Tiba-tiba Geni ingat kata-kata Gayatri.
"Dia sendirian di luar
sana, tak punya siapa-siapa." Ingat
kata-kata itu dan menilai
penolakan Prawesti, Geni sekarang mengerti
apayang harus ia
lakukan. "Westi, kamu sekarang kurang
ajar, berani panggil
aku, Geni, kamu tak lagi memanggil ketua
atau Mas Geni."
"Kau bukan lagi ketua bagiku, aku sudah
bukan murid
Lemah Tulis lagi, aku diejek orang, semua
gara-gara kamu."
"Kamu harus ikut aku, harus ikut, kamu
harus hidup
bersamaku, berempat bersama Sekar dan
Gayatri."
Prawesti melotot memandang Geni.
"Dengar Geni, aku tak
mau dikasihani oleh Gayatri atau Sekar, aku
tak mau kamu
kasihani."
"Siapa bilang aku kasihan padamu."
Berkata demikian Geni
memeluk erat Prawesti, menjambak rambutnya,
dan mencium
mulutnya. Prawesti berontak, tetapi makin
lama makin lemah.
Gadis itu bereaksi dengan bernafsu. Geni
memperlakukan
Prawesti dengan kasar dan penuh nafsu. Dua
anak manusia
itu tenggelam dalam nafsu birahi yang tak
pernah kunjung
padam.
Tengah malam, saat bulan bersinar terang,
cahayanya
menerobos sela-sela dinding air terjun
sedikit menerangi goa.
Prawesti terbaring lemas di sisi Geni.
Mendadak gadis itu
berbalik dan menerkam Geni, ia menampar pipi
Geni. Ia
terkejut karena Geni tidak menangkis. Ia
mengelus pipi lelaki
itu. "Kenapa kamu tidak
menangkis?"
"Untuk perempuan yang kucintai, kalau
hanya sekali
tamparan, tidak berarti apa-apa."
"Kamu bohong Geni, kamu tidak
mencintaiku, kamu hanya
menganggap aku sebagai pelampiasan nafsumu
saja."
"Tidak Westi, tidak benar itu. Aku
mengejarmu karena ingin
memperbaiki kesalahanku, sekarang ini aku
memaksa kamu
ikut bersamaku, kembali ke Lemah Tulis dan
setelah itu kita
berempat, aku, kamu, Sekar dan Gayatri pergi
dari Lemah
Tulis, kita hidup menyendiri, hanya
berempat."
Prawesti mengelus bulu dada Geni. "Kamu
sudah meniduri
aku, bagaimana kalau Gayatri dan Sekar tahu,
mungkin...."
Geni memotong, "Gayatri dan Sekar
mengikuti apa mauku,
lagi pula keduanya yang menganjurkan aku
membawamu
pulang."
"Jadi semua ini anjuran dua isterimu
itu, bukan
kemauanmu?"
Geni memeluk erat gadis itu. "Tentu
saja itu kemauanku,
kamu kan tahu berada di dekatmu saja aku
sudah
terangsang."
Gadis itu menggigit bahu kekasihnya.
"Kamu selalu
mengucapkan kalimat itu kepada setiap
gadis."
Geni tertawa geli. Prawesti mencium leher
kekasihnya.
"Geni jawab yang jujur, siapa yang
lebih kau cintai Sekar atau
Gayatri?"
"Mengapa kamu tidak menempatkan namamu
ke dalam
pertanyaan itu?"
"Aku tahu diri. Sejak awal aku hanya
meminta menjadi
pelayanmu, berada di sisimu. Aku tahu kamu
mencintai dua
perempuan itu, aku tidak masuk hitungan.
Jawablah dengan
jujur, siapa yang lebih kaucintai, Sekar
atau Gayatri?"
"Aku akan berkata jujur, memang aku
mencintai Sekar dan
Gayatri. Dan di antara mereka berdua, aku
merasa aku lebih
mencintai Sekar."
"Apa kelebihannya yang membuat kau
begitu mencintai
Sekar?"
Tanpa sadar Geni menjawab, "Sekar tidak
pernah meminta,
dia selalu memberi, dia memberi semangat,
kenikmatan dan
kebahagiaan. Dia mencintai aku, tetapi dia
tidak cemburu, dia
memberiku kebebasan."
"Alasan itu bisa dimengerti, tetapi aku
pikir pasti ada yang
istimewa dalam diri Sekar, dia sangat
cantik, aku belum
pernah melihat perempuan secantik dia,
apakah karena
kecantikannya?"
Geni menjawab tanpa ragu, "Dia sangat
cantik."
Prawesti melanjutkan, "Gayatri,
bagaimana dengan
Gayatri?"
"Gayatri cerdas," Geni
menceritakan bagaimana Gayatri
menyelamatkan dia dari fitnah.
Mendadak saja Prawesti teringat sesuatu, dia
melompat
berdiri dan berkata dengan suara parau dan
gugup. "Geni, di
mana Gayatri sekarang ini?"
"Di Lemah Tulis, mengapa?"
"Kamu cepat pulang ke Lemah Tulis,
Gayatri dalam bahaya,
cepat, jangan terlambat, isterimu dalam
bahaya, aku nanti
menyusul."
"Ada apa? Bahaya apa?"
"Ekadasa, dia dendam padamu, dia
merencanakan
membunuh Gayatri pada saat kau tidak ada di
samping
isterimu. Cepat Geni, tak ada waktu lagi,
pergi cepat, aku akan
menyusul."
Kendati belum mengerti sepenuhnya, saat itu
juga Wisang
Geni berkelebat pergi. Ia menggelar ilmu
ringan tubuh yang
paling tinggi.
"Gayatri dalam bahaya, tak mungkin, dia
aman di Lemah
Tulis, ada kakek, ada Sekar dan anak murid
yang pasti akan
membelanya. Tetapi ada apa dengan Ekadasa
apakah dia
yang mau membunuh Gayatri, hmmm, biar ada
sepuluh
Ekadasa juga tak akan ungkulan menghadapi
Gayatri. Tetapi
isteriku itu baru saja sembuh dari luka
dalam, apakah ia sudah
bisa bertarung seperti sediakala, tetapi
Sekar ada di
sampingnya, lalu mengapa Prawesti begitu
tegang dan
menyuruh aku cepat pergi melindungi
Gayatri?"
Banyak pertanyaan yang simpang siur di benak
Geni,
namun lelaki ini tak membuang-buang waktu.
Ia mengempos
seluruh tenaga dalamnya dan berlari dengan
ilmu ringan
tubuh paling tinggi. Di tengah jalan ia
berjumpa dua
pengendara kuda. Sambil mengucap maaf, Geni
menyerobot
seekor kuda dan memacunya menuju Lemah
Tulis. Makin
cepat makin baik.
