Sabtu, 17 Mei 2014

wisanggeni tamat

Yudistira tahu jurus apa itu! Arjapura pernah menceritakan
kepadanya tentang hebatya jurus Bahutzara Hashtato
Tothodasa Pagal Chaknahai (Tertawa terus dan kamu akan
seperti orang gila).
"Tidak lama lagi kamu akan gila, kamu mati, lalu isterimu
akan menjadi isteriku, Yudistira tak bisa menghalangi karena
sudah bersumpah merestui jodohku dengan Gayatri. Aku akan
meniduri isterimu yang montok itu setiap pagi, setiap siang
dan setiap malam. Tetapi aku juga akan memukulinya setiap
hari lantaran sudah berani mengkhianati cintaku," suara
Wasudeva itu mendengung dan menusuk serta menggelitik
telinga Wisang Geni.
Geni limbung, pikirannya terganggu. Tetapi bayangan
Gayatri ditiduri dan disiksa lelaki itu memancing amarah Geni.
Memang ungkapan dan suara Wasudeva yang dikemas
dengan kekuatan tenaga sihir itu bertujuan membangkitkan

amarah dan membuyarkan konsentrasi Geni sehingga mudah
dihancurkan.
Memang benar adanya, pikiran Wisang Geni terganggu.
Beberapa jurus berikutnya, dua pukulan menerpa dada dan
pundaknya. Wasudeva berteriak, "Mampus kamu" Wasudeva
menambah bobot serangan sambil berkata tajam, "Gayatri
akan kupaksa melahirkan anak-anakku, ia kuperkosa dengan
kasar setiap hari, tak pernah berhenti dan kamu akan
menyaksikan itu dari dalam kuburanmu" Teringat akan sifat
angin yang bisa melenyapkan suara apa saja, Geni sadar
bahwa dia tidak boleh membiarkan tenaga suara lawan
mengganggunya. Dia kemudian meredam suara keras di
telinganya dengan mendengarkan desir angin sepoi,
"dengarlah suara angin, suara keindahan alam, suara dari
alam kemerdekaan."
Dia berhasil menetralisir tekanan dan magis sihir suara
lawannya. Meskipun demikian dia tetap menangkap kata-kata
tajam Wasudeva yang menghina isterinya. Ungkapan jorok
dan kasar lawannya itu telah mendorong amarahnya melewati
puncak kesabaran.
Dalam marahnya secara spontan Geni memutar tubuh
bagai gasing, gerakan itu telah menciptakan pusaran angin
dingin yang keras, dua tangannya membuat putaran lingkaran
kecil dan besar. Geni memukul, menggunakan segenap tenaga
Wiwaha yang bagai air bah menerpa apa saja yang
menghadang di depannya. Wasudeva pun memukul dengan
seluruh kekuatan, dia yakin pukulannya akan menghancurkan
tenaga Wisang Geni. Terdengar suara keras. Dua tangan
bentrok, beradunya dua tenaga dahsyat. Keduanya terpental.
Geni mundur dua langkah, dia berjongkok, siaga untuk adu
pukulan lagi. Wasudeva terlempar empat langkah, dia
menggeliat di lantai, matanya melotot penuh kebencian. Dua
tangannya patah begitu pun dadanya yang melesak ke dalam.

Darah meleleh tak hentinya dari mulut, hidung, mata dan
telinga. Saat berikut dia mati tanpa bersuara.
Wisang Geni memperlihatkan jurus hebatnyayang
mengandalkan "sifat angin" dengan tenaga Wiwaha yang
sempurna. Jurus itu telah menampung seluruh tenaga pukulan
lawan dan mengembalikannya dalam sekejap mata menjadi
satu pukulan dengan tenaga berlipat ganda yang tidak
mungkin bisa diterima oleh kekuatan Wasudeva.
Pertarungan itu dahsyat. Semua terpesona. Saking leganya
karena lepas dari ketegangan, Satyawati lupa memegang
tangan putrinya. Gayatri melepaskan diri dari pegangan
ibunya. Dia melompat dan memeluk suaminya. "Kamu luka?"
Geni berkata lirih, "Aku tidak terluka. Sebenarnya aku tak
ingin membunuh, tetapi laki-laki itu tak akan mau berhenti.
Aku tak punya pilihan lain. Gayatri, tadi aku jatuh dan muntah
darah karena terlalu letih. Kamu tahu, aku melakukan
perjalanan lima hari tanpa istirahat dari gunung Bromo ke
Welirang dan langsung menuju Jedung. Aku seperti orang gila
mendengar kabar kamu dibawa pulang ke Himalaya. Apa saja
akan aku lakukan untukmu Gayatri. Apa pun yang terjadi aku
tak pernah menyesal kawin denganmu, bahkan aku sangat
bahagia. Dan kamu tahu kebahagiaan ini begitu indah
sehingga layak jika harus kutukar dengan jiwaku yang tak
berarti ini."
"Wasudeva pantas mati, perbuatannya yang membuat
kakak Manisha mati, pantas untuk dibayar dengan jiwanya.
Terimakasih kamu lelah membalaskan sakit hati Manisha."
Gayatri bicara sambil tetap memeluk suaminya. Dia tidak
malu-malu melakukan itu di depan orangtua dan kakakkakaknya.
Sambil memeluk dan mengelus kepala Gayatri, dia berkata
lirih, "Sesungguhnya aku sudah bosan dengan perkelahian,
pertarungan, tak pernah ada habisnya. Dendam tak pernah
akan habis. Jika kalah mati, jika menang selalu ada orang

