Selama hari-hari ia berlatih, kera-kera
datang silih berganti,
membawa berbagai macam jenis buah-buahan
yang selama
ini belum pernah ditemui Geni di dunia luar
lembah. Geni
menghitung hari dengan mencoret-coret
tebing. Jurus satu, ia
selesaikan dalam waktu duapuluh enam hari.
Geni bingung,
"Mengapa guru Lalawa menyebut orang dengan
tenaga dalam
lumayan akan menyelesaikan jurus ini dalam
waktu dua
purnama artinya enampuluh hari, orang awam
bisa dua kali
lipat lebih lama waktunya. Mengapa aku hanya
duapuluh
enam hari, mungkin aku salah berlatih?"
Geni membantah
pikirannya, "Tak mungkin aku salah
berlatih!"
Geni tak tahu sebabnya, pendekar Lalawa pun
tak
menyadari perbedaannya. Lalawa menciptakan
ilmu sekaligus
berlatih, tentu saja perlu waktu lebih lama
dari Geni yang
cuma berlatih saja. Lagipula Geni memang
tergolong cerdas.
Siang itu Geni istirahat menjelang berlatih
jurus dua. Ia
duduk di tepikolam. Seperti biasa menanti
kerakecil mengantar
buah-buahan. Ia memandang ke jalanan setapak
yang biasa
dilalui si kera kecil.
Tampak sahabatnya itu berlari sambil
berteriak girang.
Tiba-tiba mata Geni menangkap benda kuning
berkilat yang
bergerak di tebing yang akan dilewati si
kera kecil. Ular
berbisa! Satu gigitan saja, kera itu bakal
mati Geni meraup
batu seadanya, kerikil kecil itu ia sentil
ke arah ular. Ia lupa
bahwa tenaganya sudah lenyap. Itu hanya
gerak naluriah
ingin menolong sahabatnya yang nyawanya
sedang terancam.
Batu itu melesat, mendesis dan menghantam
kepala ular.
Pecah.
Kera itu berteriak kaget melihat ular itu
masih kelojotan
dekat kakinya. Kera kecil tahu Geni telah menyelamatkan
jiwanya, ia berteriak dan berjingkrak,
mengucap terimakasih.
Geni sangat terkejut melihat hasilnya. Ia
tak pernah
menyangka tenaganya sudah pulih bahkan
mungkin lebih
bertenaga Geni meraup batu yang lebih besar
lalu menyambit
sekuat tenaga. Suara mendesing, batu itu
lenyap dari
pandangan mata
"Hebat, benar-benar keajaiban, tenagaku
sudah pulih." Dia
gembira, demikian juga kera besar dan
kawan-kawannya,
sepertinya mereka sadar tenaga Geni semakin
tangguh. Kera
besar menyerang Geni dengan mendadak, Geni
mengelak dan
menangkis. Dua tangan bentrok! Kera besar
terhuyunghuyung
mundur tiga langkah. Seekor lainnya, kera
yang
kemarin mengalahkan Geni menyerang, Geni
mengibas dan
menolak. Kera itu terhuyung dan jatuh
telentang. Semua kera
berteriak senang, kera besar datang memeluk.
Geni sangat
terharu melihat kegembiraan kera-kera itu.
"Kalian benarbenar
sahabat sejati, kalian bersuka ria dan
bergembira
melihat aku berhasil melatih tenaga batin.
Sungguh aku harus
berterimakasih pada kalian."
Tinggal menetap beberapa hari lagi di lembah
ia
menemukan keajaiban. Latihan itu telah
mengembalikan
tenaga batinnya seperti sediakala. Rasa
nyeri pun tak pernah
lagi menyerang, pertanda racun sudah lenyap
dari tubuhnya.
Ia yakin bila mampu menyelesaikan latihan
ilmu Wiwaha itu
tenaga batinnya akan berlipat ganda. Hal ini
memacunya lebih
giat berlatih.
Jurus dua Kitrang Raja Pati (Pertengkaran
Hebat tentang
Bahaya Maut yang Datang Mengancam)
diselesaikan dalam
waktu sembilanbelas hari. Pendekar Lalawa
memperingatkan
agar hati-hati melatih jurus dua. Inilah
tingkat paling sulit dan
mengandung resiko besar. Jika salah
berlatih, akibatnya fatal,
bisa cacat bahkan lumpuh atau mati.
Pada tingkat dua itu, seperti juga nama
jurus, percampuran
unsur panas dan dingin mulai memasuki
tahapan yang
kadarnya besar. Panas yang merasuk ke tubuh
sangat
membakar. Begitu pun rasa dingin yang masuk,
nyaris
membekukan sel sel darah. Pada akhir
Latihannya, Geni
mampu menguasai dan mengatur dua unsur panas
dan dingin
itu kemudian menyimpannya dalam tubuh. Pada
tahapan ini
tenaga dalam Geni sudah lebih maju ketimbang
sebelum luka
parah oleh pukulan Kalayawana.
Tingkat tiga Ngrupak Jajahaning Mungsuh
(Mempersempit
dan Melemahkan Kekuatan Musuh). Pada tingkat
ini, Geni
berlatih bergantian di kolam dingin, kolam
panas dan di udara
terbuka. Mulainya penyesuaian dua unsur
kolam, panas dan
dingin dengan udara di luar kolam yang
cuacanya berubahubah.
Latihan dilakukan pagi, siang dan malam.
Tingkat ini
sama berbahaya seperti tingkat dua, salah
latihan bisa tewas
kepanasan atau kedinginan. Namun demikian
Wisang Geni
mampu menyelesaikan dalam waktu enambelas
hari.
Tingkat empat Pethuk Ati Golong Pikir
(Bersatunya Hati,
pikiran, tekad dengan perbuatan). Pada
tingkat akhir ini, dua
unsur panas dan dingin yang saling
berlawanan itu sudah
menyatu dengan pikiran dan tenaga batin.
Sewaktu pikiran
ingin mengeluarkan tenaga dingin, saat itu
juga tenaga dingin
muncul dan menyebar ke seluruh bagian tubuh.
Begitu juga
dengan tenaga panas. Tingkat ini paling
sulit, Geni bahkan
harus sangat berhati-hati agar tidak salah
penerapan. Karena
mengatur pikiran yang terkadang mencuat
secara spontan dan
terkadang bisa buntu, perlu konsentrasi
mutlak. Setelah
menyelesaikan tingkat ini, begitu Geni
berpikir akan
menggunakan tenaga dingin pada saat berikut
tenaga dingin
sudah siap untuk digunakan. Tingkat ini
diselesaikan Geni
dalam tempo tigapuluh hari. Selesainya
tingkat empat ini,
selesai sudah Geni berlatih ilmu Wiwaha.
Geni berhasil
mewarisi ilmu Wiwaha itu seluruhnya dalam
waktu
sembilanpuluh hari.
Begitu mengakhiri latihan tingkat empat, ia
segera
mencoba ilmunya. Ia menyelam ke dasar kolam
yang paling
dingin. Pojokan itu masih membuatnya merasa
dingin nyaris
membeku. Ia berpikir akan menggunakan tenaga
panas
melawan dan mengusir rasa dingin. Pada saat
itu juga ketika
tubuhnya bergerak, ia tak lagi merasa
dingin. Ia takjub akan
reaksi tenaga batinnya. Tenaga panas itu
muncul cepat sekali,
hanya butuh sesaat saja. Luar biasa!
