"Aku yang masak, itu resep India,
rasanya enak, kamu
pasti suka, cobalah. Makan yang kenyang
supaya kalau kamu
kalah tarung, kamu tidak punya alasan lapar
atau belum
makan."
"Memangnya aku mau diadu tarung lawan
siapa?"
Gayatri tersenyum "Kita tarung. Kamu
berbuat banyak
kesalahan padaku. Kau harus
bertanggungjawab. Sekarang
makanlah, tak usah khawatir, makanan itu
tidak ada
campuran racun."
Geni melahap ayam panggang yang dimasak
dengan
bumbu khas India. "Lezat, ternyata
tidak cuma cantik kamu
juga pandai masak. Kamu belum mengatakan apa
saja
kesalahanku?"
Gadis itu menatap Geni. Matanya
berkaca-kaca. "Aku
sungguh mencintaimu. Aku sampai lupa
daratan, memberikan
tubuhku yang masih perawan dan yang belum
pernah
disentuh lelaki. Kamu tahu Geni, jika orangtuaku
tahu aku
sudah tidak perawan lagi, hukumannya
mati." Airmata
mengalir di pipinya. "Tetapi kamu
mempermainkan aku"
"Tidak Gayatri. Aku tidak mempermainkan
kamu, aku
mencintaimu dengan sungguh-sungguh."
Suara Geni meski
lirih namun mengandung ketegasan.
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Jelas,
kamu
mempermainkan aku. Kamu sudah tahu aku
sedang mencari
Wisang Geni untuk tarung dan membalas
dendam. Tetapi
kamu memberi nama palsu, Ambara, kamu
meniduriku, kamu
pura-pura mencintaiku. Jika saat itu kamu mengaku
Wisang
Geni, aku pasti tak sampai terjebak dan
kehilangan perawan.
Kamu tega berbuat seperti itu, mengapa kamu
lakukan
padaku Geni? Sekarang ini apa yang harus aku
lakukan?"
"Kamu tak perlu risau Sekarang ini kamu
sudah menjadi
isteriku."
Gayatri menggerakkankepala membuat rambut
yang di
kondenya terlepas, terurai di bahu. Ia
senyum dan bergaya,
memperlihatkan semua pesona kecantikan yang
dimilikinya.
"Aku sudah menjadi isterimu? Tidak bisa
begitu saja. Di
Himalaya, untuk menjadi suami isteri harus
lewat upacara
perkawinan. Lagipula siapa pun lelaki yang
menjadi suamiku
dia harus bisa mengalahkan aku dalam suatu
tarung ilmu
silat."
Wisang Geni menggenggam tangan si gadis.
"Lupakan
tarung itu, bicara tentang kawin. Kita kawin
dengan upacara,
apa sulitnya? Tetapi yang penting, kamu kan
sudah menjadi
isteriku. Dan aku tidak main-main, aku
sungguh-sungguh
mencintaimu."
"Aku isterirnu. Sekar juga isterimu.
Geni, bagaimana aku
dibanding Sekar, siapa lebih cantik, siapa
lebih panas dalam
bercinta, Sekar atau aku?"
Geni menggeleng, ia menatap Gayatri.
"Sekar itu cantik
Jawa, kamu juga tak kalah cantiknya, kamu
cantik Himalaya.
Dalam bercinta, dia lebih panas, tetapi kamu
lebih lembut.
Kalian berdua membuat aku
tergila-gila."
"Kamu jujur, meskipun masih saja licik,
kamu pintar bicara,
pintar merayu." Gayatri tersenyum Ia
tahu Sekar lebih cantik
dan lebih molek tubuhnya namun ia puas bahwa
Geni tetap
terpikat akan kecantikannya. "Malam ini
aku akan membuat
dia tak bisa melupakan aku," katanya
dalam hati.
Ia mengerahkan segenap pesona diri yang
dimilikinya lewat
mimik wajah dan gerak tubuh. Dan memang Geni
terpesona
memandang kecantikan di hadapannya.
Kecantikan yang
nyaris sempurna. Geni merasa getaran cinta
dan kehangatan
memancar dari sepasang mata coklat Gayatri
yang indah.
Semakin Gayatri mencintainya semakin ia
kasmaran akan
gadis itu. Geni menghela nafas.
Sejak pertemuan pertama, Geni tak pernah
tidak
memikirkan gadis ini. Dia bercinta dengan
Ekadasa tetapi
fantasinya mencari-cari wajah Gayatri.
Bercinta dengan
Gayatri, satu malam di desa Gondang dan satu
malam dalam
perjalanan, adalah petualangan sangat
berkesan. Malam
menjelang berangkat ke Argowayang, ia
meniduri Prawesti
lantaran rindu asmara kepada Gayatri.
Tetapikemarin waktu
bercinta dengan Sekar, pelepas rindu
enambelas purnama, ia
tahu bahwa Sekar lebih penting dari segala
apa di muka bumi,
juga lebih penting dari Gayatri. Namun ia
tetap terangsang
akan pesona Gayatri.
Geni menjawab jujur, "Gayatri, aku
tergila-gila padamu,
sekarang ini aku tidak peduli, meskipun
harus menyeberangi
lautan api asal memperoleh cintamu, aku mau.
Aku ingin
memiliki kamu, ingin kamu selalu ada di
sisiku. Aku mencintai
kamu sejak pertama kali bertemu di hutan
itu."
Sepasang mata Gayatri berbinar, memancarkan
sinar
kebahagiaan. "Kamu sudah meniduri aku,
kamu tahu betapa
aku mencintaimu, cinta sepenuh hati sehingga
aku mau saja
memberikan perawan dan kehormatanku. Saat
itu aku tahu
kamu lelaki bernama Ambara, jika saat itu
aku tahu kamu
adalah Wisang Geni, aku tetap akan memberimu
cinta dan
perawanku. Aku mencintai kamu karena dirimu,
dan itu tak
akan luntur dan berubah walau kamu bernama
Wisang Geni,
pendekar yang harus kuajak tarung."
Geni memegang tangan Gayatri, mengecup
tangannya.
Gayatri tersenyum memperlihatkan gerak mulut
yang indah, ia
berpindah duduk di samping Geni. "Aku
tahu kau dicintai
banyak perempuan dan kamu mengobral cintamu
kepada
siapa saja perempuan yang membuat birahimu
terangsang.
Mungkin saja kamu hanya tergoda dan bernafsu
meniduri aku
dan pura-pura mencintai aku."
Ketika dia hendak memotong pembicaraan, jari
tangan si
gadis menutup mulurnya. "Aku belum
selesai, kekasih. Kamu
licik dan suka mempermainkan wanita. Waktu
kamu
menciumku di hutan, aku yakin kamu sedang
pasang
perangkap, setelah mendapatkan manis
tubuhku, kau akan
pergi."
Dia selesai makan. "Kamu benar,
Gayatri, semua laki-laki
normal akan bernafsu melihat kecantikanmu
Aku juga
bernafsu. Jika cuma ingin tubuhmu waktu itu
aku bisa
memerkosamu Tetapi aku belum pernah dan tak
akan pernah
melakukan pemerkosaan. Ada sesuatu daya
tarik dalam
kecantikanmuyang membuat aku ingin
mengenalmu dan
memiliki kamu"
"Kamu dengar Geni. Waktu itu ketika kau
menciumku,
tanganmu mengelus punggung dan meremas
bokongku, aku
marah, sangat marah. Tetapi aku tak berdaya,
aku tak punya
tenaga. Belakangan aku berpikir, bahwa bukan
itu alasan aku
tidak berontak, yang benar adalah aku tak
mau berontak
dengan kata lain aku menyukai kenakalanmu
Sebenarnya saat
itu kamu telah menaklukkan aku."
Mereka duduk bersanding. Geni melingkarkan
tangan di
punggung kekasihnya. Gayatri tersenyum Ia
sudah
memutuskan akan tarung keras dan mengalahkan
Geni.
Membuat lelaki itu menjadi tawanan. Lalu ia
akan memaksa
Geni mengabulkan semua permintaannya. Ia
membiarkan
tangan Geni menggerayangi buah dadanya.
