Sabtu, 17 Mei 2014

Wisanggeni 6

Gadis itu tertawa kecil. "Memang benar, dan aku tidak perlu
malu mengatakan mencintaimu Aku memang mencintaimu
sejak kita makan di warung itu, kau lelaki berbudi mulia dan
bermoral baik."
"Dari mana kau tahu? Kau baru saja mengenalku."
"Kau berbudi muka, karena kau tidak jijik malah menolong
gadis buruk rupa bekas penderita cacar yang mengalami
kesulitan. Kamu bermoral, karena mau jujur mengatakan
kamu sudah punyakekasih, kau tidak membohongi aku. Eh,
siapa nama gadis kekasihmu itu?"
"Wulan. Walang Wulan. Aku mencintainya, aku berduka
karena aku bakal mati tanpa bertemu lagi dengan dia."
"Apakah dia mencintaimu?"
"Ya dia mencintaiku seperti aku mencintainya."
"Lalu, kenapa dia meninggalkan kamu?"
"Bagaimana kamu tahu dia yang pergi meninggalkan aku
bukan sebaliknya?"
Sekar tertawa, suaranya merdu "Aku menerka asalan saja,
kenapa dia pergi, apa katanya?"

"Ia ingin sendiri, katanya dia ingin memikirkan
hubungannya dengan aku."
"Perempuan bodoh."
"Eh, kau jangan mengatainya bodoh, dia gadis yang cerdas
sama seperti kamu"
"Boleh saja dia cerdas, tetapi dia tetap bodoh, karena apa?
Karena melepas sesuatu yang sudah dalam genggaman. Kalau
dia sudah yakin bahwa kamu mencintainya dan dia tahu
bahwa dia juga mencintaimu, lantas apalagi yang harus dia
pikirkan."
Geni termenung. "Usianya lebih tua, ia kakak perguruanku,
gurunya dan guruku sama-sama seperguruan. Ia juga bibiku,
sebab ayahku dan ibuku adalah kakak seperguruannya. Jadi ia
takut ditertawai orang."
Sekar tertawa kecil. "Memang bodoh. Semua itu apa
urusannya? Yang penting kamu bukan ayahnya, dia bukan
ibumu dan kamu bukan anaknya atau saudara kandungnya.
Lagipula di dunia persilatan orang tidak membicarakan hal-hal
seperti itu. Seperti aku, begitu aku menyukaimu dan kamu
menyukaiku, itu sudah alasan kuat bagiku membiarkan kamu
merenggut perawanku Jangan harap aku mau bercinta dengan
laki-laki yang tidak kukenal atau yang tidak kusukai. Kita
berada dalam dunia persilatan yang penuh dengan orangorang
kasar dan yang sulit dipercaya."
Geni meneliti gadis di hadapannya. "Dia ini cerdas, dan
jalan pikirannya terarah dan terpola. Jika bekas cacar itu
sembuh dan lenyap, dia menjadi seorang wanita yang sangat
cantik dan cerdas," pikirnya.
Timbul keinginan menggodanya. "Bagaimana kamu begitu
yakin aku akan setia menjadi kekasihmu? Bagaimana kalau
suatu waktu nanti aku pergi, kabur bersama perempuan lain?"

Matanya berbinar-binar. "Aku akan mengejarmu, bahkan
sampai ke neraka pun. Aku tak akan membiarkan laki-laki
yang kucintai pergi begitu saja, apalagi dia telah memerawani
aku"
"Maksudmu, kamu akan membunuh aku?"
Sekar menggeleng. "Buat apa membunuhmu? Kamu enak,
langsung mati, tetapi aku? Aku akan merana kesepian
mengenang dirimu."
"Kamu akan membunuh perempuan itu?"
Sekar menggeleng. "Membunuh perempuanmu adalah
langkah terakhir. Pertama-tama, aku akan nyelinap masuk
kamar tidurmu, membawa seember air yang sudah aku
campur dengan lombok yang pedas, aku siramkan air itu ke
tubuh kalian berdua," dia tertawa cekikan.
Geni merasa lucu. "Kenapa kamu tertawa?"
"Aku membayangkan kamu dan perempuanmu saking
terkejutnya lari bertelanjang bulat." Dia tertawa geli. Geni ikut
tertawa.
"Sekar, kamu tak boleh lakukan itu pada Wulan. Karena dia
yang lebih awal mendapatkan cintaku."
"Iya aku tahu, Wulan yang pertama, aku yang kedua,
mungkin saja akan ada yang ketiga dan keempat. Tapi aku tak
peduli berapa perempuan yang kamu rayu dan kamu tiduri,
selama kamu tetap mencintai aku dan tak bosan bercinta
dengan aku, itu sudah cukup bagiku."
"Sesederhana itu?"
Sekar mengangguk. "Iya sederhana saja. Itu sebab aku
katakan keputusan gadis yang pergi meninggalkan lelaki yang
dia cintai dan mencintai dia, adalah tindakan bodoh. Aku jadi
ingin ketemu dengan gadis bodoh yang bernama Wulan itu."
"Kau jangan mengatai dia bodoh."

Sekar tertawa. "Baiklah aku berjanji tidak akan
mengatainya bodoh lagi."
"Lantas mau apa kamu ketemu dia?"
"Mau menasehati dia supaya berpikir cerdas, berpikir
sederhana saja dan jangan berpikir njelimet. Eh, kau tadi
mengatakan ia lebih tua dari kamu, tentu ia cantik."
"Ia memang lebih tua usia, tetapi ilmu yang dipelajarinya
membuat ia tampak muda, sama seperti gadis remaja. Dan
sangat cantik."
"Kamu sudah menidurinya?"
Geni mengangguk. "Berulang-ulang, tak pernah bosan."
"Geni, coba kau bayangkan, seandainya wajah dan tubuhku
bersih dan mulus tanpa ada bercak cacar, apakah aku secantik
Wulan?"
Geni memandang Sekar di keremangan cahaya api unggun
yang makin meredup. "Kamu cantik, Sekar. Tetapi aku
mencintai Wulan."
Sekar menelungkup di atas tubuh Geni. "Kamu teruslah
mencintai Wulan, aku tak akan menghalangimu Aku tetap
mencintaimu dan aku sudah bahagia jika kau mencintaiku
walau hanya semalam atau separuh malam. Pada saat kau
terangsang birahi dan meniduriku, saat saat seperti itu bagiku
adalah cinta. Bagiku, cinta sama dengan nafsu birahi. Tak ada
nafsu, tak mungkin ada cinta. Tak ada cinta, bisa saja ada
nafsu. Buktinya, kamu sendiri, kamu mencintai Wulan, tetapi
kamu terangsang birahi dan meniduriku dengan gairah."
Api unggun semakin kecil. Redup. Akhirnya padam. Malam
menjadi kelam Geni menggeluti tubuh Sekar. Apa yang
dikatakan Sekar semuanya benar. Ia tidak mencintai Sekar,
tetapi rangsangan birahi lebih berperan Ia tergila-gila akan
tubuh molek Sekar dan cara gadis itu mencintainya.