Wisang Geni sangat gembira. Seharian ia
berlatih silat.
Mengulang semua jurus yang pernah
dipelajarinya Bang Bang
Alum Alum, Garudamukha Prasidha, bahkan juga
Waringin
Sungsang. Dia memainkan semua jurus itu
dengan
menggunakan tenaga Wiwaha. Dia merasakan
banyak
kemajuan. Ia merasa lebih leluasa bergerak.
Gerakannya lebih
pesat, lebih ringan dan lebih pegas. Pukulan
lebih berbobot.
Gerak jari tangan mematuk dari jurus Manusuk dulu hanya bis
membuat sebuah batu retak. Kini hancur jadi
bubuk. "Sama
imbang dibanding tenaga guru Padeksa. Ah,
betapa aku
hutang budi kepadamu, terimakasih guru
Lalawa. Engkau
bukan saja telah menolong nyawaku, kau juga
mewariskan
ilmu Wiwaha yang dahsyat itu kepadaku."
Siang hari itu Wisang Geni merasa seakan
bangkit dari
kematian. Ia merasa gembira. Tapi pada saat
yang sama ia
merasa begitu duka. Kini ilmunya sudah maju
pesat Jauh lebih
pesat dari tingkat yang dicapainya sebelum
tersesat ke
lembah. Ia tahu dengan tingkat ilmu yang
dicapainya
sekarang ini tidak sulit baginya untuk
keluar dari lembah ini
menuju keramaian dunia. Tapi hatinya berduka
karena harus
berpisah dengan kera-kera sahabatnya.
Tetapi biar bagaimanapun juga, hari ini dia
harus pergi
meninggalkan lembah kera. Dia telah
menghitung hari. Dia
sudah menghabiskan waktu seratus hari di
lembah. Dia
merasa tidak pasti, tetapi perkiraannya, dia
masih punya
waktu tigapuluh hari lagi untuk menghadiri
pertemuan para
pendekar di puncak Mahameru.
Dia akan menghadiri pertemuan Mahameru.
Tidak hanya
itu, masih banyak tugas lain yang harus ia
selesaikan. Tugas
sebagai murid untuk membangun kembali
perguruan Lemah
Tulis. Tugas membalas kematian dua orangtua
dan gurugurunya.
Tugas sebagai pendekar pembela keadilan dan
kebenaran.
"Memang setiap pertemuan, adalah awal
perpisahan. Tapi
setiap perpisahan belum tentu awal suatu
pertemuan. Belum
tentu aku bisa sampai ke lembah ini lagi.
Belum tentu aku bisa
bertemu dengan kalian lagi." Dia bicara
dengan nada sendu,
kera-kera itu seperti mengerti maksudnya.
Mereka berteriakteriak.
Kera besar memegang tangan Geni, membawanya
ke dekat
kolam Dia menunjuk ke atas ke tebing yang
tinggi, sambil
berteriak dan merundukkan kepalanya. Dia
seperti memberi
hormat ke arah tebing itu. Geni mengerti ada
sesuatu di
tebing yang ditunjuk kera besar. Dia
memerhatikan seksama.
Ada sebuah lubang di tebing itu. "Mungkinkah
itu goa? Tetapi
letaknya sangat tinggi, permukaan tebing
juga rata dan licin.
Sulit untuk didaki."
Geni menggeleng kepala. Tak mungkin aku bisa
mendaki,
tak ada tempat berpijak dan berpegangan di
tebing yang
begitu rata dan licin. Kera besar berteriak
dan berguling-guling
di tanah. Dia kecewa melihat sikap Geni yang
menolak
mendaki tebing itu.
"Baiklah sahabat, aku akan mendaki dan
memasuki goa itu,
pasti ada sesuatu di dalamnya Mungkinkah ada
ilmu silat lagi
di situ?"
Geni tertawa, menertawakan dirinya yang
begitu tamak.
"Kamu sudah memperoleh jurus Wiwaha
masih juga belum
puas dan menghendaki tambahan lain. Tamak
dan serakah."
Kera besar dan seluruh pasukannya berteriak
memberi
semangat pada Geni yang beberapa kali gagal
dalam
usahanya mendaki tebing itu. Tiba-tiba Geni
menemukan jalan
keluar. "Menuruni tebing lebih mudah
dari mendaki,"
gumamnya. Dia melihat keliling, kemudian
berlari dan
mendaki di bagian lain. Dari tempat yang
tinggi di atas goa
itu, Geni turun dengan mudah dan menjejak
kakinya di mulut
goa.
Goa itu sebenarnya bukan goa, hanya sebuah
celah di
tebing yang cukup untuk tubuh satu orang.
Geni terkesiap
ketika melihat tumpukan tulang dan tengkorak
manusia.
Diterangi sinar matahari, dia melihat ada
tulisan di dinding
dekat tumpukan tulang belulang.
Kamu pasti telah
menguasai ilmu Wiwaha. Aku merestui
kamu sebagai murid
tunggal. Tugas pertamamu, membawa
tulang-belulang tubuhku
ini dan kuburkan di tempat kamu
menemukan ilmuku.
Aku pendekar Lalawa,
menemukan dan menciptakan jurus
Wiwaha di lembah kera
ini. Aku mengembara dan tarung
selama puluhan tahun, tak
seorang pendekar pun bisa
bertahan lebih dari dua
puluh jurus. Aku tak punya tandingan.
Aku kesepian, tak punya
lawan tak punya kawan.
Semua orang takut padaku,
juga takut menjadi kawanku.
Kawanku hanya
wanita-wanita yang kutiduri. Tetapi tak ada
yang bertahan lama di
sampingku. Aku kembali ke lembah ini,
mewariskan Wiwaha entah
siapa yang akan mewarisinya.
Tugasmu yang kedua
muridku, jadilah pendekar budiman
yang menolong orang yang
tertindas.
Pesanku padamu muridku,
hati-hatilah dengan wanita, ilmu
Wiwaha akan membuat
kejantanan dan nafsu birahimu
berlipat ganda. Tapi tak
perlu takut, itu hanya reaksi dari ilmu.
Sekarang dalam usia lebih
dari delapanpuluh tahun, aku
bertapa di sini sampai aku
moksa.
Selamat tinggal muridku.
Aku, gurilmu, Lalawa.
Geni termenung membaca tulisan itu yang
diukir atas
dinding tebing yang keras. "Kasihan
nasib guruku." Tanpa
ragu, Geni berlutut sungkem "Guru
Lalawa, terimakasih atas
ilmu Wiwaha, aku pasti akan menjalankan
tugas dan
pesanmu. Maafkan aku, menyentuh tulang
tubuhmu yang
sangat kilmuliakan."
Geni mencari-cari sesuatu untuk membungkus
tulangbelulang
gurunya. Tak ada. Dia melihat bajunya, sudah
compang-camping, tak mungkin bisa dijadikan
pembungkus.