---ooo0dw0ooo---
Pagi hari itu ketika Wisang Geni
meninggalkan Lemah Tulis
mencari Prawesti, sesaat kemudian Jayasatru
keluar dari pintu
gerbang. Ia menuju ke rumah penduduk menemui
seorang
lelaki muda. Tak lama berselang, lelaki itu
menulis sesuatu di
secarik kulit tipis, menggulungnya sampai
kecil, mengikatkan
di kaki burung elang. Burung itu terbang
pergi Jayasatru
kembali ke perguruan setelah sebelumnya
mampir di sebuah
warung.
Burung elang itu meluncur turun dan hinggap
di tangan
seorang punggawa Tumapel. Dia, seorang
lelaki tegap
bertelanjang dada memperlihatkan tubuhnya
yang bidang.
Dia, punggawa Tumapel kesembilan, berjuluk
Nawa si
Tombak, nama aslinya Margana. Ia berteriak
ke dalam rumah.
"Jeng, sudah ada berita!"
Dari dalam rumah keluar Ekadasa, tangannya
memegang
erat selembar kain yang hanya dililitkan di
tubuh montoknya.
Ia menempelkan tubuh ke punggung Nawa.
"Coba bacakan!"
Nawa mengambil sekerat daging, memberinya
kepada si
elang, mengambil kulit yang terikat di kaki
burung. Ia
membacanya, "Geni sudah pergi?”
Nawa berbalik, memeluk Ekadasa. "Ayo
kita berangkat
sekarang."
Perempuan itu mendesah, "Nanti
siang-siang saja kita
berangkat aku masih mau tiduran lagi."
Sambil tertawa
cekikikan Ekadasa menarik lengan Nawa masuk
rumah.
Sebuah rumah darurat di tepi hutan dekat
desa Diwek,
delapan orang sedang tiduran. Lelaki kecil
pendek dengan
rambut panjang dikuncir berjalan mondar
mandir. "Sudah dua
hari kita menanti, aku sudah tak sabaran
lagi, aku ingin
melumat perempuan asing itu, sudah dua tahun
ini aku
mencarinya. Tak lama lagi dendam isteri dan
selirku akan
terbalas. Tetapi mengapa begini lama?"
"Atirodra, aku juga sudah tak sabaran.
Kita tidak saja diberi
kesempatan balas dendam malahan dijanjikan
menjadi
punggawa Tumapel, wuah bisa pesta setiap
hari, duit
berlimpah dan kapan saja kita mau perempuan
pasti tersedia,"
tukas lelaki tinggi jangkung dengan wajah
tirus macam burung
elang. Julukannya juga seram "Elang
Maut".
Seorang lelaki lain, Maruta, usia setengah
baya namun
tampan dan kekar. Ia duduk dan berkata
lirih, "Aku tak ingin
hadiah apa pun, mendapatkan Ekadasa untuk
satu malam
saja, aku bersedia pertaruhkan nyawa
membelanya.
Menantang Wisang Geni yang konon disebut
Pendekar Nomor
Satu Tanah Jawa, aku bersedia, apalagi hanya
membunuh
perempuan asing."
Atirodra berkata tegas, "Kawan-kawan,
kita sudah sepakat,
jika perempuan asing itu masih berada di
dalam perguruan
Lemah Tulis, aku tak mau masuk. Itu sama
saja dengan
memancing murid Lemah Tulis ikut campur.
Sesuai janji, kita
hadapi perempuan itu di luar pagar Lemah
Tulis, dengan
demikian tak ada alasan bagi Lemah Tulis
membantu
perempuan itu, jangan lupa itu."
Delapan pendekar itu berhasil dikumpulkan
Ekadasa dan
Nawa, sebagai pasukan khusus yang akan
membunuh Gayatri.
Ekadasa sudah merencanakan sejak saat Geni
mencium
perempuan India itu di depan matanya dan
mengumumkan
pernikahannya dengan Sekar dan Gayatri. Ia
sangat marah. Ia
merasa dirinya paling cantik, sehingga
cemburunya meradang
melihat perempuan lain merebut lelaki yang
dicintainya dan
yang pernah bercinta dengannya.
Ketika Geni menidurinya di kamarnya di
istana Tumapel, ia
telah mengerahkan segala pesona miliknya
untuk memikat
Geni. Dan pengalaman selama ini membuat
Ekadasa yakin
setiap lelaki yang bercinta dengannya tidak
akan pernah lupa
kenikmatan yang diberikannya. Itu sebab
keakuannya
tersinggung oleh Gayatri. Seluruh kebencian
dan
kecemburuannya akan terobati jika perempuan
Himalaya itu
mari.
Di Argowayang ia membujuk Prawesti
bersekongkol
membunuh Gayatri, tetapi Prawesti menolak
malah
mengusirnya pergi.
Sepulang dari rumah nginapkelompok Lemah
Tulis, ia
dibuntuti seseorang. Ia menoleh. Lelaki itu
dikenalnya. Dia
Jayasatru. Tiba tiba terlintas rencana di
benaknya akan
memanfaatkan lelaki itu. Senja itu ia
berhasil membuat
Jayasatru bertekuk-lutut. Ia memberi
kenikmatan
persetubuhan yang menurut Jayasatru, amat
istimewa dan
luar biasa. Jayasatru makin tergila-gila mendengar
Ekadasa
menjanjikan pertemuan di hari-hari
mendatang.
Jayasatru tidak bermaksud mengkhianati
Wisang Geni.
Tetapi melihat nasib Prawesti yang nelangsa,
ia pun sangat
membenci Gayatri. Pada pikirannya, gara-gara
Gayatri maka
Geni sampai mengusir Prawesti. Ditambah
pengaruh pesona
erotisme Ekadasa, tak heran akhirnya
Jayasatru menyetujui
rencana melenyapkan Gayatri. Dan rencana itu
sangat rinci
dan njelimet sehingga ia yakin rahasianya
tak akan
terbongkar.
Tugasnya hanya memberi kabar saat Geni pergi
meninggalkan Gayatri sendirian. Setelah itu
ia mencari jalan
agar Gayatri bisa diajak pesiar ke bukit
Kukun. Sampai di situ
tugasnya selesai, rombongan pembunuh sewaan
akan
menyelesaikan rencana selanjutnya. Ia tak
pernah mengenal
dan tak pernah bertemu dengan orang-orang
sewaan itu,
semuanya ditangani Ekadasa.
Saat Wisang Geni dalam perjalanan bergegas
menuju
Lemah Tulis, saat yang sama Sekar dan
Gayatri sedang makan
di dapur. Tidak seperti biasa, kali ini Dyah
Mekar
menemaninya. Tiga perempuan itu berbincang
dengan akrab.
Diam-diam Dyah Mekar mengagumi pengetahuan
sastra
Gayatri yang dengan lancar menceritakan
perasaan Subadra
saat mengetahui suaminya, Arjuna kawin lagi
"Itu sebab aku mengerti bagaimana
perasaan Prawesti, ia
sedih dan nelangsa tetapi moral gadis itu
sangat baik sehingga
ia tidak memusuhi aku dan Sekar atau
membenci Geni.
