Sabtu, 17 Mei 2014

Wisanggeni 16

Ia tetap bergaul erat dan akrab dengan anak muridnya.
Namun, ia masih mengerjakan kebiasaan yang baru, duduk
menyendiri dan melamun. Padeksa, Gajah Watu, Sekar dan
Wulan tak bisa mencegah kebiasaan ini. Karena begitu
kebiasaannya disebut-sebut, Geni langsung berdiam diri
seperti anak kecil yang merajuk.
Makin hari kebiasaan Geni semakin mencolok. Waktunya
kini lebih sering dihabiskan sendirian, duduk melamun atau
berlatih silat sendirian. Ia tak lagi mengurus dirinya, agak
mirip orang tak waras. Anehnya, ia berlatih silat seperti orang
pemula, mulai dari tingkat dasar. Jurus-jurus sederhana yang
pernah dipelajari para pemula, itu yang dilatihnya seharian.
Ia hampir tak pernah tidur. Ia juga menjauh dari Sekar dan
Wulan. Kalau sebelum itu hampir setiap malam ia bercinta
dengan Wulan atau Sekar, sekarang tidak lagi. Hanya sekaliTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sekali ia meniduri isterinya. Itu pun dengan cara dan
perlakuan kasar. Tak ada lagi basa-basi atau ungkapan
romantis dalam bercinta. Sekar dan Wulan tak berani
menolak. Keduanya bingung, mengapa terjadi perubahan
dalam diri suaminya.
Padeksa dan Gajah Watu kehabisan akaL Tak tahu harus
berbuat apa. Wulan dan Sekar hanya bisa menangis, iba akan
nasib kekasihnya. Suatu hari Manjangan Puguh dan Mei Hwa
datang bertamu. Ia terkejut dan terenyuh melihat keadaan
muridnya.
"Kita tak boleh diam saja dan pasrah menerima kenyataan
pahit ini. Keadaan Geni sangat kritis. Kita harus melakukan
sesuatu. Aku akan pergi menjemput Ki Waragang. Dan paman
Gajah Watu berdua, Sekar menjemput Dewi Obat di Lembah
Cemara. Kita harus bergerak cepat, lebih cepat lebih bagus.
Kita berangkat sekarang!"
Dua pekan menjelang hari tarung antara pendekar tanah
Jawa dengan jago-jago daratan Cina, datang dua utusan
Mahameru menemui Padeksa. Setawasatra, murid paling
berbakat dari
Mahameru didampingi kekasihnya Rorowangi, murid nomor
dua Nyi Pujawati Keduanya membawa surat dari pendeta
Macukunda, minta agar Wisang Geni segera datang dan
berkumpul di bukit Penanggungan.
Selama ini Wisang Geni sudah mirip orang hilang ingatan.
Ia tak mau didekati orang, ia curiga pada setiap orang bahkan
juga Wulan, Sekar dan Padeksa. Jika ada yang mendekat,
Geni kontan pasang kuda-kuda, kalau sudah begitu tak ada
yang berani mendekat. Tak seorang pun bisa menandingi ilmu
silat Geni jika dia memberontak. Itu sebab Padeksa tak
mampu menyembunyikan keadaan Geni dari dua tetamu itu.
Rorowangi terkejut melihat keadaan Geni yang dulu secara
diam diam pernah dirindukannya. Ia tak pernah mengira Geni

bisa berubah menjadi orang hilang ingatan. Setawastra
membawa kabar itu ke gurunya. Dan pendeta Macukunda
segera berunding dengan Sang Pamegat untuk memilih
pendekar pengganti Wisang Geni. Pilihan akhirnya jatuh pada
Ki Demung Pragola. Kabar kehebatan Wisang Geni yang
mengalahkan dua jago Jambudwipa tidak lagi dibincangkan
orang. Kabar yang beredar kini adalah Wisang Geni jadi gila
lantaran mempelajari ilmu sesat.
Dua hari setelah kedatangan utusan Mahameru, Manjangan
Puguh tiba dengan seorang lelaki tua, Ki Waragang, tabib sakti
yang pernah merawat Wisang Geni waktu kecil. Esok harinya
Gajah Watu dan Sekar datang bersama Dewi Obat. Dua tabib
yang saat itu dikenal sebagai yang paling jago di tanah Jawa,
pun sama bingungnya. Keduanya tak tahu penyakit apa yang
membuat Geni hilang ingatan. "Kemungkinan besar, Geni sakit
ingatan lantaran terlalu banyak berpikir," tukas Waragang
setelah mendengar cerita Wulan dan Sekar.
Waragang memikirkan ramuan yang bisa menyembuhkan
orang yang mengalami tekanan pikiran berlebihan. "Aku bisa
membuat ramuan itu, tetapi kita harus temukan cara untuk
meminumkannya pada Geni. Sampai saat ini, ia tak bisa
didekati siapa pun."
Dewi Obat berkata lirih, "Ki, aku pikir lebih baik sekarang ini
kamu bikin ramuan obat itu, sementara kita semua
memikirkan cara meminumkannya."
Waragang membuka bungkusan pakaiannya. Di dalamnya
banyak tabung bambu yang berisi ramuan obat. Sementara ia
meracik dan mencampur ramuan, Dewi Obat bersama Sekar,
Wulan, Padeksa, Gajah Watu berpikir keras. "Banyak pendekar
ahli mengalami hal yang sama dengan Geni, pemahaman ilmu
silat yang melebihi kesanggupan pikiran, membuat seseorang
bisa gila bahkan tewas," kata Padeksa. "Sebenarnya ilmu apa
yang sedang ia pikirkan?"

Wulan dan Sekar mengulang sekali lagi kejadian di hutan,
ketika Geni berteriak memanggil Eyang Sepuh Suryajagad
Mendadak dewi Obat memanggil Wulan dan Sekar menjauh.
"Sudah berapa lama kamu tidak bercinta dengan Geni?"
Agak malu-malu dua perempuan itu mengatakan, sudah
sejak tujuh hari. Geni tampaknya tak mau mendekat lagi. Ia
tidur sendirian, ketika didekati Wulan atau Sekar, ia berteriak
mengusir, "Jangan ganggu aku, pergi!"
Tiba-tiba Dewi Obat teringat sesuatu, ia berseru, "Ada akal,
kalian berdua bisa membuat Geni minum ramuan itu." Ia lalu
menjelaskan rencananya. Wulan dan Sekar manggutmanggut.
"Apa saja akan kulakukan agar dia sembuh," kata
Sekar. Rencana itu disetujui Waragang, Gajah Watu dan
Padeksa.
Malam itu ketika semua murid sudah tidur lelap, seperti
biasanya Geni berlatih silat di bawah sinar bulan, di
pekarangan rumahnya. Terdengar sayup-sayup suara Gajah
Watu yang menceritakan kisah Ksiti Sundari kasmaran. Di
beranda rumah, Sekar setengah bugil menarikan Kinanti
Prasidha yang kebetulan saja ia pelajari saat bosan menjalani
penyembuhan wajah buriknya di Lembah Cemara
Cerita itu, suara lelaki seperti tembang Ki Dalang dengan
Sekar yang menari Kinanti dengan penuh goyang birahi, telah
menarik perhatian Geni. Ia menghampiri beranda rumah. Ia
menyaksikan goyang bokong, paha dan hentakan kaki yang
membuat buah dada Sekar membusung mengundang birahi.
Geni yang sudah mandi keringat hasil latihan silat, cepat sekali
terangsang. Ia mendekat lalu tiba-tiba memeluk Sekar,
menciumi gadis itu dengan nafasnya panas membara Sekar
bereaksi tak kalah ganasnya, membuat Geni makin terperosok
ke lautan birahi. Sekar menarik tangan suaminya masuk
rumah. Di dalam rumah Wulan menanti dengan bugil,
langsung mengeroyok Geni. Terjadilah pergumulan birahi. Di
tengah mabuk kasmaran, Wulan dan Sekar bergantian

