Senin, 26 Mei 2014

Dongeng Ksatria Hutan Larangan 6

"Panglima, saya belum lagi seorang puragabaya. Oleh
karena itu, mengikuti pasukan jagabaya tidak akan
merendahkan martabat kepuragabayaan. Di samping itu,
kalau iktikad hamba untuk mengabdi kepada kerajaan, hamba
kira tak ada hal yang akan merendahkan siapa pun."
"Akan tetapi, seorang puragabaya tidak boleh menjadi anak
buah jagabaya, walaupun apa pangkat dia," ujar Panglima.

"Hamba tidak akan jadi anak buah siapa pun, Panglima.
Hamba hanya akan membantu kepala pasukan jagabaya itu.
Juga, hamba tidak akan bertindak atau bersikap sebagai
puragabaya, tetapi sebagai seorang prajurit Pajajaran saja."
Panglima Rangga Wisesa termenung sebentar, dan setelah
menarik napas panjang berkatalah, "Kalau begitu, baiklah.
Akan tetapi ingatlah, apa pun yang terjadi kepadamu, itu
adalah tanggung jawabku, anak muda."
"Hamba akan menjaga diri hamba sebaik-baiknya,
Panglima."
"Ya, mudah-mudahan darahmu tidak terlalu panas,
walaupun kau masih sangat muda," lanjut Panglima Rangga
Wisesa.
Keesokan harinya pagi-pagi, Pangeran Muda sudah berada
di atas punggung si Gambir, menuju daerah yang berawarawa
sebelah selatan kota Galuh.
SEORANG gulang-gulang mengantarkan Pangeran Muda ke
tempat pemusatan pasukan jagabaya yang berada di tengahtengah
hutan kecil, rawa-rawa, dan sungai-sungai. Setelah
beberapa kali menyeberangi jembatan-jembatan darurat yang
dibuat dari bambu, dari jauh tampaklah sebuah bangunan
besar yang sekelilingnya dipagari dengan bambu yang
ujungnya diruncingkan. Di keempat sudut pagar yang tinggi
itu dibangun empat buah menara, tempat para pemanah siap
dengan busur panah mereka.
"Itulah asrama jagabaya, Anom," ujar gulang-gulang itu.
"Bawalah saya kepada perwira pimpinan, gulang-gulang,"
kata Pangeran Muda.
"Baiklah, Pangeran Muda."
Setiba mereka di gerbang asrama itu, beberapa orang
penjaga menyambutnya, kemudian mempersilakan mereka
masuk ke bangunan kecil yang ada di pojok lapang asrama,
tempat perwira pimpinan berada. Setelah perwira itu
membaca surat dari Panglima, ia berdiri memberi hormat
kepada Pangeran Muda, kemudian menyilakan duduk.

"Tenaga Juragan sangat kami butuhkan karena kami tidak
memiliki seorang pun yang ahli dalam mencari jejak," kata
perwira itu.
"Saya pun bukan seorang ahli, tetapi karena bertahuntahun
tinggal di hutan dan setiap waktu harus mencari jejak
binatang-binatang, saya jadi terbiasa dengan berbagai jejak
itu," ujar Pangeran Muda yang kepuragabayaannya
disembunyikan oleh Panglima.
"Malam ini suatu rombongan yang terdiri dari dua puluh
orang akan berangkat ke arah selatan, apakah Juragan sudah
bersedia ikut malam ini juga? Kalau masih perlu beristirahat,
besok malam pun rombongan lain akan berangkat"
"Lebih baik malam ini," ujar Pangeran Muda, dan sore itu
bersama dengan dua puluh orang jagabaya di bawah
pimpinan bintara yang bernama Garda, Pangeran Muda
berangkat.
Kedua puluh orang jagabaya itu ternyata merupakan
pasukan pilihan. Mereka semua menunggang kuda, sedang
senjata-senjata mereka yang pendek menyatakan bahwa
mereka adalah prajurit-prajurit yang ahli dalam pertempuran
jarak dekat dan perkelahian dari tangan ke tangan. Senjata
untuk jarak jauh yang mereka bawa hanyalah disandang oleh
beberapa orang pemanah. Yang lainnya tak seorang pun
membawa senjata macam demikian, sedang perisai yang biasa
menjadi pelindung para jagabaya, tak satu pun tampak
mereka bawa.
Perlengkapan serta persenjataan jagabaya yang sangat
sedikit itu ternyata kemudian disesuaikan dengan keadaan
medan. Setelah melewati beberapa kampung yang kosong
karena ditinggalkan oleh petani-petani yang terpaksa
bermalam di kota, pasukan turun dari kuda dan menitipkan
binatang-binatang itu pada suatu kampung yang diduduki oleh
kelompok kecil jagabaya. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan
dengan berjalan kaki.
Dalam perjalanan itu, Pangeran Muda berjalan paling depan
dan bertindak seolah-olah sebagai pembantu Garda. Untuk

beberapa lama sukar bagi Pangeran Muda untuk dapat
berjalan dengan cepat karena selain belum terbiasa
menjelajahi hutan-hutan kecil yang tanahnya berawa-rawa,
malam sangat gelap pula. Sedang penggunaan obor-obor
tidak mungkin dilakukan. Segalanya harus dilakukan secara
rahasia karena mereka sedang mengintai gerak-gerik lawan
yang juga merahasiakan jejaknya.
Demikianlah seperempat malam pertama mereka lalui
dengan melintasi jalan-jalan setapak dalam semak,
menyeberangi sungai-sungai kecil di daerah yang berawarawa
dan menyeberangi jembatan-jembatan yang terbuat dari
bambu. Pada suatu saat, ketika mereka akan menyeberangi
sungai yang agak lebar, tiba-tiba Garda berhenti melangkah,
dan bekas-bekasnya tampak hanyut dan tersangkut tidak jauh
dari tempat jembatan itu semula berdiri.
"Untung dan sial!" kata Garda. "Pertama untung karena
mereka memberitahukan kepada kita bahwa mereka ada
dekat-dekat di sini. Sial karena kita harus mencari jalan lain
dan itu berarti setengah malam lamanya."
"Mengapa mereka harus meruntuhkan jembatan ini?" tanya
Pangeran Muda.
"Mereka sudah kehabisan bekal dan harus merampas
persediaan yang mungkin tertinggal di kampung yang akan
kita kunjungi. Atau kemungkinan lain, mereka meruntuhkan
jembatan di sini untuk menarik perhatian kita, padahal mereka
akan melakukan serangan di tempat lain, dan siapa tahu yang
mereka hantam adalah asrama kecil yang baru saja kita
tinggalkan bersama-sama kuda-kuda kita."
Mendengar itu teringatlah Pangeran Muda pada si Gambir.
Bagaimana kalau si Gambir sampai terampas oleh lawan yang
licin itu?
"Berapa orang yang ditugaskan menjaga asrama kecil itu?"
tanya Pangeran Muda.
"Tujuh orang, tapi pagar bambunya cukup tinggi, dan
mereka tidak akan menyerah begitu saja."