Di tengah pergumulan, gadis itu berbisik merdu di
telinganya. "Aku mau diobati nenek, supaya aku tampak
cantik, supaya kamu tak akan bisa melupakan aku. Aku tak
ingin kamu mencintaiku, yang aku inginkan adalah kamu
selalu merindukan aku, merindukan tubuh dan semua
kenikmatan yang kuberikan padamu Geni, aku sendiri hanya
akan mencintaimu seorang, tak akan ada lelaki lain dalam
hidupku, hari ini, besok dan hari-hari di masa datang."
Keesokan pagi mereka melanjutkan perjalanan, menempuh
jalan pintas lewat hutan. Selain menghindari perjumpaan
dengan orang, Sekar memperkirakan senja atau malam hari
akan tiba di Lembah Cemara Ia tahu keadaan kritis terutama
racun ganas yang menyerang Wisang Geni. Siang itu seusai
makan, racun ular salju menyerang Geni. Kali ini rasa sakit
hampir tak tertahan. Geni mengerang. Rasa sakit dan dingin
seperti akan membunuhnya. Sekar memeluk, menciumi Geni.
Ia menangis melihat penderitaan kekasihnya. "Geni, jangan
mati, nanti malam kita akan tiba, kekasihku kau harus bisa
bertahan!"
Ketika serangan racun itu mereda, Geni seperti orang
kehabisan tenaga Ia bahkan tak sanggup mengangkat
tangannya. Sekar masih memeluknya, airmata si gadis
membasahi pipinya. "Oh Geni, kamu sangat menderita, aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menolongmu"
Geni memandang si gadis dengan senyum dipaksa. "Dua
kali serangan lagi, aku pasti akan mati. Sekar, tak ada
obatnya, lebih baik kamu tinggalkan aku sendiri di sini, kamu
pulang ke rumah nenekmu, pergilah Sekar."
Sekar menggeleng, menjawab sambil menangis, "Tidak,
kamu tak boleh mati, tidak kuijinkan kamu mati. Sekarang
juga kita berangkat ke Lembah Cemara"
Dia membantu Geni, susah payah ia menaikkan Geni ke
atas punggung kuda. Ia melompat di belakang kekasihnya,
satu tangan memeluk Geni, tangan lainnya memegang kekang

kuda. Mereka menunggang satu kuda, kuda lainnya dituntun
di belakang dengan tali yang agak panjang
Sekar memacu kudanya, memburu waktu, ia harus tiba
secepatnya sebelum racun ular itu menyerang lagi. Perjalanan
jauh. Ketika matahari mulai tergelincir ke barat, Sekar
berteriak gembira. Ia memeluk kekasihnya, "Geni, kamu lihat,
itu dia Lembah Cemara. Sebaiknya kita ganti kuda, supaya
bisa lebih cepat"
Sekar melompat turun. Tetapi berbarengan saat itu racun
menyerangnya, ia jatuh bergulingan. Ia menjerit. Geni
terkejut, melompat dari kuda ingin menolong Sekar.
Tetapi lantaran tak lagi punya tenaga yang cukup, Geni pun
jatuh bergulingan
Geni merangkak mendekati Sekar. Ia memeluk gadis itu
yang berontak kesakitan. Tak tahu harus berbuat apa, Geni
menyodorkan tangan ke mulut Sekar. Tanpa sadar Sekar
menggigit tangan Geni, ia menggigit sekeras-kerasnya. Geni
meringis kesakitan, tetapi ia diam tak bersuara. Ternyata
dengan menggigit itu Sekar bisa bertahan dari rasa sakit.
Tidak lama kemudian gadis itu sadar, sakitnya mereda dan
lenyap. Geni memandangnya dengan pandangan aneh. Sekar
baru sadar bahwa mulurnya sedang menggigit tangan
kekasihnya. Agak lemas, ia bangkit, memegang tangan Geni.
Tampak bekas gigi yang dalam di tangan Geni, sejengkal di
bawah siku. Bekas gigitan itu merah dan masih mengeluarkan
darah. "Aku tidak sadar, tetapi mengapa kamu membiarkan
tanganmu kugigit?"
Geni mencium gadis itu. "Aku ingin meringankan
penderitaanmu, tak ada artinya tangan ini dibanding apa yang
telah kau berikan padaku."
Sekar memeluknya erat. "Aku tidak salah mencintai orang."
Ia cepat sadar ketika matanya tak melihat kudanya. "Kemana
kuda itu pergi?" Ia bersiul. Tetapi kuda-kuda itu sudah lari

jauh, lari menuju kebebasan. Keduanya saling membimbing,
melangkah pelan-pelan menuju Lembah Cemara. Senja
semakin mendekati malam Hutan cemara semakin dekat.
Ketika keduanya tiba di batas Lembah Cemara, matahari
sudah hampir tenggelam seluruhnya, ketika itulah racun
menyerang Geni. Kali ini serangan semakin ganas. Keringat
membasahi sekujur tubuhnya tapi ia pantang bersuara. Ia tak
mau membuat Sekar kelewat sedih. Rasa sakit yang menusuk
tulang membuat seluruh syaraf dan ototnya menjerit, rasa
dingin membuat ia menggigil, seluruh tubuhnya gemetar.
Geni hanya memikirkan mati atau pingsan sajalah yang bisa
membuat ia melupakan sakitnya. Tetapi keinginan untuk
pingsan pun tidak terpenuhi. Ia seperti harus menjalani rasa
sakit ini. Sekar menangis, memeluk Geni dengan erat, ia takut
kehilangan lelaki yang dicintainya itu.
Sekar berusaha segala daya, membuka baju Geni,
membuka bajunya sendiri, menempelkan dadanya ke dada
Geni. Sekar masih memiliki tenaga dalam meskipun sudah
banyak berkurang, namun dengan memaksa diri dia
memindahkan panas tubuhnya ke tubuh kekasihnya. Geni
antara sadar dan pingsan mengigau. "Bunuhlah aku, bebaskan
aku dari sakit ini, bunuhlah aku, tolong, kau bunuhlah aku!"
Sekar semakin panik. Ia memeluk dan mencium mulut
Geni. Mulut itu dingin, tubuh Geni dingin dan gemetaran.
Dalam kepanikan, Sekar teringat neneknya. "Semoga nenek
bisa mendengar siulanku." Sambil tetap memeluk Geni, ia
menghirup nafas panjang kemudian mengeluarkan siulan.
Tetapi itulah tenaga terakhir, sisa-sisa tenaga yang masih
ada pada Sekar. Siulan itu seperti bisikan lemah. Tak mungkin
bisa didengar orang. Sekar pingsan. Letih, sedih dan putus
asa. Ia pingsan di atas tubuh Geni yang masih menggigil
kedinginan.

