Senin, 26 Mei 2014

Cerita Rakyat Satria 9

Sambil berseru-seru demikian, gadis itu tiba-tiba tampak
memegang sebilah badik dan menghambur menyerang
Pangeran Muda. Melihat pemandangan itu, Pangeran Muda
seperti membeku, tidak dapat bergerak, tidak dapat
menghindar. Akan tetapi, ketika badik itu sudah diangkat dan
hendak ditusukkan ke dadanya, tiba-tiba Putri Yuta Inten
berhenti. Ia tertegun, kemudian melemparkan badik itu, dan
merangkul Pangeran Muda sambil menangis tersedu-sedu.
"Mengapa Pangeran Muda datang ke sini, apakah untuk
membuat anak itu menjadi gila karenanya?" tanya emban
sambil memandang dengan tajam ke wajah Pangeran Muda.
"Kakak anak ini telah dibunuh, adiknya hendak disiksa pula.
Pergilah, sebelum kaum laki-laki keluarga Banyak Citra
datang," kata emban tua itu mengancam.
Mendengar ancaman itu, Putri Yuta Inten melepaskan
pelukannya, lalu berseru, "Pergi!" seraya matanya
memandang kepada Pangeran Muda dengan kebencian.
Tak ada pukulan yang lebih keras dari pandangan mata
yang tajam dan penuh kebencian itu. Pangeran Muda
sungguh-sungguh terguncang, dan dengan gontai dan tetap
memandang gadis itu, ia mengundurkan diri dari arah jendela.
Akan tetapi, ketika ia hendak melompat ke luar, Putri Yuta
Inten mengejarnya, lalu merangkulnya, memegang lehernya
dan menyurukkan mukanya yang basah oleh air mata ke muka
Pangeran Muda.
Lalu gadis itu menangis tersedu-sedu dengan keras.
Setelah agak tenang, Pangeran Muda mulai menjelaskan
segalanya, dari sejak kecurigaannya kepada jante hingga
peristiwa yang menyedihkan itu. Berulang-ulang Pangeran
Muda menyatakan, "Mungkinkah orang yang seperti Kakanda
membunuh sahabatnya, calon iparnya, kakak gadis yang
dicintainya demi kehormatan keluarga Anggadipati? Apakah
artinya kehormatan, artinya kebanggaan dan harga diri, kalau
yang dikejar dalam hidup ini adalah kebahagiaan dan
kesejahteraan bersama yang hanya dicapai dengan kasih
sayang?"

Gadis itu menjadi reda dan setelah itu Pangeran Muda
menegaskan bahwa apa yang terjadi adalah suatu kecelakaan,
suatu nasib buruk yang bukan saja menimpa dirinya, akan
tetapi menimpa seluruh seluruh kepuragabayaan dan
kerajaan. Di sela-sela sedunya pada suatu saat gadis itu
berkata, "Untuk tidak harus kawin dengan bangsawan lain,
Adinda sudah berjanji pada Ayahanda bahwa Adinda tidak
akan kawin seumur hidup dan akan menjadi pendeta wanita
sebagai tanda duka cita karena kematian Kakanda
Jaluwuyung."
"Engkau berjanji ketika hatimu sedang terguncang. Engkau
harus menarik janji itu kembali. Kalau tidak, Kakanda pun
berjanji tidak akan kawin untuk selama-lamanya dan akan
menjadi pendeta, sebagai dukacita Kakanda karena kematian
Jaluwuyung yang Kakanda sayangi."
Gadis itu tidak berkata apa-apa. Ia mengeratkan
pelukannya. Sementara itu, di luar terdengar langkah para
gulang-gulang.
Emban berbisik pada Pangeran Muda, "Untuk tidak
memperjelek keadaan, pergilah segera dari sini. Biarkanlah
Yuta Inten-beristirahat. Cepatlah meninggalkan kota Medang
karena kaum laki-laki bertekad membunuhmu."
Pangeran Muda pamitan kepada Putri Yuta Inten yang
kemudian menangis kembali dan mempererat rangkulannya.
"Marilah kita berpisah, dan berdoa kepada Sunan Ambu
serta Sang Hiang Tunggal yang akan memberikan petunjuk
kepada kita, apakah kita akan bertemu lagi atau tidak.
Sekarang hari sudah larut, tidurlah karena kau kelelahan.
Kakanda terpaksa meninggalkanmu, para gulang-gulang
menjaga kaputren semakin ketat," demikian ujar Pangeran
Muda yang menyadari, langkah-langkah makin banyak
terdengar di sekitar kaputren itu.
SEPANJANG malam itu. Pangeran Muda dengan Mang Ogel
berkuda menuju Padepokan Tajimalela. Ketika keesokan
harinya matahari terbit mereka tiba di persimpangan yang
menuju ke Padepokan Tajimalela dan Kutabarang. Di atas