"Tapi apakah tujuan mereka kalau mereka sampai
menyerang asrama kecil itu?" tanya Pangeran Muda pula.
"Lebih banyak jagabaya yang tewas, lebih berkurang
kepercayaan rakyat kepada kerajaan," ujar Garda dengan
dingin.
"Sekarang, apa yang akan dilakukan?
"Kita akan mengambil jalan keliling, dan mencoba
mencapai kampung yang kita tuju dengan secepat-cepatnya."
"Bagaimana kalau kita menyeberang di sini?" tanya
Pangeran Muda.
"Dengan arus sederas ini dan dengan perlengkapan senjata
yang memenuhi tubuh?" tanya Garda keheranan.
Pangeran Muda baru menyadari akan hal itu. Pangeran
Muda meraba tali yang tergantung di pinggangnya, di balik
sarung yang dilipat setengah. Tali itu kecil dan ringan, tetapi
adalah tali khusus yang biasa dipergunakan dan dibawa ke
mana pun oleh para puragabaya dan para calon.
"Saya membawa tali, dan barangkali kita dapat mencoba
menyeberangi arus yang deras ini dengan tali itu," kata
Pangeran Muda sambil menguraikan tali yang dibawanya.
Garda memandangnya dengan ragu-ragu.
"Tapi tali itu terlalu kecil," ujarnya.
"Tali ini kuat sekali, jangan takut. Sekarang peganglah
ujungnya, ujung yang lain akan saya ikatkan ke pinggang
saya. Saya akan menyeberang, dan kalau saya hanyut,
tariklah," sambil berkata demikian Pangeran Muda
mengikatkan ujung tali ke pinggangnya, di bawah pandangan
dua puluh orang jagabaya yang penasaran tetapi juga raguragu.
"Sekarang peganglah ujung ini, saya akan berenang."
Pangeran Muda berjalan ke tepi sungai yang agak curam
lalu menuruninya. Setelah meraba-raba dengan telapak
kakinya, masuklah ia ke dalam arus yang deras, kemudian
mencoba berenang. Akan tetapi, arus itu deras sekali.
Berulang-ulang Pangeran Muda hanyut dan kembali ke tepi
dengan bantuan anak-anak buah Garda yang memegang

ujung tali yang lain. Kemudian, dengan mengerahkan tenaga
sebaik-baiknya, Pangeran Muda dapat melewati arus tengah
sungai itu, lalu mencapai seberang. Setelah mengikatkan
ujung tambang pada sebatang pohon, Pangeran Muda,
dengan berpegang pada tali itu kembali ke seberang tempat
pasukan berada. Ujung tali yang lain diikat pula pada sebatang
pohon. Setelah itu Pangeran Muda mempersilakan pasukan
untuk menyeberang dengan berpegang pada tali itu. Akan
tetapi, karena mereka ragu-ragu, Pangeran Muda pun
terpaksa memberi contoh. Kemudian, dengan susah payah,
pasukan menyeberang sungai yang deras itu dengan bantuan
seutas tali puragabaya. Dengan basah kuyup, pasukan dengan
tergesa-gesa berjalan menuju kampung yang menjadi tujuan.
Setiba di kampung itu Garda berseru, memanggil suatu
nama. Dari dalam gelap datanglah suara langkah, kemudian
muncullah seorang jagabaya dengan badan basah kuyup dan
pakaian tidak keruan. Di belakang jagabaya itu berjalan
beberapa orang kakek-kakek dan nenek-nenek.
"Mereka datang! Belum lama!" kata jagabaya itu kepada
Garda.
"Syukur kau selamat, berapa orang?" ujar Garda.
"Kata kakek kira-kira dua puluh orang, tapi mungkin lebih
karena sebagian menunggu di luar pagar."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Kakek dapat menerangkannya," kata jagabaya itu.
"Mereka minta garam dan mengancam akan membunuh
kakek-kakek serta nenek-nenek yang tinggal di kampung
kalau nanti di saat mereka kembali garam itu belum tersedia."
"Dari tempat persembunyian, saya dengar mereka
membentak-bentak," kata jagabaya yang tampak habis
bersembunyi itu menyela.
"Besok kakek ikutiah mengungsi dengan anak-anak," kata
Garda.
"Garda," kata Pangeran Muda sambil membawa Garda
menjauh dari tempat mereka berkumpul, "janganlah dulu
orang-orang tua disuruh mengungsi. Kalau kita mengungsikan

orang-orang tua, itu berarti kemenangan bagi pihak lawan.
Jadi, janganlah orang-orang tua itu disuruh ke kota besok.
Biarlah mereka tinggal di sini. Saya kira lawan pun tidak akan
berbuat banyak terhadap mereka."
"Tapi kalau begitu, kita harus menyediakan garam bagi
lawan," ujar Garda.
"Baiklah, bagaimana kalau garam itu kita sediakan, tetapi
dicampur dulu dengan sesuatu hingga mereka sakit perut,
misalnya?"
"Bukan garam saja yang mereka minta, juga pancing" kata
jagabaya yang tinggal di kampung itu.
"Pancing?" seru Garda keheranan.
"Garda," bisik Pangeran Muda, "kalau mereka memintapancing
itu menyatakan seolah-olah mereka hidup dengan
damai walaupun kita kejar-kejar. Artinya itu penghinaan
terhadap kita. Di samping itu, mereka bermaksud
memengaruhi rakyat, yaitu agar rakyat beranggapan mereka
sudah sangat kuat, hingga dapat meremehkan kehadiran
jagabaya yang sangat banyak jumlahnya di daerah ini."
"Apakah kita beri pancing itu, Juragan?"
"Apa sukarnya, asal kita pancing pula mereka."
Selagi berunding-runding demikian, datanglah pula
rombongan kakek-kakek dan nenek-nenek yang terdiri dari
enam orang. Mereka termasuk orang-orang tua yang tidak
mengungsi dan bersama jagabaya dipasang di kampung itu
untuk mengumpulkan keterangan-keterangan tentang jejak
lawan.
"Nah, Kakek, apa yang mereka katakan kepada Kakek?"
tanya Garda kepada seorang kakek-kakek yang paling tua dan
berjalan paling depan.
Kakek-kakek itu tidak menjawab, tetapi menyodorkan dua
helai lontar kepada Garda.
"Oh, ya," kata jagabaya yang ditempatkan di kampung itu,
"mereka meninggalkan dua helai lontar, tapi di sini tidak ada
yang bisa membaca."

