Senin, 26 Mei 2014

Kisah Ksatria Hutan Larangan 5

"Sama sekali tidak, Adinda. Kereta-kereta kerajaan tiap hari
hilir-mudik antara ibu kota dengan kota-kota kerajaan lainnya.
Kakanda kenal baik dengan petugas yang menguasai dan
mengurus kereta-kereta ini. Jadi, tidak menyusahkan sama
sekali. Bahkan Kakanda pun akan berusaha untuk suatu kali
berkunjung ke Galuh."
"Terima kasih banyak, Kakanda, dan maaf kalau terlalu
menyusahkan."
"Sama sekali tidak, Adinda."
Mereka keluar dari ruangan itu dan ketika mereka berjalan
di lorong besar yang diterangi oleh lentera-lentera minyak,
Pangeran Rangga Wesi berhenti berjalan dan memegang
tangan Pangeran Muda sambil menunjuk ke arah rombongan
bangsawan yang juga berjalan di lorong besar.
"Itulah sang Prabu, yang berjalan di tengah," kata
Pangeran Rangga Wesi kepadanya.
Pangeran Muda memandang ke arah seorang tua yang
bersuasana agung. Beliau diiringi oleh beberapa orang
bangsawan lain, sedang di belakang beliau berjalan
puragabaya-pura-gabaya yang sudah dikenalnya, yaitu Geger
Malela, Rangga
Gempol, Girang Pinji, dan puragabaya Rangga Sena.
Sejenak kemudian, mereka pun sudah kembali ke ruangan
tempat bangsawan-bangsawan muda belajar. Di sana
Ayahanda sudah menunggu.
PANGERAN Muda meninggalkan istana ketika malam sudah
larut sekali. Ketika tiba di pintu sayap barat istana dan dalam
ruangan tempat Ardalepa menunggu, tampak oleh Pangeran
Muda pemuda itu murung.

"Apa yang terjadi, Ardalepa?"
"Beberapa orang kawan saya ditangkap oleh jagabaya,
demikian juga bangsawan-bangsawan muda dari utara kota."
"Karena perkelahian itu?"
"Ya, kami dianggap mengganggu ketenteraman umum,
Anom."
"Apakah tuduhan itu salah?"
Ardalepa tidak menjawab. Mereka segera meninggalkan
ruangan itu dan masuk ke dalam malam yang diterangi oleh
obor-obor sepanjang jalan.
Di samping obor-obor itu, malam diterangi oleh bintangbintang
di langit yang cerah. Pangeran Muda teringat pada
malam-malam di kota Medang, di saat-saat ia mengintip Putri
Yuta Inten. Keresahan mulai lagi mengganggu hatinya yang
dipenuhi dengan berbagai pertanyaan: Apakah Gita dan Jatun
serta kawan-kawannya berhasil menyampaikan surat-surat
dan perhiasan yang dikirimkannya kepada Putri Yuta Inten?
Mungkinkah mereka mendapat kesukaran atau diketahui oleh
Raden Banyak Citra, lalu perbuatan itu dianggap tidak sopan
oleh bangsawan yang keras itu? Mungkinkah Gita dan Jatun
dirampok di tengah jalan dan surat serta perhiasan itu
melayang dan tidak diketahui nasibnya? Bagaimana kalau
surat itu disalahgunakan oleh orang-orang jahat?
Sambil berjalan dengan gelisah, Pangeran Muda pun
berharap semoga di kepuragabayaan sudah tiba Gita dengan
kawan-kawannya. Akan tetapi, ketika mereka tiba di sana,
yang tampak hanyalah para calon yang sedang membicarakan
nasib para panakawan yang diambil oleh jagabaya akibat
terlibat dalam perkelahian. Sebenarnya para calon tidak
tertarik benar oleh kejadian itu. Demikian juga Pangeran
Muda, yang menganggap kejadian itu sebagai suatu hal yang
sewajarnya.
Yang menarik perhatian Pangeran Muda adalah Jante
Jalawuyung yang kalau dikehendaki oleh Sang Hiang Tunggal
akan jadi iparnya. Belakangan ini Jante menempati tempat
khusus dalam hati Pangeran Muda. Rasa persahabatan