meminumkan ramuan yang langsung ditenggak Geni tanpa
curiga
Semalaman Geni dengan kasar dan brutal meniduri dua
isterinya, membuat Sekar dan Wulan kesakitan. Tetapi apalah
arti sakit dibanding keinginan mereka melihat suaminya
sembuh. Besok paginya, Geni tampak sudah membaik. Malam
hari, rencana itu diulang lagi, demikian seterusnya sampai
empat malam.
Hari itu Wisang Geni sudah mulai membaik. Ingatannya
mulai pulih. Apalagi Sekardan Wulan tak pernah bosan
mendampingi. Keduanya bercerita tentang masa lalu. Geni
sudah bisa tertawa. hal ini membuat Waragang dan Dewi Obat
gembira. Apalagi Geni rajin minum ramuan Ki Waragang. Hari
keenam setelah kehadiran dua tabib sakti, Geni sudah pulih
seperti sediakala.
Kepada Wulan dan Sekar, Geni menceritakan perjalanan
batinnya sejak malam hari di hutan Wajak sampai saat ia
menemukan inti ajaran Garudamukha Prasidha dalam
pertarungan lawan Malini. "Inilah jurus yang disebut Eyang
sebagai Jurus Penakluk Raja. Aku sudah hampir menguasai
seutuhnya, hanya tinggal satu dua bagian saja," katanya pada
dua isterinya.
Sebenarnya ia telah menembus pencerahan Sringara dan
Bhava tetapi ada sesuatu yang seperti titik bayangan kabur di
depannya. Ia tahu bahwa ia harus sampai ke titik tersebut.
"Aku berterimakasih kepada kalian semua, guru Waragang
dan Dewi Obat serta dua isteriku dan guru Padeksa serta
paman Gajah Watu, tanpa kalian mungkin aku sudah tewas
atau gila.Tetapi aku harus terus mencari pengertian itu. Kalian
jangan khawatir."
Wisang Geni seharusnya merasakan Sringara dalam
pengalaman hidupnya baru ia bisa menguasai sempurna
Sringara delapan rasa itu seperti bisikan Eyang Sepuh, Glana
(Sedih), Harsa (Gembira), Syura (Berani), Prabhawa

(Kekuasaan), Raga (Nafsu birahi), Kamuka (Jatuh cinta), Haju
(Keselamatan), Kapejah (Kematian).
Menyelusuri delapan rasa itu ternyata bukan hal yang
mudah. Geni melakukan kesalahan besar karena terlampau
memaksakan diri. Seharusnya delapan rasa itu ditelusuri
sambil ia menyelami asam garam kehidupan dunia. Ia nyaris
tewas karena tenaga itu berbalik menghantam otak dan
hampir merusak seluruh jaringan pikiran. Ia selamat lantaran
memiliki ilmu Wiwaha. Ilmu langka ajaran pendekar Lalawa ini
sama tua dengan Garudamukha ajaran Prabu Erlangga punya
dua sisi yang sama besar pengaruhnya, sisi kekuatan untuk
bertarung dan sisi kelaki-lakian. Arti Wiwaha adalah Kakawin.
Tak heran kalau Geni punya tenaga besar panas dan dingin
untuk bertarung. Selain itu Geni juga sama besar dalam hal
nafsu birahi serta keperkasaan sebagai lelaki. Ia bisa selamat
karena kecerdasan Dewi Obat, ramuan obat Waragang, dan
pengorbanan dua isterinya.
Tetapi rasa khawatir orang-orang itu timbul lagi sehabis
makan siang. Geni berlatih silat di tengah panas matahari.
Mulanya orang menganggap sebagai hal wajar malahan
senang karena dengan menyaksikan Geni bersilat, mereka
dapat memetik keuntungan.
Namun, ketika sampai malam hari belum juga Geni
berhenti, orang mulai khawatir. Semalaman penuh, Geni
belum juga menghentikan latihannya. Bahkan berlanjut
sampai pagi harinya.
Semua orang terutama Wulan dan Sekar tidak tidur
semalaman, menemani Geni. Mereka khawatir melihat
keadaan Geni. Anehnya silat yang dimainkan Geni mirip jurus
Lemah Tulis tetapi banyak perubahan yang aneh. Tetapi Geni
memainkannya dengan hebat.
Geni tidak mengutamakan kehebatan jurus atau ilmu
tenaga dalam. Ia bersilat sesuai perasaan hati Ada kalanya ia
menggeram marah dan bersilat cepat serta beringas.

Terkadang ia bersilat lambat dan tampak seperti orang
berduka. Saat berikutnya seperti sikap seorang raja yang
memiliki pengaruh.
Delapan rasa dan satu aksi yang ia mainkan itu merupakan
inti permainan silatnya, inti dari Jurus Penakluk Raja yang
kesohor. Tentu saja tidak dimengerti oleh sebagian besar
murid Lemah tulis. Padeksa dan Gajah Watu menduga-duga
ilmu apa yang sedang dimainkan Geni, tetapi mereka tak bisa
menjawab.
Siang hari, matahari tepat di atas kepala. Geni berhenti.
Tepat satu hari satu malam ia berlatih. Ia tertawa senang.
"Akhirnya aku dapatkan juga Jurus Penakluk Raja itu."
Ia melihat berkeliling. Ia tertawa melihat Wulan dan Sekar
duduk bersandar di tiang beranda, mata terpejam. Rupanya
semalaman tidak tidur. Tetapi tertawanya terhenti ketika
melihat semua murid memandang kepadanya. Geni kemudian
menjelaskan perjalanan dirinya mencari pencerahan ilmu silat
sudah selesai. "Kalian tak perlu cemas, aku sudah selesai
berlatih!"
---ooo0dw0ooo---
Pertarungan Puncak
Perjalanan panjang yang melelahkan Geni sejak
pencerahan ilmu Wiwaha di lembah kera dan penemuan
Prasidha telah berakhir pada hari kemarin. Resiko hampir gila
dan hampir tewas telah mewarnai perjalanannya dalam