yang menuntut balas. Tidak akan pernah selesai. Tidak lama
lagi, mungkin keluarga Wasudeva akan mencari aku menuntut
balas, hutang nyawa bayar nyawa."
Yudistira mendengar semua perkataan Geni, ia tak begitu
heran. Sesungguhnya dia tak pernah mengira Geni bisa
mengalahkan Wasudeva. Bukankah tadi, beberapa pukulan
Wasudeva telak menerpa tubuhnya. Dia masih terpukau
dengan jurus yang dimainkan Wisang Geni, jurus yang mampu
menciptakan pusaran angin topan dingin dan yang terasa
sampai radius beberapa tombak.
Ayah Gayatri ini merasa kagum "Ilmu silat anak muda ini
biasa saja, tetapi tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat
kelas utama. Bagaimana mungkin seorang yang masih muda
bisa memiliki tenaga dalam setinggi itu. Waktu aku seusia dia,
tenaga dalamku tak sehebat dia," katanya dalam hati.
Pada waktu itu, sang nakhoda perahu menghampiri Gayatri
yang masih duduk di sisi suaminya. Ia membungkuk memberi
hormat.
"Nona yang mulia, kami sudah terdesak waktu, harus
berangkai secepatnya demi menghindari angin topan di laut
dekat Malaka. Jika tidak berangkat hari ini, kami harus
menunda tujuh hari dan semua pedagang ini akan menderita
rugi besar. Mohon petunjuk nona." Nakhoda itu berkata
dengan sopan dan ramah.
Gayatri bingung. Namun Yudistira dan Satyawati lebih
bingung menyaksikan betapa nakhoda itu tunduk dan patuh
pada Gayatri. Memecah kesunyian, Satyawati berkata pada
suaminya, "Aku akan sangat gembira jika kita menunda
keberangkatan, suamiku."
Yudistira bertanya pada nakhoda, adakah perahu besar
menuju Malaka atau Puchet dalam waktu dekat ini. Nakhoda
menjawab hormat "Ada perahu besar datang dari Kuangchou

sekitar sepuluh hari lagi, biasanya berlabuh di Jedung sekitar
empatbelas hari."
Yudistira menghela napas. Semua anggota keluarga,
termasuk Gayatri dan Geni memandang wajah lelaki itu,
menanti perinlah yang keluar dari mulutnya "Kita tunda
keberangkatan. Barang dagangan yang mudah busuk, kita jual
pada mereka." Ia menunjuk para pedagang yang sejak awal
nonton dari pinggiran. "Kita turun kedarat," berkata demikian
ia melangkah menuruni tangga perahu.
Nakhoda memberanikan diri bertanya, "Tuan yang mulia,
bagaimana dengan mayat orang ini?"
"Dia mati dalam pertarungan secara terhormat, dia mati di
atas lautan, maka tolong makamkan dia di tengah laut dengan
penuh kehormatan, berapa biayanya minta pada isteriku."
Yudistira melangkah menuruni tangga.
Arjun, Shankar dan isterinya mengatur penjualan barang
dagangan serta memerintah pembantu dan pekerja kapal
memindahkan barang lainnya ke darat. Tidak lama kemudian
perahu itu melaut.
Pelabuhan Jedung mulai sepi, tinggal rombongan Yudistira
yang sedang berteduh dari sengatan matahari siang yang
terik. Mereka berteduh di sekitar pohon beringin. Yudistira
jalan mondar-mandir. Semua mata mengikuti gerak geriknya.
"Aku tak punya pilihan, hukuman tetap harus dijalani, Gayatri
telah melakukan kesalahan besar, ia tetap harus dihukum"
Semua orang diam Wisang Geni memberi hormat pada
Yudistira, "Salam hormatku untuk paduka yang mulia,
pendekar Yudistira."
Yudistira menegur dengan suara datar, "Mengapa kamu
memanggil aku paduka yang mulia, aku bukan raja, jangan
panggil aku dengan sebutan itu."