berubah menjadi rasa sayang persaudaraan. Walaupun
demikian Pangeran Muda belum berani membukakan isi
hatinya kepada Jante. Pertama, anak muda itu sangat
tertutup; kedua, wataknya yang keras mencegah Pangeran
Muda untuk membicarakan hal-hal semacam itu dengan dia.
Akan tetapi, rasa sayangnya tidak berarti berkurang pada anak
muda itu. Malam itu juga Pangeran Muda memilih salah
sebuah senjata kecil yang indah, sebuah badik yang pamornya
disulam dengan emas. Dengan membawa senjata itu,
Pangeran Muda berkunjung ke kamar Jante.
"Silakan duduk, Anom."
'Jante, saya dengar kau mendapat tugas di Kutabarang.
Saya harus pergi ke Galuh, kita akan sangat berjauhan."
"Ya, Anom, sekurang-kurangnya kita tidak akan bertemu
dalam tiga tahun," ujar Jante sambil memandang kepadanya.
'Jante, kau sangat baik kepadaku selama ini, saya ingin
mengucapkan terima kasihku kepadamu, tapi kata-kata tidak
cukup untuk itu. Demikian juga cara lain, tidak akan dapat
mengucapkan terima kasih dan rasa ... persahabatanku
kepadamu. Akan tetapi, saya tetap ingin mengucapkannya dan
untuk itu terimalah badik kecil ini sebagai rasa terima kasih
saya dan tanda mata selama kita berpisah."
Jante memandang benda itu, lalu menerimanya, kemudian
ia berdiri merangkul Pangeran Muda.
"Seandainya, di dunia ini lebih banyak orang yang seperti
engkau, Anom," kata Jante sambil menekankan tangannya ke
pundak Pangeran Muda.
Rasa sayang dan rasa terharu bergalau dalam hati
Pangeran Muda. Tak lama kemudian mereka pun berpisahlah
karena malam sudah sangat larut.
KEESOKAN harinya dengan tidak sabar Pangeran Muda
masih menunggu kedatangan Gita dan kawan-kawan yang
seharusnya hari itu sudah tiba di Pakuan Pajajaran. Karena
ketidaksabarannya itu, Pangeran Muda memutuskan untuk
menunggu mereka di gerbang kota, sambil berbincangbincang
dengan perwira jaga dan tukang-tukang kuda yang

telah dikenalnya. Dengan ditemani oleh Ardalepa, pergilah
Pangeran Muda ke sana.
Baru sejenak mereka tiba di sana, dari jauh tampaklah
rombongan Gita. Pangeran Muda menjemputnya dan dengan
bertubi-tubi bertanya tentang hasil tugas mereka. Gita yang
masih kehabisan napas tidak banyak menjawab, tetapi
menyerahkan sebuah kotak-lontar kecil yang indah dan harum
baunya.
"Dari Tuan Putri," katanya kepada Pangeran Muda.
Pangeran Muda menerimanya, lalu membawa Gita ke
kepuragabayaan untuk istirahat dan minum sebentar. Setelah
itu, sesuai dengan pesan Ayahanda, rombongan Gita disuruh
pergi ke sayap barat istana, untuk menginap dan menerima
pesan-pesan dan barang-barang dari Ayahanda sebelum
mereka kembali ke Puri Anggadipati.
Setelah rombongan Gita segar kembali dan, dengan diantar
Ardalepa, meninggalkan kepuragabayaan untuk bertemu
dengan Ayahanda di sayap barat istana. Pangeran Muda
segera masuk ke ruangannya dan dengan mengunci diri mulai
membuka kotak lontar kecil yang indah itu.
Dengan tangan gemetar, dipegangnya helai pertama daun
lontar yang berisi tulisan Putri Yuta Inten yang kecil-kecil tapi
jelas dan cantik itu:
Kakanda,
Hamba seperti seorang yang sudah lama menginginkan
sebuah permata, kemudian karena nasibnyayang baik,
permatayang sudah lama diinginkannya itu diberikan
kepadanya, tetapi baru saja sekejap dipegangnya sudah harus
diserahkan kembali untuk disimpan di tempatyang tidak
diketahuinya.
Kakanda,
Perasaan apakah namanyayang bergulat dalam kalbu
hambayang menyebabkan hamba berurai air mata tapi juga
mendorong hamba bersenandung dan tertawa. Hamba
bukanlah hamba seperti lima hari yang lalu, yang dengan hati
berat oleh rindu dan putus-asa, sempoyongan di lorong-lorong

puri Ayahanda, sebuah bayang-bayang yang sudah kehilangan
segala keinginan lain, kecuali mengikuti ke mana Kakanda
pergi, menunggu di dekat tempat Kakanda berada.
Dan kalau tangan hamba menyulam bunga-bunga emas di
atas kain hitam atau bunga-bunga aneka warna di atas kain
putih, khayal hamba pun menyulam berbagai kisah asmara
antara kita berdua, kisah-kisahyang lebih indah
daripadayangpernah dialami atau akan dialami oleh manusia,
kisah-kisahyang lebih indah dari aneka bunga-bungayang
hamba lukiskan pada kain-kain itu.
Alangkah nikmatnya menjalin khayalan menjadi
pengalaman-pengalaman yang indah. Akan tetapi, hamba
bukan seorang Pohaciyang karena kasih Sunan Ambu dapat
menjelmakan segalayang diinginkannya. Hamba adalah
manusia biasa, seorang gadis yang sangat sia-sia, yang
setelah berkhayal harus kembali mengakui kenyataan. Hamba
mesti kembali mengerjakan pekerjaan kewanitaan sehari-hari
dan menyadari bahwa hamba adalah seorang yang
menginginkan sesuatu yang berada di luar jangkauan seorang
gadis. Ah, betapa tersiksa nasib seekor pungguk yang
memandang bulan dan memimpikan bulan itu menjadi
miliknya.
Akan tetapi, pagi itu, tiba-tiba bulan itu turun ke pangkuan
hamba. Hamba hampir-hampir tidak percaya pada apa yang
terjadi. Bahkan sampai beberapa hariyang lalu hamba masih
meragu-ragukan diri hamba sendiri. Mungkinkah siluman
sudah lama sekali merebut kesadaran hamba, hingga hamba
tidak lagi dapat membedakan khayal dan kenyataan? Apakah
benar-benar Pangeran Anggadipati memanjat benteng dahulu
sebelum beliau meninggalkan Medang? Mungkinkah itu hanya
merupakan khayalan seorang gadis yang terlalu sedih karena
akan ditinggalkan oleh sese-orangyang dicintainya untuk
selama-lamanya? Hamba bertanya pada Emban hamba,
apakah segala kejadian itu benar-benar terjadi atau hanya
khayalan? Ketika dia mengatakanya, hamba ragu-ragu,
kemudian tidak percaya, kemudian hamba berdukacita.