Dua insan itu lama tidak bergerak Malam merangkak
semakin kelam Geni mulai sadar, sakitnya sudah mereda.
Tetapi ia tak mau bangkit atau bergerak ia tahu Sekar pingsan
dengan telungkup di atas tubuhnya. Geni memeluk gadis itu Ia
merasakan tubuh Sekar yang lunak. Gadis itu sedang tidur.
Tadinya pingsan kini malahan tidur, dimungkinkan jika
seseorang terlampau sedih, kecewa dan ketakutan.
Tengah malam, embun mulai turun, Sekar terjaga Ia kaget
merasa tangan Geni memeluknya. "Di mana kita, Geni, kamu
masih hidup?"
Geni menciumnya. Tak terkirakan gembiranya, Sekar
memeluk dan mencium kekasihnya. Dua anak manusia itu
bergumul dalam kenikmatan nafsu di gelapnya malam. Bulan
bersembunyi di balik mendung seakan malu menyaksikan dua
kekasih yang bugil di alam terbuka.
Matahari pagi mulai mengintip dari arah timur, Sekar
mencubit lengan kekasihnya. "Aku sudah bilang, tak kuijinkan
kamu mau, kita sudah sampai di rumahku, nenek pasti bisa
mengobatimu, jika dia tak sanggup maka tak seorang pun di
kolong langit ini yang bisa menyembuhkanmu"
Keduanya bergegas mengenakan pakaian, kemudian
melangkah masuk ke dalam pepohonan cemara. Sekar
melangkah hati-hati, tangannya menuntun tangan Geni dan
menghitung langkahnya. Ia melangkah ke kiri, sebentar ke
kanan Terkadang mundur lantas maju lagi. Terkadang
berhenti, berpikir sejenak lalu melangkah lagi.
Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah tua di tengah
hutan cemara. Rumah berada di tengah empang yang airnya
kehijauan dihiasi banyak bunga teratai. Tak ada jembatan
Terdengar suara dari dalam rumah. "Bocah nakal, akhirnya
kamu pulang juga, siapa yang kamu bawa?"
"Namanya Wisang Geni, kami berdua kena racun ganas,
racun ular salju."

Sekar belum selesai bicara ketika racun itu menyerang. Ia
jatuh terbanting ke tanah, bergulingan di tanah. Geni bergerak
hendak menolong, tetapi ia kalah cepat. Dari dalam rumah
berkelebat sebuah bayangan. Bagai terbang ia melayang
menggunakan bunga teratai sebagai batu loncatan melewati
empang. Gerakannya sulit diikuti mata telanjang. Cepat sekali
ia menyambar tubuh Sekar, menotok dada, memeriksa nadi,
lalu mengurut dada dan punggung. Serangan racun mereda.
Dia perempuan tua. Dia memakai semacam jubah yang
longgar dan panjang, di dalamnya dia mengenakan baju
lengan panjang dan celana sebatas mata kaki. Rambutnya
disanggul rapi di atas kepala. Matanya tajam seperti hendak
menelan Wisang Geni.
Dia melesat ke dalam rumah, kemudian kembali. Ia
menggenggam seikat rumput warna warni. Tangannya
bergerak cepat ke seluruh tubuh Sekar. Ia memijit dada,
menepuk pelan punggung bagian atas gadis itu.
"Huuuaaahhh!" Sekar muntahkan darah hitam yang berkilat
kena sinar matahari. Nenek tua itu menjejalkan seikat kecil
rumput ke mulut Sekar, mengambil air empang dan
meminumkan pada cucunya.
"Ini racun ganas! Racun ini membunuh secara perlahan
setelah sebelumnya si korban mengalami penderitaan sakit
yang panjang. Orang itu sungguh kurang ajar, tetapi mana
mungkin aku kalah, dalam tempo dua hari racun itu akan
kupunahkan."
Sekar tertawa. "Kamu memang hebat, Nek, kalau tidak,
mana mungkin kamu dijuluki Dewi Obat." Ia menatap
neneknya dengan mimik manja. "Nek, kamu tolong kawanku
ini, ia orang baik, ia menolong aku tanpa pamrih, ia tak
pernah menghinaku, kamu harus menolongnya Nek, lukanya
parah."

Dewi Obat bersungut-sungut. Ia menarik Sekar menjauh
dari Geni, "Nduk, kamu tahu aku sudah tak pernah menolong
orang luar, mengapa kamu membawa orang luar ke rumah
kita, apakah dia tahu jalan masuk?"
Sekar memeluk neneknya. Tidak dia tidak akan hafal
jalannya. ”Nek kamu harus tolong dia, kau tahu Nek, Wisang
Geni itu murid Lemah Tulis. Dia dihajar Kalayawana, dalam
keadaan luka parah dia dipaksa telan racun ular salju. Orang
Himalaya itu mengejek bahwa tak ada orang di negeri Jawa ini
yang bisa menolong Geni. Kurang ajar, dia menghina, aku saja
merasa terhina."
Nenek itu memandang cucunya dengan mimik Jenaka. "Aku
tahu kau sengaja memanasi aku, ternyata berhasil, aku jadi
penasaran, apa benar tidak bisa menyembuhkannya. Sekar,
kau harus jujur, kau pasti sudah kehilangan perawanmu, dia
yang menidurimu?"
Sekar memeluk dan mencium leher neneknya, berbisik.
"Memang dia! Beberapa kali, aku mencintainya Nek!"
Sang nenek mendengus lirih. "Laki-laki semua sama, mana
bisa dipercaya!"
Dia menghampiri Geni, memukul pelan, Geni jatuh pingsan.
Sekar berteriak, terkejut. Dewi Obat tertawa, "Dia cuma
pingsan supaya aku leluasa memeriksa." Dia meraba nadi,
dada dan punggung. Wajahnya memucat
Ia menjauh dari Geni. Ia kembali mendekat, memeriksa
mata, telinga, hidung dan mulut Geni. "Gila, ini tak mungkin!"
Ia menempelkan telinga di dada Geni. Matanya berkejapkejap,
menatap langit. Ia menggeleng kepala. "Mana bisa ada
kejadian seperti ini. Dia sudah kehilangan seluruh tenaga
cadangan, tapi aneh dia tidak mati!"
Setelah memeriksa, Dewi Obat menyadarkan Geni,
menanyakan asal kejadiannya mendapat luka separah itu.
Geni menceritakan seluruhnya. Dewi Obat diam tak bersuara,

keningnya berkerut. Ia berpikir keras. Dalam hati, ia tidak
yakin bisa menyembuhkan Geni.
"Akan kutolong sebisanya, kelihatannya lukamu sangat
parah. Kamu dihantam pukulan dingin yang merasuk sampai
di bagian paling dalam tubuhmu. Sulit disembuhkan karena
pukulan itu menyerangmu pada saat tenagamu kosong,
tenaga cadangan pun tak ada. Racun ular itu tak bisa
membunuhmu Aku heran, kenapa kamu bisa bertahan sampai
tiga-empat hari. Biasanya luka macam ini, orang hanya bisa
bertahan satu hari. Aku yakin darahmu punya penolak racun."
Nenek itu berhenti bicara, dia menoleh memandang Sekar
yang tak sadar mencengkeram lengan neneknya. Geni teringat
gurunya, Waragang yang telah membentuk kekuatan menolak
racun dalam tubuhnya. Dia berterimakasih pada guru
Waragang.
Nenek menatap tajam Geni kemudian melanjutkan,
"Darahmu mampu menolak racun tetapi sifat dingin racun
telah menambah bobot dingin pukulan Kalayawana. Aku bisa
mengusir racun ular, karena sebagian besar bisanya sudah
dilumpuhkan kekuatan darahmu Tapi rasa dingin dalam
tubuhmu tidak bisa disembuhkan, dingin itu akan menetap
terus di tubuhmu, kamu akan kedinginan makin hari makin
parah sampai...." Dia menoleh memandang Sekar yang
menangis terisak-isak.
Geni mengeluarkan nafas. "Terimakasih Nek, atas
pertolonganmu, berapa lama aku masih bisa hidup?"
Dewi Obat melangkah menuju empang. Ia menoleh kepada
dua muda-mudi itu. "Sekar kau bawa dia, ke gubuk di sebelah
timur. Aku akan persiapkan obatnya." Tak lama kemudian dia
kembali membawa kotak kecil, mengeluarkan delapan
mangkuk berbagai ukuran. Dia bekerja cepat, mengurut,
menotok dan melekatkan mulut mangkuk ke beberapa bagian
punggung.

