Sabtu, 17 Mei 2014

geni 28

Prawesti dan Sekar diam-diam melangkah keluar rumah.
Mereka tidak cemburu. Sudah ada kesepakatan tak boleh ada
cemburu malahan kadang-kadang memberi kesempatan
temannya berduaan dengan Geni.
Sedang Prawesti pernah berjanji bahwa ia akan memberi
lebih banyak waktu kepada Sekar dan Gayatri bercinta dengan
Geni. Melihat dua perempuan itu keluar rumah, Geni memeluk
gemas Gayatri. Saat berikutnya dua kekasih ini larut dalam
permainan cinta.
Siang berganti senja, matahari mulai doyong ke Barat. Dua
insan itu masih bergelut dalam api asmara Gayatri
merebahkan kepala di dada Geni. Ia mendengar degup
jantung kekasihnya Geni mengelus-elus rambut Gayatri. "Kau
cantik, hangat, mesra dan mahir bercinta, padahal aku tahu
persis kamu masih perawan artinya belum pernah dijamah
laki-laki, lantas dari mana kamu pelajari cara bercinta yang
begitu memikat?"
Gayatri tertawa. "Aku belajar dari kamu"
"Tetapi aku tak pernah mengajari kamu"

"Aku mempelajari apa yang kau suka kemudian dari situ
aku memikirkan cara untuk memberi kepuasan kepadamu.
Mudah kan?" katanya sambil membelai dan mengelus bulu
dada suaminya.
"Kamu cerdas, itulah yang membuat aku sangat
menyintaimu, lebih dari apa pun di kolong langit ini." Geni
berbisik di telinga kekasihnya. "Kamu lebih hebat dari Sekar
dan Westi, lebih cantik, tubuhmu sempurna, caramu bercinta
lebih merangsang, aku tidak akan pernah bosan menikmati
tubuhmu" Kata-kata ini juga sering dia ucapkan di telinga
Sekar.
"Oh Geni, kekasihku, hanya kamu yang kucintai, aku hanya
hidup untuk memuaskan dirimu. Nikmatilah tubuhku sepuaspuasnya,
karena semakin kamu puas, semakin aku bahagia.
Aku ingin sisa hidupku yang dua bulan ini kita nikmati sepuaspuasnya."
"Tak usah kau sebut-sebut sisa hidupmu tinggal dua bulan,
tak mungkin itu terjadi, kita berdua akan hidup lama, seperti
kataku, kita menyepi dan hidup bersama anak-anak kita."
Perempuan itu mengalihkan pembicaraan. "Geni apa alasan
sebenarnya kamu mundur itu? Apakah benar kamu bosan
dengan pertarungan, jenuh dengan perkelahian di rimba
persilatan ini?"
Geni mendekap isterinya. "Aku tak akan pernah katakan ini
pada orang lain. Aku sakit hati karena pada akhirnya aku tahu
orang-orang di sekitarku hanya butuh aku sebagai pelindung
untuk menghadapi musuh, aku merasa sebagai petarung
untuk kepentingan mereka. Tarung ini tak akan pernah
berhenti, bisa sepanjang hidupku. Mereka tidak tulus padaku,
mungkin yang tulus padaku, hanya Gajah Lengar dan Gajah
Nila. Keduanya murid ayahku, mereka mencintai ayahku,
mereka menyayangiku dengan tulus. Kamu ingat waktu Gajah
Lengar siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu Jika
Sekar terlambat sesaat, dia akan mati lebih dulu setelah itu

baru kamuyang mari Ia tidak mengenalmu, tetapi ia
menyayangiku maka ia juga menyayangi isteriku, tanpa
pamrih." Gayatri mengangguk karena dia menyaksikan sendiri
sepak terjang Gajah Lengar.
Sudah dua hari sejak Wisang Geni melepas jabatan ketua.
Suasana Lemah Tulis masih muram. Semua murid dilanda
kebingungan. Mereka tidak bisa menyembunyikan kenyataan
belum ada seorang murid pun yang mumpuni menjadi ketua.
Hanya dua yang layak, Padeksa dan Gajah Waiu. Namun
kedua sepuh itu menolak, dengan alasan usia sudah lanjut.
Padeksa dan Gajah Watu belum menentukan sikap. Malam
itu, keduanya berembuk. "Tak ada jalan lain, kita harus
membujuk Wisang Geni, kalau perlu mengemis kepadanya, ini
kan untuk kemajuan Lemah Tulis, kita tak boleh membiarkan
Lemah Tulis yang sudah maju pesat ini kembali merosot," kata
Gajah Watu
Keduanya menuju rumah Geni. Lelaki itu sedang bercanda
dengan tiga isterinya. Gajah Watu membuka percakapan,
minta Geni membatalkan niatnya. Namun Geni bersikukuh
tetap mundur. "Aku tak bisa menjilat ludah kembali."
Padeksa menoleh kepada Gayatri dengan air muka muram.
Orang tua itu berkata dengan suara rendah. "Gayatri aku
minta maaf atas nama semua murid jika perlakuan
terhadapmu telah menyinggung perasaanmu."
"Tidak perlu begitu kakek yang budiman, aku tidak pernah
tersinggung, aku tidak marah, semua itu aku anggap biasa."
Gayatri bicara dengan kepala merunduk dan suara yang lirih.
Orangtua itu memandang Gayatri bergantian Wisang Geni.
"Gayatri, kamu bantu melunakkan hati suamimu"
Gayatri tetap merunduk. "Aku tidak berani lancang
terhadap suamiku. Sejak mulai dewasa, aku diajar untuk
patuh kepada ayah, setelah kawin, maka harus patuh dan
setia melayani suami seperti pelayan dengan majikan."

Semua diam. Sekar beringsut mendekati Geni dan berbisik
di telinga. Geni batuk kecil lalu menggeleng-geleng kepala.
"Sekar membujuk aku agar menerima permintaan guru, tapi
guru maafkan aku, mohon beribu ampun, aku tak sanggup
menjadi ketua. Sesungguhnya sekarang ini guru berdua yang
layak memimpin Lemah Tulis. Pasti perguruan akan lebih
maju."
Padeksa berkata dengan nada tinggi, "Kamu keras kepala,
apakah kamu tidak berpikir bahwa kamu bisa jadi begini hebat
karena telah dibesarkan oleh Lemah Tulis?"
"Lebih tepat lagi, aku menjadi besar karena dibesarkan
guru. Dan sekarang aku harus membalas jasa. Begitu kan
maksud guru?" Geni bicara dengan nada datar tanpa emosi.
Tetapi dari air mukanya orang bisa menangkap bahwa dia
merasa kecewa dan getir.
Dua orang tua itu terpaku di tempat duduk. Geni
melanjutkan, "Aku sudah melewati banyak pertarungan
dengan nyawaku di ujung maut, semua kupertaruhkan untuk
Lemah Tulis. Tolong guru memahami, aku tak sanggup lagi,
aku bosan, capek, aku ingin sendiri, ingin menyepi. Aku akan
selesaikan pertarungan lawan pendekar Cina. Setelah itu jika
aku selamat dari pertarungan itu dan jika aku masih hidup,
ijinkan aku pergi, aku mohon guru, jika memang masih ada
setetes kasih sayangmu padaku."
Padeksa melihat mata murid dan cucu angkatnya itu
berkaca-kaca. Ia terharu, ia bisa merasakan yang dialami
Geni. Semua pendekar pada akhirnya akan dibebani perasaan
seperti itu. Ia akhirnya legowo, menghargai keputusan Geni.
"Baik, tetapi kamu masih harus membantu jika Lemah Tulis
butuh bantuanmu, dan kamu berjanji akan melatih muridmurid
nantinya."
"Terimakasih, kakek. Aku berjanji bahwa aku masih
menjadi bagian dari Lemah Tulis. Aku pasti akan membantu
perguruanku ini, aku tetap membuka pintu menerima murid

yang kau kirim belajar padaku. Besok, aku mengajak kukang
Gajah Lengar, Gajah Nila dan beberapa murid lain
membantuku membangun rumah."
---ooo0dw0ooo---
Warok Brantas, lelaki berusia empatpuluhan, tubuhnya
tidak tinggi tetapi kekar berotot. Kumis dan janggutnya lebat,
juga bulu-bulu dadanya. Pakaiannya hitam dengan bagian
depan dada telanjang memperlihatkan dada yang bidang. Di
sekitarnya lima isteri dan beberapa gundik sibuk melayani.
Warok hidup macam raja, ia memang penguasa perguruan
Brantas. Dengan anak murid yang mencapai ratusan orang,
tidak heran jika perairan kait Brantas dan kali Porong berada
dalam kekuasaannya.
Semua angkutan air, perahu kecil sampai perahu layar
besar adalah milik Warok. Siapa saja yang menggunakan jasa
perjalanan air harus mendapat pengawalan dari anak murid
Brantas. Tentu saja dengan imbalan membayar jasa.
Sesungguhnya penguasa tunggal perguruan itu adalah
ayah Warok, julukannya Manyar Edan. Lelaki berusia
enampuluhan, pendekar liar dan aneh. Dia sudah lama
menghilang dari rimba persilatan. Dia yang membangun
perguruan Brantas dengan wilayah kekuasaan yang begitu
luas. Dia punya banyak isteri dan selir, anaknya berjumlah
sebelas, semuanya menguasai ilmu silat kelas satu.
Beberapa tahun lalu ia menunjuk Warok sebagai pemimpin
perguruan dan menegaskan aturan keras. Tak boleh ada
sengketa di antara sesama saudara, melainkan harus saling
membantu. Jika ada yang mengkhianati persaudaraan, akan
dihukum mati. Tak ada ampun bagi pengkhianat. Putra
Manyar yang tertua, Sampurna dihukum mati, dibunuh dengan
tangan Manyar sendiri, lantaran memberontak hendak
merampas kursi ketua dari tangan Warok.

