Sambil berseru-seru demikian, gadis itu
tiba-tiba tampak
memegang sebilah badik dan menghambur
menyerang
Pangeran Muda. Melihat pemandangan itu,
Pangeran Muda
seperti membeku, tidak dapat bergerak, tidak
dapat
menghindar. Akan tetapi, ketika badik itu
sudah diangkat dan
hendak ditusukkan ke dadanya, tiba-tiba
Putri Yuta Inten
berhenti. Ia tertegun, kemudian melemparkan
badik itu, dan
merangkul Pangeran Muda sambil menangis
tersedu-sedu.
"Mengapa Pangeran Muda datang ke sini,
apakah untuk
membuat anak itu menjadi gila
karenanya?" tanya emban
sambil memandang dengan tajam ke wajah
Pangeran Muda.
"Kakak anak ini telah dibunuh, adiknya
hendak disiksa pula.
Pergilah, sebelum kaum laki-laki keluarga
Banyak Citra
datang," kata emban tua itu mengancam.
Mendengar ancaman itu, Putri Yuta Inten
melepaskan
pelukannya, lalu berseru, "Pergi!"
seraya matanya
memandang kepada Pangeran Muda dengan
kebencian.
Tak ada pukulan yang lebih keras dari
pandangan mata
yang tajam dan penuh kebencian itu. Pangeran
Muda
sungguh-sungguh terguncang, dan dengan
gontai dan tetap
memandang gadis itu, ia mengundurkan diri dari
arah jendela.
Akan tetapi, ketika ia hendak melompat ke
luar, Putri Yuta
Inten mengejarnya, lalu merangkulnya,
memegang lehernya
dan menyurukkan mukanya yang basah oleh air
mata ke muka
Pangeran Muda.
Lalu gadis itu menangis tersedu-sedu dengan
keras.
Setelah agak tenang, Pangeran Muda mulai
menjelaskan
segalanya, dari sejak kecurigaannya kepada
jante hingga
peristiwa yang menyedihkan itu.
Berulang-ulang Pangeran
Muda menyatakan, "Mungkinkah orang yang
seperti Kakanda
membunuh sahabatnya, calon iparnya, kakak
gadis yang
dicintainya demi kehormatan keluarga
Anggadipati? Apakah
artinya kehormatan, artinya kebanggaan dan
harga diri, kalau
yang dikejar dalam hidup ini adalah
kebahagiaan dan
kesejahteraan bersama yang hanya dicapai
dengan kasih
sayang?"
Gadis itu menjadi reda dan setelah itu
Pangeran Muda
menegaskan bahwa apa yang terjadi adalah
suatu kecelakaan,
suatu nasib buruk yang bukan saja menimpa
dirinya, akan
tetapi menimpa seluruh seluruh
kepuragabayaan dan
kerajaan. Di sela-sela sedunya pada suatu saat
gadis itu
berkata, "Untuk tidak harus kawin
dengan bangsawan lain,
Adinda sudah berjanji pada Ayahanda bahwa
Adinda tidak
akan kawin seumur hidup dan akan menjadi
pendeta wanita
sebagai tanda duka cita karena kematian
Kakanda
Jaluwuyung."
"Engkau berjanji ketika hatimu sedang
terguncang. Engkau
harus menarik janji itu kembali. Kalau
tidak, Kakanda pun
berjanji tidak akan kawin untuk
selama-lamanya dan akan
menjadi pendeta, sebagai dukacita Kakanda
karena kematian
Jaluwuyung yang Kakanda sayangi."
Gadis itu tidak berkata apa-apa. Ia
mengeratkan
pelukannya. Sementara itu, di luar terdengar
langkah para
gulang-gulang.
Emban berbisik pada Pangeran Muda,
"Untuk tidak
memperjelek keadaan, pergilah segera dari
sini. Biarkanlah
Yuta Inten-beristirahat. Cepatlah
meninggalkan kota Medang
karena kaum laki-laki bertekad
membunuhmu."
Pangeran Muda pamitan kepada Putri Yuta
Inten yang
kemudian menangis kembali dan mempererat
rangkulannya.
"Marilah kita berpisah, dan berdoa
kepada Sunan Ambu
serta Sang Hiang Tunggal yang akan
memberikan petunjuk
kepada kita, apakah kita akan bertemu lagi
atau tidak.
Sekarang hari sudah larut, tidurlah karena
kau kelelahan.
