Gayatri berbisik, "Geni, kamu harus
waspada dan hati-hati
sebab dalam tarung nanti, lawan-lawan pasti
berlaku curang,
membokong kamu, senjata beracun, senjata
rahasia dan
tipuan apa saja."
Dia mendengar dengan penuh perhatian.
Gayatri
melanjutkan pembicaraan, "Jika satu
lawan satu, aku yakin
mereka tidak akan mampu mengalahkan kamu
Kupikir mereka
tahu kelebihanmu, itu sebab mereka akan
berlaku curang. Jika
aku berada pada posisi mereka, aku juga akan
berpikir
demikian, main curang."
"Kau harus waspada jika menghadapi
lawan yang
mengenakan baju lengan panjang, aku yakin
dia pasti
menyembunyikan senjata rahasia, di
pergelangan tangan,
jarumatau paku. Mereka sudah mahir dengan
permainan
curang itu, dengan sekali sentakan saja,
jarum-jarum itu akan
melesat keluar. Jika jarakmu hanya terpaut
satu tombak, sulit
bagimu untuk menghindar sebab begitu kau
terkejut,
gerakanmu akan terlambat sesaat Lain hal
jika kau sudah
waspada, dan sudah siap menerima serangan
bokongan itu,
kau bisa mengelak."
Mendadak timbul pemikiran Geni.
"Mungkin aku akan
bermain mainan anak-anak, main gasing,
berputar-putar
dengan angin."
"Apa itu mainan gasing, Geni, ilmu apa
itu?" tanya Sekar.
"Itu jurus yang kugunakan menghindar
dari dua belas pisau
terbang Lembu Ampai!" katanya tertawa.
Sekar yang sejak awal mendengar dengan
teliti, memuji
Gayatri,. "Kamu hebat adik, katamu tak
punya pengalaman
tarung tapi kamu bisa merinci seluk beluk
kecurangan. Pasti
ayahmu pendekar pengalaman."
"Tidak seluruhnya benar. Aku banyak
belajar dari kakek
dan juga dari pengalaman orang lain,
pengalaman ayah, ibu,
kakek, kakak," tukas Gayatri.
---ooo0dw0ooo---
Damai Itu Indah
Malam itu bulan dipayungi mendung, kabut
mulai bergayut.
Di gubuk besar yang ditempati perguruan
Mahameru tampak
cahaya obor. Pekarangan gubuk mulai dipadati
para pendekar.
Pendeta Macukunda menyambut satu per satu
tetamunya.
Wisang Geni, Sekar dan Gayatri tiba
bersamaan waktu dengan
Demung Pragola yang dikawal beberapa murid.
Demung
Pragola dan Macukunda memperlihatkan
perasaan gembira
menyambut Geni dan dua isterinya. Semua
pendekar juga
menyatakan rasa senangnya dan menyapa Wisang
Geni
dengan hangat. Kehadiran Pendekar Tanah Jawa
berambut
uban ini membangkitkan semangat mereka. Di
balik itu semua
pendekar tidak bisa menyembunyikan rasa
kagumnya melihat
kecantikan Gayatri dan Sekar.
Macukunda memimpin rapat membicarakan siapa
saja
pendekar yang tampil dalam tarung esok pagi.
Suasana rapat
damai, diwarnai canda. Ada pendekar yang
menarik diri
setelah melihat ada nama lain yang lebih mumpuni.
Rapat
yang penuh rasa persahabatan akhirnya
memastikan delapan
nama pendekar, Wisang Geni, Macukunda,
Demung Pragola,
Panji Patipati SangPamegat, Sagotra, Warok
Brantas dan
Grajagan. Ketika nama Pranaraja disebut,
ternyata penasehat
raja Kediri itu berhalangan hadir maka
Macukunda
memutuskan senopati Samba yang mewakili.
Masih ada tiga
nama yang diperlukan.
Tidak membuang-buang kesempatan, Gayatri
bangkit dari
duduk, berkata perlahan namun bisa didengar
semua orang.
Suatu pertunjukan tenaga dalam yang mumpuni.
"Maafkan
aku, pendeta mulia Macukunda dan juga para
pendekar yang
hadir di sini, sekali lagi mohon maaf. Aku
juga minta maaf
pada suamiku," sambil perempuan cantik
ini memandang ke
arah Geni yang duduk di sampingnya. Geni
diam, ia sudah
tahu apa maunya si isteri cantik itu.
Perempuan itu melanjutkan, "Aku adalah
Gayatri, isteri
Wisang Geni. Kebetulan aku punya bekal
sedikit ilmu silat. Aku
seperti Sawitri yang sangat menyinta
Salyawan dan yang
bersedia bertarung nyawa membela suaminya.
Aku dengan
rendah hati mohon kepada para pendekar untuk
diberi
kesempatan ikut tarung membela gengsi tanah
Jawa."
Hadirin tercengang. Belum hilang kagetnya,
Macukunda
dikejutkan tampilnya perempuan cantik di
samping Geni. "Aku
juga mau ikut tarung, aku Sekar, isteri
Wisang Geni. Aku juga
punya ilmu silat yang mumpuni dan siap
membela tanah Jawa
bersama Gayatri dan suamiku."
Masih dalam keadaan bingung, namun
Macukunda, cepat
memberi hormat kepada dua pendekar wanita
itu. "Terimalah
hormatku, pendekar Sekar dan Gayatri,
sampean memang
isteri setia seperti Sawitri, aku setuju
masukkan nama
sampean berdua sebagai pendekar kesembilan
dan kesepuluh
namun keputusan aku serahkan kepada suamimu
apakah dia
memberi ijin atau tidak, karena dia seorang
yang paling tahu
tingkat ilmu silat yang kalian miliki,
tanggungjawab ada pada
Ki Wisang Geni. Apakah semua pendekar setuju
keputusan
ini?"
Hampir semua pendekar menyatakan setuju.
Mereka
memandang Wisang Geni, menanti apakah lelaki
ini memberi
ijin isterinya yang cantik jelita untuk ikut
tarung. Geni berbisik
kepada isterinya, "Kamu benar-benar
gila, aku tidak memberi
ijin, tidak bisa."
Gayatri menjawab dengan berbisik,
"Geni, kamu tidak boleh
melarang aku sebagai isterimu yang hendak
berbakti kepada
suamiku, ini darma baktiku sebagai seorang
isteri yang
menyinta suaminya. Geni, kamu harus memberi
ijin."
Sekar memperkuat permohonan Gayatri. Ia
berbisik pelan,
"Suamiku, kamu tak boleh menolak darma
bakti dari isterimu,
lagipula kami berdua punya ilmu silat
mumpuni, yang mampu
mengalahkan kami hanya kamu seorang, itu
kalau urusan ilmu
silat, kalau urusan bercinta belum
tentu."
Mendengar alasan dan perkataan Sekar,
apalagi kalimat
yang terakhir, Geni tersenyum geli.
"Kalian memang gila,
tarung ini bukan main-main, urusannya bisa
mati!" Dua
isterinya manggut, menandakan kemauan yang
pasti.
Diam sesaat akhirnya Wisang Geni mengangguk,
lalu
berkata kepada pendeta Macukunda,
"Baik, aku mengijinkan
dua isteriku ini ikut bertarung. Mereka
dibekali ilmu silat
mumpuni, tak usah ragu, tetapi kalah menang
atau hidup mati
dalam pertarungan ini tetap merupakan
rahasia dewa."
Macukunda menjawab dengan berseru kepada
para
pendekar. "Pendekar berikutnya
kupastikan adalah Nyi Gayatri
dan Nyi Sekar, isteri Ki Wisang Geni."
Masih ada satu tempat yang setelah melalui
pembicaraan
cukup ketat akhirnya disetujui pendekar
Matangkis, adik
seperguruan Macukunda. Semua setuju dan
sepakat atas
keputusan bersama itu. Pertemuan berlangsung
singkat, rapat
usai sebelum tengah malam. Para pendekar
dipersilahkan
kembali ke tempatnya masing-masing.
"Kita semua perlu
istrahat agar besok bisa lebih segar,"
kata Macukunda.
Malam itu di gubuknya Wisang Geni berbaring
di lantai
beralaskan tikar bambu Tiga isterinya duduk
mengelilinginya.