sebuah bukit yang menghadap ke arah persimpangan itu
mereka beristirahat.
Waktu Pangeran Muda berdiri melihat pemandangan pagi
ke segala arah, dari jauh tampaklah tiga orang penunggang
kuda. Mang Ogel bangkit, ikut melihat ke arah ketika
penunggang kuda yang mengambil jalan menuju ke
Padepokan Tajimalela. Makin dekat makin jelas juga ketiga
penunggang kuda itu. Akhirnya, Pangeran Muda mengenal
dua orang di antara mereka, yaitu Pamanda Minda dan Si
Rawing, badega padepokan.
"Mang Ogel, ternyata kita mendapat kawan pulang," kata
Pangeran Muda. Mang Ogel segera mendekati kudanya,
hendak menyusul orang-orang dari padepokan itu.
"Nanti dulu, Mang," ujar Pangeran Muda. "Kita akan
menyusulnya nanti, setelah kuda-kuda kita beristirahat."
Mang Ogel berjalan dan berdiri di samping Pangeran Muda,
memandangi rombongan Pamanda Minda yang lewat di bawah
mereka.
"Calon baru!" kata Mang Ogel sambil memandang ke-arah
seorang anak muda sekira umur tiga belas atau empat belas
tahun. Dari pakaian dan sikapnya yang anggun di alas
kudanya yang tampan, jelas bahwa anak itu adalah putra
salah seorang bangsawan Pajajaran.
Pangeran Muda memandangi anak itu dengan perasaan
yang bercampur baur. Apakah yang akan dihadapi oleh anak
yang sekarang masih muda itu? Sadarkah anak yang masih
muda itu kemungkinan-kemungkinan yang begitu banyak,
tentang suka-duka yang harus dihadapinya? Sadarkah ia
bahwa menjadi seorang puragabaya berarti tidak memiliki diri
sendiri dan menyerahkannya demi kepentingan kerajaan?
Segala pengalaman Pangeran Muda sendiri terkenang kembali,
semenjak latihan-latihan perkelahian dengan berandalan
hukuman, lembah tengkorak, rawa siluman, Ki Monyet Putih,
Janur, Jante, dan Yuta Inten. Mungkinkah anak yang sekarang

tidak tahu apa-apa yang nanti akan menghadapi pengalamanpengalaman
yang dialaminya sendiri?
Sambil memandang ke arah calon itu, hati Pangeran Muda
dipenuhi pula oleh perasaan-perasaan yang tidak dapai
diberinya batasan. Ia termenung sambil tersenyum
memandang anak itu, tetapi dengan tidak disadarinya, kelopak
matanya digenangi airmata.
"Anom, mereka terlalu jauh nanti," ujar Mang Ogel.
Pangeran Muda bergerak dan melompati si Bulan.
"Ha!" seru Mang Ogel kepada kudanya. "Ha! Ha!" katanya
pula keras-keras sementara mereka mengejar rombongan
Pamanda Minda. Debu jalan yang menuju Padepokan
Tajimalela itu mengepul ke udara dari bawah ladam kuda
mereka.
"Ha! Ha!" seru Mang Ogel, makin lama suaranya makin
jauh dan akhirnya tidak terdengar. Rombongan yang telah
'bersatu itu kemudian lenyap dari pandangan karena
membelok di suatu tempat di dalam hutan. Debu-debu
kembali jatuh di atas jalan yang sekarang lengang dan sunyi,
di bawah matahari pagi Pajajaran.
SELESAI
Glosarium
Badega: orang yang berkedudukan sedikit lebih tinggi dari
pelayan
Barangbang semplak. pelepah daun kelapa jatuh (model/
cara memakai ikat kepala)
Baros: dewan yang terdiri dari para orang tua, bertugas
mengadili perkara
Bujangga: lelaki tampan di kahyangan atau Buana Padang
yang bertugas mengabdi kepada Sunan Ambu, dewi tertinggi
dalam mitologi Sunda Kuno
Gendewa: busur panah Gulang-gulang: prajurit Guriang:
dewa Lawang kori: pintu gerbang Ngelindur: mengigau
Nyakseni: mengamini

