Sabtu, 17 Mei 2014

wisanggeni 3

Hari itu setelah kejadian di reruntuhan rumah tua, Padeksa
menyerahkan Wisang Geni kepada Manjangan Puguh untuk
menyempurnakan ilmu andalan Merapi, pukulan Bang Bang
Alum Alum dan ilmu ringan tubuh Waringin Sungsang.
”Geni, ada dua murid kakang Bergawayang selamat, namun
entah berada di mana sekarang. Lembu Agra, tak mungkin
mencapai kesempurnaan ilmu silat lantaran cedera tenaga
dalam. Walang Wulan, ia seorang wanita sehingga
kemajuannya terbatas. Mereka adalah adik perguruan ayah
ibumu Dibanding keduanya, kamu calon paling kuat untuk

menjadi ketua Lemah Tulis. Tapi kamu harus berlatih keras.
Ingat kamu harus temukan rahasia Kinanti Prasidha yang
berada di tangan keturunan Nyi Ageng Kili Suci, kamu gabung
dengan tujuh jurus Garudamukha Prasidha yang kuajarkan,
maka Garudamukha Prasidha akan sempurna dan menjadi
jurus dahsyat, jurus yang menjadi pusaka perguruan kita.
Kamu cari dan temukan pusaka itu!”
Padeksa sebenarnya adalah kakek guru bagi Wisang Geni
namun belakangan justru menjadi guru Orangtua Geni, Gajah
Kuning dan Sukesih, murid Bergawa yakni kakak perguruan
Padeksa. Duapuluh lima tahun lalu, setelah menyelamatkan
Geni dari kepungan pasukan Tumapel, Puguh menyerahkan
Geni untuk dididik Padeksa. Itu sebab Geni terbiasa
memanggil Padeksa dengan kakek meski terkadang
menyebutnya guru Jika melihat hubungan lewat orangtuanya,
Geni memang pantas memanggil kakek guru Tapi jika melihat
bahwa selama duapuluh lima tahun Padeksa mengajarinya
ilmu silat, maka Geni boleh saja memanggil guru
”Kakek, kau sudah seperti kakek sungguhan yang
memelihara aku sejak kecil, kamu juga guruku, maka sudah
kewajibanku melayani dan meladenimu Setelah selesai berlatih
dengan guru Puguh aku akan mencarimu Tetapi guru, kamu
kan masih ketua Lemah Tulis, kenapa harus mencari ketua
lain.”
”Aku hanya ketua sementara, itu peraturan perguruan kita
bahwa ketua hanya diturunkan dalam setiap generasi. Setelah
Bergawa dan aku, maka generasi berikut adalah generasi
kamu, Agra dan Wulan. Tapi sudah kukatakan tadi, kamu yang
paling berbakat, cerdas dan memang sudah dipersiapkan sejak
kecil oleh orangtua dan paman-pamanmu Hanya kamu harus
berjuang dan berlatih keras untuk jabatan terhormat itu.”
Wisang Geni merunduk. Malu-malu dia berkata lirih, ”Aku
belum tahu banyak asal-usul perguruan kita juga perihal
Eyang Sepuh Suryajagad dan Nyi Ageng Kili Suci, siapa

mereka?” dia melanjutkan. Garudamukha Prasidha itu apakah
sedemikian hebatnya sehingga menjadi ilmu pusaka
perguruan kita. Kek, cerita guru Puguh tentang pertarungan
Eyang Sepuh Suryajagad di Ganter itu, tentu beliau
menggunakan jurus Prasidha.”
”Benar. Itu sebab sangat penting untuk menemukan
separuh Prasidha itu, sebab tanpa jurus Garudamukha
Prasidha yang utuh sempurna sulit bag; kamu menjadi
pendekar utama dan mengangkat kembali nama dan citra
Lemah Tulis. Pergilah Geni, jangan ragu, lelaki sejati hanya
punya satu tujuan hidup. Pandanganmu harus ke depan,
jangan melihat belakang, jangan melihat samping, tetapi
pandang ke depan, di situ tujuanmu ke situ kamu pergi
Pergilah, gurumu Puguh sudah menantimu di luar. Ada satu
yang penting, sekarang ini jangan mengaku murid Lemah
Tulis, sebab banyak musuh, aku yakin suatu waktu nanti kita
semua akan bangga sebagai murid Lemah Tulis saat di mana
kita sudah memiliki seorang ketua yang ilmu silatnya disegani
banyak orang. Sekarang pergilah.”
---ooo0dw0ooo---
Daerah belahan Timur di kaki gunung Arjuno jarang
dikunjungi orang. Hutannya rapat padat dengan pepohonan
yang menjulang tinggi. Pagi itu udara masih dingin. Kabut pun
masih tebal. Suasana sunyi dan sepi. Hanya terdengar suara
kicau burung dan gemuruh air terjun. Air terjun mencurah dari
tempat yang cukup tinggi dan terjal. Curah air itu bagai
tonggak langit, membentuk sungai yang airnya mengalir
deras. Uap air menutupi pemandangan di sekitar air terjun,
sehingga tidak terlihat adanya seorang lelaki sedang berlatih
silat di pusaran air terjun. Dia Wisang Geni.
Geni bergerak lincah berloncatan di bebatuan. Sekali-sekali
ia menerjang curah air yang bagaikan tembok tebal
Menerobos tirai air yang deras, sepertinya ia tak mengalami
kesulitan. Padahal air yang terjun dari tebing puluhan tombak