Tiba-tiba dia melihat sesuatu di pojok.
Ternyata selembar kulit
yang digulung. Kulit itu tidak lapuk dimakan
usia ratusan
tahun. Geni tahu, ada ramuan khusus yang
membuat kulit
bisa tahan sampai ratusan tahun. Hati-hati
dan penuh hormat,
Geni membungkus tulang gurunya kemudian
menuruni tebing.
Dibantu kera sahabatnya, dia menggali lagi
tempat dia
menemukan batu bertuliskan ilmu itu. Dia
mengubur tulangbelulang
gurunya kemudian memberi hormat dengan
sungkem
Kera-kera ikut memberi hormat dengan cara
berdiam diri dan
tidak berceloteh.
Kera besar memeluknya kemudian memberi
tanda,
menyuruh Geni pergi. Kera itu menunjuk ke
atas tebing yang
tak terlihat ujungnya. Tampak hanya langit
putih bersih.
Mendaki tebing itu ibarat mendaki menuju
langit. Geni berlari
memanjat tebing. Tiba di suatu tempat di
celah tebing, dia
menoleh ke bawah dan melambai tangannya. Dia
bersiul
keras, seperti siulan kera. Siulannya
bergema dan memantul di
tebing-tebing.
---ooo0dw0ooo---
Pagi hari di lereng bagian selatan gunung
Lejar, udara
masih saja sejuk kendati matahari sudah agak
tinggi. Sisa-sisa
tetesan embun masih membasahi dedaunan yang
rimbun.
Suasana hutan sunyi dan lengang. Wisang Geni
menghirup
udara pagi sepuasnya. Ia baru saja keluar
dari lembah kera.
Tebing terjal itu bukan lagi penghalang
sulit baginya. Mudah
saja ia memanjat menggunakan ilmu Waringin
Sungsang&xn.
Garudamukha dengan tenaga batin Wiwaha.
Seperti baru
keluar dari kurungan, ia melangkah santai
sambil memandang
alam sekeliling.
Dia tiba di tempat yang banyak pohon rindang.
Di tempat
ini, empat bulan lalu dia menemukan tari
Kinanti Prasidhayang
kemudian berhasil digabungnya menjadi jurus
Garudamukha
Prasidha. Suara ki dalang seperti mengiang
kembali di telinga.
Matanya seperti melihat kembali gerak
gemulai gadis yang
menarikan tari Kinanti. Ia menghela napas,
merasa berduka
dan menyesal. "Seharusnya aku menemui
mereka, si penari
dan si dalang, paling tidak aku harus
mengucap terimakasih
dan memperkenalkan diri."
Ia juga menyesal, tidak bertanya lebih
lanjut tentang
makna tarian. Terutama kalimat Parahwanta
Angentasana
Dukharnawa (Aku hendaknya menjadi perahilmu
menyeberangi laut kesusahan). Dia berkata
dalam hati, "Tapi
kalau memang jodoh, suatu waktu pasti akan
jumpa lagi. Dan
saat itu aku pasti akan menanyakan makna kalimat
tersebut."
Tak disangka bahwa arti dan makna kalimat
itu begitu
penting dan sangat menentukan penguasaan
ilmu tingkat
tinggi dari perdikan Lemah Tulis itu. Setiap
melatih
Garudamukha Prasidha Geni selalu terbentur
pada
penggunaan tenaga. Ada sesuatu yang membuat
penyaluran
tenaga seperti terhambat, tenaga tak bisa
dipusatkan pada
saat hendak digunakan, tenaga selalu
menyebar saat hendak
digunakan.
Anehnya, kalau dia menggunakan jurus
Garudamukha
tingkat awal atau Bang Bang Alum Alum tenaga
itu bisa
leluasa digunakan. Tapi begitu ia menggelar
jurus
Garudamukha Prasidha maka tenaganya seperti
tersumbat. Ia
tahu sebabnya. Tidak lain lantaran makna dan
arti kalimat itu
belum bisa terpecahkan. Hampir tiap saat ia
memikirkan, tapi
tetap saja menemui jalan buntu. Dalam
keadaan termenung
itu sayup-sayup ia mendengar suara ribut.
Seperti bentakan
dan teriakan banyak orang. Hanya sekejap
saja suara makin
dekat. Pertanda orang-orang itu bergerak
pesat
Geni bergerak cepat. Ia melompat ke pohon
terdekat.
Bersembunyi di kerimbunan daun. Suara
bentakan orang dan
benturan senjata tajam memecah kesunyian
hutan di sekitar
persembunyian Geni. Tampak beberapa orang
bertarung
dengan sengit. Memerhatikan lebih seksama,
ia melihat ada
kesamaan di antara sejumlah orang. Sepertinya
mereka terdiri
dari satu rombongan. Pakaian sama,
seragamkeraton. Tapi
yang ini berbeda dengan seragam Tumapel yang
pernah
ditemuinya bersama Sekar beberapa waktu
lalu.
Mereka yang berseragam, semuanya berjumlah
sembilan
orang. Tujuh lelaki, dua perempuan.
Rombonganyangmenjadi
lawan, terdiri empat orang. Seorang kakek
dan tiga orang
muda. Di antaranya seorang gadis kurus
dengan wajah putih
cantik. Geni teringat seseorang.
"Bukankah dia gadis kurus
cantik dan misterius yang juga menguasai
jurus
Garudamukha?" Melihat ini, simpati Geni
lantas memihak pada
kakek dan tiga orang muda. Empat orang ini
terdesak hebat.
Kakek bertempur hebat menghadapi tiga
pengeroyok. Mata
Geni terbelakak, heran menyaksikan kakek
memainkan
Garudamukha dengan hebatnya. "Siapa kakek
ini, ilmunya
tidak di bawah guru Padeksa? Ia pasti orang
Lemah Tulis, tapi
siapa?"
Meski tiga pengeroyok berilmu tinggi tapi
tampaknya kakek
itu masih bisa menguasai keadaan. Geraknya
masih leluasa,
malah berkali-kali ia menoleh ke tiga anak
muda itu. "Larilari...
biar kutahan mereka di sini!"
Teriakannya sia-sia. Tiga
anak muda itu agaknya tak mau lari. Para
punggawa
mengepung rapat, juga tak mau mereka lolos.
"Mau lari ke
mana? Kalian jangan mimpi bisa lolos!"
Pemuda berpakaian putih tertawa sinis.
"Kalian tak punya
guna semua, tak punya malu, apa pikirmu bisa
menaklukkan
kami?" Ia dikeroyok dua orang, lelaki
separuh baya dan
perempuan cantik usia empatpuluhan.
Kepandaian mereka
lumayan.
Geni bisa membedakan kepandaian mereka yang
bertarung. Kakek itu yang paling tinggi
ilmunya. Namun ia
tidak punya kesempatan membantu kawannya
karena dilibat
tiga lawannya. Tiga punggawa itu kelihatan
paling jago di
antara rekan-rekannya. Kalau si kakek
terlibat pertarungan
ketat yang memerlukan konsentrasi, tidak
demikian dengan
pemuda baju putih. Pemuda ini bertarung
sambil
memerhatikan dua temannya. Terkadang ia
menerobos
keroyokan meninggalkan kedua lawannya
membantu dua
temannya yang terdesak. Meski tak sehandal
kakek itu, namun
ilmu pemuda baju putih cukup tinggi dan
jurus-jurusnya aneh.