penguasaan ilmu silat kelas utama. Dendam atas kematian
orangtuanya dan semangat membayar semua hutang darah
perguruannya membuat Wisang Geni tak pernah surut dalam
melangkah. Tujuannya jelas, ingin melunasi dendam serta
ambisi besar mengangkat kembali citra Lemah Tulis yang
sudah terpuruk selama duapuluh lima tahun.
Pencerahan ilmu silat dimulainya ketika dia menemukan
rahasia kehebatan Prasidha saat tarung lawan tiga murid
Kalayawana di Mahameru Dia berhasil menembus misteri
memahami inti falsafah jurus pusaka itu. Kalimat Parahwanta
Angentasana Dukharnawa (Hendaknya menjadi perahumu
menyeberangi lautan kesusahan) telah sempurna dipahaminya
pada saat-saat terakhir ketika nyawanya berada di ambang
maut.
Jurus Prasidha itu, intinya adalah menyedot dan
menyimpan tenaga pukulan lawan lalu dikembalikan dengan
tenaga yang sama atau bahkan berlipatganda. Jika
Garudamukha mengandalkan tenaga kasar berasal dari nafsu
amarah dan kekuasaan manusia, maka Prasidha
mengutamakan tenaga batin leburnya dua tenaga inti Gama
(Amarah) dan Kadharmestati yang diperoleh dari tenaga
dingin. Adanya tenaga panas dan dingin Wiwaha membuat
Prasidha makin dahsyat.
Setelah menguasai Prasidha Geni mendapatkan hal baru
Bisikan Eyang Sepuh Suryajagad membuka lagi tabir ilmu silat
tingkat lebih tinggi. Jurus Penakluk Raja lewat delapan rasa
menuju satu aksi. Delapan Sringara menuju satu Bhava.
Tetapi ia terlampau bernafsu menyelesaikan secepatnya
sesuatu yang seharusnya ditempuh dalam proses pencerahan
yang panjang melalui pengalaman asam garam kehidupan.
Nyaris saja ia celaka!
Memang sebagian telah ia temukan saat tarung lawan
Malini dan Kumara. Namun ketika masuk lebih dalam
mengorek delapan rasa ia terjebak dalam pemikiran yang

njelimet, melingkar dan tak pernah putus. Pertolongan Dewi
Obat, Waragang, Sekar dan Wulan pun sebenarnya sia-sia.
Geni tidak tertolong lagi dari kegilaan dan maut. Ramuan
waragang, rencana Dewi Obat, tari Kinanti dan terapi bercinta
Sekar dan Wulan pun sesungguhnya sia-sia. Geni tidak
tertolong kecuali datangnya suatu keajaiban.
Di saat kritis itulah, Eyang Sepuh Suryajagad datang
menolong. Setiap malam selama tiga malam berturutan Eyang
Sepuh hadir di samping Geni. Orangtua itu datang dengan
sembunyi Ia menggelar tenaga dalamnya yang sudah
mencapai kesempurnaan, membuat siapa saja yang berada di
dekat Geni, tertidur pulas.
Ia memijat dahi, mengurut kepala dan seluruh tubuh Geni.
"Semoga Dewa membantuku, cucuku ini adalah murid Lemah
Tulis satu-satunya yang bisa mengangkat citra perguruan, jika
dia mati, Lemah Tulis akan terkubur. Sudah tugasku si tua,
menjaga dan memeliharanya."
Kehadiran dan pertolongan Eyang Sepuh yang tersembunyi,
membuat semua orang mengira pengobatan Dewi Obat dan
Waragang berjalan sukses. Tetapi Geni samar-samar
mengetahui adanya tangan halus empuk yang mengirim
tenaga maha dahsyat menelusuri seluruh tubuh dengan
sasaran utama di bagian otak. Tenaga itu menarik dan
menghidupkan kembali tenaga Wiwaha sampai saatnya tenaga
Wiwaha bekerja normal.
Orang itu pasti memiliki ilmu silat dahsyat tak terukur.
Tetapi setiap hendak membuka mata melihat siapa orangnya,
ia gagaL Ia tak pernah tahu siapa, tetapi ia yakin dialah Eyang
Sepuh. Ketika ia sembuh, pikirannya sudah kembali normal, ia
berpura-pura tetap mengikuti terapi pengobatan Dewi Obat
dan Waragang serta demonstrasi bercinta Sekar dan Wulan.
Tak seorang pun yang tahu.
Setelah melewati masa kritis itu, Geni ragu-ragu
melanjutkan pendalaman Jurus Penakluk Raja, takut gagal

yang berakhir kehilangan akal waras lagi. Saat itulah,
terdengar suara bisikan, "Kenapa harus takut, takut dan
berani sama saja. Jurus Penakluk Raja terlalu ampuh dan
agung sehingga pantas untuk dipelajari meskipun ada resiko
kematian di situ."
Geni tahu, itu suara Eyang Sepuh. "Jadi memang benar
yang tiap malam menolong aku adalah Eyang Sepuh." Timbul
semangat dan keberanian Geni. Ia berlatih kembali,
memainkan delapan rasa menuju satu aksi. Mulanya ia
mempersiapkan sikap jiwa delapan rasa kemudian baru
memainkan jurus-jurus Prasidha. Tahapan berikut ia berhasil
memainkan jurus Bhava berbarengan sikap jiwa delapan rasa.
Tidak ada kesulitan atau hambatan setiap ia memainkan
aksi jurus. Itulah yang disebut Jurus Penakluk Raja, ilmu dari
segala ilmu Wisang Geni bahkan tidak sadar bahwa ia kini
telah melompati tingkat kepandaian silat kelas utama.
Hari itu, suatu pagi yang cerah Geni terjaga dari tidur
lelapnya. Ia melihat dua isterinya masih tidur lelap dalam
keadaan bugil. Ia memerhatikan dua perempuan itu. Tubuh
keduanya, sama molek, sama-sama sintal. Tetapi dari wajah,
tampak Sekar lebih cantik. Geni menepuk bokong keduanya
yang langsung lompat saking terkejutnya. Geni tertawa,
sembari lari melesat keluar rumah. Ia menemui gurunya,
Padeksa.
Padeksa sedang berlatih Prasidha. Geni menanti kemudian
setelah melihat gurunya istirahat, ia menegur, "Guru, kenapa
pagi ini perguruan kita tampak sepi?"
"Sebagian murid utama dan lapis kedua, dua hari lalu
sudah berangkat ke bukit Penanggungan, bersama dimas
Gajah Watu."
"Oh, mereka menonton pertarungan pendekar tanah Jawa
lawan orang-orang Kuangchou itu? Guru, aku pikir, sebaiknya
aku juga pergi ke sana?"

Padeksa menatap muridnya. "Cucuku, selama kamu sakit,
ada utusan Mahameru datang mengundang kamu. Belakangan
aku mendengar bahwa mereka telah mengganti dirimu dengan
Demung Pragola. Tarung itu akan dilaksanakan pada saat
purnama bulan Aswina, tempatnya di hutan bagian selatan
bukit Penanggungan, sekarang masih ada sisa waktu tiga hari
lagi. Jika kau bergegas menunggang kuda, kau akan tiba pada
siang di hari tarung."
Sebelum Geni menjawab, terdengar suara Wulan, "Aku dan
Sekar ikut bersamamu" Dua perempuan itu sudah berada di
situ.
"Guru, aku ke sana hanya sekadar nonton tarung. Aku tak
punya maksud unjuk jago." Ia menoleh ke dua isterinya. "Jadi
sebaiknya aku pergi sendiri saja."
"Geni, ajaklah isterimu. Kamu perlu ada yang menemani.
Biar aku yang menjaga perdikan ini."
Dua perempuan itu cepat berkemas dan menyediakan
kuda. Geni bertiga kemudian pamit pada Padeksa dan
sebagian murid. Mereka melecut kuda tunggangannya masingmasing.
Malam hari mereka istirahat di hutan. Mereka
menemukan tempat bermalam yang tersembunyi dan aman.
Setelah makan malam, Geni memeluk Sekar dan Wulan
menciumi dua isterinya, melucuti pakaian dan bercinta. "Kamu
sekarang sudah normal. Sudah pulih seperti biasa. Tetapi
waktu kamu masih sakit, perilakumu mengerikan. Kamu brutal
dan kasar, seluruh tubuhku sakit," bisik Sekar. "Kamu hampir
membunuh kami berdua, sepanjang malam kamu menyakiti
kami. Geni, kamu tidak lagi menciumi tetapi menggigit. Kamu
lihat saja bekas gigitanmu masih ada," kata Wulan sambil
memperlihatkan bekas merah di sisi buah dadanya dekat
ketiak.
Geni tertawa geli. "Kalian berteriak kesakitan?"

