Sabtu, 17 Mei 2014

Geni 13

Dialah Sang Pamegat, tokoh sakti yang misterius yang
menyertai rombongan Ranggawuni. "Pendeta berbudi luhur,
semua orang tahu kehebatanmu. Tapi belum ada yang melihat
secara langsung caramu bertarung. Mereka ingin melihat
kehebatanmu, tapi tak ada yang berani mencoba. Biar aku,
Panji Patipati, yang menjadi mitra tandingmu, maafkan aku
dan tolong berlaku murah padaku!"

"Kau terlalu merendah, Ki Panji. Aku sudah lama
mengagumimu!"
Dua pendekar ternama langsung saling gebrak membuat
semua orang meleletkan lidah. Macukunda tanpa segan-segan
memainkan ilmu Brahmanagrha yang terdiri 21 jurus. Ilmu
Mahameru ini mengambil panutan pada sifat Gereh dan
Sedung. Itu sebabnya terkadang pukulan Macukunda berbunyi
bagai suara guntur dan badai. Tenaga besar dan bunyi yang
mengguntur membuat gebrak Macukunda ini sangat
berwibawa.
Panji Patipati, tokoh misterius dari keraton Tumapel ini,
tidak kalah galak. Ilmu Tanding Tinanding dan Jala Ampir
digelar bergantian dengan ilmu simpanannya yang membuat
ia digelari orang Sang Pamegat. Tujuhbelas jurus Pamegat itu
termasuk ilmu kelas atas, menggunakan kecepatan dan
kejelian burung elang serta terkaman macan kumbang sebagai
panutan.
Tak terasa limapuluh jurus telah berlalu. Macukunda pun
mulai mengeluarkan ilmunya yang lain Sasraludira yang terdiri
dari duapuluh lima tata cara mencengkeram titik kematian.
Berulang kali terjadi bentrokan tangan dan kaki di tanah
maupun udara. Sungguh pertarungan tingkat atas. Lewat
seratus jurus, mendadak keduanya memisahkan diri. Baju di
pundak kanan Sang Pamegat hancur. Begitu pula baju di
bagian perut Macukunda. Kedua pendekar ini saling hormat,
kemudian sama-sama meninggalkan gelanggang tarung.
Pertarungan demi pertarungan berlangsung. Jayawitaka
dihajar sungsang sumbal oleh Geriting, pendekar dari Utara.
Dan Geriting tak ungkulan menghadapi ilmu Pedang Tanpa
Suara dari Ki Antaboga, ketua perguruan Ngantang.
Berikutnya, Harsup, tokoh kebanci-bancian dari Nusa
Barung dengan tipu muslihatnya yang licik menghajar
mampus Ki Sawung. Harsup kemudian kabur ketika
berhadapan dengan sepasang Setan Sapikerep. Tadinya

Wisang Geni hendak turun gelanggang menghadapi dua Setan
Sapikerep itu tetapi kedahuluan oleh Banjalit, yang dijuluki
pendekar Selatan.
Hampir duaratus jurus lebih bertarung akhirnya Banjalit
harus menyerah. Dadanya kena hantaman kaki sang isteri,
Lembani, disusul pukulan sang suami, Lembusana. Melempar
diri ke belakang beberapa tombak, Banjalit berjongkok Ia
memasang kuda-kuda dalam sikap adu jiwa, apalagi lawan
masih akan menyerang. Melihat sikap lawan yang garang dan
siap adu jiwa, pasangan suami isteri itu, batal menyerang.
Saat berikut Banjalit keluar gelanggang dengan sikap gagah.
Menghadapi sepasang suami isteri Sapikerep itu, Ki
Antaboga masuk arena bersama isterinya, Nyi Kudadu. Terjadi
pertarungan antara dua pasang suami isteri. Antaboga dengan
Pedang Tanpa Suara sedang Nyi Kudadu menggunakan ilmu
Seribu Pedang Sejuta Bunga. Suami isteri Sapikerep
menggunakan sepasang tombak pendek.
Seratus jurus berlangsung, pasangan dan Ngantang itu
terlihat unggul dan mendesak habis pasangan Sapikerep. Pada
akhirnya dua tebasan beruntun dari Ki Antaboga berhasil
melukai telak Lembusana yang jatuh bergulingan. Darah
mengucur dan pundak dan lengannya. Lembani menggotong
suaminya keluar arena
Matahari telah berada di puncaknya ketika Macukunda
melompat masuk gelanggang. Ia memberi hormat berkeliling.
"Sampai saai mi hanya tinggal beberapa orang yang belum
terkalahkan. Aku dan Ki Pamegat, dalam pertarungan kami
tadi tak ada yang kalah dan tak ada yang menang. Aku
menantang siapa yang mau menantang aku si pendeta
Macukunda atau siapa juga yang mau menantang sang
Pamegat."
Tak seorang pun yang keluar menantang dua tokoh sakti
itu. Ilmu dua orang itu sudah terbukti kehebatannya.

"Baik, kalau demikian, sudah tiga orang yang terpilih dari
luna yang kita cari. Aku si pendeta Macukunda, Sang Pamegat
dan Pendekar Merapi. Siapa yang tidak setuju atau keberatan
silahkan angkat suara."
Hening, tak ada suara. Kemudian terdengar suara tertawa
bagaikan ringkik kuda, panjang, kering dan bergelombang.
Begitu suara tawa itu berhenti, dari kemah sebelah timur
melayang sesosok bayangan ke arena. Kalayawana!
"Pendeta Macukunda, tiga orang pilihan itu kurasa tidak
ada lagi yang menantang. Itu artinya semua orang setuju. Kini
masih tersisa dua lowongan, aku mau satu. Kalau tak ada
yang menantangku, berarti aku terpilih. Sebenarnya aku ingin
tarung lawan pendekar Lemah Tulis yang kemarin membunuh
muridku dan menantang aku, mana dia, apakah masih berani
maju menantang aku?"
Suara Kalayawana menggaung dan mengema ke empat
penjuru, itu ilmu Angampuban yang menjadi andalannya.
Dalam hati ia mengharap agar Wisang Geni masuk
gelanggang tarung, sungguh ia akan remas batang lehernya.
Dan memang Wisang Geni sudah bersiap dari tadi. Geni
sudah pamit pada Padeksa. Ketika itu Manjangan Puguh
memegang lengan muridnya. "Geni, jangan maju, biar aku
saja yang menghadapinya."
"Tidak guru, ini kewajibanku sebagai seorang anak, ini
dendam berdarah yang sudah lama kuinginkan. Tak ada
keinginan yang lebih kuinginkan selain membunuh
Kalayawana! Guru biarkan aku maju!"
Gajah Watu menyela, "Ilmu silatnya sangat tinggi, apa kau
yakin bisa mengatasinya?"
Geni tertawa lirih. "Aku yakin akan kemampuan Wiwaha
dan ilmu Prasidha, aku bisa mengatasinya!"