Pertama jumpa dengannya aku sudah
menyukainya, ia manis
dan ramah. Aku setuju malah memaksa Geni
memaafkan dan
mengajaknya pulang berkumpul dengan aku dan
Sekar."
Selesai makan ketiganya beranjak ke bilik
masing-masing.
Di tengah jalan mereka jumpa Jayasatru.
Lelaki ini sengaja
bersilang jalan dengan tiga wanita itu.
"Kalau mau jalan-jalan
melihat-lihat pemandangan, sebaiknyake bukit
Kukun,
pemandangannya bagus," kata Jayasatru
yang melangkah
terus sambil mengharap umpannya mengena. Dan
memang
usulan itu membangkitkan keinginan tahu
Gayatri. "Mbak
Dyah, bukit itu jauh?"
"Tidak. Bukit itu tidak jauh dari sini,
banyak pepohonan dan
dari ketinggian di situ kita bisa memandang
jauh ke sekeliling
perdikan. Pemandangannya indah," kata
Dyah Mekar.
Sekar menolak pergi. Ia memilih istirahat di
bilik. Dyah
Mekar berdua Gayatri melangkah ke bukit.
Setelah puas
berkeliling bukit, keduanya istirahat di
bawah pohon dan
berbincang-bincang.
Dyah Mekar menyukai Gayatri yang cantik,
cerdas dan baik
budi. Ia kagum mengetahui isi hati Gayatri
yang tulus
terhadap Prawesti. Pandangan Gayatri
menerawang jauh ke
depan, ia bertata lirih, "Dua hari
sudah suamiku Geni pergi,
aku rindu kepadanya, tetapi aku tidak ingin
dia cepat-cepat
pulang jika tidak membawa serta Prawesti,
aku sangat
berharap dia menemukan Prawesti dan
membawanya kemari."
Tanpa dibuat-buat Dyah Mekar memegang erat
tangan
Gayatri, dan berbisik di telinganya,
"Tadinya aku tak begitu
menyukaimu, kupikir kamu telah merebut Geni
dari pelukan
Prawesti, dan kebetulan Prawesti sangat
dekat denganku.
Tetapi sekarang aku sungguh menyukaimu, aku
bangga
padamu, sungguh pintar ketua memilih
isteri." Ia tertawa lirih,
Gayatri ikut tertawa.
Mendadak terdengar bentakan, "Ini dia
perempuan
pembunuh itu." Beberapa bayangan
mengepung Gayatri dan
Dyah Mekar.
"Siapa kalian?" kata Dyah Mekar.
Saat berikutnya ia
mengenali seorang di antaranya,
"Ekadasa, apa yang kamu
lakukan di sini?"
"Kamu orang Lemah Tulis, urusan ini
tidak ada
sangkutannya dengan Lemah Tulis, kamu boleh
minggir. Aku
dan teman-teman hanya berurusan dengan
perempuan asing
ini, dia telah banyak membunuh pendekar
tanah Jawa, kini
saatnya balas dendam."
"Tidak bisa. Dia isteri ketua Lemah
Tulis, bagaimanapun
juga aku tak akan membiarkan orang
mengganggu dia."
Gayatri berbisik pada rekannya,
"Hati-hati mereka semua
memiliki ilmu silat tinggi. Jumlahnya
banyak, sepuluh orang."
Ia menatap Ekadasa, "Waktu itu kamu
telah melukai aku, kini
kamu datang bersama teman-temanmu, apa
sebenarnya
maumu?"
"Jangan banyak bacot, kamu telah
membunuh saudaraku,
sudah lama aku mencarimu, sekarang rasakan
golok ini."
Pendekar bernama Atirodra langsung menerjang
Gayatri.
Serangan ini diikuti sembilan temannya.
Mereka sejak awal
sudah sepakat untuk menyelesaikan keroyokan
mi secepatnya,
khawatir datangnya bantuan untuk Gayatri.
Gayatri cepat mengambil posisi. Ia memang
baru sembuh
dari luka dalam, dan tenaga dalamnya belum
pulih seperti
sediakala. Ia mengelak, balas menyerang.
Dyah Mekar tak
mau ketinggalan, ia menyerang pendekar yang
bernama
Maruta. Tetapi jumlah lawan yang banyak
membuat Gayatri
dan Dyah Mekar terdesak. Melihai situasi
yang tidak
menguntungkan, Gayatri berbisik, "Mbak
Dyah, kita bertarung
saling memunggungi, tujuan kita adalah lolos
menuju Lemah
Tulis. Begitu ada kesempatan, kamu lari ke
Lemah Tulis minta
bantuan."
Dyah Mekar berbisik, "Aku tak mau
meninggalkan kamu
sendiri."
Serangan sepuluh orang itu semakin gencar.
Gayatri tidak
leluasa bertarung karena ia memikirkan
keselamatan Dyah.
"Mbakyu, kamu pergilah, aku masih bisa
bertahan untuk
waktu lama, tak usah khawatirkan aku,
percayalah."
Sambil berkata, Gayatri mulai memainkan
jurus handal an
dari Himalaya Terisanson Meiti Jevan Mein,
Sirefteri Kusbu Hai
(Dalam hidup dan nafasku hanya ada harum
dirimu). Ia
bergerak sangat cepat, gesit dan gemulai
Tangan Gayatri mengibas dan menampar. Ia
bergerak
bagai penari, kakinya bergerak lincah dan
gesit, pukulannya
yang berisi tenaga dalam mengancam setiap
lawan. Seorang
pengeroyok kena tendangan, tulang pahanya
retak. Seorang
lain kena kibasan tangan yang gemulai itu,
pundaknya cedera
Gayatri bergerak kian kemari, mengelak dan
menyerang.
Para penyerang, bahkan Ekadasa pun terkejut
dengan sepak
terjang Gayatri yang begitu trengginas. Pada
saat kepungan
agak kendur, ia mendorong Dyah Mekar.
"Cepat lari, aku akan
menyusul."
Setelah menyaksikan ilmu silat Gayatri yang
dalam
beberapa jurus sudah mencederai dua
penyerang, Dyah Mekar
tak ragu lagi. Ia keluar dari kepungan dan
lari menuju
perguruannya yang tidak jauh. Tak lama
kemudian ia sampai
di pintu gerbang. Ia berteriak memanggil
teman-temannya,
memberitahu Gayatri dikeroyok penjahat di
bukit Kukun.
Tetapi ia terkesima melihat mereka hanya
menggeleng
kepala, dan balik kembali ke dalam.
Prastawana, suami Dyah
Mekar sedang turun gunung. Jayasatru dan
beberapa murid
enggan membantu. Tidak demikian dengan Gajah
Lengar,yang
langsung berlari mendaki bukit.