"Gila kamu, mana mungkin kami berteriak, malu didengar
orang!" kata Sekar sambil menindih tubuh suaminya.
Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan. Siang hari
mereka istirahat di sebuah desa kecil. Lima orang tampak
mengawasi saat ketiganya memasuki warung makan. Salah
seorang mendekati pemilik warung. "Lelaki itu penjahat cabul
dua wanita itu tawanan dan terpaksa mengikuti kemauan
lelaki itu karena takut mati. Kami orang baik-baik ingin
menolong dua wanita itu, maka tolong kamu bantu kami
mencampur racun di dalam makanan mereka. Racun ini tidak
berbahaya, hanya membuat orang menjadi lemas tak
berdaya."
Pemilik warung manggut kepala.
Saking laparnya, semua jenis makanan dipesan.
Menyaksikan dua isterinya makan begitu lahap, Geni tak
sampai hati. Ia makan sekadarnya, suap demi suap. Tiba-tiba
Wulan dan Sekar, hampir berbarengan memegang
kerongkongan, dan mengeluarkan suara ngorok
Geni terkejut. Ia tahu ada racun dalam makanan. Karena ia
belum makan banyak racun belum menyerang dirinya. Ia
kerahkan tenaga Wiwaha aliran dingin menghentikan kerja
pencernaan kemudian tenaga panas menguras dan
mendorong makanan yang masuk tadi, keluar lagi Saat
berikutnya, ia membungkuk dan memuntahkan semua isi
perutnya.
Pada saat berbarengan, lima kawanan tadi menyerang
dengan berbagai macam senjata. Wulan dan Sekar sudah
rubuh dengan mulut berbusa. Geni tak ayal lagi, menjatuhkan
diri telentang, dua tangannya menepuk punggung dua
isterinya, sementara dua kakinya menendang bangku-bangku
dan meja ke arah lawan. Tenaga Wiwaha membanjir
menerobos punggung Wulan dan Sekar berputar-putar di
perut.

Lima lelaki itu terkejut, tak menyangka bahwa Geni masih
bisa memberikan perlawanan hebat meskipun sudah menelan
makanan beracun. Karena terkejut, tak menyangka, maka dua
orang kena hantaman kursi. Keduanya terjengkang dengan
kepala berdarah, sakit tetapi tidak tewas. Tiga lainnya sibuk
mengelak.
Geni bergerak pesat Ia tahu racun sangat ganas dan
mematikan. Tak ada jalan lain, dia harus memilih siapa yang
dia tolong lebih dahulu, resikonyayang belakangan bisa lebih
parah. Pada saat kritis itu secara naluriah Wisang Geni akan
mendahulukan perempuan yang lebih dicintainya. Pikiran dan
gerakannya spontan, dia mendahulukan Sekar. Belakangan
memang dia tahu bahwa dia sangat mencintai Sekar. Dia
menggapai tubuh Sekar, mengurut perutnya dengan tenaga
besar, satu tangan lainnya mengerahkan tenaga Wiwaha
menerbos punggung Sekar. Selang beberapa saat, dia ganti
memeluk Wulan dan melakukan penyembuhan dengan cara
yang sama
Saat itu lima musuh meluruk maju, serangannya ganas.
Untung bagi Geni, kepandaian mereka bukan dari kalangan
atas, sehingga bisa diatasi. Tetapi serangan itu telah
menghambat penyembuhan Wulan. Geni menepuk punggung
Sekar, tangan lain menekan perut Wulan, kemudian
menggendong keduanya melompat menjauh. Terpisah agak
jauh dari musuhnya, dia menekan dan mengurut perut Sekar
yang langsung muntah-muntah, semua isi perutnya terkuras
keluar. Tak lama kemudian, Wulan pun muntah. Geni merasa
lega, pertolongan pertama sudah selesai. Pada tahapan itu,
nyawa dua isterinya sudah bisa diselamatkan. Geni berbalik
menghadap lima penjahat itu, "Siapa kalian? Aku tidak kenal
kalian, mengapa kalian memusuhi aku?"
Lima orang itu menyerang membabi-buta Salah seorang
berseru. "Kamu Wisang Geni telah membunuh guru kami, Ki
Sempani, kami harus balas dendam!"

Geni tak menanti lagi. Ia bergerak cepat mengandalkan
Waringin Sungsang dan Jurus Penakluk Raja sekadar ingin
menjajal jurus barunya itu. Tetapi hasilnya luar biasa. Tolakan
dua tangan sambil memutar dan mendorong, membuat lima
penjahat itu saling hantam satu sama lain. Dua orang tewas
oleh senjata kawinnya, tiga lainnya luka parah. Mereka
memandang Geni dengan mata mendclong, tak percaya. "Ilmu
siluman!" kata yang seorang.
Tadinya ia sangat marah, tetapi belakangan ia merasa
kasihan. "Kalian membalas dendam kematian gurumu, itu
perbuatan lelaki sejati, tak peduli jahat atau buruk
kelakuanmu. Kamu pergilah! Lupakan dendam kalian!
Percuma, dendam tak akan pernah selesai. Pergilah, bawa
serta mayat temanmu!" Orang itu kabur.
Setelah mencari keliling, Geni menemukan si pemilik
warung sedang bersembunyi ketakutan. Geni memanggil
berulangkali dengan seruan marah. Pemilik warung muncul
dengan ketakutan. Ia menyembah minta ampun. Geni
membentak, "Cepat kamu ambil tuak yang banyak!"
Geni memaksa dua isterinya membuka mulut. Ia menuang
tuak ke mulut. Hampir empat tabung, masuk kerongkongan
Wulan dan Sekar. Ia mendudukkan mereka, kemudian dua
tangannya menempel di punggung dan mulai mengurut
disertai pengerahan tenaga dalam. Tenaga panas yang
disalurkan, membuat dua isterinya merintih kesakitan. Isi
perut macam dibakar. Tak lama keduanya muntah lagi,
memuntahkan air tuak yang berbusa.
Melihat dua isterinya masih lemah, Geni memutuskan
menunda perjalanan. Pemilik warung yang merasa bersalah
namun tidak mendapat hukuman, menebus kesalahannya
dengan menyediakan kamar di rumahnya sendiri untuk tiga
orang itu menginap.
Semalaman Geni bergantian menyembuhkan Sekar dan
Wulan. Menjelang fajar, ia istirahat, tidur. Dua perempuan itu