Gayatri dan Sekar mengapit sambil memijit
lengan dan
tangan, Prawesti memijit paha dan betis. Ia
memecah
kesunyian, "Aku tak tahu apa yang
terjadi besok, tetapi aku
mohon kamu berdua, Sekar dan Gayatri, jangan
terlalu berani
ambil resiko, aku tidak mau kamu terluka.
Setelah
pertarungan besok, kita masih punya urusan
menghadapi
orangtua Gayatri, aku harus bisa mencairkan
kekerasan ayah
mertua supaya bisa memberi ampun kepadamu,
Gayatri."
Sambil terus memijit bahu dan lengan
suaminya, Gayatri
berkata, "Besok aku akan berhati-hati,
kamu juga harus hatihati
Setelah itu memang sebaiknya kita menghadapi
ayah, jika
ia datang bersama Wasudeva, aku pikir
hasilnya akan lebih
baik, aku akan ceritakan semua perbuatan
Wasudeva
terhadap Manisha dan juga niat tersembunyi
lelaki itu.
Selanjutnya terserah ayah."
"Apakah Wasudeva punya niat jahat
terhadapmu?" tanya
Sekar.
"Cerita harus dimulai dari kakekku.
Setelah dikalahkan
Eyang Sepuh di perang Ganter, kakek banyak
berubah. Pulang
ke Himalaya, ia lebih sering menyendiri.
Hanya ibukuyang
paling dekat dengannya, ia berkata pada
ibuku bahwa ia tak
pernah menyangka bisa dikalahkan orang,
benar kata orang
bahwa di atas langit masih ada langit yang
lebih tinggi lagi.
Geni, aku percaya kepandaianmu sangat
tinggi, tetapi tetap
saja aku merasa takut besok kamu kalah, atau
kau mati. Itu
sebab aku ngotot ikut tarung, kalau perlu
aku saja yang mati."
Geni memandang tiga isterinya bergantian,
"Semua orang
harus mati, kita sering melihat kematian,
aku melihat Lembu
Agra mati, kamu juga melihat Lembu Ampai
mati Tetapi tiap
manusia punya pikiran hampir sama, mereka
tidak mau mati,
mereka ingin hidup lebih lama lagi, apalagi
jika manusia itu
sudah menikmati kekayaan dan kekuasaan, ia
semakin ingin
hidup selama-lamanya. Mereka enggan melepas
kekuasaan
atau kekayaannya, mereka ingin membawa
kekayaan dan
kekuasaannya ke lubang kubur."
"Makanya kupikir kamu itu aneh, kamu
malah melepas
kekuasaanmu sebagai ketua Lemah Tulis,"
kata Sekar.
Geni mengalihkan pembicaraan, menanyakan
sesuatu yang
sudah lama mengganggu pikirannya.
"Gayatri, kamu belum
menjawab pertanyaanku tentang niat jahat
Wasudeva itu. Aku
juga heran kenapa kamu begitu yakin ayahmu
akan
menghukum kamu, membunuhmu atau memaksa kamu
bunuh
diri. Aku juga tidak mengerti, mengapa
seorang ayah bisa tega
berlaku sekeras itu terhadap putrinya
sendiri, sungguh aneh."
Memegang dan memijit tangan Geni, kemudian
Gayatri
menciuminya. Ia menjelaskan bahwa dalam adat
istiadat
keluarga, juga adat dan tradisi di
kampungnya di lereng
Himalaya, anak perempuan harus patuh dan
taat terhadap apa
pun keputusan ayahnya menyangkut perjodohan.
Anak
perempuan tak punya hak memilih jodoh. Hak
tersebut ada di
tangan ayah. Sang ayah telah menerima
lamaran Wasudeva,
maka Gayatri harus menerima, suka atau tidak
suka. "Ayah,
ibu dan dua kakakku pasti datang menjemputku,
mungkin
juga Wasudeva ikut dalam rombongan. Tetapi
Geni, aku tidak
menyesal sedikit pun telah menjadi isterimu
Kepada ayah, aku
akan mengaku sudah menikah dan telah menjadi
isterimu.
Dua kesalahan telah kulakukan. Yang pertama,
aku
membangkang dan menolak perjodohan yang
menjadi hak
ayah. Yang kedua, aku telah menikah dengan
orang luar
tanpa ijin ayah. Maksud orang luar adalah
lelaki yang bukan
asal Himalaya. Dalam adat istiadat kami, dua
kesalahan besar
ini tak bisa diampuni. Hukumannya mati, karena
telah
memberi aib besar kepada keluarga."
Sejak tadi diam dan hanya mendengar,
Prawesti mendadak
bicara, "Kakak Gayatri, kita pergi saja
menyendiri di suatu
tempat yang sepi, ayahmu pasti tak akan bisa
menemukan
kita."
Gayatri menghela napas, "Percuma
sembunyi, ayah akan
mencari dan tidak akan berhenti mencari
bahkan membuat
ayah makin murka. Aku pikir aku akan hadapi
ayah,
membeberkan persitiwa sebenarnya. Wasudeva
menghamili
kakak Manisha dan mengingkari janjinya untuk
menikahi
kakak. Aku akan ceritakan alasan mengapa
Wasudeva
berusaha keras menjadi menantu ayah, tak
lain karena ingin
mencuri ilmu andalan kakek Atehai Zaminpar
Kabhiyeb
Chande Sitare (Kadang bulan dan bintang pun
turun ke bumi).
Setelah menjadi menantu ayah akan mudah
baginya mencuri
ilmu itu. Dan ayah terlalu jujur, ia tak
tahu kelicikan
Wasudeva"
"Dari mana kamu tahu niat licik
Wasudeva itu?" tanya
Sekar.
"Sebelum kakek meninggal, ia bercerita
padaku, bahwa
perguruan Arjapura ingin menguasai jurus
andalan perguruan
Yudistira dengan demikian Arjapura menjadi
yang terkuat
diantara semua perguruan sekitar Himalaya.
Kakek tahu watak
ayah itu keras dan jujur, ayah tak akan
percaya. Maka kakek
menugaskan aku untuk menjaga jangan sampai
murid
Arjapura bisa menipu ayah. Ternyata dugaan
kakek benar
adanya, Wasudeva, putra dari ketua Arjapura
berhasil
memperoleh kepercayaan ayah. Sebenarnya jika
ia mau
mengawini Manisha, maksudnya akan tercapai,
ayah akan
mengajarkan jurus itu kepadanya. Karenanya
aku tidak
mengerti mengapa ia menolak Manisha dan
berpaling
menyukai aku."
"Katamu, Manisha lebih cantik dari
kamu, tetapi mungkin
saja Wasudeva lebih menyukaimu, aku pikir
masuk akal.
Gayatri, kamu perempuan yang punya daya
tarik yang bisa
membetot semangat dan merangsang nafsu
birahi lelaki."
Geni juga menepuk pinggul isterinya.
"Itu yang kamu rasakan pertama
memandangku?"
"Yang kulihat waktu itu, perempuan
tercantik yang bahkan
belum pernah muncul dalam mimpiku. Aku
terpikat tubuhmu,
buah dada, rambut, mulut dan kemarahanmu
yang memancar
dari matamu yang indah, aku terangsang
bahkan ingin
memerkosamu"
"Kenapa tidak kau lakukan?"
"Aku merasa bersalah, jika harus
merusak makhluk secantik
kamu, aku juga punya moral dan belum pernah
memerkosa
perempuan."
"Waktu itu, aku tahu apa yang ada dalam
pikiranmu, aku
takut."
Sekar tertawa cekikikan. Ia menggoda,
"Tetapi akhirnya
kamu diperkosa juga, sama seperti ia
memerkosa aku di
tengah hutan. Dan kamu Westi, kamu diperkosa
di mana? Di
Lemah Tulis?"
Prawesti terbawa suasana humor, menjawab
dengan
tertawa lirih, "Ia memang suka
memerkosa perempuan.
Isterinya, bibi Wulan, baru lima hari mati,
ia sudah memerkosa
aku."
"Ilmu Wiwaha sering membakar birahi
setiap melihat
perempuan cantik apalagi yang tubuhnya indah
macam kalian
bertiga." Geni membela diri sambil
tawa. "Lagipula kalian suka
menggoda dan memancing birahiku seperti
sekarang ini.
Kalian juga ketagihan."
Gayatri memeluk Geni. "Ciumanmu itu
telah menaklukkan
aku, pada saat itu aku sudah menjadi
milikmu, aku
menyintaimu hari itu, hari sekarang dan hari
besok, Geni aku
tak bisa hidup tanpa kamu, Geni apakah
sekarang kamu
terangsang," Gayatri mencium suaminya.