Dyah Mekar berdua Gajah Lengar tiba di
tempat
pertarungan, tampak Gayatri dikeroyok empat
orang. Ekadasa,
Nawa, Elang Maut dan nenek bersenjata
tongkat kepala ular.
Tiga pengeroyok terkapar di tanah. Tiga
lainnya berdiri di
pinggiran sambil sekali-sekali menyerang
dari belakang.
Gajah Lengar kesal dan kecewa melihat rekan-rekannya
enggan menolong Gayatri yang adalah isteri
Wisang Geni,
ketua mereka. Ia tak mengerti sebabnya.
Tetapi ia tak peduli,
baginya membela Gayatri merupakan harga
mati. Sebab
Wisang Geni adalah putra tunggal Gajah
Kuning, gurunya. Ia
berteriak, "Curang," sambil ia
menyerang lelaki yang berdiri di
pinggiran.
Pertarungan makin seru, Dyah Mekar dan Gajah
Lengar
melawan tiga penjahat. Pertarungan
berimbang, menyerang
dan bertahan silih berganti. Di tempat lain
Gayatri terdesak.
Sebenarnya jurus silat Gayatri lebih unggul
dibanding
pengeroyok. Dalam keadaan biasa, ia akan
mengalahkan
mereka. Tetapi tenaganya belum pulih dari
luka dalam. Ia
juga lupa membawa senjata andalannya. Dan
tarung puluhan
jurus membuatnya lelah. Dari empat
penyerangnya, nenek
bersenjata tongkat itu yang paling lihai.
Nenek itu ternyata
guru dari Ekadasa, julukannya Tongkat Ular.
Gayatri terdesak. Empat pendekar itu
menyerang dengan
jurus mematikan. Cepat dan ganas. Mereka
ingin membunuh
Gayatri secepatnya. Tak ada ampun, tak ada
belas kasihan.
Gayatri bahkan tak pernah mengenal siapa
mereka. "Mengapa
mereka ini begitu membenciku, ingin
membunuhku, kenapa?"
katanya dalam hati
Gayatri tahu diri, tenaganya belum pulih
untuk pertarungan
panjang. Limapuluh jurus sudah berlalu, tiga
pendekar sudah
ia gebuk terkapar di tanah. Kedatangan nenek
tua bersenjata
tongkat kepala ular merupakan kesulitan
paling besar baginya.
Nenek itu menyerang dengan jurus-jurus
ganas, mengincar
titik kematian. Kesulitan lain, tiga
pendekar yang berdiri di
pinggiran, mereka menyerangnya setiap
melihat salah seorang
dari empat kawannya terancam bahaya. Dengan
demikian
empat pendekar leluasa menyerang.
Situasi Gayatri agak tertolong dengan
datangnya Dyah
Mekar dan Gajah Lengar. Begitu tiba di
tempat Gajah Lengar
langsung menyerang tiga penjahat di
pinggiran itu. Gayatri
heran melihat Dyah Mekar hanya membawa
bantuan Gajah
Lengar. Ia bertanya dalam hati "Mengapa
Dyah hanya
membawa seorang tenaga bantuan, ke mana
murid Lemah
Tulis yang lain, apakah Lemah Tulis juga
diserbu penyerang?"
Tetapi ia tak peduli. Baginya dua tenaga itu
sudah cukup
untuk meringankan desakan lawan. Di balik
itu Gayatri
mengerti keadaan dirinya, tenaganya semakin
terkuras dan
lambat laun ia akan melemah. Empat penjahat
itu bisa
membaca gerak Gayatri yang tidak lagi cepat
dan ganas. "Ia
sudah lelah, cepat selesaikan," suara
keras Ekadasa sepertinya
menambah daya gempur tiga kawannya.
Nawa menyerang ganas. Ujung tombaknya
mengancam
leher Gayatri. Gadis Himalaya ini merunduk
dan tombak itu
lewat di atas kepala namun tak urung
beberapa lembar ujung
rambutnya putus beterbangan.
Gayatri terkesiap. "Hari ini mungkin
ajalku sudah
ditentukan, seharusnya aku ikut saja ke mana
Geni pergi,
sayang aku tak bisa bertemu suamiku lagi.
Baiklah tetapi
sebelum ajal, aku akan adu jiwa,"
katanya dalam hati.
Mendadak Gayatri berseru dalam bahasa India,
'Martahoon
Magar Martabhinahin (Aku memukulnya tapi
serasa tak
memukulnya)", tangan dan kakinya
berkelebat. Dia
memainkan jurus andalan itu dengan
pengerahan tenaga
dalam yang besar, memompa habis sisa
tenaganya yang
masih tersedia. Jurus itu memang liar dan
aneh, sulit ditebak
arahnya. Hanya sekejap saja, pundak Ekadasa
kena tampar,
terlepas dari engsel. Tangan kiri wanita itu
lumpuh. Rekannya,
Elang Maut, ulu hatinya kena tendangan
Gayatri, langsung
tewas.
Gayatri gembira melihat hasilnya, ia memang
berniat adu
jiwa sehingga tak lagi memikirkan
pertahanan. Ia menyesal
pukulannya ke kepala Ekadasa luput dan hanya
mendarat ke
pundak si wanita genit. Selang sesaat: ia
melihat datangnya
serangan Nawa, ujung tombak mengarah dada,
perut dan
leher berbarengan datangnya serangan tongkat
si nenek yang
mengemplang kepala.
Tidak tinggal diam dengan sisa tenaganya
Gayatri
memainkan jurus Yaadon Mein Tum Koye Rahoo
Saare Jahan
Kobhul Ke (Melamunlah dalam pelukan dan
lupakan dunia ini).
Ia menampar ujung tombak sambil kakinya
melepas
tendangan. Nawa terpental, tulang pahanya
patah. Gayatri
memang hebat, tetapi ia sudah sangat lelah.
Tubuhnya
limbung pada saat mana tongkat kepala ular
si nenek
mengancam akan menghancurkan kepalanya.
Melihat isteri ketuanya terancam maut, Gajah
Lengar yang
sedang bertarung secepatnya meninggalkan
lawannya dan
melompat dengan seluruh tenaganya. Dia
membentak dengan
teriakan keras, "Mati kamu nenek
cabul!"
Dia tidak hanya membentak tetapi berbarengan
menyambit
kerisnya mengarah kepala si nenek, gerak
lanjutan adalah
menubruk untuk melindungi Gayatri. Semua
gerak dilakukan
dalam sekejap mata. Bentakan itu telah
mengejutkan nenek
tua sehingga serangannya tertunda beberapa
detik.
Nenek tua mengelak lemparan keris, tetapi
tongkatnya
tetap mengancam kepala Gayatri yang semakin
limbung.
Tubrukan dan dorongan Gajah Lengar membuat
Gayatri
terpental dan terhindar dari sasaran
tongkat. Sebagai gantinya
adalah Gajah Lengar yang menangkis tongkat
dengan gerak
mengibas.