Saat bersamaan Sekar mempersiapkan tungku api dan
tempayan besar berisi air. Geni kemudian berendam.
Api makin lama makin besar sampai titik didih yang mana
Geni tak mampu bertahan. Geni melompat keluar. Dia
berendam lagi, demikian berulang-ulang sampai delapan
mangkuk itu lepas dengan sendirinya.
Dewi Obat memegang dan meraba nadi Geni. "Lumayan,
sekarang tenaga cadanganmu mulai timbul Ada harapan kau
bisa disembuhkan. Hanya aku belum yakin," katanya. Ia
menotok beberapa jalan darah di perut dan dada. Selang
sesaat Geni muntah darah kental, hitam dan berkilat, Tiga kali
muntah.
Pagi hari itu udara dingin terasa menusuk tulang. Embun
dan kabut menyelimuti gubuk kecil. Wisang Geni tampak
sedang semedi. Ia sudah tiga hari menetap di gubuk
menjalani pengobatan. Anehnya selama itu ia tak melihat
Sekar. Meskipun hatinya bertanya-tanya namun dia agak
segan menanyakan pada si nenek. Sepanjang hari Geni
berlatih semedi dan berendam air panas.
Keesokan siang harinya, Dewi Obat berdua Sekar menemui
Geni di gubuknya. Sekar menjinjing makanan. "Aku masak
makanan enak buai kamu," katanya. Dia tampak gembira
"Tiga hari aku menjalani pengobatan, sekarang ini aku sudah
sembuh."
Dewi Obat batuk-batuk kecil, "Benar kata orang, di atas
langit masih ada langit lain, kupikir dengan ilmu pengobatanku
tidak ada suatu penyakit pun yang tak bisa kutaklukkan. Tapi
hari ini aku harus mengakui kenyataan pahit, aku tak mampu
menyembuhkan lukamu, aku cuma bisa memperpanjang
usiamu
Sekar menyela, "Nek...."
Dewi Obat mengangkat tangan. "Sekar jangan potong
bicaraku Semua yang terjadi sudah terjadi, aku juga manusia

biasa, kemampuanku terbatas. Racun ular salju sudah punah,
tetapi luka dingin pukulan Kalayawana masih menguasai jalan
darah bahkan merasuk sampai ke tulang. Tak ada lagi daya
yang bisa kukerjakan untuk menolongmu, anak muda. Racun
dingin Kalayawana itu sudah merasuk jauh ke seluruh bagian
tubuhmu, dengan ramuan yang kuberikan nanti, kamu bisa
bertahan hidup sampai satu bulan lagi."
Selama empat hari di Lembah Cemara, Geni merasa banyak
baikan. Ia kini lebih kuat "Dewi Obat, aku berhutang budi
padamu, tadinya usiaku hanya tinggal satu hari tapi kamu
telah memberi tambahan satu bulan, mungkin dalam satu
bulan itu aku bisa menemukan cara penyembuhannya. Aku
rasa tak ada gunanya lagi aku berdiam di sini, lebih baik aku
pamit sekarang."
Sekar cepat memotong. "Geni sebaiknya besok pagi,
sekarang hari sudah mendekati senja."
Dewi Obat mengiyakan. "Wisang Geni, kamu bisa sembuh
apabila ada dua pendekar yang memiliki tenaga dalam tinggi,
yang seorang menguasai tenaga dingin, orang lainnya tenaga
panas. Lalu keduanya membantumu dengan menyalurkan
tenaganya ke dalam tubuhmu"
Menatap mata Sekar yang berkaca-kaca, Geni tersenyum
dan menjawab akan berangkat esok pagi. Seketika mata Sekar
berbinar, gembira Dewi Obat hendak beranjak meninggalkan
muda-mudi itu tetapi ia berhenti sejenak. "Geni, aku ingin
bertanya, tetapi kuharap kau tidak curiga Sesungguhnya aku
masih punya ikatan keluarga dengan Lemah Tulis, dan aku
tahu kamu murid Lemah Tulis."
Geni merasa tubuhnya mengejang. Ia menjadi waspada.
Dia tidak menyahut, menanti Dewi Obat menatap mata Geni.
"Kau pernah mendengar bukit Lejar di kaki gunung Batuk?
Ratusan tahun lalu di salah satu bagian bukit pernah hidup
seorang perempuan pertapa tua, dia suka berkeliling daerah
sekitarnya dan menolong penduduk, kau tahu siapa dia?"

Geni terperanjat. Tidak sembarang orang mengetahui cerita
itu, bahkan tidak semua murid Lemah Tulis mengetahuinya.
Geni sendiri mendengar rahasia ini dari gurunya, Padeksa.
Seketika ia sadar bahwa Dewi Obat adalah teman sendiri. Geni
menjawab tegas, "Nenek pertapa itu dijuluki Nenek Panitikan!"
Dewi Obat menghela nafas. Ia gembira berbareng duka.
Gembira karena aldairnya menemukan orang yang dicari
selama ini, murid Lemah Tulis yang sudah mewarisi ilmu
Prasidha. Tetapi dia berduka lantaran mengetahui pendeknya
usia Geni. Suaranya agak gundah, "Ceritanya panjang, aku
bukan dari perguruan Lemah Tulis. Tetapi keluargaku turun
temurun kerabat dekat Lemah Tulis. Aku turunan nenek
Panitikan!"
Wisang Geni terkejut. Dicari-cari tidak ketemu Tidak dicari
justru jumpa. Belasan tahun berdua Padeksa, dia mencari
keturunan Nenek Panitikan, bahkan pernah mencarinya di
bukit Lejar. Siapa nyana justru sekarang ia sendiri yang
menemukan. "Ini pertemuan aneh. Bertahun-tahun aku dan
guruku Padeksa mencari tetapi tak berjodoh denganmu, Nek!"
Sekar yang dari tadi diam, menyela, "Mengapa kamu tidak
gembira bertemu nenek."
"Aku gembira, tetapi apakah usiaku masih cukup untuk
mempelajari Garudamukha Prasidha dan apakah ada gunanya
menguasai jurus luar biasa itu."
Dewi Obat menghela nafas. "Semua yang kita peroleh,
mungkin tidak bermanfaat pada saat itu, tetapi bisa berguna
di saat lain. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi besok atau
satu bulan ke depan."
"Terimakasih atas nasihatmu, Nek, sekarang aku mohon
kau perlihatkan padaku Kinanti Prasidha itu."
Dewi Obat makin yakin, tak salah orang. Tidak ada orang
luar yang tahu tentang Kinanti Prasidha itu, bahkan hanya
murid Lemah Tulis yang sangat dipercaya dan murid pilihan