Ciuman yang
menumpahkan segala birahi dan cinta seorang
kekasih.
Berturutan Sekar dan Prawesti menggeluti dan
menciumi sang
suami.
Lelaki itu terangsang, ketika hendak
mengajak bercinta,
Gayatri dan Sekar menolak halus beralasan
besok akan
tarung. Prawesti tanpa membuang waktu
menggeluti Geni
penuh nafsu. "Aku mendapat tugas
melayanimu, ketua."
Sekar dan Gayatri keluar meninggalkan dua
insan itu yang
langsung bergumul dalam birahi.
Fajar menyingsing. Gayatri dan Sekar sudah
pulas dalam
semedi. Prawesti tergeletak lelap,
kelelahan, bugil dan
berkeringat. Geni semedi mengatur
pernafasan, tubuhnya
melayang di atas tanah. Nafasnya lembut
nyaris tak
terdengar. Uap tipis membias keluar dari
tubuhnya yang basah
kuyup oleh keringat. Ia mengerahkan tenaga
panas berganti
dingin.
---ooo0dw0ooo---
Pagi itu di sekitar panggung kayu yang luas,
berkumpul
semua pendekar yang akan tarung, disaksikan
penonton yang
cukup banyak. Siauw Tong memperkenalkan satu
per satu dari
sebelas pendekar termasuk dirinya. Mereka
duduk di sisi
panggung sebelah utara. Di sisi sebelah
selatan, Macukunda
memperkenalkan satu per satu pendekar yang
mewakili tanah
Jawa. Orang yang terakhir diperkenalkan
adalah Wisang Geni,
Sekar dan Gayatri.
Ketika nama Gayatri disebut, Siauw Tong
menyela, "Apakah
tanah Jawa sudah kekurangan pendekar
sehingga harus
diperkuat oleh seorang pendekar dari
pegunungan Himalaya?"
Wisang Geni berdiri. Tetapi sebelum suaminya
menjawab,
Gayatri berkata lantang dengan suarayang
ditekan tenaga
dalam "Aku isteri Wisang Geni sehingga
punya hak membela
gengsi negeri kelahiran suamiku. Kebetulan
kamu masih
punya hutang piutang dengan aku, mungkin
sebaiknya nanti
kita selesaikan di atas panggung, itu pun
kalau kamu punya
nyali." Gayatri teringat bentrokan
tenaga dalam dengan lelaki
itu di pelabuhan Jedung.
Wajah Siauw Tong merah padam. Saat itu Sio
Lan berdiri
dan menuding Gayatri. "Tidak perlu
Siauw Tong yang turun,
aku yang akan melawan kamu, sama-sama
perempuan."
Rupanya selama perjalanan Sio Lan dan Siauw
Tong sudah
saling menyinta dan berjanji akan menikah
sepulang ke Cina.
Ciu Tan, ayah Sio Lan merestuinya. Sio Lan
melompat ke
panggung Gayatri memandang Geni yang
mengangguk setuju.
Dua perempuan itu berhadapan.
Sekonyong-konyong
bayangan berkelebat ke atas panggung.
"Tunggu dulu aku
harus ikut tarung, mana boleh kalian tidak
mengajak aku,"
kata seorang lelaki berusia enampuluhan yang
tubuhnya
masih kekar.
Macukunda berteriak dari bawah panggung.
"Hei Manyar
Edan, kamu turun, kalau mau tarung nanti
saja kita
rundingkan."
"Tidak bisa, aku tak mau turun jika
belum dapat kepastian."
Dia memandang Gayatri penuh kagum "Eh,
perempuan ini
cantik, sampean mau jadi isteriku? Nanti aku
kasih hadiah satu
perahu besar, kamu tahu, semua perahu di
kali Brantas dan
kali Porong, semua punyaku"
Kontan Wisang Geni naik darah melihat
isterinya diganggu.
Dia berteriak, "Manyar kamu cari mati
berani ganggu isteriku!"
Tetapi sebelum ia bertindak, Gayatri mendahului
memaki, "Eh
tua bangka, jaga mulutmu, apa mau aku
tampar."
Macukunda gelisah melihat gelagat buruk.
"Manyar Edan
jangan ngawur, pendekar itu isteri Ki Wisang
Geni!"
"Oh isteri orang?" Manyar Edan
melihat sekeliling,
mengenali Wisang Geni. "Ayo kita
tukar-tukaran, aku punya
cucu masih muda, umur empatbelas dan cantik.
Kamu ambil
cucuku, aku ambil isterimu"
Terdengar bentakan perempuan, "Kakek
tua tidak tahu diri,
kurang ajar," disusul suara mencicit
menyerang Manyar Edan.
Pendekar kali Brantas terkejut, desir angin
tajam
menyerangnya. Seutas tali tipis dengan bor
di ujungnya
memburu ke mana Manyar Edan mengelak.
"Hei siapa kamu,
jangan main bokong!"
Serangan itu berhenti begitu saja. Terdengar
suara Gayatri
berteriak, "Urmila, Shamita, kalian
datang."
Dua pembantu itu membungkuk dari pinggiran
panggung.
"Kami siap membantumu, putri."
Orang-orang menatap dua
gadis cantik yang tampak jelas berasal dari
India. Semua
orang di situ mendengar dua pendekar wanila
itu memanggil
Gayatri dengan sebutan putri. Jika
pembantunya sudah begitu
lihai tentu Gayatri lebih piawai lagi.
Pada saat itu, Siauw Tong berteriak,
"Hei, Macukunda,
kalian ini mau tanding atau main dagelan.
Cepat siapkan anak
buahmu atau kalau takut cepat-cepat mengaku
kalah dan
meminta maaf."
Saat itu Manyar Edan salah tingkah, mendadak
putranya,
Warok Brantas berdiri, "Bapak, kamu
ambil alih saja tempat
aku ini."
"Wuah begitu juga bagus, kamu minggir
saja, kamu urus
bini dan gundikmu saja, kalau urusan tarung
biar aku saja,
aku sudah lama kepingin ketemu lawan yang
jago," katanya
sambil tertawa. Ketika Manyar Edan hendak
turun panggung,
mendadak berkelebat tiga sosok bayangan.
"Aku Si Jenggot dari Gunung Lawu
terlambat daftar, tapi
aku mau ikut tarung, kapan lagi tarung lawan
pendekar Cina,"
kata lelaki berusia enampuluhan dengan
tongkat di tangan. Ia
menoleh ke kiri dan kanan, lalu tertawa.
"Rupanya bukan aku
sendiri yang ingin tarung, ini datang juga
pacarku Dewi Ayu
dari Segoro Kidul dan teman lama Nyi
Pancasona, nah
pendeta budiman Macukunda siapa tiga orang
yang akan kita
ganti, tadi Manyar Edan sudah dapat jatah,
kita bertiga juga
harus dapat jatah, biar adil," kata
pendekar Gunung Lawu
Mendadak Pak Beng berteriak, "Hei,
kalian kalau mau
berkelahi, tarung saja di bawah sana, jangan
mengganggu
pertarungan di atas panggung, kita tak
peduli siapa dari kamu
yang naik panggung, yang penting jumlahnya
hanya sebelas
orang."
Macukunda menoleh kepada para pendekar di
sekitarnya.
Senopati Samba dan Matangkis undur diri,
memberikan
tempatnya kepada pendekar Jenggot dan Gunung
Lawu dan
Dewi Ayu dari Segoro Kidul. Adapun
NyiPancasona, dia
berseru kepada Sagotra, pendekar gunung
Merapi. "Hei
Sagotra, dulu kamu tarung di bukit
Penanggungan, sebaiknya
sekarang kamu mengalah dan memberi giliran
orang lain."