tingginya tentu sangat dahsyat kekuatannya. Ia berlatih
seharian. Ketika matahari sudah bergeser ke Barat, senja
semakin mendekat, Geni melompat ke sebuah batu Ia semedi
di tengah uap air yang tebal, basah kuyup. Ia bertelanjang
dada, hanya mengenakan celana sebatas lutut.
Setelah berpisah dari Padeksa, Manjangan Puguh
membawa Geni berlatih di air terjun. Satu minggu ia
mengajarkan ilmunya, Puguh kemudian meninggalkan Geni.
"Kamu tinggal membiasakan jurus-jurus itu menyatu dengan
gerakanmu Paling tidak kamu harus berlatih satu bulan lagi di
sini. Dan aku tidak bisa menemanimu terus, aku harus pergi
mencari Eyang Sepuh Suryajagad dan keturunan Nyi Ageng
Kili Suci, jika ketemu, aku akan membawa kamuke sana.
Sekarang kamu berlatih saja, setelah satu bulan berlatih,
kamu boleh pergi mengembara ke mana kamu mau. Tetapi
ingat pesan kakekmu Padeksa, jangan memperkenalkan
dirimu sebagai murid Lemah Tulis."
Batas waktu satu bulan yang diberikan Manjangan Puguh
malah menantang Geni untuk menambah waktu latihannya.
Dua bulan Geni berdiam di kaki gunung Arjuno. Meskipun
tidak sehebat gurunya, tetapi Geni sudah menguasai ilmu
ringan tubuh yang tidak ada duanya di kolong langit Waringin
Sungsang dan jurus tangan kosong Bang Bang Alum Alum.
Ilmu andalan Manjangan Puguh, yang ditenmanya dari guru
Sagotra, pendekar dari gunung Merapi.
Setelah semedi, Geni bangkit lagi meneruskan lalihaiuiya.
Ia tidak melihat kehadiran seorang gadis di tepi sungai.
Gadis itu melangkah santai di tepi sungai. Ia duduk di
sebuah batu di pinggir sungai Kakinya dijulurkan ke dalam air.
Ia menjerit kecil, dinginnya air terasa nikmat. Ia berdiri sambil
merentang tangan, menengadah memandang air terjun dan
menikmati pemandangan indah di sekelilingnya. Ia tidak
melihat Geni yang berada di dalam kumpulan uap air yang
tebal.

Gadis itu masih berdiri di batu di tepi sungai merasakan
sejuknya angin pegunungan. Wajahnya yang cantik basah
dielus angin sepoi yang membawa serta uap air. Hidungnya
yang bangir kembang kempis menghirup nafas panjang
seakan hendak menelan semua udara basah itu ke dalam
parunya. Udara itu dihembuskan dari mulurnya yang indah
berbentuk gondewa. Lehernya yang jenjang tertutup rambut
yang basah yang terjulai sampai di pundaknya. Ia seorang
gadis muda usia sekitar duapuluh tahun, jangkung dengan
kaki langsing dan agak panjang. Tubuhnya kuning sawo,
tampak langsing, sintal dan berisi. Ia benar-benar cantik
alamiah.
Tak ada suara lain kecuali gemuruh air terjun dan suara
binatang dari hutan sekitar. Mendadak terdengar suara
tertawa keras diikuti kesiuran angin. Sosok bayangan bergerak
pesat. Bagai turun dari langit seorang lelaki sudah berdiri di
depan si gadis. Ia kurus, kepalanya botak. Kumis dan
cambangnya lebat. Sikapnya kurang ajar. Matanya jelalatan
menelusuri sekujur tubuh si gadis.
"Wong ayu, wong ayu, sudah lama kubuntuti kamu Nah
sekarang hanya kita berdua di tempat sunyi dan sepi ini.
Bagaimana dengan lamaranku tempo hari, kamu jangan malumalu,
apalagi di sini kan tak ada orang, kangmas ini sudah tak
sanggup menahan rindu."
Si gadis terkejut sesaat. Tetapi bagai tersentak ia lantas
menyerang gencar. Dua jurus berturutan dilepasnya. "Bangsat
keparat busuk, rupanya kamu belum mati waktu itu. Hari ini
kubikin kamu menyesali hidupmu, matilah kamu bangsat!" Ia
menyerang dengan serentetan pukulan dan tendangan yang
mendatangkan angin keras pertanda besarnya tenaga yang
digunakan.
Lelaki brewok itu tertawa. "Ajal belum mau mencabut
nyawaku, wong ayu. Dewa maut itu berkata, ia baru akan
mencabut nyawaku setelah aku mengawini kamu yang cantik

dan montok. Sekarang saatnya aku mengawini dan menikmati
tubuhmu, wong ayu"
Gadis itu tidak meladeni omongan lawan. Ia terus
mencecer dengan serangan dahsyat. Tetapi lelaki brewok itu
berkelit lincah meskipun batu besar tempat ia berpijak, licin
dan berlumut. Lelaki itu juga tak bisa berbuat banyak. Tampak
ilmu silat keduanya imbang. Si gadis lebih unggul dalam
ringan tubuh, namun masih kalah dalam tenaga pukulan.
"Tak usah heran wong ayu, sekarang ilmu silat kangmasmu
ini, Kalamasura, makin maju. Sengaja aku memperdalam
ilmu dari Romo Guru, supaya sebagai suami aku bisa meladeni
kemauanmu tiap malam, iya kan wong ayu"
Tigapuluh jurus berlalu. Perkelahian berlanjut ke dekat air
terjun, namun masih di tepi sungai Keduanya basah kuyup,
kecipratan uap air. Baju si gadis basah nempel ketat di tubuh
memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Lelaki itu
semakin terangsang. "Hai wong ayu, setahun kita berpisah,
ternyata kamu semakin montok, setahun aku kasmaran
memikirkan kamu, sekarang aku harus memiliki kamu Harus!
Oh wong ayu, aku makin kasmaran."
Dua kali tamparan menerpa bahu dan pundak Kalamasura
membuatnya meringis kesakitan. Mendadak ia mengubah
jurus silatnya, "Wong ayu, sudah cukup kita main-main."
Berkata demikian ia menyambut pukulan si gadis dengan
kepalan. Kalah tenaga dalam, si gadis tak mau adu pukulan. Ia
mengubah jurus, kepalan berubah menjadi telapak tangan
terbuka. Ia niat menampar pergelangan tangan lawan. Tibatiba
si gadis melihat sinar gemerlap di tangan Kalamasura
Paku yang berkilat oleh matahari senja. Jarak sudah terlampau
dekat, ia sulit menghindar.
Si gadis dengan cerdik dan sebat menggerakkan
pergelangan tangan ke bawah lalu ke atas, niat menyampok
tangan lawan. Kalamasura licik, ia sudah memikirkan

