"Baik, saya dan Juragan Puragabaya akan
membunuh
penjaga-penjaga itu terlebih dulu,"
ujar Garda. Maka segala
perintah lanjutan pun disampaikan kepada
pasukan yang
semuanya mengerti bahwa pemimpin pengacau
tidak boleh
dibunuh. Setelah itu, mereka pun
beristirahat, sambil tetap
memandang ke arah lawan.
MALAM pun bertambah sunyi, sedang
bintang-bintang di
langit yang berjuta-juta banyaknya, letaknya
sudah banyak
bergilir ke barat. Sayup-sayup kokok ayam
terdengar, disahuti
oleh kokok ayam hutan yang berdekatan dengan
rawa itu.
Pangeran Muda tetap mengawasi lawan yang
lima orang
banyaknya, yang belum juga tidur. Mungkin
mereka termasuk
bagian pasukan yang diserahi tugas jaga,
pikir Pangeran
Muda. Akan tetapi, kemudian yang lima orang
pun satu per
satu meninggalkan api unggun, lalu pergi ke
dalam gelap.
Akhirnya, tinggallah dua orang penjaga yang
masih tetap
berjongkok di sekitar api unggun itu.
Kadang-kadang kedua
orang ini berjalan-jalan berkeliling,
kadang-kadang
menghilang di balik gubuk-gubuk itu. Suara
langkahnya
terdengar berdesir di atas semak-semak. Pada
suatu kali
pernah salah seorang di antara penjaga itu
berjalan dekat
sekali pada pasukan, hingga terpaksa
anggota-anggota
pasukan jagabaya bertiarap menyembunyikan
diri.
Hari makin bertambah terang juga, sedang
ayam-ayam
jantan makin ramai bersahutan. Pangeran Muda
memberi
isyarat kepada para jagabaya agar
bersiap-siap. Ia pun
berbisik kepada Garda, agar mereka menyergap
penjaga itu
dengan mula-mula menutup mulut mereka, lalu
menghantamnya. Garda mengangguk. Kemudian
isyarat
diberikan, agar pasukan bergerak dan
melebar. Maka
bergeraklah pasukan, setelah mereka diberi
tahu bahwa
penyerangan dimulai setelah kedua pemimpin
mereka berhasil
melumpuhkan kedua penjaga itu. Maka pasukan
pun terus
bergerak, hingga mereka berhenti beberapa
langkah di dekat
tempat lawan yang tidur bergelimpangan di
atas tanah
Pangeran Muda memberi isyarat kepada Garda
untuk mulai
menyergap. Mereka pun melingkariah, agar
mereka dapat
menyergap kedua penjaga itu dari belakang.
Setelah berada di
belakang mereka, dengan tidak mengeluarkan
bunyi, mereka
mengendap-endap ke arah kedua penjaga itu,
lalu dengan
waktu yang hampir bertepatan, Pangeran Muda
dan Garda
menutup mulut penjaga-penjaga itu dengan
tangan kiri, lalu
menghantam ulu hati mereka dengan tangan
kanan. Dengan
tiga pukulan, menggeleparlah penjaga-penjaga
itu, lalu tidak
bergerak-gerak lagi, Pangeran Muda berdiri,
lalu memberi
isyarat. Maka menghamburlah dua puluh orang
jagabaya
dengan senjata mereka berkilat-kilat dalam
cahaya langit
subuh dan unggun yang hampir padam, Pangeran
Muda
dengan Garda berlari ke arah gubuk yang
paling besar, sambil
menghantam anggota-anggota gerombolan yang
terlewati.
Dari arah lapangan di mana pembantaian
sedang dilakukan
oleh para jagabaya, terdengar
jeritan-jeritan, demikian juga
dari tempat-tempat lain yaitu dari
gubuk-gubuk yang lain yang
mendapat serangan jagabaya.
Ketika Pangeran Muda dan Garda tiba di gubuk
yang
terbesar, ternyata pintu ditutup dari dalam.
"Minggir!" kata Pangeran Muda
kepada Garda yang
mencoba mendorong pintu. Garda minggir, dan
Pangeran
Muda mundur, lalu melakukan serangan dengan
telapak kaki
ke arah pintu itu. Walaupun kayu pintu gubuk
itu kuat, dengan
sekali hentakan berantakanlah pintu dengan
palangnya. Begitu
pintu terbuka, Garda segera menghambur masuk
ke dalam
ruangan gubuk yang remang-remang itu.
Pergulatan terjadi,
Pangeran Muda hanya melihat tubuh Garda
berguling-guling
dengan tubuh seorang lawan di lantai gubuk.
Di samping itu,
Pangeran Muda pun melihat dinding gubuk
terbuka di sebelah
belakang. Dengan secepat kilat, Pangeran
Muda melompat
keluar melalui lubang dinding itu.
Begitu tiba di luar, tampaklah seseorang
lari menuju tepi
rawa. Dengan beberapa lompatan, Pangeran
Muda sudah
dapat mengejar orang itu. Rupanya orang itu
sadar akan
pengejarnya karena ia segera berbalik dan
bersiap-siap.
Pangeran Muda berdiri menghadapi orang itu,
sambil dalam
hatinya memuji kerapatan dan keteguhan
kuda-kudanya.
Orang itu tampak seorang kesatria. Ia
menyodorkan kaki
kanannya ke depan, dan tangan kanannya
membalik ke atas,
dengan sikutnya lurus-lurus berada di atas
lutut. Sementara
itu tangan kirinya yang ditarik dekat ke
dadanya bersiap-siap
dengan jari-jarinya setengah dikuncupkan.
Melihat sikap
seperti itu, Pangeran Muda agak kebingungan.
Ada dua
kemungkinan yang sedang dihadapinya;
pertama, sikap itu
merupakan pancingan yang belum dikenalnya;
kedua,
mungkin kesatria yang dihadapi itu seorang
kidal yang tangan
kirinya lebih kuat daripada tangan kanan.
Kedua-duanya akan
merupakan siasat yang sukar dihadapi.
Akan tetapi, Pangeran Muda tidak menunggu
hal-hal yang
lebih jelas. Untuk tidak terpancing,
Pangeran Muda tidak akan
menangkap tangan kanan kesatria itu. Kalau
ia menangkapnya
ada dua kemungkinan; pertama, ia menjadi
sasaran tangan
kiri kesatria itu; kedua, mungkin Pangeran
Muda akan
disentakkan ke belakang, hingga tersungkur
ke sisi kanan
kesatria itu. Untuk tidak terpancing menjadi
salah satu sasaran
itu, Pangeran Muda tidak menangkap tangan
kanan kesatria
itu, tetapi dengan lurus dan cepat mendorong
badan kesatria
itu dengan menekankan telapak tangan pada
pergelangan dan
sikut kesatria itu.
Tepat seperti yang diramalkan oleh Pangeran
Muda
ternyata kesatria itu benar-benar kidal.
Begitu tangannya
disentuh dan didorong, tangan kiri pemuda
itu berdesing
menuju lekuk di bawah leher Pangeran Muda.
Karena sudah
diramalkan, Pangeran Muda sudah siap. Dengan
telapak kedua
kaki bergeser ke belakang, sementara tangan
kiri dengan
telapaknya yang terbuka lebar menerima
tangan kanan lawan
pada perge-langan, sedang tangan kanan yang
juga
telapaknya terbuka lebar, menyentakkan
tangan kanan lawan
tepat pada sikutnya. Tenaga lawan yang
terarah ke depan
dengan kuat, oleh Pangeran Muda ditumpahkan
ke samping,
hingga kesatria itu terjungkal lepas dari
kuda-kudanya, dan
jatuh ke samping dengan berjungkir. Akan
tetapi, dengan
mengherankan anak muda itu tidak terus
rubuh. Setelah
berjungkir dengan bagus, ia telah berdiri
kembali dan
memasang kuda-kuda baru.
Sekarang tangan kirinya yang disodorkan ke
depan.
Pangeran Muda sudah memperkirakan gerakan-gerakan
selanjutnya, yaitu bahwa tangan kiri akan
tetap menjadi
senjata utama kesatria itu. Tangan kiri yang
disodorkan ke
depan akan dijadikan umpan agar dipegang
atau ditarik oleh
Pangeran Muda. Tangan kiri ini akan ditarik
ke belakang diikuti
dengan serangan tangan kanan yang tidak akan
ampuh, tetapi
memberi kesempatan pada tangan kiri untuk
menyerang pada
gerakan selanjutnya.
Dengan perkiraan itu, Pangeran Muda
berpura-pura
terpancing. Ia maju ke depan dengan badan
yang rengkuh
dan tangan jauh menjulur ke depan untuk
menghindarkan
serangan kaki lawan. Dengan telapak-telapak
tangan yang
terbuka, Pangeran Muda menyentuh pergelangan
tangan kiri
lawan yang oleh lawan segera ditarik ke
belakang. Gerakan itu
diikuti oleh Pangeran Muda dengan tetap
tidak melepaskan
tangan kanannya pada pergelangan kiri lawan
sementara kaki
kiri Pangeran Muda menggeser dengan cepat.