Sagotra berseru, "Silahkan ambil
tempatku, Nyi, aku lebih
suka mengalah daripada setiap hari kau
mengomeli aku. Biar
kali ini kau dengan Grajagan yang ikut
tarung. Aku nonton
saja, tapi kau harus hati-hati"
Di atas panggung Gayatri dan Sio Lan
bersiap. Mendadak
Pak Beng melompat ke panggung. "Tunggu,
kita bacakan
aturannya." Pak Beng menegaskan
peraturan. Sebelas
pendekar dari setiap kubu boleh naik
panggung, satu lawan
satu, yang menang boleh istirahat daii uaik
pada ke.sempalan
l.un. Siapa yang kalali, tak boleh larung
lagi. Jika pertarungan
berakhir imbang, keduanya dinyatakan kalah
dan tak boleh
tarung lagi. Kubu yang sebelas wakilnya
kalah semua, kubu itu
yang dinyatakan kalah. Sebagai hukuman kubu
itu harus
dengan ksatria menyatakan kalah dan minta
maaf. Jika ada
pendekar yang mati, itu adalah resiko, tak
boleh ada dendam
atau main keroyokan.
Di atas panggung dua singa betina sedang
beradu
pandang. Sio Lan usia duapuluh, cantik
dengan tubuh
langsing. Ia mengenakan pakaian khas Cina
warna kuning
dengan hiasan benang emas, rambut dikuncir
diikat di
belakang leher jenjangnya. Ia meloloskan
pedang tipis dari
punggungnya.
Penonton memerhatikan Gayatri. Hari itu
Gayatri
berdandan ala pendekar Jawa. Ia tampak
cantik jelita, kulitnya
yang putih tampak mencolok dibungkus pakaian
warna hitam,
baju lengan pendek dan celana longgar
sebatas betis.
Rambutnya panjang digelung diikat pita warna
putih.
Hidungnya bangir, bibir yang tebal dengan
mulut lebar
membentuk busur serta dua bola mata warna
coklat di balik
bulu mata lentik, menegaskan kecantikan
seorang perempuan
India.
Tadi pagi sebelum berangkat, Gayatri minta
bantuan
Prawesti membungkus ketat-perutnya dengan
stagen, setelah
sebelumnya perut dilapisi semacam kulit
tipis. Lilitan stagen
itu tidak terlalu ketat sehingga masih bisa
bernafas dengan
leluasa.
Gayatri membawa sebilah pedang. Tidak
panjang seperti
pedang umumnya, tidak juga pendek. Ukurannya
sedang,
ujungnya sedikit melengkung. Itu pedang
pusaka pemberian
kakeknya. Gayatri bisa menduga kemahiran
lawan dari cara
Sio Lan naik panggung. Namun ia tak mau
memandang
enteng, bisa saja lawan sengaja
memperlihatkan kekurangan.
Saat berikut dua macan betina itu terlibat
tarung hebat.
Sio Lan pernah melihat Gayatri di pelabuhan
Jedung ketika
Siauw Tong mengujinya dengan tenaga dalam.
Perempuan
India ini memiliki tenaga dalam mumpuni,
maka ia langsung
mengeluarkan segenap kepandaian. Kiamboat
(Ilmu pedang)
Wu Tang yang sederhana namun banyak
mengandung arus
putar lingkaran kecil dan lingkaran besar
menerbitkan tenaga
pusaran yang menyedot lawan. Sekali lawan
masuk ke dalam
pusaran itu, maka tak ada jalan keluar lagi.
Tubuh lawan bisa
berlubang di banyak tempat.
Tarung beberapa jurus Gayatri mulai
merasakan hebatnya
ilmu pedang lawan. Ia juga tak mau
main-main, ia menggelar
jurus pedang warisan sang kakek Hothon Se
Maine Kuchna
Kuba (Tak ada yang kukatakan melalui
bibirku) dan Kitna
Bechain Kiya Tumne Tu Kalke Door Naa Rehpan
(Kamu
membuat aku gelisah, aku tidak bisa pisah
dari kamu).
Pertarungan sangat seru, pedang Sio Lan
mengurung tubuh
Gayatri yang tampak terdesak. Jurus Sio Lan
ganas dan
telengas sedang gerakan Gayatri sangat indah
seperti dewi
menari.
Limapuluh jurus berlalu, Sio Lan mulai
gelisah, kiamboatnya
seperti membentur tembok yang mengandung
pegas.
Tembok itu memukul balik pedangnya. Setiap
bentrok pedang,
tangannya kesemutan. Memasuki jurus
kelimapuluh sembilan,
pedang Gayatri berhasil menusuk lengan
lawan, dengan gerak
menyentak pedang lengkung itu membuat daging
lengan Sio
Lan tercabik.
Perempuan Cina itu berteriak kesakitan, ia
melepas pedang
sambil tangannya bergerak, lima pisau
terbang mengarah
Gayatri. Perempuan India itu sudah
mewaspadai perbuatan
curang lawan, ia tidak gugup. Ia memutar
tubuh seperti
gasing, jurus yang ia pelajari dari Geni,
pedangnya memukul
balik semua pisau. Dua pisau nancap di
pundak Sio Lan. Tiga
lainnya terbang ke Sin Thong yang sigap
menangkap. Siauw
Tong melompat memeriksa luka tunangannya dan
membopong turun dari atas panggung.
Penonton bersorak. Para pendekar seperti
Macukunda,
yang tak menyangka Gayatri begitu lihai ikut
tepuk tangan.
Gayatri kembali duduk di samping Geni yang
langsung
memegang tangannya. Geni menyalurkan tenaga
dalam.
Gayatri merasa tubuh segar kembali.
Waktu itu di atas panggung. Nyi Pancasona
dengan jurus
pedang Dala-dala dari perguruan
Gorang-gareng terdesak
hebat oleh Li Moi. Pertarungan berlangsung
seratus jurus. Li
Moy, wanita usia empatpuluh, gesit dan
ringan memainkan
jurus Belalang. Tadinya tarung imbang,
mendadak Pancasona
berteriak, "Kau curang!"
Penonton tidak mengerti karena tidak melihat
betapa jarum
halus Li Moy telah melukai pundak Pancasona.
Sedikit demi
sedikit Li Moi mulai menguasai pertarungan.
Pada jurus
keseratus sepuluh, tendangan Li Moy menerpa
pundak
Pancasona yang tersungkur ke bawah panggung.
"Aku kena
jarum beracun, aduh lukaku rasanya
panas," katanya kepada
Sagotra, kawannya. Saat pendekar Merapi
hendak mencacimaki
kecurangan lawan, Pancasona mencegah.
"Aku yang
salah karena tidak waspada. Tak perlu
berkoar malah
mempermalukan aku." Sagotra cepat
mengobati luka
Pancasona.
Pertarungan berikutnya, Sin Thong
bersenjatakan sepasang
golok dihadapi Manyar Edan. Pendekar pendiri
perguruan
Brantas ini terkenal dengan senjata keris
luk tujuh yang konon
sangat ampuh dan berhawa panas. Wisang Geni
memerhatikan permainan Sin Thong. Dua tahun
lalu di bukit
Penanggungan, ia menghantam dada Sin Thong
sampai
muntah darah dan mematahkan dua goloknya.
Tampak
permainan Sin Thong semakin matang, tetap
ganas dan
kejam. Sebaliknya Manyar Edan yang rada ugal-ugalan
kini
ketemu batu, ia terdesak hebat. Kerisnya tak
berdaya
menghadapi sepasang golok yang cepat, ganas
dan bertenaga
Sampai jurus sembilanpuluh serangan Sin
Thong melukai
pundak dan paha Manyar yang terdesak mundur
ke bibir
panggung. Tendangan Sin Thong mengarah ulu
hati, Manyar
Edan tak punya pilihan selain lompat mundur.
Ia terdesak
keluar panggung, kalah.
Saking malunya pendekar ini ngamuk mau naik
tarung lagi,
namun pendeta Macukunda melerainya.
"Kamu sudah kalah Ki
Manyar, ini pertandingan resmi, kamu tak
boleh melanjutkan
tarung, jika kamu naik juga hal itu akan
memalukan kita
semua."
Pendekar tua ini ngeloyor pergi duduk di
samping cucunya.
Ia masih mengumbar amarah, "Seharusnya
tarung begini tidak
perlu pakai panggung, aku belum kalah dan
juga belum mati,
kenapa berhenti dan dinyatakan kalah."
Dalam tarung berikut pendekar Ujung Kulon,
Grajagan,
kewalahan menghadapi Mok Kong. Tarung tangan
kosong
sebenarnya bukan andalan Mok Kong yang
berdua saudara
kembarnya terkenal dengan jurus golok bersatupadu.
Tetapi
melihat lawannya menyukai pertarungan tanpa
senjata, maka
ia pun meladeni.
Jurus Mok Kong, mirip Cakar Elang yang cepat
dan ganas,
tampak lebih tangguh dibanding Sewubraja.