Gayatri selamat, tetapi lengan Gajah Lengar
kena hantam
tongkat kepala ular. "Duuukkk,"
tulang lengan Gajah Lengar
patah Tetapi tongkat itu seperti ular hidup,
terus bergerak
dalam serangan susulan mengejar Gayatri.
Melihat itu
meskipun kesakitan, Gajah Lengar siap
mempertaruhkan
nyawa melindungi isteri sang ketua.
Pada saat kritis itu terdengar lengking
teriakan perempuan.
Kesiuran angin kencang menyerbu dalam arena.
Sekar datang
pada saat yang tepat
Setelah berpisah dengan Gayatri, Sekar
istirahat di biliknya.
Dalam tidurnya ia terjaga oleh mimpi buruk.
Ia melihat
suaminya bermandi darah. Suaminya tampak
sekarat tapi
masih bisa berteriak minta tolong,
"Sekar, tolong aku!"
Sekar melompat bangun. Ia lari keluar. Sampai
di gerbang,
ia ingat Gayatri dan Dyah Mekar pergi ke
bukit Kukun.
Firasatnya tajam ada yang bertarung di bukit
itu. Ia lantas
mengerahkan ringan tubuhnya yang paling
handal
Wimanasara. Dari kejauhan ia melihat Gayatri
terancam
jiwanya. Ia langsung masuk tarung.
Belum sampai di dekat Gayatri, Sekar
mendorong dengan
dua jurus Sapwa Tanggwa (Sapu menyapu) yakni
Mammyangken (Menyakiti hati) disusul Hatut
(Sehidup
semati). Serangan itu datang bergelombang
dengan tenaga
besar Segoro (Samudera).
Hantaman Sekar memaksa nenek tua mengubah
posisi kaki
dan menarik pulang serangannya. Tanpa pikir
lagi ia
mengerahkan seluruh tenaga menahan hantaman
Sekar.
"Deeesss" dua tenaga berbenturan.
Nenek itu terdorong
mundur dua langkah. Ia memandang Sekar. Ia
heran dan tak
menyangka tenaga Sekar yang hanya seorang
gadis muda,
bisa sebesar serudukan gajah.
Gayatri terbaring di tanah. Ia nyaris
pingsan, tetapi
langsung siuman ketika mendengar lengkingan
Sekar. Sambil
tarung Sekar bertanya keadaannya. Gayatri
menjawab tegas,
"Aku tak apa-apa, hanya letih, kau
cepat selesaikan nenek
jelek itu." Di samping Gayatri, berdiri
Gajah Lengar dengan
tegar dan waspada, siap melindungi isteri
ketuanya.
Nenek itu marah dan menyerang ganas,
tongkatnya
mengancam dada. Sekar mengerahkan seluruh
tenaga Segoro
dalam jurus Harwuda (Seratus ribu juta) dan
Ghardawari
(Saling sayang). Tangannya memutar dan
menarik. Tangan
lainnya mengibas dalam lingkaran besar.
Tongkat si nenek
terbawa dalam arus putaran. Saat berikut
Sekar menyodok
dan tongkat memukul balik kepala si nenek.
Tengkorak
kepalanya retak. Tak sempat berteriak, nenek
itu tewas di
tempat Ia bahkan tidak sempat melihat
gerakan lawan.
Tidak berhenti sampai di situ, Sekar
merunduk ke tanah,
meraup pasir dan batu kerikil kemudian
mengibas ke tiga
penjahat yang sedang mengancam Dyah Mekar.
Terdengar
desir angin yang mencicit, tiga orang itu
berteriak keras,
wajah mereka kena terjang pasir kasar. Pasir
itu menusuk
daging, perih dan panas. Darah menetes dari
wajahnya.
Beruntung pasir dan kerikil tak mengena
mata. Sambil teriak
kesakitan ketiganya kabur. Tarung usai.
Sekar memeluk dan memeriksa Gayatri. Ia
merasa lega
karena sahabatnya hanya kehabisan tenaga
karena kelelahan.
Dengan bantuan tenaga dalam dan istirahat
satu hari, ia akan
pulih sediakala. "Untung kamu tidak
kena apa-apa," katanya.
Dia memeriksa Gajah Lengar yang tulang
lengannya patah.
Sementara Gayatri sudah berdiri dan membantu
membalut
luka Dyah Mekar yang kena senjata tajam di
pundak, lengan
dan paha. Sekar yang sedikitnya sudah menguasai
ilmu
pengobatan dari Dewi Obat merawat Gajah
Lengar. Ia
membenahi letak tulang yang patah,
mengamankannya
dengan dua potong kayu lebar. Keadaan Gajah
Lengar tidak
berbahaya.
Pada saat itu kesiuran angin keras
mendatang. Geni
muncul. Ia terkejut namun gembira melihat
Gayatri tertawa
dalam pelukan Sekar. Ia mendekat Gayatri
berkata lirih,
"Untung Sekar datang di saat yang
tepat, terlambat sedikit
saja, aku, kangmas Gajah Lengar dan mbak
Dyah sudah tak
bernyawa. Eh, mana Prawesti?"
Geni tak menjawab. Setelah yakin Gayatri
tidak luka. Ia
menoleh ke para pengeroyok yang sedang
berusaha bangkit.
Nawa dan Ekadasa mengerang kesakitan. Kali
ini Geni marah.
Dalam benaknya tidak ada lagi sisa kenangan
indahnya tubuh
punggawa wanita itu. Ia benar-benar marah:
"Ekadasa, ini
peringatan terakhir, jika kamu masih
mengganggu isteriku, tak
ada ampun bagimu, aku akan telanjangi kamu
di depan
umum, semua pakaianmu akan kulucuti dan
membiarkan
kamu jadi tontonan orang. Ingat itu!
Sekarang pergi bersama
temanmu semua, pergi, sebelum aku berubah
pikiran."
Wisang Geni memeluk Gajah Lengar, kemudian
menyalami
Dyah Mekar. "Terirnakasih kangmas
Lengar dan mbakyu
Dyah, kalian sudah mempertaruhkan nyawa
melindungi
isteriku."
Karuan saja dua anak buah itu tersipu-sipu,
malu. "Itu
sudah kewajiban kami, ketua. Kamu membuat
kami jadi
sungkan."
Gayatri menyahut dengan tertawa senang,
"Aku yang harus
berterimakasih kepada kakak berdua, kalau
tidak ada kalian,
aku pasti sudah mati, kalian sudah
menyelamatkan nyawaku
dan kamu juga mbakyu Sekar,
terimakasih." Ia mengulang
pertanyaannya, "Eh Geni, mana
Prawesti?"
Dyah Mekar dan Gajah Lengar terharu, dalam
keadaan
seperti itu, Gayatri masih juga menanyakan
Prawesti. Satu
bukti ketulusan hati perempuan India ini.