Padeksa berkata lirih, "Geni, hati-hati, dia punya ilmu sihir
yang bisa membuat lawan lupa ingatan."
"Aku akan mengingatnya guru!"
Geni melangkah sambil melirik Wulan dan Sekar dengan
mesra. Bibir Wulan bergerak, "Geni hati-hati!" Tetapi suaranya
tersumbat di kerongkongan. Dua kekasih Geni itu merasa
tegang yang amat sangat. Karena mereka tahu betapa tinggi
kepandaian silat Kalayawana, tanpa sadar Wulan
menggumam, apakah Geni mampu menahannya.
Wisang Geni melompat masuk arena. Ia menggunakan
jurus handal Waringin Sungsang yakni Mesat (Meloncat
dengan kecepatan tinggi). Dalam sekejap mata ia sudah
berdiri beberapa tombak berhadapan dengan Kalayawana.
Geni menatap tajam mata Kalayawana. Mata musuh yang
hanya satu itu mencorong bagai bola matahari yang panas
dan siap membakar apa saja di depannya. Tetapi Geni tak
merasa takut sedikit pun. Ia merasa mampu mengatasi musuh
besarnya itu.
"Kau, berani juga mengantar jiwamu. Sebentar lagi akan
kupatahkan batang lehermu, mengantar kamu ke kubur, di
sana kamu harus minta maaf pada tiga muridku."
"Kalayawana, jangan banyak bacot. Kau hutang nyawa
ayah ibuku, kau juga ikut andil menghancurkan perguruanku.
Selain itu perbuatanmu membuat banyak orang lain sengsara.
Kau terlalu, banyak berbuat kejahatan, aku tidak bisa
membiarkan kamu hidup lebih lama lagi di dunia."
Kalayawana tertawa keras. Ia mulai mengalunkan aji
Begananta, suaranya bagai jarum yang menusuk-nusuk
gendang telinga. Geni tidak ayal lantas mengeluarkan suara
Tawa Kera. Sambil tetap perang tertawa, dua seteru yang
sama-sama punya dendam kesumat sebesar gunung ini saling
gebrak menggunakan jurus-jurus telengas dan sengit.

Seluruh ilmu simpanan dari kuburan Gondomayu
dikeluarkan Kalayawana dengan pengerahan tenaga besar.
Jurus dari ilmu Ghandarwapati seperti hendak meluluh
lantakkan tubuh Wisang Geni. Tetapi anak muda yang sudah
makin pengalaman dalam pertarungan tak mau terburu nafsu.
Itu memang pesan gurunya, Padeksa. "Jangan marah, jangan
terburu nafsu, tenang seperti air danau yang tidak terusik
bahkan oleh angin semilir pun."
Setelah tadi secara tidak langsung memperoleh petunjuk
pendekar Sagotra, kini Wisang Geni lebih mulus dalam
menggelar Bang Bang Alum Alum. Jurus handal dari gunung
Merapi ini kadang diselingi Garudamukha dengan kegesitan
enam jurus gerak Waringin Sungsang. Pertarungan
berlangsung ketat dan sengit. Sampai seratus jurus,
kedudukan masih imbang.
Dalam hati Kalayawana heran, empat bulan lalu ia
menghajar Wisang Geni hanya dengan sekali pukul.
Bagaimana mungkin, sekarang anak muda ini bisa
mengimbanginya sampai seratus jurus lebih. Tadinya ia
menganggap kematian tiga muridnya sebagai keteledoran dan
kesemberonoan muridnya. Tetapi kini ia tahu, memang
kepandaian Geni sudah tergolong kelas satu.
Dalam ilmu ringan tubuh, Wisang Geni lebih unggul.
Tenaga dalam sama imbang. Kalayawana unggul dalam
pengalaman. Itu sebab pertarungan berlangsung imbang.
Memasuki jurus seratus limapuluh Geni sedikit demi sedikit
mulai meningkatkan kadar tenaga dan kecepatan dalam tiap
geraknya. Kalayawana mulai keder.
Mengetahui dirinya mulai berada bawah angin, Kalayawana
mulai menggunakan ilmu hitamnya. Lewat tertawa
Angampuban yang bergantian dengan Akashawakya,
Kalayawana menggunakan ilmu sihir. Matanya menatap Geni
dengan berkedip-kedip mesra. Ia mengubah cara

berkelahinya, tidak lagi menggunakan tinju atau cakar,
melainkan pukulan telapak tangan.
Wisang Geni merasa aneh. Kalayawana yang buruk rupa itu
terkadang bisa salin wajah menjadi Wulan. Makin lama wajah
dan tubuh Wulan lebih sering menggantikan Kalayawana.
Wisang Geni tahu ini sihir buatan lawan, tetapi ia tak tahu cara
mengatasinya. Suatu saat Geni menarik pukulannya karena
takut melukai Wulan. Sebaliknya pukulan keras Kalayawana
menghantam dadanya.
Penonton menjerit Wisang Geni melempar diri empat
langkah ke belakang. Ia muntah darah. Untung baginya
tenaga Wiwaha telah melapis dirinya sehingga pukulan tidak
sampai telak dan merusak. Sedang Kalayawana melihat
pukulannya berhasil mengena lawan, kontan menyerbu
dengan geram Ia ingin membunuh dan melumat Geni.
Mengetahui kondisi kritis Geni melejit dengan Antarlina jurus
melenyapkan diri dari Waringin Sungsang.
Kalayawana memburu, Geni melejit dengan Antarlina. Geni
merasa dadanya masih sakit. Beberapa saat kemudian rasa
sakit itu lenyap. Ia tahu tenaga Wtwiiba telah menyembuhkan
lukanya,
Geni kembali bertarung rapat, kali ini ia mengeluarkan jurus
Sikhwiriya (cintaku kepadanya) dari ilmu Garudamukha
Prasidha.Jurus ini dilukiskan sebagai luapan rasa cinta
Abhimanyu kepada Ksiti Sundari dalam cerita Gatotkacasraya.
Tanpa sadar Geni memilih jurus ini karena melihat Kalayawana
berubah menjadi Wulan di hadapannya.
Pada saaat itu Kalayawana menyerang dengan Daitya
Naraka (Raksasa dari Neraka) jurus telengas dari
Ghandanvapati. Tangan kanan mencengkeram dada, tangan
kiri memukul pelipis, disertai tendangan ke selangkangan.
Hebatnya jurus ini masih dibantu pengaruh sihir serta tertawa
Angatnpuhan. Wisang Geni seperti melihat Wulan mendekat

kepadanya. Tangan Wulan hendak mengelus dada, tangan
yang lain mengelus kepalanya.
Dari pikiran sadarnya Geni tahu Kalayawana menyerang
dengan jurus mematikan. Tapi pandangannya melihat Wulan
melompat hendak membelai dan mengelusnya, Geni tidak
tega menggunakan jurus maut, takut melukai Wulan
seandainya itu benar Wulan. Tapi Geni juga takut jika bukan
Wulan, maka ia akan kena hajar Kalayawana.
Akhirnya Geni pasrah. Sikap jiwa saat menggunakan
Prasidha itu Geni memilih sikap Sikhwiriya sebagai pernyataan
cintanya, "Kalau pun mati tak apalah asal kau tahu betapa
cintaku padamu". Dua tangan Geni menyongsong pukulan
lawan. Kakinya ditekuk ke bawah sehingga tendangan
Kalayawana yang mengarah ke selangkangan akan mendarat
di perut.
Kalayawana melihat sepasang mata Geni berbinar namun
bergoyang. Ia yakin Geni masih dalam pengaruh sihirnya.
Tanpa belas kasihan Kalayawana menyalurkan seluruh
tenaganya ke dua tangan. "Mampus kamu!" teriaknya.
Saat berikut Kalayawana mencelos, tenaganya seperti
menerobos ke dalam sumur yang tak berdasar. Ia sangat
terkejut, berniat hendak menarik kembali tenaganya, tetapi
semua sudah terlambat Tenaganya seperti ditarik dan disedot
masuk dalam sumur. Kemudian dari tangan Geni muncul
keluar gelombang tenaga besar yang luar biasa dinginnya.
Tenaga itu menerobos melalui tangan Kalayawana dan
melanda seluruh tubuhnya. Kalayawana berteriak. Teriakan
yang membangkitkan bulu roma.
Kalayawana terlempar dua tombak, terletang di tanah
dengan darah keluar dari semua lobang tubuhnya.
Kalayawana memandang Wisang Geni dengan heran dan
penasaran. "Ilmu apa itu, ilmu siluman dari mana, katakan
ilmu apa itu biar aku tidak penasaran?"