Dua ilmu ini
sangat beda dan kontras. Sewubraja
mengutamakan "gerak
lamban mengatasi cepat" jadi sebenarnya
tepat untuk
menjinakkan cakar elang. Sayang dalam hal
tenaga dalam,
Grajagan masih kalah dibanding tenaga Mok
Kong. Itu
sebabnya kelambanan Sewubraja tak mampu
mengimbangi
Cakar Elang yang cepat dan ganas. Setelah
lewat seratus
jurus, Mok Kong akhirnya melukai pundak dan
punggung
lawannya. Grajagan tersingkir ke bawah
panggung. Pundak
dan punggungnya berdarah.
Merapatkan tubuh ke tubuh suaminya Gayatri
menggamit
lengan Geni dan berbisik, "Tampaknya
semua jago kita akan
kalah, akhirnya tinggal kamu seorang dan
mereka akan
menghadapi kamu dengan bergilir, mereka akan
menguras
tenagamu Itu strategi perang mereka, sungguh
cerdik.
Kebetulan secara perorangan banyak dari
mereka yang lebih
tangguh dari pihak kita."
"Tetapi kamu lebih cerdik karena bisa
menebak jitu strategi
mereka. Sekarang apa strategi kita untuk
mengalahkan
mereka?" Nada suara Geni tenang.
Belum Gayatri menjawab, Sekar memotong
bicara,
"Agaknya tarung akan berlanjut besok,
sekarang sudah mulai
senja. Kamu harus siap tarung selama dua
hari. Sebaiknya
kamu naik panggung hari ini dan mengalahkan
satu atau dua
orang untuk mengurangi kerjamu besok."
Saat ketiganya bercakap-cakap, pertarungan
kelima
memasuki saat-saat kritis. Sang Pamegat
terdesak hebat oleh
Mok Tang. Dari penampilan jurus goloknya,
Mok Tang tampak
lebih tangguh dari saudara kembarnya Mok
Kong. Jurus
andalan Sang Pamegat tetap tak berdaya, ia
seperti
terbungkus gulungan sinar golok. Meski
benteng pertahanan
cukup rapat, tidak urung pendekar Pamegat terdesak
mundur.
Ia berada di bibir panggung, selangkah
mundur ia akan keluar
panggung dan kalah.
Melihat keuntungan di depan mata, Mok Tang
menyerang
gencar. Dalam peraturan tarung, seseorang
tidak perlu harus
melukai atau membunuh lawan, cukup jika
lawan terdesak
keluar panggung, itu artinya ia menang Sang
Pamegat tak
mungkin lolos dari serangan ganas yang
mengarah empat titik
mati di tubuhnya. Ia terpaksa mundur dan
melayang turun
panggung. Mok Tang menang. Ia menjura
memberi hormat
kepada Sang Pamegat.
Sudah empat pendekar negeri yang kalah, Nyi
Pancasona,
Manyar Edan, Grajagan dan Sang Pamegat.
Sedang di kubu
lawan, baru seorang yang kalah, Sio Lan.
Saat Macukunda
berpikir siapa yang akan maju, mendadak
Wisang Geni
melompat ke atas panggung.
Terdengar sorak sorai penonton. Semua orang
sudah tahu
siapa Wisang Geni yang secara tidak langsung
sudah diakui
sebagai Pendekar Tanah Jawa. Namun dalam
hati, orang juga
merasa khawatir, jika pendekar berambut uban
ini kalah,
sama artinya tanah Jawa yang kalah.
Begitu Wisang Geni menginjak lantai
panggung, sesosok
bayangan berkelebat. Pak Beng berdiri di
hadapan Geni.
Pendekar Cina ini mengenakan baju longgar
berlengan
panjang yang justru tampak ketat di
pergelangan tangannya.
Geni ingat bisik Gayatri sebelum naik panggung.
"Perhatikan
pergelangan tangan lawan, di situ mereka
menyimpan senjata
rahasia." Tidak sengaja, Geni menoleh
ke Gayatri. Isterinya
memberi isyarat, membenarkan lawan
menyembunyikan
senjata rahasia.
Pak Beng tertawa keras. "Dua tahun aku
mengingat
kekalahan di bukit Penanggungan. Sekarang
aku ingin
menjajal lagi kehebatan pendekar Wisang
Geni." Ia
menyalurkan tenaga ke seluruh tubuh.
Wajahnya berubah
kemerahan, tubuhnya bergetar.
Tidak mau memandang ringan lawannya, Geni
waspada
terhadap senjata rahasia yang disembunyikan
di pergelangan
tangan lawan. Geni menyalurkan pikiran dan
tenaga ke satu
titik. Ia diam menanti. Pak Beng menyerang,
angin
pukulannya terasa dingin menusuk tulang.
Geni bergerak ke
samping, langkahnya lebar dan ringan.
Dia tahu Pak Beng sedang menanti saat adu
pukulan, saat
itulah senjata rahasia di pergelangannya
akan dilepas. Pak
Beng sengaja melancarkan serangan tangan
kosong dengan
pukulan racun dingin yang sudah dilatihnya
di puncak gunung
bersalju. Pukulannya jauh lebih matang,
lebih dahsyat
dibanding dua tahun lalu.
Diam-diam Geni mengagumi lawannya. Pak Beng
terus
mendesak dengan perhitungan Geni terpaksa
bentrok tangan.
Gerakan Geni tampaknya lamban namun
sebenarnya
mengandung kecepatan tinggi, langkahnya tak
lagi memijak
panggung, melayang satu inci di atas lantai.
Namun saking
cepatnya orang tak bisa melihat ini.
Dalam pandangan penonton Pak Beng lebih
unggul dan
mendesak. Wisang Geni tampak hanya mengelak
dengan
sekali-sekali balas menyerang. Pak Beng
berteriak, "Wisang
Geni, jangan mengelak terus, apakah kamu
jeri adu pukulan
dengan pukulan salju, hayo sambut ini."
Saat itu jurus tigapuluhan, Geni sengaja adu
pukulan. Ia
gunakan tenaga dingin, yang mengalir deras
dari dua
tangannya secara beruntun dan bergantian.
Desss. Desss.
Desss. Desss. Empat kali bentrokan. Hawa
dingin menyebar ke
mana-mana. Adu pukulan berlanjut, Geni
waspada. Ia
memukul dengan kanan disusul tangan kiri
dalam kecepatan
sama. Terus dan beruntun. Pak Beng terpaksa
meladeni, kini
tidak lagi menyerang namun untuk bertahan.
Sebab jika
berhenti memukul maka pukulan dingin Geni
akan menimpa
tubuhnya. Ia tak bisa menunggu lebih lama
lagi sebab makin
lama tenaganya makin terkuras.
Pak Beng pun menggentak dua tangannya,
puluhan jarum
halus melesat dari tabung kecil di
pergelangan tangannya
menyerbu Geni. Berbarengan saat itu Geni
memukul dengan
tangan kanan, tangan kirinya menyusul ketika
jarum Pak Beng
menyerbunya. Geni menambah kekuatan dan
kecepatan
pukulan tangan kirinya, tangan yang terkepal
dilepas menjadi
jari-jari terbuka yang membuat lingkaran
kecil. Saat itu jarum
dari sebelah tangan lain Pak Beng menerjang
leher Geni.
Sekarang kepalan kanan Geni berubah menjadi
jari
terkembang yang berputar membuat lingkaran
kecil. Geni
berteriak, "Maaf, aku kembalikan jarum
milikmu," sambil
mendorong dua tangan secara beruntun kembali
ke arah Pak
Beng.
Puluhan jarum yang terkumpul dalam pusaran
dua tangan
Geni, menerjang Pak Beng dengan kecepatan
tinggi. JarumTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
jarum menghunjam amblas ke tubuh Pak Beng.
Bola mata Pak
Beng melotot. Tubuhnya menggigil hebat,
selanjutnya ia
ambruk Tewas.
Hanya sedikit pendekar, termasuk Gayatri
yang
menyaksikan detil kejadian itu. Mereka
mengagumi kehebatan
Geni bisa lolos dari kedudukan yang begitu
sulit. Namun Geni
sendiri merasa bulu romanya berdiri. Ia tahu
persis, jika tak
ada kecurigaan Gayatri, jika tak ada
peringatan isterinya itu,
mungkin saat ini dia yang tewas tergeletak
di lantai panggung.
