Sabtu, 17 Mei 2014

Wisanggeni 9

Gajah Watu merasa takjub akan peruntungan Geni. "Aku
pernah mendengar cerita guruku tentang kehebatan pendekar
Lalawa itu. Ia hidup lebih dari seratus tahun lampau, ilmunya
memang tinggi. Kau beruntung Geni, mewarisi ilmunya itu."
"Tapi paman, aku mengalami kesulitan yang tak bisa
kuatasi sampai saat ini. Setiap memainkan jurus Garudamukha
Prasidha aku tak bisa menggunakan tenaga Wiwaha.
Sepertinya tenagaku tersumbat Tapi kalau menggunakan
Garudamukha tingkat biasa atau ilmu dari guru Manjangan
Puguh, tenaga Wiwaha itu mengalir lancar tanpa hambatan."
"Geni, kau beruntung memperoleh ilmu paling handal dari
Lemah Tulis itu. Gurilmu Padeksa juga aku bahkan kangmas
Bergawa dan kangmas Branjangan selalu memimpikan ilmu
ini. Kalau saja kami terutama kangmas Bergawa berjodoh
memperolehnya, aku yakin malapetaka di Lemah Tulis itu tak
akan pernah terjadi."
Gajah Watu muram tiba-tiba ia sadar, mungkin
peruntungan Geni, merupakan pertanda awal bangkitnya
Lemah Tulis?
"Geni, selalu dalam melatih ilmu diperlukan pengenalan
mutlak terhadap ilmu itu sendiri. Apakah kau sudah mengenal
Prasidha mutlak, utuh dan tuntas?"
"Paman, aku memang sudah mempelajari tuntas Prasidha.
Tapi kau benar, paman, ada satu kalimat yang sampai
sekarang tak bisa kumengerti Aku rasa mungkin ini kunci
permasalahan mengapa tenagaku tak bisa mengalir lantar saal
memainkan Garudamukha Prasidha. Bunyinya begini,
Parahwanta Angentasana Dukharnawa, (Hendaknya aku

menjadi perahilmu menyeberangi laut kesusahan) mungkin
paman tahu artinya?"
Wisang Geni penuh harap kalimat itu akan terpecahkan
maknanya. Tapi sayang Gajah Watu pun tak bisa menembus
maksud kalimat itu. Gajah Watu memandang Geni dengan
gundah. "Agaknya kalimat itu sebuah perumpamaan yang
mengandung falsafah. Aku belum pernah mendengar
sebelumnya. Aku juga tak tahuapamalmakalimat itu, tapi akan
kupikirkan. Mungkin suatu hari kelak aku bisa menjawabnya."
Tanpa terasa hari sudah senja. Tak lama lagi matahari akan
tenggelam di peraduan. Baik Geni maupun rombongan Gajah
Watu sama-sama bertujuan ke puncak Mahameru.
Ranggawuni mengajak Geni untuk melakukan perjalanan
bersama. Tapi Geni menolak, dia lebih suka melakukan
perjalanan sendiri.
---ooo0dw0ooo---
Dendam Turun Menurun
Begitu tiba di kaki gunung, Wisang Geni pamitan pada
Gajah Watu dan rombongannya. Ada satu perasaan yang sulit
dilukiskan yang membuat dia merasa enggan berjalan
bersama-sama tiga bangsawan itu. Dia merasa lebih bebas
melakukan perjalanan sendiri. Apalagi dia juga tidak perlu
bergegas mengingat hari pertemuan Mahameru masih lama.
Malam itu ia tidur di atas pohon. Keesokan harinya dia
terjaga pada saat matahari sudah agak tinggi. Ia melanjutkan
perjalanan dengan melangkah santai. Siang hari ia tiba di
Ngadas, sebuah desa kecil di timur laut gunung Lejar dekat

kali Bango. Meski tergolong kecik tapi Ngadas adalah desa
yang padat penduduk.
Ketika sedang mencari warung makan, di tengah jalan
ilmum dia berpapasan dengan seorang lelaki. Geni merasa tak
asing melihat wajah tampan lelaki berusia lirnapuluhan itu.
Tapi ia lupa di mana pernah bertemu. Lelaki itu sudah agak
jauh saat mana Geni teringat siapa orangnya. Dialah lelaki
yang bergandengan mesra dengan Wulan di keramaian pesta
tahunan gunung Lejar. Tanpa sadar Geni berbalik arah,
mengikuti lelaki itu dari jauh.
Tak lama kemudian mereka tiba di luar desa. Lelaki itu
melesat cepat menggunakan ilmu ringan tubuh. Tak ayal Geni
pun menggelar Waringin Sungsang mengejar lelaki itu. Mudah
bagi Geni karena ternyata ilmu ringan tubuhnya masih satu
tingkat di atas lelaki itu. Namun ia tak berani terlalu mendekat
Lelaki itu tiba di tengah hutan. Dari jauh tampak
sekumpulan orang duduk-duduk. Khawatir kehadirannya
kepergok, Wisang Geni melesat ke kerimbunan pohon
menggunakan Waringin Sungsang yang paling handal. Dia
melesat dari pohon ke pohon tanpa menimbulkan suara yang
mencurigakan. Diam-diam dia bersyukur pernah melatih ilmu
ringan tubuh dengan mencontoh gerakan kera bermain di
pepohonan. Ternyata ilmu itu kini bermanfaat. Ia mengendap
di salah satu pohon terdekat yang memungkinkan dia melihat
dan mendengar dengan jelas.
Sampai saat itu dia masih belum sadar apa dan mengapa
alasan dia membuntuti dan mengintip lelaki itu. Pada awalnya
Geni hanya merasa ingin tahu, siapa lelaki yang sanggup
membetot cinta Wulan darinya. Dia juga berpikir adanya
kemungkinan lelaki itu menuntunnya ke tempat Wulan berada.
Namun setelah melihat situasi di tengah hutan itu, dia merasa
curiga Dia merasa aneh melihat banyak orang berkumpul di
tengah hutan. Jumlahnya sekitar limapuluh orang. Semua
mengenakan pakaian dan ikat kepala serba hitam

Lebih lanjut dia memerhatikan, rupanya lelaki yang
dibuntutinya adalah pemimpin. Orang-orang itu bangkit dari
duduk. Mereka berdiri sambil memberi hormat kepada lelaki
itu. Sesaat kemudian suasana lengang dan sunyi Seorang
lelaki tua tampil ke depan. Setelah memberi hormat kepada si
pemimpin, ia berseru, "Karena saudara ketua sudah tiba dan
hari sudah agak siang maka pertemuan dimulai. Silahkan
saudara ketua bicara"
Lelaki itu maju dan duduk di atas batu besar. Orang-orang
itu mengucap salam dan memberi hormat kepada ketuanya,
kedengarannya riuh. Suasana kembali hening saat si ketua
mengangkat tangan dan mulai bicara, suaranya tidak keras
tapi lantang dan jelas. "Saudara dan kerabatku, pertemuan
hari ini tidak akan lama. Aku hanya ingin mengetahui apakah
beberapa anggota sudah melaksanakan tugasnya dan apa
hasilnya? Apakah sudah menghubungi Ki Sempani dan
pendekar Sapikerep, dan juga bagaimana hasil penyelidikan di
Alas Irengan, apakah si Padeksa itu masih tinggal di sana?"
Tiga orang maju, mereka memberi hormat Salah seorang
melapor. "Saudara ketua, kami bertiga telah melaksanakan
tugas. Kami jumpa langsung dengan Ki Sempani dan dua
pendekar Sapikerep. Mereka bertiga berjanji menghadiri
pertemuan Mahameru dan mereka merasa gembira telah
diajak serta dalam upaya membasmi perguruan Lemah Tulis."
Setelah berkata demikian, mereka mundur ke dalam barisan.
Beberapa orang lain maju. Salah seorang melapor. "Kami
sudah menyelidik perdikan Lemah Tulis dan Alas Irengan. Tak
sejengkal tanah pun yang lolos dari pengamatan kami, tapi
Padeksa tak kami temukan. Di Lemah Tulis tak ada lagi murid.
Hanya orang-orang desa biasa. Di perdikan Alas Irengan, kata
orang di sana, sudah lima tahun lebih Padeksa bepergian.
Sepanjang perjalanan pulang kami mencari kabar, tetapi
Padeksa lenyap seperti ditelan bumi."