Manyar Edan tidak cuma memiliki banyak putra, tetapi juga
murid yang ia didik langsung. Jumlahnya sama, sebelas.
Mereka ini, sepuluh putra dan sebelas murid utama, ditambah
lagi dengan tujuh isteri Manyar adalah orang-orang penting
dalam aturan perguruan di bawah pimpinan Warok Brantas
sebagai ketua.
Malam hari, di rumah atas air, tempat kediaman Warok
Brantas, semua orang penting berkumpul. Duapuluh delapan
pendekar kelas satu. Warok Brantas dengan suara serak kasar
menjelaskan adanya tantangan dari pendekar Cina. Tidak
hanya perguruan Brantas, rombongan pendekar Cina itu
menantang semua pendekar yang punya nama besar di tanah
Jawa. Termasuk dua perguruan besar lainnya, Mahameru dan
Lemah Tulis. Tempat tarung juga sudah ditentukan di desa
Bangsal.
Sehari setelah menerima berita tantangan, Warok
menugaskan Belut Ireng dan Prabowo melakukan
penyelidikan. Prabowo adalah saudara bungsu Warok,
sedangkan Belut Ireng salah seorang murid pintar Manyar
Edan. Malam itu semua orang penting perguruan Brantas
duduk mendengar laporan Prabowo dan Belut Ireng.
"Rombongan Cina itu jumlahnya sebelas, tujuh pria dan empat
wanita. Ketuanya, Ciu Tan, tampaknya ingin balas dendam
karena adik perguruannya, dibunuh Wisang Geni di
pertarungan bukit Penanggungan. Mereka semua pendekar
hebat yang di daratan Cina sudah bernama besar."
Secara bergantian Belut Ireng dan Prabowo menceritakan
secara rinci peta kekuatan para pendekar Cina, seperti si
kembar Mok dengan golok bersatupadu, Li Moy belalang
beracun dan Sian Hwa Pendekar Pedang Gurun Gobi.
Mendengar ini, semua pendekar Brantas mengerutkan kening,
bertanya-tanya apa maksud tantangan itu. "Mereka ingin
menjajal orang-orang tanah Jawa, mau mempermalukan
pendekar negeri ini," tukas Warok marah.

Pada akhir pertemuan Warok Brantas setuju siasat yang
dikemukakan salah seorang ibu tirinya, selirnya Manyar Edan.
"Ketua tidak perlu maju, sebaiknya salah seorang dari kita
yang tarung duluan, dan kita harus memilih lawan yang paling
ringan."
Dua murid utama Manyar Edan ditugaskan mencari tahu
ilmu silat para pendekar Cina, siapa paling kuat, siapa paling
lemah, "Cepat kalian bekerja dan kembali membawa kabar
menggembirakan," kata Warok.
Diam-diam Warok Brantas mengumpat pendekar Cina. Apa
maunya mereka melibatkan dirinya, selama ini ia tak pernah
bentrok dengan mereka. Ketika terjadi pertarungan di bukit
Penanggungan, ia bahkan tidak hadir. Dari cerita beberapa
saudaranya yang hadir, Warok mengetahui para pendekar
Cina itu memiliki kepandaian silat tinggi. "Jika dua tahun lalu,
Demung Pragola, Antaboga, Sagotra, Sang Pamegat dan
Macukunda saja bisa dikalahkan, apalagi sekarang ini dengan
kekuatan sebelas orang. Pasti para pendekar Cina yang
datang kali ini lebih lihai dibanding yang lalu. Aku jelas tak
mungkin bisa disejajarkan, aku masih kalah dibanding
Macukunda, Sagotra dan Demung Pragola. Bagaimana cara
supaya aku bisa lolos dari kekalahan?"
---ooo0dw0ooo---
Rumah itu sangat besar dengan pekarangan luas. Itulah
rumah Demung Pragola, juga markas perguruan Daridrayang
hampir semua muridnya hidup sebagai pengemis. Orang tua
berusia lebih separuh abad itu adalah ketua perguruan. Malam
itu ia berkumpul dengan para pentolan perguruan
membicarakan tantangan para pendekar Cina.
Demung Pragola, duduk bersila di tilam. Wajahnya teduh
dan sangat wibawa. Jenggot dan kumisnya menyatu, putih
panjang. Tubuhnya tegap, tinggi. Matanya dingin dan tajam

Menatap matanya seperti memandang sumur yang
kedalamannya tidak terukur. Itu tanda ia memiliki tenaga
dalam yang sangat tinggi
Ia menghela nafas kemudian berkata, suaranya serak dan
kasar. "Aku tidak pernah menyangka, setelah lebih dari satu
tahun berlalu, para pendekar Cina datang lagi. Dulu itu di
bukit Penanggungan terjadi pertarungan hebat, lima pendekar
tanah Jawa ditantang lima pendekar negeri Cina."
Dia melanjutkan cerita. Dalam pertarungan itu, empat
pendekar tanah Jawa sudah kalah. Demung Pragola
dikalahkan Liong Kam, Antaboga dan Sang Pamegat tumbang
oleh Pak Beng, Pendekar Merapi, Sagotra dikalahkan jago
nomor satu Cina, Sam Hong. Pertarungan terakhir, pendeta
Macukunda sudah didesak oleh jago nomor dua Cina, Sin
Thong. Jika Macukunda kalah, maka kubu tanah Jawa
dinyatakan kalah.
Sebab sebelum pertandingan disepakati perjanjian bahwa
satu kubu dinyatakan kalah jika lima pendekarnya kalah
semua. Saat itu empat pendekar tanah Jawa sudah kalah,
sementara di kubu Cina hanya seorang yang kalah yakni Kok
Bun.
Pada saat Macukunda terdesak hebat oleh Sin Thong,
mendadak Wisang Geni menerobos gelanggang dan membuat
kekacauan. Ketua Lemah Tulis yang masih muda itu memaksa
diri untuk ikut tarung. Macukunda keluar gelanggang
digantikan Geni yang dengan ilmu dahsyat menghajar Sin
Thong muntah darah, golok pendekar Cina itu ditekuk patah
menjadi beberapa potong. Geni kemudian mengalahkan
Tangan Salju Pak Beng. Ia kemudian menantang Sam Hong, si
jago nomor satu. Pertarungan itu sangat dahsyat, Geni
akhirnya memukul mati Sam Hong meski ia sendiri luka parah.
Pertarungan selesai, kubu Cina kalah, mereka pulang
membawa malu. Gengsi tanah Jawa diselamatkan Wisang
Geni. Sejak-hari itu, nama Wisang Geni berkibar sebagai

pendekar paling jago di tanah Jawa. Orang memberinya gelar
Pendekar Tanah Jawa.
Hampir semua pendekar Daridra mengetahui kisah
pertarungan di Penanggungan. Namun sebagian lain tidak
sempat menyaksikan, hanya mendengar cerita dari mulut ke
mulut. Peristiwa itu sempat menjadi bahan cerita menarik di
rimba persilatan selama dua tahun dan tentu saja yang paling
dipuji dan diagulkan adalah Wisang Geni. Tanpa kehadirannya
pasti pendekar tanah Jawa akan kalah dan dipermalukan
lawannya.
Itu sebab Demung Pragola terkejut ketika ia menerima
tantangan dari sebelas pendekar Cina. Jika mereka datang lagi
jauh-jauh dari Cina untuk menantang tarung, sudah pasti
membawa serta pendekar yang paling tangguh. Sebelas orang
pendekar, suatu jumlah yang besar.
"Lantas siapa saja yang sudah ditantang mereka, apakah
termasuk Macukunda, Wisang Geni, Pamegat juga Sagotra?
Apakah pendekar negeri ini mau datang mempertaruhkan
nama mereka? Bagaimana jika tidak seorang pun yang hadir
nanti?" Pertanyaan ini menusuk pikirannya, tanpa dia mampu
menjawabnya.
Teringat kekalahannya dari Liong Kam waktu itu, Demung
Pragola mengepalkan tangannya. Kebetulan Liong Kam
termasuk di antara sebelas orang itu. "Aku jadi penasaran,
selama lebih dari satu tahun aku berlatih, aku ingin menjajal
sampai di mana kemajuanku. Kebetulan lawan yang pernah
mengalahkan aku dulu, Liong Kam akan hadir. Aku akan
tantang dia," ucap Demung Pragola dengan suara bergetar.
Ia teringat bagaimana malunya dia dikalahkan jurus pedang
Liong Kam Ia sulit melupakan kekalahan itu, karena
kejadiannya disaksikan ratusan pendekar lain. "Masih ada sisa
waktu duapuluh hari, aku akan melatih irnaga, hiar lebih
segar."

