Sabtu, 17 Mei 2014

Wisanggeni 19

Kalau Pitu Sopakara tingkat lima, hanya sedikit terguncang
oleh pukulan tenaga Wiwaha yang sempurna. Bisa saja begitu
menyelesaikan tingkat tujuh, kekuatan Lembu Agra akan lebih
unggul. Pemikiran ini sering mengganggunya setiap malam.
Malam itu Geni duduk semedi melatih tenaga Wiwaha.
Telinganya yang tajam mendengar sesuatu. Dia membuka
mata, melihat sekeliling. Tak ada apa-apa. Prawesti tidur
nyenyak. Suara itu datang dari Prawesti. Geni memerhatikan
lebih cermat. Dia bergerak perlahan ke tempat gadis itu.
Di bawah remang cahaya api unggun yang mulai redup,
Geni memandang wajah Prawesti yang cantik. Pucat Bibirnya
bergerak. Suara yang didengar Geni tadi rupanya gemeletuk
gigi Prawesti yang kedinginan. Geni meraba dahi gadis itu.
Panas. Gadis itu demam. Mata Prawesti terbuka, menatap
Geni.
"Kamu tidak tidur?''
Gadis itu menggeleng kepala.
"Kamu sakit, Westi."
Gadis itu menggeleng kepala. Dia bangkit, duduk dengan
lemas. Wisang Geni meraih tubuh Prawesti. Memeluk erat.
Merapatkan dada perempuan itu ke dadanya. Geni
merebahkan diri, tubuh Prawesti terkulai lemas di atas
tubuhnya. Geni mengerahkan tenaga dalam. Hawa panas
merasuk ke tubuh Prawesti.

Api unggun mati Goa itu gelap gulita. Hanya terdengar
suara air terjun. Geni mencium mulut Prawesti. Lama.
Prawesti tak lagi kedinginan. Pengobatan dengan tenaga
dalam itu telah menyembuhkan demam. Prawesti sembuh.
Suhu tubuhnya kembali normal. Demamnya memang lenyap,
tetapi demam birahinya muncul. Dua insan itu terbenam
dalam panasnya nafsu.
Geni memandang wajah Prawesti. Goa itu gelap. Tetapi
Geni bisa melihat butir-butir keringat di wajah cantik Prawesti.
Keduanya mandi keringat, meski di dalam goa udara sangat
dingin. Tiba-tiba ada sesuatu berkelebat di benak Wisang
Geni. Semacam cahaya yang benderang sesaat. Apa itu? Dia
merasa menemukan sesuatu yang penting. Dia berpikir.
"Kamu berkeringat, ketua. Padahal udara sangat dingin."
"Kamu juga berkeringat. Tapi tunggu dulu, apa itu?
Berkeringat itu artinya panas. Tubuh kita panas padahal udara
sangat dingin. Panas tubuh muncul begitu saja, tanpa
dikendalikan, tanpa diperintah."
Prawesti menatap kekasihnya, tidak mengerti apa yang
dibicarakan lelaki itu. Dia memutuskan untuk diam saja. Dia
yakin kekasihnya sedang memikirkan sesuatu yang penting.
Geni bangkit duduk semedi. Dia memikirkan sesuatu yang
muncul tiba-tiba di benaknya. Sesuatu yang ada kaitan
dengan misteri tenaga Wiwaha. Panas tubuh itu muncul begitu
saja, tanpa diperintah, tanpa dipaksa. Tetapi panas itu bisa
dikendalikan. Bisa diatur. Tenaga Wiwaha yang sempurna itu
juga muncul secara mendadak, tanpa diperintah dan tanpa
dipaksa.
Dia yakin panas itu harus ada sebabnya, harus ada asalusulnya
mengapa bisa muncul begitu saja. Panas tubuh itu
muncul karena adanya gejolak birahi. Tubuh akan semakin
panas dan akhirnya berkeringat, juga disebabkan asal-usulnya
yaitu gerak. Makin banyak bergerak, makin panas dan makin

berkeringat Tetapi pertanyaan tentang asal-usul tenaga
Wiwaha yang sempurna itu, tetap tidak terjawab. Mengapa
dan bagaimana caranya tenaga itu bisa muncul dengan utuh
dan sempurna?
Ketika melihat Wulan dilukai Lembu Agra, Wisang Geni
marah. Kemarahan yang luar biasa. Ketika bertarung lawan
Sam Hong, pada saat kritis, dia pasrah. Dia yakin bakal mati.
Itu sebab dan asal-usul munculnya tenaga Wiwaha yang
dahsyat Pada situasi biasa, tenaga Wiwaha itu muncul dan
tersalur dalam pukulan. Itu pun sudah sangat ampuh. Namun
tenaga Wiwaha sempurna itu berlipat-ganda kekuatannya,
jauh lebih dahsyat
Prawesti melihat Geni bersemedi. Merasa tak ada lagi yang
perlu dikerjakan, dia melangkah keluar goa. Bergabung
dengan murid lain, berlatih.
Wisang Geni mengingat-ingat pengalaman dua tahun silam
di hutan dekat desa Wajak. Dia tidak bertemu langsung
dengan Eyang Sepuh Suryajagad. Tetapi Eyang Sepuh telah
memberi petunjuk melalui bisikan jarak jauh.
"Tidak sedih, tidak gembira, tidak berani, tidak kuasa, tidak
birahi, tidak cinta, tidak selamat, tidak mati. Delapan jalan
satu tujuan. Tidak sedih atau sedih, sama saja. Ada atau tidak
ada, sama saja. Delapan dan satu, sama saja."
Ternyata petunjuk itu berhasil memecah kebuntuan
pemahaman rahasia jurus Garudamukha Prasidha dan Jurus
Penakluk Raja. Pemahaman itu membuat tenaga Wiwaha yang
diperolehnya di lereng gunung Lejar, kekuatannya semakin
besar. Dengan pemahaman itulah dia mengalahkan beberapa
jago kelas utama daratan Cina. Namun pemahaman tersebut
belum bisa menyempurnakan tenaga Wiwaha menjadi
kekuatan yang utuh dan sempurna. Baru pada saat kritis
ketika nyawanya di ujung tanduk, nyaris mati oleh pukulan
Sam Hong, tenaga Wiwaha itu tersalur sempurna dan
memukul balik Sim Hong. Belakangan dia mencari tahu cara

penyempurnaan itu tapi sampai hari ini tetap sia-sia. Ia
sendirian di goa. Ia masih merenung. Ingatannya
menerawang ke Eyang Sepuh. "Jika Eyang ada di sini
sekarang, aku yakin beliau bisa menjawab rahasia ini."
Dia belum pernah bertatap muka dengan Eyang Sepuh. Dia
pernah melihat Eyang dari jauh, itu pun hanya punggungnya.
Ketika itu, usai dia mengalahkan dua pendekar India, Malini
dan Kumara. Eyang berjalan menjauh. Eyang Sepuh berjalan
seperti melenggang santai, tidak tampak menggerakkan kaki
namun gerakannya sangat cepat. Dalam sekejap orangtua itu
hilang dari pandangan mata. Hanya suara kidungnya yang
masih terdengar, tanda tenaga dalam yang sempurna.
Dia masih ingat kilasan peristiwa itu. Kidung yang
dinyanyikan Eyang Sepuh Suryajagad, kidung Penakluk Raja.
Mendadak Wisang Geni ingat bahwa kidung itu merupakan
ciptaan Eyang Sepuh sendiri. Itulah yang diceritakan para
tetua Lemah Tulis. Itu ciptaan Eyang, pasti ada maknanya,
ada rahasianya. Ia mengingat syair kidung, memahaminya
kata demi kata.
Ilmu dari seberang,
tak boleh tepuk dada di tanah Jawa ini
Dari Gunung Lejar, jurus Penakluk Raja.
Ilmu dari segala Ilmu
Melenggang ke Barat, meluruk ke Timur
Merangsek ke Utara, merantau ke Selatan
Tak ada lawan, tak ada tandingan, ilmu dari segala ilmu
Tiba-tiba Wisang Geni berteriak girang. Tanpa sadar ia
berkata kepada diri sendiri. "Bukankah Utara adalah kepala,
Selatan itu kaki, Timur itu tangan kanan dan Barat tangan kiri.
Lantas apa arti syair ilmu dari seberang, tak boleh tepuk dada