Geli. Dia
meneruskan kisahnya. "Waktu di hutan
itu setelah kamu pergi,
aku menyesal mengapa tidak ikut denganmu Aku
berpikir
mungkin aku sudah gila, tetapi nyatanya
tidak. Aku sadar
bahwa aku dilahirkan untuk kemenanganmu, dan
bahwa kamu
adalah pelindungku, kamu harus menjadi
suamiku. Tetapi
waktu itu kenapa kamu menciumku dan tanganmu
begitu
nakal?"
"Aku tak tahu, mendadak saja aku
menyukaimu, aku
merasa ingin memilikimu, lalu timbul akal
nakal itu, lalu aku
lakukan begitu saja, tanpa berniat buruk.
Aku memang
terpesona melihat wajah dan buah dadamu.
Pemandangan itu
melekat terus, bahkan sampai malam aku
meniduri Ekadasa,
aku membayangkan dirimu."
"Kamu gila!"
"Ya gila, tergila-gila padamu!"
"Setelah kamu mendapat perawanku, malam
itu, apa
pikirmu?"
"Aku makin kasmaran seperti ketagihan,
aku tidak mau
melepas kamu pergi, aku ingin kamu selamanya
berada di
sisiku."
"Waktu itu kau belum mengaku bahwa kamu
adalah
Wisang Geni, mengapa?"
"Aku khawatir menjadi masalah di antara
kita. Tetapi aku
tahu pada saatnya nanti aku tak bisa
mengelak, hanya aku
berharap kamu tidak akan berubah. Makanya
aku senang
kamu tidak berubah!"
"Kamu yakin aku jujur padamu? Kau yakin
makanan yang
kau telan tadi tak ada racunnya? Kau yakin
aku tak
membunuhmu atau berencana membalas dendam
kakek
Lahagawe?" Gayatri menatap lekat-lekat
mata lelaki itu.
Geni menggeleng, "Aku yakin kamu
mencintaiku. Aku tahu
itu waktu bercinta denganmu. Kalau aku salah
menilai dirimu,
aku tidak menyesal mati di tanganmu.*'
Perempuan itu menghela napas.
"Sekarang, kau yakin
bahwa aku mencintaimu, amat
mencintaimu?" Ia merapatkan
tubuhnya ke tubuh Geni. Tangannya melingkar
di leher Geni.
Keduanya berciuman. Lama dan panjang. Birahi
kelakilakiannya
bergelora. "Gayatri, aku
terangsang."
"Hati-hati, permainan cinta ini bagian
dari rencana dan
siasat tarung, jika kamu terangsang, kamu
bisa kalah."
"Aku tak peduli dengan tarung itu, aku
pasti akan kalah."
"Kamu tidak boleh kalah, jika kalah
kamu tak akan
mendapatkan aku sebagai isteri, aku akan
pulang dan mati di
India. Tetapi kalau kamu menang, aku akan
tetap
mendampingimu sebagai isteri dan tiap hari
memberimu
nikmat kesenangan!"
"Kalau begitu aturan mainnya, aku pasti
mengalahkan
kamu! Tetapi katakan, mengapa ada aturan
gila macam ini?"
"Urusanku dengan ayah, aku pernah
bersumpah bahwa
hanya lelaki yang mengalahkan ilmu silatku
yang akan
menjadi suamiku. Dan aku tak mau melanggar
sumpah. Itu
sebab, kamu harus menang. Kalau kamu kalah
meskipun
kamu sudah bercinta dan mengambil perawanku
tetapi kamu
tak boleh jadi suamiku, kita hanya sebagai
kekasih saja."
Saat itu di kegelapan malam, di balik
pepohonan seberang
rumah, Prawesti mengintip dari jauh. Ia bisa
memandang
lewat jendela. Ia melihat Wisang Geni dan
Gayatri bercakapcakap,
pelukan dan ciuman. Prawesti membuang nafas,
gundah dibakar cemburu. Tiba-tiba terasa
getar angin dan
suara ranting patah, ia terkejut ketika
seorang wanita muncul
di dekatnya. Dia Ekadasa.
Pengawal keraton Tumapel ini memberi isyarat
jari telunjuk
di mulut. Prawesti mengerti Kedua wanita ini
tanpa sadar
langsung berteman, merasa senasib. Sama-sama
menyukai
Wisang Geni, tetapi sekarang merasa
ditinggalkan lelaki itu,
keduanya gundah dan cemburu Keduanya
mengintai dari jauh,
tak berani terlalu dekat karena tak mau
ketahuan.
Di ruangan itu, Urmila dan Shamita sibuk
mengerjakan
sesuatu. Tampak seperti alat musik. Urmila
membenahi
gendang, Shamita mempersiapkan seruling. Dua
gadis ini
mengambil tempat duduk bersandar ke dinding
rumah. "Putri,
kami sudah siap," kata Shamita sambil
menarik napas.
Tampak wajah dua gadis pembantu itu tegang
dan serius.
Geni dan Gayatri masih berpelukan. Geni
melumat mulut
kekasihnya. Tangan Gayatri mengelus dada
dengan sentuhan
lembut. Geni merasa birahinya tak terbendung
lagi Ia sangat
terangsang. Nafasnya terasa panas.
Gayatri tersenyum dalam hati "Kamu akan
kalah dan
menjadi tawananku. Aku akan membawa kamuke
Himalaya.
Pasti ayah akan senang. Wisang Geni, murid
Suryajagad,
menjadi tawanan dan suami Gayatri"
Ia melepaskan diri dari pelukan Geni. Ia
memandang
dengan penuh arti dan makna cinta.
"Geni, kamu harus bisa
mengalahkan aku untuk kebahagiaan kita
berdua, dan aku
akan menghadapimu dengan ilmu silat andalan
perguruanku,
jangan pandang enteng, bersiaplah,
pertarungan dimulai,"
sambil berkata Gayatri melangkah ke tengah
ruangan.
Berbarengan bunyi suling dan gendang
mengumandang dalam
irama yang asing bagi pendengaran Geni.
Lelaki ini heran, namun sebelum dia beranjak
dari duduk,
Gayatri telah menari mengikuti irama yang
dimainkan dua
pembantunya.
"Jurus ini namanya Dinak Din Naachu
Mein Gae Dil Jumne
Zamana, artinya aku menari, hati menyanyi
dan dunia
bergembira. Wisang Geni kamu harus
hati-hati, jurus ini
hebat, coba nikmati irama dan tarianku
ini."
Gayatri mengerahkan tenaga batin kemudian
menari
dengan gemulai. Namun di dalam kelemasan
gerak ada
selingan hentakan gerak pinggul, dada dan
pundak. Dua kaki
bergerak lincah, tangan dan kepala seperti
ular yang bergerak
kian kemari mengikuti gerak mangsa. Meski
sempat
terpesona, Geni cepat-cepat mengerahkan
tenaga batin
membentengi diri.
Pesona itu semakin merasuk pikiran Geni.
Gadis itu sangat
cantik, seperti dewi yang diceritakan dalam
dongeng. Tak
pernah terpikir adanya makhluk cantik
secantik Gayatri
Tubuhnya indah molek. Membayang kembali
kenikmatan
malam itu ketika bercinta dengan perempuan
cantik itu. Gerak
tari makin lama makin memabukkan. Waktu
terus berjalan.
Geni tenggelam dalam pesona kecantikan dan
keindahan. Ia
berusaha bertahan, memusatkan pikiran pada
tenaga batin. Ia
masih di kursi. Ia memejamkan mata, tak mau
lagi
menyaksikan goyang tubuh Gayatri Tetapi
musik terus
menerobos pendengaran yang otomatis
memantulkan visual
tarian yang penuh pesona dalam benaknya. Ia
mulai mabuk,
pikiran kalut, rangsangan birahi mulai
menguasai dirinya.
Tepuk gendang dan nada suling makin tinggi,
mengikuti
gerak tari Gayatri yang makin agresif.
Tenaga batin tiga gadis
ini makin diumbar begitu melihat Geni mulai
gelisah. Sesaat
lagi Geni akan roboh. Saat itu Geni merasa
dorongan birahi
untuk menghampiri, memeluk dan mencium si
gadis. Antara
sadar dan tidak, ia bangkit dari kursi. Saat
melangkah, ia
terhuyung dan roboh ke tanah. Saat itu,
ketika kepala
terantuk di tanah, pikirannya tergugah bahwa
ada sesuatu
yang tidak beres.