memandang sang suami dengan penuh rasa cinta dan
terimakasih. Keduanya memijit tubuh dan kaki Geni yang tidur
pulas.
Esok harinya, ketika matahari sudah di atas kepala, mereka
melanjutkan perjalanan. Tetapi perjalanan tak bisa cepat
karena tubuh Wulan dan Sekar masih lemas. Untuk mengejar
waktu yang terbuang, mereka nginap di hutan. Keesokan hari,
melihat kondisi tubuh kedua istrinya membaik, Geni
memaksakan perjalanan cepat. Siangnya mereka tiba di
selatan bukit Penanggungan.
Geni takjub melihat suasana di bukit itu. Di tengah
kerilmunan penonton, sebuah panggung raksasa berdiri
dengan megahnya. Di atas panggung dua sosok bayangan
sedang bertempur sengit. Begitu banyak penonton, tapi
anehnya suasana justru sangat sepi. Geni bertiga terlambat,
karena pertarungan sudah tiba pada partai terakhir. Ketiganya
berdesakan maju mendekati panggung. Mereka berdiri di
antara murid-murid Mahameru. Di atas panggung Geni melihat
pendeta Macukunda sedang tarung sengit dengan seorang
lelaki kurus. Ketua Mahameru memainkan tasbih menghadapi
serangan dahsyat sepasang golok.
Mencari-cari wajah yang dia kenal, Geni gembira mengenali
Ki Antasena, saudara seperguruan Macukunda. Geni menegur
ramah. Ki Antasena melihat dengan sinar mata aneh,
kemudian mengalih pandangan ke atas panggung. Geni
mengikuti pandangan Ki Antasena. Di panggung pertarungan,
Macukunda terdesak. Senjata tasbih yang memainkan
duapuluh satu jurus ilmu andalan Mahameru, Brahmanagrha,
ternyata tak mampu membendung permainan sepasang golok
lawan. Geni mendengar bunyi napas Macukunda sudah ibarat
dengus kuda yang habis berlari jauh.
Suasana yang begitu sunyi dan lenggang membuat dengus
napas ketua Mahameru terdengar lebih jelas. Lelaki yang jadi
lawannya, seorang tua dengan jenggot dan kumis putih bagai

salju tertawa terbahak-bahak. Lelaki itu memutar golok
semakin gencar.
Geni melihat keadaan sudah semakin berbahaya. Sesaat
lagi Macukunda akan roboh. Saat itu Geni mendengar keluhan
seorang perempuan yang suaranya seperti ia kenal. "Begitu
Macukunda roboh, habis sudah nama besar tanah Jawa."
Wisang Geni berpikir sesaat. Ia bertanya kepada
perempuan itu yang ternyata Rorowangi, kekasih Setawastra.
"Apa maksudmu, oh kamu adik Rorowangi, apa maksudmu
nama tanah Jawa habis?"
Rorowangi terkejut melihat Wisang Geni, "Oh kamu Ki
Wisang Geni, kau sudah sembuh, syukurlah! Kau baru datang
rupanya, jago-jago kita sudah kalah semua, harapan tinggal
pada pendeta Macukunda. Tapi lihatlah sendiri, apa masih ada
harapan?"
Tadi sebelum Geni tiba, sudah diselesaikan empat
pertarungan. Kok Bun satu-satunya jago pihak lawan yang
kalah, ia dikalahkan Ki Antaboga. Jago-jago Kuangchou
lainnya menang meski pun lewat keunggulan tipis.
Pak Beng mengalahkan dua lawan beruntun, Antaboga dan
Sang Pamegat. Kemudian Liong Kam mengalahkan Demung
Pragola. Jago nomor satu Kuangchou, Sam Hong
mengalahkan pendekar Merapi, Ki Sagotra dalam pertarungan
yang paling seru. Dan kini yang sedang dihadapi pendeta
Macukunda adalah jago nomor dua Cina, Sin Thong.
Geni menoleh memandang Sekar dan Wulan yang ikut
mendengar penuturan Rorowangi. Geni seperti bisa membaca
pikiran Wulan.
Pikiran yang sama seperti apa yang ia pikirkan. Ia tak bisa
berdiam diri, karena bagaimanapun juga hal ini menyangkut
gengsi tanah Jawa. Tak sabar lagi, Wisang Geni melompat ke
atas panggung dengan menggunakan jurus Paghasa dari
Waringin Sungsang.

Begitu mendekat panggung pertarungan, Geni mengibas
dua tangannya. Satu mengarah ke dada Sin Thong. Satunya
lagi ke pendeta Macukunda. Gebrakan tiba-tiba oleh Geni
mendatangkan kegaduhan di kalangan penonton. Macukunda
dan Sin Thong yang sedang memusatkan perhatian, merasa
ada serangan angin keras yang mendorong mereka surut
beberapa langkah.
Sin Thong berteriak marah. Ia memaki dalam bahasa Cina.
Wisang Geni tidak mengerti. Tetapi tiba-tiba timbul humornya,
ia membalas dengan meniru perkataan Sin Thong dalam logat
Jawa yang kental!
Suasana penonton yang tadi begitu sunyi karena merasa
prihatin atas kekalahan jago-jago negeri sendiri, berobah
gaduh. Mereka yang pernah hadir di Mahameru dan Tajinan
menyaksikan sepak terjang Geni, kontan berseru, "Itu Wisang
Geni!"
Dua bulan belakangan ini nama Wisang Geni berkibar di
dunia kependekaran, dia dikenal hampir semua pendekar silat.
Kemenangan atas Kalayawana dan sepasang pendekar India
memang pantas jadi bahan kekaguman orang. Kemarin pun
namanya disebut-sebut berkaitan kabar yang mengatakan ia
gila lantaran melatih ilmu sesat.
Sin Thong memandang Wisang Geni dengan amarah luar
biasa. Ia memaki dalam bahasa Cina. Geni tertawa dingin,
balas memaki dengan meniru ucapan Sin Thong. Amarah Sin
Thong memuncak.
Dari gebrakan Geni tadi, Sin Thong tahu lawannya berilmu
tinggi Itu sebabnya sambil memaki, Sin Thong menyerang
sengit. Sepasang goloknya, mengarah empatbelas jalan darah
Geni. Melihat lawan begitu telengas, Geni segera
mengerahkan jurus Sikepdehak yang inti gerakannya adalah
tangkap dan dorong.

Geni seperti menyampok punggung golok dan
mendorongnya ke sisi berlawanan, gerakan itu dilakukan
seperti tidak menggunakan tenaga, namun hasilnya luar biasa.
Sepasang golok lawan saling beradu dan Sin Thong terdorong
surut dua langkah.
Pada saat itu melayang dua sosok tubuh ke atas panggung.
Geni mengenal yang wanita, yakni Mei Hwa, yang sekarang
sudah menjadi isteri Manjangan Puguh, gurunya. Seorang lagi,
lelaki kurus jangkung berusia sekitar limapuluhan. Lelaki itu
menuding Macukunda dan berkata setengah teriak dengan
logat Cina yang patah-patah. Rupanya ia sedikit gagu Mei
Hwa menerjemahkan, ”beginikah jago tanah jawa
bertanding, kalian sudah kalah, lantas mau sengaja
mengacau, hayo cepat mengaku kalah!"
Wisang Geni balas membentak, "Siapa kau, berani
mengatakan tanah Jawa kalah. Aku belum bertanding
bagaimana bisa kalah?"
"Aku, Sam Hong dari partai Whu Than, aku pemimpin
rombongan Kuangchou ini. Kau pura-pura tidak tahu atau
memang matamu tidak melihat semua jago tanah Jawa sudah
kalah!" Mei Hwa sibuk menerjemahkan dari bahasa Cina ke
Jawa dan juga sebaliknya dari bahasa Jawa ke bahasa Cina.
"Tidak bisa! Aku belum bertanding, tak bisa dikatakan
tanah Jawa kalah! Kalau kalian sudah kalahkan aku, baru
boleh temberang dan tepuk dada."
"Kamu siapa, kita sudah membuat aturan sebelum
pertarungan dimulai, yaitu masing-masing kubu diwakili lima
pendekar. Siapa yang menang paling akhir, dia yang keluar
sebagai pemenang. Jago kalian sudah kalah semua. Apalagi
yang mau dibicarakan!"
Wisang Geni tahu bahwa ia harus memancing kemarahan
orang-orang Kuangchou agar mau membuka pertarungan lagi.
Karena ia yakin dengan pengendalian Jurus Penakluk Raja ia