di tanah Jawa ?. Apa artinya dari Gunung Lejar, Jurus
Penakluk Raja, ilmu dari segala ilmu?"
"Ketua, ilmu dari seberang tak boleh tepuk dada di tanah
Jawa mungkin artinya serangan lawan tidak boleh
mengalahkan pusat kekuatan diri. Tanah Jawa itu kan pusat
kejayaan dan harga diri kita semua."
Geni menoleh. Dia melihat Prawesti duduk bersila. Rupanya
gadis itu masuk ke goa tanpa diketahui Geni yang sedang
tersita seluruh perhatiannya pada rahasia kidung. Prawesti
tersenyum, seperti baru saja memecahkan teka-teki mainan
anak-anak. Geni terkesiap. "Bagaimana kamu bisa mengerti
itu? Apakah kamu tahu kidung itu?"
"Ketua, semua murid Lemah Tulis hafal dan bisa
mendendangkan kidung Penakluk Raja, apanya yang aneh."
Dia mengucapkan kata-kata itu seperti sesuatu yang tidak
penting.
"Bagaimana kamu bisa memecahkan rahasia itu?"
"Rahasia apa? Aku tak mengerti maksudmu"
Sesaat Geni sadar dan mengerti. Dia tak bisa menebak arti
syair karena dia berpikir dengan pemikiran yang njelimet.
Prawesti tanpa sengaja bisa mengartikan kalimat itu karena
dia berpikir secara sederhana.
Maksudnya memang sederhana. Memang harus seperti itu,
serangan lawan tak akan bisa menembus pusat kekuatan
selama kita menerapkan penguasaan Jurus Penakluk Raja.
Dan kalimat "tak boleh tepuk dada"artinya tidak boleh
membiarkan lawan menggoyahkan kepercayaan diri sendiri.
"Tanah Jawa" artinya pusat kekuatan diri. Pusat itu ada di
tengah, di dada. Jadi tenaga inti harus dihimpun dan
dipusatkan di dada.
Mendadak laki-laki itu berlari memeluk Prawesti,
menggendong dan melemparnya ke udara, menangkap

kembali seperti mainan anak-anak Gadis itu menjerit. Wisang
Geni berteriak girang. "Sempurna, sempurna, luar biasa,
selama ini rahasia itu berada di ujung hidung dan aku buta
tidak melihatnya, luar biasa. Terirnakasih kekasihku."
Syair "dari Gunung LeJar, Jurus Penakluk Raja, Ilmu dari
segala Ilmu", terpecahkan. Geni tahu, di gunung Lejar itulah
rahasia Garudamukha Prasidha tersimpan selama puluhan
tahun. Di gunung Lejar juga asal muasal ilmu Garudamukha
diciptakan Baginda Raja Erlangga dan Empu Barada. Dari
Garudamukha sebagai cikal bakal ilmu Lemah Tulis lahirlah
Prasidha dan juga Jurus Penakluk Raja.
Geni secara kebetulan menemukan rahasia Garudamukha
Prasidha di gunung Lejar. Dia temukan rahasia itu sebelum dia
menemukan tenaga Wiwaha, juga di gunung Lejar. Dan dua
penemuan itulah yang mengubah dirinya dari seorang pesilat
biasa yang sedang terluka parah menjadi jago nomor satu.
Dalam kidung ciptaannya, Eyang Sepuh Suryajagad
memberitahu bahwa Garudamukha Prasidha hanya bisa
sempurna menjadi Jurus Penakluk Raja jika berhasil melalui
pengerahan seluruh tenaga dalam secara utuh. Tenaga itu
dihimpun di pusat, di dada, kemudian disalurkan ke kepala
dengan mulus sinambungan lalu menyalurkan ke bagian kaki
dengan satu hentakan keras, begitu sebaliknya. Demikian juga
penyaluran tenaga ke tangan kanan dan tangan kiri, mengalir
perlahan mulus bersinambungan kemudian dihentakkan ke
bagian tangan yang berlawanan.
Geni bangkit dari semedi, memainkan tujuh jurus Prasidha
dengan pemahaman baru itu. Beberapa kali mengulang
barulah dia berhasil menguasai dengan lancar. Dia mengerti
kini hebatnya Garudamukka Prasidha. Tadinya jurus Prasidha
yang dia gunakan dalam berbagai pertarungan, hanya jurus
menghimpun tenaga serangan lawan kemudian
mengembalikan tenaga itu ke lawan. Sekarang ini Prasidha
yang dia gunakan bisa jauh lebih hebat dari itu. Dia bisa

menghisap dan menampung tenaga lawan, kemudian dengan
tambahan tenaga sendiri, tenaga lawan itu dikembalikan
menjadi serangan kepada lawan. Hebatnya lagi, serangan
tidak terbatas pada lawan yang menyerang tadi, tetapi bisa
juga kepada lawan lain. Artinya dalam situasi dikeroyok,
Prasidha bisa menyedot tenaga lawan yang satu untuk
dikembalikan dan dialihkan menjadi serangan kepada lawan
yang lain. Kini Geni sadar, jurus Garudamukha Prasidha
pemahaman baru inilah yang oleh Eyang Sepuh Suryajagad
disebut Jurus Penakluk Raja. Jika tadinya ia menggelar
Penakluk Raja dengan tenaga tidak penuh, sekarang ia bisa
memainkan jurus itu dengan tenaga Wiwaha yang penuh dan
total.
Dia sadar untuk melancarkan dan menyatukan pemahaman
tenaga inti Wiwaha ke dalam tujuh jurus Prasidha tidak bisa
dengan sekejap atau sekali coba. Butuh waktu, tergantung
sering tidaknya berlatih. Semakin sering dilatih memudahkan
jurus ini menyatu dengan pikiran dan kemauan. Dia mengerti
sekarang alasan Eyang Sepuh menamai kidungnya Jurus
Penakluk Raja.
Pengertiannya sederhana saja, raja adalah penguasa
tertinggi yang punya kekuasaan atas pasukan perang, punya
kekayaan tak terbatas. Raja memiliki kekuasaan dan
kekayaan, dua hal yang membuat dia sebagai penguasa di
muka bumi. Maka hanya "ilmu dari segala ilmu" saja yang bisa
mengalahkan kekuasaan dahsyat itu. Artinya jika ilmu itu bisa
menaklukkan raja yang begitu besar kekuasaannya, maka bisa
juga mengalahkan lawan yang dahsyat sekali pun.
Dengan penuh kegembiraan Geni memainkan tujuh jurus
Prasidha dengan pengerahan tenaga Wiwaha. Dia bersilat
dengan perasaan gembira Harta sesaat kemudian berganti
suasana hati Glana (Sedih), Syura (Berani), Prahhawa (Kuasa),
Raga (Nafsu), Kamuka (Cinta), Hayu (Selamat) dan Kapejah
(Mati). Delapan suasana hati ini sebagaimana petunjuk Eyang

