Geni merasa gugup, tak sanggup bicara.
Perempuan itu mendadak membalik tubuh
menindih tubuh
Geni. "Aku tidak marah. Aku
mencintaimu, tetap mencintaimu,
jika kau pernah bercinta dengan Sekar, atau
mungkin gadis
lain, aku tidak marah. Selama kamu masih
mencintaiku, masih
kasmaran dengan Walang Wulan, aku tetap
setia di sisimu.
Jika kamu sudah bosan padaku dan tidak lagi
mencintaiku,
barulah aku pergi."
Ia masih bingung. Ia seperti tak percaya apa
yang
didengarnya. "Kamu tidak marah,
Wulan?"
Wulan mencium lelaki itu. "Geni,
ceritakan saja, aku hanya
ingin mendengar ceritamu, apakah dia cantik?
Tentu dia masih
muda dan perawan, iya?"
'Wulan, kamu keliru. Dia memang cantik
tetapi wajahnya
penuh dengan bintik bekas cacar, tetapi
mungkin sekarang ini
sudah sembuh. Tetapi Wulan, kamu tak boleh
meninggalkan
aku lagi."
Wulan menggeleng kepala, "Tidak, aku
tak mau berpisah
denganmu lagi."
Agak canggung ia menceritakan pengalaman
dengan Sekar
sejak tarung dan dilukai Kalayawana serta
dua pendekar India
itu sampai harus berobat di Lembah Cemara.
"Aku bercinta
dengan Sekar, berulang-ulang, ia sangat
mencintaiku, aku pun
mencintainya. Tapi aku juga mencintaimu
Wulan. Cintaku
padamu tak pernah berubah meskipun aku juga
mencintai
Sekar."
Wulan merapat dan memeluk kekasihnya.
"Geni, jika kita
hanya berdua dan sedang bercinta, kamu
panggil aku dengan
sebutan bibi, itu membuat aku lebih
terangsang. Dan lebih
menikmati."
Geni heran, namun tak mau berpikir panjang,
karena
Wulan masih menindih tubuhnya. Geni
merasakan rangsangan
birahi membuat jalan darahnya merambah
kencang. "Bibi, aku
mencintaimu bibi."
Keduanya bergelut, bergilmul, bercinta,
memburu
kenikmatan dan kebahagiaan. Fajar
menyingsing keduanya
tidur berpelukan, lelap.
Matahari pagi sudah tinggi ketika keduanya
terbangun.
Geni berburu mencari makanan. Wulan
memanggang anak
kambing hutan. Geni menceritakan
pengalamannya berjumpa
Gajah Watu dan Waning Hyun serta dua
pangeran keraton.
"Jadi paman Gajah Watu sudah muncul di
dunia
kependekaran. Dan Lembu Agra sedang menyusun
rencana
jahat akan membunuh dua sesepuh perguruan.
Geni, kita
harus cepat mencari mereka."
"Mencari ke mana? Lagipula, sekarang
ini yang paling
penting menyembuhkan racunmu dulu, setelah
itu baru kita
pergi mencari dua sesepuh itu sekalian
menuju Mahameru,
aku pikir guru dan paman Gajah Watu juga
bakal hadir di
Mahameru."
Hari ketiga di goa. Wulan gembira, karena
tenaganya
sudah pulih seperti sediakala. Keduanya
berlatih tarung. Geni
mengajari Wulan jurus Garudamukha Prasidha.
Keduanya
masih tinggal di goa itu beberapa hari lagi.
Dari pagi sampai
sore berlatih silat, malam hari bercinta
memadu kasih asmara.
Dalam beberapa hari itu Wulan telah
menguasai
Garudamukha Prasidha. Seperti pengalaman
sebelumnya,
kalimat misterius Parahwanta Angentasana
Dukharnaiva tetap
tidak terpecahkan. Wulan pun tak bisa
menembus misteri
kalimat itu. Meskipun demikian, Wulan telah
mencatat
kemajuan pesat dalam penguasaan jurus pusaka
Prasidha itu.
"Kau hanya perlu berlatih melancarkan
jurus dan memadukan
dengan pikiran sampai suatu saat jurus itu
bisa kau mainkan
cepat dan lancar berdasarkan naluri."
Hari kesepuluh, keduanya meninggalkan goa.
"Kita harus
mencari desa, membeli kebaya untuk aku,
pakaianmu dan
pisau tajam untuk mencukur jenggot, kumis
dan berewokmu."
Malam hari keduanya tiba di sebuah desa.
Mencuri uang di
rumah orang kaya, esoknya membeli pakaian.
Dalam
perjalanan menuju Mahameru, Wulan mencukur
jenggot dan
brewok kekasihnya.
Hari itu, tengah bulan Srawana, limabelas
hari sebelum
pertemuan Mahameru yang akan berlangsung
pada hari
pertama bulan Bhadrapada. Sepasang kekasih
itu tiba di hutan
pinggiran kali Beji di kaki pegunungan
Tengger. Melihat air
sungai yang jernih dan udara yang sejuk,
keduanya
memutuskan untuk istirahat beberapa hari.
Geni berkeliling. la
menemukan sebuah goa kecil. Keduanya bekerja
membersihkan goa untuk tempat tinggal
sementara. Senja
hari mereka berenang di sungai, teringat
perkenalan pertama
di air terjun gunung Arjuno. Mereka
bercengkerama memadu
cinta.
Malam hari keduanya duduk menghadap api
unggun.
Wulan dengan rambutnya yang basah, tampak
cantik berseri.
Ia bersandar di pundak Geni. "Kau masih
ingat, dulu aku
pernah menceritakan dua lelaki pernah
menjadi kekasihku,
tapi kau tak menanyakan siapa dan bagaimana
perasaanku
pada mereka?"
"Aku ingin bertanya, tetapi takut kamu
tersinggung atau
salah faham. Kupikir, aku tak perlu tahu
masa lalilmu, yang
penting aku tahu sekarang kau mencintaiku,
itu sudah sangat
berarti bagiku."
"Aku perlu menjelaskan ini padamu,
karena kamu harus
tahu, karena kamu akan menjadi satu-satunya
suamiku dan
supaya kamu membantu aku mengatasi masalah
ini. Ada dua
lelaki yang pernah meniduriku. Yang pertama
adalah Gajah
Watu, dia yang menikmati perawanku. Yang
kedua, kamu
sudah tahu dia, Lembu Agra."
Geni terkejut. "Apa? Gajah Watu? Paman
Gajah Watu?"
Wulan menghela nafas. "Ini memang
sangat rahasia, tetapi
aku harus jujur padamu, cerita tentang paman
Gajah Watu
cukup panjang." Wulan menangis. Geni
memeluk, memegang
dagu dan menengadahkan wajah Wulan. Ia
mengecup air
mata kekasihnya, kemudian mengecup mulurnya.
"Tak usah
kau ceritakan aku juga tak peduli, aku tetap
mencintaimu."
"Aku percaya akan cintamu. Tetapi harus
kukeluarkan isi
hati ini supaya aku bebas dari pikiran yang
memberatkan ini."
Ketua Lemah Tulis, Bergawa, mempunyai tiga
adik
perguruan, Branjangan, Padeksa dan Gajah
Watu. Sebagai
ketua dan yang memiliki ilmu silat paling
mumpuni, Bergawa
punya tujuh murid, Gubar Baleman,
Ranggaseta, Gajah
Kuning, Kebo Jawa, Sukesih, Lembu Agra dan
Walang Wulan
Di antara tujuh muridnya, Bergawa sangat
menyayangi si
bungsu Wulan. Itu sebab ia sering
memerintahkan tiga
adiknya membantu melatih Wulan. Tanpa
disadari Gajah
Watu, yang usianya hanya terpaut sepuluh
tahun lebih tua
dari Walang Wulan, jatuh cinta pada gadis
remaja yang waktu
itu berusia enambelas tahun. Suatu ketika,
Gajah Watu
mengajak Wulan turun gunung mencari
pengalaman. Dalam
petualangannya, Gajah Watu meniduri dan
merenggut
perawan keponakan muridnya. Wulan tak
berdaya malahan
lama-lama menyukainya. Selama tiga bulan
perjalanan itu,
Gajah Watu memuaskan cliri meniduri Wulan.