Tepat seperti
yang diramalkan, terasa oleh Pangeran Muda
bahwa lawan
akan menghantamkan tangan kanannya, tapi
sebelum tangan
kanan sempat menderu ke muka, Pangeran Muda
yang
telapak tangan kanannya seperti melekat ke
pergelangan kiri
lawan, mendorong lawan sambil menggeser kaki
kanannya ke
depan. Lawan kehilangan keseimbangan dan
tidak dapat
memberikan pukulan. Dalam keadaan kacau dan
bingung itu,
Pangeran Muda memasukkan pukulan pendeknya
ke rusuk kiri
lawan yang langsung terjatuh dan
menggeliat-geliat di tanah.
Pangeran Muda mengangkatnya dengan memegang
kedua
ketiak lawan dari belakang, lalu menyeretnya
ke arah
lapangan, di mana para jagabaya di bawah
pimpinan Garda
sedang mengumpulkan lawan yang masih hidup.
Hanya tujuh
orang yang hidup karena para jagabaya
umumnya
mempergunakan senjata-senjata tajam mereka.
Yang lain
bergelimpangan mandi darah, ada yang pecah
kepalanya, ada
yang putus tangannya, ada badan tanpa
kepala, dan lain-lain
nasib yang mengerikan. Sementara itu,
Pangeran Muda
mendapat kabar dari Garda bahwa lawannya
bergulat di dalam
gubuk terpaksa dibunuhnya karena Garda
hampir kewalahan.
Pangeran Muda menjelaskan, hal itu tidak
terlalu menjadi
persoalan karena seorang kesatria yang
menjadi pemimpin
pengacau telah dapat ditangkapnya
hidup-hidup.
Pagi itu, setelah para jagabaya membakar
berpikul-pikul
padi dan dendeng-dendeng serta
perlengkapan-perlengkapan
lawan lainnya, mereka keluar dari hutan
kecil itu. Ternyata
gerombolan itu memiliki perlengkapan
penyeberangan berupa
rakit-rakit yang terbuat dari bambu besar,
hingga karena
udara yang terkandung di dalamnya tidak
mudah terbenam,
betapapun besarnya tarikan lumpur. Terpikir
oleh Pangeran
Muda gerombolan itu telah merencanakan
pengacauannya
dengan sangat baik karena bahkan persediaan
bambu-bambu
besar itu sempat didatangkan ke suatu daerah
di mana tidak
terdapat pohon-pohon bambu.
BERITA ditemukannya persembunyian pengacau
dan
ditangkapnya hidup-hidup salah seorang di
antara pemimpin
mereka sangat cepat diterima oleh sang Prabu
di Pajajaran.
Dalam minggu kedua setelah peristiwa
pertempuran di rawa
itu, datanglah sebuah kereta yang dikawal
oleh dua puluh
jagabaya ke kota Galuh. Kereta itu membawa
sejumlah
bangsawan dan panglima jagabaya dari ibu
kota. Di samping
diberi tugas oleh sang Prabu untuk
menyampaikan
penghormatan dan penghargaan kepada Panglima
dan kepada
Garda, mereka pun bermaksud mengambil
tawanan-tawanan
itu untuk dibawa ke Pakuan Pajajaran dalam
waktu singkat,
untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Yang paling menggembirakan Pangeran Muda
adalah
kereta itu juga membawa surat-surat baginya.
Dari Pangeran
Anggadipati berupa pernyataan dan
kegembiraaan seorang
ayah kepada anaknya yang sudah berbuat
banyak bagi
kerajaan. Dalam surat itu dikatakan,
walaupun yang secara
terbuka mendapat penghargaan adalah Panglima
Rangga
Wisesa dan Garda sebagai jagabaya, sang
Prabu yang diberi
penjelasan lengkap oleh Panglima Rangga
Wisesa tentang
jalannya peristiwa, sangat berkenan atas
perbuatan Pangeran
Muda. Seandainya Pangeran Muda sudah
berkedudukan
sebagai seorang puragabaya, tentu sang Prabu
akan
memberikan penghargaan secara resmi.
Disampaikan juga
berita oleh Ayahanda, sang Prabu dan Putra
Mahkota ingin
sekali bertemu Pangeran Muda.
Surat yang kedua dari calon iparnya,
Pangeran Rangga
Wesi yang menyampaikan ucapan selamat, juga
memberikan
berita tentang segala yang terjadi di istana
dan di Puri
Anggadipati setelah Pangeran Muda bertugas. Diberitahukan
pula oleh Pangeran Rangga Wesi, walaupun
Ayahanda
Anggadipati mengusulkan supaya ia segera
menikah dengan
Ayunda Ringgit Sari, kedua asyik masyuk itu
memutuskan
untuk menangguhkan perkawinan mereka.
Pertama, mereka
menganggap lebih baik kalau perkawinan
dilangsungkan
setelah Pangeran Rangga Wesi diangkat untuk
menjabat salah
satu kedudukan kerajaan; kedua, mereka
mengharapkan
untuk dapat menikah pada hari yang sama
dengan Pangeran
Muda dan Putri Yuta Inten. Pangeran .Muda
sungguh-sungguh
terharu membaca berita itu. Tergugahlah rasa
sayangnya
kepada Ayunda dan calon iparnya itu.
Yang terakhir adalah surat dari Putri Yuta
Inten. Pertamatama
diberitakan tentang kegembiraan keluarganya,
setelah
diberi tahu bahwa mereka saling mengasihi.
Kemudian
kebanggaan gadis itu setelah mendengar
cerita-cerita tentang
peristiwa penangkapan pemimpin pengacau di
daerah Galuh
yang dilakukan oleh Pangeran Muda dengan
para jagabaya.
Gadis itu menyatakan, Pangeran Muda sudah
menjadi seorang
pahlawan bagi Pajajaran. Beberapa tukang
kecapi sudah
membuat lagu-lagu pujaan bagi
kepahlawanannya. Terakhir
sekali dinyatakannya kerinduannya.
Gadis itu menyatakan, bagaimana jalan-jalan,
lorong kota
Medang dan lorong-lorong di rumahnya selalu
mengingatkan
dia kepadanya. Dan kalau benda-benda atau
tempat-tempat
tidak mengingatkannya pada Pangeran Muda,
percakapan
rakyat tentang kepahlawanan Pangeran Muda
tidak dapat
dihindarkannya. Segalanya itu membuatnya ia
menderita,
walaupun ia menganggap penderitaan itu
adalah penderitaan
yang seindah-indahnya dalam hidupnya.
Kemudian gadis itu
berpesan agar Pangeran Muda menjaga dirinya
baik-baik dan
segera pulang ke Pajajaran barat, di mana
gadis itu selalu
menantinya. Sebelum menutup surat, gadis itu
memberitahukan juga bahwa Jante mengirim
kabar dari
Kutabarang, memberitakan tentang
kesehatannya. Menurut
Jante, segalanya di Kutabarang baik-baik,
hanya ia selalu
dibayang-bayangi oleh beberapa kesatria yang
dipimpin oleh
Raden Bagus Wiratanu.
Tambahan surat itu agak mengherankan
Pangeran Muda,
tetapi karena perhatiannya tertumpah ke
bagian surat yang
lain yang berulang-ulang dibacanya, Pangeran
Muda segera
melupakan berita tentang jante. Perhatiannya
terpusat kepada
bagian-bagian surat yang lain, yang
menyatakan rindu
dendam gadis itu. Sebaliknya, pernyataan
rindu dendam itu
menggugah pula rindu dendam pada diri
Pangeran Muda.
Alangkah inginnya ia pulang ke Pajajaran
barat. Hanya
kesatriaannya saja yang menahan untuk tidak
mengemukakan
keinginannya itu kepada Panglima Rangga
Wisesa.
Bab 17
Monyet Putih dan Permata
Sakti
Sesuai dengan yang telah diduga, setelah
penyergapan itu
kegiatan pengacau berhenti sama sekali.
Rakyat yang semula
tiap malam mengungsi, mulai lagi berani
tidur di kampung
mereka masing-masing. Walaupun demikian,
perondaan
malam terus-menerus dilakukan oleh tujuh
puluh lima orang
jagabaya di bawah pimpinan Garda yang
sekarang telah
menjadi perwira dan dengan megah memakai
tanda anugerah
kerajaan. Di samping melakukan tugasnya
Garda sering
berkunjung kepada Pangeran Muda untuk
berbincang-bincang
tentang itu dan ini. Karena rasa terima
kasihnya, ia
memperlihatkan sikap yang sangat bersahabat
terhadap
Pangeran Muda. Pada suatu kesempatan bahkan
seluruh
keluarga Garda, anak-istrinya dibawanya
untuk berkunjung
kepada Pangeran Muda. Sikap persahabatan
Garda dan
jagabaya-jagabaya yang pernah bersama-sama
melakukan
penyergapan dan semuanya mendapatkan
anugerah itu
sungguh-sungguh membesarkan hati Pangeran
Muda.
Akan tetapi, setelah beberapa lama
kerinduannya hampir
tidak tertahankan lagi untuk berkunjung ke
kota Medang.
Berulang-ulang ia hampir mengemukakan isi
hatinya pada
Pangeran Rangga Wisesa, tetapi
berulang-ulang pula niatnya
diurungkan karena sadar bahwa bagi seorang
kesatria,
menahan . diri adalah suatu kewajiban.