"Aku tak berniat membunuh, tetapi
jarum-jarum itu bisa
membinasakan aku. Ia menyerang dengan
membokong, aku
cuma mengembalikan jarum yang menjadi
miliknya."
Siauw Tong berteriak, "Kamu yang
membokong, bukan Pak
Beng, rupanya selama ini namamu terkenal
karena kamu
mengandalkan main bokong saja."
Wisang Geni balik ke tempat duduknya, ia
diam. Gayatri
marah "Hei Siauw Tong, periksa dulu
mayat kawanmu itu, aku
rasa tabung kecil yang diikat di pergelangan
tangannya adalah
bukti kuat bahwa sejak awal dia sudah
merencanakan main
curang."
Siauw Tong sebenarnya tidak tertarik adu
jiwa dalam
pertarungan. Tetapi sejak menyinta Sio Lan,
ia kini berjuang
keras membantu calon mertuanya, Ciu Tan.
Karena ia tahu Ciu
Tan adalah orang yang paling menginginkan
kematian Wisang
Geni. Melihat kepandaian Gayatri yang tidak
terlalu istimewa,
Siauw Tong yakin bisa mengalahkan Gayatri.
Pikiran Geni akan
kalut melihat isterinya mati. Di situ
peluang Ciu Tan
menantangnya.
Berpikir demikian, Siauw Tong melompat ke
atas panggung
sambil menantang Gayatri. "Hei
perempuan India, mari
bereskan persoalan kita yang belum
selesai."
Gayatri berbisik pada suaminya. "Ia
menyimpan senjata
rahasia, tetapi aku tak tahu ada di mana,
tidak mungkin di
pergelangan tangannya. Pasti di tempat lain,
biar nanti kucari
tahu."
Geni memegang tangan isterinya. "Hati-hati"
Gayatri melompat ke atas panggung. Ia
melihat lawannya
menggunakan senjata sepasang pit panjang
yang terbuat dari
baja pulih. Tiba-tiba Gayatri teringat
nasehat kakeknya.
"Banyak orang curang, menyimpan senjata
di dalam senjata."
"Aku tahu, jika melihat pit yang
panjang tetapi tipis,
kemungkinan besar berisi jarum atau serbuk
beracun,"
gumam Gayatri. Ia kemudian meloloskan
senjata andalannya,
tali tipis dengan bor kecil di ujungnya.
Pedang disisipkan di
pinggang.
Tanpa basa-basi lagi Siauw Tong menyerang
dengan
sepasang pit, namun sebelum ia mendekat
Gayatri
menjangkaunya dengan bor maut. Tentu saja
Siauw Tong
berada pada posisi terdesak, ia tak bisa
mendekat lantaran
jangkauan senjata Gayatri lebih panjang.
Terpaksa ia
membela diri dengan rapat sambil memikirkan
siasat.
Bor maut Gayatri itu seperti ular hidup
bergerak dan
mematuk ke mana saja Siauw Tong bergerak.
Saking
cepatnya, gerak bor maut itu tak bisa
diikuti mata. Hanya
suara mencicit menandakan senjata itu masih
mencari
mangsa. Siauw Tong hanya mampu bertahan
dengan
memutar pit melindungi seluruh tubuhnya.
Bentrokan pit
menangkis bor terdengar bercampur suara bor
yang mencicit.
Pada jurus keduapuluh, Siauw Tong dengan
cerdik menangkis
dan memutar, membuat tali lawan terikat pada
pit-nya. Ia
menarik dan mengerahkan tenaga dalam,
maksudnya ingin
mendekati lawan namun Gayatri mendahuluinya
dengan
serangan senjata bor dari ujung tali yang
lain.
Siauw Tong terkejut, tak pernah menyangka
bahwa bormaut
itu memiliki dua ujung. Pundaknya terluka
parah, darah
muncrat ketika Gayatri menarik pulang
senjatanya. Dalam
situasi terluka, Siauw Tong berlaku nekad,
ia menerobos maju
dan menyerang lima titik mati tubuh lawan.
Gayatri sudah
menghitung ia membiarkan lawan mendekat,
saat bersamaan
ia menghunus pedangnya dan menebas tangan
lawan. Siauw
Tong kaget, untuk menolong diri ia melepas
senjata pit-nya.
Gayatri menarik ujung bor lainnya berikut
pit yang
mengikatnya.
Kedua senjata Siauw Tong terampas, pundaknya
luka
parah. Ia sudah kalah, tetapi gengsinya
besar sehingga ia
nekad menyerbu dengan pukulan tenaga dalam
Gayatri
mengelak, sambil berseru, "Kamu sudah
kalah, aku juga tak
mau membunuhmu Pergilah sebagai seorang
jantan yang
berani mengaku kalah."
Siauw Tong tertegun. Ia menoleh ke bawah
panggung Ia
melihat sinar mata Sio Lan yang khawatir,
pandangan Ciu Tan
yang memberi isyarat agar dia mundur. Siauw
Tong melompat
turun.
Gayatri menggulung senjata bornya. Ia
membiarkan
senjata Siauw Tong tergeletak begitu saja di
panggung. Lalu
dengan gerakan anggun ia melayang kembali ke
tempat
duduknya di samping Geni. "Kau cerdik
dan tangkas, pendekar
Cina itu bahkan tak sempat menggunakan
senjata rahasianya.
Tetapi apakah kau yakin ia menyimpan senjata
rahasia?"
tanya Geni.
"Ia menyimpannya di dalam senjata pit.
Ada rongga di
dalam alat tulis tersebut, aku pikir mungkin
bubuk beracun
atau jarum halus. Itu sebabnya ia
menginginkan bertarung
dalam jarak dekat, tetapi aku justru
menghindari pertarungan
jarak dekat. Sebab dalam tarung jarak jauh,
senjata
rahasianya masih bisa kupatahkan, jika dari
dekat aku tidak
yakin bisa mengelak, aku bisa mati
konyol."
Pertarungan berlanjut terus. Tiga
perkelahian diselesaikan
sebelum matahari terbenam. Dua partai
dimenangkan
pendekar Cina. Pendekar Pedang dari Gurun
Gobi, Sian Hwa,
dengan limapuluh lima jurus Topan Gurun
bertarung ketat
lawan pendekar wanita Dewi Ayu dari Segoro
Kidul. Dalam
seratus jurus lebih, akhirnya Sian Hwa
berhasil menoreh
goresan di bahu dan lengan Dewi Ayu
Pertarungan usai, Sian
Hwa menang. Namun ia memberi hormat dan
menyatakan
kekaguman pada lawannya yang bersikap jujur
dan berani
mengaku kalah.
Pada pertarungan berikut, Demung Pragola
dengan tongkat
besinya menghadapi pedang Liong Kam berakhir
sama kuat.
Liong Kam seorang ahli pedang yang telah
menciptakan
jurusnya sendiri hasil merangkum beberapa
ilmu pedang dari
pelbagai perguruan di daratan Cina. Namun
Demung Pragola
dengan tongkat yang dimainkan tenaga dalam
yang besar, tak
mungkin bisa ditaklukkan. Pada akhirnya dua
pendekar itu
saling mengakui kehebatan lawan. Keduanya
yakin bahwa
kendati tarung sampai malam, tetap saja
hasilnya akan
imbang. Perjanjian menyatakan bahwa hasil
imbang maka
keduanya dinyatakan kalah dan tak boleh
bertarung lagi
Jenggot dari Gunung Lawu, pendekar yang
sudah lama tak
didengar namanya, berhadapan dengan pemimpin
rombongan, Ciu Tan. Pertarungan berlangsung
ketat. Tongkat
sakti Gunung Lawu berhadapan dengan jurus
Cengkeraman
Naga Ciu Tan.
Seratus jurus lebih baru tampak Ciu Tan
mengungguli
lawannya, Cakar Naga-nya merobek lengan pendekar
gunung
Lawu itu Lengan nyaris patah jika dia tidak
mengerahkan ilmu
Belut Putih membuat lengannya licin. Tetapi
tetap saja darah
mengucur dari luka yang menganga cukup lebar
itu.
Keduanya melompat mundur,kemudian saling
memberi
hormat. Kakek Jenggot dari Gunung Lawu
ngeloyor turun
panggung. Saat itu senja sudah tiba.
Matahari turun ke
peraduannya di ufuk Barat. Macukunda berkata
kepada
rombongan Cina, "Pertandingan akan
dilanjutkan besok pagi
saat matahari mulai bersinar."