Sepuh Suryajagad merupakan kunci memainkan Jurus
Penakluk Raja. Pada mulanya masih agak kaku, tetapi lambat
laun semakin lancar.
Sekilas Geni ingat cerita gurunya Manjangan Puguh
bagaimana dalam perang Ganter, Eyang Sepuh dengan
beberapa jurus sederhana berhasil melukai pendekar
Lahagawe. Tanpa sadar Geni berkata. "Mungkin saat itu Eyang
menggunakan rasa Harsa kemudian Syura dan Prahhawa, dan
setelah Lahagawe terluka, Eyang dengan rasa Glana (Sedih)
mendorong pergi pendekar Himalaya itu. Pada tahapan usia
dan ilmu seperti itu Eyang merasa sedih jika harus membunuh
seorang manusia."
Penemuan itu merupakan titik pencapaian tertinggi bagi
Wisang Geni. Diawali kejadian mengobati demam Prawesti,
berlanjut pada hubungan intim, keringat dan panasnya birahi,
Geni kemudian hanyut dalam misteri penyempurnaan Jurus
Penakluk Raja sebagai kunci ilmu leluhur Lemah Tulis
Garudamukha Prasidha.
Selama tujuh hari melatih Jurus Penakluk Raja Geni tak
pernah keluar goa. Dia makan dan minum dilayani Prawesti.
Gadis ini tidak selalu berada di goa melayani ketuanya, ia
sering berlatih bersama teman-temannya di air terjun.
Hari kedelapan setelah penemuan misteri Jurus Penakluk
Raja atau hari keempatpuluh tiga keberadaan di air terjun,
Geni akhirnya bisa memainkan tenaga Wiwaha secara utuh
dan sempurna. Jurus yang digunakan bertambah matang dan
berkekuatan dahsyat, tujuh jurus Garudamukha Prasidha,
empat jurus Wiwaha dengan delapan sikap suasana hati.
Sekarang ini Geni bisa mengatur sendiri kapan mau
memainkan tenaga Wiwaha secara utuh dan sempurna.
Hari itu ketika dia keluar dari goa, berdiri di atas batu cadas
agak jauh dari air terjun, terdengar tepuk tangan ramai. Geni
melihat murid-murid Lemah Tulis yang tadinya sedang

berlatih, berhenti semuanya dan bertepuk tangan menyambut
ketuanya.
Dia melihat Prawesti berada di antara para murid. Gadis ini
tersenyum. Dia yang memberitahu bahwa sang ketua selama
beberapa hari ini tidak bisa hadir dalam latihan bersama
karena sedang memperdalam ilmu pusaka Lemah Tulis
Prasidha.
Seorang diantara mereka, Prastawana, murid pertama
Branjangan, bergerak maju. Dia lebih tua dari Geni baik usia
maupun silsilah. Branjangan murid kedua Eyang Rama
Balawan, sedang guru Geni yakni Padeksa murid ketiga Rama
Balawan. Meskipun demikian, Prastawana sangat
menghormati Geni. Tak cuma lantaran dialah ketua Lemah
Tulis, juga ilmu silatnya yang begitu menakjubkan.
Prastawana memberi hormat. "Selamat ketua, semoga dengan
ilmu itu kau bisa mengangkat nama Lemah Tulis lebih harum
lagi. Maaf ketua, kami semua mohon kamu memperlihatkan
ilmu pusaka dari leluhur kita itu."
Geni tertawa. "Kakang Prastawana, kau mau menjajal
aku?"
Prastawana mundur dengan wajah pucat "Jangan ketua,
jangan, aku tak akan tahan. Dan kami semua tak akan bisa
melihat kehebatannya karena pasti kau hanya mengerahkan
sebagian tenaga, jika seluruh tenaga maka aku pasti binasa.
Ada lawan yang lebih hebat untukmu."
"Kamu licik, mau mengadu aku dengan siapa?"
"Maaf Ketua, dia ada di belakangmu"
Geni melihat ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Geni
membalik badan, tetapi Prastawana sudah berada di tepi
sungai. Geni berseru, "Apa maksudmu, kakang ?”

Semua murid tertawa, sambil menunjuk ke belakang Geni.
Kini Geni mengerti. "Oh kalian semua sudah sekongkol,
rupanya."
Geni menghela nafas panjang, memenuhi parunya dengan
udara bersih pegunungan. "Baik, perhatikan, aku akan
mainkan tujuh jurus Prasidha ilmu dari leluhur kita, yang tiap
jurus bisa dimainkan dalam delapan suasana hati, maka
seluruhnya ada limapuluh enam jurus Prasidha, inilah yang
disebut Jurus Penakluk Raja. Jadi Jurus Penakluk Raja adalah
jurus Prasidha yang dikembangkan. Ini kuperoleh dari
wejangan Eyang Sepuh Suryajagad. Dan tenaga dalam yang
kugunakan adalah tenaga Wiwaha warisan guruku pendekar
Lalawa, ilmu ringan tubuh dari guru Manjangan Puguh dari
perguruan Merapi. Perhatikan!"
Geni menggelar jurus lima Prasidha yakni Prasada
Atishasba (Puncak menara tinggi) sambil melompat ke sungai
dengan ilmu ringan tubuh Waringin Sungsang. Tampak Geni
berjalan di permukaan air. Tiba di air terjun, Geni melompat
menerobos curah air yang deras, menggunakan jurus
Akwamatyana (Aku yang akan membunuh) dari Prasidha, air
tersibak terbelah oleh tenaga dahsyat Lalu jurus
Kacakrawartyan (Penguasaan bumi). Dua tangan Geni
menjura ke atas. Geni memainkan dalam suasana hati Harsa
(Gembira) berubah ke Syura (Berani) dan Prahhawa (Kuasa).
Air terjun tersibak ke sana sini, di seputar tubuh Wisang Geni.
.
Semua murid Lemah Tulis terkagum-kagum. Tak seorang
pun bersuara. Rasanya tak mungkin ada manusia yang
sanggup menahan bobot air terjun di atas kepala. Tetapi
ketua mereka mampu melakukannya. Mungkin jika hanya
mendengar cerita orang, mereka akan sulit percaya. Setelah
puas memperlihatkan jurus Garudamukha
Prasidha, ketua Lemah Tulis itu melompat ke air dan
berjalan santai ke tepi sungai. Berjalan santai di atas