Geni menyahut
dengan kesal, "Aku sudah temukan dia,
tetapi aku pulang
duluan, dia menyusul belakangan. Dia yang
mengatakan
adanya bahaya mengancam kamu, dan ia
mendesak aku
cepat-cepat kembali. Ternyata dia benar. Dan
aku memang
terlambat, untung ada Sekar."
Wisang Geni tampak kesal. Ia menggenggam
tangan Gajah
Lengar dan mengajak tiga perempuan itu
kembali ke Lemah
Tulis. Geni berdiam diri sepanjang jalan.
Dari wajahnya yang
kusut tampak ia sedang marah. Mereka tiba di
kaki bukit,
berbarengan dengan tibanya Prawesti yang
menunggang
kuda.
Prawesti melompat dari kuda, ia mendekati
Gayatri. "Kamu
tidak apa-apa?"
Gayatri tersenyum, "Kamu lihat sendiri
aku sehat"
Dia menggenggam tangan Gayatri. Ketika gadis
Himalaya
itu tersenyum, tak bisa membendung harunya
Prawesti
menghambur memeluk Gayatri. Ia menangis dan
berkata
dalam sendu. "Maafkan aku, memang aku
bodoh, maafkan
aku Gayatri."
Gayatri berbisik di telinga Prawesti,
"Mulai sekarang, kamu
harus memanggil aku, kakak, tak peduli
berapa pun usiamu."
Prawesti mengangguk. "Iya kakak, aku
akan ikuti semua
perintahmu." Gayatri mendorong
Prawesti. "Kamu pergi
kepada mbakyu Sekar, minta maaf
padanya."
Tanpa diperintah dua kali, Prawesti
menggenggam dan
menciumi tangan Sekar. Ia memeluk Sekar.
"Mbak Sekar, aku
minta maaf atas semua kesalahan dan kebodohanku."
Dua perempuan itu menggenggam tangan
Prawesti.
Persentuhan tangan tiga perempuan itu
menjalarkan
pertemanan tulus. Keakraban merambah lewat
telapak tangan
menuju hati sanubari ketiganya. Dua
perempuan itu saling
rangkul. "Maafkan aku, kak Gayatri.
Malam itu aku seperti
orang tolol, mau saja terjerumus bujukan
Ekadasa. Aku
berterimakasih karena kakak berdua telah
mengajak aku
pulang."
Dalam perjalanan menuju perguruan, Geni
bertanya
bagaimana Prawesti bisa menduga adanya
bahaya itu.
Prawesti menceritakan kejadian di Argowayang
ketika Ekadasa
membujuknya. "Maafkan aku ketua atas
kesalahanku malam
itu. Tetapi Ekadasa benar-benar membenci
kakak Gayatri.
Rencananya, ia memisahkan ketua dari kakak,
sebab ilmu silat
ketua tak mungkin bisa dilawan. Pada saat
ketua tidak berada
di tempat, dia bersama teman-temannya
menyerang kakak
Gayatri. Dia minta aku bekerjasama dan
tugasku memancing
ketua pergi dari sisi kakak. Waktu itu aku
marah dan
mengusirnya. Tetapi kemarin terpikir
jangan-jangan lantaran
aku kabur dan ketua mencari aku, kakak
Gayatri diserang
Ekadasa. Tetapi sebenarnya kakak aman karena
berada di
perguruan Lemah Tulis, kupikir tak akan ada
yang berani
menyerang. Tapi tampaknya rencana Ekadasa
hampir saja
berhasil."
Wisang Geni diam, tetapi ia mendengar
percakapan itu.
Begitu juga Dyah Mekar dan Gajah Lengar yang
berjalan
berdampingan. Gayatri memotong, "Westi
kamu tidak
bersalah, lagipula aku sendiri salah,
tubuhku masih lemah,
belum sehat benar, seharusnya aku di rumah
saja berlatih
semedi. Sialnya, aku juga tak membawa
senjata" Ia
menyambung dengan kesal "Kalau aku
sehat dan berbekal
senjata, sepuluh orang itu t,ak ada
apa-apanya"
Dyah Mekar ikut bicara, "Jikalau saja
aku tidak mengajak
Gayatri jalan-jalan ke bukit Kukun, mungkin
tak akan ada
kejadian itu, aku minta maaf ketua."
Geni menyahut dengan kesal, "Kalian
mencari-cari alasan
siapa yang salah, kalian tidak bersalah, tak
ada seorang pun
yang salah. Aku akan membereskan semua
ini." Mendengar
suara Geni yang serak pertanda marah,
ketiganya diam tak
menyahut.
Mereka tiba di pendopo. Wisang Geni duduk di
tangga
pendopo, berkata kepada Gajah Lengar,
tepatnya
memerintah. "Kangmas, tolong panggil
kedua kakek sepuh
dan semua murid, aku sebagai ketua ingin
bicara."
Sekar, Gayatri dan Prawesti selama ini belum
pernah
melihat Wisang Geni bersikap tegas dan kasar
seperti itu.
Sikap seorang pemimpin, tegas, tegar dan
wibawa. Diam-diam
mereka keder dan takut. "Wibawanya itu,
wibawa seorang raja
yang bisa memutuskan mati hidup seseorang,
pantas jika ia
disegani dan ditakuti anak buahnya"
Hari sudah senja ketika semua orang
berkumpul di
pendopo termasuk Padeksa dan Gajah Watu.
Mereka
menduga-duga ada kejadian apa yang membuat
wajah ketua
muram dan kesal. Geni mengumpulkan segenap
tenaga
batinnya, ia harus membicarakan hal paling
penting dalam
kehidupannya.
"Aku mohon maaf kepada guru Padeksa dan
paman Gajah
Watu, dua sesepuh yang paling kuhormati,
sebagai ketua
Lemah Tulis hari ini aku harus menyelesaikan
apa yang harus
kuselesaikan, untuk aku pribadi dan untuk
kemajuan Lemah
Tulis. Ada beberapa kejadian yang membuat
aku mengambil
keputusan ini.
"Pertama, kejadian aku dituduh
memerkosa perempuan.
Aku tidak persalahkan kalian yang percaya
berita buruk itu.
Kalian punya hak untuk percaya. Aku kecewa,
karena itu
membuktikan bahwa kalian tidak percaya
padaku, kalian tidak
percaya bahwa aku laki-laki yang punya moral
baik dan budi
pekerti tinggi yang mustahil mau melakukan
perbuatan
terkutuk itu.
"Di sini ada pembelajaran, bahwa jika
seorang pemimpin
sudah tidak dipercaya oleh anak buahnya,
maka dia tidak
layak lagi menjadi pemimpin. Itu artinya aku
sudah tidak layak
menjadi ketua Lemah Tulis.
"Hal kedua, perkawinan dengan Sekar dan
Gayatri adalah
urusan pribadiku, pilihanku sendiri.
Isteriku Gayatri memang
perempuan asing, jadi aku anggap wajar dan
cukup
manusiawi jika kalian tidak menyukainya.
