hara. Di sana
sini terdengar jeritan dan caci-maki karena dalam kesibukan
itu ada pula orang yang jatuh tersenggol oleh tetangganya.
Melihat suasana demikian, tertawalah Rangga terpingkalpingkal.
Hanya Jantelah yang bermata liar.
Sementara itu, sebagian dari pemuda-pemuda lawan
bergerak mendekati para calon yang berdiri berkelompok.
Melihat itu makin geli tampaknya Rangga, ia tertawa terkekehkekeh.
"Siap dengan kuda-kuda hehehe," gelaknya, dan para
pemuda itu makin dekat, sementara orang-orang berlarian
ketakutan.
Tiba-tiba seorang di antara panakawan mulai menyerang,
diikuti oleh yang lain. Terjadilah pergulatan yang kalang
kabut. Pemuda-pemuda yang dekat para calon pun
menghamburlah, tidak mau kedahuluan diserang. Akan tetapi,
dengan sigap Rangga melompat melarikan diri, demikian juga
Elang, Ginggi, Girang, Jalu, kecuali Jante yang dengan mata
liar bersiap-siap. Melihat hal itu, Pangeran Muda segera
menarik tangannya, lalu berlari sambil tak dapat menahan
tertawa.
Pemuda-pemuda mengejar mereka sambil mencaci-maki,
mengatakan nama-nama yang hanya cocok didengar oleh
telinga siluman. Akan tetapi, hinaan itu tidak dipedulikan oleh
para calon yang sambil berlari memegang perut mereka
karena menahan tertawa. Betapapun cepatnya pengejarpengejar,
mereka tidak dapat menyusul lari para calon
puragabaya yang sudah biasa berlari, bahkan di padang kerikil
atau lumpur rawa. Dan sambil tetap tertawa terpingkalpingkal,
sampailah mereka di depan kepuragabayaan.
Sambil duduk-duduk di ruangan depan kepuragabayaan,
tak ada yang menjadi bahan obrolan para calon, kecuali
peristiwa penghadangan yang dilakukan oleh pemuda-pemuda
berandal itu. Sambil bercakap-cakap tak henti-hentinya,

mereka tertawa-tawa, kecuali Jante yang tetap bersungguhsungguh.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap itu, datanglah
para panakawan satu per satu.
Sungguh-sungguh terkejut Pangeran Muda melihat
kedatangan mereka. Pakaian mereka robek-robek, muka
mereka kotor dan bahkan babak-belur. Rupanya perkelahian
itu sungguh-sungguh keras. Teringat akan kemungkinan yang
lebih jelek, menjadi cemaslah Pangeran Muda. Dengan hati
tegang, Pangeran Muda menunggu kedatangan panakawanpanaka-
wan yang lain. Bukanlah tidak mungkin ada di antara
mereka yang nahas dan menderita luka-luka atau bahkan
tewas. Itu bukan tidak mungkin karena perkelahian antara
bangsawan muda sering terjadi dan korban jiwa bukanlah hal
yang aneh. Justru permusuhan antara keluarga-keluarga
bangsawan tertentu yang sukar didamaikan, bahkan oleh sang
Prabu, banyak yang disebabkan oleh perkelahian antara
pemuda-pemuda kepalang tanggung seperti itu.
Satu demi satu para panakawan datang. Ardalepalah yang
belum muncul. Dengan tegang dan tak ada lagi yang tertawa,
mereka menunggu Ardalepa. Akhirnya, muncul juga anak
muda itu, dan legalah hati Pangeran Muda. Seperti yang lain,
pakaian Ardalepa kotor dan cabik-cabik, sedang di beberapa
bagian mukanya terdapat luka-luka.
"Maaf, Pangeran Muda, saya harus mencari panah itu dulu
sebelum pulang," kata Ardalepa.
"Oh, Ardalepa, betapa lega saya melihat kau lagi," kata
Pangeran Muda. Akan tetapi, anak muda itu tidak tersenyum,
mungkin ia kesal akan tindakan para calon. Demikian juga
panakawan-panakawan yang lain tidak seramah seperti
semula. Mereka tetap melayani para calon seperti biasa, tetapi
senyum mereka tidak tampak lagi. Pangeran Muda mengerti
akan isi hati mereka dan bermaksud menerangkan Ardalepa,
mengapa mereka melarikan diri seperti kelompok pengecut.
KARENA terjadinya perkelahian itu, rencana mengunjungi
ayahanda Anggadipati diundurkan ke senja. Setelah bersiram
dan berpakaian pantas, dengan diiringkan oleh Ardalepa