permukaan air, adalah jauh lebih sulit ketimbang berlari di
atas air.
Semua murid Lemah Tulis, berlutut memberi hormat.
Terdengar isak tangis. Geni menoleh, dia mengenal dua murid
ayahnya, Gajah Nila dan Gajah Lengan Sambil menahan isak,
Gajah Nila berkata, "Hari ini aku bahagia, melihat ilmu silat
ketua yang begitu dahsyat. Pasti guruku yang mulia akan
bangga di alam baka menyaksikan kehebatan putranya.
Maafkan aku, kalau mendadak saja aku jadi cengeng."
Latihan di air terjun berlanjut. Geni terkadang berlatih di
dalam goa, terkadang melatih murid-muridnya. Setelah dua
bulan bermukim dan berlatih di air terjun, rombongan kembali
ke perdikan. Semua murid merasakan semangatyang
bergelora dan rasa percaya diri serta kebanggaan sebagai
murid Lemah Tulis.
Masih terngiang di telinga mereka, kata-kata Geni. "Aku
bisa sampai ke tingkat ini, karena aku terus berpikir dan
berlatih. Aku merasa yakin ilmu silat ini begitu mulianya
sehingga pantaslah jika harus menyita seluruh umur kita untuk
belajar dan berlatih. Camkan itu, saudara-saudaraku!"
Suatu pagi, beberapa hari setelah kembali dari air terjun,
Geni terjaga dari tidur karena ada tetesan air mengenai
wajahnya. Dia membuka mata, melihat wajah Prawesti,
sepasang mata gadis itu menatap nakal. Wajah dan rambut
gadis itu masih basah. Prawesti baru selesai mandi. Dia cantik,
kecantikan yang sangat menggoda.
"Ketua, sarapan pagi sudah siap, silahkan makan."
Prawesti hendak beranjak tapi tangan Geni memegang
lengannya, "Jangan pergi dulu." Geni menarik gadis itu ke
dalam pelukannya. Tubuh Prawesti masih basah, ada sisa-sisa
air bekas mandi. Dingin tetapi hangat "Westi, kau membuat
aku tergila-gila, kau cantik dan menarik, pagi ini aku seperti
melihat seorang dewi."

Tubuh Prawesti menggelinjang ketika tangan Geni meraba
dan mengelus pahanya. "Ketua, kau masih mau lagi, semalam
kau hampir membunuhku"
Geni berbisik. "Kau capek?"
Prawesti menggeleng, rambutnya yang basah menyapu
wajah lelaki itu. "Aku sudah janji akan selalu melayanimu"
Pagi beranjak ke siang, matahari mulai terik. Geni
bersemedi, Prawesti berbaring, kepalanya di pangkuan Geni.
Gadis itu selalu tertidur setelah permainan nafsu selesai. Geni
membuka mata, membangunkan gadis remaja itu. "Adik
Westi, ada tugas untukmu. Mulai hari ini kau melapor
kepadaku apa saja yang dilakukan Raditin dan Kirana. Selain
itu, kau juga melapor semua perkembangan di perdikan. Ini
rahasia, kau sanggup?"
Mata gadis itu membelalak. "Ada apa dengan dua kakang
mbok itu, ketua. Apakah ada ancaman bahaya?"
Geni menggeleng. "Aku hanya ingin tahu apakah dua murid
itu melakukan pekerjaan yang kutugaskan kepada mereka,
bahaya memang selalu akan mengancam kita, banyak musuh
yang ingin melenyapkan Lemah Tulis, jangan lupa, tugas ini
rahasia!"
Prawesti bangkit, duduk berhadapan. "Ketua, aku ingin
belajar dan melatih ilmu Wiwaha, boleh?"
Geni diam. Dia ingat bahwa selama dua bulan belakangan
ini dia sudah menurunkan hampir semua ilmu silatnya kepada
gadis itu. Meski Prawesti belum menguasai namun dia tetap
menjejalinya dengan pelajaran lisan yang harus dihafal.
Menurut aturan hanya murid lapis pertama yang boleh
mempelajari Prasidha. Prawesti beruntung, ia satu-satunya
murid lapis dua yang boleh mempelajari Prasidha. Ia
dibimbing langsung oleh ketua, bahkan juga Jurus Penakluk
Raja. Hanya ilmu yang diperoleh Geni dari Manjangan Puguh

yakni Bang Bang. Aum Alum dan Waringin Sungsang yang
tidak diajarkan karena harus mendapat ijin dari pemiliknya.
Hanya lantaran belum memiliki tenaga dalam setangguh
Wiwaha maka gadis itu belum bisa memainkan Prasidha
secara sempurna. Ia berlatih sampai batas tertentu,
selebihnya ia dipaksa menghafal semua teori secara lisan.
Saking heran pada suatu hari dia bertanya pada Geni.
Waktu itu Geni menjawab, "Westi, aku punya banyak musuh,
tak ada jaminan aku bisa hidup terus, jika aku mati, aku tidak
ingin semua kepandaian ini ikut terkubur. Aku ingin ada yang
meneruskan. Kamu kupilih, karena kau satu-satunya orang
yang paling sering berada di dekatku sehingga kapan saja aku
bisa mengajarimu Kau pun cerdas, bisa mengingat semua
yang kuajarkan."
Geni masih diam. Prawesti menepuk pahanya. "Kamu
belum menjawab permohonanku belajar Wiwaha."
"Sulit, adik. Sulit sekali. Mungkin bisa jika hanya berlatih
tenaga panasnya saja. Sebenarnya tenaga dalammu sudah
banyak maju sejak berlatih Prasidha, tapi kenapa kau ingin
sekali melatih Wiwaha, kenapa Westi?"
Prawesti merunduk, wajahnya merah, malu. "Supaya sehat,
katamu Wiwaha membuatmu jadi perkasa. Aku ingin bisa
melayanimu selama-lamanya."
Geni terharu Tak menyangka gadis ini sangat menyintainya.
Geni memeluk dan mengelus-elus kepalanya. "Akan kupikirkan
caranya, sekarang kau pergi jalan-jalan mengawasi dua wanita
itu, aku mau semedi."
---ooo0dw0ooo---
Limabelas Purnama

Lembu Agra duduk semedi. Dua tangan terentang ke
samping. Kepalanya tengadah. Nafasnya lembut, nyaris tak
ada suara sedikit pun. Dari ubun-ubun kepala tampak uap
tipis. Uap tipis itu melingkar-lingkar dan melayang di atas
kepalakemudian lenyap. Uap tipis itu bermunculan lagi,
demikian seterusnya.
Dia lelaki berusia separuh abad, tampan dan agak kurus.
Wajahnya bulat telur, sepasang matanya cekung dan sipit.
Rambutnya panjang dikuncir. Kumisnya tipis tercetak di bawah
hidung yang agak bangir dan mulut yang berbibir tebal.
Dia bersemedi di salah satu kamar dalam lingkungan
keraton Kediri Kamar yang indah dan tertata rapi. Dua gadis,
muda dan cantik, duduk di pojok kamar. Keduanya dayang
yang siap melayani semua kemauan Lembu Agra.
Lelaki itu menggerakkan tangan. Posisi tangannya berubah
menjadi terentang ke depan. Sesaat kemudian wajahnya
berubah merah seperti kepiting direbus. Uap tipis semakin
banyak dan tebal keluar dari mulut dan hidungnya.
Tak lama kemudian wajahnya berubah lagi dari merah
menjadi hijau lantas kelabu dan beralih ke pucat Dia sedang
melatih tenaga dalam tingkat tinggi bagian dari ilmu Pitu
Sopakara. Sudah dua bulan dia memperdalam latihan
semedinya. Sejak matahari terbit sampai terbenam Seharian ia
bersemedi. Menjelang malam Lembu Agra membuka matanya.
Ia telah menyelesaikan latihannya.
Setelah pertarungan di hutan ketika ia membunuh Walang
Wulan, ia berlatih keras. Ia tahu bahwa Wisang Geni sangat
perkasa. Ilmu Pitu Sopakara tingkat lima yang dikuasainya,
masih kalah. Hari ini tepat dua bulan sejak peristiwa di hutan
itu, ia menyelesaikan tenaga Pitu Sopakara tingkat enam.
Hanya tinggal satu tangga lagi menuju tingkat tujuh yakni
kesempurnaan tenaga dengan sebelas jurus Pitu Sopakara.