Teringat pengalaman itu Wulan menangis.
"Ia tidak
memerkosaku, tetapi ia merayuku, membuat aku
lupa,
membuat aku ketagihan. Dia lelaki pertama
yang menggauli
tubuhku. Lambat laun aku tahu bahwa Gajah
Watu, paman
guruku itu, hanya butuh tubuhku, butuh
melampiaskan
birahinya, ia tidak mencintaiku. Pada suatu
hari, aku lari dan
kembali ke Lemah Tulis. Aku merahasiakan aib
ini, tetapi guru
Bergawa sangat arif. Tak seorang pun bisa
membohongi guru.
Entah bagaimana caranya, guru mengetahui
rahasia ini."
Ketika Gajah Watu kembali ke perguruan,
Bergawa
memanggilnya masuk kamar rahasia. Bergawa
marah besar,
menampar, menendang Gajah Watu lalu
mengusirnya pergi
dari perguruan. Tak seorang pun yang
mengetahui ini. Ketika
hendak pergi dari Lemah Tulis, Gajah Watu
mendatangi
Wulan. Ia minta maaf pada Wulan. Sejak hari
itu Wulan
melupakan Gajah Watu. Dan rahasia itu hanya
diketahui
Wulan, Bergawa dan Gajah Watu. Setelah
kejadian dengan
Gajah Watu, Wulan jatuh dalam pelukan Lembu
Agra, kakak
seperguruannya. Namun hubungan tidak bisa
lama, karena
Lemah Tulis akhirnya hancur lebur. Beberapa
tahun
mengembara, Wulan sampai di suatu tempat di
mana dia
menolong seorang tua yang sedang sakit.
Orangtua itu,
ternyata pendeta Panawijen, membalas budi
dengan
mengajarinya Karma Amamadang ilmu melatih
tenaga dalam
yang bisa membuat seorang wanita menjadi
cantik berseri,
bercahaya dan awet muda.
"Mengapa kau ceritakan padaku,
Wulan?"
"Aku ingin jujur padamu, sehingga jika
nanti kita jumpa
paman Gajah Watu, kamu bisa membantu aku
mengatasi rasa
benciku padanya." Wulan memeluk erat
kekasihnya. "Geni,
bagaimanapun masa laluku, aku mohon jangan
tinggalkan
aku. Begitu kamu tinggalkan aku, saat itu
juga aku mati."
"Tidak, aku tak akan pernah
meninggalkan kamu lagi, kita
berdua akan selalu bersama, selamanya."
"Benar?"
"Iya benar, aku bersumpah demi
orangtuaku yang sudah
mati."
Wulan melanjutkan ceritanya. Setelah
peristiwa itu Wulan
sangat pendiam. Ia sangat terpukul Pada saat
itu Lembu Agra
yang sudah lama menaruh hati pada adik
perguruannya,
menyatakan cinta. Lembu Agra berhasil
mencairkan kebekuan
hati Wulan. Bujuk rayu Agra membuat Wulan
membalas cinta
bahkan mau diajak bercinta. Agra
menidurinya. Wulan terkejut
mendapatkan Agra beringas seperti binatang.
ternyata tidak
hanya sekali, tetapi dalam setiap bercinta
Agra berlaku kasar
bahkan seperu memerkosa. Wulan mulai
menghindari
pertemuan. Ia sering ikut Sukesih dan Gajah
Kuning
berkelana.
"Agra melamar aku, menyatakan cintanya
padaku, tetapi
aku tak bisa menerimanya. Ketika Lemah Tulis
porak poranda,
guru Bergawa menyuruh aku dan Agra kabur
agar ilmu Lemah
Tulis tidak punah. Aku berpencar. Akhirnya
aku bertualang
sendiri. Satu tahun aku belajar dari guru
pendeta Panawijen,
kemudian turun gunung aku jumpa Lembu Agra.
Aku berjalan
bersamanya beberapa hari, kami bercinta,
hanya beberapa
hari kemudian kami berpisah. Aku masih
berjumpa Gajah
Watu, aku luluh oleh bujuk rayu, dua tahun
aku hidup
bersamanya. Namun sekali lagi dia
memperlihatkan wataknya,
bahwa dia hanya membutuhkan tubuhku. Dia
menghinaku,
aku pergi. Aku bersumpah tak akan mau ketemu
Gajah Watu
lagi."
Wulan memeluk kekasihnya dan berbisik di
telinganya.
"Kamu bosan mendengar ceritaku?"
Geni menggeleng kepala, "Teruskan
ceritamu, supaya
semua kekesalan itu kau buang keluar."
Wulan melanjutkan. "Pertemuan terakhir
dengan Agra di
bukit Lejar dan beberapa hari hidup berdua
dengannya,
adalah perbuatanku yang paling bodoh. Aku
ingin
melupakanmu, mengganti kamu dengan
kehadirannya. Waktu
ia merayuku, aku memutuskan menjadi
isterinya. Namun aku
tak bisa menggantikan dirimu, aku tetap
mencintaimu Aku
bahkan tak bisa bercinta dengannya. Beberapa
hari kemudian
aku tetapkan keputusan berpisah dengannya.
Aku kabur dan
bertekad mencarimu. Beberapa hari lalu, ia
menolong aku dari
penjahat yang telah membius aku. Sejak itu,
beberapa malam
ia merayuku tetapi aku menolak halus. Aku
mencari jalan
meloloskan diri. Aku tak mau memancing
kemarahannya
sebab ada tanda-tanda dia hendak
memerkosaku. Tetapi
malam itu ia tak bisa dikendalikan lagi, ia
pasti akan
memerkosaku. Sebenarnya tak begitu menjadi
masalah karena
sebelum itu pun ia pernah dan sering
meniduriku, tetapi sejak
mengetahui besarnya cintaku padamu Geni, aku
tak bisa
menerimanya lagi, aku merasa jijik. Itu
sebab malam itu ia
akan memerkosaku, jika kamu tidak datang
tepat saatnya, aku
sudah nekat bunuh diri"
Wulan menangis. Geni memeluk kekasihnya.
"Sudah kau
tumpahkan seluruh isi hatimu?"
Wulan mengangguk. "Setelah kuceritakan
semua ini,
apakah kamu masih mau mencintaiku,
Geni?"
geni masih memeluk kekasihnya. "Tidak
ada perubahan
apapun, aku tetap mencintaimu, malah
sekarang aku semakin
mencintaimu setelah begitu panjang
penderitaan yang kau
alami."
----ooo0dw0ooo-
Persaingan Asmara
Tiga hari di penghujung bulan Srawana
sepasang kekasih
itu tiba di desa Tumpang. Siang itu banyak
orang lalu lalang di
alun-alun desa. Sebagian besar adalah para
pendekar, tampak
dari dandanan yang singsat dan senjata
bawaannya.
Dipastikan mereka singgah dalam perjalanan
ke Mahameru.
Dari desa Tumpang, jarak ke perguruan
Mahameru bisa
ditempuh satu hari perjalanan cepat. Jika
santai diperkirakan
dua atau tiga hari.
Saking banyaknya para pendatang yang
mengunjungi desa
itu, tidak heran jika semua kamar penginapan
sudah terisi.