"Maaf, aku menyebut paduka yang mulia, karena tuan
adalah raja bagi Gayatri, raja yang memegang kekuasaan mati
dan hidupnya Gayatri. Dan Gayatri adalah isteriku, maka aku
harus menyebut tuan dengan sebutan itu, paduka yang mulia
Aku belum berani memanggil ayah mertua, kecuali ada
perintah dari tuan."
Melihat Yudistira diam, Wisang Geni melanjutkan bicara,
"Paduka tuan adalah ayah dari perempuan paling istimewa
yang pernah kutemui dalam hidupku, aku mencintainya
sepenuh hati, dan aku sangat berbahagia lantaran dia telah
memberi aku, hari-hari penuh warna cinta." Dia melanjutkan
setelah menelan ludah. Rasa gugupnya sudah hilang. "Aku
patut berterimakasih padamu, karenanya layak memberimu
sesuatu paling berharga milikku, yakni nyawaku. Bunuhlah
aku, ini pemberian tulus yang menyelesaikan semua persoalan
paduka tuan dan putri tuan serta semua orang di dunia
persilatan, ambillah."
Yudistira berkata dingin, "Kamu pintar bicara, apakah kamu
sungguh-sungguh mau berkorban jiwa untuk isterimu?"
"Aku bersungguh-sungguh, aku tak akan melawan,
seharusnya aku bunuh diri tetapi aku enggan melakukan
perbuatan kaum pengecut. Aku bukan pengecut, aku laki-laki
sejati. Inilah jalan yang kupilih, sebagai tanda cintaku kepada
putrimu Tetapi sebagai permohonan terakhir aku minta
isteriku dibebaskan dari hukuman, sayangilah dia, cintailah
dia." Wisang Geni tersenyum pahit.
Satyawati dan seluruh keluarga diam terpaku. Keringat
dingin. Yudistira menoleh pada putrinya.
"Kamu mau bicara, bicaralah."
Perempuan itu duduk bersanding suaminya, dia merangkul
erat lengan suaminya. "Ayah, ibu dan kakak juga kakak ipar,
aku ibarat Sawitri yang mencintai suaminya tanpa pamrih.
Dalam hidup ini hanya satu kali aku dipilih dan memilih. Aku

sudah tentukan pilihanku, dan aku tidak akan bergeser dari
pilihanku. Jadi jika ayah membunuh suamiku, maka harus
membunuh aku juga, bunuhlah kami bertiga kalau memang
ayah tetap berpegang pada tradisi dan hukum itu." Dia tak
sanggup menahan tangisnya lagi. Sementara Geni di
sampingnya telah mematikan seluruh perasaannya, dia sudah
tak peduli lagi dengan harapan ataukah ancaman.
"Bukan bertiga, tetapi berlima." Sekar mendekat duduk di
samping Gayatri. Tangannya merangkul pundak Gayatri.
"Apa maksudmu, bertiga tadi? Maksudmu lima, siapa lagi?"
Suara Yudistira agak ragu-ragu.
"Dia ada dalam kandunganku, dia anakku berdua Wisang
Geni. Dan putrimu juga hamil, semua kami di sini lima nyawa.
Satu di antaranya adalah cucumu sendiri itu pun jika kamu
mau mengakuinya." Nada suara Sekar datar, tidak ada
getaran rasa ragu dan takut.
"Jadi cerita itu benar, bahwa kalian berdua hamil, dan
Gayatri putriku juga hamil?" Sepasang mata Yudistira
menyelidik wajah putrinya, ingin menemukan tanda
kebohongan di situ.
Tak ada kebohongan, Gayatri sudah berurai airmata.
Matanya basah, kerongkongannya kering, ia tak bisa bersuara.
Ia manggut-manggut. "Benar ayah, aku hamil. Inilah akhir
hidupku, hilang harapan membahagiakan suamiku dengan
memberinya seorang anak. Ke mana perginya kebahagiaanku
itu?"
Lelaki itu mengembangkan tangannya yang kekar. "Kemari
Gayatri, mendekatlah pada ayahmu" Tetapi putrinya
menggeleng kepala. Suaranya serak, patah-patah. "Aku tetap
dengan suamiku, tak mau berpisah dengannya, bunuhlah
kami, cepat lakukan ayah supaya aku tidak merasa sakit lagi."
Semua anggota keluarga tertegun. Drama itu sangat
mengiris hati. Arjun dan Shankar protes, "Ini tidak adil,

semuanya ulah Wasudeva tetapi kita sekeluarga yang
menanggung deritanya. Ayah, kau pikirkan dulu, mereka tidak
bersalah."
Satyawati, Susmita dan Ayeshak saling peluk dengan
tangis. Ketiganya tak mau menyaksikan drama gila itu.
Terdengar suara Yudistira, "Kemarilah Gayatri, anak bodoh.
Kamu kira selama ini aku buta dan tuli? Aku tak pernah
berpikir akan menghukum kamu, apalagi membunuh atau
menyuruh kamu bunuh diri."
Ucapan itu mengejutkan semua orang yang mendengarnya.
Wajah Gayatri menengadah menatap ayahnya. Dia sepertinya
tak percaya mendengar ucapan ayahnya. "Benarkah ayah
tidak menghukum aku?"
Sekali lagi Yudistira mengembangkan dua tangan,
kemudian dia mengerahkan tenaga dalamnya. Mendadak ada
pusaran angin besar membetot tubuh Gayatri. Dia menarik
tubuh putrinya ke dalam pelukan. Tangannya yang besar
mengelus kepala dan rambut Gayatri, menengadahkan wajah
putrinya lalu menciumi pipi dan keningnya. "Tidak, aku tidak
akan menghukum kamu atau pun suamimu."
Gayatri masih menangis. "Apakah karena aku sedang
hamil?"
"Tidak benar. Sejak berada di negeri Jawa ini, aku
mempelajari semua sebab dan akibat. Aku tidak mau
membuat kesalahan dua kali. Aku sudah kehilangan Manisha,
putriku yang kucintai, aku tak mau lagi kehilangan kamu. Aku
sudah tahu banyak tentang perilaku Wasudeva, aku tahu dia
ibarat binatang sedang putriku ibarat dewi, tak akan mungkin
bersatu" Dia berhenti sesaat, kemudian tertawa lirih. "Tetapi
aku terikat sumpah setia persahabatan, aku tak berdaya,
syukurlah suamimu telah membebaskan aku dari sumpahku,
Wasudeva sudah mati. Aku berterimakasih pada Wisang Geni,
kamu kemarilah menantu!"