Lalu datanglah surat Kakanda, dengan perhiasan-perhiasan
yang indahyang menjadi wakil kasih sayang Kakanda.
Sekarang, kalau hamba merasa ragu-ragu akan diri hamba,
hamba tinggal membuka kotak lontar dan meraba perhiasan
yang selalu ada di ranjang hamba. Hamba adalah seorang
gadis yang paling berbahagia tapi juga paling berat
menanggung rindu dan diganggu kecemasan. Berbahagia
karena hidupnya telah diberi arti dan diperindah oleh seorang
kesatria yang menjadi pujaannya. Akan tetapi, juga
menanggung rindu yang hampir tidak tertahankan karena
kesatriayang baru saja didapatnya sudah harus
meninggalkannya, entah untuk berapa, lama akan berada di
tempat yang jauh. Kecemasan pun menghantuinya karena
kesatria itu adalah pahlawan yang pekerjaannya
menundukkan kejahatan dan hidup di tengah-tengah bahaya.
Kakanda, perasaan apakah namanya yang menyebabkan
hamba menangis dan tertawa? Perasaan apakah
namanyayang timbul dari pergulatan antara kebahagiaan,
kerinduan, dan kecemasan? Dan, akankah hamba kuat
menanggungkannya sampai Kakanda kembali? Kalau Kakanda
tidak hendak menyiksa hamba, jagalah diri Kakanda dari
segala bahaya, dan pulanglah segera kepada hambayang
menantikan Kakanda senantiasa di kota, Medang Yuta Inten.
Selesai membaca surat itu berdirilah Pangeran Muda,
kemudian duduk lagi, kemudian berdiri dan berjalan mondarmandir
dalam ruangannya. Setelah duduk kembali untuk
beberapa lama, ia mulai membaca surat itu kembali dan
setelah selesai membaca untuk ketiga kalinya, dipakainya
pakaian perjalanan, lalu ia keluar dari kamarnya menuju
kamar puragabaya Geger Malela yang menjadi penguasa
kepuragabayaan. Akan tetapi, puragabaya itu masih belum
kembali dari istana. Maka, tanpa memberi tahu dan minta
dikawal oleh panakawannya Ardalepa, Pangeran Muda
berjalan menuju istana kembali.
Sampai gerbang istana malam sudah larut, untung penjaga
gerbang masih belum diganti, jadi masih mengenalnya dan

mengizinkan Pangeran Muda masuk. Ternyata pula Ayahanda
sudah beradu, dan Pangeran Muda langsung menuju ruangan
tengah, tempat Pangeran Rangga Wesi belajar dengan
bangsawan-bangsawan muda lainnya serta Putra Mahkota.
Untung, karena ketekunan bangsawan-bangsawan muda itu
mereka belum pulang dan masih belajar dan bertukar pikiran
satu sama lain.
Setelah Pangeran Muda minta izin bertemu dengan
Pangeran Rangga Wesi, seorang gulang-gulang
menyampaikan permohonannya itu kepada Pangeran Rangga
Wesi yang dengan terkejut segera menemui Pangeran Muda.
'Apakah yang terjadi Adinda? Sakitkah engkau?" tanyanya
dengan cemas sambil memandang ke wajah Pangeran Muda.
Untuk beberapa lama, Pangeran Muda tidak menjawab, tetapi
dengan gemetar menyampaikan surat Yuta Inten itu ke
tangan Pangeran Rangga Wesi, untuk kemudian menariknya
kembali dan minta maaf. Pangeran Muda berkata, "Kakanda,
hamba menerima surat. Hamba mohon maaf dan minta
bantuan Kakanda, kapan hamba akan diperintahkan untuk
pergi ke Galuh?"
"Maksudmu, bagaimana?" tanya Pangeran Rangga Wesi
yang dengan cepat mengerti keadaan Pangeran Muda.
"Kalau masih ada waktu, hamba bermaksud pergi ke
Medang dahulu." Mendengar keterangan itu termenunglah
Pangeran Rangga Wesi. Akan tetapi, setelah beberapa lama ia
memegang pundak Pangeran Muda lalu mengajaknya masuk
ke dalam dan mempersilakannya duduk.
Setelah mempersilakan duduk, Pangeran Rangga Wesi
masuk ke ruangan belajar lain. Tak lama kemudian kembali
dengan Putra Mahkota yang ternyata masih mengenal
Pangeran Muda.
"Selamat datang, Anggadipati," ujar Putra Mahkota.
Pangeran Muda segera menghaturkan sembah. Rupanya
masalah Pangeran Muda sudah dibicarakan Pangeran Rangga
Wesi karena Putra Mahkota kemudian berkata, "Begini,
Anggadipati. Sebenarnya para calon sudah harus berangkat