Walang Wulan dan Wisang Geni beruntung
mendapat satu
kamar yang hanya berisi satu dipan. Kamarnya
sempit, dipan
juga kecil. Tetapi lebih nyaman ketimbang
bermalam di hutan.
"Dua hari tinggal di sini, ditambah dua
hari perjalanan ke
Mahameru maka kita akan tiba tepat pada hari
pertemuan itu
berlangsung," kata Geni.
Keduanya makan malam di warung dekat
alun-alun. Alunalun
itu pusat keramaian di mana banyak orang
berjualan.
Mereka berjalan di antara keramaian.
Sekonyong-konyong
Geni menarik tangan Wulan dan menyusup di
dalam
kerilmunan orang.
Wulan heran, "Kenapa? Ada apa?"
Geni berbisik lirih. "Aku melihat Lembu
Agra bersama
temannya, tak tahu berapa jumlahnya. Aku
rasa tujuan
mereka juga ke Mahameru."
Wulan berbisik, "Lebih baik kita
menghindari mereka, kita
kembali ke penginapan saja."
Keduanya mengambil jalan lain menuju
penginapan.
Langsung masuk kamar. Wulan mengeluarkan
bungkusan kue
yang tadi ia beli.
Geni berbaring di dipan. Wulan membawa kue,
menyuapi
kekasihnya.
"Dipan ini sempit untuk kita berdua,
kau tidur di atas, biar
aku di lantai," kata Wulan sambil mengejapkan
mata.
Geni meraih tubuh kekasihnya, "Aku tak
mau tidur pisah
dari kamu, kita berdua berhimpit supaya
hangat. Cuma
kuharap dipan ini tidak patah atau
ambruk." Ia mencium
mulut kekasihnya, tangannya merambah ke
bagian dalam
kebaya.
Wulan menyembunyikan wajah di dada Geni,
"Kau selalu
berhasrat meniduri aku, kau
menyukainya?"
"Ya tentu saja, aku tak pernah puas,
aku ingin selalu
memelukmu dan bercinta denganmu."
"Apakah kau juga punya keinginan yang
sama terhadap
wanita yang kau jumpai, misalnya Sekar?"
"Kenapa menanyakan Sekar pada saat
seperti ini, kau
cemburu?"
"Sedikit cemburu," Wulan mencium
leher kekasihnya. "Aku
mau kamu jadikan isteri, isteri utama. Aku
tak mau kamu
tinggal pergi. Aku mau tetap di sisimu,
sampai kapan pun."
Geni menciumi wajah kekasihnya.
"Sekarang ini, bahkan
sejak hari-hari kemarin, kamu sudah jadi
isteriku. Dan tentu
saja aku tak akan pergi
meninggalkanmu."
"Bagaimana dengan Sekar?"
"Sekar? Ia sudah kuberitahu bahwa ada
seorang
perempuan yang paling kucinta, namanya
Wulan"
"Lantas apa tanggapannya?"
"Ia menerima kenyataan ini, bahwa aku
lebih
mendahulukan Wulan, bibi dan isteriku yang
montok."
"Di depanku kau bicara begitu, di depan
Sekar mungkin
kamu bicara sebaliknya."
"Aku akan katakan ini, mengulanginya di
hadapan kalian
berdua, biar semuanya jelas."
"Tetapi Geni, usiaku lebih tua dari
kamu."
"Aku tak peduli. Sudah berkali-kali
kukatakan aku tak peduli
akan usiamu."
Wulan mulai terangsang. Ia menciumi tubuh
Geni.
Sambil melucuti pakaian Wulan, Geni berbisik
di telinga.
"Wulan, aku heran, kau mengatakan lebih
tua dari aku, dan
kamu sepuluh tahun lebih muda dari paman
Gajah Watu,
tetapi bagaimana mungkin kamu masih tampak
seperti gadis
remaja, tubuhmu sekal, montok dan segar.
Sungguh semua
orang pasti mengira usiamu masih dua puluh
tahun "
Perempuan ini senang mendengar pujian dari
orang yang ia
cintai. Ia memeluk Geni, "Belasan tahun
lalu, dalam
pengembaraanku seorang diri, aku kebetulan
berjumpa
pendeta tua dari desa Panawijen. Ia sakit
parah. Aku
menolong merawatnya. Ketika sembuh ia
memberiku hadiah
ilmu tenaga dalam Karma Amamadangi. Konon
menurutnya
ilmu itu hanya ia sendiri yang memilikinya,
dan sudah
mewariskan kepada cucunya, Ken Dedes. Jadi
aku adalah
perempuan kedua yang menerima warisan ilmu
dahsyat itu.
Saat itu aku tak punya tujuan hidup,
perguruanku luluh lantak,
guru dan kerabatku mati semua, aku benci
setiap mengingat
Gajah Watu, aku tak mau ketemu Lembu Agra.
Dan karena
guruku itu tinggal sendiri, maka aku
menemaninya. Satu
tahun aku berlaku sebagai anak pungut
berlatih tenaga dalam
Karma Amamadangi. Setelah satu tahun dan
rampung melatih
ilmu itu, aku turun gunung."
"Karma Amamadangi, semacam ilmu tenaga
dalam?"
"Ilmu ini bisa membuat perempuan awet
muda. Latihan
ditekankan pada pengendalian pikiran dan
pengendalian hawa
nafsu. Dalam segala urusan harus bisa
mengendalikan diri,
tidak marah, tidak sedih meskipun keadaan
memaksa kita
untuk marah dan bersedih. Dalam urusan cinta
kita harus bisa
mengendalikan diri dengan demikian bisa
menikmati seni
bercinta, tidak asal mengumbar nafsu
saja."
Geni teringat ketika ia membantu mengobati
Wulan dengan
tenaga dalamnya Ia menemukan adanya gumpalan
hawa
dalam tubuh kekasihnya yang sering
berpindah-pindah seperti
bola. Gumpalan itu tak bisa dihancurkan,
selalu melejit lari jika
dibentur tenaga Geni. Ia menceritakan dan
Wulan mengiyakan
bahwa itulah hasil latihan Karma Amamadangi.
"Kata guru pendeta, Karma Amamadangi
bisa menghasilkan
tenaga dalam ampuh apabila gumpalan itu bisa
digempur
menyebar ke seluruh jalan darah. Tapi
bagaimana caranya, ia
tak menjelaskan dan aku amat bodoh karena
tak bertanya
Tetapi ia mengatakan, jika gumpalan itu
pecah, khasiat awet
muda itu akan lenyap dan sebagai gantinya
memperoleh
tenaga dalam mumpuni. Terus terang aku lebih
suka tetap
awet muda supaya bisa melayanimu selamanya
Supaya
tubuhku ini selalu merangsang
birahimu."
Geni termenung. "Dalam dunia
kependekaran memang
banyak keanehan yang tak terpecahkan, bahkan
oleh orang
yang paling pandai pun. Aku yakin pendeta
Panawijen itu tak
tahu cara menghancurkan gumpalan itu, jika
tahu mungkin
sudah mengajarkannya kepadamu. Misteri itu
hampir sama
dengan pengalamanku, lihat saja kalimat
Parahwanta
Angentasana Dukharnawa juga tak
terpecahkan."
"Aku tak mau kehilangan gumpalan itu,
nanti aku cepat
keriput dan kamu akan pergi meninggalkan aku
mencari gadis
yang lebih muda dan segar."
Geni menyusup kepalanya ke dada kekasihnya
dan
menggumam lirih. "Ilmu itu hebat.
Pantas kamu membuat aku
kasmaran setiap terbayang tubuhmu"
Wulan berbisik di telinga kekasihnya
"Katakan dengan jujur,
aku mau kamu jujur, apakah Sekar selalu
memberimu
kenikmatan asmara lebih istimewa dari yang
kuberikan?"