'Juragan, apakah Juragan dapat membaca?" tanya Garda
kepada Pangeran Muda. Pangeran Muda tidak menjawab. Ia
mengulurkan tangan dan menerima lontar selebaran itu.
Pangeran Muda kemudian membacanya.
Pajajaran tidak sanggup lagi mengurus wilayah bekas
kekuasaan Galuh yang pernah jaya di masa lalu dan akan jaya
kembali di masa yang akan datang. Hai, rakyatyang ingat akan
kebesaran Galuh, bersiapsiaplah untuk menyongsong
kebangkitan Galuh yang lebih besar dan lebih jaya di masa
yang tidak lama lagi!
"Apa isinya, Juragan?" tanya Garda setelah melihat
Pangeran Muda selesai membaca.
"Omong kosong!" ujar Pangeran Muda. "Mereka berniat
mendirikan Kerajaan Galuh, padahal Pajajaran adalah lanjutan
dari Galuh," kata Pangeran Muda melanjutkan.
Setelah itu pasukan mencoba mencari jejak lawan yang
belum lama meninggalkan kampung itu, tetapi karena malam
menjadi sangat gelap, mereka terpaksa kembali ke kampung,
dan melanjutkan perencanaan yang akan mereka lakukan
keesokan harinya.
Selagi mereka berunding, nenek-nenek menjerang air dan
menyajikan gula dengan ubi bakar kepada para jagabaya.
Ketika Pangeran Muda meminum teh yang disajikan, ia merasa
bahwa teh itu sangat pahit. Pangeran Muda meletakkan teh
itu kembali.
"Terlalu pahit?" tanya Garda seperti sudah mengetahui.
"Ya, tapi terpaksa Juragan harus meminumnya karena teh
itu diberi penangkal siluman," ujarnya sambil tersenyum.
"Apa yang kaumaksud, Garda?" tanya Pangeran Muda.
'Juragan datang dari Pajajaran barat tentu saja merasa
asing dengan minuman kami di sini. Begini Juragan, silumansiluman
di daerah rawa ini demikian jahatnya, hingga setiap
orang yang datang ke dekatnya dibunuhnya. Mereka
menyamar sebagai nyamuk, dan melalui gigitannya
dibunuhnya korbannya perlahan-lahan. Untung kami memiliki
dukun sakti, ia dapat menemukan pohon penangkal siluman

dari hutan rahasia di dataran tinggi Pajajaran. Nah, dengan
mencampur kulit pohon penangkal itu dengan teh,
terlindunglah kita dari siluman-siluman yang jahat itu," kata
Garda.
'Juragan, minumlah teh itu, demi keselamatan Juragan
sendiri," kata seorang jagabaya. Pangeran Muda menurut, lalu
meminumnya banyak-banyak. Dan setelah beberapa kali
meminum teh hangat itu, terbiasalah Pangeran Muda pada
rasa pahitnya.
Tengah malam pasukan bergerak ke arah kampung
berikutnya, dan setelah bermalam dan pasukan tidur beberapa
saat lamanya, hari pun sianglah.
SETELAH makan pagi dan menyiapkan perlengkapan
lainnya, pasukan pun berangkadah menuju kampung yang
semalam dikunjungi oleh lawan. Dari sana, dengan mengikuti
jejak yang samar-samar, pasukan berjalan menerobos semaksemak.
Sekarang anggota pasukan menjadi dua puluh orang
karena jagabaya yang disimpan di kampung mengikuti mereka
sebagai penunjuk jalan. Pangeran Muda sendiri membantu
Garda dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan setiap
kali muncul masalah baru.
Pada hari keempat pasukan kehabisan makanan, karena
sebagian perbekalan hanyut dalam suatu penyeberangan.
Garda mengusulkan agar pasukan kembali asrama atau ke
kampung terdekat. Pangeran Muda yang melihat hutan-hutan
di sana penuh dengan binatang perburuan, seperti kijang dan
babi hutan bahkan kerbau-kerbau liar dan banteng,
mengusulkan agar mereka memanfaatkan pemanah-pemanah
yang ada dalam pasukan.
"Akan tetapi, panah-panah itu beracun, Juragan," ujar
Garda.
"Buadah anak-anak panah baru atau patahkanlah paruh
anak-anak panah yang kurang baik," jawab Pangeran Muda.
Pada suatu kesempatan, dengan mempergunakan
kepandaiannya menyelinap seperti ular, Pangeran Muda
berhasil menangkap seekor menjangan dengan

mempergunakan pentung. Maka soal makanan pun
terpecahkanlah.
Pada suatu saat pasukan tidak bisa bergerak karena
dihadapkan pada rawa yang dalam dan sungai dihuni oleh
sejumlah besar buaya. Sekali lagi Garda berputus asa dan
mengusulkan kembali. Pangeran Muda menyarankan agar
pasukan membuat rakit-rakit.
"Tapi kita harus mengambil bambu dari tempat yang
jauhnya kira-kira lima bukit dari sini, Juragan!" sahut Garda.
"Lihat Garda, di sebelah selatan kita tampak daun pisang
melambai-lambai. Kita akan dapat membuat rakit-rakit bahkan
untuk pasukan yang anggotanya seratus orang," jawab
Pangeran Muda. Mereka pun menyeberang dengan
mempergunakan rakit-rakit itu.
Pada hari keenam pasukan terpaksa bermalam di suatu
daerah yang hampir dari berbagai arah dikelilingi oleh rawarawa.
Begitu malam turun, nyamuk berdengung gemuruh dan
Garda mulai membaca mantra-mantra mengusir siluman.
"Garda, kita harus membuat api unggun untuk mengusir
nyamuk."
"Juragan, tidak mungkin. Mungkin kita sudah dekat sekali
dengan mereka. Untuk apa kita berjerih-payah mengikuti jejak
mereka kalau kita akan menghalaunya malam ini?"
"Garda, tentu saja tidak usah besar-besar. Kalau ada, tentu
saja sebaiknya api unggun dari dedak padi, tetapi itu tidak
mungkin. Akan tetapi, kita masih ada akal."
"Bagaimana, Juragan?"
"Bukalah sarung-sarung hitam jagabaya. Kita akan
membuat api unggun kecil di tengah-tengah tabir-tabir hitam,
dan kita tidur mengelilinginya."
Garda tampak mengerti, lalu memerintahkan pada anakanak
buahnya untuk mencari pohon-pohon kecil yang akan
dipergunakan sebagai tonggak untuk menambatkan sarungsarung
hitam itu.
"Panaskan air teh dan masukkan kulit kayu besar-besar,
mungkin siluman-siluman telah menggabungkan diri dengan

nyamuk-nyamuk ini. Nyalakan apinya kecil-kecil karena kita
hanya membutuhkan asap dan hangatnya saja bukan
cahayanya," ujar Garda pula. Mereka pun bekerjalah,
kemudian berbaring, sementara beberapa orang jagabaya
yang ditugaskan berjaga siap dengan senjata mereka.
Malam itu Pangeran Muda cepat sekali tertidur karena
sangat lelah. Sekira tengah malam, Pangeran Muda tiba-tiba
terbangun. Pangeran Muda menajamkan pendengarannya,
lalu bangkit dan hampir tidak percaya akan apa yang
didengarnya.
"Sssssst, Juragan, tidurlah kembali!" bisik Garda yang
ternyata terjaga pula.
"Garda, gamelan itu!"
"Sssssst," ujar Garda, suaranya terdengar ketakutan.
"Barangkali kita sudah dekat sekali ke tempat
persembunyian mereka, Garda. Siapa tahu kita dapat
menyerang sekarang!" kata Pangeran Muda.
"Ssssst," terdengar dari arah beberapa jagabaya yang juga
ternyata tidak tidur. Tampak dalam kelam itu mereka semua
ketakutan. Sementara itu Garda memberi isyarat agar
Pangeran Muda mendekat. Pangeran Muda mendekat,
melewati jagabaya-jagabaya yang menggigil ketakutan dan
ramai membaca mantra-mantra pengusir siluman.
"Saya tidak mengerti, Garda."
'Juragan, daerah ini adalah wilayah siluman. Gamelan itu
adalah gamelan mereka. Bagi orang sini, suara itu tidak asing,
dan setiap kali mereka mendengarnya, mereka akan menjauh
atau sekurang-kurangnya membaca mantra Rajah Pamunah
untuk mengusir siluman-siluman itu. Sekurang-kurangnya,
janganlah kita mengganggu mereka karena hal itu
berbahaya."
Pangeran Muda tidak menjawab. Ia tidak dapat
memutuskan, apakah akan memercayai cerita Garda itu atau
tidak. Sementara itu suara gamelan bergema dengan merdu
dan megah, seolah-olah di suatu tempat yang tidak jauh dari
tempat mereka sedang dilakukan orang pesta besar. Begitu