Ketua itu mengibas tangannya. Ia berseru, "Baik,
terimakasih kalian telah melaksanakan tugas. Rencana kita
tidak berubah. Aku harapkan Padeksa dan Gajah Watu akan
muncul di Mahameru. Kalau mereka muncul, kalian sudah tahu
bagaimana harus bertindak. Sekali ini mereka tidak boleh
lolos, harus mati!" Dengan penuh semangat dia melanjutkan,
"Kalian ingat, saat ini adalah saat kebangkitan perguruan kita,
inilah saat menentukan bagi kita semua untuk menebus malu
dan membayar hutang darah keluarga dan perguruan kita.
Tapi satu hal yang kalian tidak boleh lupa, perempuan
bernama Wulan itu sekali-sekali tak boleh dilukai. Ingat siapa
melanggar perintah ini, akan menerima pukulan Pitu Sopakara
dan itu berarti mati dengan tubuh hancur!"
Setelah melalui pembicaraan singkat yang hanya
menyangkut tata aturan perguruan, pertemuan kemudian
diakhiri. Semua orang termasuk ketua perguruan duduk
bersila dalam sikap semedi. Mereka seperti menggumam,
mulanya terdengar suara mendengung, suara makin lama
semakin keras sampai akhirnya mereka berteriak membahana,
"Turangga jaya!" Mereka bubar, satu demi satu meninggalkan
hutan.
Wisang Geni terpaku di atas pohon. Bulu kuduknya berdiri.
Tanpa sengaja dia menemukan keuntungan. Secara kebetulan
bisa menyaksikan sendiri pertemuan partai Turangga yang
sedang menyusun rencana jahat menghancurkan Lemah Tulis.
Bahkan secara tersembunyi orang-orang partai Turangga ini
mengincar nyawa gurunya, Padeksa dan Gajah Watu, dua
tokoh paling sepuh dari Lemah Tulis.
Untung Padeksa tidak ada di Alas Irengan. Tetapi ke mana
perginya? Geni risau memikirkan keselamatan Padeksa. Ia
berharap gurunya hadir di Mahameru supaya ia bisa
memastikan keselamatannya. Tetapi hati kecilnya berharap
Padeksa tidak hadir di Mahameru mengingat ancaman partai
Turangga. Tetapi kenapa harus takut? Apa hebatnya

Turangga? Dulu pun orang-orang hebat di Turangga tak ada
yang lolos dari kematian ketika Rama Balawan dan muridmurid
Lemah Tulis menyerbu dan membasmi habis perguruan
sesat itu.
Tetapi yang ditakuti Wisang Geni adalah musuh
bersembunyi dari tidak ketahuan identitasnya. Musuh-musuh
itu pasti akan menyerang, tetapi kapan waktunya dan di mana
tempatnya, adalah hal tersembunyi.
"Orang-orang itu tidak punya malu, mereka bisa
menghalalkan segala cara meskipun melanggar tatacarakependekaran.
Aku harus memberitahu guru dan semua
murid Lemah Tulis tentang ancaman tersembunyi ini. Tetapi
apakah aku masih punya kesempatan memberitahu mereka,
semoga aku akan bertemu guru dan paman Gajah Watu di
Mahameru nanti."
Di balik ketakutan akan serangan gelap musuh-musuhnya,
dia merasa gembira. Di Mahameru nanti kemungkinan besar
Sempani dan sepasang pendekar Sapikerep akan hadir. Dia
akan memanfaatkan pertemuan itu untuk balas dendam.
Dengan ilmu Wiwaha dia yakin akan sanggup mengalahkan
musuh-musuhnya. Geni tak pernah lupa cerita Padeksa. Tiga
nama itu masuk dalam rombongan yang
membumighanguskan Lemah Tulis. Hutang darah bayar
darah. Sempani, Bango Samparan dan Tambapreto dibantu
para punggawa mengeroyok mati Gubar Baleman dan Mahisa
Wlungan. Satu sudah mati, Tambapreto, tetapi Sempani dan
Bango Samparan masih hidup. Begitupun Sepasang Iblis
Sapikerep yang mengeroyok mati Kebo Jawa, adik perguruan
ayah Geni.
Jantung Wisang Geni berdegup kencang. Hari pembalasan
sudah dekat. Tubuhnya menggigil menahan geram. Namun ia
sadar, ia belum tahu seluruhkekuatan lawan. "Aku harus hatihati,
tidak boleh memandang enteng lawan."

Geni melihat sekeliling. Sunyi, tak ada orang. Sesaat ia
berpikir, menculik salah seorang lawan yang lemah untuk
diperas rahasianya atau membuntuti ketua Turangga itu.
"Siapa tahu Wulan dalam bahaya besar?"
Berpikir begitu Geni segera menggelar Waringin Sungsang
mengejar ketua Turangga. Tak lama kemudian ia melihat
sosok lelaki yang dicarinya. Rupanya ketua Turangga itu tidak
bergegas. Geni membuntuti dari jauh. Ia sampai di desa.
Lelaki itu menuju sebuah rumah besar di pinggiran desa.
Rumah dikelilingi pagar bambuyang tinggi sehinggakegiatan
apa pun yang terjadi di balik pagar itu, tidak akan terlihat dari
jalanan.
Geni memandang keliling. Dekat rumah itu ia melihat
sebuah pohon cemara besar yang menjulang tinggi Tak ayal
lagi Geni melesat memanjat pohon. Dari ketinggian itu ia bisa
leluasa melihat lintas pagar. Rumah itu besar, pekarangannya
luas. Tak heran kalau banyak penghuninya. Geni mencium
sesuatu yang kurang wajar. Semua orang berpakaian rombeng
seperti pengemis.
Geni melihat dua pengemis keluar dari rumah. Mereka
berlari menuju ke arah Timur. "Aku punya akal," gumam Geni.
Cepat ia melompat turun membuntuti dua pengemis. Dari
gerakannya tampak kepandaian mereka rendah. Sesampai di
luar desa, di tempat sunyi, Geni menyerang. Cepat dan
telengas. Hanya dalam satu gebrakan saja dua pengemis itu
bisa dilumpuhkan. "Aku akan bertanya dan kalian harus
menjawab jujur. Awas, kalau jawaban kalian tidak sama, itu
berarti kalian berbohong. Hukumannya, kalian mati tersiksa,
lihat ini!" '
Berkata demikian sambil mengerahkan tenaga panas Geni
mencengkeram pohon kecil yang ada di situ. Seketika saja,
pohon itu layu dan kering. Pengemis yang muda usia
memandang dengan ketakutan sedang yang tua tampaknya
tidak gentar.

Geni tersenyum dingin. Ia mencengkeram lengan pengemis
tua yang seketika juga menggigil kedinginan. Saat berikut
wajahnyamerah kepanasan, keringat membasahi tubuhnya.
"Kamu rupanya mau menderita panas dingin bergantian
seilmur hidupmu, tak akan ada obat pemunahnya. Aku adalah
raja racun yang paling ganas di kolong langit. Kalau itu
mailmu maka aku tak punya pilihan lain."
Pengemis tua itu ketakutan. "Jangan, jangan!"
Geni memisahkan dua orang itu, jaraknya cukup jauh
sehingga satu sama lain tak bisa saling mendengar. Dia
bertanya pertanyaan yang sama kepada dua pengemis itu.
Dari jawabannya dia bisa meneliti mereka berbohong atau
menceritakan hal yang benar. Setelah memperoleh
banyakketerangan, Geni melepas dua pengemis itu. Ketika
mereka melangkah, mendadak Geni melayangkan pukulan.
Lawan jatuh tertelungkup. Dua pengemis itu kaget. Geni
tertawa. "Tidak! Aku tidak membunuh kalian. Itu pukulan
ringan, tapi kalian sudah kena racun panas. Kalian bisa
sembuh dengan sendirinya apabila pergi dari sini dan tinggal
di daerah dingin di lereng gunung, lebih cepat lebih baik
sebelum racun itu mengganas."
"Tetapi kami..."
"Tidak perlu takut, kalian tidak akan mati kalau menuruti
apa kataku. Pergilah ke lereng gunung, tinggal di sana selama
satu bulan, maka kalian akan sembuh. Jika tidak pergi
sekarang, aku khawatir terlambat dan kalian akan mati
tersiksa."
Dua pengemis itu pergi bergegas. Geni tertawa dalam hati.
Ia mengusir dua pengemis agar mereka tidak membocorkan
rahasia. Dari keterangan yang diperoleh Geni mengetahui
rumah itu milik Ki Demung Pragola, tokoh sakti ketua
perguruan Daridra. Dua hari lagi di rumah itu akan
diselenggarakan pesta kawin Pengantin pria adalah Ki Jaranan
ketua partai Turangga, sahabat Ki Demung Pragola.