pergilah Pangeran Muda ke arah istana. Mereka tidak
menunggang kuda walaupun jarak ke istana agak jauh karena
Pangeran Muda masih ingin melihat-lihat keadaan kota. Sambil
berjalan Pangeran Muda menjelaskan kepada Ardalepa,
mengapa para calon melarikan diri ketika ditantang berkelahi.
"Kami tidak percaya ketika Den Rangga menyatakan bahwa
Anom dan kawan-kawan akan melarikan diri. Kami menyangka
para calon bermain-main," kata Ardalepa. Pangeran Muda pun
menjelaskan bagaimana ia pernah mendapat hukuman karena
terlibat dalam perkelahian seperti itu.
"Barangkali kamilah yang bersalah," kata Ardalepa.
"Sebenarnya kami memang bermaksud melibatkan para calon
ke dalam perkelahian itu. Anom perlu tahu bahwa beberapa
lama berselang terjadi perkelahian sengit, hingga beberapa
orang terluka di kedua pihak. Kami bermaksud menghajar
mereka."
'Ardalepa, kami menyesal dengan apa yang telah terjadi.
Akan tetapi, ingin kukatakan kepadamu bahwa perkelahianperkelahian
yang kalian lakukan itu sia-sia sekali. Kau pun
perlu menyadari bahwa kami, para calon adalah orang-orang
yang tidak pernah berkelahi seperti itu sebelum kami dipanggil
ke Padepokan Tajimalela. Justru karena kami berlaku sebagai
anak-anak yang suka damai itulah, kami terpilih jadi caloncalon
puragabaya."
Sebelum Ardalepa mengemukakan pendapatnya tentang
hal itu, tiba-tiba dari suatu arah menderulah penunggang-penunggang
kuda dengan obor-obor dinyalakan besar-besar.
Orang-orang yang lalu lalang menepi karena kuda-kuda itu
dilarikan dengan kencang.
"Wah, itulah mereka!" seru Ardalepa sambil berlindung di
tempat yang agak gelap.
"Siapa?" tanya Pangeran Muda.
"Pemuda-pemuda utara!" kata Ardalepa setengah berbisik.
Sementara itu, pemuda-pemuda penunggang kuda tersebut
lewat sambil berteriak-teriak, menyerukan pembalasan
dendam.