dalam waktu seminggu. Sedang kau sendiri karena bertugas di
tempat yang paling jauh, lusa sudah harus meninggalkan ibu
kota. Walaupun begitu, saya dapat mengusahakan
pengunduran waktu, tetapi tentu tidak lebih dari satu hari
karena kalau lebih dari satu hari akan mengganggu seluruh
rencana. Tentu hal itu tidak kauinginkan."
"Hamba serahkan pada kebijaksanaan Gusti Anom," ujar
Pangeran Muda.
"Kalau begitu tunggulah, saya harus bertemu dengan
Pamanda Geger Malela yang bertanggung jawab dalam
masalah ini," ujar Putra Mahkota seraya mengajak Pangeran
Rangga Wesi meninggalkan ruangan itu dan berjalan ke arah
ruangan lain. Tinggal Pangeran Muda dengan beberapa orang
bangsawan muda yang sedang tekun belajar, walaupun hari
sudah larut malam.
Pangeran Muda baru menyadari bahwa perbuatannya
sangat nekat. Ia telah mengganggu bangsawan muda yang
sedang belajar. Ia telah mengganggu Putra Mahkota, dan ia
pun akan mengganggu puragabaya Geger Malela yang
mungkin harus mengubah segala rencana semula dalam
waktu singkat seandainya mengizinkan Pangeran Muda untuk
mengunjungi Putri Yuta Inten sebelum pergi ke Galuh. Apakah
pandangan dan anggapan para bangsawan serta puragabaya
itu terhadapnya nanti? Mungkinkah permohonannya itu
dianggap suatu kelancangan hingga akan merendahkan
martabatnya sebagai calon?
Timbul niat dalam hati Pangeran Muda untuk
menggagalkan rencananya yang datang tiba-tiba itu. Akan
tetapi, bayangan Putri Yuta Inten timbul kembali dalam
kesadarannya, hingga tekadnya bertambah keras untuk pergi
ke Medang dahulu sebelum berangkat. Ia tidak dapat
membayangkan penderitaan macam apa yang akan
dideritanya seandainya sebelum pergi ke negeri yang sangat
jauh itu tidak bertemu dulu dengan putri yang dirindukannya.
Tak lama kemudian muncul pulalah Pangeran Rangga Wesi
dengan Putra Mahkota, berjalan menuju kepadanya,

"Anggadipati, Pamanda Geger Malela tidak dapat
menangguhkan kepergianmu lebih dari satu hari. Paling
lambat kau harus sudah berangkat hari setelah lusa," ujar
Putra Mahkota.
"Terima kasih atas jerih payah Gusti Anom," ujar Pangeran
Muda.
'Jadi, kau mau pergi juga ke Medang, Adinda?" Pangeran
Rangga Wesi bertanya dengan terkejut. "Ya, Kakanda."
"Adinda, tapi itu berarti kau harus melakukan perjalanan
malam. Malam hari bukan saja jalan-jalan gelap, tetapi
binatang-binatang buas berkeliaran dari hutan ke padangpadang.
Di samping itu, banyak orang jahat."
"Doa Kakanda hamba mohonkan," ujar Pangeran Muda.
"Rangga Wesi, biarlah Anggadipati pergi. Bukankah kau
juga seperti dia dan sering memaksaku pergi ke wilayah Kutabarang
untuk bertemu dengan kakaknya?"
"Gusti Anom, tapi hamba cemas akan nasib Adinda
Anggadipati," ujar Pangeran Rangga Wesi.
"Bagaimana kalau kita sediakan lima orang pengawal?"
Putra Mahkota bertanya.
"Ya, itu pikiran yang baik," ujar Pangeran Rangga Wesi.
"Tidak usah menyusahkan, Gusti Anom. Di samping itu,
Kakanda, si Gambir sangat cepat larinya, tidak mungkin dapat
diikuti oleh kuda para pengawal. Lagi pula, hamba tidak
merasa perlu dikawal."
Setelah bertukar pikiran beberapa saat, akhirnya
diputuskan Pangeran Rangga Wesi menyediakan lima orang
pengawal. Tak berapa lama kemudian, seperti dikejar Malakal
Maut, Pangeran Muda pun telah memacu kudanya di bawah
berjuta-juta bintang yang berkelipan di angkasa. Ia diikuti oleh
lima orang penunggang kuda lain yang makin lama makin jauh
ditinggalkan oleh si Gambir dan akhirnya tidak tampak lagi.
PERJALANAN antara ibu kota dengan kota Medang yang
biasanya ditempuh dalam dua hari, dengan malam hari
beristirahat, Pangeran Muda menempuhnya dalam satu hari
satu malam tanpa beristirahat dahulu. Pada sore hari itu,