nyaring dan merdunya suara gamelan itu hingga akhirnya
Pangeran Muda yakin bahwa perkataan Garda itu omong
kosong belaka. Akan tetapi, untuk tidak menusuk hatinya,
Pangeran Muda tidak berkata apa-apa. Ia minta diri untuk
pergi duduk-duduk dekat jagabaya yang mendapat giliran
berjaga.
Jagabaya itu dengan badan menggigil berjongkok
berdekatan satu sama lain sambil memegang senjata masingmasing.
Ketika Pangeran Muda mendekat, salah seorang di
antara mereka berbisik.
'Jangan terlalu banyak bergerak, bacalah mantra-mantra."
"Kawan, izinkanlah saya meninggalkan tempat ini
sebentar," kata Pangeran Muda. Mendengar usul itu, mereka
sangat keheranan.
"Kalau hendak buang air, nanti saja sesudah bunyi gamelan
itu berhenti," kata seorang di antara mereka yang tidak dapat
melihat Pangeran Muda dalam gelap itu.
"Saya tidak tahan lagi," kata Pangeran Muda sambil
melangkah tanpa mengeluarkan bunyi. Maka dengan
mempergunakan pelajaran berjalan tanpa bunyi dan meniru
ular meluncurlah Pangeran Muda dalam semak-semak di
antara tumbuh-tumbuhan rawa menuju ke arah datangnya
suara gamelan yang merdu itu.
Makin dekat makin nyaring pula terdengar suara gamelan
itu, bahkan suara tepuk tangan mulai terdengar. Bertambah
dekat terdengar suara-suara orang bernyanyi dan bercakapcakap.
Pangeran Muda mulai bertanya-tanya dalam hati,
mungkinkah dengan tidak sadar mereka telah bermalam di
dekat sebuah kampung besar yang tidak mengungsi? Tapi,
mungkinkah Garda dengan pasukan yang berpengalaman
yang dipimpinnya melakukan kekeliruan begitu besar?
Sementara itu Pangeran Muda mengendap-endap dan
meluncur. Akan tetapi, lebih mengherankan lagi, walaupun
suara itu makin nyaring terdengar, belum juga tampak oleh
Pangeran Muda cahaya yang biasa banyak dinyalakan di
tempat pesta. Dengan penasaran, Pangeran Muda berjalan

dengan tergesa tetapi tanpa bunyi. Akhirnya, suara itu
terdengar nyaring sekali, diselingi dengan suara nyanyi dan
tertawa, suara tepuk tangan dan percakapan. Akan tetapi, di
rawa itu tak satu pun cahaya atau orang kelihatan, tak sehelai
daun pun bergerak. Menyadari hal aneh itu, berdirilah bulu
roma Pangeran Muda dan dengan tidak sadar, mantra-mantra
pun mulailah dibaca. Kemudian dengan setengah berlari tapi
tanpa bunyi Pangeran Muda kembali. Akan tetapi, Pangeran
Muda tidak menemukan jejaknya dalam gelap itu.
Pangeran Muda terus-menerus berjalan, sementara di
belakangnya terdengar suara gamelan seolah-olah
mengejarnya. Berjalan dan berjalan terus-menerus, hingga
akhirnya Pangeran Muda kelelahan dan terduduk di tanah
yang basah. Telinganya terus-menerus mendengar irama
gamelan yang merdu yang kadang-kadang menjadi nyaring,
kadang-kadang melemah. Setelah beberapa lama beristirahat,
Pangeran Muda memaksakan diri berjalan kembali, tetapi tidak
dapat menemukan tempat kawan-kawannya bermalam.
Kemudian, setelah terdengar ayam hutan berkokok,
berhentilah suara gamelan itu. Maka heninglah rawa dan
semak-semak itu. Sementara Pangeran Muda terus-menerus
mencari tempat bermalam pasukan, dan ketika matahari
terbit, terdengarlah anggota pasukan berteriak-teriak
memanggil-manggil, 'Juragan! Juragan!"
Setelah menggabungkan diri kembali dengan pasukan,
seluruh pasukan mengelilinginya sambil bertanya-tanya.
Karena kelelahan dan masih belum mengerti persoalannya,
Pangeran Muda tidak banyak bercerita. Ia hanya mengatakan
tersesat dan kemudian meminta kepada petugas perbekalan
untuk memberinya minum dan pakaian yang kering. Setelah
itu tanpa banyak menyinggung-nyinggung soal itu, rombongan
pun kembali bergerak.
PADA hari kedelapan, dua hari sebelum pasukan
menyelesaikan tugasnya, di suatu tengah hari pasukan tiba di
tepi suatu rawa yang luas, yang di tengah-tengahnya terdapat
sebuah pulau. Pasukan melihat jejak kaki yang banyak sekali

di tepi rawa itu. Seraya memerhatikan jejak kaki itu Garda
berkata, "Ini bekas kawan-kawan kita, Juragan."
"Mungkinkah bekas kawan-kawan kita yang tewas di rawa
itu?"
Garda termenung sebentar, kemudian memandang ke arah
pulau yang ada di tengah rawa itu. Setelah beberapa lama ia
berkata, "Menurut keterangan orang yang selamat, memang
demikian. Mereka tiba di suatu rawa, kemudian ketika
menyeberang menuju suatu pulau, beberapa orang ada yang
menarik dari dalam rawa dan tidak dapat ditolong lagi."
Pangeran Muda memandang ke arah pulau yang berhutan
dan sunyi itu. Setelah beberapa lama ia mengusulkan kepada
Garda, bagaimana kalau mencari tempat menyeberang yang
lebih sempit daripada yang dihadapinya. Garda setuju dan
pasukan pun bergerak dengan mengendap-endap dan hatihati.
Mereka bergerak sepanjang pinggiran rawa seraya terus
memandang ke arah pulau yang mencurigakan itu. Tiba-tiba
Pangeran Muda melihat gerakan di balik semak pulau itu.
Bertepatan dengan itu seorang jagabaya melihat ke belakang
dan memberi isyarat bahwa ia melihat orang. Pasukan terus
bergerak perlahan-lahan, dan akhirnya menemukan tempat
menyeberang yang tidak terlalu luas. Dengan hati-hati,
mereka turun dan mulai melangkah ke tengah-tengah.
Tiba-tiba dari seberang terdengarlah teriakan peperangan,
dan bagai hujan, anak panah menghambur dan berdesing di
udara dan di antara semak-semak. Para jagabaya tidak gentar
menghadapi serangan itu, tetapi dengan semangat mereka
pun menyerukan teriakan peperangan dan bergerak dengan
gagah menuju lawan yang bersembunyi di balik semak-semak.
Anak-anak panah lawan yang mengenai tubuh mereka tidak
mereka hiraukan, karena di balik baju-baju mereka terdapat
zirah logam. Mereka bergerak terus, menuju lawan yang
bersembunyi di balik semak-semak. Seruan mereka yang
bersemangat bergema menenggelamkan teriakan-teriakan
lawan.