yang diberi tugas kepercayaan mencari Kinanti Prasidha. Tapi
ia masih menguji. "Aku tak mengerti apa itu Kinanti Prasidha."
"Sebenarnya aku tak usah peduli, sebab usiaku tinggal
sebulan, tetapi tugas tetaplah tugas yang harus kulaksanakan.
Kau pasti tahu Kinanti Prasidha karena tugasmu menuntun
murid Lemah Tulis mempelajari separuh jurus Garudamukha
Prasidha yang tersembunyi dalam kinanti itu. Ilmu ini sengaja
dibagi dua untuk mencegah dicuri orang luar. Bagian separuh
diwariskan kepada murid yang dipercaya, kebetulan orangnya
adalah aku. Separuh lain disembunyikan dalam tari kinanti
yang dijaga turun temurun oleh keturunan Nenek Panitikan.
Kamu masih tak percaya padaku, Nek?"
Senang hati Dewi Obat dan Sekar. Tak disangkal lagi, Genilah
orangnya. "Aku percaya sekarang, tetapi tari kinanti tak
ada padaku, itu ada pada kakak kandungku dan putrinya.
Mereka kini ada di bukit Lejar."
"Bagaimana aku bisa menemukan mereka?"
"Jika kau berjodoh dengan ilmu dahsyat itu, kau akan
temukan mereka di pesta akhir bulan Cakra nanti. Ada pesta
gunung, banyak orang dan keramaian. Pesta akan
berlangsung tujuh malam Di salah satu tenda, kakak dan
keponakanku akan menembang tari Kinanti Prasidha. Kami
sekeluarga sudah tak sabar menanti selesainya tugas yang
diemban orangtua kami. Sejak belasan tahun lalu dalam setiap
pesta gunung di bulan Caitra kami selalu mementaskan drama
dan tari Kinanti Prasidha itu. Kau tak perlu khawatir tidak
menemukan mereka, tenda mereka mudah dikenali karena
tempat lalulintas pengunjung, dan setiap malam mereka hadir
dari awal malam sampai dini hari. Wisang Geni, aku
mengharap kamu akan memperoleh keajaiban dan sembuh
dari penyakitmu, besok pagi jika kau pergi, tak perlu pamitan
padaku. Aku cuma berpesan padamu, jika umurmu panjang
jangan kamu sia-siakan cinta Sekar." Berkata demikian Dewi

Obat berkelebat menghilang dari pandangan dua muda-mudi
itu.
Kala itu sinar matahari senja sudah hampir memasuki
peraduan. Sinarnya tak mampu menembus lebarnya
pepohonan cemara Agak gelap, tetapi sinar mata Sekar
berkilat tajam Ia tampak cantik, bekas cacarnya hampir tak
terlihat, tertutup sinar senja yang redup. Geni terpesona.
Sesaat kemudian airmata menetes dari sepasang mata
indah itu. Ia terisak. "Geni, besok kamu pergi, mungkin kamu
akan melupakan aku, tetapi aku tidak akan pernah bisa
melupakan kamu, sampai kapan pun."
Geni menghapus airmata Sekar, menciumnya dengan
lembut. "Sekar, jangan berkata demikian, aku tak akan
melupakan kamu, betapa bodoh dan gilanya aku jika sampai
melupakan kamu"
Sekar memegang tangan Geni dan menuntunnya ke buah
dadanya. Geni merasakan payudara yang kenyal dan montok.
Geni mulai terangsang, ia memeluk dan mencium mulutnya.
Mendadak Sekar mencubit pahanya dan tertawa
menggoda. "Jangan sekarang sayangku, kamu tunggu di sini,
aku akan membawakan makanan untuk kita berdua dan kita
akan berdua saja, hanya kau dan aku, sepanjang malam." Ia
pergi sambil tertawa cekikikan, berlari dan melompat ke
seberang empang, menghilang di balik pepohonan rimbun.
Hari sudah gelap. Di gubuk itu Geni berdua Sekar. Makan
berdua. Duduk bersanding memandang pucuk cemara yang
bersinar diterangi cahaya rembulan. "Geni, aku yakin kamu
masih berusia panjang, tapi ingat suatu waktu aku pasti akan
mencari kamu, aku tidak peduli di sisimu ada Wulan atau
wanita lain, aku mendatangimu, mengingatkan kamu bahwa di
kolong langit ini masih ada Sekar, gadis buruk rupa yang
sangat mencintaimu, yang mau berkorban apa saja untuk
membuat kamu bahagia."

"Kamu tidak takut dihina dan dipermalukan sainganmu?"
"Jika saatnya tiba, wajahku sudah bersih dan cantik, aku
juga membekali diri dengan ilmu silatyang lumayan. Kamu
belum melihat kemampuan silatku, karena belum
kuperlihatkan. Dalam waktu enam bulan ini nenek akan
menyembuhkan bekas cacar dan melatih kepandaian silatku.
Nantinya tidak sembarang orang bisa mengalahkan aku."
"Kalau aku, bagaimana?"
Sekar tertawa, mencubit lengan kekasihnya. "Tak mungkin
aku berani melawanmu, aku pelayanmu dan juga kekasihmu!"
Dia menyandar ke dada Geni. "Tetapi aku mau lebih dari itu,
aku mau menjadi ampil, selir atau isteri. Aku tahu banyak
wanita yang menyukaimu dan kau pasti akan terpikat rayuan
mereka, tetapi aku berani bersaing, aku yakin kau selalu akan
tergila-gila padaku, kau akan selalu ingat cara aku
melayanimu, kau akan selalu ingat tubuhku dan cintaku. Geni,
aku ingin kau menjawab jujur, apakah kau tahu aku
mencintaimu?"
Geni mengangguk. "Aku tahu!" Dia mengelus punggung
dan perut mulus itu. Kulitnya halus, tubuhnya lunak.
Sekar menggeliat. "Geni, jika aku menemukanmu dan kau
sedang dalam pelukan perempuan lain, Wulan atau siapa saja,
apakah kau masih mau mengenalku?"
"Tentu saja, tak mungkin aku bisa melupakan hari-hari
indah yang telah kita lalui bersama. Jika mau jujur,
sebenarnya aku tak tahu bagaimana perasaanku padamu,
berada di sampingmu membuat aku sangat bernafsu"
"Geni, aku akan membuatmu bahagia sepanjang malam ini,
membuat kamu mengenang dan mengingat tubuh dan
cintaku. Akan mengingat kesegaran cintaku meskipun
seandainya kamu berada dalam pelukan dan cumbu rayu
perempuan lain. Kamu akan sampai pada kesimpulan bahwa