Ia meneruskan menelusuri bagian kaki Wulan,
menciumi
tumit, telapak, betis dan paha sambil
berkata lirih. "Kamu
hebat bibi, tapi Sekar juga tak kalah hebat.
Kalian berdua
membuat aku mabuk, dan aku bisa mabuk
sepanjang hari, tak
pernah bosan."
Ciuman itu dan bisikan "bibi" itu
membuat Wulan
merasakan api birahinya tak terbendung lagi.
"Geni suatu saat
nanti orang akan tahu hubungan cinta kita,
paman Padeksa
juga paman Gajah Watu, tak mungkin kita
bersembunyi
selama-lamanya," Wulan berbisik.
Geni menggumam di antara nafasnyayang panas
memburu.
"Aku akan minta restu guru Padeksa, dan
ilmumkan bahwa
kamu sudah menjadi isteriku. Aku pura-pura
tidak tahu
rahasiamu dengan Gajah Watu, dan akan minta
restunya juga.
Kamu isteriku dan aku suamimu"
Dua hari berlalu. Kamar itu menjadi saksi
bisu bagaimana
dua insan itu bercinta dengan gairah birahi
yang begitu
mempesona. Hari itu, pagi-pagi sekak
sepasang kekasih itu
berangkat menuju Mahameru, santai dan tidak
bergegas.
Sepanjang perjalanan keduanya hanya
membicarakan cinta
dan ilmu silat. Wulan makin menguasai jurus
pusaka
Garudamukha Prasidha, ilmu silatnya maju
pesat.
Hari masih siang ketika mereka tiba di hutan
yang menjadi
batas desa Wajak. Dari jauh tampak gunung
Mahameru
menjulang tinggi menembus awan seperti
menopang langit.
Dari desa Wajak diperlukan dua hari
perjalanan kaki untuk
sampai di lereng gunung Mahameru yang
menjadi markas
perguruan Mahameru
Di jalanan setapak menuju desa, Geni melihat
pemandangan yang membuat hatinya gembira.
Dari jauh
tampak dua orang sedang berjalan. Geni
mengenali. Orang itu
jangkung, bahunya lebar dengan rambut
digulung di atas
kepala. Tidak bisa mengendalikan diri lagi,
Geni berteriak,
"Guru...."
Dua orang itu menoleh ke belakang. Ia tak
salah. Orang itu
memang guru Padeksa. Tetapi Geni merasa
seperti disambar
petir mengenali lelaki di samping Padeksa.
Dia, Lembu Agra.
"Celaka!" Secara naluriah Geni berteriak.
"Guru, awas!"
Sambil berteriak Geni melesat dengan
Waringin Sungsang.
Ia bergerak pesat, Wulan tanpa sadar ikut
melesat. Tetapi
Lembu Agra lebih cepat lagi Ia memukul
pinggang Padeksa.
Orangtua itu tak menyangka bakal dibokong
secara keji. Tadi
sewaktu Geni berteriak memperingatkan, ia
sudah bersiap
datangnya serangan musuh. Tetapi ia tak
melihat adanya
musuh. Ia tak menyangka jika Lembu Agra
itulah yang
dimaksud Geni. Ia tak menyangka keponakan
muridnya sendiri
yang membokong. Tak pelak lagi ia terpukul,
pinggangnya
kena gelontor. Ia terhuyung mundur. Dari
mulutnya muntah
darah segar. Lembu Agra tidak cuma memukul
satu kali.
Pukulan berikutnya menyusul ke dada Padeksa.
Saat itu
Wisang Geni masih terpaut jarak agak jauh.
Padeksa dalam keadaan terhuyung-huyung masih
bisa
beraksi. Ia menahan nafas sambil mengirim
pukulan dengan
jurus Manusup mendahului serangan lawan.
Jurus Padeksa itu
cepat dan telengas. Lagipula tak perlu
tenaga besar, karena
sasarannya adalah mata. Menurut perhitungan,
pukulan
Lembu Agra akan sampai lebih dahulu. Itu
jelas akan melumat
habis tulang dada Padeksa, orangtua ini akan
mati sehingga
jari tangannya tak akan sampai menyentuh
mata Lembu Agra.
Tetapi Lembu Agra tidak yakin. Bagaimana
kalau
hitungannya meleset. Pasti celaka. Ia bisa
kehilangan mata.
Ini resiko cedera yang lebih mengerikan
dibanding kematian
misalnya. Lembu Agra tak berani menanggung
resiko, ia
mengubah jurusnya. Tadinya menggunakan
Sambarataka
(Rusak, kiamat) kini diganti dengan jurus
Sanvakrura (Segala
Perbuatan yang buas) keduanya dari ilmu
andalan Pitu
Sopakara. Gerakannya sebat, membebaskan diri
dari serangan
tusukan mata, ia lalu mengirim pukulan
mematikan ke pelipis
Padeksa.
Pergerakan Geni yang begitu pesat membawanya
mendekat tempat kejadian. Belum juga kaki
menginjak tanah,
tanpa basa-basi lagi Geni menggelontor lawan
dengan jurus
Gongkrodha. Marah, ia sangat marah, seluruh
tenaga Wiwaha
membanjir keluar lewat dua tangannya. Dalam
menyerang, ia
bahkan tak memikirkan lagi pertahanan. Jurus
Gongkrodha
dari Garudamukha bukan jurus adu jiwa atau
sama-sama
mati, tetapi tanpa sadar Geni telah
mengubahnya dalam
sekejap. Dia justru mau adu jiwa, kalau
perlu sama-sama mati
asalkan Padeksa lolos dari bahaya. Biasanya
tangan kiri
melintang di dada untuk menjaga serangan
balasan atau
untuk mengirim serangan susulan, kini Geni
menggunakan
dua tangan untuk menyerang dengan tenaga
Wiwahaymg
dahsyat.
Serangan ini sangat dahsyat, angin
pukulannya terasa di
sekeliling. Lembu Agra terkesiap. Ia tak
pernah menyangka
tenaga Geni bisa sedemikian hebatnya. Geni
belum tiba tetapi
hawa pukulannya mendatangkan angin maha
dingin. Lembu
Agra tak berani ayal, memutar tubuh,
berjongkok dan
melentingkan tubuh ke belakang. Ia melompat
mundur dan
menjauh.
Lembu Agra terpisah empat tombak. Mata Geni
melotot
seperti hendak melahap mentah-mentah
lawannya. Saat itu
Wulan sudah berjongkok dan memeluk Padeksa.
Orangtua itu
kembali muntah darah segar, sudah empat
kali. Lukanya
sangat parah. Wulan berseru, "Geni kau
tolong paman guru,
biar aku yang hadapi bangsat keji dan
pengecut ini."
Urat dan otot di tubuh Geni mengejang. Ia
membalik tubuh
dan memondong Padeksa. Meraba nadi gurunya,
ia tahu
nyawa orangtua itu di ujung tanduk. Tak ayal
lagi, Geni
memeluk gurunya. Dada Padeksa ditempel ke
dadanya,
kemudian mengerahkan tenaga dalam dingin.
Itulah ilmu
pengobatan tingkat paling tinggi melalui
penyaluran tenaga
dalam Namun ada bahayanya, pada saat itu tak
boleh ada
gangguan. Sebab begitu ada gangguan yang
menghalangi
penyaluran tenaga maka tenaga akan berbalik
melukai
keduanya. Padeksa akan mati dan Geni akan
menderita luka
dalam.
Sekilas melirik Wulan tahu keadaan Geni dan
Padeksa. Ia
harus mengulur waktu. Ia menatap tajam Lembu
Agra.