Tapi sesungguhnya yang hebat adalah
keampuhan kerisnya
yang bagaikan ular naga menyambar ke sana
kemari.
Semua punggawa itu jeri terhadap keris di
tangan si
pemuda. Keris itu berkilauan diterpa sinar
mentari. Cahayanya
hijau kemerahan, terkadang birukekuningan.
Mereka tak
berani mengadu senjata. Geni teringat,
itulah keris yang
pernah menjadi senjata si gadis kurus cantik
yang akhirnya
membenam di dada pendekar Tambapreto.
Gadis kurus seperti juga pemuda berbaju
hitam terdesak
hebat oleh empat lawan. Tapi setiap si gadis
kurus atau
pemuda baju hitam terancam, selalu si pemuda
baju putih
sempat membantu. Namun tampaknya keadaan
takkan
bertahan lama. Pemuda baju hitam itu sudah
terluka di
beberapa tempat Gadis itu tampak mulai
letih.
Keadaan kritis. Geni beraksi cepat, melayang
turun
menggunakan Waringin Sungsang sambil
berteriak. Tanpa
sadar Geni meniru teriakan kera, sesuatu
yang dipelajarinya di
lembah kera. Teriakan dengan tenaga batin
luar biasa,
menggema hebat di penjuru hutan. Semua orang
yang
bertempur, terkejut tak terkecuali kakek
yang berilmu tinggi
itu
Belum lenyap gema teriakan itu, serangan
Geni sudah
menyergap salah seorang lawan yang
mengeroyok si gadis.
Geni memang sengaja memilih lawan paling
lemah, si
punggawa wanita. "Lebih cepat seorang
lawan roboh lebih
bagus, itu akan merontokkan nyali dan
semangat tarung yang
lainnya," pikirnya.
Ia melancarkan jurus Gora Andaka (Banteng
Besar) dari
Bang Bang Alum Alum mengarah kepala punggawa
wanita itu.
Serangan yang dibungkus tenaga dingin Wiwaha
melanda
bagai serbuan hamuk banteng. Punggawa wanita
itu terkejut.
Dari angin pukulan saja, ia tahu, ia bukan
tandingan Geni.
Tiga kawannya juga terkejut. Punggawa wanita
mengelak
dengan merunduk sambil memutar tubuh
menyabetkan
pedang.
Salah seorang rekannya ketika melihat wanita
itu terancam
serangan ganas, segera meninggalkan pemuda
baju hitam. Ia
melesat ke arah Geni, mencegat gerakan Geni
dengan tebasan
golok. Tidak percuma Geni berlatih di lembah
kera. Tanpa
menghentikan pergerakan majunya, ia
melontarkan pukulan
jarak jauh ke perut si punggawa wanita.
Tangan lainnya
memukul ke arah ketiak lawan prianya.
Geni seperti tak menghiraukan datangnya
golok. Ia yakin
pukulan jarak jauhnya akan melukai pundak si
lelaki Benar!
"Buukkk!" lengan lelaki itu
keseleo kena angin pukulan Geni.
Golok itu jatuh tepat di depan wajah Geni.
Hanya sekali
gebrak, dua lawan terluka Lelaki itu cidera
lengan. Wanita itu
terhuyung-huyung, pedangnya terlempar.
Wajahnya pucat,
tubuhnya menggigil kedinginan, sesaat kemudian
ia muntah
darah!
Geni tak berhenti. Ia menerobos kepungan
tiga lelaki yang
mengeroyok kakek tua. Kak ini ia menggelar
jurus Nanawidha
(Beraneka Warna). Dua tangan mengirim
pukulan berantai ke
dua lawan sekaligus. Dia menggunakan tenaga
panas. Tiga
lawan itu terkejut bukan main. Meski tak
menyaksikan
langsung, namun mengetahui dua rekannya
sudah menjadi
korban Geni, mau tak mau timbul rasa keder
dalam hati.
Kalau lawan terkejut melihat kehebatannya,
Geni pun tak
pernah menyangka bisa kejadian begitu. Di
luar dugaan,
kepandaiannya kini sudah maju pesat terutama
kekuatan
tenaga dalamnya. Pukulan Geni belum tiba,
tapi hawa panas
sudah menerjang. Dua lelaki itu tak bisa
menghindar. Mau tak
mau, dua punggawa itu menarik serangan
mereka yang
mengarah ke kakek tua. Dua lelaki itu
beralih menghadapi
serangan Geni yang seperti luapan air bah.
Yang seorang
mengirim beberapa tusukan berantai dengan
sepasang
tombak pendek. Rekannya yang bertangan
kosong memukul
dengan dua tangan sambil mengerahkan segenap
tenaga
dalam. Seorang lagi, yang paling tinggi
ilmunya, tetap
melanjutkan pertarungan dengan kakek tua.
Tusukan berantai sepasang tombak
mendatangkan
kesiuran angin tajam, pertanda tenaga lelaki
itu cukup besar.
Geni tak berani ambil resiko, ia mengelak
dengan bergerak ke
sisi kanan. Saat itu pukulan tenaga dalam
lawan lainnya sudah
menghadang di depan mata. Tak ada ruang
gerak lagi, Geni
memukul dengan dua tangan, mendorong ke
depan.
Terdengar suara orang mengeluh. Lawannya itu
terdorong
mundur sampai tiga langkah. Gerakan Geni
masih berlanjut,
menyongsong serangan tombak lawan. Ia
melancarkan
pukulan melingkar. Lawan mengelak ke samping
sambil
menikam dengan dua tombak. Geni membatalkan
serangan.
Ia merundukkan kepala. Tubuhnya membungkuk
ke depan
seperti sengaja menabrak tusukan tombak.
Lawannya
terkejut, tapi tentu saja gembira.
"Cari mati kau!"
Pada saat tombak sudah di depan hidung,
mendadak
kepala dan tubuh Geni seperti membal
melenting ke belakang.
Itu memang gerak tipu yang menjadi ciri
jurus Nanawidha dari
Bang Bang A.lum Alum. Tubuhnya melenting ke
belakang
sekaligus kaki kanan naik menerpa
pergelangan tangan lawan.
Kena! Tombak terpelanting ke udara!
Pada saat itu lelaki yang satu dengan curang
menghantam
punggung Geni. Mabuk kemenangan, itu yang
membuat Geni
lengah. Ia baru sadar ketika pukulan itu
hanya berjarak
sejengkal dari punggungnya. Terlambat untuk
mengelak! Geni
cuma bisa menahan napas untuk mengurangi
luka dalam.
Buk! Pukulan dua tangan yang digerakkan
tenaga dalam
tingkat tinggi itu menghantam punggungnya,
Geni terlempar
sampai terduduk di tanah. Sesaat ia merasa
mual. Ia merasa
sakit seperti ribuan semut menerobos
pori-pori di
punggungnya. Aneh, sesaat kemudian, sakit
itu lenyap begitu
saja. Tubuhnya kembali segar, aliran darah
berjalan lancar.