Siapa si pengantin wanita, pengemis itu tidak tahu karena
belum pernah melihat wajahnya. "Tetapi menurut kawankawanku
si pengantin sangat cantik," tutur si pengemis. Tapi
pengemis muda merasa ada yang aneh karena sempat
mendengar isak tangis dari balik jendela kamar pengantin.
Mendengar pengakuan pengemis itu, Geni merasa ada sesuatu
yang tidak wajar. Ia bertekad menyelidiki. Menanti sampai hari
gelap, Geni menyelinap lewat pagar.
Geni beruntung, malam itu bulan bersembunyi di balik
awan tebal. Keadaan agak gelap. Dia menggunakan Waringin
Sungsang menyelinap mendekati kamar pengantin.
Sebagaimana cerita pengemis itu, ada dua pengawal yang
menjaga di sekitar jendela kamar. Geni menanti kesempatan.
Begitu dua pengawal berbalik badan, ia melesat cepat Ia
menggunakan jurus paling handal dari Waringin Sungsang
hingga gerakannya cepat bagai siluman serta jurus
Garudamukha agar sekali gebrak dua lawan roboh. Ia tak mau
ambil resiko. Dua lawan itu jatuh lemas. Ia menahan tubuh
mereka agar tidak menimbulkan suara.
Dia mengendap di bawah jendela. Dia mendengar
percakapan lelaki dan perempuan. Suara lelaki dikenalnya
sebagai ketua partai Turangga. Tetapi dia merasa seperti bumi
yang dipijaknya amblas, saking terkejutnya. Dia mengenal
suara perempuan itu, suara Wulan, "Kangmas, cukup, tapi...
oh... jangan."
Geni bergerak pelan-pelan menjaga agar tak ada suara
sekecil apa pun, dia mengintip. Dilihatnya lelaki itu sedang
menggilmuli perempuan yang dari suaranya sudah pasti
Wulan. Keduanya berpelukan. Lelaki itu menciumi wajah dan
leher Wulan. Perempuan itu menggeliat Keduanya berciuman.
Tangan lelaki itu menjamah dan mengelus buah dada Wulan.
Nafasnya memburu
Saat itu Geni merasa ulu hati seperti ditikam belati Perlahan
ia beringsut dan mengendap pergi Ia tak pernah

membayangkan Wulan bercinta dengan lelaki lain. Dan lelaki
itu adalah orang yang sedang menyusun rencana membunuh
Padeksa, Gajah Watu, serta menghancurkan Lemah Tulis. Ia
sudah hampir ke luar pagar ketika samar-samar mendengar
jeritan. Ia memasang telinga, suara datang dari arah kamar
pengantin. Apakah Wulan? Ketika suara terdengar lagi, dia
yakin itu suara Wulan. Kenapa? Apakah Wulan dalam bahaya?
Apakah ia perlu kembali? Tanpa sadar Geni kembali ke
jendela.
Ia melihat pemandangan aneh. Wulan berontak. "Jangan
Mas, cukup, jangan dilanjutkan." Tetapi ia tak berdaya, si
lelaki punya kekuatan lebih. Lelaki itu menggilmuli, memeluk
kasar, tangannya merambah kasar tubuh Wulan. Pakaian
Wulan sudah berantakan, tidak utuh lagi, banyak bagian yang
sudah tercabik-cabik. Ia nyaris bugil.
Si lelaki terengah-engah berkata dengan nada tinggi,
"Kenapa kau menolak, Wulan. Kau tahu betapa cintaku
padamu, aku kasmaran, aku tak bisa hidup tanpa kamu. Dari
dulu sejak masih di Lemah Tulis, aku sudah mencintaimu, kau
tahu itu kan. Dulu kita pernah bercinta, berulang kali aku
menidurimu, tetapi belakangan kamu selalu menolak, kau
mengulur-ulur waktu, menunda-nunda! Kenapa? Apakah ada
lelaki lain?"
"Kangmas, jangan berkata demikian. Sekarang ini aku
belum siap, aku belum bisa...."
"Wulan aku tak bisa bersabar lagi, sudah bertahun-tahun
rindu dan cintaku ini kupendam, dan ini sangat menyiksaku,
Wulan maafkan aku, malam ini aku akan mengambil hak
milikku atas tubuhmu meskipun aku harus memaksamu."
"Kamu tak punya hak atas diriku, aku belum menjadi
isterimu."
"Sebenarnya aku tak memerlukan upacara Dunia
kependekaran tak memerlukan upacara kawin, dan upacara

besok hanya untuk memperlihatkan kepada semua orang
bahwa kamu sudah resmi milikku. Besok malam kita rayakan
upacara, tapi malam ini aku bersenang-senang dulu dan kamu
harus melayaniku Wulan, kamu tak perlu pura-pura tidak mau
karena sebelumnya aku sudah berulangkali menidurimu,
bahkan waktu itu kamu menjerit saking bahagianya"
"Itu dulu, Mas. Sekarang tidak lagi. Jika kau jamah tubuhku
lagi, aku akan bunuh diri, aku bersungguh sungguh Mas"
"Kamu ngaco, bagaimana mau bunuh diri, menggerakkan
tenaga saja kau tak bisa. Lagi pula setelah malam ini aku akan
menjagamu siang dan malam, jika kebetulan aku keluar
rumah maka ada anak buahku yang menjagamu, dan agar
supaya kamu benar-benar jinak maka aku tak akan memberi
obat pemunah, untuk selamanya tenagamu tak bisa pulih "
"Mas, apa enaknya kamu mengawini aku dalam keadaan
lemah tak punya tenaga seperti ini. Mengapa tidak kau
sembuhkan aku, kemudian beri aku kesempatan satu bulan
untuk berpikir."
"Tak ada waktu lagi. Malam ini aku harus menikmati
tubuhmu, besok malam upacara kawin, setelah itu kita berdua
menuju Mahameru sebagai pasangan suami isteri. Opo ora
hebat?"
Geni melihat lelaki itu merobek kebaya Wulan yang
memang sudah compang camping. Ketua Turangga itu
tertawa,"Wulan kamu cantik dan sungguh montok, aku makin
terangsang."
Tidak bisa menahan sabar Geni menghantam jendela
menerobos masuk. Ia melihat pemandangan yang
membangkitkan amarahnya. Wulan terbaring di dipan,
tubuhnya hampir bugil, dua tangannya berusaha menutupi
buah dada. Celana panjangnya robek, kelihatan pangkal
pahanya. Rambutnya yang panjang riap-riapan. Wajahnya
pucat, airmata membasahi pipi. Ia gembira melihat ada

seseorang yang menolongnya. Ia tak kenal Geni, karena sejak
keluar dari jurang Geni belum memangkas rambut, brewok
dan kumisnya yang acak-acakan tak terurus.
Geni tak sempat mengawasi lama-lama karena saat itu
terdengar bentakan. Lelaki bernama Jaranan itu gesit
melompat dan menyerang Geni. "Siapa kamu, berani lancang
masuk kamarku!" Tak cuma membentak, ketua partai
Turangga itu menyerbu dengan serangan ganas. Geni
mencium hawa pukulan berbau busuk. Ini pasti pukulan
beracun dan ganas. Tak ayal lagi Geni menggelar Bang Bang
Alum Alum dengan tenaga inti Wiwaha. Bentrokan tak
terhindar, keduanya mundur selangkah. Ternyata ketua
Turangga ini ilmunya jauh lebih hebat dari yang dibayangkan.
Tadinya Geni agak memandang enteng karena melihat ilmu
ringan tubuhnya yang tak begitu handal.
Saat berikut keduanya terlibat tarung lagi. Cepat, ganas
dan berkekuatan dahsyat. Sekejap saja kamar itu dibuat
berantakan. Beberapa jurus sudah lewat Pertarungan makin
beringas. Geni lebih unggul dalam ringan tubuh dan tenaga
pukulan. Tetapi dari kematangan jurus, ketua Turangga lebih
unggul.
Suara hingar bingar di kamar memancing orang
berdatangan. Seorang lelaki berjenggot putih menerobos
masuk. Ia tertegun sesaat kemudian membentak, suaranya
mengguntur, "Hentikan! Siapa orang ini?" Dua lelaki itu
memisahkan diri. Geni mundur ke dekat Wulan yang sibuk
menutupi tubuhnya dengan kain seprei.
Geni menatap orang tua itu dengan tajam Wajah lelaki itu
tampak teduh dan berwibawa. Jenggot dan kumisnya
menyatu, putih. Tubuhnya tinggi tegap. Pakaian penuh
tambalan tetapi bersih. Dari sinar matanya yang bening dan
sikap berdirinya, Geni yakin ilmu silat orangtua itu cukup
tinggi. Geni memberi hormat "Maaf aku terpaksa masuk kamar
ini karena mendengar suara jerit perempuan minta tolong."