Sekar adalah perempuan yang tak bisa kaulupakan begitu
saja."
Malam terasa pendek. Sepasang kekasih itu berbisik-bisik
mesra diselingi peluk cium penuh birahi. Sekar menangis dan
tertawa, ia bahagia berbareng sedih. Malam ini mungkin
terakhir ia melayani Geni, tak ada lagi malam-malam panjang
yang penuh nafsu dan cinta. Sekar menangis, ia mendengar
bisik Geni di telinganya. "Kekasihku, besok aku pergi, entah
apakah akan bertemu lagi denganmu, aku pun tak tahu
apakah masih akan hidup lanjut, tetapi jika aku masih hidup
aku pasti akan mencari kamu."
"Bagaimana dengan Wulan atau perempuan lain?"
"Kita hidup bersama, bertiga, aku, kamu dan Wulan. Aku
yakin Wulan akan bersedia, kamu mau?"
Sekar mengangguk. Ia mencium Geni. Lelaki itu menggeluti
tubuhnya, dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tak ada
sejengkal lekuk tubuh molek itu yang tidak dijamah tangan
dan ciuman Geni. Mereka tak mau memejamkan mata.
Sepanjang malam. Sampai esok pagi ketika burung berkicau
dan ayam berkokok, keduanya masih bugil berpelukan. Ketika
pagi datang, terompet perpisahan sudah harus ditiup. Kini
berpisah, tak tahu apakah bisa bertemu lagi.
Sekar mengantar kekasihnya dengan berurai air mata.
Mendekati batas hutan cemara, Sekar memeluk kekasihnya.
"Geni, jangan lupakan aku."
"Tak mungkin melupakan kamu, Sekar. Kau terlalu hebat
untuk bisa kulupakan, tetapi aku tak berani menjanjikan apaapa."
"Setelah sembuh dari bekas cacar ini, aku akan mencarimu.
Jika kamu mati, pasti cintaku ikut terkubur, tak ada laki-laki
lain bagiku."

Geni memeluk gadis itu. Gadis yang sangat mencintainya.
Ia mencium penuh nafsu, tangannya merambah ke belahan
celana dan meremas bokong gadis itu. Sekar menggeliat. Dua
kakinya terangkat melingkar ke pinggang Geni. Keduanya
hilang keseimbangan, jatuh terguling dalam posisi berpelukan.
Ciuman makin liar dan panjang. Burung burung menjadi saksi
saat sepasang kekasih melepas pakaian dan bersatu dalam
kenikmatan batin dan raga yang makin lama makin
memuncak.
Ditengah deru nafsunya yang panas Geni berbisik,"Sekar
jikalau saja aku bisa hidup bersamamu selamanya di Lembah
Cemara ini, aku puas. Namun aku harus pergi, aku harus
hidup, aku tidak mau mati! Tetapi seandainya mati aku akan
membawamu dalam kenangan terakhirku.''
Sekar menggeliat penuh nafsu. "Percayalah Geni, itu
tandanya kau mencintai aku, oh, aku bahagia."
"Aku tak tahu apakah ini yang disebut cinta, tetapi kalau
benar ini adalah cinta, maka pohon pohon cemara dan seisi
mahluk hutan menjadi saksi bahwa aku Wisang Geni sangat
mencintai Sekar."
"Aku bahagia kekasihku," bisik Sekar yang menjerit lirih. Ia
mendaki puncak kenikmatan. Tengah hari ketika matahari
berada di titik tertinggi Geni dengan langkah berat akhirnya
meninggalkan Sekar yang mengantarnya dengan berurai air
mata.
Duapuluh hari telah berlalu sejak meninggalkan Lembah
Cemara, Wisang Geni menjalani hari-hari yang kosong, tak
ada arti. Dia tidak langsung menuju bukit Lejar, ia merantau
tanpa tujuan. Akhirnya ia tiba juga di bukit Lejar tepat pesta
gunung memasuki hari keenam. Itulah hari terakhir bulan
Caitra, puncak keramaian pesta. Jika menurut hitungan Dewi
Obat, dia masih bisa hidup tujuh hari lagi sebelum kematian
menjemputnya.

Dia mendaki bukit Lejar, tenggelam di antara banyaknya
pengunjung. Dia dalam keadaan bimbang. Pikirannya tak
menentu, kalut. Dalam hati dia mengakui sebenarnya dia takut
mati Ada bedanya, mati dalam perkelahian, seseorang tidak
perlu menanti kematian menjemput. Ia mati dibunuh lawan.
Dan selesai. Jika menang, ia tidak akan terbunuh, musuhnya
yang mati. Tetapi keadaannya kini berbeda, ia justru menanti
saat maut datang menjemputnya. Tujuh atau enam atau lima
hari, ia tidak tahu pasti kapan saatnya ajal itu datang
menerkamnya. Geni semakin bingung. Ia seperti linglung,
mendaki bukit mengikuti ke mana langkah membawanya.
Menunaikan tugas perguruan menemukan Kinanti Prasidha
dan mempelajari ilmu pusaka Garudamukha Prasidha. Tetapi
buat apa? Berhasil menemukan dan mempelajarinya tak akan
banyak gunanya, ia akan mati membawa ilmu itu ke dalam
kubur. Pikiran ini menghantuinya sejak pergi meninggalkan
Lembah Cemara. Ia tak lagi mengurus dirinya, tak pernah
mandi, pakaiannya compang camping, wajahnya lusuh dengan
cambang, kumis serta rambut panjang riap-riapan. Geni
menyerupai pengemis butut yang dekil.
Hari itu sangat ramai. Geni terbawa arus pengunjung.
Orang-orang itu percaya jika berada di bukit Lejar pada hari
terakhir bulan Caitra, apa saja yang diinginkan akan terkabul.
Konon di bukit Lejar ini, di suatu tempat yang tidak
diketahui, dewa-dewa mengadakan pertemuan
membincangkan urusan dunia. Sebagian pengunjung mencari
jodoh, yang lain minta kekayaan dan kekuasaan. Para
pendekar mengincar buku silat yang konon milik para dewa
yang tercecer di bukit ini Para pedagang tidak ketinggalan,
datang menjajakan jualan. Semua orang datang mencari
peruntungan. Makin larut malam, lereng bukit semakin padat,
penuh sesak. Nyaris tak ada tempat kosong sepanjang lereng.
Di sana sini ada keramaian.