"Seorang di antara mereka terluka parah," bisik Ardalepa.
Pangeran Muda mulai geram melihat tingkah-laku para
pemuda dan berita yang disampaikan oleh Ardalepa itu.
Dengan perasaan yang tidak terkendalikan, berkatalah
Pangeran Muda pada Ardalepa, "Sungguh-sungguh kalian ini
sia-sia. Kota seindah dan seagung ini kalian kotori dengan
tingkah laku yang menjijikkan. Ya, Sang Hiang Tunggal!
Setelah makan dan pakaian dicukupi, ternyata pemudapemuda
kepalang tanggung ini tidak tahu diri dan lebih rendah
kesopanannya daripada pemuda-pemuda tani di kampungkampung.
Ardalepa, kau harus tahu, betapa berat kami dididik
di Padepokan untuk keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan.
Akan tetapi, kalian yang seharusnya memanfaatkan
kesejahteraan ini untuk hal-hal yang baik ternyata hanya
mempergunakannya untuk berkelahi tanpa alasan!"
Sambil berkata demikian, Pangeran Muda memandang
tajam ke arah Ardalepa yang dianggapnya sebagai wakil dari
pemuda-pemuda bangsawan yang kepalang tanggung itu.
Akan tetapi, Ardalepa tidak melihatnya karena ia masih
memerhatikan lawan-lawannya yang lenyap di tikungan barat.
Setelah segalanya tenang kembali, mereka pun berjalan
lagi ke arah istana di bawah obor-obor jalan yang terang
benderang. Tak lama kemudian mereka pun tibalah di gerbang
istana yang keindahannya memukau Pangef an Muda. Setelah
Ardalepa melapor, seorang gulang-gulang mengantar mereka
ke sayap barat istana. Begitu pintu terbuka, Pangeran
Anggadipati dengan tersenyum menyambut tangan Pangeran
Muda yang diulurkan pada beliau.
"Aku cemas kau akan terlibat perkelahian lagi, anakku, lalu
dihukum lagi seperti dulu."
"Tidak mungkin, Ayahanda, walaupun hampir-hampir saja
kami terlibat lagi."
"Ya?" ujar Ayahanda sambil memperlihatkan
kepenasarannya.

Pangeran Muda tersenyum, kemudian menceritakan apa
yang terjadi sore itu. Ayahanda tertawa dengan gemhjra
mendengar kisah itu.
"Kau sudah pada tempatnya menjadi puragabaya, anakku.
Kau sekarang sudah dewasa, hingga penghinaan dan
tantangan orang dapat menjadi lelucon bagimu."
Sekarang Pangeran Mudalah yang penasaran. Ia bertanya
dengan sungguh-sungguh, "Sungguhkah demikian,
Ayahanda?"
"Ya, anakku. Jiwamu harus begitu matang, hingga kau
dapat membedakan mana ancaman sungguh-sungguh dan
mana yang hanya berupa lelucon yang sia-sia. Kalau kau
sudah demikian, secara rohani kau sudah menjadi seorang
puragabaya."
Mendengar keterangan itu teringatiah Pangeran Muda pada
Rangga yang suka lelucon. Timbullah rasa hormat kepada
kawannya itu.
Kemudian percakapan berkisar ke persoalan keluarga,
ketika Pangeran Muda menyampaikan berita-berita dari rumah
dan pesan-pesan dari Ibunda untuk Ayahanda. Selagi
menyampaikan berita dan pesan itu, ingin sekali Pangeran
Muda menceritakan tentang pengalamannya dengan Putri
Yuta Inten. Akan tetapi, lidahnya berat sekali untuk memulai
percakapan tentang hal itu. Pangeran Muda merasa ragu-ragu
dan malu untuk menyinggung masalah yang sangat bersifat
pribadi itu. Walaupun Ayahanda sebenarnya sudah biasa
memasalahkan persoalan yang bersifat pribadi seperti itu.
Akan tetapi, dorongan untuk mengemukakan isi hatinya
demikian besarnya, hingga pada suatu saat Pangeran Muda
hendak memulai berbicara tentang hal itu. Ketika kata-kata
pertama sedang dicarinya, tiba-tiba Pangeran Anggadipati
berkata dengan sungguh-sungguh.
"Anakku, sekali lagi ingin kusampaikan kepadamu pesan
seorang ayah sebelum kau pergi ke dunia luas dan
mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu sebagai
seorang laki-laki dewasa. Anakku, dalam setiap kelompok