Wisang Geni yang baru saja terbebas dari sihir memandang
Kalayawana dengan kasihan. Ia menjawab dengan suara yang
agak keras, supaya didengar banyak orang. "Itu ilmu paling
handal dari Lemah Tulis namanya Garudamukha Prasidha dan
jurus yang kugunakan namanya Sikwiriya, sudahlah
Kalayawana, aku sudah membayar lunas kematian dua
orangtuaku, pergilah ke neraka membawa serta semua
kejahatanmu, tanah Jawa tak memerlukan orang jahat seperti
kamu, Kalayawana!"
Saat itu juga Kalayawana memejamkan mata. Mati! Sesaat
penonton membisu, kemudian menyambut kemenangan
Wisang Geni dengan tepuk tangan. Orang-orang Lemah Tulis
yang paling getol menyambut kemenangan ketuanya.
Padeksa, Gajah Watu, Walang Wulan dan Sekar berdiri
bertepuk tangan.
Memang mencengangkan, suatu kejutan besar, seorang
anak muda yang belum punya nama ternyata mampu
menghabisi petualangan Kalayawana yang selama ini tidak
pernah terkalahkan. Meskipun ia dari Lemah Tulis, perguruan
yang pernah begitu populer, hal itu tetap kejutan yang paling
menggegerkan.
Wisang Geni kendati telah unjuk kebolehan dengan
membunuh Sempani dan tiga murid Kalayawana, pada
mulanya tetap diramalkan hanya akan menghantar nyawa di
tangan Kalayawana. Tetapi kenyataan justru terbalik, Geni
akhirnya keluar sebagai pemenang. Sebagian penonton
merasa senang, bagi mereka satu dari sekian orang jahat dan
telengas di kolong langit akhirnya mati juga
Sebagian pendekar menduga-duga ilmu apa yang
digunakan Wisang Geni dalam tiga pertarungan yang begitu
mencekam Ketika Geni menjawab pertanyaan Kalayawana
yang sekarat, tak ada lagi keheranan dari wajah mereka.
Kalau itu memang ilmu paling handal dari Lemah Tulis, maka

tidak salah lagi kalau perdikan itu pernah berjaya duapuluh
tahun silam.
Berdiri dari kursi, Pendeta Macukunda mengucap selamat
kepada Wisang Geni sebagai pendekar muda pendatang baru
di dunia persilatan. Macukunda kemudian berseru kepada
Padeksa dan Gajah Watu. "Berbahagialah sampean berdua,
aku melihat masa depan yang cerah menanti Lemah Tulis di
depan mata."
Padeksa mengucapkan terimakasih sekaligus permisi untuk
suatu berita perguruan. "Hari ini kepada para pendekar
sekalian yang ada di sini, kami berdua, Padeksa dan Gajah
Watu memberitahu bahwa sejak kehilangan ketua duapuluh
lima tahun yang lalu, baru kini kami memiliki seorang ketua.
Dialah ketua perdikan Lemah Tulis yang ketujuh, namanya
Wisang Geni."
Wisang Geni memberi hormat ke seluruh arena, "Aku yang
muda ingin mengumumkan bahwa sejak hari ini Lemah Tulis
tak lagi punya ikatan perguruan dengan Lembu Agra. Dia
murid busuk yang berkhianat yang menaruh racun pelemas
tulang ke sumur perguruan. Akibatnya kami semua keracunan
sehingga lawan dengan mudah mengalahkan kami. Perlu
diketahui bahwa ia sebenarnya adalah murid keturunan partai
Turangga, nama aslinya Jaranan, kini ia menjabat ketua partai
itu."
Pengumuman itu sangat mengejutkan. Baru sekarang
terungkap tabir misteri mengapa perguruan sehebat Lemah
Tulis sampai hancur dan nyaris punah duapuluh lima tahun
yang lalu.
Macukunda memecahkan kesunyian "Hayo, siapa lagi yang
mau menantang Ki Wisang Geni, ketua Lemah Tulis yang baru
ini. Atau mungkin menantang Ki Antaboga ketua perguruan
Ngantang?"

Wisang Geni beranjak hendak meninggalkan gelanggang
tarung, ketika terdengar suara bentakan nyaring, "Tunggu!"
Seorang wanita cantik melangkah masuk gelanggang
tarung. Ia berjalan biasa, sepertinya tak peduli akan
pandangan orang yang kagum melihat kecantikannya.
Pakaiannya aneh. Celana panjang longgar sebatas perut.
Bagian perutnya terbuka, memperlihatkan perut yang rata dan
putih bersih. Di bagian dada, baju ketat yang memperlihatkan
bentuk buah dada yang montok. Ia mengenakan selendang
dari sutera warna putih sama seperti warna pakaiannya. Ia
cantik, hidung bangir, mulut agak lebar, rambut panjang
dibiarkan terurai melebihi pundak. Tinggi semampai. Matanya
berbinar memandang Wisang Geni.
"Kita ketemu lagi, Wisang Geni yang tampan."
Wisang Geni gugup menjawab, "Kau... kau..."
"Kenapa kau gugup, aku tetap Malini yang dulu. Kalau dulu
kau tak kuberi obat penawar racun, tentu sekarang ini kau
sudah mati. Seharusnya kau berterima kasih padaku."
Wisang Geni meluap amarahnya. "Kau perempuan bangsat,
kau telah meracuni aku dan Sekar. Kalau saja tak ada Dewi
Obat yang menolong, aku pasti sudah mati! Aku tak suka
bertempur dengan perempuan, panggil keluar lakimu!"
"Ah lagi-lagi kamu cemburu, Geni. Sudah berulang kali
kukatakan Kumara itu cuma teman perjalanan."
Wisang Geni kewalahan, ia berpikir keras. "Perempuan ini
gila dan tak tahu malu, ia ingin mempermalukan aku di depan
umum Apa kata orang nanti tentang aku? Apa kata Wulan dan
Sekar?"
Wisang Geni tak tahu apa yang harus diperbuat. Mendadak
terdengar suara bisikan Malini di telinganya. Ini ilmu mengirim
suara jarak jauh. "Wisang Geni, cepat kamu beritahu di mana
kakek gurumu bersembunyi, kalau kau masih membandel

juga, akan aku umumkan bahwa dulu kita pernah bercinta dan
sekarang ini aku hamiL"
Tubuh Wisang Geni gemetar, keringat membasahi dahinya.
Tanpa sadar ia menoleh ke tenda mencari-cari wajah Wulan.
Terdengar bentakan nyaring Malini. "Hayo! Tunggu apa lagi!"
"Baik akan aku bawa kamu ke gunung Lejar. Tapi besok
baru kita berangkat," jawab Geni dengan gugup.
Malini tertawa dingin suaranya nyaring sehingga semua
orang mendengar. "Tidak! Aku tak mau besok! Aku mau
sekarang juga kita berangkat!"
Pada saat yang kritis itu tiba-tiba melesat sesosok
bayangan masuk gelanggang. Ia berdiri di samping Wisang
Geni. Gadis itu Sekar. Mendadak sekilas Wisang Geni melihat
Malini menggerakkan tangan, menyerang Sekar. Tidak ayal
lagi Geni memotong serangan Malini dengan serangan. Sekar
tertawa. Ia tampak cantik, lebih cantik dari Malini karena
Sekar tampak masih muda, segar dan ceria. Mata Sekar
melotot marah, berlagak seperti seorang ibu yang sedang
memarahi putrinya yang nakal.
"Malini, rupanya kau masih mengenali aku. Itu sebab kamu
menyerangku, kamu ingin membunuhku, agar kau bisa
memfitnah Wisang Geni dengan leluasa, bukan? Aku heran di
dunia ini ada perempuan macam kamu yang tak kenal malu."
"Kau belum mati rupanya, seharusnya kamu jangan muncul
supaya bisa hidup lebih lama lagi."
"Maksudmu, kamu mau membunuh aku?"
"Hari ini aku sungguh akan mencabut nyawamu!" Berkata
demikian perempuan dari negeri Jambudwipa itu menyerbu
Sekar dengan serangan beruntun. Wisang Geni tak tinggal
diam, ia tahu Sekar tak akan bisa menangkal serangan
dahsyat itu. Segera terjadi pertempuran sengit antara Geni