perangkap ini. Ia membiarkan gerakan si gadis. Saat yang
tepat ia menggentak telapak tangannya, dua paku melayang
secepat kilat. Gadis itu tak pernah mengira lawan akan
menyambit dengan paku. Ia mengelak, tetapi terlambat. Satu
paku lolos, satu lainnya nancap di dada dekat pundak.
Kalamasura berteriak girang, "Kena kamu wong ayu, dan
ini paku berikutnya supaya kamu tak bisa lari." Tiga paku
melayang ke arah kaki. Si gadis mengelak dengan gerak tubuh
limbung. Dua lolos, satu lainnya nancap di paha.
"Tak usah takut wong ayu, itu memang paku racun labalaba,
tapi kangmas punya pemunahnya Tanpa obat pemunah
kamu akan mati dalam waktu satu hari. Sekarang, menyerah
saja. Memang tidak enak mengawini orang pingsan, tetapi apa
boleh buat daripada membiarkan kamu lolos lagi."
Gadis itu merasa gerak kakinya agak kaku, rupanya racun
sudali mulai bekerja. Sungguh cepat sekali proses kerja racun
itu. Gadis berpikir lebih baik mati daripada diperkosa. "Aku
adu jiwa denganmu, lebih baik aku mati, kamu bangsat
biadab." Sambil berkata ia melancarkan dua jurus menyerang
tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Tujuannya cuma satu,
membunuh lelaki bernama Kalamasura itu. "Lebih baik mati
daripada ternoda," gumamnya.
Meski ilmunya setingkat, mau tak mau Kalamasura terdesak
hebat. Ia cuma bisa menangkis. Dua pukulan menghantam
telak dadanya Terasa gejolak darah, rasanya mual. Ia tahu ia
terluka dalam. Sebenarnya tak semudah itu ia terluka
Keduanya imbang, si gadis sudah terluka kena paku beracun
namun dengan serangan nekad justru kekuatannya berlipat.
Di lain pihak Kalamasura tarung setengah hati, tak mau
menurunkan tangan maut. Lelaki brewok ini terhuyung
limbung. Dadanya sakit, nafas sesak. Tapi ia tersenyum,
dilihatnya si gadis ikut terhuyung sempoyongan. Racun sudah
bekerja. "Ia segera akan jatuh tak berdaya," gumam
Kalamasura dengan menahan sakit di dadanya.

Racun sudah bekerja. Gadis itu merasa pusing.
Pandangannya berputar dan kabur. Ia menggigit bibirnya,
"Aku tak boleh pingsan, aku harus tetap sadar."
Pada saat kritis bagi si gadis, mendadak sebuah bayangan
masuk pertarungan. "Laki-laki pengecut. Tidak pantas
bertarung dengan perempuan, menggunakan cara
membokong." Tanpa basa-basi Wisang Geni melancarkan
jurus Gora Andaka (Banteng Besar Hamuk) dari Bang Bang
Alum Alumyang sudah sempurna ia kuasai.
Hebat! Kalamasarura yang sudah terluka, kaget setengah
mati, dia berupaya menangkis serangan Geni. Tetapi sia-sia,
pukulan Geni menerpa bahunya. Ia kaget. Belum sempat ia
bebenah diri, jurus susulan Geni Nyakra Manggilingan (Selalu
Berputar Bagai Kincir) telak menghajar perut dan lengannya.
Kalamasura muntah darah! Seketika nyalinya terbang. Gila!
Hanya dalam dua jurus ia dihajar tanpa sempat membela diri.
Lawan ini bisa membunuhnya. Ia tak berpikir dua kali lagi, ia
kabur secepatnya.
Ada alasan mengapa Geni begitu cepat memetik hasil,
hanya dua jurus, Kalamasura langsung terluka dan kabur.
Pertama, Kalamasura sudah terluka oleh pukulan si gadis.
Kedua, Geni menyerang ganas tanpa memberi kesempatan.
Ketiga, hebatnya jurus Bang Bang Alum Alum yang baru
selesai ia kuasai.
Wisang Geni terpesona akan ilmunya tadi. Ia baru pertama
kali menggunakan jurus ciptaan pendekar Merapi dan hasilnya
sungguh luar biasa. Dari gerakannya bisa diukur bahwa
lawannya tadi bukan sembarang orang namun toh bisa ia lukai
dalam dua jurus. Saat itu Geni melihat si gadis sempoyongan.
Sebelum terjungkal ke dalam sungai, Geni sigap menangkap
lengannya.
Mendadak gadis itu menyerangnya dengan pukulan ganas,
mengarah mata. Geni terkesiap, sama sekali tak menduga