masyarakat selalu terdapat dua golongan, pertama, yaitu
golongan yang memerintah dan kedua, melindungi dan
golongan yang mengabdi dan dilindungi. Mereka yang
berkewajiban untuk memerintah dan melindungi adalah
mereka yang bijaksana dan kuat, sedang yang mengabdi dan
dilindungi adalah mereka yang tidak mendapat kesempatan
untuk mendapat pendidikan yang baik dan lemah. Jadi, satu
golongan harus bekerja dan bertanggung jawab, yang lain
hanya bekerja saja. Di Pajajaran, golongan pendeta dan
bangsawanlah yang berkewajiban memerintah dan
melindungi, walaupun hal itu tidak berarti bahwa orang
kebanyakan tidak mendapat kesempatan seandainya mereka
bijaksana dan mampu mempergunakan senjata.
"Mengenai kedua golongan ini, hendaknya kau tidak salah
menilai. Kedua golongan ini tidak dimuliakan atau dihinakan
karena kedudukannya atau golongannya. Seorang bangsawan
hanya mulia kalau ia dapat memenuhi kewajibannya sebagai
pemerintah dan pelindung. Seorang bangsawan akan lebih
rendah martabatnya di mata Sang Hiang Tunggal kalau ia
kurang mampu menunaikan kewajibannya daripada seorang
kebanyakan yang pandai mengabdi. Nah, sebagai seorang
bangsawan, janganlah kau merasa berbeda dengan orang
kebanyakan. Tidak ada yang lebih mulia atau lebih hina dalam
golongan-golongan masyarakat di mata Sang Hiang Tunggal.
Bagi Sang Hiang Tunggal, yang mulia adalah mereka yang
dapat menunaikan tugasnya bagi sesama hidupnya. Apakah
dia seorang pendeta, bangsawan, rakyat, atau budak, tidaklah
jadi soal. Demikian juga hendaknya anggapanmu."
Waktu Pangeran Anggadipati berhenti berkata, Pangeran
Muda pun segera menyambut, "Hamba akan berusaha dan
sudah berusaha sebaik-baiknya menjalankan segala petunjuk
itu, Ayahanda. Sedang mengenai pendapat Ayahanda itu,
hamba telah melihat bukti-buktinya dengan mata kepala
sendiri. Sampai sekarang hamba sangat berutang budi kepada
seorang panakawan di Padepokan Tajimalela. Ia adalah orang
kebanyakan, tetapi kemampuan kesatriaannya tidak kalah oleh

para puragabaya, apalagi oleh para calon. Tangannya yang
kuat dengan mudah dapat melumpuhkan lawan."
"Mang Ogel?" seru Ayahanda.
"Mang Ogel, Ayahanda."
"Ayahanda sependapat denganmu, tentang Mang Ogel.
Jadi, kau telah mengerti apa yang kumaksudkan, anakku.
Sekarang tentang penugasanmu, tentu Geger Malela telah
menerangkan kepadamu. Anakku, aku pun kurang mengenal
daerah itu, tetapi sebagai orangtua ingin kuperingatkan
kepadamu. Titipkanlah dirimu kepada mereka yang lebih tinggi
kedudukan dan kesatriaannya daripada dirimu, dan
bersedialah kau menjadi pelindung dan pemberi bagi mereka
yang membutuhkanmu. Ingatlah selalu bahwa hidup seorang
bangsawan adalah mengabdi dan kemuliaan seorang
bangsawan tergantung pada pengabdiannya. Seorang
bangsawan mungkin disembah-sembah oleh masyarakat yang
ada di hadapannya, tetapi kalau ia tidak dapat memenuhi
tuntutan pengabdiannya sebagai seorang bangsawan,
masyarakat akan meludah di belakangnya. Ingatlah itu, dan
camkan bahwa pengabdian selalu berarti pengorbanan. Setiap
kali kau menderita, setiap kali kau menghadapi kesukaran
ingadah bahwa engkau adalah seorang bangsawan, dan
penderitaan serta kesukaran-kesukaran adalah akibat dari
kebangsawananmu itu."
"Baiklah, Ayahanda."
"Nah, sekarang marilah kita bertemu dengan Rangga Wesi,
mudah-mudahan ia sudah berada di istana," ujar Pangeran
Anggadipati.
"Oh, ingin sekali hamba bertemu dengan Kakanda Rangga
Wesi," ujar Pangeran Muda dengan gembira.
"Kau pun mungkin dapat bertemu dengan Putra Mahkota,
anakku, karena Rangga Wesi adalah sahabat karibnya dan
kawan sependidikan Putra Mahkota," lanjut Ayahanda.
Maka mereka pun meninggalkan ruangan sayap barat
istana kemudian berjalan melalui lorong-lorong yang besar,
yang ruangan-ruangan di kanan-kirinya besar-besar dan