Ilmu Pitu Sopakara pada tingkatan awal membutuhkan
waktu sampai dua tahun untuk mendalaminya. Pada tingkat
dua sampai empat, pencerahan ilmu semakin pelik sehingga
bagi orang yang cerdas dengan bakat istimewa diperlukan
waktu sembilan tahun. Pada tingkat lima dibutuhkan waktu
lebih lama lagi, lima tahun.
Pada tingkat berikutnya waktu yang diperlukan sangat
singkat karena hanya merupakan pendalaman dan
penyempurnaan apa yang sudah diperoleh pada tingkat
sebelumnya. Tingkat enam, pendalaman tenaga inti dan
meleburkannya ke sebelas jurus, bisa diperoleh dalam waktu
sekitar dua bulan. Pada tingkat tujuh, tingkat penyempurnaan
diperlukan waktu sekitar empatbelas sampai duapuluh hari.
Untuk sampai pada penyempurnaan tingkat tujuh
diperlukan persyaratan berat Selama tujuh hari pertama,
harus dilakukan semedi melatih tenaga batin terus menerus
tanpa henti. Tak boleh diganggu, bahkan makan dan minum
pun harus dilupakan. Lulus dari tahapan sulit ini, boleh
istirahat dan boleh melakukan apa saja. Tahap berikutnya
mempersiapkan diri memasuki latihan yang paling sulit.
Tahapan akhir, menggunakan tenaga batin menerapkan daya
magis dan sihir ke dalam setiap jurus Pitu Sopakara. Pada
tahapan ini seseorang bisa berhasil menguasai ilmu ini dengan
sempurna, tetapi jika gagal maka dia bisa gila bahkan bisa
kehilangan nyawa, karena tenaga inti yang sudah dikuasainya
pada enam tingkatan sebelumnya akan berbalik menghantam
diri sendiri.
Lembu Agra tahu persis bahaya ini, tetapi dia telah
memutuskan menempuh jalan nekad. Dia yakin jika telah
menguasai tingkat tujuh, bukan hanya Wisang Geni yang bisa
dihadapinya, dia bahkan tak akan menemukan tandingan di
rimba persilatan. Dan untuk mimpi besar seperti itu layak jika
ia mempertaruhkan nyawa.

Begitu yang pernah dituturkan ayahnya ketika menurunkan
ilmu ini secara lisan saat dia masih berusia sepuluh tahun.
Selama satu tahun dia harus menghafal Pitu Sopakara.
Ayahnya, ketua partai Tur angga, juga pewaris tunggal ilmu
Pitu Sopakara. Ilmu ini memang hanya diturunkan secara
turun-temurun. Dari kakek sampai ke ayahnya dan kini dia
satu-satunya pewaris.
Lembu Agra sadar bahwa jika dia gagal di tingkat tujuh,
bukan hanya nyawanya yang melayang bahkan mungkin saja
ilmu Pitu Sopakara ikut terkubur bersamanya. Tetapi dendam
itu telah membakar dirinya sepanjang hidup, sejak masih kecil
ketika menyaksikan ayah dan keluarganya serta hampir
seluruh murid Turangga mati mengenaskan. Selama ini dia
hidup hanya karena dendam. Tidur, makan dan berlatih silat
dibakar dendam. Dendam itu menjadi kawannya paling setia,
menjadi bagian dari hidupnya, seperti bayangan dirinya.
Peristiwa tragis itu terjadi ketika ia berusia duabelas tahun.
Orang-orang Lemah Tulis dan beberapa pendekar tangguh
dari perdikan lain datang meluruk dan menghancurkan
perguruan Turangga. Alasannya, Turangga adalah perguruan
sesat, murid-muridnya banyak melakukan kejahatan.
Ayahnya mati di tangan Rama Balawan, ketua Lemah Tulis.
Paman, ibu serta beberapa selir ayahnya mati dalam tarung
dengan Bergawa dan kawan-kawannya. Dia masih ingat
sebelum ajal, ayahnya memberi wejangan yang selalu
diingatnya. "Anakku, aku mati lantaran malas berlatih, aku
hanya sampai di tingkat lima. Maka kau harus berlatih keras,
jika menyelesaikan tingkat tujuh, kau tidak akan menemukan
tandingan, kau akan menjadi pendekar nomor satu" Partai
Turangga punah. Semua murid-muridnya mati atau lari cerai
berai. Sedikit yang berhasil meloloskan diri. Seorang di
antaranya yang lolos, Lembu Agra. Dua lainnya saudara
perguruan ayahnya, Jaran Dawuk dan Cakarwa juga lolos.
Usai tragedi berdarah itu, ia mendatangi Lemah Tulis. Ia

menyamar sebagai anak yang tak punya orangtua dan
diterima sebagai murid Dia berlatih ilmu andalan
Garudamukha namun diam-diam juga berlatih Pitu Sopakara.
Belasan tahun, tak seorang pun di Lemah Tulis yang curiga.
Sampai hari itu, ia mulai melancarkan balas dendam. Ia
menabur racun pelemas tulang ke dalam kendi-kendi air
minum
Racun itu membuat para tokoh Lemah Tulis dan semua
muridnya keracunan sehingga mudah menjadi korban
serangan pasukan dari keraton Ken Arok Tetapi ia belum puas,
karena tidak semua orang Lemah Tulis mati. Belakangan
orang Lemah Tulis mengetahui siapa dia sebenarnya, tetapi ia
tak peduli. Sekarang ia tak perlu sembunyi lagi.
Dua tahun belakangan ini Lemah Tulis menjadi kuat
kembali. Semua murid-muridnyayang dulunya cerai berai
kembali ke perdikan Wisang Geni diangkat menjadi ketua. Di
perdikan itu juga masih ada dua u >koh sepuh yang ilmunya
tak kalah dari Wisang Geni, yakni Padeksa dan Gajah Watu.
Dan masih banyak murid angkatan kedua, yakni murid
Bergawa, Branjangan, Padeksa dan Gajah Watu.
Tujuan hidup Lembu Agra, hanya balas dendam. Dia telah
bersumpah akan menumpas habis Lemah Tulis sampai lenyap
dari muka bumi Tak boleh ada yang tersisa. Kematian
ayahnya, ibunya, kakak-kakaknya harus dibalas. Matinya
Bergawa dan Branjangan serta sebagian besar murid
utamanya, belum cukup. Lemah Tulis masih berdiri bahkan
sekarang ini makin megah dan kuat. Ratusan murid berlatih
silat di perdikan itu. Sekarang ini Lemah Tulis bersama
Mahameru dan Brantas disebut sebagai tiga perdikan besar di
Tanah Jawa.
Dendamnya bahkan lebih besar ketimbang cinta dan
nafsunya terhadap Wulan, perempuan yang bertahun-tahun
dicintainya. Dia begitu mencintai Walang Wulan, tetapi ketika