Wisang Geni melangkah gontai. Pakaiannya compang
camping tampak kontras dengan pengunjung sekitarnya.
Semua orang mengenakan pakaian mewah mentereng. Di
satu pojok keramaian, bagian yang tidak banyak dikunjungi
orang terdengar suara lelaki bercerita. "Siapa sangka cinta dua
anak manusia itu mendapat rintangan besar. Ksiti Sundari
menangis. Ia berduka menangisi nasib dan kisah cintanya.
Prabu Baladewa tidak setuju, apa alasannya?"
Langkah Wisang Geni terhenti. Ia diam Terbayang wajah
Wulan. Wajah perempuan yang dicintainya. Ia merasa senasib
dengan tokoh yang diceritakan itu. Ia ingin mendengar lebih
lanjut. Ia memilih sebuah pohon besar tidak jauh dari tenda
yang menggelar cerita wayang itu, bersandar dan memasang
telinga. Beberapa saat mendengar, ia lantas tahu cerita yang
dibawakan Ki Dalang adalah Ghatotkamsraya karya mpu
Panuluh. Dia mempelajarinya dari guru Waragang. Cerita yang
digandrungi banyak orang.
Sesaat Geni lupa segalanya. Ia larut dalam kisah itu. Bagian
di mana Ksiti Sundari, putri tunggal prabhu Kresna, raja
Dwarati bertemu Abhimanyu, putra Arjuna, keduanya saling
mengutarakan cinta. Berjanji sehidup semati Ksiti Sundari
memberi cupu berisi "burat" sebagai tanda setia. Cinta diamdiam
dan tersembunyi lantaran takut akan murka sang prabhu
Baladewa, kakak Kresna. Karena resminya Baladewa telah
menjodohkan Sundari dengan Laskmana, putra tunggal
prabhu Duryudhana.
Meskipun sudah mengetahui isi cerita, namun Geni masih
tetap terpesona akan kisah itu. Terutama ketika Ki Dalang
memasuki bagian Sundari kasmaran di taman. Membayangkan
kekasihnya, Abhimanyu, yang jauh di rantau, Sundari
menumpahkan segenap isi hati dalam tari. Seorang gadis
cantik dengan busana kerajaan yang mewah, naik panggung.
Ia menari lemah gemulai, indah dan mengundang pesona.
Penonton bertepuk tangan.

Jantung Geni seakan terhenti. Ia terkejut. Matanya melotot.
Ia seakan tak percaya apa yang dilihatnya. Jari-jari tangan
gadis itu meliuk-liuk seperti paruh burung, siap memangsa
korban di kanan kiri. Geni tahu itulah gerak pembukaan jurus
Prasidha. Sejak kecil gurunya Padeksa mengajarinya berulangulang
sehingga Geni sudah sangat hafal dan menguasai jurus
pembukaan itu.
Saat berikut terdengar suara si gadis melantunkan kidung,
suaranya mendayu-dayu. Kidung rindu seorang gadis yang
mabuk cinta. Berbagai rasa bergalau di dalamnya, sedih,
gembira, cinta, birahi, rindu, berontak, ingin mati, ingin
selamat. Geni melihat kidung itu dilantunkan sesuai gerak
tarinya. Adakalanya ia gemulai. Kadangkala kakinya
menghentak lantai. Sekali-sekali ia menggoyang pinggul
mengundang fantasi, mengguncang buah dadanya
memancing birahi Sepintas orang hanya melihat gerak tari
seorang penari yang dinamis. Tetapi Wisang Geni terpukau
bukan sebab tari yang sensual melainkan setiap detil
gerakannya menyerupai jurus silat. Geni memusatkan pikiran
pada gerak tari itu yang ternyata sangat akrab dengan apa
yang telah dipelajarinya, mirip Prasidha ajaran Padeksa.
Seperti orang edan, mulut Geni komat-kamit. "Itu kan jurus
Sanakanilamatra (Sebesar Angin yang Terkecil), itu Agniwisa
(Bisa Api) dan itu Silmujug Tundaghata (Menukikke Bawah
dan Menyerang dengan Patuk). Hebat, ternyata kelanjutan
jurus itu demikian adanya. Itu Parasada Atishasha (Menara
Bukan Main) dan Akivatnatyana (Biarkan Akuyang
membunuh), tak kusangka kelengkapan jurusnya begitu, luar
biasa! Itu Kacakrawatyan (Penguasaan Dunia) dan Sikbtviriya
(Cintaku Kepadanya), tapi mengapa Sikhmriya diletakkan
paling buntut, seharusnya paling awal? Tarian ini pasti jurus
pusaka Kinanti Prasidbayang kucari selama ini."
Seluruhnya ada tujuh jurus dan yang diulang-ulang sampai
tiga kali putaran. Ketika penari itu mengulang pada putaran
kedua, Geni mulai bingung. Tujuh jurus yang tadi digelar tak

lagi berurutan. Pada putaran ketiga, urutannya kembali tidak
sama. Tetapi Geni mulai mengerti. Pada setiap hendak
mengawali satu putaran, penari itu mendendang syair
Parahwanta Angentasana Dukharnaipa (Hendaknya Aku
Menjadi Perahilmu untuk Menyeberangi Lautan Kesusahan).
Apa maksud syair itu? Pasti bukan bagian ungkapan Ksiti
Sundari, sementara syair lainnya tak pernah diulang-ulang.
Tetapi kalimat ini justru diulang sampai tiga kali. Ini pasti
bagian paling penting. Tapi apa artinya?
Meskipun berpikir keras Geni tetap merekam semua yang
dilihatnya. Tak ada yang luput dari pengamatan sekecil apa
pun. Ia tak tahu berapa lama si gadis menari. Waktu terasa
begitu singkat ketika Geni melihat gadis penari itu undur diri.
Suara Ki Dalang terdengar lagi melanjutkan kisahnya. Tetapi
Geni tak lagi tertarik. Benaknya sudah dipenuhi gerak tarian
tadi.
Bagai orang linglung dia melangkah di antara orang berlalulalang.
Dia lupa keadaan sekeliling. Bahkan lupa akan diri
sendiri. Ia mulai mengingat ulang jurus Prasidha yang
diajarkan kakek Padeksa kepadanya. Lalu menggabungkannya
dengan gerak tari tadi. Satu demi satu ia rangkai dalam
benaknya. Tanpa sadar ia memeragakan di tengah keramaian.
Orang-orang tertawa melihatnya, dikiranya pengemis gila itu
sedang menari, tari yang kacau. Mendadak Geni melompat
kegirangan. "Aku dapat!" teriaknya berulang-ulang.
Itulah jodoh. Wisang Geni tak pernah tahu bahwa dia salah
satu murid Lemah Tulis paling beruntung sepanjang lima
dekade akhir. Pendekar Lemah Tulis terakhir yang mewarisi
Garudamukha Prasidha tidak lain adalah Eyang Sepuh
Suryajagad yang keberadaannya sekarang masih misterius.
Ia masih mengingat-ingat jurus dahsyat itu yang kini sudah
lengkap dan sempurna dalam benaknya, mendadak ia
terpental terbanting ke tanah. Punggungnya sakit terbentur
batu. Capingnya mental. Ia menengadah, memandang lelaki