Panakawan: pembantu
Pengwidangan: kayu berbentuk cincin yang dipakai untuk
merentang kain saat dibordir
Pisau pangot: pisau kecil yang biasa digunakan untuk
menulis dengan cara menggoreskannya di atas daun lontar
Pohaci: wanita cantik di kahyangan seperti bujangga
Seja nyaba ngalalana, ngitung lemur ngajajah, mi-langan
kor i: Niat pergi mengembara, menghitung kampung,
merambah bilangan kori
Suwargi: almarhum
Terangko: ruang tahanan
Baca kisah selanjutnya di buku kedua
Raden Banyak Sumba
Banyak Sumba, putra laki-laki kedua dari wangsa Banyak
Citra yang berkuasa di Medang, berdiri di atas benteng. Dia
memperhatikan lapangan kecil di luar benteng. Di sana anakanak
yang lebih muda darinya sedang bermain-main. Matanya
yang berkilat dan hitam kelam itu, memandang dengan penuh
kerinduan dan hasrat untuk ikut bermain-main, berlari-lari,
bersorak-sorak dengan mereka. Akan tetapi, sesuatu dalam
dirinya menahan kehendak itu.
Setelah kematian kakaknya, Jante Jaluwuyung, keluarganya
telah bertekad untuk membalaskan dendam. Sebagai putra
tertua wangsa Banyak Citra, sudah menjadi kewajibannya
untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada cita-cita
keluarganya, yaitu membunuh Anggadipati.
Akan tetapi, untuk menandingi kesaktian Pangeran
Anggadipati, bukanlah hal yang mudah. Banyak Sumba harus
bekerja keras meningkatkan kemampuannya, berguru pada
banyak orang, melewati belantara lebat dan tebing curam
untuk mengasah keuletan tubuhnya.
-ooo00dw00oooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
SERI KESATRIA HUTAN LARANGAN
~ Bara Dendam Menuntut Balas ~
Karya : Saini KM
Sbook Oleh Manise di Dimhad Website
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://
http://dewikz.byethost22.com/
Synopsis :

Banyak Sumba mendidih darahnya setiap kali mengingat
orang yang telah membunuh kakaknya, Jante Jaluwuyung.
Kematian tragis kakaknya itu telah menanamkan kesumat di
dadanya untuk membalaskan dendam. Bahkan dia rela
meninggalkan Emas Purbamanik, kekasih yang ditemuinya di
atas benteng puri Purbawasesa.
Akan tetapi, jalan yang akan dilaluinya tidaklah mudah.
Untuk menandingi kesaktian Pangeran Anggadipati, Banyak
Sumba harus bekerja keras meningkatkan
kemampuannya.Guru demi guru dia timba ilmunya. Belantara
demi belantara dia jelajah untuk mengasah keuletan
tubuhnya.
Ketika kesempatan untuk menuntaskan dendamnya tiba,
mendadak Banyak Sumba diserang keraguan. Benarkah
puragabaya santun di hadapannya itu seorang pembunuh
keji? Haruskah dia membalas kejahatan Pangeran Anggadipati
dengan tindakan yang sama kejinya?
Komentar :
"Sebuah eksplorasi yang mengejutkan." —Langit Kresna
Hariadi, penulis novel sejarah
"Karya Saini K.M. ini memiliki orisinalitasnya sendiri." —
Jakob Sumardjo, akademisi dan pengamat sastra
"Saya merasakan adanya penceritaan yang mengalir
tenang, sabar,dan matang yang pada gilirannya menjelma
kejernihan." —Seno Gumira Adjidarma, penulis dan jurnalis
Data Singkat Pengarang :