Geni merasa heran. Belum sempat berpikir, ia
melihat lawan
datang memburu dengan mengirim pukulan
mematikan.
Geni bangkit dari duduk. Dua tangannya
terentang luwes,
itulah jurus Makanjaran (Menari dengan
Lengan Terkembang)
dari Garudamukha.
Lawan merasa heran. Diam-diam ia mengagumi
tenaga
dalam Geni yang meskipun sudah terkena
pukulan telak jurus
Kelabang tapi masih sanggup berdiri. Bahkan
sanggup
melanjutkan tarung. Tapi punggawa istana itu
tak peduli.
"Sekali lagi kena Aji Kelabang, kau
pasti modar” serunya.
Tak pernah terpikir oleh punggawa itu ada
ilmu sehebat
Wiwaha. Dia tak tahu, bahwa saat Geni
mengetahui pukulan
akan menimpa punggung saat itu juga tenaga
Wiwaha
melindungi bagian tubuh di sekitar punggung.
Itu sebab Geni
hanya terlempar. Dan pukulan Kelabang hanya
menerobos
sesaat, dan saat berikut sudah terusir oleh
tenaga Wiwaha
Lelaki itu mengerahkan segenap tenaga dalam.
Nafsu
membunuh memancar dari sepasang matanya.
Geni bersikap
biasa. Tak terhindarkan lagi terjadi
benturan tenaga Geni
mengibas dua tangan. Begitu pukulan lawan
membentur dua
tangannya, Geni memutar dan mendorong dalam
jurus
Gongkrodha (Kemarahan Luar Biasa) dan
Garudamukha.
Suara tulang patah diiringi suara orang
mengeluh
kesakitan. Lelaki itu terhuyung-huyung
mundur, dua
tangannya tergantung lemas tak bertenaga. Ia
berkata
dengan wajah pucat. "Ilmu apa itu...
siapa kamu...?"
Tanpa ada yang memberi komando, mendadak
perkelahian
berhenti. Semua orang seperti sepakat.
Mereka bertanyatanya
siapa pengemis gembel yang dengan beberapa
pukulan
sudah menjatuhkan empat punggawa keraton.
Geni tersenyum ke gadis kurus. "Kau
baik-baik saja nona?"
Gadis kurus memandang heran. "Siapa
kau, apakah kita
pernah berjumpa?"
"Ah kau tentu lupa, kita pernah bertemu
di....," mendadak
saja Wisang Geni teringat akan dirinya.
Wajahnya dipenuhi
kumis dan brewok yang lebat bahkan sampai
menutupi
mulutnya. Rambut panjang tak terurus.
Pakaian dekil dan
compang-camping. Ia tak melanjutkan
kata-katanya.
Penampilannya yang macam pengemis, tentu
saja tak dikenal
orang. Wulan pun tak mungkin bisa
mengenalnya lagi. Ia batal
melanjutkan kata-katanya. "Tentu saja
kau tidak mengenalku!
Ha... ha...."
Tertawanya tiba-tiba terhenti. Dia melihat
semua orang
memandangnya aneh. Geni menatap semua orang
di situ.
"Apakah kalian merasa perlu bertanya
siapa aku?"
Lelaki separuh baya yang tadi bertarung
sengit dengan
kakek tua itu maju. Rupanya dialah pemimpin
rombongan.
"Sampean telah ikut campur dan
menggagalkan usaha dan
perintah Paduka Baginda Raja Kediri. Itu
sebabnya kami ingin
tahu siapa nama sampean, pendekar yang
berilmu tinggi yang
berani menentang perintah Baginda
Raja?"
"Aku tak ada urusan dengan kerajaan.
Aku cuma tidak
senang melihat kalian yang mengandalkan
jumlah orang lebih
banyak mengeroyok empat orang, itu tidak adil
dan aku tidak
suka!"
"'Sampean harus mengerti bahwa sekarang
ini sampean
sudah tergolong musuh kerajaan. Katakan nama
sampean,
hutang ini akan kami bayar kembali!"
"Namaku tak perlu kalian tahu. Dan
kalau mau bayar
hutang ini, boleh saja, kapan dan di mana
saja kita bertemu!"
"Katakan namamu, atau mungkin kau takut
pembalasan
kami? Seorang pendekar berani berbuat,
berani bertanggung
jawab."
"Persetan dengan pendekar atau bukan
pendekar. Sekali
aku tidak mau menyebut nama, selamanya tak
akan kuberi
tahu!"
Lelaki itu menoleh ke rekan-rekannya, tampak
ia merasa
geram Tetapi ia tahu persis kekuatan
pihaknya melemah dan
kini berada di bawah angin. Empat rekannya
sudah terluka,
apalagi di pihak sana ada pengemis brewok
yang kosen dan
misterius.
Saat itu mata Wisang Geni bentrok dengan
sepasang mata
punggawa wanita yang tadi kena pukulan
tenaga dingin. Mata
itu memancarkan sinar memelas. Tubuh wanita
itu menggigil,
rupanya rasa dingin belum juga hilang.
Tampaknya luka
parah. Tubuhnya dipapah rekannya yang wanita.
Geni teringat akan keadaannya ketika terluka
oleh pukulan
Kalayawana. Ia terserang rasa dingin yang
amat sangat
hampir setiap hari. Apakah wanita ini akan
menderita seperti
apa yang dirasakannya waktu itu?
Tiba-tiba Geni melesat ke wanita itu.
Punggawa wanita
yang memapah rekannya terkejut. "Hei
apa yang kau
lakukan?" Rekan-rekannya yang lain
memburu. Tapi mana
bisa mendahului gerakan Geni yang
menggunakan Antarlina
(Menghilang) jurus paling handal dari
Waringin Sungsang.
Geni seperti hilang dari pandangan.
Punggawa wanita itu merasa angin menerpa
wajahnya. Ia
tahu Geni berada di depannya. Ia melepas
tubuh rekannya,
mencabut pedang, memukul dengan tangan kiri
diikuti
tebasan pedang ke arah bayangan Geni.
Sambil tetap maju, Geni merunduk dari
tebasan pedang,
mengelak dari pukulan lurus lawan. Ia
melonjorkan tangan
kanan mendorong wanita itu pergi. Tangan
kiriinya
menjambret lengan wanita yang terluka. Saat
itu tiga
punggawa lelaki sudah sampai di situ. Tapi
mereka ragu-ragu
menyerang melihat tangan Geni menggenggam
lengan
rekannya yang terluka. "Kalian diam di
tempat, sekali kepruk
temanmu ini akan mati!"
Semua orang terdiam. Punggawa yang menjadi
pimpinan
berteriak. "Itu bukan tindakan
pendekar!"
"Memang aku bukan pendekar,"
berkata demikian, tangan
Geni cepat menotok dua belas titik di
punggung dan pundak
wanita itu. Sebat dan cepat. Telapak
tangannya menempel di
punggung.
Punggawa wanita yang terluka itu merasa hawa
panas
menerobos punggung, berputar-putar di
seluruh tubuhnya.
Sesaat kemudian ia muntahkan darah beku.