Wisang Geni berdiri dan menghampiri. Ia memberi hormat
dengan menyentuh ujung kaki ayah mertuanya. Yudistira
tertawa. Satyawati berdiri di sampingnya ikut tertawa. "Entah
sudah berapa kali ia tertawa hari ini, perubahan yang luar
biasa," gumam isterinya dalam hati.
Sebelah tangan Yudistira memeluk Gayatri, tangan lainnya
merangkul Geni. Suara Gayatri terdengar riang, "Ayah, apakah
suamiku sudah boleh memanggil ayah mertua kepadamu?"
Yudistira tertawa. "Wisang Geni, pergilah memberi hormat
pada ibu mertua dan kakak-kakak iparmu"
Setelah memberi hormat dan menyalami keluarga isterinya,
Geni menghampiri isterinya. Gayatri melompat dan merangkul
suaminya. "Aku bahagia sekarang, semua beres. Tak ada lagi
ganjalan dalam hatiku, tak ada gundah, tak ada ketakutan,
semua sudah selesai dan sesuai keinginanku." Suara Gayatri
mesra. Kemudian dia lari menghambur memeluk Sekar.
"Terimakasih mbakyu, kamu sudah banyak membantu aku."
Keluarga besar itu berangkat kembali ke gunung Welirang.
Yudistira mengaku menyukai suasana di lereng gunung itu.
Tetapi tujuan utama sebenarnya adalah merayakan
pernikahan Wisang Geni dengan Gayatri dan Sekar. "Tetapi
kami bertiga sudah menikah dalam adat Himalaya, ayah.
Lihat, aku tak pernah menanggalkan adat kampungku kan?"
"Lantas siapa yang menikahkan kalian?"
Gayatri merasa terlanjur bicara. Kini ia diam. Ingat janjinya
tidak akan membuka rahasia. Ayahnya pasti akan menghukum
Kumara dan Malini juga Urmila dan Shamita. Sekonyongkonyong
Yudistira berseru, "Hei, kalian berempat keluar dari
persembunyianmu atau kuparahkan kakimu"
Dari balik rumah yang terpisah agak jauh, Kumara, Malini,
Urmila dan Shamita, melangkah pelan. Ada rasa khawatir.
"Hari ini aku membebaskan semua kesalahan keluarga dan

muridku. Kalian ikut kita pergi ke rumah Gayatri di lereng
gunung Welirang," kata Yudistira.
Di tempat agak terpisah Gayatri sedang mengelus-elus
leher si Putih dan si Hitam. "Eh Geni, mana Prawesti, apakah
dia menanti kita di rumah?"
Geni teringat Prawesti dan Manohara yang mungkin tak
lama lagi akan tiba di Jedung. Geni memeluk isterinya,
"Gayatri isteriku, aku ingin bicara padamu tentang sesuatu
yang penting, tetapi kamu tak boleh marah, pelan-pelan saja."
"Apa? Kamu mau cerita bahwa kamu sudah mendapatkan
tambahan selir lagi, begitu?" Matanya yang coklat menatap
suaminya. Dia tersenyum geli melihat Geni serba kikuk.
Wisang Geni terkejut. "Bagaimana kamu bisa tahu persis
apa yang hendak kuceritakan?"
Gayatri menunjuk ke arah Barat. Dua perempuan berjalan
berdampingan dengan menuntun sepasang kuda. Geni
berkata lirih. "Iya, gadis itu namanya Manohara, dia yang
memberi aku bunga talasari."
Geni terpaku, ketika dua gadis itu muncul. Prawesti
memeluk Gayatri, menciumi wajahnya. Gayatri tertawa. Ia
menoleh pada Manohara yang berdiri terpaku di situ.
Prawesti berkata pada gadis itu, "Ayo cepat beri hormat
pada kakak Gayatri."
Manohara mendekati Gayatri. "Tetapi aku rasa aku lebih
tua."
Gayatri memotong, "Manohara, namamu Manohara kan?
Prawesti lebih tua dari aku, kamu juga lebih tua. Tetapi aturan
dalam rumah tangga Wisang Geni harus jelas. Isteri pertama,
kamu panggil dia mbakyu Sekar meskipun kamu lebih tua. Aku
isteri kedua, kamu juga harus panggil kakak. Sebabnya, Sekar
dan aku adalah isteri, sedang kamu dan Prawesti adalah selir
yang akan membantu dan melayani, bagaimana setuju?"