Pangeran Muda sudah berada di wilayah yang berada di
bawah kekuasaan Raden Banyak Citra. Makin dekat ke kota
Medang, makin cepat Pangeran Muda melarikan si Gambir.
Akan tetapi, pada suatu kampung yang berada tidak jauh lagi
dari kota Medang, Pangeran Muda berhenti. Dan setelah
menitipkan si Gambir untuk diurus dan setelah menyewa
seekor kuda yang kuat dari penduduk, Pangeran Muda
melanjutkan perjalanan kembali dengan menunggang kuda
yang masih segar itu. Ketika malam turun, sayup-sayup
terlihatah menara-menara kota Medang. Dan ketika malam
mulai gelap, tibalah Pangeran Muda di depan gerbang kota.
Akan tetapi karena terlambat, gerbang itu sudah ditutup rapat.
Pangeran Muda membalikkan kuda, lalu mencari kampung
terdekat untuk menitipkan kuda itu agar tidak menjadi mangsa
serigala. Setelah selesai membuatjanji dengan seorang petani
yang tinggal di rumah yang berpagar tinggi di tengah-tengah
padang, Pangeran Muda pun pergilah dengan berjalan kaki.
Karena rumah petani itu tidak jauh dari dinding kota Medang,
dalam beberapa saat Pangeran Muda sudah berada di bawah
dinding benteng, terlindung oleh gelap malam.
Seperti seekor bajing, Pangeran Muda memanjatinya.
Begitu Pangeran Muda tiba di atas, sekelompok gulang-gulang
yang sedang berjaga berkeliling lewat di dekatnya. Pangeran
Muda terpaksa bergantung untuk beberapa saat, menunggu
hingga gulang-gulang itu berlalu. Setelah mereka berlalu,
Pangeran Muda berjalan di atas jalan yang sempit di atas
dinding benteng itu. Dalam remang-remang malam itu
dicarinya atap rumah-rumah yang paling tinggi yang menjadi
tempat kediaman keluarga Banyak Citra. Setelah
ditemukannya, Pangeran Muda segera menuruni dinding
benteng, kemudian berjalan dalam lorong-lorong yang
walaupun lengang, masih belum ditinggalkan sama sekali oleh
penduduk kota. Setelah beberapa lama berjalan, tibalah
Pangeran Muda di suatu rumah besar yang dinding
bentengnya sangat tinggi dan gerbang-gerbang-nya dikawal
oleh sejumlah gulang-gulang. Pangeran Muda berdiri di

tempat yang gelap sambil memeriksa dinding benteng dari
jauh. Kemudian ditetapkannya tempat yang akan dipanjatinya,
yaitu dinding benteng yang di sebelah dalamnya terdapat
sebuah pohon. Melalui pohon itulah Pangeran Muda
bermaksud meluncur dan masuk ke halaman dalam rumah
keluarga Banyak Citra. Akan tetapi, ditunggunya sampai
malam bertambah gelap sebelum rencananya itu
dilaksanakan.
Ketika saatnya sudah tiba dan para gulang-gulang lengah,
memanjatlah Pangeran Muda. Dari dinding benteng ia
melompat ke arah dahan pohon tanjung tanpa mengeluarkan
bunyi. Setelah> meluncur ke bawah ia pun berjalan menuju
jendela ruangan Putri Yuta Inten. Mujur jendela itu masih
terbuka karena malam belum larut. Akan tetapi, para gulanggulang
masih sibuk hilir-mudik di lorong-lorong, hingga
Pangeran Muda tidak dapat segera mendekati jendela itu.
Akan tetapi, begitu kesempatan tiba, Pangeran Muda segera
mengendap menuju jendela besar itu.
Seperti pada waktu pertama kali dilihatnya, di dalam kamar
itu Putri Yuta Inten sedang menjalin rambutnya di depan
cermin, sementara emban tua itu sedang membereskan
berbagai barang bekas Putri Yuta Inten menyulam. Pangeran
Muda berpikir sejenak, bagaimana supaya kedatangannya
tidak mengejutkan gadis itu. Setelah berdiri beberapa lama,
diputuskannya untuk mengetuk jendela itu, lalu hal itu
dilakukannya.
Putri Yuta Inten melihat ke arah jendela, dan sambil
menutup mulutnya berdiri dari tempat duduknya, memandang
kepada Pangeran Muda. Pangeran Muda meletakkan
telunjuknya di bibir, lalu dengan tangkas melompati jendela
itu. Emban tua itu melihatnya dan menjerit dengan suara
tertahan. Pangeran Muda memberinya isyarat supaya ia diam.
Untuk beberapa lama kedua remaja itu berdiri berhadapan
dan saling memandang, seolah-olah menganggap satu sama
lain makhluk aneh yang baru dilihat untuk pertama kali.
Kemudian, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, kedua muda

remaja itu menghambur ke arah satu sama lain. Pangeran
Muda hanya sekejap melihat bagaimana emban tua itu
membalikkan badan membelakangi mereka, kemudian seluruh
kesadarannya terpusat pada bibir Yuta Inten, wajahnya dan
seluruh kehadirannya, lembut dan hangat melekat di dadanya.
Entah untuk berapa lama mereka berlaku seperti itu, pada
suatu saat Putri Yuta Inten bertanya, ”Jalan mana Kakanda
masuk?"
"Tak ada dinding yang menghalangi kasih sayang," ujar
Pangeran Muda.
Kemudian rambut Putri Yuta Inten yang lembut dan ikal itu
menenggelamkan wajah Pangeran Muda dalam impian yang
memabukkan. Pada suatu kali terdengar emban tua itu
mendeham, dan kedua remaja itu melepaskan diri masingmasing.
"Sebentar lagi ayam jantan berkokok," kata emban tua itu.
"Kakanda, tidurlah malam ini di rumah penduduk kota, esok
pagi kita menghadap kepada Ayahanda. Sebenarnya ingin
sekali hamba mempersilakan Kakanda tidur di dalam rumah
kami, tetapi Ayahanda tidak akan menyetujui hal itu. Kecuali
kalau kita membangunkannya dan meminta izin kepada beliau
terlebih dahulu," ujar Putri Yuta Inten sambil memegang
tangan Pangeran Muda.
"Adinda, tapi malam ini juga Kakanda harus kembali ke
Pakuan, untuk kemudian berangkat ke Galuh untuk bertugas.
Kakanda telah melakukan perjalanan selama satu hari satu
malam agar dapat bertemu dahulu dengan kau sekarang."
Mendengar penjelasan itu, Putri Yuta Inten membukakan
matanya yang jelita, penuh dengan rasa heran dan cemas.
'Jadi, Kakanda melakukan perjalanan malam hari, seorang
diri?"
"Tidak, Adinda, Kakanda diiringi oleh lima orang pengawal,"
ujar Pangeran Muda.
"Jadi ... jadi Kakanda datang hanya untuk bertemu ...
sebentar saja?" kata gadis itu, seraya menyandarkan dirinya