perempuan itu memutuskan menjadi isteri Wisang Geni,
perasaan cintanya berubah menjadi kebencian.
Dendam semakin membara. Sebagian dendam
terlampiaskan ketika dia menikmati saat-saat membunuh
Wulan sekaligus melukai batin Wisang Geni. Tetapi itu belum
cukup, dia berjanji akan membunuh lebih banyak lagi murid
Lemah Tulis.
Lembu Agra tertawa puas. "Hari ini aku selesai dengan
tingkat enam. Aku butuh duapuluh hari untuk
menyempurnakan tingkat akhir, jika gagal pun aku tak
menyesal. Gila atau mati pun aku tak menyesal. Aku hanya
mengharap arwah ayah, ibu dan saudaraku membantuku.
Setelah itu hanya waktu dan nasib yang akan menjadikan aku
pendekar nomor satu tanah Jawa."
Dia memberi isyarat kepada dua pelayan wanita, minta
dipijat. Seorang memijat pundaknya, seorang lainnya di
bagian betis dan telapak kaki. Tak hanya memijat, pelayan itu
merangkap budak seks. Lembu Agra bebas memilih dan
meniduri semua pelayan di bagian keraton itu.
Malamku berlangsung jamuan makan di bangunan sebelah
kanan keraton, bangunan mewah dan cukup besar, tempat
tinggal Lembu Ampai Sebagai mapatih, kekuasaan dan
kewenangannya sangat besar. Dia orang kedua yang paling
dipercaya Raja Kediri Panji Tohjaya. Orang pertama adalah
penasehat raja, Mahamenteri Pranaraja, tokoh sakti yang
jarang muncul di depan umum
Di ruangan dalam di meja utama yang terletak di pojok
bagian dalam, Lembu Ampai, Lembu Agra dan Kalandara
sedang bersantap.
Di meja lain di bagian tengah ruangan, duduk tiga murid
Kalandara yakni Kemara, Dumilah dan Manohara. Empat lelaki
menemaninya. Dua di antaranya berusia lebih dari separuh
abad adalah paman guru Lembu Agra yakni Jaran Dawuk dan

Cakarwa Dua lainnya, kepala pasukan elit keraton Kediri,
Patlikur Sinelir. Ketuanya adalah seorang lelaki berusia
empatpuluhan, Senopati Samba, julukannya si Pedang Hitam.
Ia duduk berdampingan dengan wakilnya, Hanggada,
julukannya si Kera Sakti. Di serambi depan sekitar tigapuluh
orang berjaga-jaga
Sambil menikmati santapan yang lezat, Lembu Ampai
bertanya kepada Kalandara dan Lembu Agra, siapa saja tokoh
silat yang bisa diajak kerjasama mengabdi kepada Raja Kediri.
Setelah bertukar-pikiran akhirnya dicapai kesepakatan
bersama. Tujuh pendekar utama yang dipastikan mau
bergabung.
Karta dijuluki Si Gila dari Ujung Kulon, pendekar aneh yang
suka mabuk-mabukan terkenal dengan senjata cemeti
beracun. Pendekar Ujung Kulon ini diharap datang bersama
dua saudara perguruannya yang sama hebat, Parma dan
Sakerah. Seorang lainnya, pendekar yang tidak dikenal
namanya, tetapi lebih dikenal dengan julukan Belut Putih,
hebat tenaga dalam dan ilmu gulatnya. Dua nenek kembar
dari Segoro Kidul, Prameswari dan Kameswari, yang memiliki
ilmu tampar dan permainan keris bersatu-padu. Bayangan
Hantu, pendekar baju hitam yang terkenal ilmu ringan
tubuhnya sehingga dijuluki bayangan, senjatanya pedang tipis
dan serbuk pasir beracun.
"Kita tak perlu mengajak mereka bergabung ke Keraton
Kediri karena belum pasti mereka bersedia. Tetapi mereka
mau gabung jika kita bangkitkan dendam amarah dan rasa
permusuhan terhadap Lemah Tulis dan Mahameru," kata
Kalandara tertawa
"Sambil menanti orang-orang itu, apa yang harus kita
lakukan?" tanya Lembu Agra
Kalandara menyingsingkan lengan baju. Ia melonjorkan
lengannya yang putih mulus. Tanpa menyentuh apa pun,
sepotong paha ayam yang berada di ujung meja tersedot ke

tangannya "Aku akan memulai perang dengan Lemah Tulis,
membunuh setiap murid Lemah Tulis yang kujumpai di tengah
jalan, mengirim mayatnya ke sana. Selain itu aku akan
mengutus muridku menyelidiki keberadaan Wisang Geni,
sampai hari ini aku tak mendengar sesuatu pun tentang
pendekar itu, ia seperi lenyap ditelan bumi."
Lembu Ampai memberi hormat kepada Kalandara. "Nyi
Kalandara, jika engkau sudah memulai perang, maka aku akan
sangat berterimakasih. Sementara ini aku dan adik Lembu
Agra akan tetap di keraton, menanti kedatangan para tamu
Jangan lupa, setiap waktu kau bisa datang ke rumahku ini."
Usai jamuan makan, Kalandara bersama tiga muridnya
diantar ke kamar masing-masing. Lembu Agra berkata kepada
Lembu Ampai. "Kangmas Ampai, aku minta bantuanmu, aku
akan mengunci diri selama duapuluh hari, tak boleh ada
gangguan, apa pun yang terjadi di kamarku tak boleh ada
orang yang masuk."
"Ah itu perkara gampang, aku akan perintahkan orangorang
kuat untuk mengawal kamarmu Dinas."
Lembu Agra menyendiri di kamar. Lembu Ampai menyusup
ke kamar Kalandara. Senopati Samba ke kamar Dumilah.
Hanggada di kamar Kernara. Hanya Manohara si perawan
cantik itu tidur bersama dua murid wanita. Kalandara memang
menjaga ketat murid perawan ini yang sebenarnya adalah
putri pungutnya. Ia memaksakan agar kamar Manohara
bersebelahan dengan kamarnya.
---ooo0dw0ooo---
Keraton Tumapel sedang berpesta. Raja Sri
Jayawisnuwadhana Sang Mapanji Seminingrat yang nama
kecilnya Ranggawuni hatinya sedang berbunga-bunga. Karena
tujuh hari lalu dia baru saja dikaruniai seorang bayi lelaki
Seorang putra mahkota.

Sudah tujuh hari tujuh malam Ranggawuni menggelar
pesta rakyat dan membagi-bagi hadiah kepada seluruh
rakyatnya. Hampir separuh dari seluruh beras yang bertumpuk
di gudang keraton, dibagikan kepada rakyat. Dan orang yang
dipercaya untuk melaksanakan amanah itu adalah Narasing
amurti alias Mahisa Campaka, iparnya yang setia.
Di dalam keraton, di keputren kamar permaisuri, Waning
Hyun sedang dilayani beberapa pelayan. Minum jamu, pijat
khusus, sampai pesolekan mempercantik diri dikerjakan
dayang-dayang yang semuanya masih muda-muda dan cantik.
Tiga dayang yang menjadi pimpinan berusia sekitar
empatpuluhan.
Bagi dayang-dayang itu menjadi abdi dalem yang khusus
melayani permaisuri adalah kebanggaan dan kehormatan.
Apalagi junjungan mereka, sang permaisuri, telah melahirkan
seorang putra mahkota. Semua dayang-dayang itu mendapat
hadiah dari permaisuri.
Waning Hyun, perempuan muda yang cantik. Tidak ada
tanda-tanda ia baru melahirkan. Tubuhnya yang dibungkus
kulit putih mulus masih tampak indah. Wajahnya cantik
bersinar-sinar memancarkan makna kebahagiaan. Seperti
umumnya, permaisuri raja akan sangat bahagia dan merasa
aman jika anak pertamanya adalah laki-laki. Dapat dipastikan
anak itu akan menjadi putra mahkota. Itu artinya kedudukan
permaisuri akan aman sepanjang usianya. Apalagi jika saatnya
tiba, putranya menjadi raja.
Santapan malam sudah siap di meja besar. Raja Sang
Mapanji Serniningrat duduk berdua permaisuri. Tampak sekali
pasangan nomor satu keraton Tumapel berada di puncak
kebahagiaan. Tetapi dalam rasa bahagianya, Ranggawuni
tampak sedikit kesal.
Waning Hyun mengetahui ada sesuatu yang mengganggu
pikiran suaminya. Sudah lima tahun dia mengenal watak dan
sikap Ranggawuni meski baru satu tahun ini menjadi isterinya.