Tiba-tiba Wulan berteriak "Geni, kau Wisang Geni, oh jagad
dewa batara terima kasih." Ternyata sekilas menyaksikan
jurus Bang Bang Alum Alum dimainkan ia sudah curiga.
Setahunya hanya tiga orang di dunia yang mahir memainkan
jurus gunung Merapi itu, Ki Sagotra, Manjangan Puguh dan
Wisang Geni. Tetapi penampilan Wisang Geni yang mirip
pengemis berewok membuatnya bingung. Wulan segera
mengenali Geni dari suaranya. Suara yang sering
dikenangnya. Geni memandang Wulan dengan sinar mata
bahagia Ia gembira karena meskipun pakaian dan dandanan
kumal macam pengemis, Wulan bisa mengenalinya Itu artinya
Wulan tak pernah melupakannya. Ingin Geni memeluk
perempuan yang dicintainya itu. Tetapi ia menahan diri.
Bahaya masih mengancam.
Wulan membalas tatapan Geni dengan sinar mata berbinar
dan hati berbunga Tak sehari pun berlalu tanpa ia memikirkan
Geni kekasihnya Malam ini, ia menolak si pengantin pria juga
sebab teringat akan Geni. Di luar dugaan justru lelaki yang
datang menolongnya adalah Wisang Geni. Ia senang. Namun
berbarengan hatinya ketar ketir memikirkan keselamatan Geni.
Setahu dia, ilmu silat Wisang Geni tak mungkin bisa
menandingi kepandaian lelaki itu. Karena lelaki itu adalah
paman guru Geni, yakni Lembu Agra Apalagi orang-orang di
rumah itu semuanya pendekar berilmu tinggi. Tidak mungkin
Geni bisa lolos begitu saja dari kepungan orang-orang itu.
Pada saat itu seorang gadis kecil menerobos masuk kamar.
"Kakek ada apa? Kenapa pengantin berkelahi?"
Jaranan tadi sempat melihat bagaimana pandangan Wulan
terhadap pengemis berewok itu. Ia juga menangkap getar
suara Wulan ketika menyebut nama Wisang Geni. Sesaat ia
tahu, Wisang Geni adalah putra Gajah Kuning dan Sukesih.
"Rupanya laki-laki ini yang sering disebut-sebut Wulan. Kurang
ajar!"

Tiba-tiba ia merasa tak bisa menahan diri lagi, hatinya
dibakar cemburu. Ia menyerang Geni dengan hebat
Pukulannya mengancam dada, ulu hati, pelipis dan leher.
Semuanya titik kematian. Pukulannya ganas dan telengas.
Sebelum serangan tiba, Geni telah menemukan jalan keluar
dan situasi yang tak menguntungkan. Begitu diserang, ia
justru melihat adanya kesempatan. Ia bergerak secara
naluriah dengan jurus Antarlina dari Waringin Sungsang,
tubuhnya seperti lenyap dari pandangan. Tak berhenti di situ
saja, sambil mengelak ia menyerbu ke depan dengan jurus
Warajangungas (Anak panah menembus) dari Garudamukha,
sasarannya orang tua berjenggot putih itu.
Si orang tua mendengus dan menyampok sambil balas
menendang. Angin pukulan dan tendangannya mengeluarkan
hawa panas. Tetapi Geni tak meladeni. Tujuannya lain,
serangan kepada si orangtua hanya siasat. Geni berlaku
nekad. Kesempatan ini sangat kecil, tetapi harus digunakan.
Geni mengelak dari tendangan lawan dan sengaja menerima
sampokan orang tua itu di pundaknya.
Pada saat sampokan mengenai pundaknya, Geni melempar
tubuh ke sisi orang tua. Ia menyergap si gadis kecil! Orang
tua itu sadar tetapi sudah terlambat! Begitu juga Ki Jaranan.
Gadis itu memapak Geni dengan tusuk konde panjang yang
digenggamnya sejak memasuki kamar. Geni mengibas.
Lengan si gadis kesemutan dan tusuk konde itu terlempar.
Geni melejit ke samping dipan berada di dekat Wulan, ia
mencekal leher si gadis. "Kalian mundur semua, aku tak ingin
mencelakai gadis ini, jangan paksa aku membunuh anak tak
berdosa ini!"
Orang tua itu marah besar, wajahnya merah marong. "Hei
sedikit saja kau sakiti cucuku, jangan harap kamu lolos dari
siksaanku! Aku Demung Pragola akan melumat tubuhmu."
"Kamu tenang saja Ki Demung. Aku hanya ingin membawa
kawanku ini pergi dari sini tanpa diganggu anak buahmu

Kalian tak boleh menghalangi kami. Ki Demung jika masih
mau melihat cucilmu hidup, sekarang juga perintahkan anak
buahmu menjauh."
Demung Pragola segera memerintahkan anak buahnya
keluar dan menjauh dari kamar. Saat itu terdengar Jaranan
tertawa. "Kamu pasti Wisang Geni, putra kangmas Gajah
Kuning dan mbakyu Sukesih. Kau sudah dewasa bahkan
berpakaian macam pengemis, tentu saja aku tak mengenali
keponakanku sendiri. Tentu saja kamu tak mengenalku, aku
pamanmu, Lembu Agra. Nah, lepaskan gadis kecil itu dan
semua urusan bisa kita selesaikan dengan aturan"
Wisang Geni terkesiap. "Inikah Lembu Agra, adik perguruan
ayahnya. Dan kakak perguruan Wulan? Lembu Agra murid
Bergawa. Tetapi bagaimana mungkin ia bisa jadi ketua partai
Turangga dan bernama Jaranan? Lantas apa hubungannya
dengan musuh perguruan, Sepasang Iblis Sapikerep dan
Sempani? Dan kenapa ia berniat membunuh guru Padeksa?"
Ketika itu Lembu Agra alias Jaranan melangkah maju. Geni
berseru "Awas, sekali pencet leher gadis ini remuk!"
Demung Pragola berseru, "Ki Jaranan, jangan mendekat!"
Lembu Agra berhenti dan mundur kembali ke tempat ia
berdiri.
Pragola berkata perlahan namun sangat berwibawa. "Kalian
semua diam di tempat, jangan bergerak. Ikuti apa maunya.
Geni, namamu Geni ya, kamu putra Gajah Kuning dan
Sukesih, mereka adalah sahabatku, lepaskan cucuku itu, aku
jamin kalian berdua akan meninggalkan rumah ini tanpa ada
yang menghalangi. Ini semua kan persoalan Lemah Tulis, tak
ada hubungan dengan aku, hayo Wisang Geni lepaskan
cucuku!"
Geni masih bingung, tapi cekalan pada si gadis tetap erat
Malah sebelah tangannyayang lain berada di atas ubun-ubun
kepala si gadis. Seperti ancaman! Sekali tangan itu turun

maka batok kepala cucu Ki Demung Pragola berantakan.
Melihat Geni dalam keadaan bingung, Lembu Agra
mempersiapkan suatu serangan maut. Untuk itu ia hanya
memerlukan kelengahan Geni. Lengah sesaat saja! Itu saja
yang diperlukan. Ia berusaha memecah perhatian Geni.
"Wisang Geni, kau harus tahu, yang kau hadapi ini, Ki
Demung Pragola, sahabat baik ayah dan kakek gurilmu Kamu
tak pantas mengancam cucunya, lepaskan saja. Lagipula
urusanku dengan Wulan adalah urusan pribadi, kami berdua
akan menikah, kamu sebagai keponakan murid tak pantas ikut
campur."
"Omongan apa itu, aku memang putra ayahku, tetapi kamu
murid paman Bergawa, aku murid guru Padeksa, artinya kita
sederajat, aku bukan keponakanmu dan kamu bukan
pamanku!"
Saat itu Wulan berseru, "Ki Demung, aku tak mau tinggal di
sini, aku mau ikut Wisang Geni pergi dari sini." Lalu ia berseru
kepada Geni. "Kamu jangan lepaskan gadis kecil itu, dia
adalah kunci untuk kita meloloskan diri. Sekarang bawa aku
keluar dari tempat ini."
Dalam keadaan bingung, tak bisa mengambil keputusan,
Geni gembira mendengar perintah Wulan. Tak ragu lagi, ia
membentak Lembu Agrayang dari tadi bersiap-siap akan
menyerangnya. "Kamu menyingkir jauh-jauh, kalian semua
menyingkir ke dinding sana. Wulan mendekat kemari! Ki
Demung, aku mohon maaf atas kelancanganku, aku hanya
membawa adik kecil ini sampai di batas desa, tolong kamu
siapkan dua ekor kuda buat kami, begitu kami sudah bebas
dan tidak diikuti, maka adik kecil ini akan segera aku serahkan
padamu”
"Geni kamu jangan nuiu mani denganku, seujung rambut
cucuku copot, nyawamu jadi ganti!"
"Tidak usah khawatir, akan kutepati janjiku!"