Salah seorang yang hadir, Sardula, tokoh terkemuka yang
lihai ilmu silat dan terkenal cerdas, memberi hormat. "Ketua
Demung, aku pikir, kita perlu memastikan semua pendekar
terkemuka negeri ini hadir dan membela gengsi tanah Jawa.
Kita sebar semua murid ke semua penjuru mengundang para
pendekar terutama Wisang Geni, Macukunda, Sagotra,
Grajagan, Pamegat, Manyar Edan, Manjangan Puguh dan lainlain."
---ooo0dw0ooo---
Di rumah sewaan di desa Bangsal, Ciu Tan dan kawankawannya
berbincang mengenai pertarungan mendatang.
Selama dua bulan berkelana ke seluruh pelosok tanah Jawa,
Ciu Tan dan beberapa temannya telah memperoleh gambaran
jelas peta kependekaran di tanah Jawa. Ada banyak perguruan
namun tiga paling berbobot, Lemah Tulis, Mahameru dan
Brantas, selain itu ada beberapa pendekar yang tidak terikat
suatu perguruan pun.
"Semakin banyak pendekar lihai yang hadir, semakin bagus
buat kita, kemenangan terasa lebih nikmat Huuh, aku sudah
tidak sabar lagi menanti hari pertarungan," kata Ciu Tan
geram Ia tak bisa meredakan api dendam terhadap Wisang
Geni. Selama ini ia tidak berdiam saja di desa Bangsal. Ia
sering bepergian mencari berita dan pengalaman sehingga ia
mengetahui nama Wisang Geni adalah pendekar yang paling
berkibar di negeri ini. Di kalangan pendekar, Geni bahkan
sudah dinobatkan sebagai Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa.
Selama ini Wisang Geni tak punya tandingan.
Ciu Tan sudah menyaksikan sepak terjang Geni bertarung
lawan K alandara dan tiga muridnya. Empat pendekar wanita
itu tak berdaya, Geni mempermainkan dan mempermalukan
mereka. Ciu Tan juga menyaksikan kehebatan Geni di gunung
Argowayang ketika menghajar mati Lembu Agra dan beberapa

begundalnya, termasuk pertarungannya yang hebat lawan
Lembu Ampai.
Pak Beng menuturkan bagaimana ia dikalahkan Geni dua
tahun lalu. Ia dikenal dengan tenaga racun dingin. Jika
pukulannya mengena maka korban akan menderita kedinginan
sebelum tewas. Tetapi Wisang Geni justru melayaninya
dengan adu pukulan dingin, ia kalah, muntah darah dan nyaris
tewas.
"Aku sudah memperdalam dan melatih racun dingin ini
selama dua tahun, tetapi ketika aku melihat kepandaian orang
itu, terus terang aku terkejut. Tidak kusangka ia maju begitu
pesat, kupikir aku sudah maju pesat, tetapi Wisang Geni maju
jauh lebih pesat lagi. Huaaah, rasanya aku tak mungkin bisa
membalas sakit hati dua tahun lalu," kata Pak Beng kesal.
Pendapat Sin Thong pun tidak berbeda. Ia pernah menelan
pil pahit, goloknya dirampas dan ia terluka muntah darah. Ia
hampir tak percaya melihatkebolehan Wisang Geni dalam
tarung di gunung Argowayang. "Ia sulit dikalahkan, tetapi jika
kita ingin menang maka ia harus bisa disingkirkan, sebab
begitu Wisang Geni kalah maka semangat pendekar lain akan
runtuh dan mudah bagi kita untuk mengalahkan mereka
semua."
Ciu Tan termenung. Umu kepandaiannya tidak berbeda
jauh dengan teman-temannya. Dua tahun lalu Pak Beng dan
Sin Thong dikalahkan Wisang Geni. Kalah secara telak. Bahkan
adik seperguruannya, Sam Hong, yang dia tahu cukup ting gi
ilmu silatnya, juga kalah bahkan mati. Menurut Pak Beng dan
Sin Thong, sekarang ini kepandaian Geni maju pesat
Keduanya merasa mustahil bisa mengalahkan Wisang Geni.
Sebelas orang itu diam. Masing-masing dengan pikiran
sendiri. Sekonyong-konyong Siauw Tong memecah kesunyian.
"Situasi tidak menggembirakan, bahkan terasa sangat sulit,
tetapi bukannya kita tak punya harapan menang. Harapan
menang selalu ada tetapi harus menggunakan strategi

matang. Bahkan jika perlu kita tidak usah malu-malu
menggunakan cara yang tidak terhormat"
Agak penasaran Sian Hwa, Pendekar Pedang dari Gurun
Gobi menanyakan maksud lelaki itu menyebut cara yang tidak
terhormat Siauw Tong yang terkenal cerdas menjelaskan,
bahwa jika menggunakan cara terhormat artinya pertarungan
satu lawan satu, perkelahian bersih tanpa menggunakan
senjata rahasia atau senjata beracun. "Maksudku, kita tak
perlu bicarakan persyaratan terhormat itu, sehingga dalam
perkelahian jika diperlukan kita bisa menggunakan senjata
rahasia atau senjata beracun, mereka tidak akan bisa
menyalahkan kita karena hal itu tak pernah dibicarakan di
awal."
Siauw Tong melihat berkeliling. Semua diam, tidak ada
tanggapan berarti semuanya setuju. Ia menjelaskan
strateginya dengan cermat. "Paling penting, kita tegaskan
sebelas lawan sebelas, dan pendekar yang sudah kalah tidak
boleh naik panggung lagi. Pihak mana yang sebelas
pendekarnya sudah kalah semua, pihak itu yang kalah.
Dengan demikian, maka kita harus bisa mengalahkan semua
sepuluh pendekar itu. Aku berani pastikan bahwa Wisang Geni
akan naik panggung sebagai orang terakhir. Dengan demikian
Wisang Geni akan kita gilir tanpa harus istirahat Setahuku,
pendekar itu tak per i ul i tarung menggunakan senjata, kita
manfaatkan kesombongan dia itu, kita justru menggunakan
senjata yang ada racunnya, kita siapkan senjata rahasia. Aku
yakin Wisang Geni, sehebat apa pun kepandaiannya, tak akan
lolos dari kematian."
Semua pendekar diam. Rencana Siauw Tong nyaris
sempurna. Kata ahli perang, suatu perencanaan yang
sempurna ibarat sudah merebut separuh kemenangan.
"Tinggal kita tentukan siapa-siapa yang maju duluan dan
siapa-siapa yang harus dia lawan, hal ini juga sangat
menentukan menang kalahnya kita," lanjut Siauw Tong.