Akan tetapi, pada suatu tempat di rawa itu, tiba-tiba
seorang jagabaya jatuh. Mula-mula yang lain tidak
menghiraukannya dan terus berjalan, yang lain jatuh, dan
makin tengah, makin banyak jagabaya yang terjatuh hingga
akhirnya Garda berseru, supaya mereka berhenti. Ketika
mereka berhenti itulah baru mereka sadar bahwa dari dalam
rawa itu ada tenaga yang menarik tubuh mereka. Seolah-olah
berpuluh-puluh tangan siluman menarik untuk mengubur
mereka ke dalam lumpur itu.
Mengetahui akan hal itu, ketakutanlah para jagabaya itu.
Seorang mulai berteriak minta tolong dan berusaha kembali,
tetapi kakinya makin lama makin dalam terbenam. Demikian
juga, orang-orang yang pertama-tama jatuh sudah sampai
pinggang diisap oleh lumpur rawa yang menakutkan itu.
Pangeran Muda sendiri yang sudah menguasai pelajaran
bagaimana harus meringankan tubuh berjalan di rawa yang
dalam, sungguh susah mengatasi isapan lumpur rawa.
Pangeran Muda berseru, mewakili Garda yang dalam
ketakutan dan terkejutnya tidak dapat berkata apa-apa,
"Pegang semak-semak, pegang alang-alang!"
Beberapa jagabaya menurut perintah itu dan berpegangan
dengan erat, hingga badannya tidak terlalu mudah diisap oleh
lumpur itu. Akan tetapi, jagabaya-jagabaya yang berjalan
paling depan dan berjauhan dengan semak tidak dapat
berbuat apa-apa. Dengan susah payah dan ketakutan, mereka
berusaha menyelamatkan diri tapi sia-sia. Pangeran Muda
dengan sedih melihat ke arah mereka dan berpikir dengan
keras untuk menyelamatkan mereka dari siluman rawa yang
buas itu.
"Mundur!" kata Pangeran Muda pada jagabaya jagabaya
yang masih belum terisap oleh rawa itu. Dengan perlahanlahan
dan waspada terhadap anak-anak panah yang terus
menghujan, mereka mundur. Di tempat yang agak keras
Pangeran Muda melepaskan tali yang ada di pinggangnya, lalu
berseru kepada jagabaya yang paling depan yang sudah
terbenam hingga ke pundaknya.

"Tangkap!"
Tali itu melingkar di leher jagabaya itu, yang kemudian
memegangnya. Beberapa orang menarik jagabaya itu dengan
susah payah, kemudian mengeluarkannya dari dalam lumpur
dan menariknya ke tempat yang tidak terlalu berbahaya.
Berturut-turut prajurit-prajurit yang terancam bahaya itu
ditolong dan diselamatkan, untuk kemudian dibawa ke tempat
yang aman dari serangan-serangan anak panah lawan.
Akhirnya, seluruh pasukan dapat diselamatkan dan dengan
kelelahan mengundurkan diri ke tempat yang jauh dari rawa
yang menakutkan itu. Setelah napas mereka kembali tenang
dan setelah mereka mengatasi terkejut dan ketakutan,
berkatalah Garda, "Kita harus segera pulang dan melaporkan
segala yang terjadi."
Mendengar itu, berkatalah Pangeran Muda, "Tidak, kita
harus menemukan jalan menyeberangi rawa siluman ini."
Karena kepenasaran dan karena semangat berjuangnya yang
meluap. Pangeran Muda lupa, bahwa dalam pasukan itu
Gardalah yang menjadi pemimpin. Mendengar perkataan
Pangeran Muda yang tidak pada tempatnya itu, bangkitlah
Garda dan dengan tegas berkata, "Juragan tidak berhak
memberikan perintah dalam pasukan ini."
"Maaf, Garda, saya lupa, tetapi saya mengusulkan, agar
kita mencari jalan untuk menyeberangi rawa ini."
"Tidak, sudah terlalu banyak yang jatuh sebagai korban,
dan saya tidak mau anak buah saya mati tenggelam secara
hina. Saya rela kaiau mereka mati dengan senjata di tangan
setelah berjuang dengan gagah berani. Akan tetapi, saya tidak
rela kalau mereka mati dengan sia-sia di rawa siluman ini."
"Garda, tapi pasti ada jalan tempat menyeberang. Kalau
lawan bisa menyeberangi rawa ini, mengapa kita tidak?"
"Lawan sudah bersekutu dengan siluman dan kita tidak
akan dapat mengalahkannya," kata Garda dengan tegas.
'Jadi, apakah yang akan kaulaporkan pada perwiramu
sekembali dari tempat itu? Apakah akan mengatakan bahwa
kau takut dan tidak berusaha untuk mencari tempat

menyeberang? Akankah kau mengatakan bahwa kau tidak
sanggup setelah musuh berada di depanmu? Setelah kau
menghabiskan sejumlah besar bekal dan setelah seminggu
kau mengenakan baju zirah yang mahal, yang dibeli dan
dibiayai oleh rakyat kerajaan?"
Mendengar perkataan Pangeran Muda itu, Garda tertegun,
kemudian berkata, "Tidak, saya tidak mau diperintah oleh
orang yang tidak berhak atas pasukan ini."
"Garda, tapi saya ditugaskan oleh Panglima untuk
membantumu, itu berarti bahwa kau harus
mempertimbangkan setiap saran yang kusampaikan
kepadamu."
"Tidak!" Garda dengan keras membangkang.
"Jadi, dapat saya laporkan bahwa kau pengecut dan pantas
dipecat dari kedudukanmu dengan tidak hormat begitu kau
tiba di asrama. Juga kalian semua akan dipecat kalau kalian
menuruti kepengecutan bintaramu ini."
Mendengar itu pasukan kebingungan, sebagian berpihak
pada Garda, sebagian berpihak pada Pangeran Muda,
sebagian kebingungan. Sementara itu berserulah Garda,
"Sekarang bergeraklah kalian, untuk kembali ke pangkalan!"
Kebanyakan jagabaya bergerak, tetapi yang lain tidak,
sedang yang lain ragu. Garda melihat kepada mereka yang
ragu-ragu, lalu mendorongnya agar ikut berjalan dengan yang
lain. Karena orang itu kebingungan, orang itu tidak mau
bergerak, mungkin karena takut akan ancaman Pangeran
Muda bahwa mereka akan dipecat. Karena keragu-raguan
anak buahnya, naik pitamlah Garda. Didorongnya anak buah
itu hingga terjatuh. Pangeran Muda menahan Garda yang
akan menyepak ulu hati orang yang jatuh itu. Akan tetapi,
Garda malah membalik dan memukulnya. Untung Pangeran
Muda sempat merasakan terlebih dahulu gerakan tubuh Garda
yang dipegangnya ketika itu, hingga pukulan Garda menuju ke
tempat kosong. Sekali gagal Garda terus menghantam,
didorong oleh kemarahannya. Pangeran Muda menghindar
dengan dua langkah mundur kemudian bersiap-siap.