Orang-orang itu patuh pada perintah Ki Demung, mereka
tidak merintangi kepergian Geni dan Wulan. Tiba di batas
desa, Geni memanggil empat orang anak buah Ki Demung
yang membuntuti dari jauh. Ketika hendak kembali ke
rombongan, si gadis kecil menatap Geni. "Apakah benar kamu
akan membunuh aku seandainya keadaan tidak
menguntungkan kamu?"
Geni tersenyum, mengusap kepala si gadis. "Aku belum
pernah membunuh orang tak berdosa, apalagi adik kecil yang
manis seperti kamu. Jika keadaan tidak menguntungkan
mungkin aku akan mendorong kamu kepada kakekmu,
selanjutnya terserah pada nasib keberuntunganku."
Gadis itu belum mau pergi. Ia bertanya pada Wulan. "Bibi
kenapa kamu membatalkan perkawinan?"
Wulan memeluk si gadis. "Orang kawin itu harus suka sama
suka, tak boleh main paksa."
"Jadi bibi tak suka pada paman itu, lalu paman mau
memaksa bibi, kemudian paman yang ini datang menolong
bibi?" Gadis kecil itu tersenyum Wulan juga tersenyum dan
mengangguk. Si gadis kecil pergi diiringi empat pengawal itu.
Suasana malam sepi dan lengang. Geni menatap Wulan. Ini
dia perempuan yang paling ia rindukan selama ini Wulan
menangkap pancaran kehangatan cinta dalam sinar mata
Geni. Tanpa sadar ia menghela napas panjang. Wulan
merunduk,
Geni memegang lengan perempuan itu. "Kenapa Wulan,
kamu menyesal meninggalkan dia?"
Wulan memegang ujung kain seprei yang membungkus
tubuhnya. "Sudah berapa lama kau berada di luar jendela?"
Geni menatap Wulan "Lama. Aku tadinya sudah pergi
setelah melihat kau berpelukan dan berciuman, aku cemburu.
Tetapi aku kembali lagi karena mendengar suara jeritanmu."

Wulan menatap Geni dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tak menyesal meninggalkan Lembu Agra, lagipula setelah
kejadian itu aku tak akan bisa memaafkan dia. Aku
berterimakasih padamu, Geni, nanti setelah aku sembuh dan
tenagaku pulih, kamu boleh pergi tinggalkan aku."
"Lho kenapa begitu?"
"Kamu kan sudah mendengar semua apa yang diucapkan
Lembu Agra. Ia telah meniduri aku, berulang-ulang."
Geni bertanya spontan, "Kamu menyukainya?"
Wulan menggeleng kepala. Namun sebelum dia menjawab,
Geni memegang lengannya. "Kita harus cepat pergi dari sini,
sebelum mereka datang mengejar."
Keduanya melecut kuda menembus kepadatan hutan. Sinar
rembulan samar menerobos pepohonan, namun tak cukup
terang. Kuda tak bisa berlari cepat karena Wulan yang
tenaganya belum pulih tampak kesulitan. Ia bahkan
terhuyung-huyung. Melihat itu Geni tak sampai hati Ia
menghentikan kuda. "Wulan, kita naik seekor kuda saja,
satunya lagi dituntun, biar lebih cepat"
Wulan diam saja ketika Geni membopongnya. Berjalan
beberapa langkah, Geni memeluk lebih erat. Ia merasakan
tubuh montok yang lunak, tubuh perempuan yang sudah lama
ia rindukan. Ia memeluk lebih erat lagi. Wulan membalik
tubuh, pahanya di atas paha Geni, tangannya menggelayut di
leher Geni. Ia menatap lelaki itu dengan sinar mata penuh
bara cinta. "Keadaan masih berbahaya, sewaktu-waktu
mereka bisa mengejar kita, aku sekarang tak punya tenaga
terkena racun pelemas tulang."
"Baik, kita cari tempat yang sunyi, nanti aku akan
membantu mengeluarkan racun dari tubuhmu."
"Peluk aku, Geni, bawalah ke mana kamu mau membawa
diriku." .

Hati-hati dan waspada, Geni mengendalikan kuda
menembus kegelapan hutan. Malam itu bagi sepasang kekasih
itu suatu malam yang tak mungkin dilupakan. Tengah malam
di tengah hutan Geni menghentikan kudanya, mereka sudah
jauh dari desa tadi. Geni turun dari kuda kemudian melecut
dua ekor kuda itu yang kontan berlari cepat. Wulan tak
bertanya, ia mengerti Geni sedang menyesatkan lawan. Jika
lawan mengejar, mereka akan melacak jejak kuda dan
memburu kuda tanpa tunggangan itu.
Keduanya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, ke
arah lain dari yang ditempuh dua kuda tadi. Geni membopong
kekasihnya. Wulan menggelayut manja, kepalanya rebah di
dada bidang sang kekasih. Tak lama kemudian, keduanya
istirahat Di tengah gelapnya hutan, Geni memeluk dan
menciumi kekasihnya. Dua insan itu bergilmul dalam panasnya
birahi.
"Apa kau merindukan aku, Geni?"
"Oh Wulan, tiada hari tanpa aku merindukan kamu."
"Geni, apakah kamu masih mencintaiku setelah mengetahui
kisahku dengan Lembu Agra?"
Geni mencium mulut Wulan. "Aku sangat mencintaimu,
tetapi aku juga sangat cemburu dan kesal."
Wulan berbisik lirih, "Geni, setelah berpisah dengan kamu,
secara kebetulan aku bertemu Lembu Agra. Aku ingin
melupakan kamu, itu sebab aku menjalin hubungan dengan
Agra."
Dengan nafsu birahi membara, Geni memeluk erat
kekasihnya. "Aku tak mau mendengar itu, biarkan itu berlalu
Wulan."
"Tidak Geni. Kamu harus mendengarkan ceritaku, agar
kamu bisa menentukan sikapmu. Dengarkan aku Geni.

Sekarang ini aku sudah tahu, sudah yakin bahwa aku hanya
mencintai kamu, tetapi kamu harus mendengarkan ceritaku."
Ia berbisik di telinga kekasihnya. "Wulan, masih banyak
waktu untuk menceritakan itu." Ia melepas seprei yang
membungkus tubuh molek itu, mencium semua bagian
tubuhnya. Perempuan itu menggelinjang, bibirnya bergetar.
"Cintailah aku, oh betapa aku merindukan kamu, Geni, aku
mengingatmu selalu."
Keduanya bergilmul dan berpelukan sampai fajar
menyingsing. Malam itu mereka temukan lagi pesona cinta
dan panasnya birahi yang tadinya pernah diselimuti keraguan.
Geni pernah begitu sengsara dan cemburu melihat Wulan
digandeng seorang lelaki di pesta tahunan gunung Lejar.
Sampai tadi pun Geni masih bimbang dan meragukan cinta
Wulan. Ketika ia melihat Wulan dan lelaki itu berpelukan dan
berciuman di kamar pengantin, ia merasa dunia kiamat Tetapi
keajaiban saja yang menuntunnya kembali ke jendela dan tiba
pada saat yang tepat menolong Wulan yang hendak
diperkosa.
Ketika fajar menyingsing. Udara dingin dan lembab. Kedua
insan masih berpelukan dan berselimutkan seprei. Wulan
menceritakan betapa sengsaranya dia setelah berpisah dari
Geni. Ia memeluk Geni. "Dulu sewaktu sama-sama berlatih di
Lemah Tulis, beberapa kali aku bercinta dengan Lembu Agra,
ia memang kasmaran padaku, tetapi aku tak pernah
mencintainya. Setelah Lemah Tulis hancur, aku bertemu
dengannya satu kali, aku bersamanya selama lima hari tapi
hanya sekali-sekali bercinta. Setelah itu, aku tak pernah
bertemu lagi dengannya. Baru di pesta gunung Lejar itu kami
bertemu lagi. Saat itu aku masih bingung, aku ingin
melupakan kamu. Tapi aku tak bisa menipu diri sendiri.
Semakin berupaya melupakan kamu, makin aku sadar betapa
aku sangat mencintai kamu. Aku tak hanya membiarkan Agra
merayu dan menggauliku, bahkan aku berusaha agresif dalam

bercinta. Tetapi bayangan kamu selalu hadir di antara desah
nafas Lembu Agra. Wajahmu seakan menertawakan dan
mengejek aku."
"Jadi kamu tidak mencintai Lembu Agra, kamu mencintai
aku."
"Kamu percaya sekarang ini, bahwa aku sangat
mencintaimu?"
"Aku percaya, apalagi melihat semalaman kamu begitu
kasmaran."
Wulan mencubit paha kekasihnya. "Kamu yang gila Geni.
Kamu seakan hendak melumat habis tubuhku. Tetapi aku
memang merindukan kamu, sudah lebih dari tiga purnama aku
mendambakan pertemuan denganmu, bercinta denganmu."
Ia menceritakan kisah pelarian asmaranya dengan Lembu
Agra. Mereka bercinta hanya beberapa hari setelah pesta
tahunan bukit Lejar. Kemudian mereka berpisah. Saat itu ia
sudah sadar betapa ia sangat mencintai Geni. Ia bertekad
mencari kekasihnya itu. Lima hari lalu, ketika ia menginap di
desa Ngadas, beberapa orang masuk menyergapnya. Ia heran
tenaganya seperti lenyap begitu saja, ia tak mampu melawan.
Orang-orang itu membawanya ke hutan dan akan
memerkosanya. Tetap entah kebetulan atau keajaiban, Lembu
Agra muncul sebagai penolong.
"Dia membawa aku ke rumah Demung Pragola. Ia
membujuk aku, merayuku, tetapi aku tak bisa lagi
meladeninya. Aku selalu ingat padamu. Ia memaksa akan
mengawiniku dalam upacara resmi, tetapi aku menolak.
Malam itu rupanya dia sudah tidak sabar lagi, selanjurnya
kamu tahu apa yang terjadi"
"Aku melihat kamu berpelukan dan berciuman, itu yang
membuat aku kabur karena cemburu"