Akan tetapi, pada suatu hari datanglah surat
dari Pajajaran
yang isinya mengundang Pangeran Rangga
Wisesa dan
Pangeran Muda untuk dalam waktu singkat
datang ke ibu
kota.
"Suatu hal yang penting telah terjadi,
kita harus segera
pergi untuk mengetahui hal itu," kata Panglima
Rangga
Wisesa dengan wajah yang sungguh-sungguh.
"Mungkinkah telah terjadi
pemberontakan?" tanya
Pangeran Muda.
"Ada dua kemungkinan: pertama,
pemberontakan; kedua,
serangan dari luar. Dua-duanya jelek,"
ujar Panglima. Tapi
satu hal menyebabkan Pangeran Muda berbesar
hati di
samping kecemasan, yaitu ia akan bertemu
dengan Putri Yuta
Inten dan keluarganya sendiri. Akan tetapi,
tentu saja rasa
gembiranya itu tidak bebas diungkapkan
karena rasa
penasaran dan bahkan cemas pun
membayanginya.
Mungkinkah telah terjadi pemberontakan?
Mungkinkah ada
pasukan asing yang datang menyerang?
Pada hari yang ditetapkan, sehari sesudah
datangnya
panggilan, berangkadah Pangeran Muda dengan
Panglima,
diiringi oleh dua puluh orang pengawal.
Perjalanan yang sukar
dan panjang itu tidak banyak menemui
hambatan. Maka pada
hari ketujuh, rombongan yang seluruhnya
terdiri dari para
prajurit dan perwira itu pun telah melewati
gerbang timur ibu
kota yang megah itu. Dan dalam waktu
singkat, Pangeran
Muda bersama Panglima telah berkumpul di
ruangan istana,
dalam suatu rapat di mana hadir hampir semua
pembesar
kera-jaan dan sejumlah besar puragabaya.
Sebelum rapat dimulai, sang Prabu sempat
menanyakan
kepada Ayahanda tentang Pangeran Muda.
Dengan gembira,
Ayahanda membawa Pangeran Muda menghadap
kepada
beliau.
"Saya punya harapan yang besar bagi
masa depanmu,
Anggadipati," demikian sabda sang Prabu
sambil memegang
pundak Pangeran Muda.
"Semoga hamba dapat memenuhi itu,
Gusti."
"Engkau sudah kenal dengan
anakku?" sang Prabu
bertanya.
"Kami sudah kenal baik, Gusti."
"Syukurlah, saya berharap kita akan
dapat berbincangbincang
lebih leluasa setelah masalah yang kita
hadapi ini
diselesaikan," sabda sang Prabu, ketika
juru acara datang dan
memberitahukan bahwa segalanya telah siap.
Maka para
bangsawan dan puragabaya pun berkumpullah.
Jumlah para bangsawan tinggi dan puragabaya
yang hadir
tidak lebih dari tiga puluh orang, sedang
hadirin yang lain
yang duduk di belakang mereka adalah
bangsawanbangsawan
muda dan para calon puragabaya. Sebagai
pengawal Panglima Rangga Wisesa, Pangeran
Muda duduk di
belakang bangsawan tinggi itu, yang
kebetulan duduk
tidakjauh dari Ayahanda dan sang Prabu.
Dalam ruangan
tampak pula Putra Mahkota duduk berdampingan
dengan
Pangeran Rangga Wesi yang sebagai calon pejabat
tinggi
kerajaan harus hadir dalam rapat yang sangat
penting itu.
Tidakjauh dari bangsawan-bangsawan muda itu
berjajar pula
calon-calon puragabaya, kawan-kawan Pangeran
Muda.
Setelah semua siap dan ruangan hening,
bersabdalah sang
Prabu, "Para bangsawan dan para
puragabaya, kita berkumpul
untuk membicarakan suatu masalah yang sangat
penting
untuk melihat nasib rakyat kerajaan dan
bahkan kerajaan
sendiri. Seperti Saudara-saudara ketahui,
pengacauan di
wilayah Galuh Tua telah dapat dipadamkan,
dengan pemimpin
pengacau-nya tertangkap hidup-hidup. Para
puragabaya yang
bertugas untuk mengumpulkan keterangan
darinya menarik
kesimpulan, pengacauan itu termasuk ke dalam
suatu rencana
besar yang tujuannya tidaklah lain untuk
merobohkan
Pajajaran sendiri. Dengan mengadakan
pengacauan terusmenerus
di Galuh Tua, lawan mengharapkan akhirnya
rakyat
tidak akan percaya lagi kepada kepemimpinan
kita. Dan
dengan mengangkat bangsawan-bangsawan
setempat sebagai
pemimpin mereka, mereka akan mendirikan
kembali Kerajaan
Galuh yang oleh leluhur kita dipindahkan ke
barat ini. Setelah
Galuh Tua didirikan, lawan mengharapkan agar
antara Galuh
baru dengan Pajajaran terjadi pertentangan
dan pertempuran.
Ketika itulah tangan yang sebenarnya
mengatur sandiwara
akan muncul sebagai pemenang.
"Dengan dihentikannya pengacauan di
wilayah kota Galuh
salah satu rencana mereka telah dapat
digagalkan. Akan
tetapi, tidak berarti mereka berhenti dengan
usaha mereka.
Kegiatan dipindahkan ke bentuk yang lain,
yaitu penyerangan
yang lebih kasar, tetapi tidak kurang
bahayanya.
"Dari tepi Cipamali, Ki Monyet Putih
mengirimkan laporan
kepada kami tentang meningkatnya kegiatan
lawan, setelah
pengacauan di Galuh dipadamkan. Dari laporan
itu
digambarkan tentang pemusatan sejumlah besar
prajurit, dan
perbekalan dan pembuatan bangunan-bangunan
serta
peralatan-peralatan perang lainnya. Juga
dari Pantai Utara
kami menerima laporan. Pangeran Kutabarang
berhasil
menangkap seorang mata-mata lawan yang dalam
keterangannya mengatakan kepada kita bahwa
gelombang
serangan baru akan dilakukan terhadap
Pajajaran, terutama
melalui daratan. Nah, untuk menghadapi
bahaya inilah kalian
kami undang.
"Dalam perundingan dengan Panglima
Tertinggi Jagabaya
beserta panglima-panglima pembantunya telah
diambil dua
pilihan, yaitu menjawab bahaya itu dengan
mengirimkan
sejumlah besar jagabaya ke tepi barat
Cipamali, atau
mengirimkan sekelompok pasukan kecil yang
terlatih dengan
baik untuk mengadakan serangan tiba-tiba,
dengan tujuan
membunuh semangat lawan.
"Pilihan pertama diperhitungkan akan
memakan biaya,
waktu, dan tenaga yang sangat besar. Karena
waktu, dalam
hal ini sangat penting, pilihan pertama
nilainya diragukan.
Pilihan kedua tampaknya lebih ringan, yaitu
dengan hanya
mengirimkan beberapa puluh orang anggota
pasukan terpilih,
kita akan dapat menggagalkan perencanaan
mereka serta
melumpuhkan semangatnya. Diharapkan, sebelum
lawan
dapat mempersiapkan rencana lain, kita sudah
dapat
memperkuat tepi barat Cipamali. Oleh karena
itu, Panglima
Tertinggi Jagabaya memutuskan untuk memilih
yang kedua
dan bermaksud menyempurnakan
rencana-rencananya
dengan Saudara-saudara."
Setelah pengantar diberikan oleh sang Prabu,
maka
perundingan yang sangat lama dilakukan oleh
para panglima
dan para bangsawan tinggi. Setelah memakan
waktu sehari
semalam, akhirnya diputuskanlah tiga puluh
orang pasukan
khusus akan dikirimkan ke perbatasan. Di
antara yang tiga
puluh orang itu dua puluh orang terdiri dari
jagabaya, sepuluh
orang lagi adalah calon-calon puragabaya.
Pasukan ini
dipimpin oleh seorang puragabaya, yaitu
puragabaya Geger
Malela, dengan wakilnya seorang perwira
jagabaya yang
bernama Ki Santang, seorang perwira jagabaya
yang telah
memperlihatkan keberanian dan kelicinannya
dalam berbagai
medan pertempuran. Di dalam pasukan itu
termasuk pula
sepuluh orang pasukan jagabaya yang dipimpin
oleh Garda,
hanya Garda tidak menyertai mereka karena
tanggung
jawabnya terlalu berat untuk ditinggalkan di
Galuh.
Para calon puragabaya hampir seluruhnya
ikut, kecuali
Jante karena Kutabarang termasuk daerah yang
sangat
penting di Pantai Utara sehingga tidak
mungkin ia
meninggalkannya. Di samping Jante, Rangga
pun tidak ikut,
juga karena alasan yang sama, yaitu karena
panglima yang
dikawalnya menduduki tempat yang terlalu
penting untuk
tidak dikawal. Maka, pada saat yang telah
ditetapkan,
berkumpullah pasukan khusus ini.
Untuk satu minggu pasukan mendapat
petunjuk-petunjuk
berbagai segi medan yang akan mereka hadapi.