Sejak petualangan mereka ketika dikejar-kejar orang bayaran
Panji Tohjaya sampai saat-saat menjadi Yang Dipertuan
Agung di keraton Tumapel ia selalu mendampingi kekasihnya
itu. "Ada apa Mas, kamu kelihatan kesal, pasti ada urusan
besar."
Memang selama ini Waning Hyun jika hanya berduaan
dengan suaminya tak pernah menggunakan bahasa keraton.
Mereka lebih suka berbahasa kasar sebagaimana di dunia
kependekaran. "Gila benar, Lembu Ampai orang kepercayaan
Panji Tohjaya semakin gila. Dia kini mengundang banyak
tokoh silat kelas utama ke istana Kediri, sepertinya dia
menyusun kekuatan. Terus terang aku merasa khawatir."
"Sumber berita itu dari mana, Mas?"
"Tentu saja sumber yang pasti kebenarannya, kangmas
Mahisa Campaka yang menceritakan. Dia punya mata-mata di
kalangan istana Kediri."
Waning Hyun terkejut mendengar berita itu. Apalagi
suaminya menceritakan tidak lama lagi orang-orang itu sudah
berkumpul di istana Kediri. Semuanya pendekar kelas utama.
Sudah pasti Pranaraja, penasehat keraton yang terkenal
cerdas dan menguasai ilmu silat tingkat tinggi berada di balik
rencana itu. Juga ada Lembu Ampai, mapatih yang ilmu
silatnya tinggi Para pendekar undangan itu antara lain Lembu
Agra, Kalandara, Si Gila Ujung Kulon dan dua saudaranya,
Belut Putih, Nenek Kembar dari Segoro Kidul, Bayangan Hantu
"Kelihatannya kekuatan Kediri bukan main-main, sekarang
apa rencanamu, Mas?"
"Aku berbincang dengan Dimas Mahisa Campaka dan
paman Pamegat, kita juga akan menghimpun para pendekar
kelas utama sahabat kita. Tetapi itu hal yang tidak mudah
mengingat biasanya mereka tak mau terlibat pertarungan
kekuasaan macam ini. Aku bingung."

Waning Hyun tersenyum, teringat seseorang. "Ada orang
yang pasti mau membantu kita. Dia Wisang Geni, kakak
perguruanku. Mungkin juga sebagian murid utama Lemah
Tulis, juga guru Gajah Watu dan paman Padeksa."
"Mana mau Wisang Geni membantu, sejak dulu ia sudah
pasang jarak dengan keraton Tumapel. Kau ingat kan dia
selalu kaku. Kita juga tak tahu bagaimana keadaannya setelah
isterinya terbunuh dua bulan lalu. Aku dengar dia bertapa
menyendiri, entah di mana."
"Aku tahu dia di mana, dia tidak pergi ke mana-mana, dia
tetap di Lemah Tulis hanya tak mau ditemui orang. Dia pasti
mau membantu kita."
"Diajeng, aku sedang berpikir apakah perlu minta bantuan
dari perdikan Mahameru dan Brantas, selama ini hubunganku
dengan dua perguruan itu berjalan baik."
"Begitu pun bagus, pasti Mahameru dan Brantas mau
membantu karena setahuku para pendekar yang bergabung
ke Kediri punya hutang piutang darah dengan Mahameru dan
Brantas. Tetapi tentang Wisang Geni, kau tak usah khawatir,
suamiku. Kau tahu, Wisang Geni itu masih punya hutang janji
padaku. Aku boleh minta apa saja dan akan dia laksanakan,
itu janjinya padaku. Sekarang ini aku akan menagihnya, dia
pasti mau. Lagipula hitung-hitung dia itu kakak perguruanku,
wajib baginya membantu kesulitan adiknya."
Ranggawuni meninggalkan keputren. Ia memanggil
iparnya, Mahisa Campaka dan pembantu setianya Panji
Patipati alias Sang Pamegat. Dia menuturkan pembicaraannya
dengan isterinya. Terutama perihal minta bantuan dari Wisang
Geni, Mahameru dan Brantas. Dua pembantunya sangat
setuju terutama jika bisa memperoleh bantuan Wisang Geni.
Untuk menemui Wisang Geni, diutuslah dua pendekar
wanita, anggota dari delapanbelas pasukan elit Tumapel. Trini
pendekar nomor tiga dan Ekadasa pendekar kesebelas.

Keduanya membawa tusuk konde permaisuri. Jika benda itu
diperlihatkan kepada Wisang Geni, pasti dia akan
mengabulkan permintaan permaisuri. Untuk menemui ketua
perdikan Mahameru dan Brantas, juga diutus masing-masing
dua anggota pasukan istana Tumapel. Diharapkan dalam
waktu satu bulan sudah ada kabar kepastiannya.
Perahu layar itu merapat di pelabuhan Jedung, di muara
sungai Porong. Ukurannya yang besar tampak mencolok
dibanding semua perahu layar yang berlabuh di pelabuhan.
Kapal itu datang dari Kuangchou, singgah di Pucet dan
Malaka. Pelayaran ditempuh ligapuluh hari lebih sejak dari
Kuangchou. Semua penumpang adalah pedagang asing, dari
Cina, India, Melayu, Gujarat.
Pelabuhan tampak ramai. Kuli-kuli memanggul barang
dagangan memindahkan ke perahu-perahu kecil. Sebagian
pedagang memilih jalan sungai Porong untuk mencapai desa
tujuan. Sebagian lain menggunakan kereta kuda, tergantung
letak desa yang dituju.
Seorang lelaki berewok bertubuh tambun berdiri di
jembatan kecil yang menghubungkan kapal dengan dermaga.
Dia mempersilahkan semua penumpang untuk makan siang.
Dia memberikan potongan kulit yang sudah diberi tanda
sebagai alat bayar makan gratis di warung makan di dermaga
yang berada tidak jauh dari kapal.
Serombongan orang asing, jumlahnya empatbelas orang
memasuki rumah makan. Sebelas di antaranya, tujuh lelaki
dan empat wanita, berpakaian celana longgar dan baju lengan
panjang longgar, warnanya aneka macam. Dari dandanannya
membedakan mereka datang dari daratan Cina. Tiga orang
lainnya, wanita semua, pakaian serta dandanan sangat beda.
Mereka mengenakan celana longgar. Bagian atas hanya dililit
kain panjang sebatas perut, sehingga bagian sekitar pusar
terbuka. Ketiganya berambut panjang dibiarkan terurai
melewati bahu. Salah seorang mengenakan pakaian warna