dan Malini. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat, tanpa
terasa pertarungan memasuki jurus yang ketigapuluh.
Pada saat itu melayang sesosok bayangan ke arena.
Seorang lelaki dengan pakaian aneh masuk arena. Bercelana
longgar yang diikat di pergelangan kaki. Bajunya sempit,
tanpa lengan dengan dada terbuka, memperlihatkan bulu
dadanya yang lebat. Rambutnya hitam pekat, keriting dan
digelung di atas kepala. Hidungnya mancung. Banyak
persamaan dengan perempuan asing itu.
Empat bayangan menerobos gelanggang tarung. "Siapa
kalian yang berani mengacau di Mahameru? Apa kalian pikir
tak ada orang yang bisa mengusirmu?" Empat orang itu tak
lain, saudara seperguruan Macukunda yang selama dua hari
ini tidak pernah jauh dari sang ketua Mahameru.
Lelaki asing itu, Kumara, memandang tajam empat
pendekar Mahameru. Pada saat itu, Malini menarik
serangannya, melakukan salto ke belakang dan tepat berdiri di
samping Kumara. "Hebat, ilmu kamu sudah jauh maju.
Jawablah dengan jujur, Wisang Geni. Kamu seorang ketua
Lemah Tulis, harus punya kehormatan. Kami berdua punya
hutang piutang dengan seorang ketua Lemah Tulis yang
duapuluh lima tahun silam mengalahkan pamanku Lahagawe
di perang Ganter, katakan di mana kami bisa temui orang tua
itu!"
"Aku tak pernah ketemu dengan Eyang Sepuh Suryajagad.
Aku tak tahu beliau ada di mana. Kalau kau memang punya
hutang piutang dengan beliau, kamu alihkan padaku. Aku
yang bertanggungjawab atas semua hutang piutang Lemah
Tulis!"
"Begitu pun bagus. Kamu sebagai ketua Lemah Tulis, kamu
yang bertanggungjawab. Juga kudengar kamu tadi
mengatakan kamu sudah menguasai ilmu tingkat tinggi
perguruanmu yang bernama jurus Prasidha. Baiklah kita akan
berjumpa satu bulan lagi di tempat pertama kali kita jumpa".

Selesai berkata, Kumara memegang tangan Malini, keduanya
bergandengan meninggalkan gelanggang tarung seperti
melayang saja. Ilmu ringan tubuh yang diperlihatkan tidak
berada di bawah jago-jago tanah Jawa.
Wisang Geni mengucap terima kasih kepada empat
pendekar Mahameru itu. Ia menggenggam tangan Sekar dan
meninggalkan gelanggang tarung.
Ki Antasena, yang tertua dari keempat pendekar itu
melontarkan pertanyaan ke sekeliling arena. "Kalau tidak ada
lagi pendekar yang menantang maka pertarungan ini akan
segera ditutup!"
Arena pertarungan lengang dan sepi. Mendadak terdengar
bentakan memecah kesunyian, "Tunggu!"
Seorang lelaki berpakaian penuh tambalan dengan jenggot
dan kumis yang sudah putih semua, melangkah cepat
memasuki gelanggang urung. Tubuhnya tinggi dan tegap,
langkahnya lebar, mengingatkan orang pada tokoh Pandawa
yang tinggi besar, Bratasena. Tak salah lagi dialah Ki Demung
Pragola! Ia menoleh ke sekeliling. "Mana dia Wisang Geni,
jangan lari kamu. Mana kejantananmu, ke mana kau bawa
kabur cucuku? Hayo tunjukkan rupamu, sedikit saja kau
ganggu rambut cucuku, jiwamu ku kirim ke neraka! Geni
keluar kau, ayo temui aku!"
Wisang Geni masuk kembali ke gelanggang, ia merasa
heran. Ia memandang Wulan yang juga keheranan.
"Bukankah cucilmu sudah kulepaskan waktu itu, malah
dijemput oleh anak buahmu sendiri!"
"Bohong kamu, anak buahku kamu bunuh, mana bisa ada
urusan seperti itu! Ternyata Lembu Agra benar, kau memang
penjahat yang berpura-pura menjadi pendekar berjiwa
ksatria!"
Mendengar nama Lembu Agra, secara naluriah Geni
berpaling memandang kemah di mana ia melihat Sempani

menginap bersama Lembu Agra kemarin. Sekilas ia melihat
bayangan berkelebat dan jerit suara anak kecil memanggil,
"Kakek!"
Saat itu juga Geni melesat menggunakan jurus Mesat
disambung dengan Warayang dua jurus hebat dari Waringin
Sungsang. Gerakan Geni susah diikuti mata. Dalam keadaan
terdesak tenaga Wiwaha memperlihatkan keampuhannya,
dorongan tenaga yang begitu besar membuat gerakannya
cepat dan pesat seperti kelebatnya kilat.
Sesaat kemudian Geni sudah mengancam Lembu Agra yang
lari sambil memondong seorang gadis kecil. Dalam hal ilmu
ringan tubuh Lembu Agra berada di bawah kemampuan
Wisang Geni, apalagi dengan memondong tubuh gadis kecil
itu, maka dalam sekejap mata Wisang Geni sudah mendekat.
Tahu sulit meloloskan diri dari kejaran Geni, Lembu Agra
melempar tubuh gadis kecil itu. Tubuh gadis kecil itu melesat
ke arah batu besar.
Wisang Geni terkejut, tak ayal lagi ia berbelok arah,
menggunakan jurus Antarlina dengan segala kekuatan
tenaganya. Tapi ia terlambat, tubuh gadis kecil itu melayang
lebih cepat. Terdengar jerit banyak orang, mereka
membayangkan kepala gadis itu akan pecah berantakan.
Mendadak tubuh Geni seperti terlontar ke depan, sambil kedua
tangannya mengirim pukulan jarak jauh. Itu jurus
Warayangungas dari Garudamukha. Batu itu pecah berantakan
dan hancur menjadi debu Tubuh gadis kecil itu melesat
melewati pecahan batu yang berantakan. Sesaat kemudian
Geni menjambret tubuh gadis kecil itu yang pingsan saking
kagetnya.
Beberapa saat kemudian Demung Pragola tiba di tempat itu
diikuti hampir semua orang. Ki Demung yang tinggi besar itu
segera merebut cucunya dari tangan Geni dan memeluknya
erat. "Untung kamu selamat, nduk", katanya dengan suara
penuh haru.

Setelah ketenangan mereda, semua orang kembali ke
tempat masing-masing. Demung Pragola mengucap terima
kasih kepada Geni. Ia juga menyapa Wulan, Padeksa, dan
Gajah Watu dengan akrab. Memang benar, Demung Pragola
adalah sahabat mendiang Bergawa. Pada mulanya Pragola
heran, mengapa Lembu Agra menyandera cucunya. Tetapi
setelah mendengar cerita perihal pengkhianatan itu, Pragola
mengerti duduk persoalannya.
Pendeta Macukunda menghampiri dan menyapa Demung
Pragola dengan akrab, "Hei, Pragola, kenapa baru sekarang
datang? Tarung belum berakhir, masih ada kesempatan kalau
kau mau ikut bersaing. Kau tinggal pilih menantang pendekar
yang mana di antara lima pemenangnya. Aku Macukunda atau
sang Pamegat atau Ki Sagotra dari gunung Merapi atau Ki
Wisang Geni ketua Lemah Tulis atau Ki Antaboga ketua
Ngantang? Hayo kau pilih yang mana?"
"Ha... ha... aku tak tertarik. Mereka yang kau sebut tadi
semuanya pendekar yang pantas mewakili tanah Jawa. Satusatunya
yang belum kukenal cuma Ki Wisang Geni. Tetapi
kepandaian yang diperlihatkan tadi ketika menyelamatkan
cucuku, itu ilmu silat kelas atas. Aku tak perlu ragu lagi! Dia
pantas mewakili tanah Jawa." Setelah basa-basi secukupnya,
Demung Pragola bersama cucu dan beberapa anak buahnya
pamit mundur. Tetapi Macukunda mengajak Pragola
sahabatnya itu untuk nginap satu hari lagi.
"Hb... ho... orang bilang habis gelap akan datanglah
terang, Lemah Tulis sekarang sedang kejatuhan bintang.
Kamu tahu, riwayat dan petualangan Kalayawana dari
Gondowayu berakhir di tangan Ki Wisang Geni, begitu juga
Sempani, opo ora hebat itu?"
Akhirnya pertarungan para pendekar di puncak Mahameru
selesai sudah. Macukunda mengucap terimakasih kepada
semua orangyang telah menghadiri pertemuan. Ia
mengumumkan lima nama pemenangnya, yang nantinya akan