Kemudian
tentang jumlah persenjataan dan
kebiasaan-kebiasaan lawan.
Akhirnya, tentang cara-cara serangan yang
mungkin akan
harus dilakukan. Dan setelah semuanya itu
selesai, anggotaanggota
pasukan diberi waktu istirahat salama satu
hari.
Keesokan harinya mereka diberangkatkan ke
medan
pertempuran.
Jelas bagi Pangeran Muda, ia tidak mungkin
dapat bertemu
dahulu dengan Putri Yuta Inten. Akan tetapi,
kesedihannya itu
ditekannya dengan kesadaran bahwa masalah
pribadinya
sangat kecil artinya kalau dibandingkan
dengan nasib rakyat
dan seluruh kerajaan. Dengan selalu
menekankan kepentingan
kerajaan inilah Pangeran Muda dapat mencumbu
dirinya
sendiri, agar tidak terlalu risau.
Ketika barisan mendapat penghormatan
terakhir dari
penduduk kota dan sang Prabu, Pangeran Muda
melihat
kedatangan sebuah kereta. Dari dalam kereta
itu turunlah
Raden Banyak Citra dengan keluarganya. Putri
Yuta Inten
menghambur, dan seraya melupakan
kebangsawanannya
mendesak ke muka untuk dapat berdiri di
pinggir jalan di
mana pasukan khusus dengan megah lewat.
Pangeran Muda
berusaha memberi isyarat kepada Putri Yuta
Inten yang
mencari-carinya di antara pasukan yang
berseragam dan
bertutup kepala sama itu. Akan tetapi Yuta
Inten tidak dapat
membedakan Pangeran Muda dari anggota
pasukan yang lain.
Lalu dalam sekejap mata, anggota-anggota
pasukan sudah
berada di luar dinding benteng, menderu ke
arah timur di atas
kuda-kuda masing-masing.
Walaupun pasukan tempur hanya terdiri dari
tiga puluh
orang, anggota pasukan yang berangkat hari
itu terdiri dari
empat puluh satu orang. Yang sepuluh orang
adalah pengurus
senjata, pengurus kuda dan juru-juru masak.
Sedang yang
seorang lagi adalah ahli dalam obat-obatan
yang akan
memelihara kesehatan pasukan dan merawat
yangmungkin
terluka. Dengan berpakaian serbaindah dan
dengan panjipanji
yang berkibar megah, pasukan ini
meninggalkan Pakuan
Pajajaran ke arah timur. Pada suatu tempat,
ketika
perkampungan sudah menjadi jarang, Pangeran
Muda
bersama pasukan berhenti. Pertama, untuk
mengganti
pakaiannya yang megah dengan pakaian
pertempuran; kedua,
untuk memberi minum kepada kuda mereka.
Setelah itu,
selama satu minggu pasukan terus bergerak
menuju ke timur,
hingga pada suatu ketika tibalah di suatu
hutan yang tidak
begitu lebat di tepi barat Cipamali. Di sana
mereka diterima
oleh perwira pemimpin asrama jagabaya yang
ditempatkan di
tengah-tengah hutan. Perwira itu memberikan
penjelasan
sekadarnya tentang keadaan medan, kemudian
secara
bergiliran anggota pasukan khusus itu
dipersilakan pergi
mengunjungi tempat pengintaian.
Ketika giliran Pangeran Muda tiba, Pangeran
Muda pergi ke
tempat pengintaian itu dengan empat orang
kawannya, yaitu
Pamuk, Girang, Ginggi, dan Wide. Mereka
diantar oleh
jagabaya dan setelah beberapa lama
menyelinap dalam
semak-semak, akhirnya sampailah mereka di
sebuah bukit
kecil yang di atasnya ditumbuhi sebatang
pohon yang sangat
tinggi.
"Kita tiba, Saudara-saudara," kata
jagabaya itu seraya
melihat ke atas pohon. Pangeran Muda melihat
pula ke sana.
Tampaklah olehnya seorang kakek-kakek
berambut putih
sedang duduk di sebuah dahan besar sambil
memegang suatu
benda yang diletakkan di depan matanya
seraya ia
memandang ke arah timur.
"Di atas itu adalah Ki Monyet Putih,
pengintai kerajaan
yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini
dan hafal akan
setiap helai daun yang ada di hutan-hutan di
tepi barat dan
timur Cipamali ini," kata jagabaya itu
sambil tersenyum.
"Marilah kita panggil Ki Monyet
Putih," kata jagabaya itu,
lalu membunyikan bibirnya meniru suara
burung hutan. Ki
Monyet Putih menoleh, lalu memasukkan benda
yang
dipegangnya ke dalam kantong-koja yang
disandangnya.
Seperti seekor kera ia meluncur ke bawah.
"Ini anggota-anggota pasukan baru,
harap dipersilakan
melihat medan," kata jagabaya itu.
Para calon puragabaya memperkenalkan diri
dan memberi
salam kepada orang tua yang sudah berambut
putih itu.
Kemudian orang tua itu menjelaskan, dari
atas pohon yang
tinggi itu mereka akan dapat melihat tempat
pemusatan lawan
dengan segala gerak-gerik yang mereka
lakukan. Adapun
untuk melihat lawan itu mereka akan
mempergunakan sebuah
Permata Sakti yang menjadi milik keluarga Ki
Monyet Putih
turun-temurun. Sambil berkata demikian, Ki
Monyet Putih
mengeluarkan benda yang tadi dipegangnya
dari dalam
kojanya. Benda itu adalah sebuah bumbung
bambu kecil yang
telah mengilap karena pemeliharaan. Di dalam
bumbung
bambu yang tidak ada bukunya lagi itu
diletakkan sebuah
permata putih yang bulat dan pipih
bentuknya. Permata Putih
itu ditempatkan di suatu tempat dalam
bumbung bambu itu
dengan bantuan bingkai logam perak, yang
melingkari
pinggirnya. Sambil memperlihatkan benda itu
dan
menerangkan sejarahnya, Ki Monyet Putih
berulang-ulang
menyatakan bahwa benda itu sangat suci,
anugerah para
bujangga dan pohaci kepada keluarganya, agar
keluarganya
dapat membantu menjaga keamanan dan
kesejahteraan
Pajajaran.
Setelah itu para calon dipersilakan untuk
siap memanjat
pohon itu dengan mempergunakan tangga
tambang yang
akan dipasang oleh Ki Monyet Putih. Para
calon menyatakan
bahwa mereka tidak memerlukan tangga.
"Tapi pohon ini sangat tinggi dan licin
karena terusmenerus
dipanjat orang," ujar Ki Monyet Putih.
"Kami telah berlatih di padepokan
bagaimana memanjat
pohon yang licin, Kakek," jawab Ginggi.
Maka, walaupun raguTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ragu, Ki Monyet Putih mulai memanjat. Para
calon
mengikutinya, sama tangkas dan cekatan
seperti Ki Monyet
Putih sendiri. Dengan keheranan, Ki Monyet
Putih memandang
mereka. Setelah mereka berada di atas,
secara bergiliran para
calon diberi kesempatan untuk mempergunakan
permata itu
dan melihat ke arah timur, ke tempat yang
ditunjukkan oleh Ki
Monyet Putih.
Dengan ajaib sekali, melalui permata sakti
itu hutan yang
jauh jadi dekat dan besar kelihatannya.
Demikian pula, apa
yang tampak samar-samar menjadi jelas
kelihatan. Dan
setelah beberapa lama menyusur hutan dengan
pandangannya, mata Pangeran Muda melihat
sejumlah gubuk,
dengan sebuah gubuk besar terletak di
tengah-tengah.
Gubuk-gubuk itu berwarna hitam, agar tidak
mudah kelihatan.
Di sekitar gubuk-gubuk tampak sejumlah besar
tentara,
sekurang-kurangnya meliputi ratusan orang,
sedang sibuk
bekerja. Di antara yang sedang bekerja,
tampak sejumlah
besar yang sedang memasang rakit-rakit. Di
samping itu,
tampak pula orang-orang yang sedang
mengangkut dan
membongkar perlengkapan dari pedati-pedati
besar yang
ditarik oleh kerbau ke dalam hutan itu. Di
antara perlengkapan
itu tampaklah pula senjata, seperti
tombak-tombak dan
pelanting-pelanting besar.
Setelah semua mendapat giliran, para calon
pun turun, lalu
diantar kembali ke asrama jagabaya yang
terletak agak jauh
menjorok ke dalam hutan dari tepi barat
Cipamali.
Malam itu puragabaya Geger Malela
mengumpulkan
pasukan, dan dengan sebuah peta kulit di
depannya mulai
menerangkan kedudukan lawan. Gubuk-gubuk
diperkirakan
sebagai tempat bermalam perwira-perwira dan
tempat
menyimpan persediaan, sedang rakit-rakit
adalah sebagai alat
penyeberangan pasukan lawan, kalau mereka
sudah merasa
saatnya tiba untuk bergerak ke barat. Akan
tetapi, tentu saja
gerakan hanya akan dimulai, seandainya
perkiraan-perkiraan
itu sudah dibuktikan. Untuk itu, dua orang
calon akan dikirim
sebagai pengintai. Mereka harus menyeberangi
Sungai
Cipamali dan mencoba mendekati perkubuan
lawan sedekat
mungkin. Untuk itu Pangeran Muda ditugaskan
untuk pergi
bersama-sama dengan Ginggi. Pada malam itu
juga Pangeran
Muda berenang menyeberangi sungai yang besar
itu diikuti
oleh Ginggi.