Kakanda terpaksa meninggalkanmu, para
gulang-gulang
menjaga kaputren semakin ketat,"
demikian ujar Pangeran
Muda yang menyadari, langkah-langkah makin
banyak
terdengar di sekitar kaputren itu.
SEPANJANG malam itu. Pangeran Muda dengan
Mang Ogel
berkuda menuju Padepokan Tajimalela. Ketika
keesokan
harinya matahari terbit mereka tiba di
persimpangan yang
menuju ke Padepokan Tajimalela dan
Kutabarang. Di atas
sebuah bukit yang menghadap ke arah
persimpangan itu
mereka beristirahat.
Waktu Pangeran Muda berdiri melihat
pemandangan pagi
ke segala arah, dari jauh tampaklah tiga
orang penunggang
kuda. Mang Ogel bangkit, ikut melihat ke
arah ketika
penunggang kuda yang mengambil jalan menuju
ke
Padepokan Tajimalela. Makin dekat makin
jelas juga ketiga
penunggang kuda itu. Akhirnya, Pangeran Muda
mengenal
dua orang di antara mereka, yaitu Pamanda
Minda dan Si
Rawing, badega padepokan.
"Mang Ogel, ternyata kita mendapat
kawan pulang," kata
Pangeran Muda. Mang Ogel segera mendekati
kudanya,
hendak menyusul orang-orang dari padepokan
itu.
"Nanti dulu, Mang," ujar Pangeran
Muda. "Kita akan
menyusulnya nanti, setelah kuda-kuda kita
beristirahat."
Mang Ogel berjalan dan berdiri di samping
Pangeran Muda,
memandangi rombongan Pamanda Minda yang
lewat di bawah
mereka.
"Calon baru!" kata Mang Ogel
sambil memandang ke-arah
seorang anak muda sekira umur tiga belas
atau empat belas
tahun. Dari pakaian dan sikapnya yang anggun
di alas
kudanya yang tampan, jelas bahwa anak itu
adalah putra
salah seorang bangsawan Pajajaran.
Pangeran Muda memandangi anak itu dengan
perasaan
yang bercampur baur. Apakah yang akan
dihadapi oleh anak
yang sekarang masih muda itu? Sadarkah anak
yang masih
muda itu kemungkinan-kemungkinan yang begitu
banyak,
tentang suka-duka yang harus dihadapinya?
Sadarkah ia
bahwa menjadi seorang puragabaya berarti
tidak memiliki diri
sendiri dan menyerahkannya demi kepentingan
kerajaan?
Segala pengalaman Pangeran Muda sendiri
terkenang kembali,
semenjak latihan-latihan perkelahian dengan
berandalan
hukuman, lembah tengkorak, rawa siluman, Ki
Monyet Putih,
Janur, Jante, dan Yuta Inten. Mungkinkah
anak yang sekarang
tidak tahu apa-apa yang nanti akan
menghadapi pengalamanpengalaman
yang dialaminya sendiri?
Sambil memandang ke arah calon itu, hati
Pangeran Muda
dipenuhi pula oleh perasaan-perasaan yang
tidak dapai
diberinya batasan. Ia termenung sambil
tersenyum
memandang anak itu, tetapi dengan tidak
disadarinya, kelopak
matanya digenangi airmata.
"Anom, mereka terlalu jauh nanti,"
ujar Mang Ogel.
Pangeran Muda bergerak dan melompati si
Bulan.
"Ha!" seru Mang Ogel kepada
kudanya. "Ha! Ha!" katanya
pula keras-keras sementara mereka mengejar
rombongan
Pamanda Minda. Debu jalan yang menuju
Padepokan
Tajimalela itu mengepul ke udara dari bawah
ladam kuda
mereka.
"Ha! Ha!" seru Mang Ogel, makin
lama suaranya makin
jauh dan akhirnya tidak terdengar. Rombongan
yang telah
'bersatu itu kemudian lenyap dari pandangan
karena
membelok di suatu tempat di dalam hutan.
Debu-debu
kembali jatuh di atas jalan yang sekarang
lengang dan sunyi,
di bawah matahari pagi Pajajaran.