Ia belum pernah mendengar ada ilmu silat
mirip sihir
seperti yang diperagakan tiga gadis India.
Musik dan tari itu
dimainkan dengan tenaga dalam. Makin tinggi
tenaga batin
yang dikerahkan semakin hebat pengaruh
terhadap lawan.
Irama pun berganti-ganti, meriah dan penuh
pesona,
kelembutan cinta diseling ratapan hati
merana atau
kemarahan yang memuncak.
Irama musik dan goyang tari makin lama
semakin
mengaduk-aduk pikiran dan batin si musuh.
Pada klimaksnya,
musuh itu akan mengalami keguncangan jiwa Ia
bisa
menangis, tertawa, marah, bergantian sampai
akhirnya ia tak
bisa lagi membedakan apa-apa. Ia gila atau
tewas. Tetapi
jurus ini juga bisa berakibat fatal bagi
diri sendiri, khususnya si
penari.
Tadi waktu berembuk menggelar jurus ini, dua
pembantunya menolak keras, mereka khawatir
Gayatri terluka
mengingat Wisang Geni memiliki tenaga batin
mumpuni. Adu
tenaga lewat jurus silat ini sangat
berbahaya bagi si penari
maupun orang yang diserang. Namun Gayatri
tetap saja
ngotot. Urmila dan Shamita tahu majikannya
punya alasan
yang tampaknya rahasia dan sangat pribadi.
Merasa tak
mungkin membantah, dua gadis ini bertekad
membantu
Gayatri dan mengerahkan segenap tenaga batin
memainkan
alat musiknya.
Keduanya tak tahu bahwa Gayatri menetapkan
keputusan
itu karena dalam keadaan bimbang. Ia bingung
memilih
antara cintanya pada Geni atau membalas
dendam Pada
akhirnya ia tak peduli lagi apa pun yang
bakal terjadi.
Gayatri menari dengan penuh perasaan. Ia
memang
mencintai Geni dan perasaannya mengatakan
Geni juga
mencintainya. Tetapi ia tahu di antara cinta
itu ada
kemustahilan yang tak mungkin bisa ditembus.
Gayatri
menangis dalam hati ketika Geni mengutarakan
cinta. Namun
ia sembunyikan perasaannya dari pandangan
Geni. Perasaan
inilah yang ia tumpahkan dalam tarian maut
itu.
Akibatnya fatal. Gayatri makin larut dibuai
perasaan sendiri.
Pada sisi lain Urmila dan Shamita bingung.
Tadi mereka
sepakat Gayatri hanya memberi pelajaran dan
mempermalukan Geni. Lantas tarian dan musik
segera
dihentikan jika Geni sudah roboh. Sebab jika
dilanjutkan, Geni
bisa gila atau tewas.
Untuk bisa menghentikan jurus, kendali ada
pada Gayatri
sebagai penari. Sementara Urmila dan Shamita
hanya
bertugas pengiring. Sesuai rencana, setelah
Geni roboh di
lantai, seharusnya Gayatri menurunkan tempo
tahap demi
tahap sampai akhirnya menghentikan tari. Tetapikenyataannya
justru sebaliknya, membuat Urmila dan
Shamita bingung.
Wisang Geni sudah roboh tetapi Gayatri malah
semakin
meningkatkan tempo tarian, gadis itu seperti
kesurupan.
Celakanya lagi, Urmila dan Shamita tidak
mungkin bisa
menghentikan. Sebab begitu musik berhenti
sementara
Gayatri masih menari, akibatnya bisa
membahayakan.
Ketiganya terutama Gayatri akan luka parah,
bisa-bisa tewas
atau gila.
Memang ada yang tak pernah diketahui Gayatri
bahkan si
pencipta jurus silat ini pun tidak tahu.
Bahwa jika si penari
mencintai orang yang diserang, maka si
penari akan dikuasai
dan dimabuk perasaan sendiri. Makin besar
tenaga dikerahkan
makin dia terbuai rasa cinta, dan akibatnya
bisa fatal. Sekali ia
hanyut oleh perasaannya, tak ada lagi jalan
berhenti. Bahkan
seandainya orang yang diserang sudah mati
pun, si penari tak
pernah tahu dan tak bisa berhenti. Pada
akhirnya si penari
pun menjadi korban, gila atau mati
Gayatri dalam bahaya. Geni dalam bahaya.
Urmila dan
Shamita tidak tahu apa yang terjadi, mereka
tak bisa
menghentikan musik. Mereka tahu jurus itu
hanya bisa
dihentikan oleh si penari. Namun jika
pengiring musik
menghentikan musik, akan terjadi bencana,
ketiganya luka
parah, tenaga membalik menghantam diri
sendiri.
Geni di ambang maut. Waktu ia roboh,
kepalanya terantuk
lantai. Goncangan itu menjernihkan
pikirannya. Ia melihat
kilatan cahaya, dalam gelap. Di benaknya ia
masih melihat
Gayatri meliuk dengan hentakan pinggul dan
goyangan dada
yang mempesona. Geni berada di batas sadar
dan tidak. Tapi
kilatan cahaya itu seperti peringatan ada
yang tidak beres.
Serta merta Geni menggoyangkepala, berulang
dan keras.
Seketika tenaga Wiwaba bangkit. Geni sadar.
Berbareng saat kritis itu Ekadasa dan
Prawesti menjerit.
Ekadasa berteriak, "Geni!"
Prawesti berseru, "Ketua!" Sambil
berteriakkedua wanita ini melompat keluar
dari
persembunyian menyerbu masuk rumah lewat
jendela. Dua
wanita itu yang sedang dirasuk cemburu dan
marah, punya
alasan menyerang Gayatri. Keduanya menyerang
dengan
tamparan keras.
Jurus tari itu diciptakan untuk tarung
langsung. Tiga gadis
itu biasanya tarung sambil menari dan
menyanyi Seharusnya
Gayatri sanggup mengelak dan memukul balik
membuat
penyerangnya luka parah. Tetapi saat itu ia
dalam keadaan
tidak sadar meski masih menari mengikuti
irama musik. Urmila
dan Shamita terkejut mendengar teriak dua
pendekar wanita
itu Keduanya rhelihat Gayatri masih seperti
orang mabuk
Mereka tetap tidak berani menghentikan
musik, hanya mampu
berseru memperingatkan, "Putri
awas!"
Wisang Geni mendengar teriakan Prawesti dan
Ekadasa,
juga peringatan Urmila. Ia melihat Gayatri
seperti orang
mabuk, mata tertutup, menarinya kacau.
Pengaruh magis
jurus masih melilit pikiran Geni, namun
sudah banyak
berkurang. Ia melihat Gayatri diserang
Prawesti dan Ekadasa.
Tanpa sadar dia berseru, "Jangan serang
dia!" Geni
melompat, ingin menolong Gayatri namun
terlambat beberapa
langkah. Serangan itu menerpa telak pundak
dan dada
Gayatri. Gayatri terlempar, saat mana Geni
tiba di sisinya,
menghalau serangan susulan. Ia meraih tubuh
Gayatri
sebelum menyentuh lantai.
Gayatri muntah darah. Ia pingsan. Geni
memandang tak
percaya apa yang sudah terjadi. Prawesti dan
Ekadasa
terkejut melihat mata Geni merah dan berair.
"Kenapa kamu
berlaku kejam terhadapnya, apakah dia pernah
berbuat salah
pada kamu?"
Kedua perempuan itu tak mampu menjawab. Tak
mengira,
hanya dengan sekali pukul Gayatri langsung
kena dan roboh.
Mengapa gadis itu tidak menangkis atau
menghindar,
bukankah ia memiliki ilmu silat tangguh.
Keduanya tidak tahu,
saat itu Gayatri dalam keadaan tidak sadar.
Hanya lantaran
tubuhnya masih dibentengi tenaga batin yang
tinggi maka
Gayatri tidak sampai tewas. Namun tetap saja
dia luka parah.