Saini K.M. dilahirkan di Sumedang pada 16 Juni 1938.
la merupakan salah satu pemrakarsa berdirinya Jurusan
Teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, la
pernah memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ), sayembara yang diadakan oleh Direktorat Kesenian
Depdikbud, penghargaan sastra dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Anugerah Sastra dari Yayasan Forum
Sastra Bandung pada 1995, dan penghargaan SEA Write
Award pada 2001.
Data Katalog Buku :
RADEN BANYAK SUMBA
Karya : Saini KM
Cetakan Pertama, Agustus 2008
Penyunting: Imam Risdiyanto
Desain Sampul : Andreas Kusumahadi
Pemeriksa aksara: Wiennie Modya Noer
Penata aksara: Yan Webe
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
Anggota IKAPI
(PT Bentang Pustaka)
Kantor Pusat
Jin. Pandega Padma 19, Yogyakarta 55284 Telp. (0274)
517373 Faks. (0274) 541441 E-mail:
bentangpustaka@yahoo.com http://www.mizan.com

Perwakilan Jakarta Jin. Puri Mutiara II No. 7 (Jeruk Purut-
Cipete) Cilandak Barat Jakarta Selatan 12430 Telp. (021)
7500895 - Faks. (021) 7500895
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Saini
K.M.
Raden Banyak Sumba/Saini K.M.; penyunting, Imam
Risdiyanto—Yogyakarta: Bentang, 2008. viii + 358 hlm; 20,5
cm
ISBN 978-979-1227-29-2
I.Judul. II. Imam Risdiyanto.
813
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama
Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung,
Bandung 40294 Telp. (022) 7815500 - Faks. (022) 7802288 Email:
mizanmu@bdg.centrin.net.id
Daftar Isi
Bab 1 Gerhana ~1
Bab 2 Huru-hara ~38
Bab 3 Meniup Bara ~72
Bab 4 Pengembara ~119
Bab 5 Nyai Emas Purbamanik —163
Bab 6 Si Gojin -299

Bab 1
Gerhana
Banyak Sumba, putra laki-laki kedua wangsa Banyak Citra
yang berkuasa di Medang, berdiri di atas benteng. Ia seorang
anak yang tampan, bertubuh semampai, berkulit kehitamhitaman,
dan bersih. Ketika itu, umurnya hampir tiga belas
tahun, walaupun orang akan menyangka ia sedikitnya
berumur lima belas tahun, karena tubuhnya yang tinggi dan
besar.
Banyak Sumba memerhatikan lapangan kecil di luar
benteng. Di sana, banyak anak yang lebih muda daripada dia
sedang bermain-main. Matanya yang berkilat dan hitam
kelam, memandang dengan penuh kerinduan dan hasrat
untuk ikut bermain-main, berlari-lari, dan bersorak-sorak
dengan mereka Akan tetapi, sesuatu dalam dirinya menahan
kehendak itu. Ia berdiri saja di atas benteng sambil
memerhatikan mereka
Ia sering merindukan masa kecilnya, ketika ia berumur
delapan atau sembilan tahun. Ketika itu, ia dapat berlari-lari
dengan bebas di lapangan di bawah bayang-bayang benteng.
Akan tetapi, ia sering berpikir, alangkah tololnya anak-anak
kecil itu. Mereka kadang-kadang berkelahi sampai luka untuk
suatu mainan, sepotong kayu, atau sebuah batu. Alangkah
menyenangkan masa kanak-kanak, tapi alangkah menggelikan
dan tolol pula, pikirnya. Jelas baginya, ia tidak mungkin lagi
dapat bermain dengan anak-anak kecil itu. Bukan saja ia
sudah terlalu tinggi dan terlalu besar, melainkan permainan
anak-anak itu walaupun menyenangkan sebenarnya tidak ada
artinya.
Ia sudah besar. Akan tetapi, ia tidak dapat bergaul dengan
para jagabaya dan para gulang-gulang. Mereka terlalu tinggi
dan terlalu besar. Selain itu, percakapan mereka banyak yang