Tak perlu berpikir lama-lama Manohara cepat mengangguk
mengiyakan. "Setuju, kakak Gayatri."
Mendadak saja muncul Yudistira dan Satyawati "Ada
kejadian apa? Siapa dua gadis cantik ini?" tanya Satyawati
sambil mengamati Prawesti dan Manohara. "Oh kalau kamu,
aku pernah melihatmu di Welirang," sambil ia menunjuk
Prawesti.
Wisang Geni diam serba salah. Manohara yang lugu dan
berani, menjawab meski sedikit malu-malu, "Kami adalah selir
kakangmas Geni."
Satyawati terkejut, menutup mulurnya dengan tangan.
Tetapi sebelum ibu dan ayahnya mengucap sepatah kata,
Gayatri berkata dalam bahasa Himalaya. "Ayah, ibu, aku
setuju suamiku mengambil selir. Aku dan Sekar berdua tidak
mampu melayaninya. Ayah tahu hampir setiap malam bahkan
siang juga, suamiku maunya bercinta. Lagipula Geni, Sekar
dan aku sudah memberitahu mereka, kami berdua adalah
isteri sedang mereka berdua hanya selir atau pembantu.
Apalagi sekarang aku dan Sekar sedang hamil, sudah tentu
kami bagaikan permaisuri yang harus dilayani. Sekarang ibu
dan ayah mengerti?"
Satyawati mengiyakan. "Kamu cerdas, kupikir kamu bisa
mengatur persoalan rumah tanggamu."
Yudistira sambil tersenyum, "Kupikir aku perlu belajar dari
anak mantuku."
Satyawati mencubit lengannya. "Jangan sekali-kali belajar
ilmu itu, itu ilmu sesat," katanya tertawa.
Setelah bebenah semua barang-barang bawaan,
rombongan Yudistira berangkat menuju gunung Welirang.
Esok harinya, di tengah perjalanan Geni berkata kepada ayah
dan ibu mertuanya. "Ada Prawesti dan Manohara yang bisa
menjadi penunjuk jalan, aku bersama Sekar dan Gayatri mau
mengambil jalan lain, nanti kita bertemu di rumahku saja."

Yudistira menggoda. "Kenapa, kamu sudah tidak tahan lagi
melihat isterimu? Sudah berapa hari kamu berpisah
dengannya?"
Geni mengangguk dan tersenyum pada mertuanya. "Tujuh
hari dan aku sudah hampir gila memikirkan dia." Ia
menggamit lengan dua isterinya. Geni melompat ke punggung
si Hitam, Gayatri berdua Sekar menunggang si Putih.
Ketiganya kabur sambil tertawa-tawa. Gayatri sudah kembali
kepada wataknya yang periang.
Arjun, Shankar, Ayeshak dan Susmita bertanya pada
ayahnya.
Yudistira menjawab gembira, "Mereka pergi berbulan
madu."
---ooo0dw0ooo---
Suatu hari di penghujung bulan Srawana, Wisang Geni,
Sekar dan Gayatri duduk di tepian danau. Manohara dan
Prawesti berlatih dan main-main di air terjun bersama Susmita
dan Ayeshak.
Meskipun sudah makan jamu kuat talasari, namun Sekar
dan Gayatri jarang berlatih silat Hari itu keduanya sudah hamil
sekitar seratus hari, sudah lebih sepertiga perjalanan "Menurut
hitungan ibu, aku akan melahirkan anakmu di sekitar bulan
Magada, atau jika sedikit terlambat di bulan Phalguna. Sekar
juga tak berselisih jauh dengan aku. Geni kamu menyukai
anak perempuan atau laki-laki." Melihat suaminya diam,
Gayatri melanjutkan, "Kalau di kampungku, seorang suami
lebih suka jika punya anak laki-laki, bahkan ada yang sangat
marah begitu mengetahui anaknya yang lahir seorang baji
perempuan. Kamu sendiri bagaimana Geni?"