Siauw Tong dengan pundak yang dibalut kain
putih berdiri
dan berseru lantang kepada Macukunda.
"Pendekar
Macukunda, perlu diumumkan bahwa pihak
kalian sudah
kehilangan Nyi Pancasona, Ki Manyar Edan, Ki
Grajagan, Ki
Pamegat, Nyi Dewi Segoro Kidul, Ki Demung
Pragola dan Ki
Jenggot Gunung Lawu, tujuh pendekar yang
kehilangan hak
tarung. Sisa empat pendekar yang boleh
tarung besok yakni Ki
Wisang Geni, Nyi Gayatri, Nyi Sekar dan Ki
Macukunda. Di
pihak kami, sudah kehilangan Sio Lan, aku
sendiri Siauw Tong,
Pak Beng dan Liong Kam Kami masih punya
tujuh pendekar
yang akan bertarung besok, Li Moy, Sin
Thong, Mok Kong,
Mok Tang, Dewi Gurun Gobi, Kim Mei dan Ciu
Tan. Sampai
jumpa besok."
Seruan Siauw Tong memancing reaksi
macam-macam dari
para pendekar, ada yang marah, ada yang diam
dan ada yang
mengomel bahwa tanah Jawa sudah kalah.
Macukunda dan
beberapa pendekar berjalan beriring.
"Malam nanti kita
kumpul di tenda Perguruan Mahameru, kita
perlu berunding,"
kata Sang Pamegat.
Sejak awal Macukunda telah ditunjuk sebagai
juru bicara
kubu tanah Jawa. Waktu itu ia menolak sambil
menunjuk
Wisang Geni, karena Wisang Geni dinilai
paling lihai ilmu
silatnya. Tetapi Geni menolak keras.
"Aku tidak pantas, masih
muda dan tak punya pengalaman. Pendeta
Macukunda adalah
orang yang paling layak, aku sangat mendukungnya."
Malam itu di tenda Mahameru berkumpul
pendekar utama
tanah Jawa. Wajah Macukunda dan semua yang
hadir,
kelihatan muram dan berduka. "Hari ini
kita kalah total. Sesuai
peraturan kita hanya boleh menampilkan empat
wakil, Nyi
Gayatri, Ki Wisang Geni, Nyi Sekar dan aku
sendiri. Kubu
lawan masih tersisa tujuh pendekar. Aku
tidak tahu apa yang
harus kita lakukan untuk menyelamatkan
gengsi tanah Jawa
ini," kata Macukunda.
Semua orang diam Wisang Geni berbisik kepada
isterinya,
"Kamu punya rencana untuk pertarungan
besok?" Gayatri
menggeleng. Wisang Geni diam. "Jika
Gayatri saja tak punya
rencana, artinya keadaan sudah gawat,"
gumam Geni dalam
hati
Sang Pamegat memecah kesunyian. "Maaf
para pendekar,
coba kita bersama-sama memeta kekuatan dan
kelemahan
lawan, mungkin kita bisa menemukan jalan
keluar."
Satu per satu pendekar menyumbang saran.
Peta kekuatan
lawan tampaknya sangat tangguh. Li Moy, Sin
Thong, Mok
bersaudara, Dewi Gurun Gobi dan Ciu Tan
sudah diketahui
kekuatannya. Hanya Kim Mei yang belum memperlihatkan
kebolehannya. Di antara enam lawan yang
sudah diketahui
kepandaiannya mungkin hanya Li Moy yang
mudah diatasi.
"Sekarang, siapa di antara kita yang
akan menghadapi Li
Moy?" tegas Sang Pamegat.
Baik Macukunda maupun Geni merasa enggan
melawan Li
Moy Bukan hanya ia perempuan, tetapi juga
dinilai yang paling
lemah sehingga memilih Li Moy sebagai lawan,
sama artinya
dengan mengakui kelemahan diri sendiri.
Macukunda dan
Wisang Geni saling pandang. Gayatri bisa
memahami, ia
mengajukan diri melawan Li Moy Macukunda
memilih Sin
Thong. Sekar memilih pendekar Gurun Gobi.
Wisang Geni
akan menghadapi Mok Tang atau Mok Kong.
Macukunda menyambut rencana ini. "Cara
ini cukup baik
semoga kita berempat bisa menang, sehingga
bisa tarung
lagi." Ia melihat Sekar bisik-bisik
dengan Wisang Geni.
"Mungkin Nyi Sekar punya rencana lain.
Silahkan bicara, tidak
perlu sungkan."
Sekar meminta maaf karena berani lancang
bicara. "Melihat
Kim Mei belum tarung, mungkin ilmunya cukup
hebat, bisa
sama lihai dengan Ciu Tan atau Mok
bersaudara Aku yakin
Kim Mei akan menantang suamiku. Jika benar
maka aku akan
meladeninya. Dia belum tahu ilmu silatku,
aku juga belum
melihat cara tarungnya. Ada lagi rencana
lawan yang sangat
berbahaya. Aku pikir Mok bersaudara akan
maju berdua, ilmu
pedang bersatupadunya sangat lihai, di
daratan Cina selama
ini mereka belum pernah kalah."
"Tidak bisa, mana bisa dua orang maju
mengeroyok satu
pendekar dari kubu kita, itu tak boleh
terjadi," tukas Manyar
Edan marak
Sekar menjawab dengan tangkas, "Mereka
akan
menantang suamiku untuk menjajal ilmu golok
bersatupadu,
itu jelas. Setelah itu Ciu Tan maju dengan
pemikiran suamiku
sudah letih, maka akan mudah
mengalahkannya."
Semua terdiam Rencana itu sangat pintar dan
licik. Namun
semua sepakat Gayatri dan Sekar juga tak
kalah cerdas,
karena bisa menebak rencana lawan. "Nyi
Sekar, bagaimana
kamu bisa memikirkan jebakan lawan im,"
tanya Nyi
Pancasona penasaran.
Sekar belum menjawab, Grajagan memotong.
"Nyi Sona,
untuk bisa menebak, Nyi Sekar hanya perlu
menempatkan diri
semisal dia sebagai lawan, apa yang akan dia
perbuat."
"Kenapa kamu sendiri tak bisa
menebak," balas Nyi
Pancasona dengan nada tinggi. Grajagan
menggeleng, "Aku
tak bisa, pikiranku lambat."
Macukunda memandang Sekar dan Gayatri.
"Nyi, kamu
sungguh pintar, kamu cantik dan pintar
sungguh pasangan
yang cocok untuk Ki Wisang Geni, sekarang
apa rencana kita
yang paling baik?"
Sekar dan Gayatri menggeleng. Gayatri
menjawab, "Aku
tak tahu, mungkin besok kita bisa atur
strategi tergantung
situasi. Aku usul besok sebaiknya Ki
Macukunda tegaskan
kepada mereka bahwa sebagai penantang wakil
mereka harus
naik panggung lebih awal. Dengan demikian
kita bisa
mengatur siasat siapa dari kubu kita yang
maju
menghadapinya."
Macukunda tersenyum dan berkata kepada para pendekar,
"Besok, aku akan duduk berdampingan
dengan Nyi Gayatri
dan Nyi Sekar, keduanya kuangkat sebagai
penasehat
perang." Macukunda tertawa puas. Saat
yang sama di tempat
lain, Ciu Tan tertawa puas mendengar rencana
yang
dibentangkan Siauw Tong.
Pagi itu seperti hari sebelumnya, Prawesti
membalut perut
Gayatri dengan stagen berlapis-lapis. Di
balik stagen,
menempel di perut, ada semacam kulit tipis
berwarna hitam
keabu-abuan. Gayatri tidak mau menjelaskan
benda apa itu.
Ada tempat duduk kosong di samping
Macukunda. Pendekar
tua ini menggapai ke arah Geni, Sekar dan
Gayatri, mengajak
mereka duduk di sampingnya.
Saat itu muncul para pendekar Cina yang
datang dengan
rasa percaya diri. Wajah mereka tampak
cerah. Sebaliknya
pendekar Macukunda dan rombongannya kelihatan
tegang.
