Sabtu, 17 Mei 2014

geni 26

Malam gelap gulita, Prawesti tidak peduli akan keselamatan
diri, dia hanya menuruti langkah. Dia berlari sambil menangis.
Berhenti bersandar di pohon, dia berlari lagi. Hatinya hancur,
malu dan marah. Ia menyesal mengapa sampai terjerumus
ajakan Ekadasa. "Gayatri itu perempuan baik, dia tidak marah
dan tidak menaruh dendam padaku. Yang marah, hanya
ketua, itu pun memang salahku sendiri. Mengapa aku begitu
bodoh?"
Berlari dan berlari, ia sangat letih. Tubuh letih dan batin
merana, Prawesti jatuh di tengah hutan. Ia roboh, pingsan. Ia
sadar ketika embun membasahi wajahnya, suara burung
berkicau, ayam berkokok.
"Aku tertidur semalaman. Di mana aku sekarang?" Ia
mencari jalan setapak, setelah menemukan jalan, ia kemudian
menuju ke arah tenggara. Ia tahu arah tenggara adalah
tujuan ke air terjun hutan dawuk. "Aku akan menetap di situ,
di goa, berlatih sampai aku menguasai semua ilmu silat yang
diajarkan ketua."
Setelah menetapkan keputusannya ia melanjutkan per
jalanan. Ia tidak terburu-buru. Tak ada sesuatu yang
mengejar dan tak ada sesuatu yang dia kejar. Senja hari dia
tiba di desa Sajan, desa kecil. Ia merogoh saku, masih ada
kepingan uang. Ia numpang di rumah rakyat, kebetulan
pemiliknya seorang ibu tua dan dua orang cucu yang masih
belia. Esoknya dia melanjutkan perjalanan.
Suara gemuruh air terjun terdengar merdu di telinga
Memandang jauh ke sana terbayang Wisang Geni sedang
berlatih di bawah guyuran air terjun. Dia membayangkan
dirinya sedang bercinta dengan lelaki itu di dalam goa di balik
air terjun. Bagi dirinya goa itu penuh kenangan manis. Tak
tahan lagi, Prawesti berlari menerobos dinding air, masuk ke
dalam goa.

Goa itu gelap. Ia mengibas rambutnya yang basah. Tibatiba
matanya melihat sosok tubuh sedang berbaring di tanah.
Tubuh itu membelakangi dia. Samar-samar Prawesti
memerhatikan rambut orang itu, putih mengkilap. "Apakah dia
Wisang Geni?"
Belum sempat berpikir lebih lanjut, Prawesti dikejutkan
ketika orang itu memanggil namanya, "Westi, kemari kamu!"
Ia mengenal suara itu, suara panggilan "Westi", ia tahu
persis itu suara Wisang Geni. Tetapi pikirannya membantah.
"Aku sudah mulai gila, mustahil dia ada di sini, dia sekarang
sedang bercinta dengan isterinya di Lemah Tulis, bagaimana
mungkin dia bisa berada di sini, pasti aku sudah gila!"
Orang itu memang Wisang Geni. Ia melakukan perjalanan
cepat, pagi hari berangkat tepat senja hari ia menemukan
Prawesti yang nginap di desa Sajan. Ia bisa menyusul dan
mendahului, karena tahu persis tujuan Prawesti juga lantaran
gadis itu melakukan perjalanan lambat. Geni menguntit dari
jauh. Ia mendahului masuk ke goa. Ia mengintip dari jauh.
Ketika gadis itu berlari menuju goa, ia pura-pura tidur.
Dalam keadaan masih bingung, apakah bermimpi, ataukah
sudah gila, Prawesti melihat orang itu melejit dan menubruk
ke arahnya. Prawesti terkejut dengan sigap mengelak sambil
menyerang balik. Namun mana mampu dia melawan Wisang
Geni. Hanya dengan satu gerak tipu, Geni sudah mendekap
tubuh Prawesti. Gadis ini memberontak, namun ketika melihat
orang yang mendekapnya adalah Wisang Geni, seketika ia
pingsan lantaran kaget. Tubuhnya lemas tidak bertenaga lagi
dalam pelukan Geni.
Sesaat Geni terkejut. Pelan-pelan ia meletakkan tubuh
Prawesti di tanah. Ketika meraba denyut nadinya, ia tahu
Prawesti hanya pingsan karena kaget. Dalam remang-remang
gelap, Geni memerhatikan Prawesti. Tubuhnya agak kurus dan
wajah itu seperti menyimpan banyak derita.

Timbul rasa kasihan, Geni tak kuasa menahan diri, ia
merunduk dan mencium mulut Prawesti. Bibir itu lembut dan
basah tetapi dingin. Pelan-pelan bibir itu bergerak, mulut itu
membuka dan terjadilah ciuman yang panjang. Mata Prawesti
masih terpejam. Dua tangannya melingkar di punggung Geni.
Mendadak dia berontak. Dua tangannya menolak tubuh Geni.
"Pergi kamu, Geni, pergi!"
Geni membekap tubuh Prawesti. "Tidak, aku tak mau
pergi!"
Prawesti menangis. Suaranya tersendat, "Aku mohon, Geni,
kau pergilah, jangan mempermainkan aku, pergi kembalilah
kepada isterimu, mereka menantimu."
"Justru mereka yang menyuruhku mengejarmu," kata Geni
lirih.
Prawesti kembali memberontak. "Dia menyuruhmu
mengejar aku, buat apa? Aku tak mau dipermainkan. Geni

kamu pergilah."

0 komentar:

Posting Komentar

 
;