"Aku tidak tahu, tetapi perasaanku sama saja, tidak ada
bedanya anak laki-laki atau perempuan, menurutmu anak itu
perempuan atau laki-laki?"
"Setelah ibu memeriksa kandunganku, katanya anak lakilaki.
Sekar juga mengandung anak laki-laki."
"Ibumu punya ilmu meramal begitu?"
"Bukan meramal, di kampungku ibu sudah membantu
seratus lebih ibu hamil yang melahirkan anak, bahkan sebelum
lahir ibu bisa memastikan bayinya laki atau perempuan. Ibu
ahli soal itu."
Geni mendekat, memeluk isterinya. "Gayatri, bilang sama
ibumu, tetap saja tinggal di sini bersama kita, supaya kamu
melahirkan dengan selamat."
Ada suara batuk kecil di belakang mereka. Yudistira muncul
bersama Satyawati "Oh kamu mau ibu mertuamu tinggal di
sini, lantas aku harus ke mana, kamu buang aku ke mana,
menantu?"
"Oh tidak ayah mertua, kalau ibu mertua menetap di sini,
tentu saja ayah mertua juga tinggal bersama."
"Boleh saja. Tetapi ada syaratnya. Kamu harus bisa
mengalahkan aku dalam pertarungan seru, bagaimana bagus
kan syaratnya?"
Geni terkejut, apalagi Gayatri. Keduanya berdiri dan
memandang dua orangtua itu. "Ayah, apakah aku tidak salah
dengar?"
Yudistira menjelaskan pertarungan tersebut merupakan
bagian dari janjinya pada ayahnya, pendekar Himalaya,
Lahagawe. Bagaimanapun juga janji itu harus disempurnakan.
"Kamu mewakili kakek gurumu, Suryajagad dan aku
mewakili ayahku, Lahagawe. Kita tarung, jika kamu menang
maka aku akan menetap di sini bersama istriku sampai Gayatri

dan Sekar mdahirkan. Jika aku menang, aku akan tentukan
apa yang kumau dan kamu sekeluarga tak boleh ingkar. Aku
pikir ini cukup adil."
"Tidak bisa begitu, bagaimana mungkin aku harus tarung
melawan ayah mertua sendiri, tidak mungkin."
"Kamu tidak bisa menghindar, Geni. Ini bagian dari hidup
yang sudah kamu jalani, dan bagian dari hidupku juga. Kita
bertarung hanya sebatas menang dan kalah, tak akan ada
yang terluka atau mati. Aku juga tak mau melukai atau dilukai
menantuku sendiri."
Geni bingung. Tak menyangka akan ada kejadian seperti
ini. "Percuma ayah mertua, aku jelas tidak akan bisa
bertarung, bahkan bergerak pun mungkin tak bisa.
Pertarungan ini aneh. Ayah mertua apakah tak bisa dihindari
saja, jelas tak ada manfaat menang atau kalah."
Satyawati menengahi "Geni, pertarungan ini sudah harus
terjadi sesuai janji dan sumpah ayah mertuamu Tetapi jalan
terbaik sudah kami pikirkan, tidak akan menyalahi aturan
pertarungan juga tidak menimbulkan ancaman bahaya cidera
atau maut. Kalian bertarung di atas permukaan danau, dalam
jarak sepuluh tombak. Tidak ada bentrokan tangan. Ayah
mertuamu akan memainkan dua jurus andalannyayang harus
kamu patahkan yaitu Atehai Zaminpar Kabbijeh Chand Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi) dan Likhna Hai
Chandse Hokar (Aku akan menulisnya di rembulan). Senjata
yang digunakan, adalah air. Siapa yang tenggelam, dia kalah.
Geni, sebaiknya kau mainkan jurus paling hebat dari kakek
Suryajagad dan ingat, kamu harus berupaya menang agar ibu
bisa menemani Gayatri dan Sekar sampai mereka berdua
melahirkan."
"Geni, kita bertarung pada senja nanti," kata Yudistira yang
menggandeng isterinya kembali ke rumah. Geni dan Gayatri
saling pandang.

Sekilas Wisang Geni teringat percakapannya dengan
Gayatri beberapa waktu lalu. Waktu itu Gayatri menjelaskan
kehebatan jurus andalan perguruannya, Likhna Hai Chandse
Hokar (Aku akan menulisnya di rembulan). Jurus ini
memerlukan pengerahan tenaga dalam tinggi, untuk
mengolah benda di sekitar tubuh kemudian melontarkannya
ke arah lawan. Bisa saja debu, daun-daunan, bebatuan,
ranting dan pokok kayu Itu sebab dinamai "menulisnya di
rembulan".
"Jurus itu diciptakan kakek setelah dia pulang dari
kekalahan lawan Ki Suryajagad. Jurus lainnya, Atehai
Zaminpar Kabbiyeh Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang
pun turun ke bumi), jurus yang menguras tenaga lawan,
menarik dan menyalurkan ke bumi. Jurus ini sudah lama,
namun belakangan mengalami perubahan sehingga
berkembang kian tangguh."
Geni tukar pikiran dengan dua isterinya. Ia pernah tarung
lawan Kumara dan Malini, dua tahun lampau. Ia ingat
sepasang suami isteri itu menggunakan tenaga bumi. Semua
pukulannya disedot dan ditarik kemudian disalurkan ke bumi.
"Itulah jurus Atehai Zaminpar Khabiyeh Chand Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi), namun pasti
akan berlipat ganda kehebatannya jika dimainkan ayah, kamu
harus hati-hati, bisa-bisa tenagamu dikuras habis membuat
kamu tak mampu lagi meniduri aku," goda Gayatri sambil
tertawa genit.
Perempuan itu tampak cantik luar biasa, mataya berbinarbinar
dan mulutnya merah merekah. Geni tiba-tiba saja
bergairah, ia memberi isyarat pada isterinya. Gayatri
menggeleng. "Tak lama lagi kamu sudah harus bertarung,
mana sempat lagi. Geni kamu harus bertarung sungguhsungguh
supaya ibu bisa menetap bersama kita, kamu harus
menang."
"Kamu membela siapa, ayahmu atau suamimu?"