SELESAI
Glosarium
Badega: orang yang berkedudukan sedikit
lebih tinggi dari
pelayan
Barangbang semplak. pelepah daun kelapa
jatuh (model/
cara memakai ikat kepala)
Baros: dewan yang terdiri dari para orang
tua, bertugas
mengadili perkara
Bujangga: lelaki tampan di kahyangan atau
Buana Padang
yang bertugas mengabdi kepada Sunan Ambu,
dewi tertinggi
dalam mitologi Sunda Kuno
Gendewa: busur panah Gulang-gulang: prajurit
Guriang:
dewa Lawang kori: pintu gerbang Ngelindur:
mengigau
Nyakseni: mengamini
Panakawan: pembantu
Pengwidangan: kayu berbentuk cincin yang
dipakai untuk
merentang kain saat dibordir
Pisau pangot: pisau kecil yang biasa
digunakan untuk
menulis dengan cara menggoreskannya di atas
daun lontar
Pohaci: wanita cantik di kahyangan seperti
bujangga
Seja nyaba ngalalana, ngitung lemur
ngajajah, mi-langan
kor i: Niat pergi mengembara, menghitung
kampung,
merambah bilangan kori
Suwargi: almarhum
Terangko: ruang tahanan
Baca kisah selanjutnya di buku kedua
Raden Banyak Sumba
Banyak Sumba, putra laki-laki kedua dari
wangsa Banyak
Citra yang berkuasa di Medang, berdiri di
atas benteng. Dia
memperhatikan lapangan kecil di luar
benteng. Di sana anakanak
yang lebih muda darinya sedang bermain-main.
Matanya
yang berkilat dan hitam kelam itu, memandang
dengan penuh
kerinduan dan hasrat untuk ikut
bermain-main, berlari-lari,
bersorak-sorak dengan mereka. Akan tetapi,
sesuatu dalam
dirinya menahan kehendak itu.
Setelah kematian kakaknya, Jante Jaluwuyung,
keluarganya
telah bertekad untuk membalaskan dendam.
Sebagai putra
tertua wangsa Banyak Citra, sudah menjadi
kewajibannya
untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada
cita-cita
keluarganya, yaitu membunuh Anggadipati.
Akan tetapi, untuk menandingi kesaktian
Pangeran
Anggadipati, bukanlah hal yang mudah. Banyak
Sumba harus
bekerja keras meningkatkan kemampuannya,
berguru pada
banyak orang, melewati belantara lebat dan
tebing curam
untuk mengasah keuletan tubuhnya.
-ooo00dw00oooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
SERI KESATRIA HUTAN
LARANGAN
~ Bara Dendam Menuntut
Balas ~
Karya : Saini KM
Sbook Oleh Manise di Dimhad Website
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://
http://dewikz.byethost22.com/
Synopsis :
Banyak Sumba mendidih darahnya setiap kali
mengingat
orang yang telah membunuh kakaknya, Jante
Jaluwuyung.
Kematian tragis kakaknya itu telah
menanamkan kesumat di
dadanya untuk membalaskan dendam. Bahkan dia
rela
meninggalkan Emas Purbamanik, kekasih yang
ditemuinya di
atas benteng puri Purbawasesa.
Akan tetapi, jalan yang akan dilaluinya
tidaklah mudah.
Untuk menandingi kesaktian Pangeran
Anggadipati, Banyak
Sumba harus bekerja keras meningkatkan
kemampuannya.Guru demi guru dia timba
ilmunya. Belantara
demi belantara dia jelajah untuk mengasah
keuletan
tubuhnya.
Ketika kesempatan untuk menuntaskan
dendamnya tiba,
mendadak Banyak Sumba diserang keraguan.
Benarkah
puragabaya santun di hadapannya itu seorang
pembunuh
keji? Haruskah dia membalas kejahatan
Pangeran Anggadipati
dengan tindakan yang sama kejinya?
Komentar :
"Sebuah eksplorasi yang
mengejutkan." —Langit Kresna
Hariadi, penulis novel sejarah
"Karya Saini K.M. ini memiliki
orisinalitasnya sendiri." —
Jakob Sumardjo, akademisi dan pengamat
sastra
"Saya merasakan adanya penceritaan yang
mengalir
tenang, sabar,dan matang yang pada
gilirannya menjelma
kejernihan." —Seno Gumira Adjidarma,
penulis dan jurnalis
Data Singkat Pengarang :
Saini K.M. dilahirkan di Sumedang pada 16
Juni 1938.
la merupakan salah satu pemrakarsa
berdirinya Jurusan
Teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Bandung, la
pernah memenangkan Sayembara Dewan Kesenian
Jakarta
(DKJ), sayembara yang diadakan oleh
Direktorat Kesenian
Depdikbud, penghargaan sastra dari Pusat
Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Anugerah Sastra dari
Yayasan Forum
Sastra Bandung pada 1995, dan penghargaan
SEA Write
Award pada 2001.