Kalian punya hak
tidak menemaninya di dapur, tidak mengajak
bergaul, tidak
menyukainya. Kalian punya hak mengasingkan
dia dari
pergaulan di perdikan ini, tapi tak seorang
pun yang boleh
mencelakai isteriku, camkan itu.
"Contoh, kejadian di bukit Kukun tadi,
kalian diberitahu oleh
Dyah Mekar bahwa Gayatri isteriku dikeroyok
banyak orang,
tetapi kalian diam dan memilih tidak mau
membantu, itu hak
kalian. Aku menghormati hak pilih kalian.
Tetapi aku kecewa,
karena tugas kependekaran adalah menolong
manusia yang
perlu ditolong, dan itu telah kalian
langgar, kalian lupa itu.
"Hal ketiga, tantangan dari pendekar
Cina, mereka
menantang aku, dan tidak ada sangkut paut
dengan Lemah
Tulis, ini urusan dendam mereka atas
kematian Sam Hong dua
tahun lalu. Akan kuhadapi tantangan ini, aku
tidak minta
bantuan kalian karenanya aku larang kalian
ikut campur. Mau
nonton silahkan. Aku akan datang ke desa
Bangsal di bulan
Waisaka bersama Sekar, Gayatri dan
Prawesti."
Wisang Geni menoleh ke arah dua kakek sepuh.
"Hal
keempat, aku mohon maaf atas kelancanganku
kepada guru
berdua, aku sudah pikir masak-masak, hari
ini aku
mengundurkan diri dari jabatan ketua, untuk
seterusnya
silahkan guru berdua dan para kawan memilih
ketua baru,
ketua yang kalian percaya."
Pengumuman terakhir ini disambut keluh kesah
semua
murid. Semua menyuarakan tidak setuju. Gajah
Lengar
berseru, "Tidak bisa, ketua harus tetap
memimpin kami,
kesalahan segelintir murid tak bisa menjadi
sebab ketua
meninggalkan kami, masih banyak murid yang
mencintaimu
dan yang bersedia mati untukmu."
Wisang Geni mengangkat tangannya, meminta
agar para
murid diam sejenak. "Aku belum selesai.
Aku berdiri di sini
dengan penuh kesadaran, aku belajar banyak
dari pengalaman
sebagai ketua Lemah Tulis, keputusanku sudah
bulat untuk
mundur tetapi aku tak akan tinggal diam jika
ada orang
menyerang perguruan ini. Aku pernah mengucap
janji dan
mengancam di hadapan banyak pendekar di
gunung
Argowayang, bahwa siapa pun yang memusuhi
Lemah Tulis
akan aku hadapi, tanpa kecuali. Janjiku ini
masih berlaku
sampai kapan pun bahkan sampai ajalku.
"Hal kelima, akan kubereskan semua
urusanku. Hari ini aku
bukan lagi ketua, tetapi aku masih nginap
disini bersama
Sekar, Gayatri dan Prawesti sampai kalian
mendapatkan ketua
baru. Kemudian aku akan pergi menetap di
lereng gunung
Welirang." Geni berhenti dan merasa
lega telah mengutarakan
keputusannya yang berat itu.
Ia melanjutkan, "Pintu rumahku akan
selalu terbuka untuk
kalian semua, silahkan datang kapan saja.
Aku menyepi
bersama tiga isteriku. Cukup sudah
kata-kataku, aku mohon
pamit, selanjutnya pertemuan ini akan
dipimpin guru dan
paman guru," sambil dia menoleh ke arah
Padeksa dan Gajah
Watu. Ia kemudian menggandeng tiga isterinya
melenggang
menuju rumah. Ia meninggalkan orang-orang
yang gelisah
dan ribut di belakangnya.
---ooo0dw0ooo---
Malam hari di Lemah Tulis keadaan sunyi
Biasanya suasana
cukup meriah dengan sekelompok murid
menyanyi berbagai
macam kidung dan tembang sekelompok lain
belajar sastra
Tetapi malam itu semua murid tampak lesu dan
kurang
bersemangat Terjadi banyak perdebatan.
Sebagian besar
mempersalahkan diri dan menyesal atas sikap
dan perlakuan
tidak adil kepada Gayatri.
Di dapur keadaan sepi. Hanya tampak Gayatri,
Sekar dan
Prawesti mempersiapkan santap malam Mereka
tampak akrab,
tertawa di lain saat berbisik-bisik. Dyah
Mekar bersama dua
murid, Rukmini dan Selasih masuk. Ketiganya
ikut larut dalam
pembicaraan. Ketiga isteri Geni pamit
setelah siap dengan
masakannya Sepeninggal mereka, Selasih
berbisik, "Gayatri
orangnya baik, ramah lagi. Tadinya kukira
wanita cantik
seperti dia pasti angkuh."
Mereka bertiga terkejut ketika masuk rumah,
ternyata
Padeksa dan Gajah Watu sedang bicara dengan
Wisang Geni.
Agaknya urusan penting. Mereka tak mau
mengganggu,
berniat keluar lagi setelah meletakkan
makanan di tilam. Geni
menggeser duduknya dan memanggil tiga
isterinya duduk di
dekatnya. "Kalian duduk di sampingku,
silahkan dilanjutkan,
guru."
Padeksa dan Gajah Watu diam. Tampak keduanya
tersinggung. "Geni, aku mau bicara
hanya dengan kamu,
jangan ada yang lain ikut mendengar,"
kata Padeksa agak
kaku.
"Guru, tiga wanita ini, adalah wanita
dalam hidupku, aku
mohon guru membolehkan mereka ikut
mendengarkan."
Gajah Watu melihat suasana memanas. Ia
batuk-batuk
kecil dan berkata lirih, "Kangmas,
mohon tiga perempuan ini
dibolehkan mendengarkan apa yang diputuskan
Wisang Geni."
Akhirnya Padeksa mengalah, dia mengangguk,
"Geni,
semua murid menginginkan kamu jangan mundur.
Untuk itu
mereka akan mematuhi apa saja syarat kamu.
Mereka
menyatakan menyesal akan kesalahannya."
"Guru, aku tak sanggup memimpin suatu
kelompok orang
yang pernah tidak mempercayai moralku,
bahkan kakek
sendiri orang yang mendidik aku sejak kecil
bisa tidak
mempercayai moralku. Sedangkan Gayatri dan
Sekar, orang
yang belum lama mengenalku tidak mempercayai
fitnah keji
itu. Keduanya tidak percaya moralku sebejat
itu."
"Kamu harus bisa memaafkan kesalahan
orang, apalagi jika
yang bersangkutan sudah minta maaf," suara
Padeksa lirih.
Wisang Geni mengiyakan. "Aku sudah
maafkan, aku hanya
tak mau menjadi ketua lagi, itu saja."