ke dada Pangeran Muda kemudian mulai menangis terisakisak.
Pangeran Muda tidak tahu apa yang harus dilakukannya
kecuali mengeratkan pelukan dan mengusap-usap rambut
gadis itu. Lalu dengan mata gabak, Yuta Inten tengadah
kepadanya dan berkata, "Jadi, Kakanda harus pergi sekarang
juga, sebelum bertemu dengan keluarga hamba?"
"Begitulah, rupanya Adinda."
Hanya setelah emban tua yang cemas itu memperingatkan,
mereka berpisah dan berunding tentang rencana-rencana
mereka selanjutnya.
"Kita akan berpisah, mungkin untuk tiga tahun, tetapi
mudah-mudahan dalam tiga tahun itu Kakanda dapat kembali
ke Pajajaran barat ini untuk bertemu dengan kau dan seluruh
keluarga. Atau siapa tahu kita dapat bertemu di Pakuan. Kalau
ada sesuatu yang harus disampaikan kepada Kakanda,
sampaikanlah kepada Pangeran Rangga Wesi di Pakuan
Pajajaran. Ia adalah calon suami Ayunda Ringgit Sari dan telah
berjanji akan membantu kita. Janganlah ragu-ragu,
sampaikanlah segala berita kepada Kakanda melalui Pangeran
Rangga Wesi."
"Baiklah, Kakanda. Apakah sudah tiba saatnya hamba
memberi tahu kepada Ayahanda tentang hal kita ini?"
"Jelaskanlah segalanya dan sampaikan salam serta
permintaan maaf Kakanda kepadanya karena Kakanda tidak
sempat bertemu kembali dengan beliau sebelum bertugas."
"Baiklah, Kakanda. Hamba akan dapat mengenakan
perhiasan dari Kakanda itu dengan terang-terangan," ujar
Putri Yuta Inten seraya tersenyum.
"Sekarang, tibalah saatnya Kakanda untuk meninggalkan
kau, Adinda," ujar Pangeran Muda.
Emban tua itu membalikkan tubuhnya dan berpura-pura
membereskan alat-alat jahitan untuk kesekian kalinya. Akan
tetapi, betapapun beratnya bagi mereka untuk berpisah,
akhirnya dengan uraian air mata, Pangeran Muda keluar
ruangan dan setelah beberapa kali memanjati dinding

kemudian dinding benteng kota, telah berada lagi di padang
terbuka.
Setelah berganti kuda, dan kembali mengendarai si Gambir,
dan setelah berjalan sepanjang hari dan sepanjang malam,
pada subuh hari ketiga tibalah kembali Pangeran Muda ke
Pakuan Pajajaran.
"Kau sudah ada di sini lagi, Anggadipati?" tanya
puragabaya Geger Malela.
"Hamba berterima kasih dan mohon maaf telah
mengganggu rencana Kakanda semula," kata Pangeran Muda.
"Tidak apa. Esok pagi kau harus sudah berangkat."
00de00kz00
Bab 16
Rawa Siluman
Keesokan harinya kebanyakan dari para calon yang
menginap di kepuragabayaan telah mendapat tugas masingmasing.
Termasuk ke dalam gelombang pengiriman pertama
ini adalah Pangeran Muda. Sebagai satu-satunya di antara
para calon yang ditugaskan ke Pajajaran timur, Pangeran
Muda diikutsertakan dengan rombongan kerajaan yang terdiri
dari sebuah kereta dan dua puluh orang anggota rombongan,
lima belas di antaranya pengawal. Di antara anggota
rombongan yang lima orang, termasuk Pangeran Muda,
adalah petugas-petugas kerajaan. Pada saat yang ditetapkan,
berangkatah rombongan itu menuju ke timur.
Berbeda dengan perjalanan yang dilakukan di bagian utara
dan barat kerajaan, perjalanan ke bagian timur dan selatan
kerajaan kebanyakan melalui dataran tinggi. Pemandangan
seperti padang-padang terbuka dan bukit-bukit hampir tidak
ada. Yang harus ditempuh kebanyakan berupa jalan-jalan
sempit di sela-sela tebing jurang, hutan-hutan lebat, gununggunung
berhutan yang pohon-pohonnya besar dan
berjanggut.