Urmila dan Shamita terkejut melihat
majikannya kena pukul
dan roboh muntah darah. Mereka luput dari
bahaya terluka
sebab tarian Gayatri berhenti seketika,
dihentikan serangan
Ekadasa dan Prawesti. Melihat majikannya
terluka muntah
darah, dua pembantu itu meradang menyerbu
Ekadasa dan
Prawesti. Urmila menyerang Prawesti, Shamita
menggempur
Ekadasa. Sekejap saja, dua gadis India itu
unggul dan
mendesak hebat lawannya.
Geni berteriak, "Urmila berhenti, lebih
penting sekarang
menolong Gayatri."
Siapa pun tak pernah tahu, Geni pun tak
pernah tahu,
bahwa dua pukulan itu telah menyelamatkan
Gayatri dari ajal
atau kegilaan. Hantaman itu tanpa sengaja
telah membetot
Gayatri keluar dari perangkap pengaruh
tarian itu. Hantaman
di pundak dan dada tak terlalu parah. Meski
dalam keadaan
tidak sadar, tetapi Gayatri masih menari
dengan pengerahan
tenaga batin tinggi. Itu sebab ia tidak
sampai tewas meski tak
terhindari luka parah.
Geni memeluk Gayatri dengan berbagai macam
perasaan.
Marah terhadap Prawesti dan Ekadasa. Ia
takut Gayatri
mengalami nasib sama dengan Walang Wulan. Ia
memeriksa
nadi gadis itu. Kacau, tak beraturan. Darah
segar masih
merembes dari ujung mulutnya, meski sudah
tidak banyak
lagi. Mata Gayatri meram. Suara Geni panik,
"Gayatri, bangun,
jangan mati. Ayo bangun." Ia memeluk
tubuh gadis itu, lebih
erat, wajahnya sangat dekat dengan wajah
cantik itu. Ia
meneliti. Gayatri meram.
Geni makin panik, tangannya menempel
punggung Gayatri
lalu mengerahkan tenaga dalam Tenaga dingin
menerobos
punggung dan merambah ke seluruh tubuh
Gayatri. Saat itu
Gayatri sudah sadar. Tapi dia masih meram,
pura pura
pingsan.
Ia ingin tahu reaksi Wisang Geni. Ia tahu
Geni panik dan
berusaha menolong dengan pengerahan tenaga
dalam. Ia
ingin tahu lebih banyak lagi. Geni makin
panik ketika bantuan
tenaga dalamnya tidak mampu menyadarkan
Gayatri.
"Bangun, kamu harus bangun, Gayatri,
aku mencintaimu,
jangan tinggalkan aku."
Wisang Geni berpikir cepat. Tak ada jalan
lebih cepat dan
tepat dalam upaya menyadarkan Gayatri
melainkan dengan
pernafasan lewat mulut. Tanpa rasa kikuk,
Geni mencium
mulut Gayatri. Mulut itu terkatup erat,
perlahan-lahan terbuka.
Ia kaget begitu hendak menyalurkan nafas dan
tenaga batin
lewat mulut, Gayatri membuka mata, mengedip.
Ia bahkan
bereaksi membalas ciuman.
Keduanya berciuman. Empat perempuan itu
menyaksikan
dengan aneka macam perasaan. Ekadasa kabur,
ia marah dan
cemburu. Prawesti kabur dengan tangisan.
Urmila dan
Shamita lega, mereka sempat melihat
majikannya main mata.
"Tuan Putri, kamu pasti tidak apa-apa,
kita berdua keluar,
menunggu di beranda saja," kata Shamita
dalam bahasa
India.
Setelah ciuman panjang itu. Geni masih
memeluk erat
Gayatri. "Aku mencintaimu, bagaimana
lukamu?"
Gadis cantik itu menggeleng kepalanya.
"Dadaku sakit,
rasanya ngilu. Coba kau panggil
Shamita."
Kedua pembantu itu muncul. Gayatri meminta
Shamita
merogoh pil dari dalam kantong yang disimpan
di dadanya. Ia
mengambil dua buah. Ia tertawa, lirih.
"Ini pil buatan ayah,
manjur untuk luka dalam. Jika dibantu dengan
tenaga dalam,
aku rasa akan cepat sembuh, mungkin sekitar
tujuh hari."
Geni menyahut cepat, "Aku akan membantumu."
Gayatri tertawa menggoda. Ia masih lemah
namun tetap
ceria. "Apakah harus lewat pernafasan
mulut lagi?"
Geni mengelus hidung bangir si gadis.
"Ya, sulit, memang
sulit, jadi harus lewat pernafasan
mulut."
Keduanya tertawa. Tiba-tiba wajah Gayatri
berubah serius.
"Siapa dua perempuan itu, mengapa
mereka mau
membunuhku?" Ia memang tidak melihat
dan tak tahu siapa
yang memukulnya.
Geni menatap Gayatri mencium dua mata
coklatnyayang
indah. "Mereka Prawesti dan Ekadasa.
Mungkin mereka
mengira kau akan mencelakakan aku."
Suaranya lirih, "Mengapa kau membela
mereka?"
Geni bingung. "Aku tidak membela,
malahan aku tadi
marah! Itu sebab mereka kabur."
Ia merangkul leher Geni, mencium mulutnya.
"Mereka
kabur karena melihat kamu mencium aku dengan
bernafsu."
Ia tertawa geli. Dalam benaknya dia
menertawakan dua
perempuan saingannya itu.
"Gayatri, kamu perlu istirahat Kubantu
dengan tenaga
dalam."
Ia mencium leher Geni. "Pengobatan bisa
ditunda, aku
sudah telan pil salju jadi aku tak akan
mati. Geni, tadi kau
panik, kau khawatir aku mati, iya?"
"Memang aku panik karena takut
kehilangan kamu,
sekarang ini kamu orang paling penting
bagiku. Waktu menari
tadi kulihat kau seperti kesurupan, kau bisa
luka parah. Lain
kali jangan mainkan jurus maut itu."
Gayatri tertawa cekikikan. "Kamu
menang. Sesuai
sumpahku, kamu pantas jadi suamiku."
"Sebenarnya aku tak perlu tahu siapa
dirimu, karena
cintaku tidak terpengaruh pada masa lalu
atau siapa
keluargamu. Aku mencintai kamu sebagaimana
adanya dirimu.
Tetapi Gayatri, aku ingin tahu lebih banyak
tentang diri
perempuan yang kucinta dan yang akan menjadi
ibu dari
anak-anakku."
"Usiaku duapuluh tahun, belum kawin,
belum pernah
disentuh lelaki, hanya kamu satu-satunya
lelaki yang pernah
menyentuh, mencium dan meniduriku, kamu
memang licik,"
katanya lirih. Mendadak wajah gadis itu
menjadi sendu dan
muram. "Ceritanya panjang, aku sudah
dijodohkan, tetapi aku
tidak suka, itu sebab aku kabur ke negeri
ini Ibu merestui
kepergianku, ayahku tidak tahu. Aku benci
lelaki itu, aku
sungguh tidak suka." Gayatri mendadak
memegang dadanya.
"Sakit sekali, Geni."
Geni terkejut, berteriak memanggil Urmila
"Kalian berjagajaga,
jangan biarkan orang lain masuk mengganggu,
aku akan
menolong majikanmu dengan pengobatan tenaga
dalam"
Urmila memandang majikannya yang mengangguk
setuju.
Geni menggendong Gayatri ke bilik dalam.
Kamar itu sempit,
hanya ada sebuah dipan kecil. Ia mendudukkan
Gayatri,
kemudian ia duduk di belakangnya. Dua
tangannya menyusup
di balik baju Gayatri mengurut punggungnya
Samar ia melihat
kulit punggung putih halus. Ia melirik
bagian pinggul.
Pinggulnya padat, dihiasi bulu-bulu hitam
yang halus. Gayatri
berbisik lirih, "Geni jangan berpikiran
macam-macam,
sembuhkan aku dulu baru bercinta"
Geni menguasai birahinya "Aku ikut
perintahmu, tuan
putri." Ia memusatkan pikiran. Saat
berikut tenaga dingin
bagai air bah merasuk ke tubuh Gayatri,
bergerak teratur ke
seluruh bagian tubuh. Gadis itu merasa
sejuk, makin lama
makin dingin sampai akhirnya ia menggigil.