"Kenapa kau melakukan perbuatan sekeji
itu? Siapa kamu
sebenarnya dan apa maksudmu?"
Lembu Agra tertawa terbahak-bahak. Suaranya
menggema
seantero desa dan hutan. Bulu kuduk Wulan
berdiri. Ngeri
menyaksikan perubahan wajah dan watak lelaki
yang dulu
dikenalnya sebagai kakak perguruan yang
santun. "Tenagamu
itu, kamu tidak seperti seseorang yang
tenaga dalamnya
cacat."
"Aku tak pernah luka, dan aku tak
pernah dipukul
Kalayawana, itu hanya cerita bohong!"
"Jadi kamu sekongkol dengan para
penyerbu, mengkhianati
guru, menghancurkanmu sediri, kenapa?"
Sepasang mala Lembu Agra memancarkan rasa
dendam.
"Aku harus membasmi semua mang Lemah
Tulis, kecuali
kamu Wulan. Kamu akan kuperisteri, kamu akan
menjadi isteri
ketua partai Turangga. Partai yang nantinya
menguasai dunia
kependekaran dan diagung-agungkan
orang."
Wulan memandang tak percaya. Wisang Geni
benar. Apa
yang diceritakan Geni semuanya benar. Tetapi
mimpikah dia?
Tadinya Lembu Agra begitu baik, lembut dan
penuh kasih
sayang. Sifat baik itu tak ada lagi, yang
tampak adalah sifat
angkara murka dan keinginan membunuh.
"Kemarilah Wulan, tetap bersama
kangmas-mu ini. Kamu
akan menikmati hidup disanjung orang, semua
anak buahku
akan berlutut bersimpuh di kakimu, mereka
bersedia kamu
perintah meskipun harus masuk kubangan api
pun. Kemarilah,
bagaimanapun juga aku tetap mencintaimu,
cintaku tak
pernah akan luntur."
Wulan berteriak, "Berhenti di situ,
jangan maju lagi. Kamu
maju lagi, kita adu jiwa."
"Kenapa kau begitu ketus. Kamu bukan
lawanku. Tak ada
gunanya melawanku, lebih baik menjadi
isteriku daripada
menjadi lawanku. Jangan kepincuk dengan
bocah ingusan itu.
Aku lebih pengalaman dan lebih hebat dari
Wisang Geni yang
masih ingusan itu."
"Seorang pendekar harus berani
berterusterang, mengapa
kamu membokong paman Padeksa, mengapa
memusuhi
Lemah Tulis?"
"Kamu ikutan gila! Dengar Wulan, ketika
kakek gurilmu,
Rama Bakwan bersama empat muridnya dan
orang-orang
Lemah Tulis lain menumpas habis perguruan
Turangga,
membasmi dan membunuh orangtua dan sanak
keluargaku,
semua murid perguruanku, apakah waktu itu
ada yang
mempertanyakan tentang sikap pendekar?
Pembasmian itu
membuat aku sengsara, anak kecil usia
sepuluh tahun,
sebatangkara dan lemah di tengah kehidupan
pendekar yang
keras dan kejam. Puluhan tahun aku memendam
dendam ini."
Wulan mendelik. Dia gemetar menahan marah.
"Jadi kamu
sudah lama menyusup ke Lemah Tulis?"
Lembu Agra tertawa. "Kamu cerdik Wulan,
kamu mau
mengulur waktu sementara laki-laki binatang
itu menolong
Padeksa. Usahamu percuma, pukulan Pitu
Sopakara tak ada
obatnya, Padeksa akan mati!"
Sekali lagi Wulan terkejut. Lembu Agra
benar-benar
menguasai ilmu sesat itu. "Ketika romo
guru memaksa kita
berdua melarikan diri saat Lemah Tulis sudah
tak mungkin
dipertahankan lagi, waktu itu romo guru
mengatakan adanya
seorang murid pengkhianat yang meracuni air
minum dengan
racun pelemas tulang, kamu kah pengkhianat
itu?"
Agra tertawa sinis. "Huh siapa lagi
kalau bukan aku. Tak
ada orang yang bisa menerobos Lemah Tulis,
yang paling
mungkin adalah perbuatan orang dalam Bergawa
memang
pintar, tetapi aku lebih pintar. Hari itu,
saat meracuni gudang
air minum, sungguh aku bahagia. Belasan
tahun aku
memendam dendam berdarah ini, pura-pura
belajar ilmu silat
dari Bergawa, tetapi aku diam-diam melatih
Pitu Sopakara
ilmu warisan leluhurku."
Mata Wulan merah, air mata membasahi
pipinya. Ia
gemetar. Tangannya mencabut keris di
pinggang. Padeksa
dan Geni yang sedang berkutat dalam proses
penyembuhan
ikut mendengar semuanya. Tubuh Padeksa
gemetar menahan
amarah. Geni pun tak sanggup menahan rasa
gemasnya.
Inilah murid pengkhianat yang dicari-cari
selama ini. Tubuh
Padeksa semakin gemetar, bergetar hebat.
Geni mencelos,
gurunya dalam keadaan kritis. Mendengar
kisah
pengkhianatan itu perhatian Padeksa
terpecah. Hal ini bisa
mencelakakan mereka berdua. Geni cepat
mengempos seluruh
tenaga dingin ke tubuh gurunya.
Lembu Agra tertawa. "Padeksa, percuma
tak ada obatnya,
kamu akan mati, aku titip pesan agar di
kubur nanti kau
beritahu Bergawa dan Branjangan apa yang
kuceritakan tadi."
Wulan tak bisa mengendalikan diri lagi. Ia
melesat
menyerang Agra. Keris di tangannya mematuk
semua jalan
darah kematian. Lembu Agra berkelit sambil
berkata sinis.
"Kau bukan tandingku, keris itu cuma
mainan anak-anak.
Lebih baik jadi isteriku, kamu sudah
merasakan
keperkasaanku di tempat tidur, ketika itu
kamu mendesah
berteriak saking nikmatnya, kau sudah lupa
itu? Wulan aku
lebih perkasa dari bocah ingusan itu!"
Wulan merasa malu sekaligus marah dan kalap.
"Lelaki
jahanam ini harus kubunuh," katanya
dalam hati Ia
menyerang gencar, tetapi dengan penuh
perhitungan. Ini
pertarungan hidup atau mati, dan bukan hanya
menyangkut
dirinya namun juga nyawa Wisang Geni dan
Padeksa. Dua
orang itu tak boleh diganggu. Dan semua itu
tergantung pada
dirinya seorang. Seberapa lama ia bisa
bertahan dan mengulur
waktu. Tetapi sampai kapan Geni bisa
menyelesaikan
pekerjaannya menolong Padeksa? Wulan tak mau
berpikir
lebih lanjut, ia tahu peluangnya tipis, awan
kematian sudah
muncul seperti mendung tebal yang menutup
cahaya mentari.
Lembu Agra juga tahu tak ada lagi sesuatu
yang bisa
menghalangi kemenangannya. Ia tak bergegas.
Ia menguasai
keadaan dan waktu. Ia bisa menjatuhkan
hukuman mati
kapan ia mau. Ia menikmati saat-saat
kemenangannya, saat di
mana dia adalah pemegang keputusan hidup dan
mati orang
lain! Ia telah memutuskan Geni dan Padeksa
mati! Wulan
harus hidup!
Wulan bertarung dengan tekad bulat. Ia tahu
kepandaian
lawan lebih unggul. Karenanya ia lebih
mementingkan
bertahan ketimbang menyerang. Yang perlu
baginya adalah
mengulur waktu sampai Geni selesai menolong
Padeksa. Ia
tak peduli seandainya harus bertarung sampai
titik darah
penghabisan, sampai ajal menjemputnya.