Siauw Tong mengumumkan empat nama kubu tanah
Jawa
dan tujuh wakil Cina yang boleh tarung. Ia
setuju syarat
Macukunda bahwa sebagai penantang kubu Cina
naik
panggung lebih awal. Selang sesaat Li Moy
naik panggung, ia
memberi hormat kepada penonton. Gayatri tak
sungkan lagi,
ia memperlihatkan kebolehan dengan
melentingkan tubuh dan
hinggap di panggung tanpa menimbulkan suara
Keduanya
saling berhadapan.
Li Moy mengacungkan dua tangannya, pertanda
ia
bertarung dengan tangan kosong. Gayatri tahu
bahwa ini akalakalan
Li Moy yang memang lihai dengan jurus
Belalang serta
memiliki jarum beracun. Dari bawah panggung
Nyi Pancasona
berteriak, "Awas, perempuann itu licik,
menggunakan senjata
rahasia jarum beracun."
Li Moy memandang nenek tua itu dan tertawa
sinis.
"Bagaimana rasanya jarumku, enak?"
Sambil tertawa Gayatri bicara pada Nyi
Pancasona, tapi
sebenarnya ditujukan kepada lawannya.
"Dia pakai senjata
rahasia, aku juga punya, malah racunku
adalah racun ular
yang hanya hidup di daerah salju, racunnya
ganas mampu
membuat wajah perempuan cantik menjadi
keriput dan tua
dalam sekejap mata. Lihat saja nanti."
Gayatri bersiap. Mendadak Li Moy mundur
dengan wajah
pucat. "Tunggu, kita atur perjanjian,
tidak boleh
menggunakan jarum atau senjata rahasia, siapa
ketahuan
memakai senjata rahasia dia dianggap kalah
meskipun
misalnya dia menang. Bagaimana kau
setuju?" Rupanya Li
Moy merasa ngeri mendengar racun yang bisa
merusak wajah.
Ia selama ini selalu rajin merawat wajahnya
yang cantik.
Gayatri pura-pura memperlihatkan rnimik
menyesal,
"Sayang sekali tetapi baiklah aku ikuti
apa maumu"
Keduanya langsung berhantam. Li Moy langsung
menyerang dengan jurus Belalang, langkahnya
ringan, gerak
tangannya lincah, jari tangan mencengkeram
Gayatri
memeragakan jurus andalan Banjao Kisi Ke
Kisi Ko Aapna
Banalo (Jadilah milik seseorang dan
milikilah seseorang), yang
mengutamakan tarung jarak dekat. Semakin
dekat jarak
tarung, makin ampuh jurus ini. Dalam tarung
Li Moy agak
kikuk, ada rasa tak percaya terhadap lawan,
khawatir lawan
menggunakan racun ganasnya.
Hal itu membuat gerakannya tidak bebas. Ia
terdesak
serangan gencar Gayatri. Di jurus
limapuluhan, Gayatri
menampar pundak dan mendupak bokong Li Moy
Tubuh Li
Moy melayang keluar gelanggang. Ia
kesakitan, Gayatri
menang.
Sin Thong melompat ke atas panggung. Ia
menantang
Macukunda, tetapi Wisang Geni yang melompat
naik. Ini taktik
strategi Gayatri. Bahwa Geni harus
memenangkan partai
kedua, untuk mengurangi jumlah lawan, juga
agar Geni punya
waktu istirahat yang cukup.
Saat itu Sin Thong agak bingung. Ia
memandang Siauw
Tong. Melihat rekannya diam, ia menoleh ke
Macukunda dan
setengah berteriak, "Hei, aku menantang
Macukunda, kenapa
yang datang orang lain, Macukunda apakah
kamu takut
padaku?"
Wisang Geni tertawa keras. "Ki Macukunda
adalah
pimpinan kami dan belum saatnya bertarung,
aku saja yang
tarung. Tetapi kalau kamu takut melawan aku,
pergi pulang
saja ke Cina. Aku janji tidak akan
membunuhmu, hanya
memukul kamu biar kapok dan jangan
datang-datang lagi ke
negeri ini."
Dalam benaknya Sin Thong merasa gentar. Dua
tahun lalu
ia dikalahkan Geni, sepasang goloknya
direbut dan ditekuk
patah, juga kena hantam hingga muntah darah.
Meskipun
selama dua tahun ia memperdalam ilmu
silatnya di Cina dan
yakin bisa mengatasi Geni, tetapi sekarang
di atas panggung
dengan Geni sebagai lawan nyata, ia tak bisa
menyembunyikan rasa gentarnya.
Sin Thong tak punya jalan lain. Suka atau
tidak suka ia
harus hadapi pertarungan ini. Ia memusatkan
pikiran dan
tenaganya, menghunus sepasang goloknya, golok
pusaka
yang sangat tajam Tanpa memberi hormat lagi,
ia menyerang
Geni dengan jurus mematikan yang telah ia
sempurnakan
selama dua tahun menyepi di balik Tembok
Cina.
Sepasang golok bagai kitiran mengurung Geni.
Lelaki ini
mengelak dengan gerak sederhana. Dua tahun
lalu, ia
menghantam telak Sin Thong, sehingga jika
dalam dua tahun
lawannya maju pesat, ia juga maju pesat
setelah pertemuan
dengan Eyang Sepuh Suryajagad. Jadi
bagaimanapun juga Sin
Thong bukan lawan yang perlu ditakuti. Ia
hanya perlu
waspada terhadap kecurangan lawan.
Selama limapuluh jurus Geni berkelit dan
menghindar
dalam kurungan sinar golok Pada dasarnya
Geni belum mau
menggelar ilmu sejatinya, tetapi ia merasa
perlu cepat
menyelesaikan tarung ini. Ia menggunakan
kecepatan
melebihi angin, dan ketepatan pada saat-saat
genting. Tidak
heran Sin Thong selalu kecele, pada saat ia
merasa golok akan
mengena, ternyata jatuh di tempat kosong
atau melenceng
karena didorong angin pukulan. Sin Thong tak
pernah tahu
bagaimana gerak lawan ketika sepasang
goloknya saling
beradu, keras, membuat dua tangannya
kesemutan.
Saat itu Geni membuat gerak lingkar, seperti
pusar angin
kencang dan menyedot golok berikut tubuh Sin
Thong.
Sepasang golok pendekar Cina itu terlempar
ke udara. Kaki
Geni menghantam pundak lawan. Sin Thong
terjengkang ke
bawah panggung. Terdengar sorak penonton
Geni segera
turun panggung.
Di tengah sorak penonton, Kim Mei, wanita
cantik dalam
usia di penghujung duapuluhan, melenting ke
atas panggung.
Ia menjura memberi hormat penonton. Matanya
melirik tajam
Sang Pamegat. Sudah sejak tarung hari
pertama, Kim Mei
selalu tersenyum kepada Sang Pamegat.
Rupanya dua
pendekar ini sudah saling mengenal
sebelumnya. Tadi pagi,
keduanya saling tegur dengan senyum dari
lemparnya masingmasing.
Ketika Sekar siap-siap hendak maju, Geni
memegang
lengan isterinya. "Kamu jangan terlalu
berani ambil resiko, aku
tak mau kamu terluka, jadi kalau keadaan
sulit, lompat
mundur saja."
"Kamu tenang saja suamiku. Kamu belum
lihat semua jurus
yang aku pelajari di Laut Selatan.
Percayalah, aku tak akan
terluka!"
Dari atas panggung Kim Mei menatap Sang
Pamegat, ia
mengharap lelaki itu menepati janji,
menantinya di suatu
tempat usai tarung ini. Kim Mei merasa tak
punya kepentingan
dengan tarung ini, menang kalah, tak ada
untungnya bagi
dirinya pribadi.
Sekar melompat ke atas panggung, menggunakan
ringan
tubuh paling andal Wimanasara. Gerakannya
cepat bagai
melesatnya panah sakti, mendarat di panggung
tanpa suara.
Begitu ringan seperti kapas.
Selama ini Geni belum melihat seluruh ilmu
silat isterinya ini
sejak keluar dari pertapaan Nenek Sapu Lidi.
Ia terkejut dan
kagum melihat ringan tubuh isterinya itu.
Gayatri berbisik,
"Aku pernah tarung dengan Sekar, waktu
itu aku tak bisa
menang dan aku tahu ia belum mainkan seluruh
ilmu silatnya.
Aku yakin ilmu silatnya tidak berada di
bawah kepandaianku.
Malahan ilmu ringan tubuhnya jelas lebih
unggul dari aku."
Geni manggut setuju.
0 komentar:
Posting Komentar