mewakili tanah Jawa dalam adu kepandaian lawan jago-jago
dari daratan Cina.
Tetapi sebelum kumpulan orang-orang itu bubar turun
gunung, lima orang dengan dandanan dan wajah yang asing
mendekati gelanggang tarung. Semua orang memandang
kelompok orang asing itu dengan heran dan takjub.
Seorang di antaranya perempuan. Ia cantik berkulit putih
bersih mengenakan celana dan kemeja panjang, warna hitam
Ia maju sambil merangkap dua tangan memberi hormat
kepada semua orang di sita. "Kami utusan dari Kuangchou,
kami ingin berjumpa dengan pimpinan persilatan tanah Jawa."
Suara gadis itu terdengar bening dan empuk, meski
logatnya kaku dan patah-patah. Ki Demung Pragola menjawab
spontan, "Di tanah Jawa ini belum ada seorang pemimpin
persilatan atau yang disebut sebagai orang nomor satu Kami
belum pernah melakukan pemilihan sepertiitu. Tapi nona bisa
ketemu dengan ketua Mahameru, pendeta Macukunda yang
cukup bijaksana dan berilmu tinggi, ini dia orangnya."
Gadis itu membungkuk menghormat. "Nama saya Mei Hwa,
saya mengucap selamat panjang umur bagi ketua Mahameru
dan semua pendekar di tanah Jawa ini. Saya bersama empat
orang teman, yang ini Liong Sam, ini Put Hai, Siong Bu Kam,
dan itu Tan Bing. Kami datang membawa pesan dari
pemimpin rimba persilatan di negeri kami, Sam Hong."
Macukunda memerhatikan satu per satu orang asing di
hadapannya. "Apa pesannya, nona. Boleh dijelaskan di sini
juga, apakah itu rahasia penting?"
Ketika itu sepasang mata Mei Hwa yang indah memandang
Manjangan Puguh. Mei Hwa menegur dengan ramah, "Tak
tahunya kembali saya berjumpa dengan pendekar budiman Ki
Manjangan Puguh, hormat saya untuk anda semoga panjang
umur, terimakasih atas pertolongan tuan pendekar."

Manjangan Puguh agak gugup menjawab, "Nona, itu tak
perlu terlalu diingat, setiap orang harus menolong orang lain
yang sedang memerlukan pertolongan. Aku hanya membantu
kalian mengusir sekelompok penjahat dan menunjuk jalan ke
Mahameru ini, bukan sesuatu yang terlalu besar."
Mata sipitnya berbinar ketika ia mengangguk,
"Bagaimanapun juga pertolongan itu tetap suatu jasa baik
yang harus diingat." Mei Hwa memandang Manjangan Puguh
dengan senyumnya yang manis.
Mei Hwa kemudian menoleh ke arah Macukunda dan
tersenyum ramah. "Maaf, saya harus mendahulukan pendekar
yang telah menolong kami dari kesulitan. Tentang apakah itu
rahasia, penting atau tidak, saya serahkan kebijaksanaan
kepada bapak pendeta."
Mei Hwa merogoh surat dari balik bajunya, lalu diserahkan
kepada Macukunda. Pendeta ini membuka surat dan membaca
pesan yang ditulis dalam aksara Jawa. Macukunda menghela
nafas.
"Pendekar sekalian, surat ini berisi pesan adu tanding
antara pihak tanah Jawa dengan Kuangchou. Pertandingan
dimajukan dua Inilah lantaran perhitungan arus dan angin
dalam pelayaran. Dengan demikian pertandingan akan
berlangsung tepat di malam purnama bulan Aswina, berarti
masih ada waktu empatpuluh lima hari lagi. Tempatnya di
hutan bagian selatan bukit Penanggungan".
Hari masih belum senja, sehingga semua orang masih
sempat pamitan turun gunung. Tanpa malu-malu Mei Hwa
mendekati Manjangan Puguh, menanyakan di mana ia bisa
menginap supaya pagi-pagi sekali bisa turun gunung. Sebelum
Manjangan Puguh menjawab, Wulan mendahului mengajak
Mei Hwa bergabung. "Kamu ikut kami turun gunung, nanti
malam kita sama-sama mencari tempat bermalam"

Wisang Geni mengajak Sekar. Keduanya kemudian pamit
pada nenek Dewi Obat. Sambil memeluk neneknya Sekar
menangis dan berbisik, "Aku harus mengikuti suamiku, nek."
Rombongan besar Lemah Tulis bersama kelompok
Ranggawuni dan lima utusan Kuangchou sama-sama turun
gunung. Di tengah jalan Wisang Geni melihat wajah Wulan
agak muram Tak seperti biasa, diam-diam Geni mendekati.
Tetapi Wulan tidak memberi reaksi seperti biasa, malahan
menjauh. Dalam hati Geni berpikir mungkin Wulan malu jalan
berdampingan. Geni menoleh mencari di mana Sekar,
dilihatnya gadis itu berjalan bersama Prawesti, cucu Gubar
Baleman itu.
Malam itu rombongan bermalam di sebuah desa. Kebetulan
kepala desanya adalah anggota dan anak buah Demung
Pragola sehingga tidak sulit untuk meminjam balairung balai
desa yang luas dan terbuka untuk tempat bermalam
Sehabis santap malam, semua orang duduk dalam
beberapa kelompok. Semua tampak gembira, cerita tentang
pertarungan Mahameru seakan tak pernah habis. Ada seorang
yang malam itu justru sangat gundah, dia Walang Wulan.
Wajahnya murung, seperti halnya mendung yang menutupi
kecantikan bulan. Malam sudah agak larut tapi Wulan tak bisa
memejamkan mata.
Pikirannya menerawang ke mana-mana. Ia berpikir macammacam
Ia melihat bagaimana Sekar tadi siang berani
menghadapi bahaya maut demi menolong Wisang Geni.
Kepandaian Sekar terlalu rendah, tetapi ia berani menerobos
arena menghadapi Malini yang kosen dan berilmu tinggi.
Masih banyak gadis-gadis lain yang lebih muda yang mau
berkorban jiwa demi Geni. Masih banyak gadis muda lainnya
yang mau menyerahkan diri menjadi isteri atau selir dari ketua
Lemah Tulis yang perkasa itu.
Wulan makin mengenal diri sendiri, ia adalah tipe
perempuan pencemburu Ia tahu akan banyak gadis memburu