Data Katalog Buku :
RADEN BANYAK SUMBA
Karya : Saini KM
Cetakan Pertama, Agustus 2008
Penyunting: Imam Risdiyanto
Desain Sampul : Andreas Kusumahadi
Pemeriksa aksara: Wiennie Modya Noer
Penata aksara: Yan Webe
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
Anggota IKAPI
(PT Bentang Pustaka)
Kantor Pusat
Jin. Pandega Padma 19, Yogyakarta 55284
Telp. (0274)
517373 Faks. (0274) 541441 E-mail:
bentangpustaka@yahoo.com
http://www.mizan.com
Perwakilan Jakarta Jin. Puri Mutiara II No.
7 (Jeruk Purut-
Cipete) Cilandak Barat Jakarta Selatan 12430
Telp. (021)
7500895 - Faks. (021) 7500895
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam
Terbitan (KDT) Saini
K.M.
Raden Banyak Sumba/Saini K.M.; penyunting,
Imam
Risdiyanto—Yogyakarta: Bentang, 2008. viii +
358 hlm; 20,5
cm
ISBN 978-979-1227-29-2
I.Judul. II. Imam Risdiyanto.
813
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama
Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung,
Bandung 40294 Telp. (022) 7815500 - Faks.
(022) 7802288 Email:
mizanmu@bdg.centrin.net.id
Daftar Isi
Bab 1 Gerhana ~1
Bab 2 Huru-hara ~38
Bab 3 Meniup Bara ~72
Bab 4 Pengembara ~119
Bab 5 Nyai Emas Purbamanik —163
Bab 6 Si Gojin -299
Bab 1
Gerhana
Banyak Sumba, putra laki-laki kedua wangsa
Banyak Citra
yang berkuasa di Medang, berdiri di atas
benteng. Ia seorang
anak yang tampan, bertubuh semampai,
berkulit kehitamhitaman,
dan bersih. Ketika itu, umurnya hampir tiga
belas
tahun, walaupun orang akan menyangka ia
sedikitnya
berumur lima belas tahun, karena tubuhnya
yang tinggi dan
besar.
Banyak Sumba memerhatikan lapangan kecil di
luar
benteng. Di sana, banyak anak yang lebih
muda daripada dia
sedang bermain-main. Matanya yang berkilat
dan hitam
kelam, memandang dengan penuh kerinduan dan
hasrat
untuk ikut bermain-main, berlari-lari, dan
bersorak-sorak
dengan mereka Akan tetapi, sesuatu dalam
dirinya menahan
kehendak itu. Ia berdiri saja di atas
benteng sambil
memerhatikan mereka
Ia sering merindukan masa kecilnya, ketika
ia berumur
delapan atau sembilan tahun. Ketika itu, ia
dapat berlari-lari
dengan bebas di lapangan di bawah
bayang-bayang benteng.
Akan tetapi, ia sering berpikir, alangkah
tololnya anak-anak
kecil itu. Mereka kadang-kadang berkelahi
sampai luka untuk
suatu mainan, sepotong kayu, atau sebuah
batu. Alangkah
menyenangkan masa kanak-kanak, tapi alangkah
menggelikan
dan tolol pula, pikirnya. Jelas baginya, ia
tidak mungkin lagi
dapat bermain dengan anak-anak kecil itu.
Bukan saja ia
sudah terlalu tinggi dan terlalu besar,
melainkan permainan
anak-anak itu walaupun menyenangkan
sebenarnya tidak ada
artinya.
Ia sudah besar. Akan tetapi, ia tidak dapat
bergaul dengan
para jagabaya dan para gulang-gulang. Mereka
terlalu tinggi
dan terlalu besar. Selain itu, percakapan
mereka banyak yang
tidak dapat ia mengerti. Walaupun ingin
sekali ikut bercakapcakap
dengan mereka, ia tidak merasa betah berada
di antara
mereka. Ia sering merasa seperti seorang
asing di tengahtengah
mereka itu. Itulah sebabnya, ia berdiri di
atas benteng
itu, menjauh dari mereka. Itu pula sebabnya,
ia lebih banyak
termenung daripada bergaul. Banyak Sumba
gelisah. Kadangkadang,
pikirannya mengembara ke penjuru Buana
Pancatengah. Kadang-kadang, perasaannya
kelam tanpa
alasan. Kadang-kadang, ia gembira tanpa
diketahui apa
sebabnya. Kadang-kadang, ia ingin bergerak,
menaiki kuda,
dan memacunya seperti dikejar maut; tetapi
ia lebih sering
menutup diri di dalam bilik, membaca
buku-buku kenegaraan,
atau duduk depan tingkap sambil melamun.