tidak dapat ia mengerti. Walaupun ingin sekali ikut bercakapcakap
dengan mereka, ia tidak merasa betah berada di antara
mereka. Ia sering merasa seperti seorang asing di tengahtengah
mereka itu. Itulah sebabnya, ia berdiri di atas benteng
itu, menjauh dari mereka. Itu pula sebabnya, ia lebih banyak
termenung daripada bergaul. Banyak Sumba gelisah. Kadangkadang,
pikirannya mengembara ke penjuru Buana
Pancatengah. Kadang-kadang, perasaannya kelam tanpa
alasan. Kadang-kadang, ia gembira tanpa diketahui apa
sebabnya. Kadang-kadang, ia ingin bergerak, menaiki kuda,
dan memacunya seperti dikejar maut; tetapi ia lebih sering
menutup diri di dalam bilik, membaca buku-buku kenegaraan,
atau duduk depan tingkap sambil melamun. Kalau tidak
begitu, ia berjalan-jalan di lorong-lorong istana, dan setiap ada
orang, ia segera membelok, menghindarkan diri.
Hal yang paling dihindarinya adalah gadis-gadis atau putriputri
bangsawan yang tinggal di Puri Banyak Citra.
Gadis-gadis itu, terutama yang sebaya dengan dia,
sekarang sering menyebabkan ia gugup. Kalau menegur
mereka, ia sering mendengar suaranya gemetar. Kalau
mereka yang menegur, alangkah kikuknya jawaban yang dia
berikan. Sering sekali darahnya naik ke muka dan
memanaskan daun telinganya, kalau ia kebetulan bertemu
dengan gadis-gadis di lorong-lorong istana. Kalau gadis-gadis
itu tertawa di belakangnya, dia merasa mereka
menertawakannya dan panaslah kulit mukanya. Itulah
sebabnya, ia menghindari mereka, tidak pernah lewat lorong
istana tempat gadis-gadis biasa berkumpul.
Sebaliknya, kalau ia sedang di dalam biliknya, suara atau
tawa mereka sering menyebabkan ia berlari ke arah tingkap.
Ia senang memerhatikan gadis-gadis itu sembunyi-sembunyi.
Ini tidak pernah dilakukan sebelumnya karena gadis-gadis itu
makhluk biasa saja, walaupun berbeda dengan kawankawannya
yang laki-laki. Akan tetapi, sekarang gadis-gadis itu,

pada satu pihak menimbulkan kegugupan sehingga
dihindarinya, pada lain pihak menarik perhatiannya, dan ia
suka mengintip mereka.
Dulu, wajah dan tubuh gadis-gadis itu tidaklah menarik
perhatiannya meskipun berbeda dengan laki-laki. Sekarang, ia
mulai sangat peka terhadap perbedaan itu. Bukan rupa
mereka saja, gerak-gerik serta tingkah laku mereka pun
menjadi perhatiannya. Sekarang, gadis-gadis itu, walaupun
penuh rahasia, sering menimbulkan gairah yang aneh dalam
hatinya. Ketika sedang mengintip dari biliknya, ia sering sekali
ingin menyentuh mereka, terutama seorang di antara mereka,
Teja Mayang.
Kalau gadis itu sedang ikut membantu Ayunda Yuta Inten
menyulam atau menenun di kaputren, Banyak Sumba sering
menyelinap dan masuk salah satu kamar yang tingkapnya bcrhadapan
dengan ruang tenun Ayunda Yuta Inten. Dari
sana, dari bilik tabir, Banyak Sumba memandangi gadis itu
tidak ada puasnya. Ia membelai-belai rambut dan leher gadis
itu dengan tangan khayalnya. Ia mencium bibir gadis itu
dengan segenap perasaannya, dari kejauhan. Kemudian, kalau
gadis itu sudah pulang, ia segera masuk biliknya, lalu
berbaring seraya khayalnya terbang dengan awan yang
berarak di luar tingkap.
Segala kegelisahan, kebimbangan, dan gairah-gairah aneh
yang menghuni perasaannya, tak urung memengaruhi tingkah
laku Banyak Sumba. Sering sekali ia tidak mendengar kalau
disapa Ibunda, Ayunda, bahkan oleh Ayahanda. Perintah
mereka dilakukan dengan tidak sewajarnya karena pikiran
Banyak Sumba terpecah. Tingkah lakunya yang kikuk tidak
pernah menyebabkan orangtuanya marah. Mereka bahkan
menertawakannya, terutama Ibunda dan Ayunda. Akan tetapi,
olok-olok mereka justru menambah kegugupannya serta
menyebabkan darahnya naik ke muka dan'memerahkan daun
telinganya.