dihiasi dengan ukiran-ukiran serta warna-warna yang indah.
Pangeran Muda berkata dalam hati: Barangkali demikianlah
tempat tinggal para bujangga dan pohaci di Buana Padang!
Beberapa kali mereka bertemu dengan bangsawanbangsawan
tinggi dan berulang-ulang Pangeran Anggadipati
memperkenalkan putranya kepada bangsawan itu. Mereka
umumnya ramah tamah kepada Pangeran Muda, apalagi
mereka yang telah berkunjung ke Puri Anggadipati dan
mengenal Pangeran Muda. Di samping itu, Pangeran Muda
pun bertemu pula dengan beberapa orang puragabaya yang
bergaul dan sukar dibedakan dari para bangsawan tinggi itu
kecuali karena pakaiannya yang putih seperti pendeta dan ikat
pinggangnya yang keemasan. Mereka ini pun sangat ramah
kepadanya dan bahkan seorang di antara mereka berkata,
"Anom, orang-orang tua harus segera diganti, mereka sudah
ingin sekali hidup di tempat kelahirannya sambil menikmati
masa tuanya. Di samping itu, sebentar lagi Putra Mahkota
dinobatkan, tidak pantas kalau pengawal-pengawal beliau
berambut putih."
"Mudah-mudahan kami dapat menunaikan tugas dengan
baik hingga sang Prabu berkenan kami tinggal di istana yang
mulia ini," ujar Pangeran Muda.
Tak lama kemudian tibalah mereka di suatu ruangan besar
yang lain. Di sana terdapat bangsawan-bangsawan muda yang
sedang tekun membaca berpeti-peti lontar. Begitu mereka
memasuki ruangan, seorang pemuda yang sangat tampan dan
kira-kira tiga tahun lebih tua dari Pangeran Muda bangkit lalu
menjemput mereka.
"Anakku Rangga Wesi, ini adikmu," kata Pangeran
Anggadipati bangga memperkenalkan putranya kepada calon
menantunya.
"Adikku!" kata bangsawan muda itu sambil merangkul
Pangeran Muda dengan mesra.
"Kakanda!" kata Pangeran Muda dengan rasa kasih sayang
yang tiba-tiba tergugah kepada orang yang baru dikenal dan
ditemuinya itu. Bagaimanapun juga bangsawan muda yang

ternyata calon iparnya itu adalah seorang bangsawan yang
sangat halus perangainya. Dalam sekejap saja Pangeran Muda
telah dapat menetapkan, bangsawan-bangsawan muda
macam inilah yang kemudian hari pantas menjadi pengusung
kerajaan di pundak mereka. Rangga Wesi adalah seorang
pangeran yang halus, tekun, penuh rasa pengabdian, setia.
Alangkah jauh tingkah laku dan tutur katanya dari bangsawanbangsawan
muda seperti Raden Bagus Wiratanu atau
bangsawan-bangsawan muda berandalan yang menghadang
rombongannya di bagian utara.
Sementara Pangeran Muda bercakap-cakap sambil
merenungkan pengalaman-pengalaman baru dan
pengalaman-pengalaman lamanya, Ayahanda minta diri
dahulu untuk berbincang-bincang dengan bangsawanbangsawan
sejawatnya. Pangeran Muda pun berjalanlah ke
ruangan khusus, untuk berbicara berdua dengan Pangeran
Rangga Wesi. Di ruangan itu berkatalah Pangeran Rangga
Wesi, "Sayang Kakanda tidak dapat menyertai Putra Mahkota
waktu beliau berkunjung ke Padepokan Tajimalela, jadi baru
sekarang kita dapat bertemu. Kakanda diberi tahu oleh
Ayahanda, bahwa kau akan ditugaskan di Galuh."
"Ya, Kakanda. Itulah sebabnya pertemuan kita kali ini
sangat penting. Pertama, karena untuk pertama kali; dan
kedua, karena hamba akan pergi jauh, entah untuk berapa
lama. Seandainya tidak ada Kakanda, hamba akan sangat
risau meninggalkan Ayahanda, Ibunda, dan Ayunda. Akan
tetapi, sekarang hamba dapat menitipkan mereka kepada
Kakanda."
Ketika Pangeran Muda berbicara demikian, nada sedih
terdengar pada kata-katanya. Pangeran Rangga Wesi
menatapnya dan sambil memegang pundak Pangeran Muda ia
berkata, "Saya mencintai keluargamu seperti mencintai
keluarga sendiri, janganlah berkecil hati. Justru kami semua
mencemaskan dikau, Adinda. Galuh berbatasan dengan
kerajaan lain, daerah itu adalah daerah yang tidak pernah
aman. Dan kalau pertikaian sewaktu-waktu meletus, di