Pikiran ini
membuatnya lebih tenang.
Geni melihat perkembangan yang tidak
menguntungkan
pihaknya. Padeksa sudah agak lumayan
tetapikeadaanya
masih kritis. Kesalahan sekecil apa pun,
bisa menyebabkan
gurunya tewas. Ia tak mungkin menghentikan
pengobatan. Ia
juga tahu, Lembu Agra memegang kendali
waktu. Begitu Agra
menyerang, Wulan pasti akan kalah.
"Rupanya kau masih saja menyukai bocah
ingusan itu.
Padahal dewa sudah menetapkan kamu akan
menjadi isteriku.
Mau atau tidak mau, kamu akan kupaksa!
Sekarang kamu
harus menjadi milikku! Awas serangan!"
Hawa pukulannya menebar bau bacin. Serangan
ganas.
Tetapi pada batas-batas tertentu ia menahan
diri agar tidak
melukai Wulan. Hal ini tentu saja sangat
membantu Wulan
meski dalam hati ia sangat marah lantaran
dipandang remeh.
Wulan mengerahkan segenap kemampuan. Ia tak
lagi
memikirkan hidup. Lebih baik mati daripada
tertawan hiduphidup.
Duapuluh jurus berlalu. Wulan mulai terdesak
mundur
ke arah Geni. Jarak dengan Geni semakin
dekat, hanya
terpaut satu kaki. Suatu saat ketika Wulan
mengelak dengan
gerakan menyamping, Lembu Agra menggunakan
peluang
dengan melepas pukulan ke arah Geni. Wulan
terkesiap. Ia tak
bisa menolong karena terpisah oleh jarak.
Secara naluriah ia
menyambit kerisnya ke dada lawan. Lembu Agra
tak peduli,
tetap menyerang Geni, pikirnya sekali pukul
Geni dan Padeksa
modar. Keris itu bergerak lurus mengeluarkan
kesiuran angin
keras. Mendadak saja Lembu Agra menjerit. Ia
melompat
mundur. Matanya melotot menatap Geni. Dahi
dan mulutnya
mengeluarkan darah. Ia bahkan meludahkan dua
giginya yang
patah. Apa yang terjadi?
Tadi pada saat Lembu Agra menyerang. Geni
sebenarnya
sudah pasrah. Lantas matanya sempat melihat
empat butir
batu tergeletak di tanah dekat tangannya. Ia
berlaku nekad.
Tak ada bedanya ia tetap akan mati, kecuali
jika peluang ini
bisa dimanfaatkan. Ia memindahkan seluruh
tenaga ke tangan
kanan yang memeluk Padeksa, tangan kiri yang
tak bertenaga
turun, meraup empat kerikil. Lalu tenaganya
dikembalikan
pada posisi sebelumnya, jeriji tangan kiri
menyentil ke arah
lawan. Semua gerakan dilakukan dengan cepat
dan tepat.
Tenaga Wiwaha memperlihatkan keajaiban.
Lembu Agra tak mengira Geni bisa menyerang.
Dua batu
pertama dengan tepat menghantam dahi dan
mulurnya. Agra
terkejut bagai disambar halilintar. Tetapi
ia hebat, ia bisa
mengelak dua batu susulan begitupun lemparan
keris Wulan.
Untung bagi Agra, sentilan itu tidak sempat
menggunakan
tenaga sepenuhnya, hanya sebagian tenaga
saja. Meskipun
demikian cukup membuat semangat Agra terbang
sesaat. Ia
kalap. "Kubunuh kamu anak
jahanam!"
Saat itu Wulan sudah bergerak menghadang di
depan Geni.
Kali ini Agra menyerang dengan jurus ganas
dan tenaga
penuh, ia cuma ingin melumat mati Geni dan
Padeksa. Mati
dengan sekali pukul. Ia melihat Wulan
menghadang, tetapi ia
tak bisa lagi menarik pukulannya yang
bertenaga besar.
Pukulan itu akan melanda Wulan terlebih
dahulu, baru
menyusul Geni dan Padeksa.
Di saat kritis itu, Geni memegang tumit
Wulan sambil
berbisik, "Wulan mainkan jurus
Mangapeksa.
Wulan sedang bingung. Ia mendengar bisikan
Geni, tetapi
bisikan Mangapeksa (Menanti) didengarnya
sebagai Agniwisa
(bisa api). Dua jurus itu agak mirip
sebutannya. Jurus
Mangapeksa dari Garudamukha adalah jurus
menanti
serangan untuk kemudian mengirim serangan
balik. Sedang
jurus Agniwisa adalah tamparan kemarahan
dari
Garudamukha Prasidha.
Pada saat Wulan memainkan jurus Agniwisa
saat
bersamaan tenaga maha panas Geni sudah
menerobos melalui
tumit kakinya merangsak ke seluruh tubuh dan
bermuara pada
dua tangan yang sedang memukul. Akibatnya
luar biasa.
Lembu Agra mengeluh dan terpukul mundur dua
langkah.
Matanya kunang-kunang, tubuhnya terasa panas
seperti
terbakar matahari terik. Kalau saja dia
tidak cepat melangkah
mundur menyeimbangkan pukulan, bisa-bisa dia
terluka.
Ini gila bagaimana mungkin Wulan mendadak
bisa punya
tenaga sehebat itu. Dari mana datangnya
tenaga Wulan itu?
Dan jurus apa tadi yang digunakan Wulan,
jurus aneh tetapi
sangat ampuh? Dia memang tak pernah mengenal
dan belum
sempat mempelajari Garudamurkha Prasidha
yang handal itu.
Mata Lembu Agra menangkap sebab musababnya.
Tangan
Wisang Geni memegang tumit kaki Wulan.
Rupanya dari situ
Wulan memperoleh tenaga besar itu.
Tetapi ia tetap saja heran, tak mungkin ada
kejadian aneh
begitu. Geni sedang menolong Padeksa dengan
pengerahan
tenaga dalam, tak mungkin bisa membantu
tenaga dalam
lewat tumit kaki Wulan. Karena begitu Geni
mengalihkan
sedikit saja perhatian apalagi tenaga dalamnya
ke tempat lain,
maka Padeksa akan muntah darah. Dan Geni pun
akan
menderita luka dalam yang parah akibat
tenaga dalamnya
yang memukul balik.
Bukan cuma Lembu Agra yang heran, Geni dan
Wulan pun
tak habis heran. Tadi sebenarnya ketika Geni
menyambit
dengan batu, ia berlaku nekad lantaran
keadaan kritis. Pada
pikirnya ia pasti akan mendapat luka dalam
karena
mengalihkan tenaga dengan menyambitkan batu.
Tetapi aneh,
kenyataannya ia sama sekali tidak luka. Itu
sebabnya Geni
kembali berlaku nekad, untung-untungan.
Pikirnya, serangan
Agra sudah pasti akan menelan korban, bukan
cuma Wulan
saja bahkan dia dan Padeksa pun ikut tewas.
Apa salahnya
kalau adu untung, siapa tahu kejadian
seperti tadi terulang
kembali?
Ternyata tak ada tenaga membalik yang
melukai tubuhnya.
Tentu saja Geni heran sekaligus gembira. Ini
penemuan aneh,
suatu bukti hebatnya tenaga Wiwaha yang
diwarisinya dari
pendekar Lalawa. Sekarang ia tahu, tenaga
Wiwaha panas dan
dingin sudah menyatu dalam tubuhnya tetapi
pada saat
tertentu bisa memisahkan satu sama lain.
Tenaga dingin tetap
membantu Padeksa, sementara tenaga panas
membantu
Wulan menghadapi tenaga Lembu Agra
Keajaiban Wiwaha itu telah menolong Geni.