akan mampu menghadapi siapa saja di pihak lawan. Kalaupun
kalah, ia tak akan kecewa karena sudah berusaha. Lagipula
inilah kesempatan bagus mengangkat kembali citra dan
kebesaran nama Lemah Tulis.
"Hei, goblok! Aku adalah salah satu peserta yang menang
di puncak Mahameru jadi aku berhak tarung dengan kalian.
Lagipula pendeta Macukunda belum kalah, jadi layak saja jika
aku maju menggantikan beliau."
Ketika itu Mei Hwa berbisik-bisik pada Sam Hong. Sebelum
dia mengatakan sesuatu, Geni telah mendahuluinya. "Ya,
bagus, Mei Hwa, kau seorang juru bahasa yang pintar.
Katakan pada ketua partaimu itu, bahwa aku punya ilmu
sangat tinggi. Aku adalah jagonya jago, jadi kalau dia takut
suruh saja dia pulang ke Cina dan bertapa di puncak gunung!"
Sam Hong berkata dengan nada hormat. "Rupanya tuan
seorang ketua partai besar, tapi kenapa tuan tidak menepati
janji. Tuan datang terlambat sehingga tempat tuan diberikan
kepada teman pendekar lain."
Wisang Geni terdesak. Tapi ia tak mau kalah. Ia menyahut
sembarangan. "Siapa bilang aku terlambat, lihat aku berdiri di
sini, sekarang aku ambil kembali jatahku, tidak salah kan?
Lagipula semua ini salahmu, kenapa kamu tentukan hari
pertarungan pada hari perkawinanku. Aku terpaksa kawin
dulu, baru datang ke sini."
"Benarkah, tuan merayakan pernikahan dulu? Aku ucapkan
selamat, tapi mana isteri tuan apakah tuan bawa serta?"
Saat itu juga Wulan dan Sekar melambungkan tubuh dan
salto ke atas panggung. "Kenapa apa ketua partai Whu Thang
tak percaya pada omongan suamiku?" kata Wulan.
Sam Hong berulang-ulang memberi selamat dengan
menjura. "Oh dua perempuan ini isteri kamu. Tetapi sayang
aku tetap tak percaya omong kosong ini. Lagipula jika benar,

perkawinan ini tak ada hubungannya dengan pertarungan.
Aturan tetap aturan, tanah Jawa sudah kalah, habis perkara."
Kini Wisang Geni benar-benar naik pitam. "Hei, kau dan
kawanmu cepat pergi dari sini, sebelum hidung kalian
kupindahkan ke pantat atau kaki kalian kupindahkan ke
telinga. Kau tahu, kalian tak punya keberanian menghadapi
aku, bilang saja takut dan berlutut di depanku, baru aku beri
ampun!"
Sepasang mata Sam Hong berkilat. Ia marah. Tiba-tiba Sin
Thong menghampiri Sam Hong dan bicara dalam bahasa Cina.
Selang sesaat, Sam Hong berkata kepada Wisang Geni dan
juga ditujukan kepada semua penonton.
"Baik, karena pendekar Wisang Geni mendesak, maka kami
akan bertarung dengan dia. Tapi kalian harus janji, setelah dia
kalah tak boleh ada lagi yang menantang kami. Kalau kalian
sepakat baru kami siap!"
Semua penonton menjawab serempak "Setuju!"
Sam Hong segera melompat turun bersama Mei Hwa diikuti
pendeta Macukunda, Wulan dan Sekar. Tinggal Wisang Geni
dan Sin Thong yang akan tarung.
Sin Thong memberi hormat, "Silahkan tuan mengambil
senjata!"
Wisang Geni tertawa keras, sengaja pamer tertawa dari
lembah kera kemudian menjawab, "Maaf, aku tak pernah
pakai senjata!"
Tanpa sungkan Sin Thong menyerang sengit. Ia memutar
sepasang goloknya bagai titiran dan menyerang semua jalan
darah kematian. Geni menyambut dengan tertawa dingin.
Terlihat ia seperti orang bersedih hati, tangannya ditopang ke
dagu, dua kakinya seperti berjalan gontai, tangannya yang
lain mendorong ke depan.

Percuma memutar goloknya dengan gencar, ada tenaga
besar yang membuat Sin Thong terpukul mundur. Pendekar
Kuangchou ini terkejut, ilmu apa itu dan betapa besar tenaga
yang dikeluarkan Geni
Tetapi pendekar cina ini tak mengendurkan serangan,
dalam sepuluh jurus ia sudah mengurung Geni rapat rapat.
Terlihat kilat putaran golok di sekeliling tubuh Geni. Tetapi
jangankan mengena telak, menyentuh kulit Geni saja tak bisa.
Pendekar Lemah Tulis itu tak terjamah.
Geni melihat dan mencari kelemahan lawan. Ia merasa
sudah cukup berlaku kendur, ia harus secepatnya
menyelesaikan tarung pertama ini. Masih ada beberapa tarung
lain yang akan dilaluinya. Segera ia rciainkan jurus Prasada
Atishasha (Menara sangat tinggi) dari Prasidha dengan
perasaan Prabhawa. Inilah Jurus Penakluk Raja, ilmu dari
segala ilmu.
Kekuasaan atau sikap Prabhawa yang melapis jurus
Prasada Atishasha yang merupakan penampilan Jurus
Penakluk Raja itu berhasil membuat sepasang golok Sin Thong
mental ke udara, tangan Geni terus melaju menerobos
pertahanan dan menggedor pundak lawan. Pendekar Cina itu
terpental keluar panggung. Dua goloknya jatuh persis di
tangan Geni yang segera menekuk patah menjadi delapan
potong. Sin Thong berdiri gontai, muntah darah kemudian
terduduk lagi.
Wisang Geni seperti tak peduli keadaan sekeliling, ia
memandang ke arah Sam Hong dengan pandangan menghina.
Sam Hong merasa darahnya mendidih. Tapi sebelum ia
melompat, Pak Beng melompat duluan. Tanpa basa basi, Pak
Beng segera menyerang dengan tangan kosong. Ia terkenal
dengan pukulan racun dingin. Antaboga dan Sang Pamegat
yang kena hajar tangan dinginnya masih saja menggigil
sampai sekarang. Wisang Geni tersenyum dan berseru dengan