yang membenturnya. Mata lelaki itu melotot memandangnya.
"Pengemis buduk, mata kamu buta beraninya nabrak aku."
Geni hendak melawan tetapi ia ingat keadaannya sekarang
seperti orang awam, tak punya kepandaian silat dan tak punya
tenaga Jika melawan, itu hanya mencari gebuk saja. Lebih
baik diam, mengalah. Seorang gadis mendekati lelaki itu. "Ayo
kangmas, kita jalan terus."
Lelaki itu manda digandeng si gadis. Keduanya pergi. Geni
diam terpaku, bibirnya gemetar menyebut nama seseorang,
"Sari!" Ia merasa telah berteriak, ternyata tidak, suaranya
terdengar sayup-sayup. Anehnya gadis itu mendengar
namanya disebut orang. Ia menoleh mencari-cari. Sepintas ia
melihat pengemis terbaring di tanah. Tetapi ia tak mengenal
Geni. "Aneh," gumam si gadis.
Terdengar suara lelaki itu, suara yang berat dan agak
parau. "Apa yang aneh, Wulan?"
Gadis itu menyahut sembarangan. "Aku seperti mendengar
suara yang memanggil namaku."
"Aku WisajigGeni yang memanggilmu," dia teriak dengan
suaranyya hanya terdengar macam orang ngorok. Ketika Geni
sadar sepenuhnya, Wulan sudah menghilang di dalam
kerilmunan orang. "Apakah aku bermimpi?" Geni menampar
pipinya. Sakit. "Aku tidak mimpi, benar-benar tadi aku melihat
Wulan tetapi mengapa dia tak mengenalku? Siapa lelaki itu?"
Geni merasa ada sesuatu menusuk hatinya. Sakit dan perih.
Ia cemburu. Ia bangkit, punggung dan pundaknya masih sakit
namun hatinya lebih sakit lagi. Ketika itu ada tangan
perempuan menyodor sekeping uang tembaga kepadanya. Ia
menengadah menatap wanita itu. Wajah cantik itu tersenyum
ramah. "Pak Tua itu uang untuk makan dan beli pakaian."
Geni seperti ingat wajah cantik itu. Mendadak ia
mengenalnya. "Dia Rorowangi!" Tetapi saat itu Rorowangi
sudah menghilang bersama lelaki yang mendampinginya. Geni

merasa heran. "Rorowangi dan lelaki itu Setawastra, tetapi
mengapa dia tidak mengenalku, malah menyebut aku Pak
Tua." Tangan Geni meraba wajahnya. Mendadak ia tertawa
keras. Ia sadar wajahnya dipenuhi berewok, cambang dan
kumis serta rambut panjang tak terurus, pakaian rombeng,
pantas orang tak mengenalnya.
Ia teringat lelaki yang bersama-sama Wulan Siapa dia,
mengapa tampak begitu mesra, bergandeng tangan. Geni
marah. "Apakah Wulan sudah melupakannya, begitu mudah
berganti kekasih semudah berganti pakaian?" Pertanyaan itu
ibarat pisau tajam menusuk hatinya. Ia melangkah gontai.
Pertanyaan itu memburunya terus. Geni memegang kepala,
mencoba memikirkan jurus Garudamukha Prasidha tetapi
gagal. Bayangan Wulan dan lelaki itu terus menghantuinya.
Geni melihat sebuah warung penjual tuak. Di samping
warung di sebuah pokok pohon, ia duduk bersandar. Pemilik
warung menegurnya, namun sebelum orang itu memaki, Geni
mendahuluinya. "Ini uang, bawakan aku tuak sebanyakbanyaknya."
Pemilik warung melayani macam seorang
pangeran. Geni menenggak tuak. Lima tabung. Ia mulai
pusing. Sepuluh tabung. Geni rubuh.
Saat itu fajar menyingsing, matahari mengintip di ufuk
timur. Pemilik warung mengusirnya, "Hei bangun pengemis
buduk, pergi kamu, jangan mengotori tempatku."
Geni menyahut. "Biarkan aku bermimpi, kalau aku tidur,
aku tak akan bangun lagi. Jika aku bangun, aku tak akan tidur
lagi, mati sekarang atau mati besok, sama saja." Geni
melangkah gontai, ke mana langkah membawa lubuknya.
Tanpa sadar ia berjalan ke arah ketinggian. Ia berjalan lerus.
Tubuhnya kian melemah. Matahari mulai tenggelam, Geni
jatuh tertidur. Bangun dari tidur, dia berjalan lagi. Ia tak tahu
berapa lama ia mendaki, siang berganti malam, malam
berganti siang. Ia berjalan terus. Ia tak tahu berapa hari lagi

sisa hidupnya. Racun dingin lebih sering menyerang, ia
menggigil gemetaran.
Siang itu ia terbaring menggigil, wajah dan tubuh Wulan
muncul di benaknya. Wajah cantik dan tubuh molek.
Pelukannya yang hangat, bibirnya yang panas membara Geni
mengigau menyebut nama Wulan. Lalu muncul wajah Sekar,
wajahnya cantik, tak ada lagi bercak hitam bekas cacar. Wajah
dan tubuh Sekar yang indah ranum Ia masih bisa
membayangkan kenikmatan cinta yang diberikan Sekar yang
membuatnya bahagia. Geni memanggil nama Sekar berulangulang.
Dalam benaknya ia membandingkan dua perempuan
itu. Ada perbedaan. Saat mengingat Wulan ia ingin mati
lantaran cemburu. Saat merindukan Sekar, ia ingin hidup. Ia
ingat janjinya pada gadis itu, "Aku akan sembuh dan aku akan
mencarimu." Ia merasakan birahi setiap membayangkan dua
perempuan itu tetapi ia tak bisa memutuskan siapa yang lebih
ia cintai. "Aku akan sangat bahagia jika bisa mendapatkan
keduanya sebagai isteriku."
Siang sangat terik, namun udara sejuk. Bagian lereng itu
sepi. Tak ada mahluk hidup. Sepi dan lengang. Ia haus.
Tenggorokan kering. Ia tak ingat lagi, kapan terakhir ia makan
atau minum. Tetapi haus cuma bagian kecil dari
penderitaannya. Ia tak kuat lagi melangkah. Tenaganya habis.
Setengah menyeret kaki ia sampai di bagian sisi yang terjal.
Jauh di ujung jalan ia melihat timbunan pohon bambukecil.
Biasanya dalam ruas bambu tersimpan air. Ia memaksa diri
melangkah mendaki jalan setapak. Di kiri tebing gunung
menjulang tegaklurus. Di sisi kanan jurang mengangayang
dasarnya tak terlihat Jatuh bangun ia sampai juga di
pepohonan bambu.
Persoalan lain muncul. Ia tak punya pisau untuk
memotong, tidak juga tenaga. Ia memandang bambu itu
dengan gundah. "Bambu pun tak bersahabat denganku. Inilah
akhir perjalanan hidup murid Lemah Tulis bernama Wisang

Geni!" Menggumam demikian ia menerawang berusaha
mengingat wajah orangtuanya. Samar-samar terbayang wajah
Gajah Kuning dan Sukesih. Ia bahkan belum membalas
kematian orangtuanya. Teringat bayangan guru-gurunya
Mahisa Walungan, Waragang, Gubar Baleman, Manjangan
Puguh, Padeksa.
la ing.H kala kala Padeksa, "Bila sedang kacau, kembalilah
ke kehidupan. Pikirkan tentang hidup. Ada nafas ada
kehidupan, tak ada nafas hidup pun tak ada." Tadinya tak
mengerti maknanya tetapi kini ia mengerti maksudnya. Ia
duduk bersila merasakan desah nafasnya. Ia tak mau
memikirkan hal lain kecuali bernafas. Ia tahu begitu nafasnya
berhenti, ia terbebas dari derita. Ia rela jika saat itu ia harus

mati. Ia tak punya siapa pun.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;