Melihat kejadian itu berkelilinglah para jagabaya
memerhatikan kelanjutan peristiwa itu. Pangeran Muda berdiri
dengan tenang tapi siap siaga, sedang Garda terengah-engah
memandangnya dengan mata merah dan kening yang
direntangi oleh urat-urat yang tegang. Tiba-tiba dia berkata,
"Rubuhkan dulu aku, baru kuanggap pasukan ini pasukanmu!"
"Saya tidak bermaksud menjadi pemimpin pasukan, tetapi
memperingatkan kepadamu bahwa kau dibiayai oleh kerajaan
dan rakyat Pajajaran untuk berusaha sebaik-baiknya
menyelesaikan tugasmu," belum Pangeran Muda selesai
berkata, Garda telah menyerangnya. Ia menyerang dengan
mengulurkan kedua tangannya yang besar-besar ke arah leher
Pangeran Muda. Barangkali ia beranggapan bahwa Pangeran
Muda yang berbadan Iampai dan jauh lebih kecil daripadanya
tidak akan berdaya kalau ditangkap dan dibantingnya. Akan
tetapi, ketika kedua tangannya yang besar-besar itu sudah
hampir mencapai Pangeran Muda, kedua tangan Pangeran
Muda diangkat ke atas, bersilangan dengan kedua tangan
Garda yang lurus ke depan. Kemudian dengan sekejap mata,
dengan mempergunakan berat badannya, Pangeran Muda
membuang tangan lawan ke samping kiri. Dengan keras tubuh
Garda berdebum jatuh di dekat kaki kiri Pangeran Muda.
Untuk memberi kesan bahwa rubuhnya Garda itu karena
kebetulan, Pangeran Muda tidak menyerangnya, tetapi
memberinya kesempatan untuk bangkit. Begitu Garda bangkit,
dengan deras ia menyerang kembali. Sekarang tangan
kanannya melayang ke arah bawah telinga kiri Pangeran
Muda, Pangeran Muda mengangkat tangan itu dengan tangan
kirinya, lalu menariknya ke bawah. Garda menarik tangan
kanannya yang ditahan oleh Pangeran Muda. Seluruh tenaga
Garda dipusatkan di tangan kanannya itu. Pangeran Muda
menyodokkan tangan kanannya ke bawah dada, lalu
membanting Garda ke arah kiri. Sekali lagi tubuh Garda
terbaring dekat kaki kirinya.
Pangeran Muda tidak menyerangnya, tetapi membiarkan
dia terbaring dan bangkit. Tiba-tiba Garda menyerang

kembali, menghambur sambil menyeruduk Pangeran Muda.
Pangeran Muda menghindar sambil menepuk tengkuk Garda
dengan tangan kirinya. Garda tersungkur dengan wajah
mencium tanah, tetapi tangannya sempat mencapai pakaian
hitam
Pangeran Muda yang robek karenanya. Ketika itulah para
jagabaya melihat pakaian putih Pangeran Muda dengan ikat
pinggang keemasan yang hanya dipakai oleh puragabaya atau
calon-calonnya. Hanya Garda tidak melihatnya karena ia tidak
dapat bangkit lagi, sebelum dua orang jagabaya
memapahnya.
"Dengarkan," kata Pangeran Muda kepada jagabayajagabaya
yang berkumpul di hadapannya. "Saya diberi tugas
untuk membantu bintara yang memimpinmu ini," sambil
berkata demikian ditunjuknya Garda yang masih terduduk, lalu
katanya pula, "Bintaramu itu terkejut dan kehilangan
semangat karena rawa siluman itu. Saya merasa berkewajiban
untuk membantunya dengan mengembalikan semangatnya
hingga tugas kita berhasil. Kalau ia tidak berani menyerang
musuh yang ada di seberang, kita semua berkewajiban
menjalankan tugas hingga berhasil. Kalian dapat memilih
anggota tertua dari kalian untuk memimpin."
Tak ada yang menjawab untuk beberapa lama. Kemudian
Garda bangkit.
"Saya sudah insyaf, dan bersedia menyerahkan pimpinan
pasukan kepada Juragan sebagai puragabaya," ujarnya
dengan tulus.
"Puragabaya atau bukan tidaklah perlu dipersoalkan, yang
penting kita sudah menemukan jejak lawan, dan barangkali
kita sudah sampai di tempat persembunyiannya. Kita harus
menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya."
Maka perundingan yang tenang pun mulailah dilakukan, di
bawah lindungan semak-semak bakau.
PANGERAN Muda mendapat keterangan bahwa siasat
lawan adalah siasat yang biasa dilakukan oleh pasukan yang
jumlahnya kecil. Mereka tidak pernah bersedia bertempur

secara terbuka dengan pasukan yang besarnya lebih dari dua
puluh orang. Biasanya mereka lakukan penghadangan, lalu
menghilang dengan cara yang sangat sempurna. Malam hari,
dengan rombongan lima atau sepuluh orang, mereka datangi
kampung-kampung, menakut-nakuti rakyat, mengambil
perbekalan, kadang-kadang menganiaya dan membunuh di
samping membagi-bagikan tulisan-tulisan yang umumnya
menjelek-jelekkan kerajaan atau memperingatkan penduduk
akan zaman Galuh yang jaya yang akan datang dalam waktu
dekat.
Dari penjelasan-penjelasan itu, Pangeran Muda dapat
memperkirakan bahwa paling banyak lawan berjumlah lima
puluh orang.
Mengenai persenjataan mereka Pangeran Muda pun tidak
merasa cemas. Panah-panah beracun adalah senjata utama di
samping tombak-tombak. Malam hari mereka mau juga
melakukan pertempuran dengan mempergunakan golok dan
badik. Akan tetapi, perkelahian seperti yang biasa dilakukan
tentara yang kuat, yaitu perkelahian dari tangan ke tangan
dengan mempergunakan senjata pendek atau tangan hampa,
tidak pernah mereka lakukan. Oleh karena itu, Pangeran Muda
menarik kesimpulan yang kedua, yaitu bahwa mereka
bukanlah tentara pilihan yang bermutu tinggi, tetapi tentara
biasa. Kalau selama ini mereka tampak kuat dan sukar untuk
ditundukkan, hal itu disebabkan tentara kerajaan menghadapi
kesukaran-kesukaran yang berupa hambatan-hambatan alam.
Alam ini juga memberikan tempat bersembunyi yang
sempurna bagi lawan.
Di samping mempertimbangkan kekuatan lawan, Pangeran
Muda pun mempertimbangkan kekuatan pasukan jagabaya
yang ada. Dua puluh satu orang jagabaya yang turut serta
adalah prajurit-prajurit pilihan yang berpengalaman di
beberapa medan pertempuran. Persenjataan mereka lengkap
pula, terutama terdiri dari senjata-senjata pendek, seperti
golok, kapak, pisau-pisau, dan baju zirah yang biasa
dipergunakan oleh pasukan pilihan. Dengan kekuatan pihak