Bukan olok-olok mereka saja yang menyebabkan ia malu.
Setiap kali ia mendengar nama Teja Mayang disebut, mukanya
menjadi panas tanpa alasan. Hal ini menambah
kegugupannya, dan usahanya menyembunyikan warna
mukanya sering menyebabkan ia melakukan hal-hal yang lebih
menggelikan, bahkan menyebabkan dia marah terhadap
dirinya sendiri.
Seperti telah diduganya, Ayunda benar-benar dapat
menyelami apa yang sedang dialaminya. Pada suatu sore,
ketika Banyak Sumba berada di kaputren, tiba-tiba Ayunda
Yuta Inten sambil tersenyum nakal mengganggu dengan
berkata, "Sumba, Teja bertanya kepada Yunda, mengapa
engkau tidak pernah datang ke rumahnya lagi dan bermain
dengan Wisesa?"
Rangga Wisesa adalah kakak Teja Mayang, salah seorang
sahabat Banyak Sumba. Akan tetapi, Banyak Sumba tahu
bahwa persahabatannya dengan Rangga Wisesa tidak menjadi
perhatian Ayunda Yuta Inten. Ia sangat sadar bahwa Ayunda
hanya menggodanya dengan menyebut-nyebut Teja Mayang.
Bagaimanapun, pertanyaan kakak perempuannya itu harus
dijawab karena begitulah kaidah kesopanan. Dengan muka
memerah, Banyak Sumba berkata, "Ha... ha... hamba sibuk,
Yunda."
"Bukankah hatimu selalu di rumah Rangga Wisesa
walaupun kausibuk?" tanya Yuta Inten sambil tersenyum.
Banyak Sumba tidak dapat membuka mulutnya. Untung
tiba-tiba gulang-gulang datang membawa panggilan
Ayahanda. Kesempatan ini dijadikannya dalih untuk tidak
menjawab pertanyaan Putri Yuta Inten yang sebenarnya olokolok
belaka.
Banyak Sumba berjalan sepanjang lorong yang berbelitbelit,
menanjak, dan mendaki ke ruangan puri yang melekat
ke dinding benteng, tepat di bawah mercu penjagaan. Di
sanalah letak ruangan khusus Ayahanda Banyak Citra.

Ruangan itu cukup luas. Karena banyaknya kotak lontar yang
dikumpulkan Ayahanda, sukar membedakan ruangan itu dari
sebuah gudang. Walaupun demikian, suasana ruangan itu
jauh sekali dari suasana gudang. Kalau sebuah gudang tidak
memengaruhi suasana hati, ruangan Ayahanda memberikan
kesan angker dan murung
Ke arah ruangan itulah, untuk kesekian kalinya, Banyak
Sumba berjalan. Dua tangga sebelum lantai ruangan, Banyak
Sumba menanggalkan alas kakinya yang terbuat dari kulit
yang kasar. Lantai batu menyengatnya dengan rasa dingin
yang menusuk tulang. Bukan enggan melepaskan alas kaki itu,
melaiiik.in ih begini kenal waiak ayahandanya. Ayahanda
Banyak Citra tidak suka mendengar suara berisik, apalagi
kalau suara itu datang dari putra-putrinya. Itulah sebabnya,
Banyak Sumba cenderung memilih lantai batu yang dingin
daripada mengenakan alas kaki kulit yang kasar. Dengan kaki
telanjang, Banyak Sumba melangkah menuju pintu tertutup
ruangan khusus Ayahanda.
Makin dekat ke pintu, makin hening suasana. Seperti pada
masa kanak-kanak, perasaan takut menghinggapi hati Banyak
Sumba setiap kali berjalan menuju pintu ruangan itu.
Kemurkaan Ayahanda terhadapnya atau terhadap saudarasaudaranya
pada masa ia masih kecil, menanam rasa takut
dalam dirinya. Bagaimanapun, Ayahanda Banyak Citra seorang
bangsawan yang keras, apalagi terhadap putra-putri beliau.
Seandainya salah seorang di antara putra-putrinya gagal
melaksanakan asas-asas yang ditanamkan terhadap
keluarganya, Ayahanda Banyak Citra tidak pernah segansegan
memberi pelajaran dengan kekerasan. Masih terbayang
dalam ingatan Banyak Sumba ketika KakandaJaluwuyung
diikat pada dua tonggak dan dilecut seratus kali oleh gulanggulang
untuk suatu kesalahan terhadap tata kekeluargaan di
Puri Banyak Citra. Kenangan itulah yang tetap memburu
dalam hati Banyak Sumba. Kenangan itu pula yang