Geni. "Bisa bisa aku mati lantaran cemburu setiap hari,"
bisiknya. Wulan menarik kesimpulan sepihak, kedudukannya
sebagai ketua Lemah Tulis membuat Wisang Geni kini bukan
milik Walang Wulan sendiri, tetapi milik orang banyak.
Entah bagaimana tiba-tiba Waning Hyun sudah duduk di
sampingnya. "Mbakyu Wulan, aku tahu apa yang kau pikirkan.
Biar kutebak, tapi kau harus jujur, jika tepat kamu harus
membenarkan ?"
"Mana mungkin kamu tahu apa yang kupikirkan?" Wulan
tadinya memiliki rasa tidak suka pada Waning Hyun setelah
mengetahui dirinya adalah putri Mahisa Walungan sementara
Hyun adalah cucu Ken Arok. Dendam perang Ganter menjadi
sebab. Tetapi Wulan akhirnya bisa menerima kenyataan
bahwa sejarah masa lalu Kertajaya, Mahisa Walungan, Ken
Arok tak ada sangkut paut dan hubungan langsung dengan dia
dan Waning Hyun. Pelan pelan Wulan mulai menyukai putri
keraton ini.
"Mbakyu, kamu memikirkan Wisang Geni, dia sekarang
ketua Lemah Tulis yang mungkin akan melupakan kamu,
benar kan?"
Wulan memandang heran pada adik seperguruan ini.
"Bagaimana kamu bisa menebak jitu?"
Waning Hyun menghela nafas, duduk menyandar
kepalanya ke pundak Wulan. "Mbakyu, aku juga sering
memikirkan nasibku kalau kelak menjadi isteri raja.
Ranggawuni suatu hari pasti akan menjadi raja. Seorang raja
di tanah Jawa harus memiliki banyak selir. Dan aku harus
menerima kenyataan ini, rela melihat suamiku membagi
cintanya kepada perempuan lain. Bukan itu saja, suamiku juga
bukan milikku lagi, dia milik kerajaan, milik rakyat, dia harus
menyisihkan banyak waktu untuk kerajaan dan rakyatnya. Aku
mungkin hanya kebagian sisa waktunya yang lowong.
Keadaanmu dengan Wisang Geni masih jauh lebih ringan
ketimbang yang kuhadapi, mbakyu."

Wulan terkejut, ia menatap Waning Hyun dengan nanar.
"Tetapi kamu tahu dari mana kalau aku sedang memikirkan
Geni?"
"Aku perempuan, mbakyu. Aku melihat wajahmu yang
gundah seharian ini, padahal Geni begitu hebat mengangkat
citra dan derajat Lemah Tulis. Kau bahkan menjauh dari Geni.
Aku lantas menarik kesimpulan, pasti ada yang tidak beres
menyangkut hubunganmu dengan Geni."
"Kupikir memang Geni kini bukan lagi milikku, aku harus
rela dan ikhlas melepasnya."
"Kalau itu keputusan kalian berdua, aku tak bisa komentar
apa-apa. Tetapi kalau itu keputusanmu sendiri, tanpa setahu
Geni, maka itulah keputusan paling bodoh!"
Walang Wulan terkejut, ia mengerutkan kening. Waning
Hyun tampaknya tak peduli kata-katanya telah membuat
wajah Wulan memerah saking malu dan tersinggung. Ia
melanjutkan dengan wejangan yang bermaknakan falsafah
hidup. Sulit dibayangkan gadis muda memiliki wawasan hidup
yang begitu luas.
"Hidup ini cuma mengenal dua sisi. Mimpi dan kenyataan.
Kalau sedang memburu sesuatu yang kita inginkan, itu
namanya mengejar mimpi. Kalau gagal, kita tidak rugi, sebab
kita cuma kehilangan mimpi. Lain hal kalau kehilangan sesuatu
yang sudah dalam genggaman, yang sudah kita miliki. Itu
namanya rugi. Kata guru, kejarlah mimpi dengan ngotot dan
kerja keras, hasilnya bisa gagal, bisa sukses. Kalau gagal
jangan putus asa. Di sisi lain kita harus ngotot dan berupaya
keras mempertahankan apa yang sudah menjadi milik kita.
Dalam hal ini kita tak boleh gagal, kita harus berjuang keras
mempertahankannya!"
Wulan memandang Waning Hyun dengan takjub. "Dari
mana kau peroleh pelajaran hidup itu?"

"Siapa lagi kalau bukan guru Gajah Watu. Kamu tahu,
mbakyu, guruku itu pernah mencintai seorang gadis pendekar,
tetapi dia telah menyia-nyiakan kesempatan mendapatkan
gadis itu sebagai isteri. Dia menyesal, itu sebab sampai
sekarang dia tak mau terikat oleh seorang wanita pun,
padahal di keraton banyak gadis yang mau menjadi isterinya."
Wulan terkejut, tetapi menyembunyikan wajahnya. Dia
takut jangan sampai Waning Hyun membaca pikirannya.
Sebab dia tahu, siapa gadis yang dimaksud Gajah Watu itu.
"Jadi sebenarnya dia mencintai aku? Seandainya dia melamar
aku, pasti aku bersedia waktu itu. Tetapi dia hanya
membutuhkan tubuhku saja," katanya dalam hati. Dia tanpa
memandang adik seperguruannya, dia bertanya dengan
berdebar-debar. "Gurumu, menyebut siapa gadis itu, aku jadi
ingin tahu?"
Waning Hyun menggeleng kepala. 'Tidak. Kata guruku, itu
rahasia yang akan dibawanya sebagai kenangan pribadi.
Tetapi dari pengalaman itu, dia memberiku nasehat, jangan
melepas apa yang sudah ada di dalam genggaman, jangan
bodoh!"
"Kira-kira apa yang harus kuperbuat, adik manis?"
"Bukan lagi kira-kira, tapi suatu keharusan! Kamu harus
mempertahankan Wisang Geni, apapun rintangannya! Kamu
sudah memperoleh cintanya, kini tinggal kamu pertahankan
itu! Kamu mimpi hidup berdampingan dengannya, nah
kejarlah mimpi itu dengan larimu yang paling kencang!"
"Adik Hyun, kamu masih begini muda tapi pandanganmu
tentang hidup, bukan main luas dan bijaksananya!"
Waning Hyun menghela napas. "Mbakyu, aku tadinya
hanya mempersiapkan diri menjadi isteri seorang lelaki. Tetapi
belakangan ini aku harus menerima kenyataan lain, menjadi
isteri seorang pangeran yang tak lama lagi akan menjadi raja.

Aku harus siap melepas kebebasan dan kemerdekaan yang
sudah membesarkan aku selama ini."
Wulan memeluk Hyun. "Apalagi yang membuat kau gelisah.
Mimpi seorang puteri keraton adalah menjadi isteri seorang
raja, kau seharusnya bahagia!"
"Ya, seharusnya demikian." Suara Waning Hyun terdengar
agak parau. Ada suara duka di dalamnya.
Keduanya beranjak masuk ke dalam kamar. Wulan masih
memikirkan pembicaraannya dengan Waning Hyun dan
bagaimana sikapnya menghadapi Wisang Geni. Ia sudah
hendak tidur ketika terdengar suara orang menyanyikan
kidung Jurus Penakluk Raja. Suaranya dingin dan sinis, ciri
suara seorang pembunuh. Suara itu bening dan jernih,
pertanda tenaga dalam orang itu dari pendekar kelas atas.
Di tengah gelapnya malam, udara yang dingin serta
heningnya suasana, kidung itu membangkitkan bulu roma.
Ada hawa pembunuhan yang terbawa dalam nada suara si
penyanyi.
Dari gunung Lejar
Jurus penakluk
Raja Ilmu dari segala ilmu
Melenggang ke Barat
Meluruk ke Timur
Merangsak ke Utara
Merantau ke Selatan
Tak ada lawan
Tak ada tandingan
Ilmu dari segala ilmu