sendiri seperti itu, asal saja tempat atau cara
penyeberangan.dapat ditemukan, Pangeran Muda
beranggapan, bahwa penyerangan yang dilakukan tidak akan
sia-sia. Kalau tidak dapat menghancurkan lawan sama sekali,
sekurang-kurangnya melumpuhkannya untuk waktu yang
lama.
Segalanya ini dijelaskan pada pasukan, kemudian
ditetapkan cara-cara penyelidikan yang akan dilakukan kalau
hari sudah gelap. Di antara cara itu adalah Pangeran Muda
akan mencoba menyeberangi rawa siluman itu dengan
bantuan dua orang jagabaya yang memegang tali ijuk.
Seandainya cara penyeberangan yang sebaik-baiknya dapat
ditemukan, maka malam itu juga pasukan akan menyeberang,
kemudian esok harinya subuh-subuh akan melakukan
serangan tiba-tiba. Setelah hal itu disetujui, pasukan pun
beristirahatlah, sambil membuka perbekalan dan menunggu
hari gelap.
Begitu malam turun, Pangeran Muda dengan diiringi oleh
Garda dan dua orang jagabaya bergerak kembali ke pinggir
rawa. Pada saat mereka tiba di pinggir rawa, sayup-sayup
terdengar suara orang di pulau itu. Pangeran Muda berbisik
kepada Garda, bahwa ternyata lawan tidak melarikan diri.
"Mereka menyangka kita pulang, Juragan Puragabaya," ujar
Garda.
"Bagus., mudah-mudahan kita dapat menemukan jalan
menyeberang, dan mudah-mudahan kau akan mendapat
penghargaan nanti," kata Pangeran Muda membesarkan hati
Garda. Sementara itu, mereka terus berjalan, dan akhirnya
Pangeran Muda mulai turun ke rawa itu dengan pinggang
diikat tali yang ujungnya dipegang oleh dua orang jagabaya.
Makin lama Pangeran Muda makin jauh ke tengah,
sementara itu Pangeran Muda tidak pernah keluar dari semaksemak.
Bukan saja untuk menghindarkan diri dari pandangan
musuh, akan tetapi terutama karena dekat semak-semak itu
lebih aman. Sekiranya lumpur mulai mengisap, Pangeran
Muda dapat menjangkau cabang-cabang semak itu.

Di samping seutas tali yang mengikat pinggangnya,
Pangeran Muda pun membawa seutas tali yang lain, yang
ujungnya diikatkan pada sebuah dahan yang bercabangcabang.
Dahan itu diikat, dengan harapan akan dapat
digunakan sebagai sangkutan seandainya dapat dilempar ke
seberang. Dengan perlengkapan itu, Pangeran Muda terus
maju, sementara itu kakinya makin lama makin sukar untuk
diangkat. Pada suatu saat tibalah Pangeran Muda di bagian
rawa yang tidak dapat lagi dipijak. Betapapun Pangeran Muda
berusaha untuk tegak, lumpur di bawah kakinya tidak dapat
dijadikan tumpuan. Maka Pangeran Muda pun terpaksa
merangkak, sementara jagabaya yang memegang tali juga
berusaha mendekatinya.
Pangeran Muda merangkak dan bergerak seperti orang
yang sedang berenang, tetapi lumpur itu ternyata tidak dapat
direnangi. Pangeran Muda seolah-olah ditarik oleh suatu
tenaga yang sangat kuat ke dalam lumpur itu. Melihat hal itu,
jagabaya yang ada di belakang Pangeran Muda berseru,
bertanya, apakah Pangeran Muda perlu ditarik. Pangeran
Muda menjawab tidak dan terus melemparkan dirinya ke
depan. Di hadapan Pangeran Muda remang-remang kelihatan
semak pulau itu, oleh karena itu semangatnya tidak patah
oleh tarikan lumpur itu.
Pangeran Muda terus merangkak, walaupun gerakangerakannya
tidak membawa kemajuan, dan bahkan makin
dalam membenamkan tubuhnya ke dalam lumpur. Pada suatu
saat, Pangeran Muda melemparkan cabang kayu yang terikat
pada tali yang dibawanya. Setelah habis melemparkan cabang
itu, begitu terasa betapa lumpur itu melulurnya dari bawah.
Pangeran Muda menggapai-gapaikan tangannya dan mulai
batuk-batuk karena air memasuki mulutnya. Jagabaya yang
memegang tali segera menariknya, dan dengan susah payah
mereka melepaskan Pangeran Muda dari pelukan lumpur itu.
Setelah berada di tempat aman, Pangeran Muda teringat
akan cabang dahan yang sekarang sudah ada di seberang.
Pangeran Muda segera menarik ujung tali yang satu. MulaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mula tali itu dapat ditariknya, akan tetapi kemudian sesuatu
menahannya. Cabang itu tersangkut. Pangeran Muda berdoa,
mudah-mudahan cabang itu tersangkut pada batang pohon
yang kuat, hingga dapat dijadikan penahan kalau Pangeran
Muda di atas lumpur menyeberangi rawa itu.
Setelah beberapa kali menarik tali yang menjadi tegang itu,
Pangeran Muda berpaling kepada Garda dan dua jagabaya
yang mengantarnya.
"Kalau saya tiba di seberang, saya akan menarik tali yang
diikatkan di pinggang saya tiga kali. Itu berarti saya selamat.
Nah, kalau demikian ikatkanlah tali itu di batang pohon di tepi
rawa. Saya akan mengikatkan ujung yang lain di seberang.
Mungkin saya akan kembali dahulu melalui tali yang sudah
direntangkan itu, mungkin saya akan terus menyelidiki. Apa
pun yang terjadi, janganlah pergi dari dekat kalian
mengikatkan tali di pohon itu." Setelah berkata demikian,
dengan berpegang pada tali yang satu, dan masih terikat oleh
tali yang lain di pinggangnya, Pangeran Muda mulai lagi
menyeberang.
Bagian rawa yang sukar sudah dilalui, tetapi makin dekat
ke pulau itu makin sukar lumpur direnangi. Pangeran Muda
berpegang pada tali dan sambil berdoa menariknya, hingga
badannya makin lama makin terdorong ke depan. Entah
berapa lama Pangeran Muda bergulat dengan tarikan lumpur
itu, akhirnya kakinya dapat berpijak, walaupun tidak kukuh.
Hati Pangeran Muda mulai lega, dan sambil berdoa terus
bergerak dan tidak melepaskan tali itu. Akhirnya, tanah keras
pun dicapainya, dan tibalah Pangeran Muda pada ujung
tambang dengan cabang yang terikat di ujungnya tersangkut
pada akar pohonan air. Akar itu sudah hampir putus karena
berat badannya.
Setiba di tanah yang kering, dan setelah menemukan
pohon yang agak besar, Pangeran Muda melepaskan tambang
yang terikat pada pinggangnya, lalu mengikatkan ujungnya
pada sebatang pohon erat-erat. Setelah itu Pangeran Muda
menarik tambang itu, menyentakkannya tiga kali, memberi