Mendadak tenaga dingin itu lenyap berganti
hangat, makin
lama makin panas. Keringat mengalir di
sekujur tubuhnya. Bau
harum tubuhnya merasuk penciuman Geni namun
lelaki ini
tetap memusatkan tenaganya. Pengerahan
tenaga batin
dingin dan panas bergantian merupakan obat
mujarab. Gayatri
kagum akan tenaga dalam sedahsyat itu,
dingin dan panas
bisa diubah sesuka hati. Sepanjang malam
Geni mengobati
Gayatri.
Saat menjelang pagi, Gayatri merasa banyak
lebih baik.
"Geni, cukup sekian dulu, aku sudah
baikan, kamu perlu
istirahat" Ia melepas tangannya dari
punggung Gayatri.
Keduanya bersila. Geni mengatur kembali
tenaga dalamnya.
Gayatri memeriksa tenaganya. Ia gembira
sudah bisa
mengerahkan tenaga dalam meski belum pulih
sepenuhnya.
Gayatri membalik tubuh. Ia melihat Geni
sedang bersila.
Keringat membasahi wajah Geni dan seluruh
tubuhnya,
menebar aroma kelaki-lakian. Gayatri mencium
bebauan
asing, tetapi yang merangsang birahi.
Ia pernah mencium bau tubuh Geni sewaktu
bercinta.
Sekarang ia membaui lagi. Tanpa sadar ia
menatap lelaki itu
dengan penuh rasa cinta, ia mengeluh dalam
hati. "Ooh
betapa aku mencintai lelaki ini, tetapi
sungguh suatu
kemustahilan. Oh Dewa, tolong aku, beri aku
petunjuk dan
jalan keluar."
Ia melangkah turun dari dipan, bermaksud
menuju beranda
hendak memanggil dua pembantunya. Langkahnya
terhenti,
tubuhnya tertarik oleh tangan kuat Geni. Ia
jatuh dalam
pelukan kekasihnya. Geni merangkul dan
membelai wajah
kekasihnya. "Gayatri, aku tak akan
mempermainkan kamu,
matilah aku jika aku punya maksud buruk itu.
Aku sangat
mencintaimu"
Dua pasang mata saling tatap. Mata Gayatri
basah.
"Wisang Geni, aku juga mencintaimu,
tetapi semua ini
mustahil, umurku hanya tinggal tiga purnama
lagi. Aku
disuratkan mati, tiga bulan lagi, tak ada
yang bisa mencegah."
Gayatri menatap mata Geni.
Lelaki ini terkejut tetapi hanya sesaat.
"Aku tak peduli, aku
mencintaimu, kamu juga mencintaiku, itu
sudah cukup. Jika
umurmu hanya tiga purnama lagi, biarlah tiga
purnama ini
menjadi bagian paling indah dalam hidup
kita."
Gayatri mengangguk. Geni tak kuasa menahan
diri,
menciumi wajah dan mulut Gayatri. Keduanya
berciuman
lama, ciuman yang penuh arti cinta. Geni
memeluk
kekasihnya. Keduanya dirangsang birahi
saling menginginkan.
Terengah-engah Gayatri merangkul erat
kekasihnya.
"Kekasihku, cintailah aku, aku seorang
yang haus akan cinta,
beri aku kepuasan cinta, Geni."
Geni menciumi rambut kekasihnya.
"Bagaimana dengan
lukamu?"
"Aku tidak apa-apa, sebagian tenagaku
sudah pulih." Ia
memegang tangan Geni, menuntun ke perut.
Geni mengeluselus
perut kekasihnya. Gayatri berbisik.
"Aku tak ingin mati
muda, aku ingin hidup lama, aku ingin perut
ini berisi anakmu,
aku ingin melahirkan anakmu. Geni cintailah
aku."
"Kamu tak akan mati, aku tak akan
membiarkan kamu
mati, sebenarnya apa yang menjadi beban
deritamu, apa
penyakitmu atau mungkin ada musuh yang
mengancam
kamu?"
"Tidak. Aku sehat, tak punya penyakit,
aku juga tak punya
musuh yang mengancam jiwaku. Tetapi kematian
memang
hampir pasti akan menjemputku tiga bulan
lagi, bahkan
mungkin saja sebelum tiga purnama!"
"Apa sebenarnya yang terjadi? Ceritakan
padaku, Gayatri!
Mumpung masih punya waktu tiga bulan, aku
akan cari jalan
menyelamatkan isteri yang kucinta."
Gayatri berbisik, "Geni urusan itu
ditunda dulu, aku mau
kamu membahagiakan aku, aku mau kaucintai
sekarang ini,
aku tak mau yang lain." Ia merangkulkan
kakinya ke tubuh
Geni, mencium mulut kekasihnya. Geni
mengibas, angin dingin
meniup lampu damar. Kamar gelap gulita.
Hanya terdengar
nafas dua insan yang kasmaran dan dilanda
birahi Keringat
membasahi tubuh. Mereka bercinta. Akhirnya
tidur pulas
sambil berpelukan.
Geni terjaga. Tangan lembut Gayatri mengusap
dadanya.
"Bangun kekasihku yang perkasa."
Geni menindih tubuh isterinya, tangan
mengusap buah
dada, menatap mata lalu mencium mulutnya.
"Ada yang
hendak kau ceritakan padaku?"
"Aku ingat Sekar, kemana ia pergi
sehabis bersamamu?"
"Ia mencari dua neneknya, Nenek Sapu
Lidi dan Dewi Obat.
Setelah peristiwa aku terluka, kedua nenek
itu pergi mencari
tempat terpencil menyembuhkan luka Dewi Obat
Kata Sekar,
ia akan mencarinya di desa di kaki gunung.
Kenapa tiba-tiba
kamu menanyakan Sekar?"
"Dia jujur dan menghormati hak orang
lain. Ia bisa
menerima aku sebagai isterimu meski beberapa
hari
sebelumnya kami bertarung seru. Ia
menerimaku apa adanya.
Ia jujur ketika memaksamu menentukan dirinya
sebagai isteri
utama. Aku menyukainya, kupikir ia benar dan
berhak
mendapatkan itu. Tetapi tampaknya aku akan
kesulitan
menghadapi Prawesti dan Ekadasa, karena
mereka berdua
sudah memendam cemburu dan iri hati"
"Lantas bagaimana sikap tindakanmu,
terhadap kedua
perempuan yang nyaris membunuhmu?"
"Aku tidak dendam, tetapi kupikir lebih
baik aku
menghindar dan tidak perlu bertemu keduanya
sementara
waktu ini."
Geni menghela nafas. "Tampaknya aku
harus melepas
Prawesti dan Ekadasa, biar mereka mencari
jalan sendiri,
mencari laki-laki lain yang lebih
cocok."
Dia terkejut. "Geni, kamu tak bermaksud
menceraikan
mereka, iya kan? Jangan lakukan itu,
terutama Prawesti, ia
sudah berbakti dan melayanimu semasa kau
sakit. Kau sudah
meniduri merenggut perawannya, kau tak
pantas menyianyiakan
dirinya."
"Begini, aku putuskan menceraikan, kamu
memilih memberi
maaf. Dua pendapat ini sama kuat, satu satu.
Aku akan minta
pendapat Sekar. Apa pun yang dipilih Sekar,
itulah keputusan
atas Prawesti dan Ekadasa. Tetapi seharusnya
kamu setuju
dengan keputusanku, tidak mungkin kita hidup
berkumpul
bersama orang yang punya ganjalan sakit
hati"
Dia mengalihkan pembicaraan. "Geni,
kamu punya hutang
padaku. Aku menagihnya sekarang, tetapi kau
tak boleh
marah. Jikalau kau tidak setuju, katakan
saja, aku tak akan
kecewa. Tetapi permintaan berikutnya pasti
akan lebih sulit."
"Benarlah apa yang kukatakan, kamu
cerdas dan pandai
berhitung, selalu ada syarat dan hutang,
baik katakan saja,
semoga saja syarat itu bukan urusan menangkap
widali, kalau
itu aku tak sanggup."