Malam tiba di seberang timur dan dalam waktu
yang
hampir bersamaan. Ketika mereka mulai
bergerak ke dalam
hutan, mereka mendengar desir semak. Mereka
segera
berhenti dan bersembunyi. Tak berapa lama
kemudian
muncullah dua orang anggota pasukan musuh,
mengobrol
perlahan-lahan dalam bahasa yang asing.
Melihat kedua
anggota pasukan lawan yang juga sedang
melakukan
pengintaian dan melihat-lihat ke seberang,
Ginggi berpaling
dan bertanya dengan isyarat mata, apa yang
akan mereka
lakukan. Pangeran Muda menggelengkan kepala,
sebagai
isyarat bahwa mereka tidak akan melakukan
apa-apa terhadap
anggota pasukan lawan itu. Maka mereka pun
kembali
merangkak-rangkak dan menyelinap dalam
semak-semak
seperti dua ekor ular.
Ternyata daerah perkubuan lawan yang melalui
permata
sakti itu tampak dekat, pada kenyataannya
sangatlah jauh.
Sebelum sampai ke tempat itu Pangeran Muda
dengan Ginggi
harus menyeberangi sungai-sungai kecil,
memanjat tebingtebing
rendah, dan bahkan melintasi perbukitan
kapur yang
tidak bersemak. Mereka terpaksa merangkak
seperti dua ekor
ular, agar tidak tampak seandainya anggota
pasukan berada
dekat-dekat ke sana. Untung malam sangat
kelam dan
penyelinapan mereka pun tidak terlalu sukar
untuk dilakukan.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada
di tepi
perkubuan itu. Mula-mula mereka bersembunyi
dalam semak,
tetapi karena malam sangat gelap dan orang
sangat banyak,
akhirnya Pangeran Muda dengan Ginggi dapat
menggabungkan diri dengan lawan, dan dengan
bebas
mencatat dalam hati apa yang mereka lihat di
sana. Dengan
hati berdebar-debar, mereka berjalan ke sana
kemari di antara
orang-orang yang bekerja dalam gelap. Untuk
tidak
menimbulkan kecurigaan Ginggi dan Pangeran
Muda
mengangkat keranjang kosong yang mereka
temukan di suatu
tempat. Setelah cukup mendapat gambaran,
mereka pun
kembali menyelinap ke dalam semak, lalu
menyusur hutan ke
arah barat.
Mereka baru tiba kembali ke pangkalan pada
saat subuh.
Sepanjang malam itu puragabaya Geger Malela
terus
menunggu, dan ketika mereka tiba baru
puragabaya itu tidur.
Karena harus memusatkan seluruh perhatian,
dan karena
menderita tekanan ketegangan sewaktu mereka
berada di
perkubuan lawan, pengintaian itu merupakan
tugas yang
sangat melelahkan. Pangeran Muda dan Ginggi
tertidur
dengan pulas, dan baru ketika akan diadakan
perundingan,
keesokan harinya mereka dibangunkan.
Pada perundingan itu segala perkiraan
diperiksa kembali
dan disesuaikan dengan apa yang dilihat oleh
kedua pengintai.
Setelah itu baru ditetapkan siasat
penyerangan. Seluruh
pasukan dibagi dalam kelompok-kelompok.
Kelompok itu
terdiri dari tiga sampai lima orang. Setiap
kelompok
diharuskan menyerang penghuni kubu-kubu,
sedang yang lima
orang yang termasuk ke dalam kelompok
Pangeran Muda
diberi tugas untuk menyerang isi kubu yang
paling besar, di
mana diperkirakan Panglima Pasukan lawan
menginap.
Kelompok lain yang terdiri dari lima orang
lagi ditugaskan
untuk membakar semua daerah perkubuan dan
rakit-rakit
yang sudah dibuat ataupun bahannya. Setiap
anggota
pasukan diminta agar dapat membunuh
sebanyak-banyaknya.
Setelah itu ditetapkan aba-aba penyerangan
dan aba-aba
pengunduran diri.
Malam itu juga, ketika hari mulai gelap,
ketiga puluh orang
pasukan dengan diantar oleh perwira asrama
jagabaya
setempat berangkat ke tempat penyeberangan
yang telah
ditetapkan. Anggota-anggota pasukan
bersenjata lengkap,
berupa gada-gada, pedang-pedang pendek, dan
baju zirah. Di
samping itu, beberapa anggota pasukan
membawa minyak
kelapa yang akan membantu mereka dalam
melakukan
pembakaran-pembakaran.
Maka setelah dua orang puragabaya berenang
dan
merentangkan tambang, pasukan pun dengan
berpegang
pada tambang itu mulai menyeberangi
Cipamali.
Penyeberangan itu tidak mudah dilakukan,
bukan saja karena
persenjataan mereka berat, tetapi
perbekalan-perbekalan lain
seperti minyak sangat sukar diseberangkan
tanpa menderita
kerusakan. Di samping itu, penyeberangan pun
tidak dapat
pula dilakukan dengan terlalu berisik karena
hal itu mungkin
menarik perhatian pengintai-pengintai lawan.
Setelah penyeberangan dilakukan dengan
selamat, pasukan
pun bergerak terus. Sengaja mereka mengambil
jalan
melingkar, bukan saja untuk menghindarkan
kemungkinan
adanya pengintai lawan, tetapi juga agar
dapat menyerang
lawan dari arah timur. Dan setelah lama
sekali mengendapendap,
tibalah mereka di tempat menunggu yang telah
ditetapkan, yaitu sebuah hutan yang berada
di sebelah timur
perkubuan. Untuk beberapa lama mereka
menunggu di sana,
sambil menunggu berkurangnya kesibukan di
perkubuan. Pada
saat itulah mereka akan menyerang. Setelah
malam sangat
larut dan perkubuan bertambah sunyi, pasukan
pun bergerak
mendekati. Beberapa lama mereka menunggu
lagi sambil
berjalan meniarap, lalu ketika subuh tiba
serta ayam
berkokok, puragabaya Geger Malela memberi
aba-aba
penyerangan. Menghamburlah pasukan
melangkahi anggotaanggota
pasukan lawan yang tidur di lapangan dan
sekitar
perkubuan.
Pangeran Muda dengan lima orang calon
puragabaya
menghambur menuju gubuk yang terbesar.
Mereka dihadang
oleh beberapa orang penjaga, dan di depan
gubuk pun
terjadilah pergumulan. Pangeran Muda
dihadang oleh seorang
penjaga, tapi penjaga itu tidak diberinya
kesempatan. Dengan
dua gerakan, kepala penjaga itu telah remuk
oleh gada
kecilnya. Setelah itu Pangeran Muda memasuki
gubuk.
Beberapa orang yang masih terbaring atau
setengah bangun
dihantam oleh Pangeran Muda dan
kawan-kawannya. Teriakan
kesakitan, peringatan, aba-aba bahaya
bercampur aduk
dengan suara gemuruh api. Dalam kalang kabut
itu Pangeran
Muda memukulkan gadanya ke kiri dan ke kanan
ke arah
penjaga-penjaga yang memasuki gubuk.
Tiba-tiba bagian atas
gubuk mulai terbakar karena seseorang
melemparkan obor ke
sana. Ginggi mempergunakan pedangnya untuk
membuat
lubang di sisi kemah, dan dengan melalui
lubang itu ia keluar.
Pangeran Muda sambil menghindarkan serangan
dan memukul
lawan yang menyerbu masuk ke dalam gubuk
mundur ke arah
lubang itu. Dan ketika ia sudah tepat berada
di depan lubang
itu ia melompat keluar.
Di luar tampak orang kalang kabut berlarian
ke sana kemari
sambil berteriak-teriak. Api berkobar-kobar
di semua gubuk
juga di tempat pembuatan dan penimbunan
rakit. Dalam
keadaan kalang kabut itu, Pangeran Muda
melihat puragabaya
Geger Malela berdiri di tengah-tengah
lapangan seraya
memerhatikan kejadian itu dengan senjata di
tangan.
Puragabaya itu tidak melakukan hal-hal lain,
kecuali
memerhatikan seluruh kejadian itu dengan
tenang dan teliti.
Tak lama kemudian, ia berjalan ke arah
penimbunan rakit.
Sambil berjalan berulang-ulang, ditebaskan
pedangnya ke
arah pasukan lawan yang hilir mudik dengan
kacau.
Sesuai dengan yang diperintahkan, Pangeran
Muda pun
segera menuju ke tempat pembuatan dan
penimbunan rakit.
Di tempat itu terjadi pertempuran antara
anggota-anggota
pasukan khusus Pajajaran yang sedang
melindungi kawankawannya
yang bertugas membakar rakit-rakit, melawan
anggota-anggota pasukan lawan yang akan
menyelamatkan
rakit-rakit dan bahan-bahan rakit mereka
yang mulai menyala.