tahu kepada kawan-kawannya yang ada di seberang bahwa ia
sudah selamat. Setelah itu, tanpa beristirahat dulu Pangeran
Muda terus bergerak dengan hati-hati dan tanpa bunyi,
menuju ke tengah pulau. Setelah beberapa lama berjalan,
mulailah terdengarlah suara orang, walaupun samar-samar.
Pangeran Muda makin hati-hati, walaupun makin cepat
menuju ke tempat datangnya suara itu. Akhirnya, dilihatnya
cahaya.
Cahaya itu datang dari suatu api unggun yang dikelilingi
oleh beberapa belas orang laki-laki. Di atas unggun api itu
sedang dibakar seekor babi hutan yang besar. Di belakang
laki-laki itu, dalam cahaya remang-remang berdirilah gubukgubuk.
Dalam gubuk-gubuk itu terlihat pula cahaya lentera dan
gerakan-gerakan, tetapi Pangeran Muda tidak dapat melihat
apa yang dilakukan oleh penghuni gubuk-gubuk itu. Sambil
berdiri di tempat gelap Pangeran Muda mengambil
kesimpulan, musuh sudah merasa aman, hingga mereka tidak
berjaga-jaga lagi. Akan tetapi, hal itu dapat dimengerti karena
rawa yang mengelilingi tempat mereka itu begitu sukar
ditempuh, hingga karena nasib baik saja orang akan dapat
menyeberanginya.
Setelah puas mengawasi lawan yang tidak sadar akan
kehadirannya, Pangeran Muda mulai merenungkan siasat yang
akan dilaksanakannya. Seandainya lawan hanya berjumlah
dua puluh orang, Pangeran Muda dapat menyerang seorang
diri di dalam gelap itu. Akan tetapi, kalau lebih dari dua puluh
orang, mungkin Pangeran Muda justru akan menjadi korban.
Di samping itu, penyergapan bukan hanya dimaksudkan untuk
menghancurkan para pengacau, tetapi juga untuk mengetahui
latar belakang pengacauan itu sendiri. Oleh karena itu,
penyerangan malam hari yang penuh bahaya mungkin tidak
akan mencapai sasaran. Sebagian dari lawan mungkin akan
melarikan diri, dan bahan-bahan keterangan yang berharga
dapat dihancurkan terlebih dahulu. Dengan pertimbangan
demikian, beralihlah pikiran Pangeran Muda pada cara

penyeberangan yang akan dilakukan oleh pasukan yang
ditinggalkannya.
Bagaimanapun juga pasukan harus diseberangkan malam
itu juga. Akan tetapi, penyeberangan itu sukar sekali
dilakukan. Dan seandainya lawan mengetahui, korban-korban
akan jatuh. Akan tetapi, itulah satu-satunya cara yaitu,
menyeberang dengan bantuan tambang. Pangeran Muda
kembali ke tepi rawa, lalu dengan menyusur tambang yang
telah direntangkan sebelumnya menyeberang kembali ke arah
kawan-kawannya.
Penyeberangan kembali itu memakan waktu dan
melelahkan. Akan tetapi dalam perundingan, Garda yang telah
bangkit lagi semangatnya, menyetujui rencana penyeberangan
malam itu. Maka pasukan pun dipanggil ke tepi rawa, dan
Pangeran Muda menyeberang pahng dahulu.
Karena sukarnya, penyeberangan itu dilakukan dalam
waktu yang lama. Ketika tengah malam lewat, baru sepuluh
orang yang tiba di seberang, semuanya kelelahan dan pucat,
seolah-olah baru lepas dari bahaya maut. Walaupun sangat
lelah, Pangeran Muda tidak tinggal diam. Diselidikinya
sekeliling tempat itu, sambil selalu bertanya-tanya, bagaimana
caranya pihak lawan melakukan penyeberangan ke pulau
berhutan di tengah rawa yang berbahaya itu. Akan tetapi,
jawab pertanyaan itu tidak didapatkannya, lalu tidak menjadi
perhatiannya lagi. Yang menjadi persoalannya sekarang
adalah penyerangan yang akan dilakukannya subuh atau pagipagi
benar, ketika lawan belum bangun atau sedang tidur
pulas. Maka dikumpulkanlah anggota pasukan itu di. suatu
tempat, dan dalam gelap mereka mengadakan perundingan.
Pertama ditetapkan, mereka akan bergerak mendekati
tempat lawan, kemudian menetapkan dan membagi-bagi
sasaran penyerangan. Setelah itu mereka akan beristirahat,
hingga lawan semua tidur dan malam tidak terlalu gelap.
Setelah itu bergeraklah pasukan mendekati tempat lawan
yang ternyata belum semuanya tidur.

Di lapangan yang dikelilingi oleh gubuk-gubuk masih
terdapat empat lima orang di antara mereka sedang
mengobrol mengelilingi api unggun. Sementara itu, di dekat
mereka bergelimpangan kawan-kawannya yang tidur lelap.
Lawan yang masih jaga dan yang telah tidur itu dihitung, dan
ternyata berjumlah lima belas orang, Pangeran Muda
kemudian menghitung gubuk-gubuk yang ada di sekeliling
tempat itu, yang ternyata berjumlah delapan buah, dengan
dua buah lebih besar daripada yang lain. Pangeran Muda
memperkirakan pemimpin para pengacau itu tidur di salah
satu di antara gubuk-gubuk besar itu. Gubuk tempat
pemimpin itu harus segera ditemukan agar serangan yang
akan dilakukan mengenai sasarannya. Untuk tujuan itu
Pangeran Muda berunding dengan Garda.
"Garda, sekurang-kurangnya pemimpin pengacau ini harus
dapat kita tangkap hidup-hidup. Lebih banyak yang kita
tangkap hidup-hidup, lebih baik. Tentu saja kalau
penyerangan kita berhasil dengan baik," kata Pangeran Muda.
'Jangan takut, Juragan Puragabaya, anak buah saya
semuanya berpengalaman dan sudah biasa melakukan
penyergapan dan penangkapan hidup-hidup."
"Syukurlah kalau begitu, tetapi kita harus hati-hati karena
mungkin jumlah lawan lebih banyak daripada kita."
"Menurut perkiraan panglima, mereka tidak akan lebih dari
lima puluh orang. Di samping itu, mungkin sebagian sedang
berada di luar. Mudah-mudahan pemimpin pasukannya
sedang berada di sini," ujar Garda sambil tetap memandang
ke arah lawan yang beberapa orang masih belum tidur.
"Sebelum melakukan serangan, ,kita akan menghantam
penjaga dulu, setelah itu pasukan kita bagi ke sasaran masingmasing

dalam waktu yang sama."

0 komentar:

Posting Komentar

 
;