"Aku tak peduli dengan widali, sekarang
pun aku sudah
merasa cukup dengan ilmu silat yang
kumiliki, apalagi ada
engkau di sisiku, siapa yang sanggup
menghadapi kita
berdua? Syaratnya mudah, pertama ceritakan
tentang
Prawesti dan Ekadasa dan mungkin perempuan
lain yang
sudah kautiduri. Kedua, aku minta agar kamu
mengawiniku
dalam upacara adat Himalaya. Namun hal ini
harus bicara dulu
dengan Sekar, karena setahuku kamu juga
belum mengawini
Sekar dalam upacara adat Jawa."
"Tidak sulit. Aku bisa mengabulkan
permohonanmu itu." Ia
menceritakan petualangan cintanya dengan
Prawesti dan
Ekadasa.
"Aku kasmaran sejak bertemu kamu di
hutan. Kau masih
ingat, aku harus pergi karena ada janji
dengan seorang
perempuan."
"Kamu bertemu Ekadasa?"
"Salah! Aku janji bertemu permaisuri
Raja Tumapel,
namanya Waning Hyun, dia adik perguruanku
tetapi sudah
seperti adik kandung. Malamnya aku nginap di
keraton, aku
tak bisa tidur, wajah dan tubuhmu terbayang
terus, aku
akhirnya nyelinap ke kamar Ekadasa. Aku
membayangkan
meniduri Gayatri yang cantik. Aku hanya
semalam saja
bersama Ekadasa. Kau marah?"
Wisang Geni heran. Gayatri tidak marah,
malah tertawa.
"Aku tidak marah, hanya heran, apa yang
membuat
perempuan mau saja kau rayu, padahal kau bukan
laki-laki
yang tampan. Aku pun heran kenapa aku
mencintaimu dan
bersedia menjadi isterimu. Lantas bagaimana
aku harus
bersikap jika setelah menikah, kamu masih
saja suka
menggauli perempuan lain?"
"Ketika Walang Wulan masih hidup, aku
hanya hidup
bersama dia dan Sekar, tak pernah menggauli
perempuan lain.
Begitupun jika sudah beristeri kamu, aku tak
akan menoleh ke
perempuan lain."
"Tentu saja harus begitu, jangan sampai
aku harus
membunuh semua perempuan di negeri ini, atau
mungkin
kalau aku sudah sangat jengkel kamu kuracun
biar mati"
Gayatri tertawa renyah. "Ah ini cuma
guyon."
"Sejak awal kamu suka mengancam,
membunuh dan
membunuh. Sudah berapa orang yang kau bunuh
selama ini?"
"Aku tidak suka membunuh. Juga belum
pernah
membunuh."
'Lantas tiga orang di desa Gondang itu,
siapa yang
membunuh mereka?"
"Bukan aku, kamu yang membunuh mereka.
Sebab kamu
membuat aku marah, menunggumu selama tujuh
hari, kamu
ingkar janji membuat aku macam perempuan
tolol. Dan tiga
orang itu pantas mati, kurangajar mengatai dan
mengolokolok
aku sundal."
Geni menanyakan alasan kawin dengan upacara
adat
Himalaya. Padahal di dunia kependekaran,
kawin adalah soal
biasa. Tak perlu ada upacara macam-macam.
Kalau sepasang
lelaki dan perempuan sudah saling menyukai,
maka langsung
saja kawin. Kawin dengan upacara adat
biasanya dilakukan
orang-orang kaya, atau orang keraton atau
pamong desa.
Upacara yang dilanjutkan dengan pesta makan
dan minum
diiringi musik dan tari.
"Aku hanya mau upacara adat Himalaya
tanpa pesta, tanpa
dihadiri banyak orang. Yang penting upacara
sakralnya saja.
Tetapi kalau kau tak mau, tidak apalah,
karena bagaimanapun
juga aku sudah resmi sebagai isterimu Hanya
kupikir, jika ada
upacaranya maka kemarahan orangtuaku akan
berkurang."
"Kenapa dengan orangtuamu, di mana
mereka sekarang?"
"Mereka masih di Himalaya, tetapi tak
lama lagi mereka
akan datang ke negeri ini, mencari aku.
Entah bagaimana
sikap ayah mengetahui aku sudah kawin dengan
Wisang Geni
cucu murid pendekar tua Suryajagad.
Barangkali dia bisa mati
saking marahnya."
"Jadi upacara Himalaya itu, bagaimana
cara dan apa
syaratnya?"
"Upacaranya sederhana, hanya pengantin
mengitar api suci
sambil didoakan oleh pendeta. Waktunya tidak
lama, bahkan
terkesan singkat Hanya persiapan yang agak
lama. Pertama,
kita mencari pendeta, bisa saja diwakili
Kumara. Aku
didampingi Shamita dan Urmila, mungkin juga
Malini. Kita juga
harus mencari Sekar, aku tak mau membuatnya
tersinggung."
"Bagaimana jika ia mau ikut upacara
kawin. Bagaimana jika
ia minta upacara adat Jawa dengan kalian
berdua sebagai
pengantin perempuan?"
"Aku tak keberatan. Bagiku yang penting
adalah upacara
sakral itu, apakah itu adat Himalaya atau
adat Jawa, aku mau
saja."
Geni memeluk kekasihnya. "Kamu punya
sesuatu yang
jarang dimiliki perempuan lain, mau mengerti
perasaan orang
lain dan tidak suka memaksakan kemauan
sendiri kepada
orang lain."
Samar-samar terdengar suara merdu seorang
wanita
berseru, "Banjao kisi ke kisi ko aapena
banalo." Jelas bukan
suara Shamita maupun Urmila. Gayatri
tercenung, Geni
bertanya, apa artinya itu. Gayatri
menerjemahkan, "Jadilah
milik seseorang dan milikilah seseorang. Itu
kata-kata sastra
dari buku Natyam Sasrayang kenamaan, buku
falsafah tua dari
India. Pepatah itu nama jurus yang handal
dan menjadi tanda
pengenal kami dari perguruan Yudistira di
lereng Himalaya."
Suara itu terdengar jauh, dan bergerak
sampai akhirnya
terdengar gemanya di dalam rumah. Gayatri
bergegas keluar
kamar, Geni mengikuti dengan penuh tanda
tanya. Di
beranda, dua orang tamu yang baru tiba
sedang bercakap
dengan Urmila dan Shamita. Melihat dua tamu
itu Geni
mengenalnya sebagai Malini dan Kumara
"Paman, bibi," seru
Gayatri sambil lari memeluk Malini. Dua
pendekar itu menatap
Geni dengan waspada.
"Wisang Geni! Kamu berbuat apa di sini,
apa yang kamu
lakukan pada keponakanku?" suara Malini
ketus dan tinggi.
Kumara sudah pasang kuda-kudanya.
"Tidak, aku tak melakukan apa-apa, aku
hanya mencintai
Gayatri, cuma itu, aku tidak mencekoki dia
dengan racun yang
mematikan, aku tidak punya niat jahat."
"Mengapa kamu berada di kamar
Gayatri?" Malini bertanya
pada Geni, tetapi tanpa menanti jawabannya,
ia menoleh dan
bertanya dalam bahasa India kepada Gayatri.
Sebelum gadis
itu menjawab, Geni berseru sambil tertawa
geli.
"Malini, kamu perlu tahu, Gayatri
sekarang ini sudah
menjadi isteriku, jadi tak usah heran kalau
aku berada satu
kamar dengan ponakanmu itu. Dan kamu tak
perlu ikut
campur urusanku."
"Apa? Kamu gila, apakah kamu sudah
meniduri ponakanku?
Di kamar kalian berbuat apa?" Sekarang
ini Kumara yang
marah.
Wisang Geni diam, tidak bereaksi. Gayatri
menarik lengan
Malini dan suaminya. Mereka bicara
bisik-bisik. Geni
menggerutu, "Buat apa bisik-bisik
segala, biar kalian berteriak
pun aku tak akan mengerti, membicarakan apa
pakai bahasa
India, rahasia?"
Malini akhirnya bicara dalam bahasa Jawa.
"Tidak bisa,
ayahmu akan membunuh kami berdua, kamu sudah
gila
Gayatri, kamu sudah dijodohkan dengan
Wasudeva. Kamu
harus kawin dengan dia, kamu tak boleh kawin
dengan orang
Jawa, apalagi Wisang Geni, murid dari musuh
kakekmu. Kamu
sudah gila."