Melihat hal itu, Pangeran Muda segera
menyerbu, menetakkan
gadanya ke arah pasukan lawan dari arah
belakang.
Ternyata tugas membakar rakit itu tidak
dapat dilakukan
dengan mudah. Selain minyak bakar terlalu
sedikit yang dapat
diselamatkan dalam penyeberangan, ternyata
bambu-bambu
besar yang menjadi bahan rakit itu masih
basah. Itulah
sebabnya sejumlah anggota pasukan terpaksa
harus menahan
serangan lawan untuk melindungi
kawan-kawannya yang
sedang menyiramkan minyak dan menyuluti
rakit-rakit itu.
Pangeran Muda dengan sekuat tenaga membantu
memukul
pasukan lawan yang makin lama makin banyak
bergerak ke
arah tempat rakit itu. Pangeran Muda pun
melihat bagaimana
api makin lama makin besar, dan akhirnya
berada di luar
jangkauan lawan untuk memadamkannya. Dalam
kobaran api
yang menerangi cakrawala itu, terdengarlah
aba-aba
pengunduran diri. Pangeran Muda seraya masih
memukul ke
kanan dan ke kiri menghambur ke dalam hutan
yang kelam.
Setiba di tempat berkumpul yang telah
ditentukan,
Pangeran Muda melihat sebagian dari
kawan-kawannya sudah
berada di sana. Kemudian puragabaya Geger
Malela muncul,
sambil menyusut pedangnya yang penuh darah
dengan daundaunan
yang dipungutnya. Kemudian beberapa orang
yang
lain muncul. Hanya tiga orang yang tidak
kembali hingga saat
kokok ayam hutan terdengar, ketika mereka
menetapkan
untuk pergi. Untuk ketiga orang anggota
pasukan yang tidak
kembali itu, mereka mengucapkan doa
bersama-sama.
Kemudian pasukan bergerak ke salah satu
pinggir sungai yang
lain. Perjalanan yang sukar kembali
ditempuh, kemudian
penyeberangan yang berbahaya dan akhirnya
tibalah mereka
di asrama jagabaya yang jadi pangkalan
mereka.
Dua hari setelah pertempuran malam itu,
pasukan khusus
yang dipimpin oleh puragabaya Geger Malela
kembali ke
Pakuan Pajajaran. Pasukan itu kehilangan
tiga orang
jagabaya. Pangeran Muda disambut oleh Putri
Yuta Inten yang
tidak kembali ke kota Medang tapi tetap
menunggu di Pakuan
Pajajaran hingga Pangeran Muda tiba kembali
dari perbatasan.
Saat-saat sekembali dari pertempuran itu
merupakan saat
yang paling membahagiakan bagi Pangeran
Muda.
HAMPIR dua minggu Putri Yuta Inten menunggu
kedatangan Pangeran Muda dari Pajajaran
timur. Hal itu
bukan saja karena kekerasan hati Putri Yuta
Inten untuk tidak
kembali ke Medang, tetapi juga karena Raden
Banyak Citra
berkepentingan untuk berada di Pakuan
Pajajaran selama
keadaan genting itu. Setelah pasukan khusus
kembali dari
perbatasan timur, karena memahami akan
hasrat Putri Yuta
Inten untuk berdekatan dengan Pangeran Muda,
Raden
Banyak Citra mengundurkan waktu pulangnya.
Kedua muda remaja mempergunakan kesempatan
yang
baik itu dengan penuh gairah. Kalau tidak
berjalan-jalan
melihat-lihat kemegahan kota, kadang-kadang
Pangeran Muda
meminjam sebuah kereta kecil dari Pangeran
Rangga Wesi,
lalu membawa Putri Yuta Inten mengembara di
padangpadang
di luar benteng. Pada suatu kali, dengan
mempergunakan kereta kecil itu, mereka
mengembarai jalanjalan
yang melintasi padang-padang, huma-huma dan
palawija
penduduk. Ketika matahari berada di puncak
dan kuda mereka
kelelahan, Pangeran Muda membelokkan kereta
kecil itu
menuju ke arah sebuah mata air yang sekelilingnya
ditumbuhi
oleh semak-semak bunga yang rindang dan
rumput-rumput
yang hijau. Mereka pun turunlah di tempat
yang teduh itu.
Ketika Pangeran Muda melepaskan kuda untuk
memberinya
minum, Pangeran Muda tidak melihat ke
belakang. Dan ketika
Pangeran Muda kembali ke kereta, Putri Yuta
Inten sudah
tidak ada. Pangeran Muda terkejut, kemudian
melihat ke
sekeliling, ke kaki langit, ke padang-padang
lalang dan semaksemak
yang berdekatan dengan mata air itu. Akan
tetapi, Putri
Yuta Inten tidak tampak. Pangeran Muda
berseru memanggilmanggil
untuk beberapa kali, tetapi tidak ada yang
menyahut.
Dengan cemas, Pangeran Muda berjalan ke arah
kereta, lalu
melihat tanah di sekeliling kereta itu. Ia
tersenyum karena
jejak kaki hanya ada sepasang, kecil-kecil
dan ringan.
Dengan mengikuti jejak kaki itu, Pangeran
Muda berjalan
hati-hati menuju semak bunga-bungaan,
kemudian memasuki
semak yang pohon-pohonnya agak besar. Begitu
Pangeran
Muda tiba di suatu pinggir kelompok semak
yang rimbun,
terdengarlah suara tertawa ditahan, kemudian
tampaklah
Puteri Yuta Inten berlari menjauh. Pangeran
Muda
mengejarnya, makin lama makin dekat.
Kemudian makin
dekat, dan rambut Yuta lnten yang panjang
mengibas-ngibas
wajahnya. Akhirnya, Pangeran Muda menangkap
pinggang
gadis itu yang sambil tertawa-tawa
menjatuhkan diri,
membawa Pangeran Muda berguling-guling di
atas rumputrumput
yang lembut itu. Dengan mulut tertutup,
untuk
beberapa lama mereka bergulat,
berguling-guling. Tiba-tiba
Yuta Inten memegang tangan Pangeran Muda.
”Jangan!" katanya lemah.
Sejenak mereka diam membisu, hanya napas
mereka yang
berat terdengar. Untuk beberapa lama mereka
tidak berkata
apa-apa, kemudian setelah agak tenang
Pangeran Muda
berkata, "Adinda, tidakkah kau takut
memancing-mancing
Kakanda ke dalam hutan seperti ini?"
"Mengapa harus takut? Adinda didampingi
oleh seorang
calon puragabaya."
"Maksud Kakanda, tidakkah kau takut
akan diri kita sendiri,
terutama oleh Kakanda sebagai seorang
laki-laki?"
"Kakanda seorang kesatria, dan bukan
orang kasar yang
tidak tahu tata krama," ujar Putri Yuta
Inten sambil
menyurukkan wajahnya ke dada Pangeran Muda.
Setelah beberapa lama hening, berkatalah
Pangeran Muda,
"Bagaimana kalau kita segera
kawin?"
Putri Yuta Inten melepaskan pelukannya,
memandang ke
arah Pangeran Muda, lalu memeluknya lagi.
Mereka pun
kembali berguling-guling di atas rumput itu,
dan baru
beberapa lama mereka dapat berkata-kata.
"Ayahanda sedang sangat bersenang hati,
segera minta
izin," kata gadis itu dengan sepenuh
hati.
"Kita direncanakan untuk menikah pada
waktu yang sama
dengan Kakanda Rangga Wesi dan Ayunda
Ringgit Sari,
Kakanda harus berunding dengan mereka dan
Ayahanda
terlebih dahulu."
"Ya, cepadah, sebelum berita datang
dari perbatasan dan
Kakanda harus menerima tugas kembali."
"Tugas tidaklah menjadi persoalan. Kau
dapat mengikutiku
sebagai seorang istri ke kota Galuh,"
ujar Pangeran Muda
sambil memegang tangan gadis itu.
"Adinda akan ikut Kakanda walau ke
medan perang
sekalipun," katanya.
"Mari, kita harus segera bertemu dengan
Kakanda Rangga
Wesi," kata Pangeran Muda. Tanpa
menjawab Putri Yuta Inten
bangkit lalu berlari ke arah kereta,
Pangeran Muda
mengikutinya dari belakang. Tak lama
kemudian, seperti tidak
menyentuh tanah, kereta kecil itu menderu di
jalan-jalan di
luar benteng Pakuan Pajajaran, menuju
gerbangnya yang
megah dan lebar itu.
MELIHAT kedatangan mereka, Pangeran Rangga
Wesi
sungguh-sungguh keheranan.
"Adik-adikku, apakah yang terjadi? Dari
mana pula kalian,
hingga pakaian kalian kusut dan rambut
kalian penuh dengan
rumput?"
Kedua remaja itu tidak peduli akan
pertanyaan itu dan
Pangeran Muda segera berkata, "Kakanda,
kami bermaksud
cepat-cepat menikah, kami minta izin kepada
Kakanda, kami
berniat menikah lebih dahulu."