"Ia memeluk dan menciumku, kuakui aku memang sempat
terangsang. Tetapi hanya sesaat, kemudian bayangan
wajahmu muncul membuat aku sadar. Ketika aku menolak dan
meronta melepaskan diri, ia memaksa, hendak memerkosaku,
ia merobek kebaya dan celanaku, itulah kenapa aku menjerit,
jeritan yang membuat kamukembali dan menolongku. Jika
kamu tidak kembali, aku tidak tahu apa yang terjadi pada
diriku."
Fajar menyingsing, Geni mendukung kekasihnya. Wulan
memeluk makin erat Geni melangkah tak tahu ke mana arah
tujuan. Hutan itu lebat Ia berhenti, menatap perempuan
dalam pondongannya. Wulan membuka mata. "Geni, kalau
letih, biar aku berjalan saja, kalau hanya berjalan aku masih
kuat"
Berkata demikian, bukannya melonggarkan pelukan, Wulan
malah lebih erat memeluk kekasihnya. Ia menciumi leher Geni.
"Kau tak perlu berjalan, biar aku mendukungmu sampai
kita menemukan tempat berteduh." Tak pernah sebahagia itu,
Geni melangkah terus. Ia keberatan melepas Wulan berjalan.
Ia lebih suka memeluk menggendong kekasihnya. Wulan pun
merasakan hal yang sama, ia tak mau turun dari dekapan
lelaki yang dicintainya. Ia merasa aman terlindung dalam
pelukan kekasihnya. Wulan membayangkan betapa
perkasanya Geni ketika menolongnya dari perkosaan Lembu
Agra. "Dia inilah lelaki yang akan menjadi pelindungku, aku
tak akan mau berpisah lagi darinya," gumamnya dalam hati Ia
berbisik lirih. "Geni, aku ngantuk, semalaman bercinta
denganmu, aku kelelahan, apalagi tenagaku belum pulih,
kamu juga letih?"
Geni menggeleng kepala. "Aku tak pernah letih bercinta
denganmu. Malahan membuat aku lebih bersemangat dan
kuat"
Pagi itu Geni terus mengayunkan langkah. Ia melangkah
teratur, khawatir Wulan dalam pondongannya terbangun oleh

guncangan. Geni memandang kekasihnya yang tidur lelap.
Wulan tampak cantik diterangi matahari pagi. Geni merasa
bahagia. Bagaimana tidak, separuh malam dia berdua Wulan
menunggang seekor kuda. Selama itu dia memangku dan
memeluk Wulan. Lantas di tengah malam, ia menggilmuli
tubuh montok, menciumi kaki dan buah dada Wulan, dua
bagian tubuh yang paling indah milik perempuan itu.
Malam itu ia tahu persis, ia tak mungkin mencintai
perempuan lain. Hanya perempuan ini! Walang Wulan inilah
yang paling ia maui. Ia merasa garis tangan dan nasibnya
sudah ditentukan. Ia tahu hidupnya tak akan bahagia tanpa
Wulan di sisinya.
Matahari siang sudah berada di titik paling tinggi. Geni
melangkah terus, Wulan masih tertidur. Geni memandang
keliling. Ia tak tahu berada di hutan bagian mana. Di kejauhan
ia melihat bukit kecil. Ia membawa Wulan ke sana.
Pemandangan di sekitar indah. Bukit itu padat dengan
pepohonan dan ilalang yang tinggi dan kasar. Tampaknya
jarang dilewati manusia. Ia menemukan tempat
persembunyian, sebuah goa kecil.
"Tempat ini bagus, Geni, kita nginap di sini saja." Rupanya
Wulan sudah terjaga Ia meronta turun dari pondongan Geni.
Wijahnya yang cantik tampak bersinar diterpa matahari siang
yang agak terik. Geni terpesona memandang kecantikan tubuh
perempuan di hadapannya. Wulan tersipu-sipu. Ia merunduk.
Tiba-tiba ia menjerit. Seprei pembungkus tubuhnya terbuka.
Tubuh bagian atasnya telanjang, hanya celana sebatas lutut
itu pun compang camping.
Tampak buah dadanya menyembul. Tangannya bergerak
mendekap dada. Tetapi kemudian ia tertawa kecil ketika Geni
memegang dan menurunkan tangannya. Geni memandang
buah dada montok itu dan menggumam, "Sungguh indah,
kamu sungguh cantik, Wulan."

Tak tahan menahan keinginannya, Geni memeluk
perempuan itu, mencium mulutnya. Keduanya berciuman
lama. Wulan mendorong Geni, melepaskan diri. "Geni, goa itu
harus dibersihkan dulu, supaya bisa dijadikan rumah kita, ayo
kau bantu aku."
Wulan melangkah, namun Geni menahannya. "Biar aku
yang bekerja, kamu duduk saja di situ."
Wulan duduk bersandar di pohon memerhatikan Geni yang
bekerja cepat Goa itu kecil di bagian mulut, tetapi luas di
dalam. Kotor dan bau busuk. Bekas tinggal binatang. Ia
mengumpulkan rumput dan dahan kering, membakar
mengasapi agar bau busuk itu hilang. Kemudian ia merancang
tempat tidur dengan menumpuk ranting kecil, dedaunan dan
rumput kering.
Ia menutup mulut goa dengan batu besar yang ditemukan
tak jauh dari situ. Kemudian menumpuk daun dan ranting
sehingga tak terlihat dari luar.
Geni mengajak Wulan masuk goa, membiarkan kekasihnya
istirahat Hari sudah senja, ia cepat mencari daun obat dan
binatang buruan. Namun ia tak berani terlalu jauh dari goa,
khawatir ada binatang atau manusia mengganggu Wulan.
Sebab dengan keadaan tubuh yang belum pulih tenaga
dalamnya, Wulan tak akan mampu bertarung.
Ia juga tidak terburu-buru mengobati Wulan. Semalam
ketika bercumbu dengan kekasihnya ia memastikan Wulan
hanya kena racun pelemas tulang yang ringan. Tanpa diobati
pun tenaga Wulan akan pulih dalam beberapa hari. Jika
dengan bantuan tenaga dalamnya mungkin tiga hari sudah
pulih seluruhnya.
Tak lama kemudian Geni masuk goa. Wulan sedang
memeriksa celananya yang robek. Samar-samar dalam cahaya
matahari senja Geni terpesona akan kecantikan tubuhnya.
Wulan tertawa. "Jangan melotot memandangku, kamu kan

sudah sering melihatnya. Kamu lihat Geni, kebaya dan celana
ini sudah tak mungkin bisa kupakai lagi, sudah robek di
banyak tempat. Kurang ajar si Lembu Agra," kata Wulan yang
tidak berusaha menutupi tubuhnya yang bugil.
"Aku sudah lapar, biar kusiapkan makanan," Geni keluar.
Ketika ia sedang memanggang ayam hutan, Wulan keluar
menemuinya. Ia menggunakan kain seprei menutupi tubuh
bagian atasnya. Ia duduk berhadapan dengan Geni, matanya
memandang dengan jenaka. "Biar aku saja yang memanggang
ayam, ini kan pekerjaan perempuan, supaya kamu bisa
membuat ramuan obat"
Geni tak puas-puasnya memandang Wulan. Ia
menyodorkan ayam tanpa mengalihkan mata dari kecantikan
perempuan di hadapannya. Wulan memanggang ayam. Ia
merunduk karena mengetahui Geni sedang menatapnya.
Setiap matanya bentrok dengan mata kekasihnya, ia
merunduk dan berkata lirih, "Geni, kenapa kau memandangku
terus seperti itu, kamu seperti ingin menelan aku."
"Kamu terlalu cantik untuk tidak kupandang. Sudah lama
kita berpisah, hampir empat bulan lamanya."
"Kapan kamu akan mulai menyembuhkan aku?"
"Tak perlu tergesa-gesa, racun itu racun ringan. Aku akan
membantilmu dengan tenaga dalam supaya lebih cepat
sembuh." Setelah menyantap habis ayam panggang, Geni
menyodorkan segenggam rumput yang siang tadi sudah ia
kumpulkan. Kemudian ia mengajak Wulan masuk goa. Agar
cepat sembuh, Geni melepas kain seprei yang menutupi tubuh
bagian atas kekasihnya. Wulan bersila hanya mengenakan
celana rombeng, tubuh atasnya bugil. Sesaat Geni terganggu
pemandangan punggung kekasihnya yang mulus, tetapi dia
kemudian memusatkan perhatian, dua tangannya menempel
di punggung. Tenaga panas membanjir menerobos tubuh
kekasihnya, kemudian ia mengurut punggung.