akan diserang. Untung saja keracunan membuat pukulan si
gadis tak bertenaga. Geni menangkis dengan tenaga ringan,
takut si gadis terluka.
Si gadis sempoyongan. Pingsan. Geni meraih pinggangnya,
mendudukkannya di atas batu dengan hati-hati Ia menotok
beberapa titik jalan darah di punggung dan leher. Gadis itu
sadar. Ia berontak. Geni berkata lirih. "Nona, kamu tenang,
aku bukan musuhmu, musuhmu yang tadi sudah kuusir pergi."
Gadis itu masih mengigau, "Aku tak mau pingsan."
Geni menjawab sambil menyalurkan tenaga dalam ke
punggungnya. "Iya, kamu tak boleh pingsan, aku akan
membantumu dengan tenaga dalam"
Kesadaran si gadis mulai pulih. Ia mengerti bahwa orang
yang berada di belakangnya sedang menolongnya.
Kalamasura sudah pergi. Mendadak ia merasa perutnya mual,
pusingnya makin memabukkan. Ia ingat terkena serangan
paku Kalamasura "Aku, aku kena senjata rahasia paku
beracun, katanya racun laba-laba."
Geni terkejut. Ia melompat ke depan si gadis. "Di mana ?"
Gadis itu melihat samar-samar seorang lelaki yang tidak
dikenalnya. Ia menunjuk dada dan pahanya. Ia sudah
setengah sadar. Bibirnya pucat agak membiru Di bawah
pelupuk matanya, agak gelap.
Memegang nadi dan memandang mata si gadis, sekejap
saja, Geni mengenal racun yang menyerang si gadis adalah
racun ganas. "Ulurkan dua tanganmu" Katanya dalam nada
memerintah. Gadis itu mengikuti perintahnya. Tanpa
membuang waktu lagi Geni segera mengempos tenaga
dalamnya. Tangannya bergetar penuh tenaga menempel
tangan si gadis. Mereka duduk berhadapan di atas batu besar
dekat air terjun. Keduanya saling menatap. Lalu Geni
memejamkan mata

Gadis itu merasa tenaga yang hangat menerobos
tangannya. Tenaga itu berputar dan menyelusur seluruh
tubuhnya. Tadi agak pusing kini ia merasa lebih baik. Tadi dia
sangat berkeinginan untuk tidur, kini rasa kantuknya perlahanlahan
lenyap. Ia melihat darahnya yang warnanya hitam
merembes keluar dari lukanya. Tidak lama kemudian senjata
semacam paku meloncat keluar dari luka di dadanya. Agak
lama kemudian satu paku lagi terlempar keluar dari luka di
pahanya. Diam-diam dia memuji hebatnya tenaga dalam lakilaki
penolong ini.
Gadis itu meneliti pemuda di hadapannya. Lelaki itu basah
kuyup. Ia bertelanjang dada, tampak bulu dadanya yang
lebat. Wajahnya penuh keringat bercampur air sungai. Hidung
besar agak bangir. Mulurnya lebar, bibirnya tipis. Tanda ia
punya semangat tinggi dan agak kejam. Rambut setengah
keriting, gondrong sampai leher. Alisnya tebal. Secara
keseluruhan ia tidak tergolong tampan, tetapi punya daya
tarik. Dan dengan tubuhnya yang kekar atletis, justru lebih
nampak jantan.
Geni membuka mata, si gadis menangkap seberkas sinar
tajam. Ada kilatan yang membuat si gadis bergidik. "Orang ini
kejam," pikirnya. Sesaat kemudian sinar mata itu kembali
ramah dan penuh kedamaian. Ia mengubah penilaian dalam
hatinya tadi, "Pemuda ini baik dan luhur budi". Tanpa terasa
gadis itu merasa suka, "Terimakasih, pendekar, kamu telah
menolong aku," katanya.
"Tunggu dulu, nona, kau belum sembuh Racun masih
mengeram dalam tubuhmu, berbahaya. Racun segera
mengganas lagi jika tidak cepat ditolong, tetapi... bagaimana
ya."
"Kenapa? Katakan saja, aku tidak takut mati, tadi memang
aku takut, aku takut diperkosa lelaki bejat itu. Kalau mati, aku
tidak takut mati"

"Bukan mati, tetapi kamu bisa lumpuh. Racun itu ganas,
harus dikeluarkan dari tubuhmu, setelah itu kamu minum obat
untuk membersihkan darahmu"
"Bagaimana mengobatinya, apakah kamu bisa? Apakah
kamu punya obatnya?" Saat itu si gadis merasa perutnya
mual, "Aku mual, rasanya mau muntah." Saat berikutnya ia
muntah. Lendir mengandung sedikit darah.
Geni merasa serba salah. "Racun mulai mengganas. Aku
bisa menolongmu, aku murid seorang ahli pengobatan,
tetapi..."
Gadis itu semakin bingung. "Katakan, apakah ada syarat
untuk pertolonganmu? Katakan!"
Wajah Geni memerah, agak tersinggung. "Kamu salah,
nona. Aku menolongmu karena kebetulan ingin menolong, itu
saja. Aku tidak minta apa-apa sebagai imbalan, tetapi aku
khawatir kamu salah sangka. Soalnya aku harus mengisap
darah dari luka kamu, dan luka itu ada di paha dan dada"
Waktu menyebut paha dan dada, suara Gali rnenjadi lirih.
"Tetapi kalau tidak ditolong, kamu bisa lumpuh atau mati."
Wajah gadis ini memerah. Malu. Ia baru tahu mengapa
pemuda itu kikuk. Lukanya tepat di perbatasan payudara dan
bahu, untuk mengisap luka artinya pemuda itu harus meraba
dan melihat buah dadanya. Luka di paha tempatnya sejengkal
di atas lutut. Ini juga daerah tersembunyi dari kaum wanita. Ia
berpikir, "Jika lelaki ini tidak datang menolong tentu aku sudah
diperkosa Kalamasura, dan sudah tentu harganya jauh
lebihmahal dibanding harus mati. Tetapi memperlihatkan
bagian tubuh, itu juga perkara besar, aku bisa malu setiap
ketemu dia."
Mendadak suara Geni terdengar tegas. "Cepat ambil
keputusan nona, terlambat sedikit saja, akan semakin sulit
menolongmu"
"Keputusan apa?"