Kesalahan
Wulan mendengar bisikan Geni sehingga
melancarkan jurus
Agniwisa dari ilmu Prasidha juga bagian dari
keberuntungan.
Dua keberuntungan ini tak hanya menolong
Wulan, Geni dan
Padeksa dari bahaya maut tetapi juga memukul
mundur
Lembu Agra
Memang aneh. Tadinya Geni apalagi Wulan, tak
bisa
memainkan jurus Prasidha dengan pengerahan
tenaga penuh
lantaran intisari kalimat Parahwanta
Angentasana Dukharnawa
belum terserap. Tetapi kenapa tadi itu jurus
Agniwisa bisa
dimainkan dengan tenaga penuh, tenaga panas
Wiwahayang
sampai memukul mundur Lembu Agra
Sebabnya tidak lain karena Prasidha pada
prinsipnya adalah
ilmu meminjam tenaga dari luar yang diolah
dengan tambahan
tenaga sendiri menjadi serangan balik. Dan
karena Wulan
yang memainkan jurus sedang tenaganya adalah
tenaga Geni,
maka jurus itu bisa dimainkan sempurna
dengan tenaga
penuh. Sayang sekali Geni tidak mengerti
sebab musabab
keberhasilan jurus tadi, dan ia pun tak
punya waktu
memikirkan keberhasilan dan keajaiban tadi.
Lembu Agra pun
tak mau berpikir mencari tahu sebab musabab
jurus yang
membuat ia terpukul mundur.
Lembu Agra melotot. Ia bisa menebak sebagian
saja. Ia
tahu di belakang Wulan ada tenaga Geni.
Artinya kalau ia
menyerang hebat maka ia akan adu tenaga
batin dengan
Geni. Dalam hal ini Wulan pasti tak akan
terluka. Ia memang
tak mau Wulan sampai luka parah atau tewas.
"Tetapi
kalaupun Wulan sampai terluka ya apa boleh
buat.
Bagaimanapun juga aku harus tuntaskan urusan
ini. Kalau
Geni dan Padeksatak kubunuh sekarang, kelak
mereka akan
menjadi musuh berat. Mumpung sekarang ada
kesempatan."
Berpikir demikian Lembu Agra segera melangsir
serangan
dahsyat Salah satu jurus paling mematikan
dari Pitu
Sopakarayakm Taragnyana (Penenung yang
mendatangkan
penyakit). Jurus ini mengandung sihir ilmu
hitam, membuat
lawan terpesona padahal justru terancam
kematian. Hawa
pukulan Lembu Agra yang berbau bacin telah
menenung
Wulan, membuat perempuan ini terlena. Pada
saat kritis itu
Geni berteriak. "Gunakan
Sanakanilamarta”
Wulan yang sedang tertegun, kaget mendengar
bentakan
Geni. Suara itu menerobos menghantam gendang
telinganya
menggugah sarafnya. Bagai robot Wulan segera
mainkan
Sanakanilamarta (Sebesar angin yang
terkecil) salah satu jurus
dari Garudamukha Prasidha itu. Terdengar
benturan tenaga.
Lembu Agra terhuyung mundur empat langkah.
Ia tak
percaya. Ia memandang Geni dan Wulan
bergantian. Matanya
merah beringas tetapi wajahnya pucat. Dari
mulutnya
menetes darah. Tanpa sepatah kata pun ia
berbalik tubuh dan
kabur.
Geni melepas pegangan pada tumit Wulan,
menarik pulang
tenaganya. Wulan seperti kehilangan tenaga,
jatuh terduduk
lemas. Ia mendelong memandang Geni. Lelaki
ini tersenyum,
kemudian memejamkan mata, memusatkan
perhatian pada
Padeksa.
Kejadian begitu mengejutkan, serba cepat dan
dadakan.
Tarung tadi sangat mencekam telah membuat
Wulan lemas.
Ia lelah, tenaganya terkuras banyak. Batinnya
juga terpukul.
Memang ia tidak mencintai Agra, tetapi
kenyataan kakak
perguruan yang bersamanya belajar ilmu silat
di Lemah Tulis,
ternyata seorang pengkhianat dan pengecut
rendah, sangat
memukul batinnya.
Tadinya ia sulit percaya Lembu Agra adalah penyusup
dari
partai Turangga, yang punya niatan jahat
menghancurkan
Lemah Tulis dan semua orang-orangnya. Tetapi
kenyataan itu
sulit dipungkiri. Lembu Agra adalah
pengkhianat kotor yang
moralnya lebih rendah dari binatang melata.
Wulan sangat
terpukul, karena ia pernah berpikir akan
menerima lamaran
Agra dan menjadi isterinya. Apa jadinya
kalau sampai
kejadian. Apa yang akan diperbuatnya jika di
belakang hari ia
mengetahui suaminya adalah pengkhianat yang
telah
mencelakakan gurunya dan seisi perdikan Lemah
Tulis. Diamdiam
ia bergidik, bulu romanya berdiri, tubuhnya
menggigil.
Membuang pikiran tadi, ia menatap Wisang
Geni. Dilihatnya
lelaki itu sedang memejam mata, tangannya
nempel di dada
Padeksa. Ia takjub mendengar suara nafas
Geni yang teratur,
hilang dan timbul, lembut dan perlahan.
Pertanda tenaga
dalamnya sulit diukur. Setahu Wulan, hanya
mendiang
gurunya saja yang tenaga dalamnya mumpuni
seperti itu.
Wulan menoleh ke Padeksa yang masih berada
di pangkuan
Wisang Geni. Orangtua itu kelihatan membaik.
Matanya
terpejam. Nafasnya teratur meskipun kadang
tersendat.
Wajahnya yang tadinya pucat bagaikan mayat
kini mulai
memerah dan berkeringat
Wulan menghela nafas lega Ia memandang
kekasihnya
dengan mata berkaca-kaca Ia merasa semakin
mencintai lelaki
itu, cintanya makin subur. "Sungguh,
aku tak bisa hidup tanpa
dia," gumamnya dalam hati. Ia
memejamkan mata, semedi,
menghimpun semua tenaganyayang sudah
cerai-berai
disebabkan pertarungan keras dan
pertentangan batin dalam
dirinya
Matahari mulai doyong ke Barat. Wulan sudah
selesai
semedi. Ia bangkit dari duduk, melonjorkan
kaki dan tangan.
Tubuhnya terasa segar. Ia melirik Geni dan
Padeksa Geni tak
lagi memeluk sang guru. Posisinya berubah.
Padeksa sudah
bisa duduk bersila Geni bersila di belakang
gurunya, dua
tangan menempel di punggung gurunya Keduanya
masih
memejam mata
Tidak lama kemudian ketika matahari sudah
hampir
tenggelam dan hari sudah mulai gelap, dua
orang itu
membuka matanya "Guru, bagaimana
keadaanmu sekarang?"
Geni bertanya
"Lumayan, sudah membaik."
"Guru, racun pukulan itu sudah keluar
semuanya Keadaan
sudah tidak berbahaya lagi, tetapi masih
butuh waktu untuk
memulihkan tenagamu. Aku akan membuat ramuan
yang
harus di minum."
Padeksa menghela nafas. Wajahnya tampak
kesal. "Tak
kusangka justru Lembu Agra, murid yang
berkhianat itu. Geni
tadi kamu berteriak memperingatkan aku, dari
mana kau tahu
bahwa dia akan membokong aku?"
Agak tersendat Wisang Geni menceritakan
kejadian ketika
ia secara kebetulan mengintai pertemuan
partai Turangga.
Namun ia tidak menceritakan bagian yang
melibatkan Wulan.