---ooo0dw0ooo---
Perguruan Mahameru terletak di kaki gunung Mahameru,
sebelah selatan pegunungan Semeru Senja itu suasana di
balairung agak riuh. Sebagian besar murid berkumpul, hanya
murid yang masih bertugas berjaga atau bekerja di dapur
yang tidak hadir. Mereka yang hadir saling pandang penuh
tanda-tanya, tidak mengerti apa yang akan diumumkan
ketuanya, pendeta Macukunda. Ketika ketua muncul seketika
juga suasana hening.
Pendeta Macukunda duduk didampingi saudara
perguruannya, Antasena, Bragalba, Rawaja, Matangkis. Lima
orang ini duduk bersila, memandang puluhan murid yang
duduk berkumpul.
Diantara lima tokoh tua Mahameru hanya Macukunda yang
seorang pendeta. Macukunda memecah keheningan,
"Dengarkan, sepuluh hari lagi, aku akan ke desa Bangsal
menghadiri pertarungan menghadapi sebelas pendekar Cina.
Orang-orang seberang itu telah menantang seluruh pendekar
negeri ini untuk tarung, sebelas lawan sebelas. Aku
sebenarnya tak ingin tarung lagi, tetapi demi membela
negeriku, tanah airku, aku harus ikut, ini merupakan darmaku.
Aku sudah tua dan aku tidak tahu, apakah aku akan mati atau
tetap hidup dalam pertarungan itu. Tetapi hari ini aku akan
mengangkat adik Antasena sebagai ketua Mahameru"
Terdengar suara bisik-bisik di kalangan murid. Namun empat
tetua yang duduk di samping ketua, tampak biasa. Rupanya
sebelum itu lima orang itu sudah berunding dan sepakat
dengan semua keputusan ketuanya.
Macukunda melanjutkan, "Sebenarnya memang sudah
saatnya Antasena maju sebagai ketua, ia lebih muda dari kami
berempat, ia cerdas dan bijaksana, ia berilmu tinggi, ia sudah
menguasai jurus andalan Sasra Ludira dengan sempurna dan
lebih baik dari kami semua. Keberangkatanku ke pertarungan

itu bukan suatu alasan pergantian ketua ini. Baik, aku selamat
atau mati, Antasena tetap sebagal ketua. Jika aku selamat,
aku kembali ke Mahameru dan menyepi. Sebaliknya bila aku
mati, kalian sempurnakan jasadku, dan tak boleh seorang pun
membalas dendam. Kemarin kami berlima sudah berunding,
aku akan didampingi adik Matangkis, muridku Minasih, tiga
murid utama Jokonang, Setawastra dan Sawitri serta sepuluh
murid lapis dua. Semuanya tidak ikut bertarung, kecuali
tenaganya dibutuhkan. Hanya adik Matangkis yang boleh
tarung. Isteri Setawastra, Rorowangi karena sedang hamil,
jadi tak boleh ikut."
Dia menghirup nafas panjang, matanya menatap ke atas.
"Pertarungan di bukit Penanggungan telah mempermalukan
aku, aku sudah hampir kalah malah sebenarnya aku sudah
dikalahkan Sin Thong. Mendadak datang Wisang Geni yang
mengacau. Ia berhasil mengambil alih semua pertarungan,
mengalahkan Sin Thong, Pak Beng termasuk si jago nomor
satu Sam Hong. Aku tak perlu malu mengakui kehebatan
Wisang Geni, anak muda itu telah membawa Lemah Tulis dari
nasib terpuruk menjadi harum, bahkan kini sudah sangat
terkenal, murid-muridnya berkelana menjadi penolong kaum
tertindas."
Ia melanjutkan dengan bersemangat, "Wisang Geni sebagai
orang muda yang memiliki kepandaian tinggi ternyata bisa
membawa diri, tidak sombong, tidak semena-mena, ia
menghormati orang yang lebih tua. Aku mau, aku ingin suatu
hari kelak, ada seorang atau lebih, murid Mahameru yang
berkepandaian tinggi dan perilaku mulia."
Hari itu upacara pengangkatan Antasena sebagai ketua
Mahameru berlangsung tertib dan sederhana. Tak ada reaksi
berlebihan di kalangan murid. Tradisi dan peraturan
Mahameru menetapkan seorang guru melatih secara bergilir,
sehingga tak pernah ada murid dilatih khusus seorang guru.

Para ketua melatih murid lapis satu dan lapis satu melatih
lapis dua dan lapis tiga.
Setelah hari pengangkatan, Macukunda menyepi berlatih
silat. Adik perguruannya termasuk Antasena bergantian
menjadi lawan tanding. Ia menekuni jurus andalan Sasra
Ludira. Jurus ini sudah didalami Macukunda sejak kekalahan
dari Sin Thong. Ia berlatih keras meningkatkan kualitas jurus
hebat ini. Jurus ini mengutamakan kedalaman tenaga batin
sehingga cepat menemukan kelemahan lawan untuk dijadikan
sasaran serangan. Dalam cerita Mahabrata Sasra Ludira
adalah nama pusaka yang direbut naga kowara, ular sakti,
yang menerobos sembunyi di tubuh Prabu Destarata sehingga
bisa tepat memilih Dewi Gandari sebagai isteri.
Macukunda juga mendalami jurus Kadharmesta (Kebajikan)
dan Amijilakna (Hasil upaya). Dua jurus ini diambil dari sifat
Gereh (Guntur) dan Sedung (Badai) saling dukung
mendukung. Suatu serangan lawan yang ganas bagaikan
guntur dan badai, akan luluh jika dihadapi dengan Kebajikan,
selanjutnya serangan balik menggunakan Amijilakna ibarat
amuk naga kowara.
Dalam sisa waktu sepuluh hari Macukunda berlatih dan
tenggelam dalam ilmu silat. Baginya, inilah darma seorang
pendekar untuk tanah airnya. Sekarang ini ia tak punya beban
apa pun di dunia. Ia telah menobatkan Antasena
sebagaiketua, sehingga tak perlu lagi khawatir kelangsungan
Mahameru. Ia tak punya keluarga. Ia kini merasa bebas. Ia
akan bertarung hanya karena ingin melaksanakan darma. Mati
dalam tugas darma bakti adalah kehormatan, menang pun
suatu kehormatan.
---ooo0dw0ooo---
Kabar pertarungan antara para pendekar tanah Jawa lawan
pendekar Cina di desa Bangsal itu sampai juga ke Tumapel

dan Kediri. Tarung mempertaruhkan gengsi tanah Jawa,
menjadi bahan gunjingan di sudut-sudut paling rahasia kedua
kerajaan itu.
Di Tumapel, Raja Sang Mapanji Seminingrat alias
Ranggawuni dan permaisuri Waning Hyun sangat tertarik
mendengarnya. Begitu pun Raja Tohjaya dari keraton Kediri.
Berita itu membuat dua penguasa tertinggi Kediri dan
Tumapel mengirim wakilnya yang paling mumpuni.
Tumapel mengirim Panji Patipati yang dijuluki Sang
Pamegat didampingi beberapa jagoan dari 18 pendekar
pengawal Raja Tumapel yakni Dwi, Catur, Dasa, Rewawelas
yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Siki. Sementara dari
kerajaan Kediri, Raja Tohjaya tidak mengutus Pranaraja sang
penasehat yang konon ilmu silatnya sangat digjaya. Raja
mengutus ketua Sinelir, Senopati Samba si Pedang Hitam
bersama delapan anggota Sinelir lainnya. Para jago dari
kerajaan Tumapel dan Kediri juga melakukan persiapan
matang, siapa tahu akan terlibat tarung.
---ooo0dw0ooo---
Gunung Welirang letaknya sebelah utara gunung Arjuno.
Hutan padat dan lebat merambah seluruh bagian lereng
gunung. Hanya lereng bagian timur yang pernah dijamah
manusia. Ada jalan setapak namun yang sudah nyaris hilang
tertutup semak belukar. Jalan itu menuju ke hutan kecil yang
pepohonannya tidak terlalu padat Setelah melewati hutan kecil
itu, tampak pemandangan luas. Air terjun dari tebing yang
tinggi mencurah ke danau yang cukup besar. Agak jauh dari
air terjun, terdapat tebing terjal Ada sepotong bagian tebing,
mencuat ke luar sehingga memayungi sebidang tanah di
bawahnya. Tanah yang tidak terlalu luas itu terlindung dari
curah hujan. Di tanah itu Wisang Geni dan rombongan
berhenti setelah menempuh dua hari perjalanan dari Lemah
Tulis.

Wisang Geni, Sekar, Gayatri dan Prawesti akan menetap.
Sedang Gajah Lengar dan Gajah Nila yang didampingi masingmasing
isterinya bersama enam murid pria dan dua murid
wanita hanya membantu mendirikan rumah, setelah itu
mereka akan kembali ke Lemah Tulis.
Pemandangan alam sekitar lereng timur itu sangat indah.
Tampak air terjun dan pepohonan mengelilingi danau. Puncak
gunung Welirang kebiru-biruan menjulang tinggi dibungkus
kabut dan awan putih. Udara sejuk. Gayatri terpesona. "Geni,
tempat ini luar biasa indah, mengingatkan akan kampungku di
lereng Himalaya. Kamu pandai memilih tempat, aku pasti
betah hidup di sini."
Wisang Geni, Sekar, Gayatri, Prawesti, Gajah Lengar dan
Gajah Nila berdiri di tanah kosong itu. Semak belukar dan
pepohonan kecil sedang dibersihkan oleh murid-murid Lemah
Tulis. Gayatri menunjuk arah tebing. "Aku mau rumahku
terlindung dan aman dari gangguan, misalnya, hujan. Rumah
sudah pasti aman dari curah hujan karena terlindung oleh
tebing. Tetapi lantai rumah harus tinggi dan di tepian sebelah
barat harus dibendung dengan bebatuan, agar air hujan yang
turun mengalir dari atas gunung tidak merembes ke dalam
rumah."
Gayatri bersama Sekar mengatur semuanya dengan teliti.
Bahkan ia memikirkan tempat strategis, menentukan bagian
depan rumah sedemikian rupa sehingga penghuni rumah bisa
memandang lepas ke daerah sekitar. "Jika ada tamu tak
diundang datang berkunjung, kita bisa tahu lebih awal,"
katanya. Mereka pun mulai membangun rumah sesuai
kemauan Gayatri.
Empat murid wanita membantu Gayatri, Sekar dan Prawesti
menyiapkan dapur. Dua murid lelaki berburu binatang untuk
dimasak. Geni dan murid lelaki lainnya bekerja mendirikan
rumah darurat untuk tempat bermalam Ketika matahari mulai
terbenam, tiga buah rumah darurat sudah siap. Satu untuk