Kampung-kampung di daerah ini berbeda pula dengan
kampung-kampung di dataran rendah. Rumah-rumah hampir
tidak kelihatan di balik pohon-pohonan yang berdaun rindang,
sedang di samping pagar-pagar tinggi yang mengelilingi
kampung-kampung itu, rumah-rumah bertiang sangat tinggi
pula. Untuk memasuki beberapa rumah, kadang-kadang orang
harus menggunakan tangga. Dari kawan seperjalanannya,
Pangeran Muda mendapatkan keterangan bahwa di dataran
tinggi itu banyak binatang buas, yang paling ditakuti adalah
ular-ular berbisa. Itulah sebabnya rumah-rumah bertiang
tinggi-tinggi.
Karena rombongan sangat besar, soal keamanan tidaklah
mengkhawatirkan. Perampok-perampok tidak akan berani
mengganggu suatu rombongan yang dikawal oleh lima belas
orang gulang-gulang Oleh karena itu, selama di perjalanan tak
ada gangguan-gangguan dari manusia, kecuali dari alam,
seperti pohon-pohon yang tumbang ke jalan, pendakian-pendakian
yang terlalu curam, jalan berlumpur yang
menyebabkan roda-roda kereta tertanam dan kereta harus
diangkat bersama-sama, dan sebagainya. Setelah perjalanan
yang sukar itu dilalui selama lima hari, dataran rendah mulai
terbentang di hadapan rombongan. Maka mereka pun menarik
napas panjang karena lega. Dua hari perjalanan lagi, dengan
dua malam menginap di tengah padang dan sebuah kampung,
tibalah rombongan di kota Galuh yang tua itu.
Kota Galuh bukan saja sudah sangat tua dan didirikan
beratus tahun yang lampau, tetapi juga bersuasana tua. Luas
kota itu dan tebal dinding bentengnya hampir menandingi kota
Pakuan Pajajaran, tetapi jumlah penduduknya dan
kesibukannya sangat kecil kalau dibandingkan dengan ibu
kota. Karena tuanya, dinding-dinding benteng itu kehitaman
tampaknya, demikian juga rumah-rumah dan bangunanbangunannya.
Oleh karena itu, suasana kota itu sangat
murung.
Setelah berapa lama melewati lorong-lorong kota itu,
akhirnya tibalah rombongan di depan sebuah bangunan yang

paling besar, tempat beberapa orang bangsawan keluar
dengan diiringi oleh pengawal-pengawal mereka. Sementara
anggota-anggota rombongan lain berurusan dengan para
bangsawan, Pangeran Muda diperkenalkan kepada Pangeran
Rangga Wisesa yang menerimanya dengan ramah dan
gembira.
"Mudah-mudahan engkau senang tinggal di sini, anak
muda. Oh, siapa namamu?" tanya Pangeran yang setengah
baya itu.
"Anggadipati, Panglima, seperti tertulis pada surat
pengantar itu," ujar Pangeran Muda dengan hormat.
"Suasana daerah ini akan sangat berbeda dengan Pajajaran
barat atau utara. Wilayah ini ditinggalkan oleh penduduknya
yang memilih daerah barat atau utara yang lebih ramai dan
lebih aman, itulah sebabnya kota ini tampak terlalu besar.
Kebanyakan yang tinggal di sini adalah petani-petani dan
prajurit, sedang kaum pedagang dan cerdik cendekia memilih
Pajajaran barat dan utara. Tapi bagaimanapun juga ini adalah
bagian Pajajaran. Kita harus mengembangkannya kembali di
berbagai bidangnya. Nah, penugasanmu ke sini adalah untuk
membantuku dalam soal pengembangan kembali itu,
khususnya di bidang keamanan."
"Mudah-mudahan hamba dapat memenuhi harapan,
Panglima," ujar Pangeran Muda.
"Daerah rawa-rawa tentu merupakan daerah yang baru
bagimu, anak muda," ujar Panglima itu.
"Ya, Panglima," ujar Pangeran Muda. Dan sambil
berbincang-bincang seperti itu tibalah mereka di atas gerbang
benteng. Para gulang-gulang mempersilakan mereka untuk
memasuki kandangjaga yang tepat terletak di atas gerbang
kedua dari kota Galuh, yaitu gerbang yang menghadap ke
selatan.
KETIKA itu hari sudah menuju gelap, langit dipenuhi oleh
keluang dan kelelawar. Akan tetapi, dengan agak keheranan,
Pangeran Muda melihat para gulang-gulang belum juga