Ketika Geni mengurut bagian pingang, Wulan merasa
perutnya mual. Rasanya ingin muntah. Keringat mengucur
keluar dari seluruh pori tubuhnya. Mendadak saja tenaga
panas itu lenyap begitu saja. Wulan merasa seperti jatuh ke
jurang yang dalam. Ia hendak menjerit tetapi belum sempat
suaranya keluar, ada tenaga dingin merembes dari punggung
masuk ke tubuhnya. Makin lama makin dingin. Tenaga itu
kemudian berpencar merambah ke seluruh tubuh. Rasanya
enak, tetapi makin lama makin dingin. Saat ia sudah tak tahan
lagi, tenaga itu lenyap dan berganti tenaga panas. Demikian
seterusnya, Wulan tak mengerti dari mana Geni memperoleh
tenaga batin sedahsyat itu.
Saat pengobatan selesai, hari sudah malam. Di luar goa,
gelap gulita. Wulan merasa tubuhnya segar. Ia mengerahkan
tenaga dalam, ternyata tenaganya sudah pulih meski belum
seluruhnya. Wulan kagum, tak disangkanya ilmu silat Geni
maju begitu pesat hanya dalam waktu empat bulan
perpisahan. Dilihatnya Geni memejam mata, semedi
mengembalikan tenaganya yang cukup terkuras tadi.
Wulan memerhatikan wajah kekasihnya. Di balik brewok
lebatnya terlihat raut wajah yang keras. Tampak lebih tegas
dan lebih keras ckbanding saat pertama jumpa di air terjun.
"Beberapa bulan berpisah telah membentuk dia semakin
dewasa dan matang. Apa saja pengalaman lelaki ini setelah
berpisah dulu, apakah ia merasa kehilangan seperti yang
kurasakan?" gumamnya.
Hari-hari yang dilaluinya setelah perpisahan dengan Geni
adalah saat-saat yang memeras perasaan dan pikiran. Dari
hari ke hari ia tak bisa melupakan lelaki ini. Bayangan Geni
tetap melekat di benaknya meski berulangkah' ia berupaya
melupakan. Hari-hari itu ia masih tetap bimbang. Tak bisa
memutuskan antara dua pilihan. Mengakui Geni sebagai
keponakan murid dan melupakan cintanya. Atau mengingkari

hubungan keponakan murid demi memperoleh cinta yang
begitu diidamkan sejak dia masih gadis.
Dalam keadaan bimbang itu ia berjumpa Lembu Agra,
kakak perguruannya. Ia memang merindukan Agra, karena
sejak masih sama-sama menuntut ilmu silat di Lemah Tulis,
Agra sudah menyatakan cinta dan bercinta dengannya.
Bahkan melamarnya menjadi isteri. Tetapi ia selalu menunda
dan belum bisa menerima cinta Agra. Entah mengapa setiap
Agra mencium mulurnya, meraba bagian tubuhnya, bercinta
dengannya, ia merasa sesuatu yang asing. Ada sesuatu dalam
diri Agra yang tak disukainya, yang sulit ia mengerti, membuat
seperti ada jarak antara dia dengan Agra. Ia tak tahu.
Mungkin semacam firasat terselubung dan penuh misteri.
Belakangan ia tahu, perasaannya terhadap Lembu Agra hanya
kasihan, bukannya cinta.
Geni membuka mata, memandang Wulan yang sedang
melamun. "Wulan, kamu sudah sembuh, tetapi belum pulih
seluruhnya, mungkin empat atau lima kali pengobatan dengan
tenaga dalam, tenagamu akan pulih."
"Bagus, Geni. Paling tidak jika tenagaku sudah pulih, aku
merasa lebih percaya diri, tak ada orang bisa sembarangan
menghinaku."
"Wulan, ada sesuatu yang ingin kutanyakan, apakah dia
benar Lembu Agra, kakak perguruanmu dan adik perguruan
ayahku?"
"Maksudmu dia palsu? Tidak. Tak mungkin dia palsu. Aku
kenal betul. Dia Lembu Agra!"
"Tunggu! Ketika bertarung denganku, kamu menyaksikan
sendiri ia begitu perkasa dan memiliki pukulan ganas. Tenaga
dalamnya juga sangat besar. Padahal menurut ceritamu dulu,
ia cacat, dia tak bisa mengerahkan tenaga dalamnya secara
maksimal. Ia cuma bisa kerahkan separuh kekuatannya.

Tetapi malam itu, aku rasa Agra sehat, bahkan tenaga
dalamnya jauh lebih besar dari tenagamu yang sebenarnya."
"Memang benar, cacat luka dalam itu diperolehnya sebelum
kejadian Lemah Tulis dibumihanguskan. Menurut ceritanya dia
kena pukulan dingin Kalayawana. Tetapi kau benar Geni,
malam itu ia sangat perkasa, tak ada tanda bahwa ia cacat
Mungkin ia menemukan keajaiban yang membuatnya sembuh.
Ketika ia mengusir para penjahat, kemudian membawaku ke
rumah Demung Pragola, ia mengaku cacatnya belum
sembuh."
"Aku rasa dia bukan Lembu Agra yang sebenarnya."
"Tak mungkin Geni, aku yakin dia Lembu Agra yang asli,
tak mungkin keliru sebab ia bisa menceritakan pengalamannya
di masa lalu, ketika kami masih sama-sama belajar di Lemah
Tulis."
Geni menghirup nafas panjang kemudian menghembus
perlahan, ia merasa gundah. Tetapi ia harus menceritakan
pertemuan partai Turangga di hutan di luar desa Ngadas itu.
Bagaimana secara kebetulan ia membuntuti Lembu Agra yang
ternyata punya nama lain Ki Jaranan yang juga ketua partai
Turangga dan rencana partai Turangga yang berniat
membunuh Padeksa dan Gajah Watu serta menghancurkan
Lemah Tulis sampai ludas dari muka bumi
Wulan menatap Geni dengan mimik penuh teka teki. Ia
hampir tak percaya apa yang didengarnya. "Geni, kamu
sungguh-sungguh? Tidak main asal tuduh?"
Geni merasa tidak nyaman. "Kebenaran harus diungkap
betapapun pahitnya. Aku tidak main-main, aku menceritakan
sesuatu yang benar. Kau ingat jurus yang dimainkan Lembu
Agra ketika tarung dengan aku? Coba ingat-ingat dan katakan
jurus apa itu, apakah itu jurus Lemah Tulis?"
Wulan membayang ulang pertarungan di kamar pengantin
itu. Ia yakin jurus itu memang bukan jurus Lemah Tulis.

Bahkan ia sempat mencium kesiuran angin berbau bacin.
Jurus itu cenderung dari golongan kaum sesat. Wulan
memandang Geni, menggeleng kepalanya, "Itu bukan jurus
Lemah Tulis."
"Kamu perlu tahu, itulah jurus Pitu Sopakara ilmu andalan
partai Turangga."
Wulan makin heran. Ia tahu ilmu silat Geni kini sudah maju
pesat bahkan sudah melewati kemampuan dirinya Diam-diam
ia bangga pada Wisang Geni. Tetapi baru sekarang ia tahu
bahwa Lembu Agra sudah mewarisi ilmu dahsyat Pitu
Sopakara. Ia sendiri belum pernah melihat ilmu sesat itu
karena konon sudah puluhan tahun hilang dari dunia
kependekaran. "Geni, ilmu dahsyat itu sudah lama hilang,
bagaimana kau bisa mengenal bahwa itu Pitu Sopakara?"
"Di pertemuan itu aku mendengar ia menyebut ilmu itu
sebagai warisan leluhurnya para pendiri perguruan Turangga.
Wulan, di belakang hari kamu akan mengetahui apakah aku
berbohong untuk menjelekkan lelaki itu atau memang berkata
benar."
Wulan tertawa. Ia merasa lucu melihat wajah Geni yang
cemberut. Tapi Geni justru lebih tersinggung, mengira Wulan
menertawakan. "Wulan, aku ini lelaki sejati, aku tidak akan
mau menjelekkan lelaki lain dengan tujuan supaya kau tidak
menyukai lelaki itu dan agar..."
Wulan memotong perkataan Geni. "Kamu jangan salah
sangka Geni, aku tidak bermaksud demikian. Aku percaya
padamu. Kamu mau buktinya? Kemarin malam itu buktinya.
Apakah kau tidak melihat waktu bercinta, bagaimana aku
melepas rinduku padamu." Selesai berkata, Wulan membalik
tubuhnya. Ia menghadap dinding goa, membelakangi Geni.
"Wulan, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakiti
hatimu." Geni mendekat dan memeluk kekasihnya dari
belakang, menciumi lehernya Wulan berkata lirih. "Aku tidak