Kalau tidak
begitu, ia berjalan-jalan di lorong-lorong
istana, dan setiap ada
orang, ia segera membelok, menghindarkan
diri.
Hal yang paling dihindarinya adalah gadis-gadis
atau putriputri
bangsawan yang tinggal di Puri Banyak Citra.
Gadis-gadis itu, terutama yang sebaya dengan
dia,
sekarang sering menyebabkan ia gugup. Kalau
menegur
mereka, ia sering mendengar suaranya
gemetar. Kalau
mereka yang menegur, alangkah kikuknya
jawaban yang dia
berikan. Sering sekali darahnya naik ke muka
dan
memanaskan daun telinganya, kalau ia
kebetulan bertemu
dengan gadis-gadis di lorong-lorong istana.
Kalau gadis-gadis
itu tertawa di belakangnya, dia merasa
mereka
menertawakannya dan panaslah kulit mukanya.
Itulah
sebabnya, ia menghindari mereka, tidak
pernah lewat lorong
istana tempat gadis-gadis biasa berkumpul.
Sebaliknya, kalau ia sedang di dalam
biliknya, suara atau
tawa mereka sering menyebabkan ia berlari ke
arah tingkap.
Ia senang memerhatikan gadis-gadis itu
sembunyi-sembunyi.
Ini tidak pernah dilakukan sebelumnya karena
gadis-gadis itu
makhluk biasa saja, walaupun berbeda dengan
kawankawannya
yang laki-laki. Akan tetapi, sekarang
gadis-gadis itu,
pada satu pihak menimbulkan kegugupan
sehingga
dihindarinya, pada lain pihak menarik
perhatiannya, dan ia
suka mengintip mereka.
Dulu, wajah dan tubuh gadis-gadis itu
tidaklah menarik
perhatiannya meskipun berbeda dengan
laki-laki. Sekarang, ia
mulai sangat peka terhadap perbedaan itu.
Bukan rupa
mereka saja, gerak-gerik serta tingkah laku
mereka pun
menjadi perhatiannya. Sekarang, gadis-gadis
itu, walaupun
penuh rahasia, sering menimbulkan gairah
yang aneh dalam
hatinya. Ketika sedang mengintip dari
biliknya, ia sering sekali
ingin menyentuh mereka, terutama seorang di
antara mereka,
Teja Mayang.
Kalau gadis itu sedang ikut membantu Ayunda
Yuta Inten
menyulam atau menenun di kaputren, Banyak
Sumba sering
menyelinap dan masuk salah satu kamar yang
tingkapnya bcrhadapan
dengan ruang tenun Ayunda Yuta Inten. Dari
sana, dari bilik tabir, Banyak Sumba
memandangi gadis itu
tidak ada puasnya. Ia membelai-belai rambut
dan leher gadis
itu dengan tangan khayalnya. Ia mencium
bibir gadis itu
dengan segenap perasaannya, dari kejauhan.
Kemudian, kalau
gadis itu sudah pulang, ia segera masuk
biliknya, lalu
berbaring seraya khayalnya terbang dengan
awan yang
berarak di luar tingkap.
Segala kegelisahan, kebimbangan, dan
gairah-gairah aneh
yang menghuni perasaannya, tak urung
memengaruhi tingkah
laku Banyak Sumba. Sering sekali ia tidak
mendengar kalau
disapa Ibunda, Ayunda, bahkan oleh Ayahanda.
Perintah
mereka dilakukan dengan tidak sewajarnya
karena pikiran
Banyak Sumba terpecah. Tingkah lakunya yang
kikuk tidak
pernah menyebabkan orangtuanya marah. Mereka
bahkan
menertawakannya, terutama Ibunda dan Ayunda.
Akan tetapi,
olok-olok mereka justru menambah
kegugupannya serta
menyebabkan darahnya naik ke muka
dan'memerahkan daun
telinganya.
Bukan olok-olok mereka saja yang menyebabkan
ia malu.
Setiap kali ia mendengar nama Teja Mayang
disebut, mukanya
menjadi panas tanpa alasan. Hal ini menambah
kegugupannya, dan usahanya menyembunyikan
warna
mukanya sering menyebabkan ia melakukan
hal-hal yang lebih
menggelikan, bahkan menyebabkan dia marah
terhadap
dirinya sendiri.