Galuhlah pertempuran pertama-tama akan terjadi. Kamilah
yang cemas, sedang engkau tidaklah usah cemas benar.
Percayalah kepadaku," kata Pangeran Rangga Wesi sambil
memandang terus kepada Pangeran Muda yang tampak
murung.
Akhirnya, Pangeran Rangga Wesi yang ternyata sangat
halus perasaannya berkata dengan hati-hati dan ragu-ragu,
"Adinda, adakah orang lain yang ingin kautitipkan kepadaku
misalnya, misalnya ... seorang putri?"
Pangeran Muda tidak segera menjawab, tetapi segala
kerisauan yang selama ini dipendamnya sendiri seolah-olah
mendapat kesempatan untuk dicurahkan kepada orang yang
dapat dipercayainya. Walaupun malu-malu, kesempatan itu
terlalu baik untuk disia-siakan. Maka berkatalah Pangeran
Muda, "Ternyata Kakanda sangat memahami. Hamba ingin
menitipkan seorang putri yang tidak dapat hamba titipkan
kepada orang lain oleh karena suatu hal dan lainnya."
"Siapakah putri itu, Adinda, janganlah ragu-ragu."
Pangeran Muda menerangkan tentang hubungannya
dengan Putri Yuta Inten yang karena masih terlalu pagi untuk
diketahui oleh orangtua kedua belah pihak, menjadi sumber
kerisauannya. Oleh Pangeran Muda dijelaskan, mereka baru
mengetahui bahwa mereka saling mencintai sejak lima hari
yang lalu. Sebelum mereka sempat mengukuhkan ikatanikatan
hati secara lebih erat, Pangeran Muda sudah harus
bertugas. Itulah sebabnya selama ini Pangeran Muda sangat
risau.
"Adinda," ujar Pangeran Rangga Wesi, "tenteramkanlah
hatimu, segalanya akan kuurus sebaik-baiknya. Pergilah ke
Galuh dengan hati yang teguh, kuusahakan untuk
menyampaikan berita-berita dari Medang kepadamu. Di
samping itu, akan kuusahakan agar Kakanda dengan Ayunda
bertemu dengan Putri Yuta Inten."
"Terima kasih, Kakanda. Akan tetapi, ada suatu hal yang
mungkin akan sangat menyusahkan Kakanda. Terutama
mengenai berita-berita dari Medang, hamba beranggapan

berita-berita itu hanya dapat disampaikan secara beranting.
Untuk mencapai Galuh langsung dari Medang adalah suatu hal
yang tidak mungkin karena jauhnya. Dengan demikian, hamba
memohon kepada Kakanda agar Kakanda dapat menerima
berita-berita dari Medang, kemudian menyampaikannya ke
Galuh dan sebaliknya. Apakah itu tidak terlalu menyusahkan,

Kakanda?"

0 komentar:

Posting Komentar

 
;