"Mau ditolong atau tidak?"
"Mau, aku mau ditolong."
"Tetapi aku harus mengisap lukamu, tidak ada jalan lain."
"Kalau begitu kerjakan cepat." Gadis itu menutup mata.
Geni berkata, "Maaf, aku harus membopongmu ke bawah
pohon." Ia menyambar tubuh si gadis, melarikanke tepi hutan.
Senja sudah mulai beralih ke malam. Gadis itu bersandar di
pangkal pohon, tangannya meraba baju di bagian dada,
merobeknya sedikit, Ia menunjuk tempat luka di dadanya,
"Lakukan, tepat di sini lukanya."
Geni menoreh luka dengan keris milik si gadis. Tangannya
gemetar memegang bagian dekat buah dada, menempelkan
mulutnya ke bagian yang terluka kemudian mengisap
darahnya. Aroma keringat tubuh gadis itu dan bentuk buah
dadanya yang montok kencang membuat perasaan Geni
menjadi tidak karuan. Geni memantapkan pikirannya,
mengisap dan menyemburkan darah warna hitam dan bau
bacin. Dia lakukan itu berulang kali sampai darah beracun itu
lenyap berganti darah merah normal. Geni memegang tangan
si gadis, "Kau pijat dan urut di bagian ini, supaya sisa-sisa
racun keluar semuanya."
Gadis itu memejam mata. "Lakukan sendiri, kamu lebih
tahu caranya, toh kamu sudah melihat semuanya, buat apa
aku harus malu-malu lagi. Lakukan saja, eh siapa namamu
pendekar."
Geni tanpa sadar menjawab, "Ambara." Geni saat itu
sedang menahan gelora birahinya. Ia menyebut asal sebut.
Ambara, artinya angkasa. "Aku sedang melayang di angkasa,
memegang dan mengurut luka di bagian buah dada yang
kenyal ini," katanya dalam hati.
Gadis itu sedang memejam mata. "Namaku Sari." Ia
berdiam Nafasnya mulai terasa panas. Sari mulai terangsang

birahi Ia berusaha memikirkan hal lain untuk mengalihkan
pikiran. Tiba-tiba Geni berbisik, "Sudah selesai, kamu tunggu
di sini, aku mencari rumput obat, sebelum hari gelap."
Sari melihat lelaki itu pergi. Hari memang sudah hampir
gelap. Tak lama lagi malam akan tiba. Sari memejamkan
mata. Bagian paling sulit telah dilaluinya. Ia masih merasa
mukanya panas, nafasnya juga panas. Dadanya bergemuruh.
Jantungnya berdegup kencang. Ia masih membayangkan
wajah pemuda penolong itu. "Namanya Ambara, orangnya
lugu, tidak tampan, tetapi kelihatan jantan, perkasa." Tanpa
sadar Sari meraba lukanya, seakan mulut yang panas itu
masih menempel di situ dan tangan itu masih menekan buah
dadanya.
Dia mencoba mengusir wajah Ambara dengan
menghadirkan wajah pria lain, wajah seorang lelaki berusia
limapuluhan. "Kangmas Agra, di mana kamu sekarang, apakah
kamu tidak rindu kepada adikmu ini?" bisiknya dalam hati.
Tetapi sia-sia, sesaat kemudian wajah Wisang Geni hadir
kembali mengusir wajah lelaki tadi. Sari menggumam "Untung
saja tadi aku belum nyebur mandi, kalau tidak, wuah apa
jadinya."
Tiba-tiba saja ia teringat seseorang, muncul wajah lelaki
botak, brewok dan berkumis lebat. Kalamasura! Tanpa sadar
ia berseru "Laki-laki bejat, aku akan mencarimu, kamu harus
membayar perbuatanmu Tak ada ampun, aku akan
menggunakan segala macam cara untuk membunuhmu" Ia
bicara sendiri untuk mengusir bayangan Geni.
Tak sampai sepenanakan nasi, saat malam sudah mulai
gelap, Wisang Geni muncul. "Aku agak sulit menemukan
rumput yang dua jenis, tetapi untunglah masih bisa
kutemukan. Ini kamu kunyah, airnya kautelan, ampasnya
kamu balur di luka. Sekarang aku akan mengisap luka di
pahamu"