Seperti telah diduganya, Ayunda benar-benar
dapat
menyelami apa yang sedang dialaminya. Pada
suatu sore,
ketika Banyak Sumba berada di kaputren,
tiba-tiba Ayunda
Yuta Inten sambil tersenyum nakal mengganggu
dengan
berkata, "Sumba, Teja bertanya kepada
Yunda, mengapa
engkau tidak pernah datang ke rumahnya lagi
dan bermain
dengan Wisesa?"
Rangga Wisesa adalah kakak Teja Mayang,
salah seorang
sahabat Banyak Sumba. Akan tetapi, Banyak
Sumba tahu
bahwa persahabatannya dengan Rangga Wisesa
tidak menjadi
perhatian Ayunda Yuta Inten. Ia sangat sadar
bahwa Ayunda
hanya menggodanya dengan menyebut-nyebut
Teja Mayang.
Bagaimanapun, pertanyaan kakak perempuannya
itu harus
dijawab karena begitulah kaidah kesopanan.
Dengan muka
memerah, Banyak Sumba berkata, "Ha...
ha... hamba sibuk,
Yunda."
"Bukankah hatimu selalu di rumah Rangga
Wisesa
walaupun kausibuk?" tanya Yuta Inten
sambil tersenyum.
Banyak Sumba tidak dapat membuka mulutnya.
Untung
tiba-tiba gulang-gulang datang membawa
panggilan
Ayahanda. Kesempatan ini dijadikannya dalih
untuk tidak
menjawab pertanyaan Putri Yuta Inten yang
sebenarnya olokolok
belaka.
Banyak Sumba berjalan sepanjang lorong yang
berbelitbelit,
menanjak, dan mendaki ke ruangan puri yang
melekat
ke dinding benteng, tepat di bawah mercu
penjagaan. Di
sanalah letak ruangan khusus Ayahanda Banyak
Citra.
Ruangan itu cukup luas. Karena banyaknya
kotak lontar yang
dikumpulkan Ayahanda, sukar membedakan
ruangan itu dari
sebuah gudang. Walaupun demikian, suasana
ruangan itu
jauh sekali dari suasana gudang. Kalau
sebuah gudang tidak
memengaruhi suasana hati, ruangan Ayahanda
memberikan
kesan angker dan murung
Ke arah ruangan itulah, untuk kesekian
kalinya, Banyak
Sumba berjalan. Dua tangga sebelum lantai
ruangan, Banyak
Sumba menanggalkan alas kakinya yang terbuat
dari kulit
yang kasar. Lantai batu menyengatnya dengan
rasa dingin
yang menusuk tulang. Bukan enggan melepaskan
alas kaki itu,
melaiiik.in ih begini kenal waiak
ayahandanya. Ayahanda
Banyak Citra tidak suka mendengar suara berisik,
apalagi
kalau suara itu datang dari putra-putrinya.
Itulah sebabnya,
Banyak Sumba cenderung memilih lantai batu
yang dingin
daripada mengenakan alas kaki kulit yang
kasar. Dengan kaki
telanjang, Banyak Sumba melangkah menuju
pintu tertutup
ruangan khusus Ayahanda.
Makin dekat ke pintu, makin hening suasana.
Seperti pada
masa kanak-kanak, perasaan takut
menghinggapi hati Banyak
Sumba setiap kali berjalan menuju pintu
ruangan itu.
Kemurkaan Ayahanda terhadapnya atau terhadap
saudarasaudaranya
pada masa ia masih kecil, menanam rasa takut
dalam dirinya. Bagaimanapun, Ayahanda Banyak
Citra seorang
bangsawan yang keras, apalagi terhadap
putra-putri beliau.
Seandainya salah seorang di antara
putra-putrinya gagal
melaksanakan asas-asas yang ditanamkan
terhadap
keluarganya, Ayahanda Banyak Citra tidak
pernah segansegan
memberi pelajaran dengan kekerasan. Masih
terbayang
dalam ingatan Banyak Sumba ketika
KakandaJaluwuyung
diikat pada dua tonggak dan dilecut seratus
kali oleh gulanggulang
untuk suatu kesalahan terhadap tata
kekeluargaan di
Puri Banyak Citra. Kenangan itulah yang
tetap memburu
dalam hati Banyak Sumba. Kenangan itu pula
yang
menyebabkan Banyak Sumba gemetar setiap kali
menghadap
Ayahanda.