hitam, sangat kontras dengan kulit tubuhnya yang putih. Dua
temannya sama berbusana warna hijau. Mereka datang dari
India.
Dua rombongan itu duduk di meja berdekatan. Rombongan
dari Kuangchou berkumpul di satu meja. Kelompok tiga wanita
tadi ditempatkan di meja panjang bersama lima pedagang
yang dari tampang serta pakaiannya adalah penduduk
setempat. Salah seorang dari lima pedagang itu,
memperlihatkan sikap genit. Tampaknya dia pemimpin
rombongan. Empat orang lainnya adalah anak bualan ya. Dia
menatap gadis berbaju hitam dengan penuh kagum. "Aduh
cantiknya, aku mau satu malam bersamanya ditukar dengan
separuh barang dagangan yang aku bawa."
Temannya yang berewok dengan golok panjang di
dekatnya, tertawa kecil. "Pak Lurah, tahu persis barang bagus.
Nanti aku yang menjadi mak comblangnya, tapi aku mau pakai
bahasa apa, dia datang dari mana ya, dari Malaka ya?"
Temannya yang seorang, kurus jangkung dengan kumis
tebal, ikut tertawa. "Wah, kalau aku, aku mau sama
perempuan kawannya yang berbaju hijau di ujung sana,
lihatlah, dia tak kalah cantiknya."
Orang-orang itu terkejut ketika wanita cantik yang berbaju
hijau itu berkata sinis, "Kau mau tahu harga sewa majikanku,
harganya sama dengan nyawamu"
Berkata demikian, wanita itu menggerakkan tangannya.
Pada saat sama, lelaki berewok menyambar goloknya. Tetapi
sebelum dia sempat menggerakkan senjatanya, seutas tali
tipis menyambar tangannya. Lelaki berewok itu merasa
tangannya kesemutan. Goloknya terlepas melayang ke wanita
itu yang dengan sekali menggerakkan jari tangan, golok patah
dua.
Tidak berhenti di situ, tali tipis itu bagaikan ular
menyambar dan mematok mulut lelaki pemimpin itu. Tak

sempat menangkis, lelaki itu berteriak. Mulurnya berdarah,
enam gigi bagian depan, copot.
Lelaki itu tak sempat berdiri. Empat temannya pun tertegun
di kursi. Mereka takjub. Tanpa berdiri dari duduknya, tanpa
dia menggerakkan tubuh, hanya dengan sebelah tangan
memainkan seutas tali tipis, wanita itu telah mempecundang
dua lelaki perkasa.
Wanita berbaju hitam mengangkat tangannya memberi
tanda menghentikan kawannya. Dia tertawa sinis. "Tak perlu
heran, sam tahun kami belajar bahasa negeri ini. Aku belum
mau membunuh. Aku akan melepas kalian, tetapi kalian harus
keluar dari warung ini dengan jalan merangkak."
Kelima lelaki itu berdiri dan masih seperti orang bingung.
Terdengar bentakan wanita baju hitam. "Cepat atau...."
Lima lelaki itu cepat menjatuhkan diri, merangkak keluar
warung.
Seorang dari rombongan Kuangchou, berdiri dan memberi
hormat. "Pertunjukan ilmu yang hebat, nona-nona juga tak
perlu heran, kami juga belajar bahasa negeri ini. Rupanya kita
sama-sama mempersiapkan diri dengan baik. Kalau boleh
tanya apa tujuan nona datang ke tanah Jawa ini?"
Wanita baju hitam masih tetap duduk, membalas hormat,
"Sejak kami naik dari pelabuhan Malaka, aku sudah tahu
bahwa kalian adalah pendekar kelas utama dari Cina. Kami
datang dan India, memang ada tujuan, tetapi tidak sopan jika
aku harus memberitahukan apa tujuanku, lagipula aku tidak
akan bertanya apa tujuan kalian. Kita tak perlu berkenalan."
Lelaki Kuangchou itu memegang gelas berisi tuak,
menawarkan minuman dengan membungkuk. "Nona terimalah
hormatku, mari bersulang."
Gelas itu melayang ke nona baju hitam. Si nona baju hitam
mengulurkan tangan, menyambut. Tetapi gelas itu pecah

persis saat di sentuh jemarinya. Tuak di dalam gelas muncrat.
Gadis baju hitam menggetarkan tubuh membuat tetes tuak
menjauh darinya. Bajunya tidak terkena walau setetes pun.
Pendekar Cina, sengaja memperlihatkan tenaga dalam yang
tinggi. Tetapi gadis India juga memperagakan kekuatan
tenaga dalam yang mumpuni. Nona baju hitam tidak bereaksi.
Tidak marah. Dia menggamit dua anak buahnya. "Di sini tidak
nyaman lagi, banyak orang iseng, ayo kita pergi melancong."
Rombongan dari Cina itu tidak menyangka tiga gadis India
itu mau mengalah dan pergi begitu saja. Mereka diam,
memandang kepergian tiga gadis. Mendadak terdengar suara
gemeretak, ternyata meja dan kursi yang tadi diduduki tiga
gadis India itu patah berantakan. Itu pertunjukan tenaga
dalam hebat. Meja kursi sudah dirusak tetapi masih berdiri
tegar. Selang beberapa saat baru rubuh berantakan. Di
ambang pintu, nona baju hitam berkata kepada lima
pedagang lokal tadi. "Kalian bayar ganti rugi meja kursi itu,
jika masih sayang nyawamu." Lima pedagang itu hanya bisa
manggut.
---ooo0dw0ooo---
Prawesti mengerti mengapa Geni menyuruhnya mengintai
gerak-gerik dua kakak perguruannya, Raditin dan Kirana.
Keduanya mendapat tugas berat, mengawasi perdikan. Itu
sebab ketua ingin memastikan dua perempuan itu
melaksanakan tugas dengan baik.
Siang itu Prawesti pergi ke bilik Kirana, tetapi justru
berjumpa Raditin di ujung jalan. "Kangmbok, mau ke mana,
aku ikut ya."
"Aku mau ke gerbang, katanya ada dua tamu yang
memaksa ingin ketemu ketua, lagaknya memaksa."
Di pintu gerbang tampak dua tamu perempuan sedang
berdebat dengan murid penjaga. Melihat dua murid wanita

datang, dua tamu itu memberi hormat. "Kami datang dari
jauh, aku Trini dan dia ini adikku Ekadasa. Kami mau jumpa Ki
Wisang Geni."
"Maaf, apa perlunya menemui ketua kami?"
Trini memandang adiknya. Ekadasa menjawab dengan
nada kesal. "Tadi sudah kami beritahu kepada penjaga ini
bahwa tujuan kami ini rahasia dan hanya bisa kami ceritakan
pada Ki Wisang Geni."
Raditin dan Prawesti memerhatikan dua wanita pendatang
itu. Trini berusia sekitar empat puluhan, langkah dan geraknya
sigap. Wajahnya tampak kaku dan dingin. Ekadasa, berusia
duapuluhan, cantik jelita, suka senyum mempertontonkan
giginya yang putih dan mulutnya yang menarik. Ada kesan
genit.
Raditin tertegun, menduga-duga apakah tetamu ini kenalan
dekat ketua. Dia khawatir berlaku kasar yang nantinya malah
ditegur sang ketua. Lain halnya Prawesti yang mendongkol
melihat lagak genit Ekadasa. Prawesti menduga mungkin
perempuan genit ini punya hubungan masa lalu dengan
Wisang Geni, hal ini membuat dia makin mendongkol

Cemburu

0 komentar:

Posting Komentar

 
;