"Aku membela kamu suamiku, sebab jikakamu menang,
aku tidak perlu pulang ke Himalaya selama-lamanya dan ibu
bisa menemani kita sampai aku dan Sekar melahirkan. Kamu
tahu Geni, terkadang aku takut memikirkan saat melahirkan
nanti, pasti sakit. Aku akan bahagia jika ibu ada di sampingku.
Makanya kamu harus menang."
Tidak lama berselang senja pun tiba. Seluruh anggota
keluarga hadir, nonton di tepian danau. Tak seorang pun
ketinggalan, termasuk Gajah Lengar, Gajah Nila dan keluarga
serta murid Lemah Tulis.
Yudistira melangkah santai di atas permukaan danau.
Kakinya melayang, tak tampak kecipak air, pertanda
langkahnya sangat ringan Ia menanti di tengah danau. Wisang
Geni masih di tepi danau sedang berpikir tarung sungguhsungguh
atau sekadar tarung untuk mengalah.
"Jika kamu tak sungguh bertarung, hukumannya akan
berat, mungkin saja kalian kubawa ke Himalaya atau Gayatri
sendiri yang kubawa ke Himalaya," kata si ayah mertua. "Ayo,
cepat menantu, aku sudah tidak sabar lagi."
Tiba-tiba timbul kegembiraan dalam hati Geni, mengapa
tidak menjajal ilmu silat ayah mertuanya. "Selama ini boleh
dikata aku tak pernah kalah dalam pertarungan. Aku tak
pernah dapat lawan imbang."
Berpikir begitu dia kemudian melangkah santai ke tengah
danau. Sama hebatnya dengan Yudistira, langkah Geni pun
tidak menyentuh permukaan air, kakinya melayang.
Tanpa menanti lebih lama lagi, Yudistira menggerakkan
tangan ke bawah berputar-putar, air danau di sekitar
tubuhnya bergolak. Lalu tangan itu ke atas. Bersamaan
gumpalan air yang besar ikut naik. Ia memutar tangannya, air
itu membentuk bola besar di tangannya, kemudian ia
mendorong, "Menantu, awas!"

Gumpalan air yang seperti bola, meluncur deras ke arah
Wisang Geni. Di Himalaya yang sebagian daerahnya selalu
tertutup salju, Yudistira biasa memainkan jurus ini dengan
salju.
Terpisah sepuluh tombak Wisang Geni berdiri menatap
ayah mertuanya. Ia melihat semua gerakan tadi. "Berpikir
sederhana, pikiran lebih cepat dari angin, pikiran lebih kuat
dari air, pikiran bisa mengalahkan serangan lawan."
Dia memutar tubuh, putaran perlahan. Dua tangan
mengembang ke samping memutar dalam bentuk lingkaran
besar dari arah bawah ke atas. Air di sekitar kakinya tersibak
dan meluncur dalam bentuk memanjang seperti tongkatke
arah Yudistira. Gumpalan air bertemu di tengah, beradu,
pecah berantakan dan luluh ke danau.
Pertarungan menggunakan air berlangsung seru, makin
lama makin menarik. Gumpalan air yang digunakan
menyerang lawan selalu berganti-ganti bentuk. Yudistira
akhirnya memainkan jurus simpanannya. "Anak mantu, tadi itu
aku hanya menggunakan jurus Likhna Hai Chandse Hokar
(Aku akan menulisnya di rembulan), sekarang aku
menggabungnya dengan jurus Atehai Zaminpar Khabiyeh
Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi),
hati-hati, kamu bisa tenggelam kena peluru air ini."
Yudistira menggerakkan dua tangan, mengangkat sebelah
kakinya bergantian, terkadang melompat dan melayang di
udara. Hebat.
Serangan Geni seperti ditangkap dan dikembalikan dengan
kecepatan lebih dahsyat. Hebatnya lagi, air yang dikembalikan
itu semakin berat dan besar. Geni terpaksa menghadapinya
dengan menyalurkan segenap tenaga Wiwaha. Tetapi
serangan Yudistira semakin menggila, "Awas anak mantu, ini
lebih hebat lagi" Bentuk air kini menjadi lebih padat dan
meluncur deras ke arah Geni.