Tanpa disengaja dua pasang mata saling menatap. Hutan
sudah mulai gelap namun keduanya merasa rikuh, jantung
berdegup kencang. Ada perasaan tersembunyiyang dirasakan
keduanya. Geni mengalihkan bicara, "Aku akan mengobati
luka di pahamu"
Berkata demikian, ia merobek celana di batas paha,
mengisap lukanya. Seperti cara mengobati luka di dada,
setelah menyedot darah beracun, ia melabur dengan obat
dedaunan. "Ki Ambara, kau mahir dalam ilmu pengobatan dan
juga ilmu silat, tentu guiumu bukan sembarang orang. Dia
pasti pendekar bernama besar."
Geni merasa gugup. Ia masih terpesona setelah memegang
paha mulus yang kenyal berotot. Ia berupaya mengendalikan
birahinya. "Iya," jawabnya sembarangan.
"Siapa nama gurumu yang hebat, kalau aku boleh tahu."
Tanpa sadar Sari membekap mulutnya. Ia merasa kelepasan
bertanya. Pada jaman itu, pergaulan di dunia pendekar tidak
terikat norma adat istiadat bahkan juga aturan agama,
hubungan intim lelaki dan wanita bisa terjadi begitu saja.
Tetapi menanyakan guru seseorang yang baru dikenal adalah
pertanyaan yang janggal dan aneh, bahkan agak tabu "Maaf,
tak sengaja," katanya.
"Tidak apa-apa, nona." Mendadak Geni ingat pesan
Padeksa. "Jangan sembarangan memperkenalkan diri, jangan
juga memperlihatkan ilmu silatmu Ingat Lemah Tulis banyak
diintai musuh gelap, musuh yang kita sendiri tidak tahu."
Tetapi Geni tak mau mengecewakan si gadis, apalagi si
gadis merasa bersalah menanyakan hal yang buat sebagian
orang, masih tabu "Ilmuku ini kuperoleh dari seorang
pendekar aneh, namanya Waragang. Kamu pasti tak pernah
tahu nama itu sebab memang guruku tak pernah muncul di
muka umum"

Ia memang tidak berbohong. Waragang, memang gurunya,
seorang tabib ahli pengobatan di istana Kediri. Ia mengajar
Geni ilmu pengobatan, meramu dan meminumkan obat
padanya sejak bayi Itu sebab ketika dewasa, darahnya
mengandung kekuatan anti racun. Karenanya Geni tidak
merasa takut mengisap darah beracun dari luka Sari.
Waragang memang tidak terkenal. Tetapi apa yang diajarkan
belakangan baru diketahui sebagai ilmu pengobatan kelas
atas. "Kamu sendiri berasal dari perguruan mana?"
Sari merasa rikuh. Ia sedang menyembunyikan jati diri.
"Seorang kakek pertapa dari desa Panawijen, ia yang
mengajari ilmu silat padaku." Ia tidak berbohong, ia belajar
ilmu Karma Amamadang dari pertapa itu. Tetapi yang tidak ia
ceritakan, adalah bahwa ia murid dari perguruan Lemah Tulis.
Suasana menjadi rikuh dan kaku. Dia menyodorkan
ramuan, rumput dan daun-daunan. "Nona, kamu sudah tahu
menggunakan obat ini, dua lembar daun bersama satu
kumpulan rumput, kamu kunyah, airnya kamu telan dan
ampasnya labur ke lukamu Ia akan membersihkan sisa-sisa
racun jikalau memang masih ada."
Selesai menolong si gadis, Geni berpikir untuk pergi. Tetapi
ada sesuatu yang menghalangi langkahnya. Ia tak tahu apa
sebabnya. Namun sepertinya ia merasa berat meninggalkan
gadis bernama Sari itu, atau lebih tepatnya ia merasa enggan
berpisah.
Tampaknya Sari merasakan hal yang sama, ada rasa
enggan berpisah. "Setelah ini, setelah selesai menolong
mengobati aku, apakah dia akan pergi begitu saja?"
Pertanyaan ini dijawabnya sendiri. "Ya tentu saja dia harus
pergi, mungkin dia punya urusan yang harus ia selesaikan,
sedang di sini tak ada lagi yang harus diperbuatnya, dia sudah
selesai menolong aku, tetapikenapa dia harus pergi?" Berpikir
begitu wajah Sari memerah. Ia malu. Dalam hatinya ia
berharap, lelaki itu tetap di sini, menemaninya.

Sari segera sadar dari pengembaraan pikirannya,
mendengar suara Geni. "Nona, seharusnya aku pergi
sekarang, tetapi kata guruku, menolong orang itu harus
sampai tuntas. Kamu memang sudah sembuh dari keracunan,
namun tenaga dalam belum pulih, paling tidak kamu butuh
dua hari lagi untuk memulihkan tenagamu Aku khawatir
musuhmu akan kembali lagi. Apalagi hari sudah gelap, jadi
kupikir aku akan temani kamu sampai besok pagi, asal kamu
tidak keberatan dan tidak curiga padaku."
Sari hampir berteriak saking gembiranya. Untung saja
karena hari sudah gelap, air mukanya yang girang tidak
terlihat. Namun tetap saja Sari merasa malu. "Ki Ambara aku
sangat berterimakasih atas pertolonganmu Jika kamu tidak
datang, entah apa jadinya aku diperlakukan penjahat bejat
tadi. Terimakasih kamu telah mengobati lukaku dan juga
bersedia menemani aku, tetapi apakah tidak mengganggu
perjalananmu?"
"Ah tidak, aku tidak terburu waktu. Tak ada sesuatu yang
harus kukerjakan dengan segera. Aku bisa menemanimu
sepanjang kamu tidak keberatan. Lagipula pertemuan
Mahameru masih lama, masih ada waktu lima atau enam
purnama lagi."
Sari memandang lekat lelaki di hadapannya. "Terus terang
saja aku sangat menyukai lelaki ini, apakah aku sudah jatuh
cinta? Begitu mudahnya, padahal baru pertama kali jumpa?"
Pikiran ini membuat wajahnya memerah. Ia merunduk malu.
Tiba-tiba ia melihat baju di bagian dadanya robek, hampir
separuh payudaranya nyembul keluar. Ia ingin menutup
dengan tangannya. Tetapi batal, biarlah, toh lelaki itu sudah
melihatnya. "Apakah ia menyukai aku, jatuh cinta padaku?"
Tanpa sadar ia membantah pikirannya tadi, kata-katanya
keluar begitu saja, "Gila, mana mungkin!"
Geni terkejut. "Apanya yang gila?"

