Malam gelap gulita, Prawesti tidak peduli
akan keselamatan
diri, dia hanya menuruti langkah. Dia
berlari sambil menangis.
Berhenti bersandar di pohon, dia berlari
lagi. Hatinya hancur,
malu dan marah. Ia menyesal mengapa sampai
terjerumus
ajakan Ekadasa. "Gayatri itu perempuan
baik, dia tidak marah
dan tidak menaruh dendam padaku. Yang marah,
hanya
ketua, itu pun memang salahku sendiri.
Mengapa aku begitu
bodoh?"
Berlari dan berlari, ia sangat letih. Tubuh
letih dan batin
merana, Prawesti jatuh di tengah hutan. Ia
roboh, pingsan. Ia
sadar ketika embun membasahi wajahnya, suara
burung
berkicau, ayam berkokok.
"Aku tertidur semalaman. Di mana aku
sekarang?" Ia
mencari jalan setapak, setelah menemukan
jalan, ia kemudian
menuju ke arah tenggara. Ia tahu arah
tenggara adalah
tujuan ke air terjun hutan dawuk. "Aku
akan menetap di situ,
di goa, berlatih sampai aku menguasai semua
ilmu silat yang
diajarkan ketua."
Setelah menetapkan keputusannya ia
melanjutkan per
jalanan. Ia tidak terburu-buru. Tak ada
sesuatu yang
mengejar dan tak ada sesuatu yang dia kejar.
Senja hari dia
tiba di desa Sajan, desa kecil. Ia merogoh
saku, masih ada
kepingan uang. Ia numpang di rumah rakyat,
kebetulan
pemiliknya seorang ibu tua dan dua orang
cucu yang masih
belia. Esoknya dia melanjutkan perjalanan.
Suara gemuruh air terjun terdengar merdu di
telinga
Memandang jauh ke sana terbayang Wisang Geni
sedang
berlatih di bawah guyuran air terjun. Dia
membayangkan
dirinya sedang bercinta dengan lelaki itu di
dalam goa di balik
air terjun. Bagi dirinya goa itu penuh
kenangan manis. Tak
tahan lagi, Prawesti berlari menerobos
dinding air, masuk ke
dalam goa.
Goa itu gelap. Ia mengibas rambutnya yang
basah. Tibatiba
matanya melihat sosok tubuh sedang berbaring
di tanah.
Tubuh itu membelakangi dia. Samar-samar
Prawesti
memerhatikan rambut orang itu, putih
mengkilap. "Apakah dia
Wisang Geni?"
Belum sempat berpikir lebih lanjut, Prawesti
dikejutkan
ketika orang itu memanggil namanya,
"Westi, kemari kamu!"
Ia mengenal suara itu, suara panggilan
"Westi", ia tahu
persis itu suara Wisang Geni. Tetapi
pikirannya membantah.
"Aku sudah mulai gila, mustahil dia ada
di sini, dia sekarang
sedang bercinta dengan isterinya di Lemah
Tulis, bagaimana
mungkin dia bisa berada di sini, pasti aku
sudah gila!"
Orang itu memang Wisang Geni. Ia melakukan perjalanan
cepat, pagi hari berangkat tepat senja hari
ia menemukan
Prawesti yang nginap di desa Sajan. Ia bisa
menyusul dan
mendahului, karena tahu persis tujuan
Prawesti juga lantaran
gadis itu melakukan perjalanan lambat. Geni
menguntit dari
jauh. Ia mendahului masuk ke goa. Ia
mengintip dari jauh.
Ketika gadis itu berlari menuju goa, ia
pura-pura tidur.
Dalam keadaan masih bingung, apakah
bermimpi, ataukah
sudah gila, Prawesti melihat orang itu
melejit dan menubruk
ke arahnya. Prawesti terkejut dengan sigap
mengelak sambil
menyerang balik. Namun mana mampu dia
melawan Wisang
Geni. Hanya dengan satu gerak tipu, Geni
sudah mendekap
tubuh Prawesti. Gadis ini memberontak, namun
ketika melihat
orang yang mendekapnya adalah Wisang Geni,
seketika ia
pingsan lantaran kaget. Tubuhnya lemas tidak
bertenaga lagi
dalam pelukan Geni.
Sesaat Geni terkejut. Pelan-pelan ia
meletakkan tubuh
Prawesti di tanah. Ketika meraba denyut
nadinya, ia tahu
Prawesti hanya pingsan karena kaget. Dalam
remang-remang
gelap, Geni memerhatikan Prawesti. Tubuhnya
agak kurus dan
wajah itu seperti menyimpan banyak derita.
Timbul rasa kasihan, Geni tak kuasa menahan
diri, ia
merunduk dan mencium mulut Prawesti. Bibir
itu lembut dan
basah tetapi dingin. Pelan-pelan bibir itu
bergerak, mulut itu
membuka dan terjadilah ciuman yang panjang.
Mata Prawesti
masih terpejam. Dua tangannya melingkar di
punggung Geni.
Mendadak dia berontak. Dua tangannya menolak
tubuh Geni.
"Pergi kamu, Geni, pergi!"
Geni membekap tubuh Prawesti. "Tidak,
aku tak mau
pergi!"
Prawesti menangis. Suaranya tersendat,
"Aku mohon, Geni,
kau pergilah, jangan mempermainkan aku,
pergi kembalilah
kepada isterimu, mereka menantimu."
"Justru mereka yang menyuruhku
mengejarmu," kata Geni
lirih.
Prawesti kembali memberontak. "Dia
menyuruhmu
mengejar aku, buat apa? Aku tak mau
dipermainkan. Geni
kamu pergilah."
0 komentar:
Posting Komentar