Makin dekat ke pintu, Banyak Sumba makin
melambatkan
langkahnya. Ketika tinggal beberapa langkah
lagi dari pintu,
seorang gulang-gulang datang dari tempat
yang kelam, dari
lorong kanan pintu. Gulang-gulang itu
mengangguk, lalu
membuka pintu perlahan-lahan. Banyak Sumba
melangkah ke
dalam ruangan, memijak permadani hijau tua
yang menjadi
alas ruangan itu. Di antara tumpukan kotak
lontar, di tengahtengah
ruangan, menyalalah sebuah lampu minyak
kelapa
walaupun siang hari. Di tengah-tengah cahaya
itu, Ayahanda
duduk di tikar sambil menulis dengan pisau
pangot di atas
daun-daun lontar berwarna putih. Dengan
tidak bersuara,
Banyak Sumba duduk di sudut, tidak jauh dari
Ayahanda yang
sedang bekerja.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa. Ia tahu
bahwa
mengganggu Ayahanda bekerja adalah kesalahan
besar. Ia
dapat dihukum karenanya. Oleh karena itu, ia
tidak berbuat
lain kecuali menunggu, seperti yang biasa ia
lakukan kalau ia
dipanggil menghadap. Ia pun tidak terlalu
peduli berapa lama
harus menunggu karena kadang-kadang, hampir
setengah
hari menunggu, tiba-tiba pembicaraan ditangguhkan.
Banyak
Sumba sudah biasa menghadapi hal seperti
itu. Ia pun duduk
dengan sabar sambil memerhatikan Ayahanda
yang tekun
menulis.
Dipandanginya wajah Ayahanda yang pucat di
bawah sinar
lampu minyak kelapa. Laki-laki setengah baya
itu kelihatan
lebih tua daripada umurnya. Rambutnya yang
panjang dan
bergelung sudah bercampur dengan uban,
sedangkan
wajahnya kurus dengan bibirnya yang tipis,
dan punggungnya
agak bungkuk, punggung orang kurus yang
telah begitu berat
menanggung beban penderitaan dalam kehidupannya.
Rupa
Ayahanda yang dapat menimbulkan kasihan
memberi kesan
tentang seorang laki-laki yang telah gagal
dan diremukkan
oleh kehidupan, kalau saja tidak ada bagian
wajah lain yang
sangat menonjol. Hidung Ayahanda yang agak
besar dan
melengkung bagai paruh elang menghilangkan
kesan lemah
dari pribadinya. Hidung Ayahanda yang
menonjol itu seolaholah
menantang kesan-kesan yang ditimbulkan oleh
bagianbagian
wajah dan tubuh lainnya. Kesan yang
diberikan hidung
itu demikian kuat, sehingga memberikan kesan
menantang
dan dapat mengatasi segala kesukaran dan
derita hidup. Di
samping itu, hidung itu memberi kesan
ketangguhan seorang
bangsawan Pajajaran yang berani menyerahkan
segalagalanya
untuk asas yang diperjuangkannya. Apalagi
kalau
kesan hidung itu sudah berpadu dengan
pandangan mata
Ayahanda Banyak Citra, pandangan sepasang
mata hitam
kelam dan terletak dalam-dalam di tempatnya.
Kedua mata yang tajam itu sekarang
terangkat,
memandang Banyak Sumba yang sejak tadi duduk
di sudut
sambil memandangi Ayahanda yang sedang
bekerja.
KETIKA Banyak Sumba menyadari bahwa Ayahanda
memandangnya, ia segera beringsut dari
tempat duduknya,
lalu menghaturkan sembah. Ayahanda memberi
isyarat agar ia
mendekat. Banyak Sumba pun maju, lalu duduk
di lantai bertikar,
dekat tempat Ayahanda menulis. Banyak Sumba
duduk
bersila, sedangkan wajahnya menunduk dan
matanya
memandangi lukisan bunga-bunga dan
daun-daunan pada
tikar. Akan tetapi, segala perhatiannya
tercurah kepada
Ayahanda yang duduk di hadapannya.
"Sumba," kata Ayahanda. Suaranya
seperti terlalu rendah
bagi orang tua yang berperawakan kecil itu.
"Hamba,
Ayahanda," ujar Banyak Sumba.
"Sekarang, engkau sudah
terlalu besar untuk bermain-main di luar
benteng. Di samping
itu, engkau seorang anak dengan masa depan
yang gemilang.
Engkau harus mempersiapkan diri. Maka, sejak
hari ini, kita
akan punya acara tetap bersama-sama. Ayah
akan menjadi
gurumu. Kita akan membaca buku-buku yang
sebagian telah
kaubaca. Kita akan pergi berburu dengan para
bangsawan.