Geni sekeluarga Satu untuk Gajah Lengar dan Gajah Nila
sekeluarga Rumah ketiga yang lebih besar untuk murid-murid.
Hari-hari di lereng gunung Welirang dilalui dengan
pekerjaan membangun rumah. Peralatan lengkap dibawa dari
Lemah Tulis, sedangkan semua bahan tersedia di hutan. Dari
kayu, bebatuan, daun nipah sampai pun damar untuk
penerangan, tersedia dan mudah didapat.
Pada saat saat tertentu Gajah Lengar dan murid lainnya
meminta petunjuk Geni tentang ilmu silat. Latihan terkadang
dilakukan di air terjun, di danau bahkan juga di tebing-tebing
yang curam Duapuluh hari berlalu, rumah besar sudah berdiri
berikut kandang kuda untuk si hitam dan si putih. Mereka
masih merencana membangun dua rumah lain, yang nantinya
tempat nginap para murid Lemah Tulis yang datang berlatih.
Malam itu seperti biasa Wisang Geni melakukan semedi. Ia
bersila dengan melipat dua kakinya. Tubuhnya melayang di
udara, tidak menyentuh tanah. Tenaganya terpusat di sekitar
pusar, berputar-putar merambah ke seluruh jalan darah. Ia
merasa angin bergerak di seputar tubuh. Pikirannya melayang
jauh mengingat dan memeta kembali secara rinci
pertarungannya lawan Sam Hong di bukit Penanggungan dua
tahun lalu.
Gayatri duduk bersemedi di samping Geni. Tenaga batinnya
tidak sehebat suaminya sehingga tubuhnya hanya terangkat
satu jengkal dari tanah. Ia belum mampu melayang-layang
seperti Geni. Sekar tak kalah hebat tenaga dalamnya. Hanya
Prawesti yang masih tertinggal dalam soal ilmu silat Tetapi ia
juga duduk bersila, ikut semedi melatih tenaga dalam.
Prawesti tak bisa memusatkan pikiran. Ia memikirkan
pertarungan di desa Bangsal. Ia khawatir keselamatan Geni
mengingat sebelas pendekar Cina itu konon memiliki ilmu silat
lebih tinggi dari mereka yang pernah dikalahkan Geni di bukit
Penanggungan. Kata orang, Ciu Tan, adalah kakak Sam Hong
dan memiliki ilmu silat jauh lebih lihai dari Sam Hong. Sebelas

pendekar Cina itu merupakan yang paling terkemuka di
negerinya. Prawesti gelisah. Pertarungan semakin dekat, lima
hari lagi.
Wisang Geni selesai semedi. Ia melihat Gayatri sedang
semedi, Prawesti duduk bersila namun tampak gelisah. Geni
berseru perlahan, "Sekar, kamu ikut aku, kita berlatih di luar."
Gayatri dan Prawesti mengerti bahwa Geni tidak menghendaki
mereka ikut. Sekai menghentikan semedi kemudian melesat
mengikuti Wisang Geni
Malam itu bulan terang, tak ada awan mendung. Geni
menggenggam tangan isterinya. Mereka mendaki tebing
menuju ai ah barat Tak berapa lama, mereka tiba di atas
tebing yang permukaannya datar dan cukup luas untuk
beberapa orang duduk.
Di bawah sinar terang bulan tampak air terjun dan danau.
Kemilau air terjun diterpa sinar rembulan, memantulkan
kemilau warna warni, tampak indah. Sekar menggumam, "Oh
pemandangannya sangat indah, coba lihat air terjun itu dan
air di danau, indah kena pantulan sinar rembulan. Geni kamu
pintar mencari tempat."
"Aku ingin hidup seperti ini, terpencil bersama isteriku, tak
ada orang lain, tak ada lagi tarung, tak ada balas dendam.
Sekar kekasihku, aku sudah bosan berkelana, bertarung dan
membunuh orang. Dalam tarung memang kalau tidak mau
dibunuh maka kita harus membunuh. Aku sudah bosan
dengan semua ini, aku ingin menyendiri, bercinta dengan
kamu seperti malam ini. Sepanjang malam, bercinta sampai
puas." Sambil bicara tangan Geni memeluk tubuh isterinya.
Sekar mencubit perut suaminya. "Tak mungkin bercinta di
atas tebing ini. Gila! Dingin sekali, anginnya kencang dan
membawa uap air. Aku kedinginan."
"Katanya kamu terbiasa berlatih di laut Kidul yang udaranya
justru lebih dingin," Geni menggoda.

"Menurutku udara gunung dengan udara laut sangat
berbeda. Di sini jauh lebih dingin. Geni, kita kembali saja."
Geni memeluk isterinya. "Kita cari tempat lain." Ia
memondong Sekar menuju dinding tebing. Ia mendorong batu
besar. Sekar kaget. Ia bergerak namun Geni mencegah. Ia
berbisik di telinga isterinya, "Kamu diam saja, pejamkan mata,
nanti aku bilang buka, baru kau buka matamu."
Ternyata pada dinding tebing ada lubang, ukuran setengah
badan manusia. Sambil membopong tubuh isterinya, ia
membungkuk masuk ke goa. Gelap gulita Sekar masih
memejam mata, merasa tubuhnya diletakkan di tempat yang
hangat, seperti rumput kering, angin dingin mendadak lenyap.
Geni meraba-raba Ia memegang batu kemudian
menggeseknya. Letupan api menyambar obor. Ada tiga obor,
bahan bakarnya damar. Goa terang benderang. "Buka
matamu, sekarang."
Sekar terkejut. Ia terbaring di atas tumpukan rumput
kering dan dedaunan. Suhu udara di dalam goa, hangat Goa
itu sempit, cukup untuk empat orang berdesakan. Geni
tertawa senang. Sekar juga tersenyum "Kapan kamu siapkan
tempat ini?"
Geni memeluk isterinya, berbisik, "Dua hari kusiapkan goa
ini, aku memang mencari tempat tersembunyi khusus untuk
kita bercinta, tak ada siapa-siapa lagi di sini kecuali aku dan
kamu."
"Bagaimana dengan Gayatri dan Westi?"
"Mereka akan kebagian jatah. Terkadang aku butuh
berduaan saja dengan isteriku, kamu atau Gayatri atau
Prawesti." Sambil Geni memeluk, menciumi seantero tubuh
molek isterinya. Ia menikmati kecantikan paras isterinya yang
cantik rupawan. Geni mengakui bahwa Gayatri cantik, tetapi
Sekar lebih cantik. Kecantikan Sekar membias sejuta rasa puas
dan bahagia. Dia bisa bersikap pasrah menanti tapi pada

saatyang sama bisa liar. Keduanya bergelut dalam pelukan
nafsu birahi dan cinta. Sepanjang malam.
Udara pagi terasa sejuk. Di dalam goa masih tetap hangat.
Dua insan itu masih berpelukan. Sekar telungkup di atas tubuh
Geni. Ia berbisik, "Geni, menurut rencana dua hari lagi kita
berangkat ke desa Bangsal. Menurut kangmas Gajah Nila,
perjalanan ke Bangsal sekitar dua hari. Entah mengapa setiap
memikirkan tarung itu, aku merasa takut."
"Apa yang kau takutkan?"
Sekar menyembunyikan wajahnya di dada suaminya. "Aku
takut kehilangan kamu. Aku tak mau kehilangan kamu, Geni."
Mata Geni menerawang. "Aku juga takut. Sudah sering aku
tarung mati hidup. Di Mahameru menghadapi tokoh kelas
atas, aku tidak takut. Di Penanggungan aku merasa takut
terutama saat tarung lawan Sam Hong. Di Argowayang, aku
tidak takut. Belakangan aku tahu sebabnya, di Mahameru aku
belum punya apa-apa, mati pun tak mengapa. Di
Penanggungan aku sudah punya isteri yang menyinta dan
kucinta, Wulan dan kamu. Di Argowayang aku ingin membalas
dendam Sekarang ini aku takut sebab aku tak mau mati,
sebab masih ingin hidup bersama kamu dan Gayatri, isteri
yang menyinta dan yang kucinta. Manusia selalu takut mati
saat dia sedang menikmati miliknya yang paling berharga,
isteri, anak, harta atau kekuasaan. Kamu pernah takut
menghadapi tarung?"
"Aku jarang terlibat tarung. Tarung paling hebat kualami
ketika bersamamu mengadu nyawa menantang Kalayawana
dan Malini. Saat-saat itu tak pernah kulupa. Kita berdua luka
parah, saling membantu di bawah ancaman musuh yang ilmu
silatnya jauh di atas kita."
Geni menciumi buah dada kekasihnya. "Apa lagi yang kau
alami waktu itu, kekasihku?" .