Sari juga terkejut. "Tidak, aku t.adi mendengar kamu
hendak pergi ke Mahameru, benarkah? Sebab aku juga
bertujuan yang sama, ke Mahameru?" Kata-kata itu meluncur
begitu saja. Sari menatap tajam mata lelaki itu.
Wisang Geni kaget melihat sinar mata si gadis yang begitu
tajam, berkilat di tengah gelapnya malam "Aku memang mau
ke Mahameru, benarkah Sari, kamu juga mau ke sana?
Mendadak Sari merasa malu. Itu pertama kali lelaki itu
menyebut nama Sari. Dan nama itu diucapkan dengan lancar,
seperti sudah akrab. "Aku memang mau ke Mahameru,
apakah kau diundang ke pertemuan itu?"
"Diundang? Aku bukan pendekar yang dikenal orang, siapa
yang mau mengundang aku, tetapi Sari apakah semua yang
hadir harus orang yang diundang artinya yang tidak diundang
tak boleh hadir. Apakah kamu juga diundang, Sari?"
Hatinya berbunga-bunga. Dua kali sudah namanya disebut
begitu akrabnya. "Tidak. Aku tidak diundang, aku juga bukan
pendekar terkenal, kalau aku hebat tentu tidak akan terluka
sampai begini. Aku mendengar omongan orang, pertemuan
Mahameru boleh dihadiri oleh semua orang, tetapi perguruan
itu hanya melayani makan minum dan nginap bagi mereka
yang diundang. Artinya bagi yang tidak diundang, ya bawa
makanan sendiri."
Geni diam. Sari memecah kesunyian "Ambara, hari sudah
gelap, apakah tidak lebih baik jika kita menyalakan api." Sari
terkejut dengan dirinya sendiri, menyebut nama lelaki itu
begitu saja, seperti sudah akrab.
Namun Geni tidak memerhatikan perubahan sebutan itu.
"Kamu benar. Kita memang harus mencari tempat untuk tidur.
Di situ di balik air terjun ada sebuah goa, aku sudah
menempatinya selama beberapa hari. Kita ke sana saja, ayo."
Sari berdiri, agak lemas ia melangkah tertatih-tatih. Geni
tersenyum, menggoda. "Kelihatannya kamu sulit melangkah,

kamu masih luka dan tenaga belum pulih. Biar aku papah
saja." Geni membawa tangan Sari ke pundaknya, sedang
tangannya memeluk pinggang si gadis. Tiba-tiba Sari berteriak
pelan. Rupanya buah dadanya yang masih belum sembuh
menimbulkan rasa sakit ketika bersinggungan dengan tubuh
Geni. Lelaki itu berpindah, kini Sari di kanan. Tetapi Sari juga
kesakitan ketika pahanya bersinggungan dengan paha Geni.
Geni mengeluh, "Sari, kamu tak bisa dipapah, dadamu luka di
bagian kanan, pahamu luka di bagian kiri, bagaimanapun juga
akan tetap bersinggungan dan akan sakit. Kalau kamu jalan
pelan begini, mungkin besok pagi baru sampai di goa, aku
bopong saja, mau?"
Godaan Geni memperoleh sambutan. Gadis itu tertawa
senang. "Kalau mau membopong aku, bopong saja, tidak
perlu pura-pura bertanya?"
Tidak menunggu lagi, Geni menyambar tubuh Sari.
Membopongnya ke air terjun Keduanya sama merasakan
adanya kesenangan dalam persinggungan tubuh. Tanpa sadar
Sari merapat tubuhnya ke dada Geni. Lelaki ini memeluk erat.
Ada perasaan bahagia nyelip di hati dua insan itu. Tanpa sadar
Sari memeluk dada Geni, berbisik, "Aku tak bisa berenang."
Geni memindahkan Sari di punggungnya. Ia merasakan
dada Sari yang lunak menghimpit punggungnya. Sari merasa
luka dadanya sakit, tetapi kini ia diam. Tangannya melingkar
erat di leher Geni. "Tahan napasmu, kita akan menyelam,"
teriak Geni di antara gemuruh suara air terjun.
Goa itu cukup besar. Selama dua bulan berlatih di air
terjun, Geni telah membersihkan goa itu. Tadinya basah,
lembab dan kumuh, Geni menjadikannya tempat tinggal yang
bersih dan nyaman. Ada tumpukan kayu kering untuk
menghangatkan tubuh. Ada obor damar untuk penerangan.
Ada tumpukan jerami di atas papan dirancang untuk tempat
tidur.