nada sinis, "Kau pamer tenaga dingin di daerah panas, baik
aku mau lihat mana lebih dingin tenagamu atau tenagaku?"
Sambil berkata demikian, Geni melontar pukulan dengan
Jurus Penakluk Raja dengan aksi jurus Nanawidha dari Bang
Bang Alum Alum dan rasa sikap hayu (Keselamatan).
Hebatnya Jurus Penakluk Raja adalah rasa diambil dari
delapan sikap jiwa sementara bhava atau aksi tidak harus dari
Prasidha tapi bisa dengan jurus apa saja.
Mei Hwa masih saja rajin menerjemahkan semua
percakapan di atas panggung. Mendengar Geni mau adu
tenaga pukulan dingin, diam-diam Pak Beng merasa senang.
Ia yakin, sekali hantam Geni akan rubuh! Sebab tenaga
dinginnya ini yang dilatih di puncak gunung bersalju selama ini
tak pernah tertandingi. Di daratan Cina hampir tak ada
pendekar yang berani adu tenaga dingin dengannya.
Terdengar benturan tenaga, keras lawan keras. Hawa
dingin menyambar ke mana-mana, penonton di bawah
panggung merasa kedinginan, hampir beku. Beberapa
benturan tenaga pukulan menyusul. Wisang Geni menggelar
Jurus Penakluk Raja dengan Sringara sikap Syura (Berani)
dengan menggabung empat jurus Nanawidha, Gora Andaka,
Kinabasang, hokamandala semuanya dari Bang Bang Alum
Alum. Tujuh kali terjadi benturan tenaga, Geni tetap berdiri
tegar. Pak Beng juga berdiri, hanya mendadak tubuhnya
menggigil hebat. Pak Beng roboh dengan wajah keabu-abuan,
bibirnya pucat dengan tubuh gemetaran hebat.
Penonton bersorak riuh. Wajah semua anggota tamu pucat
pasi. Tidak bisa tidak, kini Sam Hong harus maju meski dalam
hati ia agak gentar. Tetapi ini masalah gengsi, lebih baik mati
daripada menanggung malu. Sam Hong meloncat ke
panggung. Ia berseru, suaranya menggema. Mei Hwa
menerjemahkan. "Ketua Lemah Tulis ternyata seorang
pendekar dengan ilmu kepandaian hebat, aku kagum

dibuatnya. Terpaksa aku harus mencoba unjuk kepandaianku
yang tak seberapa ini".
Wisang Geni menatap lawannya ini, yang merupakan
pendekar kenamaan Cina dan juga kepala rombongan. Ia
melihat ke dalam mata lawannya. Mata lawannya itu bening,
jernih dan berbinar-binar. Itu tanda bahwa Sam Hong memiliki
tenaga dalam hebat yang tak terukur. Karenanya Geni tak
mau meremehkan lawannya ini. Diam-diam ia menebak
lawannya pasti lebih tangguh dan lebih lihai dibanding Sin
Thong ataupun Pak Beng.
Sam Hong bertanya yang diterjemahkan Mei Hwa. "Aku
akan menanti di bawah panggung, sampai pendekar Wisang
Geni merasa sudah cukup beristirahat, karena aku tak mau
mengambil keuntungan dari keadaan tuan yang letih."
Dengan nada angkuh dan sikap jumawa Wisang Geni
menegaskan ia tak perlu istirahat. "Tadi itu, aku hanya
melakukan pemanasan saja, karena aku tahu bakal
menghadapi pendekar hebat dari Cina yang bernama Sam
Hong. Nah silahkan tuan memulai!"
Pertarungan tak terelakkan, keduanya berlaga dengan
tangan kosong. Sam Hong dengan delapanbelas jurus Naga
Membalik Bumi diladeni Geni yang memainkan Jurus Penakluk
Raja namun kini dengan jurus-jurus dari Garudamukha
Prasidha yakni Sikbwiriya (Cintaku kepadanya),
Sanakanilamatra (Sebesar angin terkecil), Agniwisa (Pijar api),
Silmujugtundaghata (Menukik ke bawah), Prasada Atishasha
(Menara tinggi bukan main), Akwamatyana (Biarlah aku
membunuh) dan Kacakrawartyan (Penguasaan dunia).
Tujuh jurus Prasidha yang diulang dua kali putaran tak
membuat Sam Hong kesulitan. Sepertinya Geni merasa tenaga
menghisap dari Prasidha ternyata tidak berarti apa-apa bagi
Sam Hong. Pertarungan dari saat ke saat semakin seru. Sam
Hong benar-benar seorang jago sejati Ilmu Naga Membalik
Bumi merupakan gabungan tenaga keras dan lunak, panas

dan dingin. Wisang Geni kewalahan, ilmu Prasidha dan yang
diikuti Bang Bang Alum Alum tak berdaya mengimbangi
kekuatan lawan.
Sam Hong benar-benar tangguh, jurus-jurusnya penuh
perubahan yang membingungkan disertai penggunaan tenaga
dalam hebat. Geni sekarang mengerti mengapa pendekar
Merapi, Sagotra, dikalahkan pendekar kelas wahid Wu Than
ini. Pada jurus limapuluh, tamparan keras Sam Hong
menerobos dan menggenjot dada dan pundak Geni.
Geni sempat menangkis sehingga pukulan itu tidak
mengena telak dan tenaga pukulan juga sudah hilang lebih
dari separuh. Kendali demikian, Geni merasa darahnya
bergolak hebat, nyaris ia memuntahkan darah. Sam Hong tahu
lawannya terluka, maka ia tak mau memberi kesempatan. Ia
menyerang gencar dan telengas. Ia tak peduli soal mati hidup
lagi. Dia ingin menang, agar kematian putranya bisa
terungkap. Sesuai perjanjian jika tanah Jawa kalah maka
seluruh pendekar tanah Jawa harus mencari dan menemukan
pembunuh putra Sam Hong itu.
Wisang Geni terdesak, saat itu Sam Hong memukul dari
dua arah berlawanan, gerakan menggunting yang banyak
kembangan tipu, jurus Naga Langit Mengawini Naga Bumi,
salah satu jurus paling hebat dan ganas dari
ilmuNagaMembalik Bumi. Geni dalam bahaya. Tenaga
dalamnya masih belum teratur akibat pukulan Sam Hong yang
cukup keras itu.
Dia tak punya jalan keluar. Sebab ia tahu begitu menangkis
maka serangan kaki Sam Hong akan lebih mengancam lagi. Ia
bisa membaca itu dari pasangan kuda-kuda Sam Hong. Ini
soal mati dan hidup! Tidak ayal lagi, Geni menggelar Waringin
Sungsang dengan sikap Harsa (Gembira). Pukulan Sam Hong
jatuh di tempat kosong, Geni melejit mundur. Sam Hong
memburu, "Mau lari ke mana kamu" Katanya dalam bahasa
Cina.

Geni melejit mundur memutari panggung, Sam Hong
mengejar dengan pukulan-pukulan mematikan. Tetapi berkat
ilmu ringan tubuh Geni yang sangat mumpuni, Sam Hong tak
mampu mengejarnya. Karuan membuat pendekar Cina ini
semakin marah.
Dalam beberapa saat itu, memanfaatkan waktu kejarkejaran
tadi, Geni berhasil menghimpun kembali tenaga
Wiwaha meskipun dada dan pundaknya masih sakit. Merasa
sudah cukup menghindar dan merasa tenaganya sudah mulai
teratur, Geni kembali bertarung dalam jarak dekat.
Tetapi jurus-jurus aneh dari Naga Membalik Bumi kembali
unjuk keunggulan. Beberapa kali ancaman itu nyaris menerpa
tubuh Geni. Pertarungan memasuki jurus limapuluhan dan
Wisang Geni masih saja terdesak. Suatu ketika Sam Hong
menghantam dengan jurus dahsyat Ekor Naga Menghentak
Bumi. Tenaganya penuh, tampaknya Sam Hong ingin adu
pukulan karena ia memang mengandalkan jurus ampuhnya
itu.
Wisang Geni tak ingin terus berlari. Ia ingin menyudahi
tarung secepatnya. Karenanya ia kerahkan rasa Kapejah,
perasaan seseorang waktu hendak mati. Dan Bahva yang ia
pilih adalah jurus Akwamatyana dari Garudamukha Prasidha
(Biarlah aku mati atau kau yang mati).
"Plaak, plaak, plaak! Plaak, plaak, plak! Dess, dess, desss!"
Sembilan kali benturan tangan dan kaki, menimbulkan
suara keras. Penonton di bawah panggung merasakan
kesiuran angin panas dan dingin. Untuk pertama kalinya sejak
menguasai ilmu silat tingkat tinggi, baru hari ini Geni
menemukan tandingan. Tenaga Sam Hong sesungguhnya
masih di bawah kekuatan Wiwaha namun jurus Naga
pendekar Cina itu bisa membuat tenaga pukulannya ibarat
gelombang.