menyebabkan Banyak Sumba gemetar setiap kali menghadap
Ayahanda.
Makin dekat ke pintu, Banyak Sumba makin melambatkan
langkahnya. Ketika tinggal beberapa langkah lagi dari pintu,
seorang gulang-gulang datang dari tempat yang kelam, dari
lorong kanan pintu. Gulang-gulang itu mengangguk, lalu
membuka pintu perlahan-lahan. Banyak Sumba melangkah ke
dalam ruangan, memijak permadani hijau tua yang menjadi
alas ruangan itu. Di antara tumpukan kotak lontar, di tengahtengah
ruangan, menyalalah sebuah lampu minyak kelapa
walaupun siang hari. Di tengah-tengah cahaya itu, Ayahanda
duduk di tikar sambil menulis dengan pisau pangot di atas
daun-daun lontar berwarna putih. Dengan tidak bersuara,
Banyak Sumba duduk di sudut, tidak jauh dari Ayahanda yang
sedang bekerja.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa. Ia tahu bahwa
mengganggu Ayahanda bekerja adalah kesalahan besar. Ia
dapat dihukum karenanya. Oleh karena itu, ia tidak berbuat
lain kecuali menunggu, seperti yang biasa ia lakukan kalau ia
dipanggil menghadap. Ia pun tidak terlalu peduli berapa lama
harus menunggu karena kadang-kadang, hampir setengah
hari menunggu, tiba-tiba pembicaraan ditangguhkan. Banyak
Sumba sudah biasa menghadapi hal seperti itu. Ia pun duduk
dengan sabar sambil memerhatikan Ayahanda yang tekun
menulis.
Dipandanginya wajah Ayahanda yang pucat di bawah sinar
lampu minyak kelapa. Laki-laki setengah baya itu kelihatan
lebih tua daripada umurnya. Rambutnya yang panjang dan
bergelung sudah bercampur dengan uban, sedangkan
wajahnya kurus dengan bibirnya yang tipis, dan punggungnya
agak bungkuk, punggung orang kurus yang telah begitu berat
menanggung beban penderitaan dalam kehidupannya. Rupa
Ayahanda yang dapat menimbulkan kasihan memberi kesan
tentang seorang laki-laki yang telah gagal dan diremukkan

oleh kehidupan, kalau saja tidak ada bagian wajah lain yang
sangat menonjol. Hidung Ayahanda yang agak besar dan
melengkung bagai paruh elang menghilangkan kesan lemah
dari pribadinya. Hidung Ayahanda yang menonjol itu seolaholah
menantang kesan-kesan yang ditimbulkan oleh bagianbagian
wajah dan tubuh lainnya. Kesan yang diberikan hidung
itu demikian kuat, sehingga memberikan kesan menantang
dan dapat mengatasi segala kesukaran dan derita hidup. Di
samping itu, hidung itu memberi kesan ketangguhan seorang
bangsawan Pajajaran yang berani menyerahkan segalagalanya
untuk asas yang diperjuangkannya. Apalagi kalau
kesan hidung itu sudah berpadu dengan pandangan mata
Ayahanda Banyak Citra, pandangan sepasang mata hitam
kelam dan terletak dalam-dalam di tempatnya.
Kedua mata yang tajam itu sekarang terangkat,
memandang Banyak Sumba yang sejak tadi duduk di sudut
sambil memandangi Ayahanda yang sedang bekerja.
KETIKA Banyak Sumba menyadari bahwa Ayahanda
memandangnya, ia segera beringsut dari tempat duduknya,
lalu menghaturkan sembah. Ayahanda memberi isyarat agar ia
mendekat. Banyak Sumba pun maju, lalu duduk di lantai bertikar,
dekat tempat Ayahanda menulis. Banyak Sumba duduk
bersila, sedangkan wajahnya menunduk dan matanya
memandangi lukisan bunga-bunga dan daun-daunan pada
tikar. Akan tetapi, segala perhatiannya tercurah kepada
Ayahanda yang duduk di hadapannya.
"Sumba," kata Ayahanda. Suaranya seperti terlalu rendah
bagi orang tua yang berperawakan kecil itu. "Hamba,
Ayahanda," ujar Banyak Sumba. "Sekarang, engkau sudah
terlalu besar untuk bermain-main di luar benteng. Di samping
itu, engkau seorang anak dengan masa depan yang gemilang.
Engkau harus mempersiapkan diri. Maka, sejak hari ini, kita
akan punya acara tetap bersama-sama. Ayah akan menjadi