Saat itu juga Geni
mendorongnya ke arah rekan-rekannya. Secara
naluriah
wanita itu melakukan salto, jatuh berdiri di
samping teman
wanitanya. Ia tak lagi menggigil. Sudah
sembuh!
Semua orang diam, terpaku di tempat. Satu
lagi gebrakan
aneh lelaki brewok itu. Menyerang, merebut
dan
menyembuhkan orang yang tadinya adalah
lawan.
Gerakan Geni juga menakjubkan semua orang.
Itulah ilmu
ringan tubuh tingkat tinggi dan langka.
Gerakan yang sulit
diikuti mata. Caranya mengobati luka
punggawa wanita juga
menunjukkan penguasaan ilmu pengobatan serta
tenaga batin
yang tinggi.
Punggawa wanita memberi hormat.
"Terimakasih kamu
sudah menolong, tetapi..." Ia tak bisa
melanjutkan katakatanya,
wajahnya merah menahan malu.
Pemimpin rombongan punggawa segera ke depan.
"Pertolonganmu itu tidak bisa menghapus
dosa-dosamu
kepada kerajaan Kediri. Kami, dari regu
Sinelir, tetap akan
mencarimu untuk menagih hutang ini, kamu
sudah dianggap
pemberontak." Berkata demikian, lelaki
itu mengibaskan
tangan Sesaat kemudian mereka menghilang
dari pandangan.
Geni tak peduli. Ia masih meresapi
kegembiraan. Tidak
disangka hanya dalam waktu sekitar seratus
hari, ia sudah
salin rupa. Dari seorang yang terluka parah
dan nyaris mati,
menjadi seorang yang memiliki kepandaian
silat yang begitu
tinggi. Mendadak saja ia merasa kesiuran
angin disertai
seruan, "Awas serangan!"
Ada orang menyerangnya. Geni memutar tubuh
setengah
putaran dengan jurus Paghasa (Pergeseran
Kaki dalam Jarak
Dekat) dari Waringin Sungsang. Mudah saja ia
lolos dari
serangan. Ternyata kakek tua itu yang
menyerang. Geni
heran, apa kesalahan yang dilakukan nya?
"Tunggu dulu, hei
kenapa kamu menyerangku?"
Kakek itu tak menjawab. Malah serangan
semakin gencar.
Sepak terjangnya mendatangkan angin kencang
dan hawa
panas luar biasa. Anehnya, semua jurus yang
dimainkan si
kakek, tidak asing bagi Geni. Itulah dua
belas jurus luar biasa
dari Garudamukha.
Berturut-turut kakek itu menempurnya dengan
tiga jurus
yakni Warayangungas, Sikepdhebak,
Dekungpulir. Geni
terdesak mundur. Ada sebabnya mengapa Geni
terdesak. Dari
semula Geni sudah tahu kakek itu menguasai
jurus
Garudamukha. Karenanya ia tak berani
sembarangan
menggunakan tenaga Wiwaha. Siapa tahu, kakek
ini salah
seorang ketua Lemah Tulis. Ia tak berani
kurang ajar. Tapi
lawan yang dihadapi Geni kali ini bukan
sembarang orang. Itu
sebab begitu konsentrasinya terpecah, kontan
pukulan kakek
itu menampar bahunya.
Geni terpental mundur. Rasa panas membakar
bahunya. Ia
mengerahkan tenaga dalam dan sekejap
kemudian panas itu
lenyap. Belum sempat ia menentukan sikap,
serangan kakek
itu datang lagi. Terdengar bentakan orang
tua itu. "Keluarkan
ilmu simpananmu!"
Kakek im kembali menyerang dengan
jurus-jurus
Garudamukha. Dua jurus sekaligus
Shuhdrawadan
Gongkrodha. Semuanya mengarah titik kematian,
ulu hati,
pelipis, kemaluan, jantung, tenggorokan,
pusar dan kepala.
Sepanjang pertarungan Geni hanya menggunakan
Waringin
Sungsang untuk menghindar. Tapi ini saja tak
cukup. Ia
terdesak hebat. Mau tak mau akhirnya ia
membalas dengan
jurus dari Bang Bang Alum Alum.
Pertarungan sengit terjadi. Geni yang
bertarung setengah
hati, makin terdesak. Kembali dua pukulan
menghajar pundak
dan pahanya. Dan kali ini ia tak sempat
untuk berbenah diri.
Pundak dan pahanya terasa panas seperti
terbakar. Terpaksa
untuk menolong diri Geni memainkan
jurus-jurus
Garudamukha. Kali ini pertarungan jadi
imbang. Ke mana
serangan kakek itu tertuju, ke situ Geni
menahannya dengan
jurus yang tepat. Persis seperti latihan
saja.
Geni teringat, dulu ia sering berlatih
tarung dengan guru
Padeksa menggunakan cara ini. Hanya bedanya,
waktu itu
tenaga batinnya tak ungkulan untuk adu
tenaga. Kali ini lain.
Mulanya dalam adu tenaga Geni berlaku
setengah-setengah.
Tapi karena tenaga kakek itu begitu kuat,
Geni akhirnya
menggunakan seluruh tenaga batin.
Pertarungan menjadi
imbang. Keduanya sama kuat. Kakek itu lebih
matag
bertarung dan memainkan Garudamukha, sedang
Geni lebih
menguasai ilmu ringan tubuh dan lebih unggul
tenaga
dalamnya. Tak terasa pertarungan berlangsung
puluhan jurus.
Seperti waktu menyerang yang begitu
tiba-tiba, mendadak
saja kakek itu menghentikan serangan.
"Hebat, tak dinyana ada murid Lemah
Tulis yang begini
handal. Siapa kau, murid siapa kau?"
Kakek itu memandang
Geni dengan sorot mata wibawa. Suaranya pun
terdengar
mantap, memerintah.
"Rupanya ia sengaja menguji ilmu
Garudamukha. Ia
mengenalku ketika tadi aku memainkan jurus
Makanjaran dan
Gongkrodha. Tapi siapa kakek ini."
Berpikir demikian, tanpa
dibuat-buat Geni benar-benar merasa takluk.
"Namaku,
Wisang Geni, anak Gajah Kuning dan Sukesih.
Aku murid
Manjangan Puguh."
"Jangan bohong, dari mana kau peroleh
Garudamukha itu?"
"Dari guru Padeksa".
"Apa arti Parasada Atishasha?"
"Itulah sikap kebesaran jiwa dan
percaya diri untuk menjadi
menara yang tinggi. Dari ketinggian yang
luar biasa ini, kita
bisa melihat semua gerakan lawan dengan
jelas."
Kakek itu memandang Geni dengan tajam. Geni
merasa
bulu kuduknya berdiri. "Apa saya salah
bicara?"
Kakek menggeleng kepalanya. Tiba-tiba
matanya basah.
"Di mana kangmas Padeksa, gurilmu
itu?"
"Saya tidak tahu di mana guru berada.
Maafkan saya yang
tak kenal peradaban, tapi dengan siapa saya
berhadapan?"
Itulah kata-kata paling sopan yang pernah
diucapkan Wisang
Geni.
"Namaku sebenarnya Gajah Watu. Tapi
kini orang
mengenalku sebagai Ki Bhojana".