Tiga perempuan di kamar iiu melompat bangun, terutama
Mei Hwa yang dari tadi sudah pulas. Gadis dari Kuangchou ini
tak mengerti apa persoalannya. Ia bangun karena mendengar
suara ribut yang ditimbulkan tiga rekan sekamarnya, Waning
Hyun, Sekar dan Walang Wulan.
Wulan berseru perlahan, "Itu Kidung Maut!" "Tiga kali
kidung dinyanyikan Berarti malam ini sebelum fajar
menyingsing, ada tiga orang yang jiwanya bakal melayang di
rumah ini. Sungguh temberang si Kidung Maut, tidak tahukah
dia bahwa di rumah ini berkumpul banyak jago dari kalangan
kelas atas?" Kata-kata Wulan itu semakin membuat Mei Hwa
bingung.
Tetapi gadis Kuangchou itu tak sempat bertanya lebih
lanjut. Terdengar suara Ki Demung Pragola membelah
kesunyian malam yang sudah mulai hangat suasananya.
"Harap semua orang berkumpul di ruang tengah! Kita bentuk
lingkaran dengan setiap orang menghadap keluar."
Ruangan itu memang besar dan luas. Semua orang sudah
berkumpul di ruang tengah. Seluruhnya terhitung tigapuluh
tujuh orang, termasuk tuan rumah dan keluarganya, Ki
Demung Pragola mendudukkan cucunya di dekatnya. "Nduk,
kau tak boleh berpisah dengan kakek, biar sesaat pun! Ingat
itu, nduk”
Demung Pragola memandang semua orang. Di situ ada
Padeksa, Gajah Watu, Sang Pamegat, Manjangan Puguh,
Wisang Geni, Ranggawuni, Mahisa Cempaka, Waning Hyun,
Walang Wulan, delapan pendekar Tumapel, lima utusan dari
Kuangchou, beberapa murid Lemah Tulis dan beberapa murid
perguruan DemungPragola.
Melihat wataknya yang agak berangasan, tak heran
Demung Pragola kesal bagai kebakaran jenggot. "Sungguh
sombong dan temberang si Kidung Maut itu. Ia terlalu
memandang enteng kita semua yang ada di sini. Aku Demung
Pragola merasa terhina kalau sampai ada orang yang menjadi

korban sementara aku ada di sini. Tuan-tuan apa yang harus
kita lakukan?"
Sang Pamegat seperti juga Ki Demung Pragola merasa
sangat terhina dengan kejadian ini. "Kita tunggu saja, sampai
di mana kehebatan si Kidung Maut itu. Aku ingin melihat
apakah darahnya juga merah seperti darahku?"
Manjangan Puguh memandang Wisang Geni yang
kebetulan sedang menatapnya. Hampir tujuh purnama silam
dia bertiga Padeksa dan Wisang Geni menghadapi situasi
sama. Waktu itu si Kidung Maut berhasil memenuhi
kebiasaannya, membunuh orang sesuai jumlah kidung yang
dia lembangkan. Apakah kali ini ia juga akan berhasil lagi
membunuh orang sesuai keinginannya?
Manjangan Puguh berjalan hilir mudik, tampaknya ia
sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia bertanya kepada
muridnya, "Ketika tadi bertempur dengan perempuan
Jambudwipa itu, apakah kau temukan sesuatu yang aneh,
Geni?”
"Tidak, tak ada yang aneh guru!" Mata Geni melihat Sekar
dan Wulan yang duduk jauh dari tempatnya. Ia menggapai
dua gadis itu agar duduk di dekatnya. Dua perempuan itu
beranjak mendekati tempat Geni.
Manjangan Puguh melanjutkan pembahasannya, hanya
berdua Wisang Geni, tak ada orang yang mendengarnya
karena pembicaraan dilakukan dengan ilmu pendam suara.
"Maksudku begini, setahun lalu kita bertiga bersama Ki
Padeksa pernah tarung dengan si Kidung Maut. Waktu itu kita
sepakat si Kidung Maut sesungguhnya adalah seorang
perempuan. Sejak hari itu aku mengejar pembunuh kejam itu.
Dari beberapa kejadian aku yakin pembunuh itu terdiri dua
orang. Keduanya berilmu tinggi Satu di antaranya perempuan.
Satunya lagi kuyakin laki-laki. Dan aku yakin malam ini,
keduanya akan turun tangan bersama."

Wisang Geni terkesiap. "Kalau begitu malam ini kita
menghadapi lawan berat. Satu Kidung Maut saja sudah sulit di
lawan, apalagi kini dua orang. Kita tak boleh lengah, benarbenar
harus waspada."
"Geni, setahun lalu kau mengatakan mencium wewangian
perempuan waktu kau bergebrak dengan si Kidung Maut,
kamu masih ingat? Tadi waktu kau bertarung dengan Malini,
adakah kau mencium aroma wewangian yang sama?"
Wisang Geni berdiam, mencoba mengingat-ingat. Saat itu
semua orang diam, masing-masing sibuk menata diri,
mempersiapkan tenaga menghadapi serangan yang mendadak
dari iblis pencabut nyawa itu. Geni bertanya pada gurunya,
"Guru, kenapa kau mencurigai perempuan dari negeri
Jambudwipa itu?"
Tetapi sebelum dia menjawab, dia terkejut dengan
kehadiran Mei Hwa yang melangkah mendekatinya dan duduk
di sampingnya. "Pendekar Puguh, siapa orang yang menyanyi
tadi, mengapa semua orang panik dan bersiap-siap seperti
mau bertarung?"
Pendekar ini terkejut mendengar pertanyaan Mei Hwa, ia
heran melihat sikap wanita Cina ini yang memperlihatkan
perhatian kepadanya. Ia menjawab dengan tersenyum
"Penyanyi kidung itu adalah pembunuh kejam, dia selalu
membunuh dengan terlebih dahulu menyanyikan kidung
tersebut, tadi tiga kali dia mengulang kidung itu artinya dia
akan membunuh tiga orang di antara kita, dan itu akan dia
lakukan sebelum fajar menyingsing."
Puguh menoleh kepada Wisang Geni. Dia bicara lirih,
sengaja biar Mei Hwa juga bisa mendengar. "Selama
penyelidikan aku temukan keanehan bahwa orang
Jambudwipa itu sering kali berada di sekitar tempat
pembunuhan. Seperti malam ini, bukankah tadi siang kita
bertemu mereka?"

Tiba-tiba Wisang Geni berseru, suaranya agak keras, "Guru,
memang dia!" Dia kemudian menyambung bicaranya dengan
suara lirih. "Tadi memang aku mencium wewangian. Tapi
wewangian yang tadi masih asing bagiku, tak bisa kuingat
atau membandingkannya. Lain hal saat aku dan Sekar dipaksa
menelan racun oleh Malini dan Kumara, waktu itu Malini
berdiri dekat denganku, sehingga aku mencium wewangian
yang rasanya pernah kukenal. Hanya saat itu aku lupa. Kini
aku ingat, wewangian itu sama, wewangian yang dipakai
Malini sama wanginya dengan wewangian yang dipakai si
Kidung Maut. Tetapi guru mungkinkah dua pendekar asing itu
yang menyamar sebagai Kidung Maut?"
Manjangan Puguh manggut-manggut. "Tadinya, aku sedikit
ragu, kini tidak lagi. Aku berani mempertaruhkan kepalaku, si
Kidung Maut adalah dua pendekar Jambudwipa itu, aku pasti!"
Mei Hwa penasaran. "Tapi apa kira-kira alasan mereka?
Mengapa mereka suka membunuh?"
Wisang Geni berseru, "Guru, aku tahu sebabnya! Ketika aku
terluka, mereka membujuk aku, mereka akan menyembuhkan
lukaku kalau kuberitahu di mana tempat Eyang Sepuh
Suryajagad bertapa. Tadi pagi, kembali ia menanyakan hal
yang sama dengan ancaman akan memfitnah diriku di depan
umum Ia juga menyebut Resi Lahagawe yang pernah dihajar
Eyang Sepuh di perang Ganter. Hubungannya jelas, dengan
menyanyikan kidung Jurus Penakluk Raja yang pernah
dinyanyikan Eyang Sepuh, mereka memancing agar Eyang
Sepuh mau keluar dari pertapaan."
Manjangan Puguh tertawa. "Itu sebabnya, setiap
menyanyikan kidung itu, kepala kidung tidak ikut
dinyanyikan!"
Mei Hwa memegang tangan Manjangan Puguh, "Kangmas
Puguh, aku ingin mendengarkan kidung Penakluk Raja yang
lengkap."