Adu pukulan itu menimbulkan akibat pada kedua pendekar.
Geni merasa darahnya meluap kemudian mereda, dadanya
merasa ngilu, dua lututnya bergetar hebat. Tubuhnya oleng,
hampir jatuh. Mata jeli Geni sempat melihat keadaan Sam
Hong.
Tampak mata Sam Hong melotot, tubuhnya bergetar hebat.
Ia jatuh terduduk dengan posisi menghadap Geni. Mendadak
dua kepalan tangan Sam Hong bergerak putar ke atas
kemudian turun mengarah kepala sendiri. Sam Hong hendak
bunuh diri! Wisang Geni berteriak, "Jangan", sambil ia
melayang ke arah Sam Hong. Ia berupaya hendak menahan
tangan Sam Hong, mencegah pendekar Cina itu bunuh diri.
Ternyata tidak, Sam Hong merancang strategi tipuan. Jika
Geni tidak berupaya menolong, paling tidak Geni akan
terkejut. Saat itulah gerak tangan itu akan berubah menjadi
jurus Lidah Api Naga Bumi Menelan Korban menghantam
kepala dan dada lawan.
Jika Geni bergerak maju hendak menolong, maka jurus itu
akan lebih mudah mengenai sasaran. Dan sudah pasti akan
menelan korban. Geni bakal kena hantaman! Sam Hong
terpaksa memainkan akal bulus ini, meski di dalam hati ia
merasa malu dan risih. Bagi seorang pendekar garis lurus,
menciderai lawan dengan cara membokong dan berlaku
curang adalah suatu aib tersendiri.
Memang itulah yang terjadi! Geni bergerak maju hendak
menolong. Geni melakukan itu tanpa persiapan dan tidak tahu
bahwa di balik tipuan itu, ia akan diserang dengan jurus
mematikan.
Sam Hong berteriak gembira. Begitu Geni berada di
depannya, dua tangan yang mengarah kepala sendiri itu
berubah arah, memutar di atas kepala dan menghantam dada
Geni. Tenaganya penuh, Sam Hong telah menguras seluruh
tenaganya disalurkan dalam jurus maut itu. Jarak sangat

dekat, Geni tak punya peluang menghindar. Semangat Geni
terbang. "Matilah aku!"
Di saat-saat terakhir itu, Geni pasrah secara mutlak! Mati
sekarang atau mati besok sama saja, selamat tinggal dunia,
selamat tinggal Wulan dan Sekar, isteri dan kekasihku! Secara
naluriah sikapnya Sringara adalah Kapejah kematian dan
Kemuka cinta. Ia pasrah mati, tetapi dalam keadaan mencintai
dua kekasihnya. Namun sebagai manusia yang ingin hidup,
tanpa sadar ia menarik dua bahunya merapat ke dada sambil
dua tangannya berdekap melindungi dada sekaligus
memainkan Bhava jurus Sikhmriya (Cintaku kepadanya) dari
Garudamukha Prasidha.
"Desss, desss, desss, dess!"
Terdengar suara bentrokan tenaga. Dua tangan Sam Hong
membentur dua tangan Geni yang melindungi dada. Saat
berikut Sikhmriya beraksi, satu tangan tetap menahan dua
tangan lawan, tangan lainnya diangkat ke atas, berputar dan
mendorong ke depan. Tangannya telak menghantam dada
Sam Hong, sambil ia berseru, "Kalau pun harus mati, maka
kita mati berdua!"
Semua penonton menahan napas. Wisang Geni terlempar
ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
Sam Hong tak bersuara lagi, dadanya melesak ke dalam,
tulang-tulangnya patah. Ia tewas di tempat. Tragis, seorang
pendekar kenamaan dari daratan Cina, tewas secara
memilukan di bukit Penanggungan. Berita ini bakal
menggegerkan dunia persilatan di daratan Cina.
Pada saat itu beberapa bayangan melompat ke atas
panggung. Wulan dan Sekar segera merangkul suaminya.
Wulan memangku kepala, Sekar memeluk tubuhnya. Dua
perempuan cantik itu berseru dengan tangis, "Geni, jangan
mati!"

Manjangan Puguh dan Gajah Waiu berjaga-jaga di sisi Geni.
Saat berikutnya Geni membuka mata. "Aku masih hidup.
Bagaimana dengan Sam Hong?" Ia memaksa diri duduk
dengan dibantu dua isterinya. Ia melihat beberapa pendekar
Cina memegang dan menggotong mayat Sam Hong.
Manjangan Puguh berkata lirih, "Sam Hong mati!" Ia
memegang lengan Mei Hwa, isterinya Perempuan Cina itu
bersandar di pundak suaminya Ada warna duka dalam wajah
Mei Hwa Ia sudah pamit tadi sebelum pertarungan, bahwa ia
tak akan kembali ke Cina karena mengikuti suaminya,
Manjangan Puguh. Berita ini juga akan membuat ibu Mei Hwa,
seorang pendekar kenamaan Sian Hwa, Dewi Pedang Gurun
Gobi bersedih.
"Geni bagaimana lukamu?" Sekar bertanya dengan suara
gemetar saking tegang memikirkan keselamatan kekasihnya.
Tanpa mendengar jawaban Geni, sebenarnya ia menyadari
luka suaminya cukup parah.
"Aku tak apa-apa. Luka ini memang cukup parah, aku perlu
waktu satu bulan untuk sembuh" Geni memandang wajah dua
isterinya yang tampak sayu dan bersimbah airmata "Jikalau
saja tadi aku tidak mengingat kalian berdua, mengingat cinta
kalian padaku dan merasakan cintaku pada kalian, mungkin
aku sudah mati sekarang ini!" Dua perempuan itu tak
mengerti apa hubungannya cinta dengan pertarungan mati
hidup tadi, tetapi keduanya diam dan hanya manggut saja.
Geni melanjutkan, "Tetapi Sam Hong, sungguh kasihan,
harus mati seperti itu. Aku heran mengapa ia mengambil jalan
pintas dan nekad. Ia memojokkan aku, serangannya itu cuma
aku atau dia yang hidup. Salah seorang harus mati! Bagiku tak
ada pilihan lagipula jurusku itu keluar begitu saja untuk
menyelamatkan diri meski sebenarnya aku sudah pasrah mati,
bagiku mati sekarang atau mati besok, sama saja, mati dan

hidup pun, sama saja!"

0 komentar:

Posting Komentar

 
;