Kumara ikut-ikutan marah. "Kami tidak
akan mengijinkan
perbuatan gila ini. Tak ada ampun, ayahmu
akan ngamuk
besar dan kami berdua akan dicincang oleh
ayahmu. Malini,
kalau dia tetap ngotot, lebih baik kita
kabur sekarang juga,
biar kakak Yudistira tahu kita tidak ikut
campur dan tidak
terlibat dalam urusan gila ini. Dan memang
kita tak tahu apaapa
dan juga tidak terlibat!"
Tumpah ruah kemarahan Malini kepada Geni.
"Kamu adalah
musuh bebuyutan kami, hutang kekalahan kami
tahun lalu
akan kami lunasi sekarang ini. Kamu tidak
ksatria, sengaja
menjebak keponakan kami, itu bukan sifat
pendekar
namanya."
Nada suara Geni tawar. "Aku tak pernah
memusuhi kalian,
kamu sendiri yang mencari permusuhan dengan
aku, bahkan
membunuh banyak orang. Ketika kalian kalah,
apa yang aku
lakukan? Aku malah menolong kalian agar
pergi sebelum para
pendekar negeri ini mengeroyok kamu berdua
yang waktu itu
sudah luka parah. Coba bayangkan jika aku
buka rahasia
kalian sebagai si Kidung Maut aku pastikan
ratusan orang akan
mengejar dan mencincang tubuhmu. Kalau
tentang Gayatri,
sejak pertama jumpa dia aku sudah
mencintainya, aku
mengawininya, nah apakah itu sesuatu yang
melanggar
aturan?"
Dua pendekar suami isteri itu diam. Mereka
tidak yakin bisa
mengalahkan Wisang Geni sekarang ini.
Gayatri akhirnya
berkata kepada Malini dengan nada tinggi.
"Bibi, aku tidak
mungkin kawin dengan Wasudeva, aku bukan
hanya tidak
cinta, tetapi aku muak dan benci. Dulu ia
pernah menggoda
kakakku, Manisha. Kakak sangat mencintainya,
tetapi ia pergi
berkelana dan tak pernah kembali ke kampung.
Ia
membiarkan kakak sengsara menantinya. Ketika
ayah
menjodohkan kakak dengan Mahesh, kakak
menolak, ayah
menghukumnya, kakak mati bunuh diri karena
hidupnya yang
merana. Apakah aku salah jika aku membenci
lelaki itu?"
Ia bicara dengan semangat berapi-api, Malini
dan Kumara
diam. Gayatri melanjutkan, "Dan
bagaimana mungkin aku mau
menjadi isterinya, padahal ia pernah
meniduri kakakku,
membiarkan kakak hamil dan dia tak mau
bertanggungjawab
perbuatannya. Cerita ini ayah tidak tahu,
sebab kakak hanya
menceritakan deritanya padaku dan ibu.
Sungguh lebih baik
aku mati daripada kawin dengan orang itu.
Dan sekarang ini,
aku telah menemukan lelaki yang mencintai
dan bersedia
membelaku, jadi apa salahnya aku menjadi
isterinya. Tetapi
sekadar memenuhi persyaratan, aku mohon
padamu bibi,
kawinkan kami dalam upacara sederhana."
Mendengar cerita itu, bukan hanya Wisang
Geni juga empat
pendekar India itu terkejut. Ini peristiwa
luar biasa. Kini
Kumara dan Malini mengerti alasan Gayatri
menolak
Wasudeva. Tetapi orangtua Gayatri pasti akan
ngamuk
mengapa putrinya mau mengawini Wisang Geni,
orang luar
dan musuh perguruan. Tidak mustahil mereka
akan
menghukum Gayatri, bahkan juga semua yang
terlibat dalam
urusan ini.
Empat orang itu termenung, bingung tak tahu
harus
bersikap. Mereka suka dan bersedia menolong
Gayatri, tetapi
mereka lebih takut kepada ayah dan ibu
Gayatri. Apa jalan
keluarnya?
Kumara bertanya kepada Geni apakah
sungguh-sungguh
mencintai Gayatri. Geni mengiyakan. Kumara
menanyakan
kepada Gayatri apakah sudah berpikir matang
menjadi isteri
Geni, sebab itu sama artinya memutus
hubungan dengan
orangtua bahkan juga dengan perguruan.
Gayatri
mengiyakan. Kumara setuju menikahkan dua
sejoli itu dalam
upacara adat Himalaya
Wajah Urmila dan Shamita pucat "Kami
pasti dihukum,
tugas kami adalah melindungi Gayatri. Tetapi
bagaimana
mungkin kami membiarkan Putri menikah tanpa
restu
orangtua."
"Urmila, itu semua tanggungjawabku, aku
punya alasan,"
kata Gayatri sambil maju memeluk dua
pembantunya. Urmila
berkata sambil menangis, "Putri, kamu
majikanku tapi sudah
seperti adik, pasti kamu sudah berpikir
masak-masak waktu
mau bercinta dan menjadi isterinya. Kami
mencintaimu, kami
pasti membelamu di depan orangtuamu,
meskipun kami akan
dihukum guru"
"Shamita, waktu itu kamu sendiri yang
meyakinkan aku
bahwa lelaki itu mencintaiku, selain itu
hatiku berkata bahwa
dia tak hanya mencintai aku melainkan juga
mau mati
membela aku."
"Kalau begitu lakukan saja, Putri,
restuku untukmu Aku pun
akan membelamu di hadapan guru."
Shamita memeluk dan
menciumi wajah Gayatri.
Kumara dan Malini lebih terkejut lagi
mendengar
pengakuan Gayatri, ia sebagai isteri kedua
Wisang Geni. Isteri
pertamanya adalah Sekar. Dan kedua isteri
itu bersahabat
satu sama lain. "Aku pikir Gayatri
sudah tidak waras,
urusannya sungguh gila," kata Kumara.
Enam orang itu berunding. Akhirnya
disepakati Geni
mencari dan membawa Sekar untuk diajak
bicara. Setelah itu
upacara kawin adat Himalaya akan
dilaksanakan hari itu juga.
"Lebih cepat lebih baik, sebelum gunung
ini ribut oleh
perburuan widali sakti."
Baru saja Geni berada di luar rumah, tampak
Sekar berlari
pesat ke arahnya. Gadis ini melompat
memeluknya, berbisik,
"Aku sudah rindu padamu, Geni, mana
Gayatri katanya kau
tarung dengannya, mengapa ada kejadian
seperti itu?"
Sekar setelah berpisah dari kekasihnya,
berkeliling mencari
dua neneknya. Setelah bertemu dan memastikan
Dewi Obat
sudah sehat kembali, ia kemudian mengantar
dua neneknya
ke kaki gunung. Dua neneknya menuju Lembah
Cemara.
"Kamu hati-hati nduk, banyak orang
jahat yang ngiler melihat
kecantikanmu," kata Nenek Sapu Lidi
sambil cekikikan. Sekar
tertawa.
Sekar kemudian mencari Geni ke rumah tempat
menginap
murid Lemah Tulis. Ia mendengar cerita
Prawesti dan Ekadasa
bahwa Geni tarung lawan Gayatri dan bahwa
Geni luka serta
keadaannya kritis. Mereka kemudian menolong
Geni,
menghantam Gayatri, tetapi Geni malah kecewa
dan marah.
"Geni sudah kasmaran dan lupa daratan,
kepincut kecantikan
dan ilmu pelet Gayatri, kamu hati-hati
terhadap perempuan
Himalaya itu, Sekar," kata Ekadasa.
Sungguh terkejut Sekar mendengar cerita aneh
ini. Hanya
dalam semalam keadaan berubah menjadi
sedemikian buruk.
Itu sebab begitu jumpa Geni, ia langsung
menanyakan
keadaan yang sebenarnya.
Geni tertegun. Dua perempuan itu sudah
bertindak jauh.
"Sekar, jangan percaya pada dua
perempuan itu. Semuanya
salah faham." Ia menceritakan keadaan
yang sebenarnya.