menutup gerbang kota. Ia bertanya kepada Panglima, apakah
belum waktunya para gulang-gulang menutup pintu kota itu.
"Sebentar lagi, anak muda. Sebentar lagi rombongan
terakhir petani dari daerah rawa-rawa akan memasuki kota.
Mereka sudah setengah tahun lamanya terpaksa tidur di
dalam kota karena di kampung mereka keamanan tidak
terjamin," kata Panglima.
"Hamba tidak mengerti maksud Panglima," ujar Pangeran
Muda.
"Begini, anak muda. Saya justru ditugaskan di wilayah ini
untuk menghadapi masalah keamanan yang pelik. Sebelum
saya datang ke sini, hampir seluruh penduduk kampung
terpaksa mengungsi ke kota setiap malam karena
merajalelanya penjarah-penjarah dan pembunuh-pembunuh.
Setelah diadakan gerakan-gerakan pembersihan, umumnya
kampung-kampung di luar benteng cukup aman, kecuali yang
berdekatan dengan rawa. Sudah berulang-ulang dilaksanakan
pencarian ke daerah rawa-rawa itu, tetapi hasilnya tidak
banyak. Kita belum menemukan jejak penjahat-penjahat ini."
'Apakah pengejaran masih terus dilakukan?"
"Masih. Tiga kelompok jagabaya masing-masing berjumlah
dua puluh lima orang terus-menerus menyisir hutan-hutan dan
rawa-rawa serta padang-padang sempit. Akan tetapi, hasilnya
tidak banyak, jejak mereka sukar dicari di daerah yang
bersungai-sungai ini. Lebih mudah mencari musuh di padangpadang
utara daripada di sini, anak muda," kata Panglima.
Pada saat itu muncullah rombongan terakhir petani-petani
yang mengungsi itu. Obor-obor mereka berkobar-kobar di
tengah-tengah kegelapan. Suara roda pedati, suara ternak
serta percakapan dan suara tangis anak-anak sayup-sayup
terdengar. Pangeran Muda memerhatikan rombongan yang
makin dekat itu dengan penuh perhatian. Dan ketika mereka
sudah berada di bawah dinding benteng serta mulai melewati
kandang jaga, tampaklah rakyat yang prihatin itu berbondongbondong.
Pemandangan itu menyedihkan hati Pangeran Muda.

"Seandainya mereka terus-menerus harus mengungsi ke
dalam kota setiap malam, akhirnya kepercayaan mereka
kepada kerajaan akan menurun. Mungkin karena bosan
mereka akan menyerah pada pengacau-pengacau itu dan
memutuskan untuk membayar pajak kepada mereka. Kalau
sudah demikian, kita sudah setengah kalah karena berarti
kerajaan sudah kehilangan rakyatnya," ujar Panglima.
"Apakah hal seperti itu mungkin terjadi Panglima?"
"Saya datang ke sini menghadapi keadaan yang sudah
sangat jelek, anak muda. Sebenarnya, saya belum dapat
menetapkan betapa jeleknya keadaan karena baru enam
bulan saya berada di sini. Akan tetapi, kalau keadaannya
seperti sekarang, keadaan yang paling jelek mungkin saja
terjadi. Berulang-ulang saya hampir meminta bala bantuan
sejumlah besar jagabaya untuk mencari pengacau-pengacau
itu, tetapi harga diri saya belum mengizinkan untuk itu.
Demikian juga saya berpendapat, kalau sejumlah jagabaya
ditempatkan dan terikat di sini, mungkin hal itu sebenarnya
yang diinginkan oleh lawan-lawan kita. Jadi, yang penting
adalah menemukan cara-cara pengepungan dan pencarian
yang tepat, sesuai dengan keadaan medan di sini. Dan itu
sedang terus-menerus kita cari."
Keesokan harinya, sebagai pengawal pribadi Panglima,
Pangeran Muda ikut menghadiri perundingan yang dilakukan
oleh Panglima dengan pembantu-pembantunya. Pertama-tama
diterima laporan terakhir dari daerah rawa-rawa yang
dianggap oleh Panglima sebagai tempat persembunyian para
pengacau itu. Kemudian diadakan pembahasan dan diambil
kesimpulan oleh Panglima dan para pembantunya. Dilakukan
pula perkiraan mengenai gerakan yang harus dilakukan
kemudian.
Setelah perundingan hari itu selesai, dan ketika Panglima
sedang meninggalkan ruangan, seorang penunggang kuda
datang tergopoh-gopoh membawa laporan. Panglima
membaca laporan itu dan dengan wajah suram mengatakan
kepada Pangeran Muda bahwa sepuluh orang jagabaya

tenggelam di salah sebuah rawa yang letaknya tidak dapat
ditetapkan.
"Yang saya butuhkan sebenarnya kira-kira sepuluh orang
puragabaya, tetapi kalau saya meminta bantuan sepuluh
orang puragabaya, saya tidak usah lagi berpangkat panglima
jagabaya," kata Pangeran Rangga Wisesa. Tampak beliau
sangat berkecil hati dengan adanya laporan terakhir itu.
Dengan adanya laporan terakhir itu, rapat terpaksa dibuka
kembali dan perundingan dilanjutkan hingga siang, di mana
diputuskan jumlah jagabaya yang lebih besar dikerahkan ke
daerah selatan wilayah Galuh itu.
Dua minggu setelah peristiwa tenggelamnya sepuluh orang
jagabaya, kejadian yang menyedihkan terulang kembali, di
mana tiga jagabaya lain tewas karena penghadangan yang
direncanakan dengan baik oleh pengacau-pengacau itu.
Terdorong oleh keinginan lebih banyak membantu Panglima
Rangga Wisesa, dan terdorong pula oleh keinginan
mengetahui lebih banyak tentang daerah kekuasaan Galuh,
Pangeran Muda mengusulkan dirinya untuk mengikuti salah
satu rombongan jagabaya yang melakukan pencarian tempat
persembunyian gerombolan pengacau itu.
"Tugas utamamu adalah sebagai pengawal pribadiku, anak
muda. Tugas kedua adalah menyumbangkan pikiran-pikiran
dalam perundingan karena seorang puragabaya adalah orang
yang menguasai soal-soal siasat peperangan. Sedang
mengikuti jagabaya bukan saja tidak termasuk ke dalam
tugasmu, tetapi mungkin akan merendahkan martabat

kepuragabayaan," ujar Panglima.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;