Wisang Geni bagai disengat kalajengking.
Kaget luar biasa.
Lama ia bersama Padeksa mencari paman guru
yang satu ini
tetapi tak pernah ketemu. Tak dicari justru
jumpa di sini. Geni
menjatuhkan diri. "Saya haturkan
sungkem kepada paman
guru atau mungkin saya harus menyebut kakek
guru, karena
saya putra Gajah Kuning dan Sukesih."
"Ha... ha... ha... Mana bisa kau jadi
cucu muridku. Kau
murid Padeksa, berarti aku ini paman
gurilmu."
"Tetapi ayah dan ibu saya adalah murid
kakek Bergawa.
Dan saya juga murid paman Gubar
Baleman."
"Tidak peduli, itu urusan lain. Kau
tetap murid
keponakanku. Kau pilih saja, kamu jadi
keponakan muridku
atau menjadi keponakan murid dari muridku
yang perempuan
ini?"
Berkata demikian, Gajah Watu menunjuk gadis
kurus
berwajah cantik itu. Gadis cantik itu
tertawa riang. "Guru, aku
segan dan tidak mau punya keponakan murid
yang
kepandaiannya begini hebat.”
Kakek itu tertawa keras. "Kenapa kau
ngomong pakai
tetapi... apa yang kurang dari Wisang Geni
ini?"
Gadis kurus itu tertawa kecil. Dengan
matanya yang jenaka
ia memandang Geni dan berkata dengan agak
malu-malu.
"Kalau mau jadi keponakan muridku,
harus berpakaian bersih,
harus mencukur jenggot dan kumis
harus...."
"Ah itu kan mudah saja...."
Berkata demikian, kakek itu menoleh kepada
pemuda baju
putih. "Pinjam kerismu, Den Mas"
Kontan saja Geni melangkah mundur.
"Jangan, jangan.
Saya mau dan sedia menjadi keponakan murid
paman Gajah
Watu."
"Kau bersedia karena terpaksa?"
tegas kakek itu.
"Tidak, tidak terpaksa. Aku memang lebih
suka begitu.
Karena memang itu yang sebenarnya, aku kan
murid guru
Padeksa. Terimalah sungkemku, paman Gajah
Watu."
"Hei... kau harus memanggilku paman
Bhojana. Itu namaku
yang sekarang!"
Gadis kurus itu nyeletuk, "Bagus, aku
kini memperoleh
kakak seperguruan yang ilmunya jauh lebih
tinggi dari aku."
Gadis itu menoleh dan tersenyum kepada
pemuda baju putih.
"Kau terlalu memujiku, nona," kata
Geni agak malu.
"Eh tadi kau menegurku seakan-akan kita
pernah bertemu,
di mana kita pernah ketemu, aku benar-benar
tak ingat lagi?"
"Nona, memang tak mengenalku. Sekarang
ini dandananku
macam pengemis, kita dulu pernah
bersama-sama seorang
perempuan, bertiga, mengeroyok dan membunuh
Tambapreto, masih ingat?"
Gadis itu tertawa. "Oh itu kamu? Tapi
dulu ilmu silatmu
tidak sehebat sekarang? Hei, mana kawan
wanitamu, dia pasti
dari Lemah Tulis juga?"
"Iya namanya Walang Wulan. Dia murid
paman Bergawa.
Berarti dia saudara perguruanmu".
Mereka berkenalan. Wisang Geni terkejut
mengenal tiga
orang muda yang ditolongnya. Gadis kurus
cantik berkulit
putih, tidak lain adalah puteri keraton yang
dicari-cari, puteri
Waning Hyun. Ia lebih terkejut lagi
mengetahui pemuda baju
putih itu, adalah putera mahkota keraton
Tumapel yakni
pangeran Ranggawuni, putera dari Baginda
Raja Anusapati.
Sedang pemuda berbaju hitam adalah saudara
kandung puteri
Hyun, Mahisa Cempaka.
Entah bagaimana, mendadak ada rasa tidak
suka muncul
dalam dirinya. Geni tak bisa mengingkari
dendam sejarah.
Orang-orang dari keraton Tumapel dulu yang
membantai dan
menghancurkan Lemah Tulis.
Orangtuanya, meski dibunuh Kalayawana, tapi
pasukan
Arek merupakan bagian dari peristiwa
berdarah itu. Dan tiga
orang muda ini, tak lain keturunan Ken Arok.
Keturunan dari
orang yang paling bertanggungjawab atas
musnahnya
perdikan Lemah Tulis.
Tapi bagaimana bisa terjadi, paman Gajah
Watu mengambil
puteri Hyun sebagai murid. Dan bagaimana
lagi hubungan
paman Gajah Watu dengan dua pangeran itu?
Geni bingung.
Apa yang dirasa Geni, tanpa sadar memancar
dari wajah
dan sinar matanya. Gajah Watu melihat ini.
Ia mengerti.
Tanpa sadar orang tua itu menghela napas. Ia
tahu persis apa
itu dendam. Karena dendam juga maka
perjalanan hidupnya
berubah. Ia masih ingat, dua kali dia
berusaha menerobos
istana Tumapel, untuk membalas dendam dan
membunuh
raja. Pertama di tahun 1222 dan yang kedua
di tahun 1239.
Yang pertama, gagal membunuh Ken Arok karena
keraton
dijaga banyak punggawa berilmu tinggi yang
berasal dari para
pendekar kenamaan. Tujuhbelas tahun kemudian
(1239) atau
duabelas tahun setelah kematian Ken Arok
(1227) yang
kemudian digantikan Anusapati, dia kembali
menyatroni
keraton. Baginya membunuh raja Tumapel
adalah tugas
perguruan. Raja Tumapel, Anusapati meski
bukan keturunan
Ken Arok melainkan putra Ken Dedes dengan
suami
pertamanya Tunggul Ametung, tetapi tetap
saja adalah raja
Tumapel. Malam itu dia berhasil menyusup
sampai ke dalam
keraton. Di taman keraton ia memergoki
bayangan berlari
dengan gesit. Orang itu bertopeng.
Rasa curiga menuntunnya membuntuti bayangan
tersebut
yang menggendong sesuatu di punggung. Pada
saat itu
terdengar suara ribut, tanda rahasia istana
berbunyi. Rupanya
istana kebobolan musuh. Gajah Watu sadar
malam itu tak
mungkin meneruskan niat membunuh raja. Ia
memutuskan
lari menyelamatkan diri. Tiba-tiba dia
mendengar suara
berteriak minta tolong. Suara itu, suara
anak kecil. Rupanya
orang itu menculik anak kecil.
Sesaat ia berpikir, jangan-jangan yang
diculik salah seorang
pangeran. Tanpa pikir panjang lagi ia
bergerak lebih cepat Ia
berhasil mengejar. Bertarung beberapa jurus,
ia tahu
lawannya sedang terluka. Tahu tak mungkin
menang, malah
jiwanya terancam, orang bertopeng itu
melempar anak kecil
gendongannya dan kabur cepat.
Gajah Watu memeriksa keadaan anak kecil itu
yang
ternyata gadis kurus. Gadis kecil itu
tersenyum padanya.