Mendengar usul itu, Pangeran Rangga Wesi
lebih terkejut
lagi, tetapi kemudian ia berkata,
"Kalian kira Kakanda sendiri
cukup sabar?" Sambil tersenyum,
kemudian Pangeran itu
melanjutkan, ”Adinda berdua, Kakanda
mengerti akan hasrat
kalian, tetapi sebagai seorang yang lebih
tua, sebagai kakak
kepada adik-adiknya, Kakanda merasa
kewajiban untuk
menyampaikan saran. Bagaimana kalau
ditangguhkan
beberapa lama lagi, terutama karena berita
sudah tiba di
perbatasan timur."
Sebelum perkataan Pangeran Rangga Wesi
selesai,
Pangeran Muda telah menyela, "Akan
tetapi, Kakanda, ada
atau tidak tugas tidaklah menjadi
pertimbangan kami.
Seandainya tugas tiba bagi hamba untuk pergi
ke kota Galuh,
hamba akan lebih berkeras lagi meminta
kepada Ayahanda
agar kami segera dipersatukan. Hamba tidak
sanggup pergi ke
Galuh seorang diri."
Setelah tersenyum, Pangeran Rangga Wesi
berkata,
"Adinda Anggadipati, kalian salah
sangka. Kalian tidak akan
ditugaskan ke Galuh sementara. Karena
perbatasan timur
aman, dan Galuh pun aman, Adinda akan
dikembalikan ke
Padepokan Tajimalela untuk enam bulan, kemudian
dalam
upacara diangkat menjadi puragabaya yang
sempurna.
Kakanda sudah berunding dengan Ayahanda
Anggadipati
bahwa upacara perkawinan kita akan dilakukan
dengan
perayaan menerima seorang puragabaya dan
seorang
pengantin di Puri Anggadipati."
Mendengar itu termenunglah Pangeran Muda.
Enam bulan
bukanlah waktu yang lama, sedang jarak
antara padepokan
dengan Medang tidaklah jauh benar. Hanya
satu hari
perjalanan berkuda. Di samping itu, apa
salahnya menunggu
kalau hal itu akan lebih menyemarakkan
perkawinan mereka?
Adalah watak terpuji bagi seorang kesatria
untuk bersabar dan
tidak tergesa-gesa. Akan tetapi, keputusan
tidak terletak
kepadanya sendiri. Maka Pangeran Muda pun
berpaling pada
Putri Yuta Inten yang, ada di sampingnya.
"Bagaimana pendapatmu, Adinda?"
"Kakanda akan menjadi puragabaya dalam
enam bulan?"
"Ya," jawab Pangeran Muda dengan
pasti.
"Dan Kakanda tidak akan meninggalkan
hamba ke Galuh?"
"Tidak," lanjut Pangeran Muda.
"Kakanda akan berada di Padepokan
Tajimalela kembali
dan kita dapat sering bertemu."
"Kalau begitu...," ujar Putri Yuta
Inten, "terserah kepada
Kakanda."
"Kita tidak akan menjadi terlalu tua
dalam enam bulan,
Adinda," ujar Pangeran Muda sambil
tersenyum seraya
memegang tangan gadis itu.
.Pangeran Rangga Wesi pun tersenyum, lalu
berkata, "Dan
tidak hanya kalian yang harus bersabar, kami
pun, Kakanda
dengan Kakanda Ringgit Sari, terpaksa harus
menunggu dulu
Adinda Anggadipati puragabaya."
DUA hari sejak peristiwa itu, Pangeran Muda
berangkat dari
ibu kota. Mula-mula menuju Medang, mengantar
Putri Yuta
Inten dengan ayahandanya, kemudian tanpa
menginap dulu,
langsung menuju Padepokan Tajimalela. Setiba
di sana,
bersama-sama dengan kawan-kawan
seangkatannya,
Pangeran Muda langsung digembleng dalam ilmu
perkelahian
yang baru.
Seperti juga ilmu keseimbangan badan dan
ketangkasan,
ilmu yang terakhir ini merupakan ilmu
pelengkap bagi
kemampuan berkelahi yang sebenarnya. Dalam
latihan
keseimbangan badan, setiap calon diharuskan
menguasai
sejuruh tubuhnya hingga ia tidak mungkin dirubuhkan
dalam
perkelahian. Dalam latihan ketangkasan,
selain digembleng
hingga setiap calon tidak akan mudah lelah,
kecepatan
menggerakkan dan mempergunakan seluruh
anggota badan
dan ketepatan penggunaannya harus mereka
miliki. Isi dari
kemampuan berkelahi itu sendiri terletak
pada kemampuan
melakukan gerakan-gerakan secara sempurna
dan melakukan
pukulan-pukulan yang keras pada
bagian-bagian tubuh lawan
yang lemah. Dalam latihan taraf terakhir
ini, pancaindralah
yang dipertajam.
Mula-mula mata para calon dilatih untuk
berjalan di tempat
yang sukar di dalam gelap, menyeberangi
jembatan tali di
tempat yang gelap, memanjat jurang di tempat
yang gelap,
dan membedakan berbagai warna di tempat yang
gelap.
Latihan itu diseling dengan latihan bertapa,
tanpa menyentuh
makanan atau minuman kadang-kadang untuk
waktu
beberapa hari. Mata mereka pun berulang
diberi obat-obat
oleh Pa-manda Minda. Setelah terus-menerus
latihan itu
dilakukan, akhirnya terasa oleh Pangeran
Muda bahwa
pandangannya semakin tajam, hingga siang dan
malam tidak
lagi berbeda baginya. Latihan mata hanya
sebentar saja
dilakukan di bawah bimbingan, dan seperti
juga kebanyakan
dari latihan-latihan lain, akhirnya latihan
mata diserahkan
penyempurnaan kepada para calon sendiri.
Berturut-turut mata, telinga, hidung, dan
seluruh
permukaan kulit diperhalus sedemikian rupa,
hingga para
calon dapat mengetahui gerak-gerik alam yang
sekecilkecilnya
dengan bantuan pancaindra mereka yang telah
dipertajam itu. Setelah gemblengan dilakukan
terus-menerus
selama enam bulan, akhirnya latihan
kepuragabayaan mereka
dianggap selesai.
Mereka menerima pesan dari Eyang Resi, untuk
terusmenerus
memperhalus kemampuan pancaindra mereka
dalam
kehidupan.
Sebelum upacara pengangkatan mereka sebagai
puragabaya, dan selagi menunggu
bangsawan-bangsawan
tinggi serta Putra Mahkota yang akan
menghadiri upacara itu,
Eyang Resi memberi mereka waktu istirahat
selama dua
minggu. Kebanyakan dari para calon
meninggalkan
padepokan, demikian juga Pangeran Muda.
Sebagian dari
waktu cutinya dipergunakan di Puri
Anggadipati, sebagian di
kota Medang di mana upacara pertunangannya
dengan Putri
Yuta Inten dilaksanakan.
Setelah pertunangan itu dilangsungkan, Jante
yang datang
bersama-sama ke Medang dengan Pangeran Muda,
meminta
izin kepada orangtuanya untuk pergi ke
Kutabarang untuk
menguruskan hal-hal yang tidak diterangkan
kepada orang
lain. Oleh karena itu, ketika saat untuk
kembali ke padepokan
tiba, Pangeran Muda hanya diiringkan oleh
Mang Ogel yang
menjadi pengiring Pangeran Muda dalam masa
cuti itu.
Ketika mereka tiba kembali di padepokan,
sebagian dari
bangsawan-bangsawan dari ibu kota sudah
hadir. Beberapa
hari kemudian saat upacara pelantikan pun
tiba dan para
calon sudah hadir semua, kecuali Jante.
Dengan gelisah,
Pangeran Muda menunggu calon iparnya datang,
tetapi ketika
upacara dilaksanakan Jante tidak muncul.
Maka upacara pun
dilangsungkan tanpa Jante.
Dalam upacara yang khidmat itu mula-mula
dilakukan
penyumpahan terhadap para calon. Para calon
berjanji dengan
petaruh nyawa mereka masing-masing untuk
setia kepada
kepentingan warga kerajaan, untuk tidak
menyentuh ilmu-ilmu
lain kecuali ilmu kepuragabayaan, untuk
tidak
mempergunakan ilmunya kecuali dalam keadaan
terpaksa dan
atas nama kepentingan kerajaan, untuk tidak
sayang pada
kepentingan dirinya bahkan kepada jiwanya
sendiri kalau
kerajaan meminta, untuk tidak menyentuh
makanan dan
minuman yang dapat menghalau pikiran sehat,
untuk
berusaha menjadi contoh dalam segala hal
yang baik dalam
kehidupan, khususnya sebagai prajurit dan
warga kerajaan.
Setelah penyumpahan dilakukan upacara
perlambang,
Pangeran Muda dipilih untuk mewakili
kawan-kawannya.
Pada upacara itu Pangeran Muda berpakaian
bangsawan
tinggi, dengan pakaian gemerlapan, dengan
mahkota emas
yang biasa dipakai oleh seorang pangeran. Ia
menyandang
pedang dan badik, memegang tombak di tangan
kanan dan
tameng besar di tangan kiri. Di samping itu,
Mang Ogel yang
berjalan di sampingnya membawa baki yang di
atasnya
terletak dua buku, yaitu buku kepuragabayaan
dan buku
kenegarawanan. Dengan diiringi oleh para
pelatih dan para
calon, Pangeran Muda berjalan ke hadapan
Eyang Resi yang
berdiri berdampingan dengan Putra Mahkota.