Engkau akan belajar bertata krama, selain
segala
kebijaksanaan dan pengetahuan dari abdi-abdi
sang Prabu."
"Hamba, Ayahanda," ujar Banyak
Sumba tanpa
mengangkat mukanya.
"Ingatlah, Anakku, wangsa Banyak Citra
tidak pernah
kepalang tanggung dalam segala hal. Jikajadi
perwira, ia
hanya memilih dua hal, mencapai kemenangan
atau gugur.
Kalau jadi negarawan, ia hanya memilih dua
hal, jadi
negarawan yang baik atau tidak memakai nama
Banyak Citra
dan mengaku-aku ada hubungan darah dengan
wangsa
Banyak Citra. Itulah yang diadatkan dalam
wangsa Banyak
Citra," kata Ayahanda.
Entah sudah berapa kali Banyak Sumba
mendengar
wejangan seperti itu dari Ayahanda. Wejangan
itu akhirnya
menanamkan anggapan bahwa wangsa Banyak
Citra adalah
wangsa luar biasa di antara wangsa-wangsa
bangsawan Pajajaran.
Keluarbiasaan ini banyak contohnya. Ayahanda
Banyak
Citra seorang bangsawan yang termasyhur
karena Kota
Medang dapat menyumbangkan barisan jagabaya
yang
tangguh, patuh, dan perwira. Dari Kota
Medanglah penjagapenjaga
negara yang baik didatangkan. Mereka
tersebar
hampir di seluruh perbatasan Pajajaran: ke
daerah rawa-rawa
di utara, ke belantara di selatan, di tepi
samudra tempat
bersemayam Ratu Siluman Laut, atau ke
timur—tempat
pertempuran-pertempuran kecil terus-menerus
terjadi dengan
kerajaan-kera-jaan tetangga di seberang
Cipamali.
Nenekanda yang juga bernama Banyak Citra
adalah
sahabat sang Prabu. Hal itu hanya mungkin
berkat
kebijaksanaan serta pengetahuan beliau yang
meluas dan
mendalam tentang berbagai masalah
kenegaraan. Almarhum
Nenekanda adalah salah seorang di antara
bangsawan wangsa
Banyak Citra yang dijadikan suri teladan
oleh Banyak Sumba,
ipar-ipar, serta saudara-saudaranya.
Terakhir, Kakanda Jante Jaluwuyung. Kakanda
Jante adalah
puragabaya yang tidak ada tandingannya. Setiap
bangsawan,
baik yang datang dari Pajajaran maupun
kota-kota lain
menyatakan hal itu. Bahkan, Pamanda Minda,
salah seorang
guru dari Padepokan Tajimalela, secara tidak
langsung
menyatakan hal itu ketika Banyak Sumba
bertanya kepadanya.
Waktu itu, Pamanda Minda dari Padepokan
Tajimalela
mengadakan perjalanan ke suatu tempat yang
dirahasiakan di
perbatasan timur kerajaan. Pamanda Minda
singgah di
Medang. Selain membawa pesan dari Kakanda
Jante, beliau
pun perlu menginap semalam di Medang. Ketika
itulah,
Banyak Sumba bertanya, "Pamanda,
siapakah puragabaya
terbaik masa kini?"
"Kakakmu salah seorang yang paling
tangguh," jawab
Pamanda Minda sambil mengusap Banyak Sumba
yang baru
berumur sepuluh tahun.
"Bagaimana dengan yang lain? Apakah
mereka kurang
hebat dan semua dikalahkan Kanda Jaluwuyung
dalam
latihan?"
Pamanda Minda tersenyum, lalu berkata,
"Banyak yang
hebat, misalnya Ginggi, Girang, dan...
Pangeran Anggadipati...
yang sekarang biasa dipanggil Anom. Mereka
ini tidak
terkalahkan dalam latihan-latihan, kecuali
oleh Pamanda
Rakean dan Pamanda Minda sebagai
gurunya," lanjutnya
sambil tersenyum.
Semua yang telah dicapai oleh leluhur dan
belakangan oleh
Kanda Jante Jaluwuyung, di satu pihak
menumbuhkan rasa
bangga pada diri Banyak Sumba. Tetapi di
lain pihak, itu
menjadi beban pula baginya. Sering dia
bertanya pada diri
sendiri, apakah ia, Banyak Sumba, dapat
menjadi anggota
wangsa Banyak Citra yang menonjol dan
termasyhur di
0 komentar:
Posting Komentar