"Geni, kami masih butuh kamu sebaga
iketua, kamu
pikirlah dulu" Gajah Watu bicara dengan
penuh harapan,
hampir-hampir seperti memohon.
Wisang Geni tetap pada keputusannya. Dua
orangtua ini
gagal mengubah keputusan Geni, keduanya
pamit. Empat
orang muda ini mengantar sampai di pintu
"Guru, besok pagi
aku akan pamitan," kata Geni.
Sambil menikmati santapan malam, Geni
berkata kepada
tiga isterinya, "Besok kita pamitan,
kita ke gunung Welirang,
aku nanti minta tolong kangmas Gajah Lengar
dan Gajah Nila
ikut membangun rumah."
Geni membantu mengobati Gayatri menata
tenaga dalam.
Luka isterinya sudah sembuh namun
perkelahian tadi
menyebabkan jalan darah tidak lancar. Usai
mengobati
Gayatri, Geni semedi.
Ketika membuka mata, ia terkejut melihat
Gayatri, Sekar
dan Prawesti berbaring di tikar dengan
selembar kain
menutupi tubuh. Tiga wanita itu tertawa.
"Mulai malam ini,
Geni, kita bertiga tidur bersamamu,"
bisik Sekar sambil tawa
cekikikan.
Wisang Geni tak pernah menyangka tiga
isterinya bisa
cepat akrab. Tadi sewaktu di dapur Gayatri
menanyakan usia
Prawesti dan Sekar.
"Sembilanbelas," kata Prawesti.
Lalu Gayatri memotong cepat, "Aku
duapuluh, jadi kamu
harus panggil aku kakak," bisik
Gayatri.
Prawesti mengiyakan. Sekar menyahut,
"Aku duapuluh
satu, jadi kalian berdua panggil aku
kakak." Gayatri tertawa.
Sebenarnya usia mereka sama, duapuluh tahun.
Selanjutnya tiga perempuan itu bisik-bisik,
akan tidur
bertiga "Geni itu mesti dikeroyok,
kalau sendirian kita bisa
cepat tua atau cepat mati Tapi mbak Sekar,
aku heran
bagaimana mbakyu Wulan bisa tahan melayani
Geni selama
dua tahun," bisik Gayatri
"Oh mbak Wulan itu luar biasa, usianya
empatpuluhan
tetapi nampak seperti gadis belasan tahun,
karena punya ilmu
Karma Amamadangi, ilmu langka warisan Ki
Panawijen," kata
Prawesti. "Ilmu itu membuat wanita awet
muda dan tubuh
tetap sekel" imbuhnya.
Malam itu Geni merasa beruntung, kehilangan
Wulan tetapi
memperoleh ganti tiga isteri cantik. Malam
itu menjadi
istimewa bagi Geni dan tiga isterinya Empat
insan ini
bercanda-ria dan bercinta sepanjang malam.
---ooo0dw0ooo---
Goa Cinta di Tebing Cinta
Siang itu di biliknya Geni sedang makan
bersama tiga
isterinya. Seorang murid masuk. Ia tampak
canggung di depan
Geni. Agak gugup ia memberitahu ada tetamu
ingin
menjumpai Wisang Geni. Ternyata dua lelaki
itu utusan dari
keraton Tumapel yang mengantar hadiah dari
permaisuri
Waning Hyun. Dua ekor kuda, pejantan warna
hitam pekat
dan kuda betina warna putih. Selain itu ada
perhiasan emas
berupa dua untai kalung dengan liontin
bergambar burung
garuda. Sangat indah. Ada kulit tipis
bertuliskan Hadiah untuk
isteri kangmas Geni,
Sekar dan Gayatri dan Hyun.
Sekar dan Gayatri menyukai perhiasan emas
itu, tampak
gembira seperti anak kecil memperoleh
mainan. Geni
berterimakasih melihat kegembiraan dua
isterinya. Ia menulis
di balik kulit itu. Terimakasih atas hadiah
paduka, isteriku
sangat gembira. Ia memberikan surat tersebut
kepada dua
lelaki itu. Kepada Gayatri, Sekar dan
Prawesti, dia berkata,
"Sungguh kebetulan mendapat hadiah itu,
aku memang
sedang membutuhkan kuda."
Usai makan, Gayatri duduk di dekat Geni.
Prawesti
membereskan sisa makanan. Gayatri menghela
napas,
memandang Geni dengan rasa cinta.
"Geni, ada sesuatu yang
aku harus katakan padamu Aku tidak suka kamu
melepas
jabatan ketua dengan alasan aku tidak
disukai di sini. Aku
malu, karena orang pikir aku melapor dan
mengadu
kepadamu, mereka akan menuduhku jahat
Padahal aku tak
pernah tersinggung apalagi marah, aku
menerimanya dengan
hati terbuka. Kupikir, lambat laun sikap
mereka akan melunak.
Perbuatan mereka tidak melukai aku, lantas
mengapa harus
melukai kamu, padahal aku tak pernah
melapor."
"Memang kamu tidak mengadu padaku,
tetapi aku melihat
dengan mataku sendiri, ketika kamu masuk
dapur, mereka
menyingkir keluar dari dapur sambil meludah.
Aku mendengar
mereka bergunjing di belakangmu. Tentu saja
aku sangat
tersinggung, karena mereka tidak menyukai
isteriku,
aturannya kan jelas jika menghormati aku
sebagai ketua
patutlah jika mereka berbaik hati pada
isteri si ketua," kata
Geni kesal.
"Ketika kamu menyatakan mundur dari
jabatan ketua, aku
sungguh terkejut. Kamu pernah mengatakan
niat itu padaku
beberapa waktu lalu, tetapi kupikir hanya
ungkapan rasa
kesal. Sekarang sudah terjadi, dan pasti
mereka menduga
disebabkan kehadiranku sebagai isteri, aku
yang mengadu
domba, apalagi aku adalah cucu dari musuh
Eyang Sepuh
Suryajagad. Lengkap sudah citra buruk atas
diriku, Gayatri
penyebab utama Wisang Geni mundur dari
jabatan ketua
Lemah Tulis."
"Mereka anak buahku, jika tidak
menghargai isteriku, itu
hak mereka, tetapi aku juga bisa marah.
Seharusnya mereka
percaya padaku, itu yang disebut setia
kepada pemimpin.
Lagipula aku tidak melakukan sesuatuyang
melanggar aturan
perguruan. Nah sekarang apa alasan mereka
tidak
memercayai aku? Jika percaya padaku, mereka
harus bisa
berteman dengan isteri si ketua," jawab
Geni dengan nada
tinggi.
"Geni, jangan marah, aku bukannya
menentang kamu,
melainkan mengutarakan isi hatiku. Aku di
sini sebatangkara,
aku tak punya siapa-siapa hanya kamu
seorang." Gayatri
memeluk suaminya, merangkul erat, ia
mengecup bibir
suaminya.
0 komentar:
Posting Komentar