Ketika mereka
sudah berhadapan di tengah-tengah lapangan
padepokan itu,
Eyang Resi membacakan doa-doa, diikuti oleh
Putra Mahkota
dan bangsawan-bangsawan tinggi yang berdiri
di belakang
mereka. Setelah itu Eyang Resi menyalakan
api dalam
pedupaan batu besar yang telah berdiri
beratus tahun di sana.
Api yang bahan bakarnya terdiri dari kayu
samida yang
dicampur dengan minyak itu menyala dengan
cahaya yang
putih.
Pangeran Muda, sesuai dengan petunjuk yang
telah
diberikan kepadanya sebelumnya, berjalan ke
arah api itu.
Ketika Mang Ogel menyodorkan baki yang
berisi dua buah
buku,
Pangeran Muda mengambil buku tentang kenegarawanan,
dan setelah mengacungkannya untuk dilihat
hadirin,
melemparkannya ke dalam api, sebagai lambang
bahwa
sebagai puragabaya ia menghindarkan buku itu
dan
membuangnya jauh-jauh dalam kehidupannya.
Setelah itu
Pangeran Muda mengambil perhiasan-perhiasan
yang
semuanya terbuat dari emas, yang juga
dilemparkannya ke
dalam api, sebagai lambang, bahwa sebagai
puragabaya ia
hanya akan mengejar pelaksanaan kewajibannya
dan akan
menghindarkan kemewahan. Setelah itu tombak
dipatahkannya, demikian juga pedang panjang,
yang
kesemuanya juga menjadi makanan api suci,
lambang
semangat kepuragabayaannya. Pangeran Muda
membuang
senjata-senjata panjang karena
senjata-senjata itu hanya
dipergunakan oleh rakyat dan
prajurit-prajurit biasa, yaitu jagabaya-
jagabaya dan para gulang-gulang. Puragabaya
hanya
mempergunakan senjata-senjata pendek. Itu
berarti bahwa
puragabaya akan bertempur untuk kepentingan
kerajaan di
barisan yang paling depan dan akan bertempur
dari tangan ke
tangan. Setelah semua lambang dari hal-hal
yang asing bagi
kepuragabayaan dan yang harus dijauhi oleh
puragabaya
diserahkan ke dalam api suci, ketiga pelatih
yang membawa
pakaian serta senjata puragabaya maju ke
depan, lalu
melekatkan pakaian kepuragabayaan yang
berwarna putih,
dengan ikat pinggang keemasan kepada
Pangeran Muda. Di
luar pakaian putih itu ditutupkan pula
pakaian hitam, sebagai
pelindung dan pakaian malam puragabaya.
Setelah itu rambut
Pangeran Muda yang sekarang terurai, diikat
dengan ikat
kepala puragabaya yang juga berwarna hitam.
Setelah itu
diserahkan dua senjata pendek, yaitu sebuah
kujang dan
sebuah trisula, senjata-senjata
kepuragabayaan. Lalu Mang
Ogel maju dengan bakinya, dan Pangeran Muda
mengambil
buku yang ada di atasnya, buku
kepuragabayaan yang
kemudian dipegangnya.
Setelah itu, datanglah si Rawing membawa dua
ekor kuda,
yang satu adalah si Gambir, kuda yang setia
dan sudah tua,
yang lain putih warnanya, kuda Pangeran Muda
yang akan
diterimanya sebagai seorang puragabaya.
Kuda-kuda itu
dibawa ke hadapan Pangeran Muda. Pangeran
Muda
melepaskan kendali dan pelana dari si
Gambir, lalu
mengenakannya pada kuda putih yang
dinamainya si Bulan di
dalam hatinya.
Untuk beberapa lama Pangeran Muda memandang
ke arah
si Gambir dengan perasaan terharu dan kasih
sayang. Kuda itu
sebentar lagi akan dikembalikan ke Puri
Anggadipati, dan akan
dibiarkan bebas di padang, setelah
bertahun-tahun hidup
bersama dengan Pangeran Muda. Betapa besar
utang budi
Pangeran Muda pada kuda yang kuat dan lemah
lembut itu.
Dalam hati, Pangeran Muda mengucapkan syukur
kepada
Sang Hiang Tunggal, yang telah menciptakan
makhluk yang
baik itu.
Ternyata upacara penyerahan kuda putih itu
merupakan
upacara penutup. Eyang Tajimalela maju ke
muka, untuk
berdoa. Setelah itu, bubarlah upacara
pelantikan itu, para
bangsawan dan Eyang Resi serta para
puragabaya memasuki
ruangan untuk bersantap dan
berbincang-bincang. Pangeran
Muda sendiri, seorang diri menuntun si
Gambir mengelilingi
padepokan yang telah lama dikenalnya dan
dicintainya.
Dipandangnya tempat-tempat latihan yang
perkasa dari jauh
dengan penuh kenang-kenangan. Terbayang
kawannya yang
telah tiada, Janur yang sangat berbakat itu.
Terkenang pula
bagaimana mereka pernah menangkap ular
besar. Setiap
bagian dari padepokan memiliki kisahnya
sendiri, dan sambil
menuntun si Gambir Pangeran Muda mengulangi
kisah-kisah
itu dalam khayalannya.
Siang harinya dilakukan sembahyang bersama,
setelah itu
bangsawan-bangsawan meninggalkan padepokan,
dan
padepokan pun sunyilah kembali. Ketika
itulah Pangeran Muda
teringat pada Jante yang tidak dapat hadir
dalam upacara
pelantikan itu. Pangeran Muda mulai cemas
ketika panakawan
yang diutus ke Kutabarang untuk menjemput
Jante itu
terlambat datang dan pada hari ketiga,
kecemasan itu
ternyata beralasan. Panakawan itu
menyampaikan berita yang
menyedihkan kepada Eyang Resi,
"Peristiwa yang
menyedihkan telah terjadi. Jante telah
membunuh beberapa
orang bangsawan muda, dan sekarang
menghilang. Kita harus
segera menemukannya dan menyelesaikan
persoalannya."
Berita itu bagi halilintar di musim kemarau
bagi Pangeran
Muda. Hatinya terhenyak dan sedih. Ia sadar
pula, peristiwa
itu akan sangat menyedihkan keluarga Banyak
Citra, dan
sebagai seorang yang akan menjadi anggota
keluarga
bangsawan itu, ia sangat merasa terlibat
dalam suka-duka
keluarga itu. Malam itu, ketika perundingan
padepokan
menetapkan lima orang puragabaya baru di
bawah pimpinan
Pamanda Rakean untuk mencari Jante, Pangeran
Muda
mengajukan diri untuk menjadi tenaga
sukarela. Dan
keesokan harinya, ketika hari masih
berkabut, tujuh orang
puragabaya meninggalkan padepokan menuju
Kutabarang.
0-d-0-w-0-k-0-z-0
Bab 18
Malakal Maut
Pangeran Jayapati adalah Penguasa Kota
Kutabarang.
Rombongan puragabaya pertama-tama menghadap
kepada
pangeran itu untuk melengkapi keterangan dan
meminta
saran-saran bagaimana supaya mereka dapat
menemukan
Jante. Pangeran Jayapati dengan murung
menerangkan
kepada mereka, 'Jaluwuyung adalah seorang
puragabaya yang
baik. Ia sangat patuh dan melaksanakan
segala tugas dengan
baik. Akan tetapi, ada suatu hal yang mengganggu
pikiran
saya semenjak dia datang ke sini. Ia. sangat
pemurung, dan
kadang-kadang cahaya matanya memperlihatkan
sinar yang
aneh. Berulang-ulang saya bertanya
kepadanya, apa yang
menjadi sebab kemurungannya. Ia tidak mau
menjelaskan.
'
"Belakangan ia menjelaskan bahwa
serombongan
bangsawan-bangsawan muda yang datang dari
luar kota,
yaitu dari Kuta Kiara, membayang-bayanginya
selagi ia
mengelilingi kota sebagai pelaksanaan salah
satu dari
tugasnya. Saya menanyakan kepadanya, apa
sebabnya
pemuda-pemuda itu membayang-bayangi. Ia
menjawab tidak
tahu. Belakangan saya mendapat keterangan
dari seorang
bangsawan bahwa seorang putri yang bernama
Mayang Cinde
menaruh perhatian kepadanya. Rupanya
rombongan
bangsawan muda dari Kuta Kiara tidak
bersenang hati akan
hal itu, dan dalam suatu kesempatan
mencegatnya di luar
benteng. Perkelahian terjadi, dan tiga orang
menjadi korban,
yang pertama adalah Raden Bagus Wiratanu,
yang lain adalah
kawan-kawannya. Di samping yang tewas itu
terdapat pula
yang luka-luka, patah tulang dan sebagainya.
Semenjak itu,
Jante tidak kembali ke istana."
"Apakah jejaknya sudah ditemukan?"
0 komentar:
Posting Komentar