Belum waktunya, pikir Geni.
Melihat paman gurunya sudah sehat, Wulan
menghampiri
memberi sungkem "Terimalah sungkem
keponakan muridmu,
Walang Wulan. Paman, tadinya aku juga sulit
mempercayai
bahwa Lembu Agra adalah pengkhianat busuk
itu."
"Kamu tidak salah, mungkin aku juga
sulit mempercayai
Geni karena tampaknya mustahil. Tidak
mungkin Lembu Agra
berkhianat Tetapi pada akhirnya kebenaran
pun muncul.
Rahasia siapa pengkhianat itu terungkap
lewat pengakuannya
sendiri." Dia menoleh memandang Geni
dengan pandangan
menyelidik. "Tenaga dalammu sangat
tinggi dan aku yakin itu
bukan pengajaran dari Lemah Tulis, dari mana
kau pelajari
itu?"
Suaranya tegas berwibawa. Memang ada
peraturan Lemah
Tulis, bahkan mungkin di semua perguruan
pada masa itu,
seorang murid dilarang belajar ilmu silat
dari orang lain tanpa
seijin gurunya. Geni merunduk. Ia
menceritakan semua
pengalaman sejak luka parah oleh Kalayawana
dan dua
pendekar India, kemudian terdampar di lembah
kera dan
mempelajari tenaga Wiwaha-warisan pendekar
tanpa tanding
Lalawa.
Padeksa mendengar cermat bahkan juga bagian
Geni
menemukan tari Kinanti yang menyempurnakan
Garudamukha
Prasidha jurus pusaka Lemah Tulis.
"Sudah suratan Dewa! Tak
salah firasatku!"
Sepasang kekasih memandang orangtua itu
dengan heran,
tak mengerti Padeksa tertawa. Suaranya
ringan, tidak
bertenaga karena tubuhnya masih lemah.
"Kamu sudah
disuratkan Dewa akan tampil sebagai
penyelamat Lemah Tulis.
Aku yakin sekarang, kamulah Wisang Geni,
murid yang akan
membangun kembali kejayaan perguruan,
mengangkat Lemah
Tulis dari keterpurukan sekian lama ini.
Kalau kau tunaikan
baktimu untuk perguruan dan menuntaskan
semua tugasmu,
aku akan mati puas. Tidak percuma aku
mendidikmu."
Wisang Geni menjatuhkan diri berlutut di
hadapan gurunya,
memegang lutut gurunya. "Guru, aku
tidak berani...."
Kalimat itu tidak selesai karena Padeksa
memotong.
"Berdiri Geni, berdirilah dan terima
tugasmu dengan jantan.
Seorang lelaki sejati, pendekar sejati, tak
akan pernah
menolak tugas seberat apa pun yang diberikan
kepadanya.
Sekarang kamu masih memanggil aku sebagai
guru, tetapi tak
lama lagi kau akan menjadi ketua Lemah
Tulis. Aku hanya
perlu berjumpa dengan dimas Gajah Watu untuk
menjelaskan
persoalan ini. Ia pasti setuju!"
Mendengar nama Gajah Watu disebut
mendatangkan
perasaan berbeda dalam sanubari sepasang
kekasih itu. Wulan
merasa kikuk, bagaimana menghadapi Gajah
Watu yang
pernah melampiaskan nafsu bejat menikmati
tubuhnya. Geni
senang lantaran bisa menceritakan pertemuannya
dengan
paman gurunya itu. Tak lupa ia menceritakan
pengalaman
Gajah Watu yang didengarnya sendiri dari
cerita paman
guruku. Malam hari ketiganya menginap di
rumah salah
seorang penduduk di batas desa. Keadaan
Padeksa membaik.
Lukanya sembuh hanya tinggal tenaganya saja
yang belum
pulih. Geni memperkirakan tiga bulan lagi
baru tenaga sang
guru bisa pulih.
Pertemuan dengan Padeksa dimanfaatkan dua
sejoli itu
untuk bertanya segala sesuatu tentang ilmu
silat terutama
menyangkut Garudamukha Prasidha. Tapi dari
Padeksa tidak
banyak yang bisa diperoleh. Hal ini semakin
membuat Wisang
Geni penasaran. Kenapa Prasidha tak bisa
dimainkan, kenapa
begitu sulit?
"Ilmu kelas atas, sulit dipelajari,
apalagi ilmu pusaka
perguruan kita. Banyak ilmu yang untuk
mempelajarinya harus
menyita seluruh ilmur kita. Itu sebab
mengapa banyak orang
tersesat atau mati saat berlatih lantaran
bernafsu menguasai
ilmu. Padahal tak seharusnya demikian. Ilmu
itu harus
dipelajari dengan tekun, teliti dan penuh
kesabaran," kata
Padeksa
"Guru, jurus Prasidha itu tak bisa
dimainkan dengan tenaga
dalam sepenuhnya. Aku dan Wulan tak pernah
bosan
mencoba tetapi selalu gagal. Mungkin
lantaran belum
memahami makna kalimat Parahwanta
Angentasana
Duk.harnawa maka aku tak bisa memainkan
Prasidha dengan
tenaga penuh."
"Ada lagi yang aneh, tadi ketika
terdesak, aku memegang
tumit Wulan, mengerahkan segenap tenaga
Wiwaha dan
hasilnya bagus, pukulan Prasidha telah
melukai Lembu Agra
Tenagaku bisa keluar sempurna melalui tubuh
Wulan, tetapi
aku tak bisa memainkannya dengan tenagaku
sendiri, ini
sungguh aneh, guru?"
Kemudian Padeksa menyuruh Geni memainkan
Garudamukha Prasidha. Orangtua itu
membayangkan kembali
penuturan Manjangan Puguh yang pernah
melihat jurus
Prasidha ketika Eyang Sepuh Suryajagad
merobohkan
pendekar Lahagawe. Tapi Padeksa bagai
membentur tembok,
makna kalimat Parahwanta A ngentasana
Dukharnawa sebagai
inti pemahaman jurus Garudamukha Prasidha
tetap tak bisa
ditembus. "Guru, apa hebatnya ilmu Pita
Sopakara dan kenapa
hawa pukulannya berbau busuk? Tadi Wulan
bersikap aneh, ia
seperti ditenung ketika diserang Lembu Agra.
Mungkinkah
jurus itu mengandung sihir ilmu hitam?"
"Semua ilmu pada mulanya bersih tetapi
bila jatuh di
tangan orang jahat akan berubah menjadi ilmu
yang
membinasakan. Bila jatuh ke tangan orang
bersih akan
digunakan untuk membela keadilan. Ilmu Pita
Sopakara pada
mulanya diciptakan seorang pendeta asal
India sekitar duar
atus tahun lalu. Aku tidak tahu persis ilmu
itu, tapi konon ada
tujuh tingkatan untuk mencapai kesempurnaan.
Entah
bagaimana ilmu itu jatuh ke tangan seorang
pendekar
kalangan hitam bernama Turangga. Ia sakti
luar biasa, konon
ia sampai di tingkat tujuh. Di tangan
Turangga, ilmu itu
menjadi senjata pembunuh yang mengerikan. Ia
menggabungkan unsur racun dan sihir ke dalam
ilmu Pita
Sopakara yang tadinya begitu lurus dan
bersih."
"Kenapa ia begitu mendendam Lemah
Tulis?"
"Itu permusuhan turun temurun. Dalam
pertarungan
terbuka, satu lawan satu, Turangga babak
belur dihajar Eyang
Harsa, kakek guruku yang menggunakan jurus
Prasidha. Ia
luka parah, sebelum kabur ia bersumpah akan
balas dendam
Tapi
ia mati satu bulan kemudian.
0 komentar:
Posting Komentar