gurumu. Kita akan membaca buku-buku yang sebagian telah
kaubaca. Kita akan pergi berburu dengan para bangsawan.
Engkau akan belajar bertata krama, selain segala
kebijaksanaan dan pengetahuan dari abdi-abdi sang Prabu."
"Hamba, Ayahanda," ujar Banyak Sumba tanpa
mengangkat mukanya.
"Ingatlah, Anakku, wangsa Banyak Citra tidak pernah
kepalang tanggung dalam segala hal. Jikajadi perwira, ia
hanya memilih dua hal, mencapai kemenangan atau gugur.
Kalau jadi negarawan, ia hanya memilih dua hal, jadi
negarawan yang baik atau tidak memakai nama Banyak Citra
dan mengaku-aku ada hubungan darah dengan wangsa
Banyak Citra. Itulah yang diadatkan dalam wangsa Banyak
Citra," kata Ayahanda.
Entah sudah berapa kali Banyak Sumba mendengar
wejangan seperti itu dari Ayahanda. Wejangan itu akhirnya
menanamkan anggapan bahwa wangsa Banyak Citra adalah
wangsa luar biasa di antara wangsa-wangsa bangsawan Pajajaran.
Keluarbiasaan ini banyak contohnya. Ayahanda Banyak
Citra seorang bangsawan yang termasyhur karena Kota
Medang dapat menyumbangkan barisan jagabaya yang
tangguh, patuh, dan perwira. Dari Kota Medanglah penjagapenjaga
negara yang baik didatangkan. Mereka tersebar
hampir di seluruh perbatasan Pajajaran: ke daerah rawa-rawa
di utara, ke belantara di selatan, di tepi samudra tempat
bersemayam Ratu Siluman Laut, atau ke timur—tempat
pertempuran-pertempuran kecil terus-menerus terjadi dengan
kerajaan-kera-jaan tetangga di seberang Cipamali.
Nenekanda yang juga bernama Banyak Citra adalah
sahabat sang Prabu. Hal itu hanya mungkin berkat
kebijaksanaan serta pengetahuan beliau yang meluas dan
mendalam tentang berbagai masalah kenegaraan. Almarhum
Nenekanda adalah salah seorang di antara bangsawan wangsa

Banyak Citra yang dijadikan suri teladan oleh Banyak Sumba,
ipar-ipar, serta saudara-saudaranya.
Terakhir, Kakanda Jante Jaluwuyung. Kakanda Jante adalah
puragabaya yang tidak ada tandingannya. Setiap bangsawan,
baik yang datang dari Pajajaran maupun kota-kota lain
menyatakan hal itu. Bahkan, Pamanda Minda, salah seorang
guru dari Padepokan Tajimalela, secara tidak langsung
menyatakan hal itu ketika Banyak Sumba bertanya kepadanya.
Waktu itu, Pamanda Minda dari Padepokan Tajimalela
mengadakan perjalanan ke suatu tempat yang dirahasiakan di
perbatasan timur kerajaan. Pamanda Minda singgah di
Medang. Selain membawa pesan dari Kakanda Jante, beliau
pun perlu menginap semalam di Medang. Ketika itulah,
Banyak Sumba bertanya, "Pamanda, siapakah puragabaya
terbaik masa kini?"
"Kakakmu salah seorang yang paling tangguh," jawab
Pamanda Minda sambil mengusap Banyak Sumba yang baru
berumur sepuluh tahun.
"Bagaimana dengan yang lain? Apakah mereka kurang
hebat dan semua dikalahkan Kanda Jaluwuyung dalam
latihan?"
Pamanda Minda tersenyum, lalu berkata, "Banyak yang
hebat, misalnya Ginggi, Girang, dan... Pangeran Anggadipati...
yang sekarang biasa dipanggil Anom. Mereka ini tidak
terkalahkan dalam latihan-latihan, kecuali oleh Pamanda
Rakean dan Pamanda Minda sebagai gurunya," lanjutnya
sambil tersenyum.
Semua yang telah dicapai oleh leluhur dan belakangan oleh
Kanda Jante Jaluwuyung, di satu pihak menumbuhkan rasa
bangga pada diri Banyak Sumba. Tetapi di lain pihak, itu
menjadi beban pula baginya. Sering dia bertanya pada diri
sendiri, apakah ia, Banyak Sumba, dapat menjadi anggota
wangsa Banyak Citra yang menonjol dan termasyhur di

Kerajaan Pajajaran? 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;