meragukan ceritamu, aku ingin tahu lebih jelas. Sejak dulu
Agra sudah mencintaiku, tetapi aku tak pernah mencintainya,
apalagi sekarang setelah ia mau memperkosa aku, aku tak
akan pernah memaafkan dia"
Geni membelai rambut kekasihnya "Seharusnya aku yakin
kau mempercayai aku. Tetapi terus terang saja, setiap
mendengar kau menyebut namanya, aku merasa cemburu."
Geni tak melihat wajah Wulan yang berseri mendengar
pengakuan cemburu itu. Perempuan itu gembira, itu tanda
Geni sangat mencintainya. "Geni, ceritakan bagaimana kamu
bisa sampai di rumah itu dan datang tepat waktu menolong
aku."
"Semua serba kebetulan. Di pesta gunung Lejar, aku
melihat kamu bergandengan dengannya Aku sempat
memanggil namamu, tetapi kau tak mengenalku, mungkin
mengira aku pengemis."
Wulan membalik tubuh, memandang Geni. "Aku ingat
waktu itu ada seseorang memanggil namaku, nama Sari,
kaukah itu?"
Geni mengangguk. "Aku cemburu dan sakit hati, itu sebab
wajah lelaki itu kuingat terus. Kemarin ketika aku berpapasan
dengannya di jalanan, seketika aku mengenalnya Aku
membuntutinya dengan harapan barangkah dia tahu climana
kamu berada Ternyata akhirnya aku menemukanmu."
Wulan memandang dengan berbagai perasaan dalam
sanubarinya. Ada rasa haru tapi ada juga geli. "Kuperhatikan
selama ini, kamu tak pernah memanggil Lembu Agra dengan
panggilan paman, bukankah dia adik seperguruan ayah
ibilmu?"
Geni memandang lekat perempuan di hadapannya. "Aku
tak akan pernah memanggil paman kepada seseorang yang
punya niat buruk membunuh guru Padeksa dan paman Gajah
Watu."

Wulan tertawa menggoda. "Kamu salah, bagaimanapun
juga kau harus memanggilnya paman perguruan."
"Lalu setelah itu aku harus memanggilmu bibi, bukan?"
"Kenapa kamu takut memanggilku bibi, aku kan sudah
milikmu, apakah kau takut kehilangan aku?"
Geni mengangguk.
"Kamu tak perlu khawatir Geni, aku mencintaimu, aku tak
akan pernah mencintai lelaki lain selain dirimu. Kalau tak bisa
menjadi isterimu, aku tak akan pernah mau menjadi isteri
lelaki lain."
Geni menatap mata kekasihnya. Sepasang mata indah yang
memancarkan sinar ketulusan cinta. Wulan telah
memperlihatkan cintanya dalam bercinta kemarin malam,
namun baru saat ini ia mendengar langsung dari mulurnya.
Geni bahagia. Malam gelap di goa, namun ia bisa melihat sinar
mata yang gemerlap di mata Wulan. Ia memeluk dan
menciumnya. Wulan mengimbanginya. Tangan Geni mengelus
dan meraba. Jemari Wulan mengelus lembut. "Geni aku ingin
mendengar kau memanggilku bibi, ucapkan kata-kata bibi, aku
ingin mendengarnya, kekasihku."
"Kau aneh."
"Aku ingin mendengarnya."
Geni berbisik, "Bibi, aku mencintaimu, aku mencintaimu
bibi."
"Aku bahagia. Aku mau setiap bercinta, kau memanggilku
bibi, bibi guru, supaya ketakutan menjadi bibi guru itu bisa
lenyap dari benakku."
"Baiklah. Aku laksanakan perintahmu, bibiku yang cantik
dan montok."
Keduanya bergilmul Dua insan itu sangat bernafsu.
Mencumbu, merayu, dengan cara lembut dan kasar.

Mengarungi lautan cinta dan birahi, keduanya terdampar.
Kelelahan. Wulan tertawa. "Aku senang mendengar panggilan
bibi itu, coba ulangi lagi, sayangku."
Geni tertawa. "Bibiku, bibi aku mencintaimu."
"Bibimu ini lebih tua usianya dari kamu," katanya.
"Aku tak peduli. Lagi pula kamu masih seperti gadis belasan
tahun, Cantik, montok dan segar."
Wulan cekikikan. "Hanya beberapa bulan berpisah, kamu
sudah pandai merayu, pandai bicara, hayo mengaku dari
mana kamu belajar jurus rayuan itu."
"Aku belajar dari kera-kera di lembah kera."
Wulan tersenyum mendengar gurauan itu, lantas ia teringat
jurus Geni yang aneh ketika bertarung lawan Lembu Agra.
"Geni waktu bertarung lawan Lembu Agra, kau menggunakan
jurus Bang bang Alum-alum dan Garudamukha tetapi hawa
pukulanmu panas lalu sesaat kemudian berubah dingin, tadi
mengobati aku, tenagamu juga panas lalu bisa dingin. Tenaga
dalammu itu pasti bukan ajaran Lemah Tulis."
"Cintaku padamu tulus dan sangat besar sehingga aku
mendapat pertolongan, keajaiban. Dari seorang yang sekarat
hampir mati berubah menjadi pendekar dengan tenaga dalam
Wiwaha yang dahsyat kekuatannya."
Geni menutur pengalamannya sejak berpisah dengan
Wulan. Hanya bagian ia bercinta dengan Sekar, ia
sembunyikan. Ia hanya menceritakan bertemu Sekar yang
membawanya berobat ke Dewi Obat di Lembah Cemara.
Sesaat ia terdiam, teringat Sekar, tubuh gadis itu begitu indah
dan permainan cintanya yang begitu merangsang di Lembah
Cemara masih terbayang di matanya. Mata Geni yang
berbinar-binar tidak luput dari penglihatan Wulan meski gelap
malam menyelimuti goa.
"Kamu melamun, Geni, kamu ingat Sekar, iya kan?"

Geni terkejut. Ia gugup, mencoba melanjutkan cerita
namun lupa sampai di bagian mana. "Tidak, tidak, aku hanya
lupa sampai di mana ceritaku tadi"
Wulan tertawa, mengingatkannya, "Kamu keluar dari
Lembah Cemara, menuju ke mana?"
Geni melanjutkan cerita. Agak rikuh, sebab Wulan memeluk
sambil mengusap dadanya. Wulan mendengar dengan setia,
terkadang ia bertanya. Ketika Geni menyelesaikan cerita,
Wulan mencium kekasihnya. Pengalaman Geni sangat
dramatis. Ia terharu dan bangga. "Kamu menjadi murid
Lemah Tulis paling berjasa karena telah menemukan jurus
pusaka Garudamukha Prasidha. Sungguh luar biasa
pengalamanmu."
Geni melihat sepasang matakekasihnya berkaca-kaca. Ia
meraba, mata itu basah. "Kamu menangis."
Wulan menengadah, mencium wajah kekasihnya "Kau
sangat menderita, gara-gara aku, gara-gara bibimu yang
bodoh ini."
Geni mengelus buah dada Wulan. "Tidak, kau tidak
bersalah, memang jalan hidupku harus demikian supaya aku
menemukan ilmu silat yang lebih tinggi dari kamu."
Wulan menggoda, "Kamu yakin ilmu silatmu lebih tangguh
dari aku?"
"Sudah tentu, supaya aku bisa mengendalikan isteriku."
Mendadak Wulan bertanya, "Geni, tentang gadis bernama
Sekar itu, kau pasti sudah bercinta dengannya, menidurinya,
berulang kali dan sangat mengesankan, jangan bohong
padaku!"
Bagai disambar halilintar, saking terkejutnya. Geni merasa
bumi yang dipijaknya terbalik, langit-langit goa runtuh. Dunia
kiamat! "Bagaimana dia bisa tahu!" gumamnya dalam hati.

Sebelah kaki Wulan melingkar ke pinggang Geni. "Ayo
ceritakan, aku ingin mendengarnya, hebat enggak Sekar,

kekasihmu itu?"

0 komentar:

Posting Komentar

 
;