"Terimakasih pak tua. Kau sudah
menolongku. Eh, sebagai
tanda terimakasih nanti kau kuberi hadiah
emas dan pakaian
bagus-bagus."
Gajah Watu terkesima. Gadis kecil ini punya
nyali luar
biasa. Ia sama sekali tak merasa takut.
Suaranya wajar-wajar
saja.
Pada saat itu terdengar kesiuran angin.
Beberapa bayangan
berkelebat mengepung dan menyerang Gajah
Watu.
Semuanya ada enam orang. Empat orang
menyerang. Dua
lainnya menjaga gadis kecil itu. Gajah Watu
kini benar-benar
sibuk. Empat orang itu berilmu tinggi dan
dalam sekejap saja
terjadi pertarungan sengit.
Gadis kecil itu berteriak-teriak kegirangan.
Lucunya, ia
berteriak membantu Gajah Watu. Ia balikan
mengolok-olok
empat punggawa istana itu. Tak lama kemudian
tempat itu
sudah dikepung banyak orang. Tak mungkin
lagi Gajah Watu
bisa lolos.
Seorang lelaki berjubah panjang mendekati
pertarungan.
"Huh, betapa beraninya sampean, dengan
kepandaian
sejengkal itu berani membentur istana
Tumapel."
Mendadak gadis kecil itu berteriak,
"Hei kamu jangan
mengejek pak tua itu. Dia yang menolongku.
Kalau bukan
karena dia, tentu aku sudah dibawa kabur
jauh oleh penculik
itu."
"Apa katamu, Den Puteri? Dia bukan
penculikmu?"
"Kamu semua apa kerja kamu, penculik
itu masuk keraton
dan menerobos sampai keputrian, kalian di mana?
Kerjamu
cuma tidur, dasar goblok."
"Maaf kami terlambat datang tuan
putri."
"Sudah jangan banyak omong, cepat
hentikan perkelahian
itu."
Malam itu Gajah Watu melihat kesempatan
emas. Ia
dibawa menghadap ke hadapan Baginda Raja
Anusapati.
Sekali lagi gadis kecil itu menolongnya,
memaksa baginda raja
mengampuni Gajah Watu, juga memberi ijin
tinggal di istana
menjadi guru pribadinya. Gadis kecil itu
ternyata puteri
Waning Hyun, keponakan Anusapati Nenek putri
Hyun adalah
Ken Dedes. Ayah Waning Hyun, Bhatara
Parameswara adalah
putra Ken Dedes dari suami Ken Arok. Sedang
Anusapati
adalah putra Ken Dedes dari suami Tunggal
Ametung.
Sejak itu Gajah Watu tinggal di istana,
menggunakan nama
samaran Ki Bhojana. Dia menjadi guru silat
putri Hyun.
Ternyata meski sangat dimanja, tetapi Waning
Hyun sangat
rajin berlatih silat. Jika sebelumnya
dilatih banyak guru secara
bergantian, kini ia hanya bersedia berlatih
di bawah bimbingan
Gajah Watu.
Gajah Watu pura-pura senang mengabdi keraton
tetapi
dalam benaknya menanti kesempatan bertindak.
Waktu
berjalan terus, tahun berganti tahun Gajah
Watu akhirnya
sadar, bahwa dendam hanyalah ilusi dari
nafsu angkara.
Tegakah ia membunuh gadis kecil yang tak
tahu apa-apa
tentang dendam Lemah Tulis, hanya lantaran
ia adalah cucu
Ken Arok?
Cerita Gajah Watu tentang pengalamannya tak
bisa
melumerkan bara dendam dalam sanubari Geni.
Dendam bagi
Gajah Watu diartikan sebagai ilusi nafsu
angkara. Selama
belum terlampiaskan selama itu juga ilusi
bergelayut di
pelupuk mata. Bagi Wisang Geni, dendam
adalah semangat.
Dendam sama dengan tujuan hidup. Karena
dendam itulah ia
bisa lolos dari kematian. Dendamlah yang
memelihara dan
membesarkannya selama ini. Ia tak mungkin
bisa menghapus
ingatan masa kecil saat Manjangan Puguh
menggendong
membawanya lari dari istana yang sudah
dikepung musuh.
Meski waktu itu usianya delapan tahun tetapi
ia mengerti
kenapa mereka kabur dari istana. Masih lekat
di ingatannya,
hiruk pikuk di keraton. Semua orang
berhambur ingin
menyelamatkan diri.
Di mana-mana orang berteriak tentang
kekalahan pasukan
keraton di perang Ganter. Orang-orang
berlarian sambil
membawa harta benda dan keluarganya. Geni
menahan
tangis. Ia menanyakan keadaan orangtuanya.
Dari jawaban
gurunya, ia merasa orangtuanya dalam bahaya
besar. Tapi ia
tak boleh menangis, itu pantangan bagi
seorang pendekar,
begitu yang diajarkan kepadanya.
Geni telah melalui hari demi hari yang penuh
kekerasan
dan kegersangan hidup. Tak ada kasih sayang
ibu, tak ada
kebanggaan memiliki seorang ayah. Yang ada
hanyalah
perasaan dendam yang melecut diri untuk giat
berlatih ilmu
silat. Dendam bagi Geni adalah urusan besar.
Mengetahui Warung Hyun dan dua kawannya
adalah
keturunan Ken Arok, Geni tak bisa
menyembunyikan perasaan
tidak sukanya. Dia tak bisa berpura-pura.
Sikapnya dingin dan
kaku. Tentu saja sikap ini menjengkelkan
Gajah Watu. Tapi
orangtua ini tak bisa memaksa Geni mengubah
sikap. Suka
atau tidak suka, Gajah Watu harus
menerimanya sebagai hal
yang wajar.
Tidak demikian dengan tiga orang muda itu.
Namun reaksi
ketiganya tidak sama. Ranggawuni berpikir
sikap Geni itu
lantaran malu dan segan setelah mengetahui
mereka
keturunan keraton. Mahisa Cempaka pun
berpikiran sama.
Tapi Waning Hyun seakan bisa membaca jalan
pikiran Geni.
"Ki Wisang Geni, bersama kami, anda tak
perlu basa-basi.
Kalau berada di luar keraton, kami adalah
orang biasa. Jadi
kau tak perlu sungkan."
Wisang Geni menyahut dingin ucapan
Ranggawuni "Mana
berani aku kurang ajar terhadap seorang
putera mahkota yang
tak lama lagi akan menjadi Yang Dipertuan di
kerajaan
Tumapel."
Ranggawuni dan Mahisa Campaka menganggap
jawaban
Geni adalah sejujurnya. Tapi Waning Hyun
merasa adanya
nada sinis. Hanya sebelum gadis itu
menjawab, Gajah Watu
sudah mendahului. "Geni, ada yang ingin
kutanyakan
kepadamu."
Gajah Watu memisahkan diri bersama Geni. Ia
menanyakan
tentang ilmu Geni yang bertenaga panas dan
dingin. Ia tahu
pasti ilmu hebat itu bukan ajaran Lemah
Tulis. Geni
menceritakan
pengalamannya.
0 komentar:
Posting Komentar