"Aku berpakaian dekil, tubuh dan wajahku burik bekas
penyakit cacar. Tetapi ada lelaki tampan yang tidak jijik
padaku. Ia memuji tubuhkuindah. Katanya wajahku cantik jika
tak ada burik. Aku jatuh cinta padanya, tanpa ragu aku
berikan perawanku. Lelaki itu orang pertama dan terakhir
yang kucinta" "Apalagi, Sekar?"
Sekar memeluk dan menggigit leher suaminya. "Kami
bercinta di tengah hutan, dalam keadaan sakit dan terluka,
bercinta di Lembah Cemara, bercinta di rerumputan, di atas
tanah, tak terhitung Sungguh hari-hari yang paling bahagia
bagiku."
"Kamu lupa suatu hal penting, Sekar."
Sekar berbisik sambil menggelitik telinga suaminya. "Apa?"
"Bahwa lelaki itu mencintaimu. Sejak hari pertama di
tengah hutan sampai sekarang, sampai hari ini di goa ini.
Lelaki itu mencintaimu dari ujung kaki sampai ujung
rambutmu."
"Aku senang dan bahagia mengetahui kamu mencintaiku.
Tetapi aku lebih senang lagi karena dalam hidup ini ternyata
aku sanggup mencintai seorang lelaki, seluruh cintaku telah
kuberikan padanya. Tak ada lagi yang tersisa walaupun untuk
diriku sendiri, aku hanya hidup untuk memberinya
kebahagiaan dan kesenangan."
Sekar seorang perempuan yang cerdas. Ia selalu
memerhatikan Geni, setiap rasa dan gerak suaminya tak luput
dari pengamatannya. Dalam bercinta, ia selalu mendahulukan
kepuasan Geni. Ia melakukan apa saja yang disukai Geni.
Setelah itu, baru ia mengekspresikan diri betapa ia puas dan
bahagia Ia memperlihatkan dengan gerak tubuh dan gigitan,
bahwa ia takluk dan bertekuk lutut di bawah pesona dan
keperkasaan suaminya Kata neneknya, "Kamu harus
perlihatkan bahwa kamu bangga dengan keperkasaan
suamimu. Pasti ia akan senang dan tidak akan pernah puas

bercinta denganmu, dia tak akan pernah bosan. Ia
membutuhkan kamu dan akan mencari kamu setiap saat."
Hebatnya Sekar, ia tak memperlihatkan semua pesonanya
jika Gayatri atau Prawesti ikut bercinta. Ia tidak mau jurus
rayuannya ditiru dua saingannya. Geni merasakan hal ini, dan
itu sebab dia sangat bernafsu jika bercinta dengan Sekar,
hanya berduaan saja.
Tampaknya Wisang Geni makin terperangkap oleh
kenikmatan yang disuapi Sekar. Pagi itu Geni masih
menggeluti tubuh molek itu. "Sekar, kamu luar biasa, bisa
merawat dan memelihara tubuhmu sehingga tetap langsing
dan sekal. Kamu seperti dewi kecantikan, aku beruntung
mendapatkan kamu sebagai isteriku."
"Tubuh ini akan berubah jika aku mengandung anakmu,
Geni. Perutku akan besar, gendut."
"Apakah kamu hamil?"
Sekar melingkarkan pahanya ke paha Geni. Ia mengecup
mulut Geni. Lalu ia menggeleng kepala, rambutnya yang
basah keringat menyapu wajah Geni. "Aku bisa hamil, bisa
juga tidak hamil, semua tergantung ijinmu, suamiku.
Tergantung perintahmu."
"Jangan! Kamu jangan hamil dulu Sekar, karena aku masih
ingin menikmati keindahan tubuhmu."
'Tetapi Geni, aku ingin memberimu seorang putra biar dia
perkasa dan pendekar macam bapaknya, atau seorang putri
cantik seperti ibunya, eh Geni apakah benar aku ini cantik?"
"Sudah kukatakan tadi, kamu cantik macam dewi-dewi,
tetapi apa benar kamu ingin hamil?"
Sekar mencium dada suaminya, beralih ke leher di mana
gigitannya dulu masih membekas. "Bekas gigitanku masih ada,
tandanya kamu tak akan pernah bisa lupa padaku, Geni."

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu ingin hamil?"
Sekar manggut. "Aku pikir aku harus hamil, sebab jika
Gayatri atau Prawesti hamil sedangkan aku tidak, bisa-bisa
cintamu lebih condong kepada mereka. Kamu ingat malam itu
di hutan, pertama kaU kita bercinta setelah aku selesai
berguru pada nenek. Kau ingat bagaimana aku menikmati
cintamu. Kita bercinta begitu Uar dan bernafsu. Malam itu aku
sudah mempersiapkan diri untuk hamil."
Geni tertawa. "Kamu hebat Sekar, perangkap cintamu
membuat aku makin hari makin kasmaran padamu. Boleh! Aku
ijinkan kamu hamil. Biar perutmu nantinya gendut, tetapi aku
yakin kamu akan merancang jurus cinta yang baru."
Sekar memeluk dan mengusap tubuh suaminya dengan
lembut. 'Terimakasih, atas ijinmu, suamiku. Kamu tahu Geni,
aku tak peduli berapa perempuan yang menjadi isterimu
selama aku tetap yang nomor satu seperti sekarang ini. Dan
aku sungguh-sungguh akan mempertahankan cintamu padaku
ini."
Dua kekasih itu bergumul lagi, bercinta dan bercinta. Siang
hari ketika sinar mentari menerobos goa, keduanya kembali ke
rumah. Tampak sebagian orang sibuk berkerja, sebagian lain
berlatih silat. Sedang para wanita menyediakan makanan.
Sekar menarik Gayatri dan Prawesti ke tempat sunyi. Tiga
perempuan itu membicarakan sesuatu. Mereka tertawa-tawa.
Malam itu usai makan, Gayatri berbisik di telinga suaminya,
"Geni, kamu tadi malam bercinta dengan Sekar di goa kecil di
atas tebing. Kata Sekar, goa itu namanya Goa Cinta, tebingnya
kaunamakan Tebing Cinta. Di malam hari pemandangannya
indah. Benarkah?"
Geni memeluk Gayatri. Ia mencium harum bunga melati di
rambut sang isteri. Geni berkata lirih kepada Gayatri tetapi
bisa didengar Sekar dan Prawesti. "Aku memang mau
mengajak kamu ke sana!"

"Aku sudah rindu, dua hari rasanya cukup lama, ayo, Geni
kita pergi."
Keduanya berkelebat mendaki tebing. Seperti halnya Sekar,
Gayatri juga terpesona indahnya pemandangan di tempat itu.
Geni menyalakan obor kemudian membawa isterinya masuk.
Begitu rebah di tumpukan rumput kering. Gayatri
menampar pundak sang suami. Berulang-ulang sambil berkata
manja, "Kamu curang, kamu tidak mengajak aku ke sini. Kamu
hanya mengajak Sekar. Goa ini kan cukup luas untuk kita
bertiga"
Geni memeluk, menciumi leher dan ketiak isterinya. Tidak
tahan menahan geli, Gayatri meronta. Makin meronta, makin
erat Geni menggumulinya Pada akhirnya perempuan itu
tenggelam dalam kenikmatan yang sudah menjadi semacam
candu. Selesai bercinta keduanya tertidur lelap, berpelukan
dalam keadaan bugil.
Tengah malam menjelang fajar, Gayatri terjaga Ia melihat
Geni tidur lelap di samping. Gayatri menatap kekasihnya
"Lelaki ini telah membuat aku lupa daratan. Ia tidak begitu
tampan, banyak lelaki lain lebih tampan. Tetapi ia punya daya
tarik yang liar dan aneh. Hanya satu kali jumpa dengannya,
aku langsung jatuh cinta Itu juga gara-gara dia menciumku."
Pikiran liar ini membuat Gayatri tersenyum sendiri.
Tiba-tiba Geni merangkul erat isterinya "Apa yang
membuat kamu tersenyum."
"Aku memikirkan lelaki yang kurangajar, yang mencium
paksa seorang wanita yang sedang tidak bertenaga dan tak
kuasa melawan."
"Pertama-tama kamu marah, tetapi beberapa saat
kemudian kamu membalas ciumanku, kita berciuman lama."