Ia menyalakan obor. Cahaya obor menerangi goa, samarsamar.
Geni menatap Sari. Lekuk dan liuk tubuh gadis itu
tampak jelas, pinggangnya yang kecil ramping, buah dadanya
yang montok dan pinggulnya yang semok, membentuk
bayangan indah. Geni tadinya sudah tahu Sari seorang gadis
muda yang cantik. Namun di goa ini, segalanya makin jelas.
Sari ibarat seorang dewi dengan kecantikan yang membuat
lelaki mana pun bisa mabuk kepayang.
Mendadak saja Sari berseru "Ambara, bajuku basah kuyup,
tadi gara-gara lelaki keparat itu, buntalan pakaianku jatuh dan
hilang di sungai. Sekarang aku perlu api unggun untuk
mengeringkan baju ini."
Geni tersadar dari lamunan dan perhatiannya pada tubuh
molek Sari. "Aku punya beberapa baju di sini, kamu boleh
pakai salah satunya, sedang kepunyaanmu bisa dikeringkan.
Kau mau?"
Gadis itu mengangguk. Geni menuju pojokan goa,
membuka buntalan dan mengeluarkan celana panjang sebatas
lutut dan baju dari kain kasar. Sari mencium pakaian itu,
teruar bebauan lelaki seperti bau yang diciumnya waktu Geni
mengisap darah dari luka di dadanya. "Kamu balik badan,
jangan lihat, aku mau ganti baju."
Geni memalingkan tubuh, ia tidak melihat namun
pikirannya seakan bisa melihat tubuh Sari. Ia membayangkan
tubuh molek gadis itu. Untuk menghilangkan pikiran liarnya,
Geni berkata, "Sari, kamu pasti sudah lapar, aku juga lapar,
kamu tunggu di sini, aku akan cari makanan untuk santap
malam"
"Hei, kamu pergi ke mana, aku tak mau sendirian di sini."
"Aku tidak jauh dan tidak lama. rianya menangkap ikan, di
luar."
Tak lama kemudian Geni kembali ke dalam goa membawa
enam ekor ikan yang besarnya setelapak tangan. "Kamu

makan ikan ini, bagus untuk memulihkan tenagamu" Geni
memerhatikan. Sari sudah ganti baju. Ia mengenakan baju
milik Geni. Tubuhnya lebih kecil, maka pakaian itu nampak
besar dan kedodoran. Sari tertawa melihat Geni memerhatikan
pakaiannya. "Pakaianmu besar, lihat, aku kelihatan kecil."
Sari meraut sepotong ranting dengan pisau kecilnya. Geni
memerhatikan. "Mau kau panggang ikannya?" Sari
mengangguk.
"Jangan, Sari. Maksudku tadi, kamu makan mentah-mentah
saja, rasanya enak, manis dan segar."
Sari memandang Geni dengan perasaan geli. "Aku belum
pernah makan ikan mentah, amis."
"Namanya, ikan marong. Khasiatnya merangsang tubuh
memperbanyak darah. Kamu banyak kehilangan darah, itu
sebab kamu lemas dan untuk memulihkan tenagamu biasanya
perlu waktu cukup lama. Kalau ikan itu kau masak, khasiat
ikan marong itu akan hilang. Coba dulu, enak dan segar!"
Geni memberi contoh. Ia mencomot seekor, melahapnya
dengan enak. Darah ikan meleleh dari mulutnya. Sudah dua
bulan berlatih di air terjun, setiap hari Geni melahap ikan
marong. Sari nyengir melihat Geni melahap ikan. Hati-hati dia
membawa ikan itu ke mulutnya. Digigitnya dengan enggan.
Rasanya enak. Manis dan hangat. Sari tertawa, Geni pun
tertawa.
Ia merasa perutnya hangat Tanpa malu-malu, saking
laparnya, ia tertawa lepas sambil melahap tiga ekor ikan. Geni
terpesona memandang wajah Sari yang tampak cantik saat
tertawa tadi. Cahaya api unggun yang agak redup, sudah
cukup untuk menonjolkan kecantikan alamiah itu. Tanpa sadar
Geni menghela nafas.
"Kenapa kamu ?" tanya Sari.

Geni terkejut. Seakan ia takut isi pikirannya terbaca Sari. Ia
menggeleng kepala. "Tidak ada apa-apa. Tidurlah. Aku akan
menjagamu."
Sari merebahkan diri di tumpukan jerami dekat api unggun.
Baju Geni yang dikenakannya terlalu besar, menyembunyikan
semua keindahan tubuhnya. Tak lama kemudian ia tertidur.
Nafasnya teratur. Lama Geni meneliti wajah cantik itu. Bulu
matanya lentik, sepasang matanya agak sipit, alis mata yang
juga tipis. Hidungnya bangir dan mungil. Mulutnya berukuran
sedang berbentuk busur gendewa dengan bibir penuh dan
tebal. Cantik, sangat cantik. "Ia jujur dan polos, buktinya ia
percaya kepadaku, orang yang baru dikenalnya. Ia masih
muda dan cantik, alangkah bahagianya aku seandainya bisa
menyuntingnya menjadi isteri," bisiknya dalam hati.
Tiba-tiba saja sepasang mata Sari terbuka, menatap Geni
dengan sinar yang teduh. Ia tersenyum kemudian merapatkan
mata lagi. "Kamu suka memandangi aku," katanya. Geni tidak
tahu apakah gadis itu sedang bermimpi atau dalam keadaan
sadar.
"Iya Sari, aku suka menikmati kecantikanmu" Sambil
menjawab, Geni melompat ke ayunan yang membentang
tegang dari dinding ke dinding lain. Ayunan itu terbuat dari
kulit pohon yang keras dan kasar. Ia biasa tidur di ayunan.
Pada mulanya ia hampir tak bisa bergerak, sebab begitu
bergerak, ia langsung jatuh. Lama kelamaan ia bahkan bisa
tidur lelap. Itu memang cara melatih ilmu ringan tubuh
Waringin Sungsang.
Sejak mewarisi ilmu itu Geni selalu tidur di atas ayunan
atau dahan pohon. Untuk menguasai Waringin Sungsang
seseorang harus bisa menyatukan antara syaraf otak, batin
dan jasad kasar. Karenanya keseimbangan tubuh harus tetap
terpelihara meskipun saat tidur, misalnya. Itu sebab siapa
yang sedang memperdalam Waringin Sungsang harus tidur di

atas pohon.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;