Juga menceritakan niat dan permintaan
Gayatri untuk upacara
kawin. "Tetapi ia ingin bicara
denganmu, ia ingin jika kamu
mau, kalian berdua menjadi pengantin. Dan
tentang adat
Himalaya atau adat Jawa, ia serahkan padamu
untuk
memilih."
Di kolong langit ini Sekar hanya percaya
pada Wisang Geni.
Ia telah menyerahkan segala miliknya, cinta
dan tubuh kepada
lelaki ini. "Aku hanya percaya kamu
saja. Apa yang kau
katakan, itulah yang sebenarnya. Mari kita
temui Gayatri."
Dua perempuan itu berpelukan.
"Bagaimana nenekmu?"
tanya Gayatri.
"Tak apa-apa, keduanya sehat"
Sekar senyum saat
pandangannya bertemu Malini dan Kumara. Dua
pendekar ini
takjub memandang Sekar. "Dari seorang
gadis dekil dan burik,
dia sekarang cantik jelita dengan tubuh yang
begitu
mempesona," kata Malini dalam hati Dia
mengatakan dengan
nada pujian.'Wisang Geni, kamu beruntung
memperoleh dua
isteri yang begitu cantik."
Geni tertawa menggoda. "Bukan aku yang
beruntung,
sebenarnya mereka berdua yang beruntung
mendapatkan aku
sebagai suami."
Godaan ini memancing Sekar dan Gayatri yang
segera
menyerang suaminya. Geni melangkah mundur.
Kedua
perempuan mendesak sampai akhirnya masuk
kamar.
Keduanya mengeroyok, memegang dan membanting
Geni ke
lantai. "Kamu harus ngaku bahwa kamu
yang beruntung
mendapatkan isteri secantik aku dan
Gayatri." Dua perempuan
itu mencopot busana masing-masing.
"Lihat tubuh kita, indah
dan molek."
Geni terangsang. "Kalian benar, aku
salah. Memang aku
yang beruntung mendapatkan kalian sebagai
isteri, kemarilah
sayang."
Dua perempuan itu melompat keluar kamar.
Geni berseru
"Hei tunggu dulu!" Dua gadis
cantik itu tertawa cekikikan
menatap Geni yang juga tertawa.
Tanpa berunding lagi, Sekar menyatakan
setuju perkawinan
adat Himalaya. Tetapi Kumara protes,
"Bagaimana mungkin
seorang lelaki kawin sekaligus dengan dua
perempuan, aku
belum biasa."
Tiga perempuan itu, Malini, Urmila dan
Shamita membela
Gayatri. "Lakukan saja, yang penting
upacaranya sakral," kata
Malini.
Pernikahan dilaksanakan malam itu juga.
Urmila, Shamita
dan Malini mencari perlengkapan. Bunga,
dedaunan, kulit
pohon warna warni ditumbuk, menyalakan api
unggun.
Pakaian pengantin perempuan meminjam warna
merah milik
Urmila. Setelah upacara selesai, Geni
membopong dua
isterinya, masing-masing di kiri dan kanan
masuk kamar. Dua
perempuan itu mengeroyok habis suaminya.
Percintaan dan
pertemanan yang unik.
"Kamu sekarang sudah menjadi isteriku,
apakah kau
bahagia?" tanya Geni. Pengantinnya
mengangguk. Gayatri
mengingatkan masih ada syarat yang harus
dipenuhi Geni
yakni mengumumkan kepada semua orang, bahwa
Gayatri
dan Sekar kini resmi menjadi isterinya.
Gayatri memaksa harus
sekarang juga "Dalam keadaan masih
belum pulih seperti
sekarang ini, aku tak mau jadi korban
widali, setelah kau
umumkan pernikahan ini, kita pergi turun
gunung, kita
menyepi bertiga sampai lukaku sembuh
total."
"Baik, aku setuju kita umumkan sekarang
juga Tetapi
mengenai widali mungkin kita harus menunggu
pemunculannya nanti malam, siapa tahu aku
bisa menangkap
widali sakti itu dan meminumkan darahnya
kepada kalian
berdua"
"Firasatku mengatakan widali itu tak
akan tertangkap
malam nanti, bahkan ada beberapa pendekar
yang mati siasia.
Aku tak mau mati konyol, aku mau kita pergi
saja. Widali
itu tak bisa dibunuh meskipun oleh pendekar
berilmu lebih
tinggi darimu. Jangan kamu terlampau tamak,
keadaan
sekarang sudah cukup membahagiakan aku,
lukaku juga akan
cepat sembuh dengan pengobatan tenaga
dalammu serta pil
salju. Kita pergi saja, Geni." Sekar
sependapat Ia menganggap
tak ada gunanya ikut dalam perburuan widali.
Malam itu juga mereka menuju penginapan
Lemah Tulis. Di
tengah jalan Geni cerita pada Sekar, bahwa
ia akan
menceraikan Prawesti dan Ekadasa. Tetapi
Gayatri justru
mengusul agar Prawesti diampuni.
"Keadaan satu satu.
Tinggal kamu Sekar, apapun keputusanmu, maka
itulah
keputusanku," tegas Wisang Geni.
Tertegun sesaat Sekar berkata lirih,
"Sulit, apabila pada
awalnya sudah ada perasaan tidak suka atau
tidak percaya.
Lama-lama bisa bagaikan api dalam sekam,
sekali waktu bisa
meletus dan membakar kita sekeluarga.
Ceraikan saja, Geni!"
Gayatri terkejut. Sekar mendekati dan
memeluknya "Kamu
dan aku, yang paling dirugikan
nantinya"
Gayatri berbisik lirih, "Aku ikut apa
katamu."
Wisang Geni dan dua isterinya tiba di rumah
Lemah Tulis.
Mereka menyambut ketuanya Sedikit basa-basi,
Geni
mengumumkan dia baru saja melakukan upacara
sederhana
perkawinan dengan Sekar dan Gayatri. Kontan
saja, semua
murid terperanjat. Kabar ini mengejutkan
meskipun tandatanda
hubungan intim ketua dengan gadis India itu
sudah
tercium sejak hari kemarin.
Dyah Mekar menggenggam tangan Prawesti yang
dingin
dan basah. Tak seorang bisa membayangkan apa
yang dirasa
Prawesti. Jelas ia sangat terpukul. Jika
Dyah Mekar tidak
memeganginya, mungkin ia limbung dan roboh
pingsan.
Ekadasa tak ada di ruangan. Tetapi ia
mendengar semuanya
dari balik jendela rumah. Ia semakin dendam
dan cemburu
pada Gayatri.
Gerak-gerik Prawesti, wajah yang pucat,
tubuh yang
gemetar, tidak luput dari pengamatan Wisang
Geni. Lelaki ini
merasa kasihan, tapi bagaimanapun dia harus
memilih dan
mengambil keputusan. Memang pahit, terutama
bagi Prawesti,
tetapi tidak ada jalan lain.
Dengan berat ibarat kaki dibebani batu
puluhan kilo, enam
murid melangkah maju. Satu per satu memberi
selamat,
menyalami Geni, dan dua isterinya. Ketika
giliran Prawesti,
gadis ini menyalami Geni dengan wajah
tunduk. Geni merasa
serba salah. Prawesti kemudian menyalami
Gayatri dan Sekar.
Ia berusaha tegar tetapi hatinya hancur
berkeping. Ia
melangkah gontai ke kamar. Ia tak menyangka
Geni
mengumumkan perkawinan secara terang. Ia
juga malu,
karena merasa dipermalukan di depan
rekannya. "Mengapa
aku tidak diberitahu, mengapa semua murid
Lemah Tulis tidak
diajak menyaksikan. Apakah kesalahanku itu
tak bisa
dimaafkan," tanya Prawesti dalam hati
Para murid Lemah Tulis kecewa melihat sepak
terjang Geni.
Hal ini tak luput dari pengamatan Geni. Ia
memanggil
Prastawana, Dyah Mekar, Gajah Lengar, Kebo
Lanang dan
Jayasatru Agar tidak beredar kabar yang
tidak benar, Geni
menjelaskan perihal ia menceraikan Prawesti
dan Ekadasa.
Apa perbuatan dua perempuan itu dan alasan
mengapa ia
harus menceraikan mereka. Keduanya kini
bebas untuk
mencari jodoh lelaki lain.
0 komentar:
Posting Komentar