"Tidak hanya itu, kamu juga memeluk erat tubuhku, buah
dadaku ini kau himpit ke dadamu, aku sulit bernafas. Apakah
kamu selalu berkelakuan liar seperti itu terhadap perempuan?"
Geni menggeleng. "Tidak pernah. Baru satu kali itu, dan
entah mengapa mendadak saja timbul kenakalan
menggodamu. Kupikir saat itu aku sudah mencintaimu."
"Cinta! Kau bilang cinta kepada semua perempuan yang
kau temui dan yang kau suka, kepada aku, Wulan, Sekar,
Prawesti, Ekadasa dan entah siapa lagi yang aku tak pernah
kenal. Tetapi aku tidak seperti itu, cintaku hanya satu, dan
sudah kuberikan seluruhnya padamu, aku tak mungkin
mencintai lelaki lain."
"Aku memang merasa diriku ini aneh, aku bisa mencintai
banyak perempuan jika aku bernafsu atau terangsang birahi
melihat kecantikan wajah dan tubuhnya. Tetapi terus terang
saja cuma dua perempuan yang benar-benar kucinta, Gayatri
dan Sekar. Aku tak mau kehilangan kalian berdua."
"Bagaimana dengan Prawesti?"
"Sama halnya perasaanku terhadap perempuan lain, nafsu
dan birahi. Tetapi Prawesti, lebih istimewa dari Ekadasa,
karena aku kasihan dan sayang padanya. Westi juga banyak
berkorban menolong aku saat aku dalam kesulitan."
"Geni kekasihku, aku merasa bersalah jika tidak
mengatakan hal ini kepadamu, karena aku harus berlaku jujur
padamu sekarang dan selamanya."
Geni memeluk dan mengelus kepala isterinya, "Katakan!"
"Di Argowayang saat aku mengetahui kamu adalah Wisang
Geni, aku marah karena merasa kau telah sengaja menipu
aku. Kau telah mencuri perawanku, sesuatu yang suci yang
paling kujaga dan menjadi lambang kehormatanku. Aku
membencimu, aku ingin membunuhmu Tetapi aku juga
mencintaimu" Gayatri menangis tetapi juga tersenyum "Ketika

kamu pergi bersama Sekar, aku sudah mengatur rencana akan
membunuhmu di rumahku. Kamu akan kuracuni biar mati
Tetapi aku tak mampu melakukan itu. Saat memegang racun
saat itu juga aku tahu pasti dalam lubuk hatiku aku
mencintaimu, sangat mencintaimu. Mau kamu memaafkan
aku, suamiku?"
Geni mencium mata isterinya yang basah air mata. "Aku
maafkan, tetapi kau melakukan hal yang bodoh, bertarung
dengan jurus mati hidup. Hampir saja aku atau kamu menjadi
korban."
"Aku tak pernah tarung, tak punya pengalaman tarung.
Sewaktu di Himalaya aku hanya tarung lawan perampok atau
penjahat kecil untuk membela kaum tertindas, ku pun ada
kakak yang mengawasi, siap membantuku. Aku terpaksa harus
tarung denganmu"
"Karena balas dendam kakekmu? Atau kesal dan benci
padaku?"
"Dua-duanya salah! Yang benar, aku harus memenuhi
sumpahku. Aku pernah bersumpah pada ayah dan ibu, bahwa
laki-laki yang menjadi suamiku harus bisa silat dan lebih jago
dari aku. Itu sumpahku, makanya aku senang kamuyang
menang."
"Mengapa demikian, aneh?!"
Gayatri tertawa. Kesedihannya sudah hilang. "Jika aku
menang, maka sesuai sumpahku, kamu tidak boleh menjadi
suamiku, padahal setelah malam di desa Gondang itu kamu
sebenarnya sudah menjadi suamiku. Untung saja kamu yang
menang sehingga aku terbebas dari sumpah itu."
"Sebenarnya mudah, kamu tak perlu menyerang sungguhsungguh
supaya kamu kalah atau bisa saja kamu pura-pura
kalah."

"Tidak boleh begitu! Aku harus tarung sungguh-sungguh
dan dengan jurus yang paling kuhandalkan. Itu sebab aku
memainkan jurus maut Dinak Din Naachu Mein Gae Dil jumne
Zamana (Aku menari, hati menyanyi dan dunia bergembira).
Tadinya kami bertiga sepakat, jika kamu jatuh maka tarian
kuhentikan. Jika sampai tarian itu selesai dan kamu tetap
segar bugar, tarian dengan sendirinya berhenti dan aku
kalah."
Geni menikmati cerita itu, ia menyukai gerak dan mimik
wajah cantik di hadapannya. "Tetapi Geni, semua tiba-tiba
menjadi kacau. Ketika kamu jatuh seharusnya tarian
kuhentikan, tetapi aku seperti tidak sadar. Samar-samar aku
berpikir mengapa tak bisa menghentikan tarian, pikiran itu
hanya sekilas. Pikiranku saat itu dipenuhi ingatan bahwa aku
mencintaimu, aku kasmaran padamu, aku tak bisa hidup
sendiri tanpa kamu di sisiku."
"Ketika kamu jatuh, kupikir kamu sudah kalah tetapi saat
berikut kamu bangkit seketika aku merasa ada sesuatu yang
menghantam keseimbangan tubuhku. Pasti itu penolakan
tenaga batinmu, yang lebih besar dan lebih kuat dari tenaga
kami bertiga Selanjutnya aku tidak ingat, yang kuingat ketika
pukulan melanda tubuhku, aku melihat wajah dua perempuan,
setelah itu aku pingsan. Belakangan Urmila dan Shamita
bercerita bahwa kau melompat menerjang dua perempuan itu
dan menolong aku. Lalu aku ingat ketika kamu menolong dan
menciumku di depan semua orang. Saat itu aku merasa
bahagia mendapatkan suami yang lebih jago dari aku dan
memperoleh ciuman yang selalu kumimpikan."
Geni tertawa menggoda, "Tadinya aku bingung dan panik,
aku lega ketika merasa kau membalas ciumanku."
Perempuan itu membalik tubuh, menelungkup di atas tubuh
Geni, ia menatap suaminya mesra "Aku sudah bilang, aku
menyintamu pada saat kamu menciumku di gubuk reyot itu,
kamu membuat aku tergila-gila, aku tak bisa tidur, aku tidak

tenang, aku mudah marah. Kau tahu Geni, pada saat kau
pergi ke istana, meninggalkan aku di hutan dan berjanji
menemui aku di desa Gondang, malam harinya aku menyesal
dan berkata pada diri sendiri seharusnya aku ikut ke mana
pun kamu pergi."
"Jika kamu ikut aku, tentu aku tak perlu meniduri Ekadasa.
Aku bisa meniduri kamu"
Gayatri mencubit mulut suaminya. "Mana bisa, kau tak
mungkin bisa meniduri aku, aku bukan perempuan
gampangan."
"Buktinya malam itu di desa Gondang aku berhasil
menidurimu" Geni tertawa dan melanjutkan, "Aku yakin kita
saling mencinta."
Gayatri mencium suaminya. "Malam itu aku sedang gelisah,
aku memikirkan kamu, kesal dan kecewa tetapi aku merindu.
Terus terang saja, waktu itu aku sedang kasmaran, aku
merasa tubuhku menuntut kehadiranmu Maka ketika kamu
muncul dan menyentuh dan mencium aku, aku tak bisa
berpikir normal, rangsangan birahi itu menguasai diriku. Tetapi
sebelum itu, aku sudah berpikir matang, bahwa jika kamu
merayuku dan mengajak bercinta, aku bersedia. Alasanku, jika
seandainya aku tidak beruntung dan harus kawin dengan
lelaki yang tidak kusuka namun yang dipilih ayahku, maka
biarlah dia menerima tubuhku yang sudah tidak perawan lagi.
Dan tubuhku ini kuberikan kepada orang yang memang
kucinta dan mencintai aku."
"Waktu itu kamu percaya bahwa aku mencintaimu Kamu
yakin pada janjiku akan mengawinimu"
"Mungkin aku berlaku bodoh saat itu, tetapi aku sudah
yakin sejak di hutan itu bahwa kamu sungguh mencintaiku
dan bahwa kamu tidak berpura-pura, aku yakin dan percaya
pada naluriku."