Jantung Manjangan Puguh berdebar kencang. Dia juga
merasa heran dengan dirinya, mendadak saja dia timbul birahi
dan rangsangan nafsu saat Mei Hwa duduk di dekatnya. Bahu
Mei Hwa sesekali menempel dengan bahunya. Kini tangan
gadis Kuangchou itu malah menggenggam tangannya. Puguh
menggunakan ilmu pendam suara ditujukan kepada gadis
cantik itu. Dia menyanyikan kidung yang lengkap.
Ilmu dari seberang
Tak boleh tepuk dada
Di Tanah Jawa ini
Dari Gunung Lejar
Jurus Penakluk Raja
Ilmu dari segala Ilmu
Melenggang ke Barat
Meluruk ke Timur
Merangsak ke Utara
Merantau ke Selatan
Tak ada Lawan
Tak ada Tandingan
Ilmu dari segala Ilmu
Suara Puguh kasar dan gemetaran, tetapi Mei Hwa
meleletkan lidah. Dalam hatinya ia kagum terhadap pencipta
kidung. Kagum bahwa orang itu begitu percaya pada ilmunya.
Dan bahwa ilmu tiada tandingan tentu bukan sembarang ilmu.
Ilmu dari segala ilmu
Mei Hwa masih mau bertanya, tetapi dicegah oleh Puguh.
Karena saat itu dia melihat Wisang Geni berjalan keluar
menuju alam terbuka.

Gerak gerik Wisang Geni tidak luput dari pengamatan
Wulan dan Sekar. Keduanya saling memberi isyarat, keduanya
mengikuti Geni melangkah keluar. Wulan bertanya. "Geni, ke
mana kau?" Ada rasa khawatir dalam getar suaranya.
Wisang Geni menoleh, dia menggapai dua kekasihnya itu.
Ketiganya menjauh dari rumah besar. Dua perempuan itu
terkejut ketika Wisang Geni tertawa, menggunakan tenaga
dalam. Tertawanya, khas tertawa lembah kera. Tawa itu
berkumandang ke segala penjuru, panjang bergelombang,
jernih dan lepas. Geni sengaja menggunakan tenaga Wiwaha
sehingga siapa pun yang mendengar pasti akan meleletkan
lidah kagum akan kekuatan tenaga dalam Geni Bahkan tokoh
seperti Sang Pamegat, dan Demung Praloga, sampai terpaku
di tempatnya.
Mendadak tertawa itu terhenti, saat berikutnya terdengar
suara Geni. "Kalian berdua hentikan pembunuhan yang tak
ada gunanya ini Satu purnama mendatang, aku akan menemui
kalian berdua untuk melunasi segala hutang piutang di antara
kita. Tempatnya di warung tempat kita bertemu dulu."
Suara Geni ini terdengar jelas, lantang dan jernih
menerobos ke empat penjuru angin. Gemanya terdengar jauh
nun di sana saling bersahutan. Lama sekali baru gema itu
lenyap. Semua orang di situ termasuk Mei Hwa dan empat
kawannya, mengakui hebatnya tenaga dalam Geni.
Demung Pragola menghela napas. "Sungguh benar kata
orang, gelombang di belakang selalu menghempas gelombang
di depannya. Dari mana Lemah Tulis bisa memperoleh murid
seperti Wisang Geni. Sayang aku tak melihat bagaimana ia
menghabisi riwayat Kalayawana."
Malam sunyi sepi. Tak lama terdengar suara kidung
dinyanyikan orang. Makin lama suara kidung makin menjauh
sampai akhirnya lenyap ditelan kebisuan malam
Manjangan Puguh tampak kesal. "Mereka sudah pergi!"

Demung Pragola dan Padeksa hampir bersamaan
menyahut, "Tak boleh percaya. Kita harus tetap waspada dan
tetap berkumpul bersama-sama di ruangan ini."
Mei Hwa menegur Manjangan Puguh. "Kenapa kau kesal,
kangmas. Dengan perginya iblis pembunuh kan kita tak perlu
bertempur lagi."
Manjangan Puguh menatap wajah cantik di depannya. Ia
tak bisa menyembunyikan perasaan tertariknya. Dua kali gadis
itu memanggilnya kangmas. Agak gugup Manjangan
menjawab. "Benar katamu. Tapi aku khawatir keselamatan
Wisang Geni dalam pertarungannya dengan dua orang itu."
"Kamu tak usah khawatir. Muridmu itu memiliki ilmu silat
yang jarang bisa dicari bandingannya. Tenaga dalam seperti
itu di negeriku mungkin hanya dimiliki oleh ketua Sam Hong
saja. Tetapi mas, jika muridmu sebegitu hebatnya tentu kamu
sebagai gurunya memiliki ilmu silat yang lebih hebat lagi."
"Tidak bisa mengukur ilmu silat seseorang dengan cara
begitu. Dulu, memang dia pernah kudidik sebagai murid,
tetapi waktu berjalan terus, dia punya jalan lain, aku
menempuh jalan lain. Aku senang bahwa muridku
memperoleh keberuntungan sehingga ilmu silatnya meningkat
pesat, aku rasa sekarang ini dia sudah mencapai tingkatan di
atasku. Dan aku sangat bangga padanya."
Mei Hwa tersenyum Ia memegang tangan Manjangan
Puguh yang tentu saja bertambah gugup. "Mas, kamu
pendekar yang bermoraL Aku bersyukur kamu tidak termasuk
dalam lima jago tanah Jawa yang akan pibu adu silat dengan
jagoan kami."
"Kenapa kamu berkata demikian."
Mei Hwa merunduk. "Aku tak mau kamu terluka."
Manjangan Puguh terkesiap. Ia bertanya-tanya, apakah
gadis cantik ini menyatakan perasaan cinta kepadanya? Ia

masih gugup ketika Mei Hwa menggenggam tangannya dan
menarik menjauh dari orang-orang. "Kangmas Puguh, ketika
kamu menolong kami dari keroyokan penjahat, kamu sudah
memeluk tubuhku Terus terang selama ini, tubuhku belum
pernah dipeluk seorang lelaki. Aku mau tanya, kamu harus
jawab jujur, kamu bisa melakukan pertolongan itu tanpa harus
memeluk aku, kenapa kamu memeluk aku?"
Manjangan Puguh tersenyum "Mei Hwa, aku tahu kamu
punya ilmu silat yang mungkin tidak berada di bawah
tingkatanku, mengapa kamu tidak menghajar penjahat itu,
tetapi pura-pura lemah dan memberi kesempatan aku
menolongmu, kamu juga tidak berontak malah membiarkan
aku memelukmu?"
Mei Hwa tersipu-sipu. Ia merunduk. "Aku yang bertanya
dulu, kamu tak boleh balik bertanya, kamu harus
menjawabnya dulu."
Manjangan Puguh menoleh sekeliling. Tak ada orang yang
memerhatikan. Ia memegang tangan Mei Hwa, menciumi
tangan itu. "Aku menyukaimu sejak pertama melihatmu, Mei
Hwa." Berikutnya dua insan itu terlibat dalam pembicaraan
akrab.
Di sudut sana Ranggawuni juga sedang ngobrol dengan
Waning Hyun. Sedang di luar ruangan, dekat taman, Wisang
Geni dan Walang Wulan saling menatap. Ternyata Waning
Hyun berhasil mengubah sikap Wulan, yang tadinya serba
ragu kini hangat kembali.
"Geni, kau kini sudah jadi ketua, aku bawahanmu Dalam
soal ilmu ilmu silat, kamu pun lebih kuat. Sebagai suami, kamu
tentu punya banyak kelebihan, aku mau tanya apakah
nantinya kamu akan berlaku galak terhadapku?"
Geni tak menjawab, malahan balas bertanya, "Kenapa
seharian ini kau menjauh dariku, apakah aku berbuat sesuatu
yang membuatmu marah atau tersinggung?"

"Kau belum menjawab pertanyaanku!"
"Kau jawab dulu pertanyaanku!"
Wulan menggeleng.

Geni tersenyum "Kamu terkadang memang keras kepala."

0 komentar:

Posting Komentar

 
;