Geni kewalahan, hanya bisa bertahan. Geni memutar tubuh
bagai gasing, tangannya ikut berputar, kaki sebelahnya
diangkat Air di sekitar tubuhnya tersibak membentengi
tubuhnya. Tenaga yang ia mainkan adalah tenaga Wiwaha,
bergantian panas dan dingin.
Serangan Yudistira luruh ketika membentur dinding tembok
air di seputar tubuh Geni. Akhirnya Yudistira menghentikan
serangan, dia terengah-engah melangkah ke tepian.
Sementara Geni masih memainkan jurus bela dirinya. Ia
bahkan tidak tahu bahwa serangan ayah mertuanya sudah
berhenti.
Terdengar teriakan Gayatri, menusuk gendang telinganya.
"Geni, berhenti, tarung sudah selesai, kamu bertarung
sendirian."
Saat berikutnya ia sadar, serangan sang ayah mertua
sudah berhenti. Ia memperlambat gerakan sampai akhirnya
berhenti. Geni kehabisan nafas, letih, sangat letih. Ia tadi
telah mengerahkan Seantero kekuatan batinnya, seperti pelita
kehabisan bahan bakai. Geni bahkan tak kuat berdiri, ia
tenggelam
Gayatri hendak menolong namun Sekar yang sudah
terbiasa latihan di laut kidul, bergerak lebih cepat Sekar
menyelam dan menarik suaminya ke permukaan. Nafas Geni
sengal-sengal. Keduanya berenang ke tepian.
Yudistira gembira. Dia tadi sengaja menguji ilmu silat
menantunya. Dia kagum akan ketangguhan Geni. Dia
mencolek lengan menantunya. "Geni, kamu tadi kalah, jadi
ayah akan mengajak Gayatri pulang kampung ke Himalaya."
Cepat Geni menyahut, "Tidak bisa, tadi itu aku yang
menang, ayah mertua meninggalkan gelanggang lebih dahulu,
itu tandanya kalah. Itu artinya ibu dan ayah mertua harus
menetap di sini."

"Geni, bersikaplah sebagai ksatria, kamu kalah, tadi kamu
tenggelam dan kalau aku tidak berteriak memperingatkan,
tentu sampai sekarang kamu masih bersilat sendirian di
danau, bahkan mungkin sampai besok." Gayatri tertawa
cekikikan.
"Mengapa kamu berbalik membela ayahmu, tadi kita
sepakat membantu aku melawan ayah mertua." Geni
menepuk bokong isterinya. Gayatri membalas mencubit
lengannya. Geni menoleh pada Sekar, "Menurutmu siapa yang
menang, aku kan?" Sekar mengangkat bahu, "Aku tidak ikut
campur," katanya sambil tertawa.
Dari jauh terdengar suara Satyawati, "Geni, ayah mertuamu
sudah mengambil keputusan akan menetap di sini. Ia ingin
menyaksikan kelahiran cucunya, katanya ia akan memberi
obat agar cucunya tidak beruban seperti Pendekar Tanah
Jawayang bernama Wisang Geni."
Geni tersenyum. Ia memandang dua isterinya yang tampak
cantik. Sekar menjulurkan lidah, menggoda. Satu tangan Geni
memeluk erat Sekar, satu lainnya menarik Gayatri merapat.
Geni tampak bernafsu. Gayatri berbisik, "Jangan di sini, aku
malu banyak ikan yang nonton. Ayo kita bertiga ke Tebing
Cinta, kita bercinta sepuasnya semalaman. Tidak ada yang
mengganggu, tak ada Manohara, tak ada Prawesti."
"Baik, bertiga kita ke Tebing Cinta. Aku ingin bercinta dan
memiliki kalian berdua malam ini dan sepanjang hidupku.
Semua manusia harus tahu betapa aku tergila-gila pada Sekar
dan Gayatri, isteriku, kekasihku dan cintaku."
Selesai
---ooo0dw0ooo---

Data Pengarang :
John Halmahera, pria kelahiran Ternate tahun 1947 mulai
menulis pada tahun 1979 sebagai wartawan olahraga di harian
Sinar Harapan. Menggemari Cabang sepakbola menjadikannya
sebagai wartawan sepakbola. Pengalamannya di berbagai
event luar negeri antara lain Piala Dunia 1982 (Spanyol) dan
1986 (Meksiko) serta beberapa Asian Games, Sea Games dan
turnamen sepakbola Asia dan ASEAN lainnya.
Tahun 1985 koran Sinar Harapan dibredel, dan enam bulan
kemudian berganti nama menjadi Suara Pembaruan, dia masih
sebagai wartawan sepakbola, Tahun 1987 dia keluar dari
Suara Pembaruan dan menjabat Pemimpin Redaksi majalah
bulanan Popular.
Tahun 1990 keluar dari Popular dan menjadi penulis
sepakbola freelance. Dalam kurun waktu tersebut dia pun
menjadi komentator sepakbola (freelance) sejak tahun 1985 di
TVRI sampai era tahun dua ribuan. Terakhir tampil sebagai
komentator Piala Dunia 2006 di SCTV.
Pengalamannya sebagai wartawan sepakbola
mengantarnya menjadi pengurus PSSI (Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia) dari tahun 1996 sebagai sekretaris tim
nasional berlanjut sekretaris eksekutif kemudian direktur
media dan sekarang ini sebagai manager umum di Badan Liga
Indonesia (BLI) yang merupakan Badan otonom dari PSSI.
Di sela-sela kesibukannya dia sempat menyelesaikan novel
karya pertamanya, cerita silat yang digarapnya selama hampir
satu tahun.

---ooo0dw0ooo---

0 komentar:

Posting Komentar

 
;