Geni merangkul isterinya, mencium mesra. Keduanya
kembali memadu kasih, untuk kesekian kalinya. Beberapa
lama kemudian Gayatri tergeletak kelelahan. Terengah-engah
ia berkata, "Geni, tenagamu itu, aku heran bagaimana
mungkin kamu tak pernah lelah, kamu bisa sepanjang malam
sepanjang hari meniduri aku, besoknya dengan Sekar
terkadang dengan Prawesti juga, apakah kau tidak berpikir
tenagamu susut pada saat kamu butuh tenagamu itu dalam
pertarungan."
Geni merenung. "Tenaga Wiwaha ini kuperoleh dari
peninggalan pendekar Lalawa yang konon menurut guru
Padeksa, ia hidup di zaman baginda raja Erlangga, itu artinya
ratusan tahun lampau. Belakangan aku tahu rahasia paling
hebat dari ilmu Wiwaha ini, dia akan bereaksi langsung jika
tubuhku diserang penyakit, racun, lelah, apa saja yang tidak
disukai pikiranku. Tenaga Wiwaha ini membuat aku selalu
segar, tak pernah lelah. Balikan jika selesai bercinta aku justru
merasa lebih segar."
Tiba-tiba Gayatri memukul-mukul dada Geni. "Kamu akan
awet muda tidak pernah menjadi tua. Suatu ketika aku sudah
tua dan kau pasti akan mencari gadis yang lebih muda."
Geni tertawa terbahak-bahak. "Gayatri, kau salah, aku tidak
bisa awet muda, tidak ada ilmu seperti itu. Aku laki-laki biasa,
aku akan menjadi tua seperti juga semua manusia. Justru aku
khawatirkan kamu isteriku, kamu jauh lebih muda dari usiaku,
pasti jika aku sudah tua, kamu akan mencari lelaki lain yang
jauh lebih muda."
Sekarang Gayatri yang tertawa. "Menurutku sepuluh lakilaki
muda tak akan bisa memberi kepuasan kepadaku seperti
kamu memuaskan aku, kamu memang penjahat penakluk
wanita. Pantas Ekadasa mengejar-ngejar kamu dan hampir
membunuhku. Hanya semalam saja kamu tiduri dia tetapi
seumur hidup dia tidak akan bisa melupakan kamu. Memang

kamu penjahat penakluk perempuan." Saat berikut Gayatri
tertidur. Ia kehabisan tenaga.
Matahari tertutup mendung tebal. Tak lama kemudian
hujan deras. Guruh dan halilintar saling sahut. Tebing seakan
bergetar. Geni memerhatikan keindahan tubuh bugil isterinya
di antara remangnya cahaya mentari yang menerobos selasela
pintu goa. Perempuan itu tidur pulas. Ia bahkan tak
mendengar suara guruh dan halilintar yang mengiringi
turunnya hujan deras.
Geni bersila melancarkan aliran Wiwaha. Ia memegang
telapak kaki Gayatri, menyalurkan tenaga. Hawa panas dingin
bergantian merambah seantero tubuh sang isteri. Perempuan
itu masih tidur lelap. Ia tersenyum dalam tidur.
Lama berselang Gayatri membuka mata. Di luar goa masih
hujan. Geni melepas kaki isterinya. "Bagaimana keadaanmu
sekarang?"
Gayatri mengangguk. Ia tampak segar. Kulit wajah yang
putih tampak kemerahan, berseri memancarkan cahaya
bahagia. "Aku sudah segar kembali, tenagaku sudah pulih
kembali, aku siap melayanimu lagi. Tetapi terus terang saja,
aku lapar, sangat lapar."
Melihat Geni berdiri. "Aku akan menangkap ikan, kau
tunggu di sini."
”Tidak, aku tak mau tunggu di sini, aku ikut."
Tebing itu licin namun dengan ilmu ringan tubuh yang
sudah mencapai puncak kemahiran, Geni dan Gayatri dengan
mudah menuruni tebing. Keduanya tiba di danau. Hujan masih
deras. Keduanya basah kuyup.
Gayatri menangkap ikan dengan senjata tali. "Geni, lihat
tujuh ekor besar dan gemuk Ayo kita panggang, aku sudah
lapar." Geni tidak menjawab sebab masih terpesona
memandang isterinya, pakaian Gayatri basah kuyup melekat di

tubuh memperlihatkan lekuk tubuhnya yang molek. Gayatri
berseru, "Geni jangan melamun, ayo kita kembali ke rumah."
Esok harinya, Geni beserta semua anggota rombongan
berangkat menuju desa Bangsal. Geni menunggang si hitam,
Gayatri berdua Sekar menunggang si putih. Prawesti bingung.
Geni berseru, "Westi, kamu naik si hitam bersamaku."
Tanpa diperintah lagi, Prawesti melompat di depan
suaminya. Ia berbisik lirih, "Nanti kalau kamu terangsang
bagaimana?"
Geni berbisik di telinganya, "Nanti malam kita cari tempat
sunyi"
Sekar dan Gayatri tertawa melihat lagak Geni. Tangan lelaki
itu melingkar di atas perut isterinya. Sekali-sekali tangan itu
pasti menjamah buah dada Prawesti.
Rombongan lain ada yang menunggang kuda, sebagian lain
naik kereta kuda. Semua orang berdebar tegang, ini tarung
hidup mati bagi Wisang Geni. Semua orang dengan pikiran
masing-masing.
Tadi malam, Gajah Lengar dan Gajah Nila telah melakukan
ritual perpisahan dengan isteri masing-masing. Dua
perempuan itu menangis haru merasa tidak akan bertemu lagi
karena mengerti suaminya siap mengorbankan nyawa
membela Wisang Geni.
Dua hari perjalanan, mereka tiba di desa Bangsal. Tidak
seperti biasa, tiga hari belakangan ini banyak pendekar datang
dan nginap di desa. Rumah-rumah penduduk tidak cukup
untuk menampung. Geni dan rombongan akhirnya
menemukan tempat berteduh di tepi hutan. Di sekitar hutan
itu banyak pendekar membangun gubuk darurat. Murid Lemah
Tulis dipimpin Gajah Lengar dengan cepat mendirikan tiga
gubuk darurat yang cukup besar.

Malam hari semua murid Lemah Tulis istirahat. Wisang Geni
dan Prawesti duduk berdampingan di luar gubuk Sekar dan
Gayatri bersama wanita lain berbincang di dalam. Geni
memeluk isterinya, tangannya merambah ke dalam kebaya.
"Kita pergi ke desa, aku sudah menyewa satu rumah kecil
untuk satu malam ini. Kita ke sana Westi."
Fajar menyingsing. Dua insan itu masih lelap, berpelukan
dalam keadaan bugil. Cahaya merah mentari menerobos selasela
pintu, menerangi wajah manis Prawesti yang tidur
menghadap pintu. Tak lama kemudian, Geni terjaga Ia
membangunkan Prawesti, mencium isterinya. Keduanya cepat
berpakaian, kembali ke gubuk di mana rombongan berada.
Pagi itu semua di gubuk sibuk menyiapkan makanan.
Prawesti dan Gayatri beserta beberapa murid perempuan.
Geni duduk sendirian di luar. Setelah makanan siap, tiga
isterinya menghampiri Geni. Ketiganya duduk mengelilingi
Geni. Mereka makan bersama.
Sekar beringsut mendekati suaminya, ia berkata perlahan,
"Besok pertarungan dimulai, aku dan Gayatri mau ikut tarung!
Kami sudah berunding. Prawesti karena ilmu silatnya belum
mumpuni, ia hanya akan membantu semua persiapan. Dan ia
yang akan melayanimu jika kamu ingin bercinta."
Geni terkejut. "Jangan, tarung ini amat berbahaya,
seseorang bisa mati atau luka parah Aku tidak mau kalian luka
apalagi mati"
"Semuanya tergantung pada ijinmu, tetapi kami berdua
punya hak untuk ikut tarung membela suami. Kami punya hak
karena kami adalah isterimu." Nada bicara Gayatri
mengandung keputusan yang teguh.
Prawesti ikut bicara. "Kemarin ada yang mengantar
undangan pendeta Macukunda, para pendekar kumpul nanti
malam untuk merundingkan segala sesuatu menyangkut
tarung."

"Kami ikut! Kau harus bisa meyakinkan mereka agar kami
masuk daftar tarung." Sekar menatap Geni yang sedang
merenung. Geni mengangguk. Tetapi matanya menerawang,
memikirkan sesuatu.
"Mengapa melamun, apa yang kamu pikirkan, ketua?"
tanya Prawesti yang tidak bisa menghilangkan kebiasaan
memanggil suaminya dengan sebutan ketua.
"Aku sedang mengingat jurus-jurus yang dimainkan Sam
Hong dan juga Sin Thong serta Pak Beng. Kupikir semua jurus
silat itu tidak berbeda jauh, satu sama lainnya. Yang berbeda
hanyalah pikiran, bobot tenaga dan terutama nasib alias

keberuntungan."

0 komentar:

Posting Komentar

 
;